http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/12/syiah-dan-riwayat-hadits-dalam-kitab.html
artikel lain :
Di bawah ini akan
dituliskan beberapa penjelasan ulama Syi’ah (terutama pandanganmutaqaddimiin)
tentang riwayat-riwayat hadits yang ada kitab-kitab mereka; yang sepertinya
kontraposisi dengan golongan muta’akhkhirin Syi’ah
yang menyebut dirinya sebagai golongan Ushuliy.
As-Sayyid Muhammad Ash-Shadr
dalam muqaddimah kitab Taariikhul-Ghaibah Ash-Shughraa, yaitu pada kata pengantarnya saat berbicara sebab-sebab
ketidakjelasan sejarah Islam Syi’ah, menyebutkan beberapa point. Di
antaranya adalah point kelima yang berbunyi :
الخامسة
: نقطة إسناد الروايات، حيث إنَّ المصنفين الإمامية جمعوا في كتبهم كل ما وصل
إليهم من الروايات عن الأئمة عليهم السلام أو عن أصحابهم، بِغضّ النظر عن صحتها أو
ضعفها.
وعلماء
الشيعة الإمامية الذين ألفوا في الرجال اقتصروا في كتبهم على ترجمة لرواة الأحاديث
الفقهية التشريعية، وأَوْلَوْها العناية الخاصة بصفتها محل الحاجة العلمية في حياة
الناس.
لكن هذه
الكتب أَهْمَلتْ إهمالاً تاماً ذِكْر الرجال الذين وُجِدت لهم روايات في حقول أخرى
من المعارف الإسلامية، كالعقائد والتاريخ والملاحم، مما قد يربوا على رواة الكتب
الفقهية!!
فإذا وفق
من حسن الحظ أن روى الراوي في التاريخ والفقه معاً، وجدنا له ذكراً في كتبهم،
أمَّا إذا لم يرو شيئاً في الفقه، فإنه يكون مجهولاً.
“Kelima, point sanad riwayat-riwayat dimana para
penulis madzhab Imamiyyah mengumpulkan dalam kitab mereka semua riwayat para
imam ‘alaihis-salaam atau para shahabat mereka yang sampai pada
mereka, tanpa
memperdulikan apakah ia shahih ataupun dla’if.
Dan para ulama Syi’ah Imamiyyah yang menulis
kitab para perawi meringkas dalam kitab-kitab mereka tersebut sebatas
menyebutkan biografi perawi hadits-hadits yang bernuansa fiqhiyyah tasyri’iyyah.
Mereka memberikan perhatian yang khusus terhadapnya mengingat ia merupakan
hajat praktis dalam kehidupan manusia.
Akan tetapi buku-buku ini secara total
mengabaikan penyebutan para perawi yang ditemukan dalam bidang yang lain dari
keilmuan Islam seperti ‘aqidah, sejarah, dan peperangan (malaahim). Hal
ini terkadang melampaui jumlah para perawi buku-buku fiqh!!
Bila secara kebetulan didapati seorang perawi
sekaligus meriwayatkan dalam sejarah dan fiqh, maka kita menemukan penyebutan
dirinya dalam buku-buku mereka (yaitu buku biografi perawi). Sedangkan bila tidak meriwayatkan sedikitpun
dalam fiqh, maka ia menjadi perawi yang berstatus majhul”
[Muqaddimah tahqiq kitab Al-Ghaibatush-Shughraa].
Di sini terdapat satu penjelasan bahwa ulama
Syi’ah mutaqaddimiin menghimpun riwayat dalam kitab-kitab hadits
mereka tidak melihat tingkat validitasnya. Juga, tentang keanehan metodologi jarh dan ta’dil perawi versi Syi’ah.
Al-Hurr Al-‘Aamiliy[1] (w. 1104 H) pernah menentang perkembangan
baru madzhab Syi’ah yang menyerukan agar riwayat-riwayat Syi’ah tunduk pada
metode kritik (seperti yang diserukan oleh golongan ushuliy). Ia pun menetapkan bahwa penyebutan riwayat-riwayat Syi’ah sudah cukup
sebagai jaminan keshahihannya. Al-‘Aamiliy berkata :
وهذا
الكلام يستلزم الحكم بصحة أحاديث الكتب الأربعة، وأمثالها من
الكتب المعتمدة، التي صرح مؤلفوها وغيرهم بصحتها، واهتموا بنقلها ورواياتها،
واعتمدوا في دينهم على ما فيها.
ومثله
يأتي في رواية الثقات الأجلاء - كأصحاب الإجماع ونحوهم - عن الضعفاء والكذابين
والمجاهيل، حيث يعلمون حالهم، ويروون عنهم، ويعملون بحديثهم، ويشهدون بصحته،
وخصوصاً مع العلم بكثرة طرقهم، وكثرة الأصول الصحيحة عندهم! وتمكنهم من العرض
عليها بل على الأئمة عليه السلام.
فلا بد
من حمل فعلهم وشهادتهم بالصحة على وجه صحيح، لا يتطرق به الطعن إليهم، وإلا لزم
ضعف جميع رواياتهم لظهور ضعفهم وكذبهم، فلا يتم الاصطلاح الجديد!! ويظهر من ذلك
ضعف الاصطلاح الجديد على تقسيم الحديث إلى صحيح وحسن وموثوق وضعيف، الذي تجدد في
زمن العلامة وشيخه أحمد بن طاوس....
“Perkataan ini mengandung konsekuensi vonis
terhadap keshahihan hadits-hadits dalamAl-Kutub Al-Arba’ah[2] dan
buku-buku mu’tamad lainnya dimana para penulisnya dan yang lainnya
secara jelas menyatakan keshahihannya, memperhatikan penukilan dan
riwayat-riwayatnya, serta berpegang pada isinya dalam agama mereka.
Hal seperti ini juga terdapat dalam riwayat para tsiqaat yang mulia – seperti ashhaabul-ijmaa’ dan yang semisalnya – dari para perawi lemah,
pendusta, dan tidak dikenal (majhuul) dimana mereka mengetahui mereka,
meriwayatkan dari mereka, mengetahui hadits mereka, dan bersaksi atas
keshahihannya. Khususnya, bila disertai pengetahuan tentang banyaknya jalur
mereka dan banyaknya kitab-kitab induk yang shahih bagi mereka, serta kemampuan
mereka memaparkannya, bahkan terhadap para imam.
Maka harus mengarahkan perbuatan dan kesaksian
mereka akan keshahihannya kepada sisi yang benar, tidak disusupi dengan tuduhan
terhadap mereka. Sebab bila tidak, maka hal itu mengkonsekuensikan semua
riwayat mereka itu lemah karena nampak kelemahan dan kedustaan mereka, sehingga
istilah baru tidak tercipta!! Oleh karena itu, nampak pula di sini kelemahan
istilah baru dalam pembagian hadits kepadashahih, hasan, mautsuq, dan dla’if;
dimana hal ini timbul kembali pada masa Al-‘Allamahdan
Syaikhnya, Ahmad bin Thaawus” [Wasaailusy-Syii’ah, 3/250-251].
Perkataan Al-‘Aamiliy ini mengandung pengetahuan
bagi kita bahwa dulu Syi’ah tidak mengenal pembagian hadits shahih, hasan, mautsuq, dan dla’if; karena sebagian
besar (atau semua ?) riwayat yang ada dalam kitab hadits mu’tamad mereka adalah shahih lagi diamalkan. Semua
hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dianggap tsiqah, maka ia pun
dianggap shahih – walau dalam jajaran perawi selain perawi tsiqah tadi terdapat perawi yang tidak tsiqah.
Maka, sangat dimengerti jika ulama Syi’ah mutaqaddimiin menganggap kitab Al-Kaafiykarya
Al-Kulainiy adalah kitab yang paling shahih setelah Al-Qur’an sebagaimana
Ahlus-Sunnah menganggap Shahih
Al-Bukhariy adalah
kitab yang paling shahih setelah Al-Qur’an. Dan janganlah heran jika ‘aqidah
adanya perubahan Al-Qur’an (= yaitu Al-Qur’an yang ada di jaman sekarang sudah
tidak asli)[3] merupakan
‘aqidah ulama Syi’ah mutaqaddimiin karena riwayat-riwayat mengenainya tercantum
dalam kitab Al-Kaafiy dan yang lainnya. Aneh jika ada sekelompok ulama
Syi’ah dan yang terkecoh dengan mereka menyatakan bahwa hadits-hadits yang
menyatakan ketidakotentikan Al-Qur’an adalah riwayat yang dla’if. Ini adalah madzhab
bid’ah menurut konsekuensi penjelasan di atas. Atau…. ini semua hanya taqiyyah ? Entahlah,…. karena susah membedakan antara
yang asli dengan yang taqiyyah.
Termasuk riwayat-riwayat haditsnya. Seorang ulama Syi’ah yang bernama Yusuf bin
Ahmad Al-Bahraaniy (w. 1186 H) berkata :
لم يعلم
من أحكام الدين على اليقين إلا القليل، لامتزاج أخباره بأخبار (التقية)، كما قد اعترف بذلك ثقة الإسلام وعلم
الأعلام : محمد بن يعقوب الكليني - نور الله مرقده - في جامعه الكافي، والتجأ إلى
مجرد الرد والتسليم للأئمة الأبرار، فصاروا - صلوات الله عليهم - محافظة على
أنفسهم وشيعتهم يخالفون بين الأحكام، وإن لم يحضرهم أحد من أولئك الأنام، فتراهم
يجيبون في المسألة الواحدة بأجوبة متعددة........
“Tidak diketahui dari hukum-hukum agama
secara yakin (pasti) kecuali sedikit, karena bercampuraduknya hadits-hadits
dengan hadits-hadits taqiyyah. Sebagaimana hal itu diakui oleh Tsiqatul-Islaam wa A’laamul-A’laam : Muhammad bin Ya’qqub Al-Kulainiy – semoga
Allah menyinari peristirahatan terakhirnya – dalam kitab Jaami’-nya yang berjudul : Al-Kaafiy.
Ia hanya mengambil sikap sekedar membalas dan memberi salam kepada para imam yang
baik; maka demi menjaga diri dan para pendukung mereka –shalawaatullaah
‘alaihim -, mereka pun menyelisihi hukum-hukum yang telah
jelas (?).
Dan jika tidak seorang pun dari orang-orang itu hadir, maka kamu melihat mereka
(para imam) menjawab dalam satu masalah dengan jawaban yang beragam….” [Al-Hadaaiqun-Naadlirah,
1/45].
Ini saja yang dapat dituliskan sebagai satu
perkenalan dengan agama Syi’ah. Semoga ada manfaatnya. Wallaahu a’lam.
[1] ‘Abbas Al-Qummiy menyebutnya sebagai syaikh
para ahli hadits dan ulama paling mumpuni [lihat Al-Kunaa wal-Alqaab oleh ‘Abbaas Al-Qummiy, 2/176].
[2] Maksudnya adalah : Al-Kaafiy, Al-Istibshaar, At-Tahdziib, dan Waman la Yadluruhul-Faqiih. Dan perlu diketahui bahwa hadits-hadits
dalam kitab-kitab ini jarang yang marfu´dan sanadnya banyak yang kabur alias gak
jelas.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/10/al-kaafiy-sekarang-bukan-al-kaafiy-yang.html
Al-Kulainiy
berkata :
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ
أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ
أَسْبَاطٍ عَنِ الْحَكَمِ بْنِ مِسْكِينٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا قَالَ قُلْتُ
لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) مَتَى يَعْرِفُ الْأَخِيرُ
مَا عِنْدَ الْأَوَّلِ قَالَ فِي آخِرِدَقِيقَةٍ تَبْقَى مِنْ رُوحِهِ .
Muhammad
bin Yahyaa, dari Ahmad bin Muhammad, dari Al-Husain bin Sa’iid, dari ‘Aliy bin
Asbaath, dari Al-Hakam bin Miskiin, dari sebagian shahabat kami, ia berkata :
Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) : “Kapankah orang
terakhir mengetahui apa yang ada di sisi yang pertama ?”. Ia menjawab : “Di
akhir menit yang tersisa dari ruhnya (sebelum
kematiannya)” [Al-Kaafiy, 1/274].
Hadits di
atas menggunakan terminologi ‘menit’ (daqiiqah) sebagai penunjuk waktu
yang spesifik. Kata ‘menit’ (yang ekuivalen dengan 60 detik), belum
dikenal di masa itu.
Masih ada
beberapa hadits dalam Al-Kaafiy yang menggunakan terminologi menit.
Skrin sot
nya ada di bawah :
Selain Al-Kaafiy, ada beberapa kitab Syi’ah klasik yang
menggunakan kata ‘menit’ sebagai keterangan waktu spesifik, antara lain : Bashaairud-Darajaat oleh Ash-Shaffaar (w. 290 H) dan Al-Imaamah wat-Tabshirah oleh Ibnu Babawaih Al-Qumiy (w. 329 H),
ayah dari Ash-Shaduuq. Sebagai perbandingan, kata ‘menit’ tidak dijumpai dalam
tulisan-tulisan Ash-Shaduuq (w. 381 H), Al-Mufiid (w. 413 H), Al-Murtadlaa (w.
436 H), Ath-Thuusiy (w. 460 H), dan Ath-Thabarasiy (w. 548 H).
Dan sangat
lucu, ada seorang ulama Syi’ah yang bernama Ibnu Thaawuus (w. 664 H) yang menghitung
waktu kelahiran anaknya sampai hitung detik. Berikut perkataannya :
وكان ولدي ( علي ) شرفه الله جل
جلاله طول مدته وأتحفه بكرامته قد دخل في السنة الثالثة من عمره وولادته ولد بعد
مضي ثانيتين وست عشرة دقيقة من يوم الجمعة ثامن محرم سنة سبع وأربعين وستمائة
بمشهد مولانا علي صلوات الله عليه وهما وديعتي عند الله جل جلاله
“Anakku
(‘Aliy) – semoga Allah yang Maha Agung memuliakannya sepanjang hidupnya dan
melimpahkan kepadanya barakah-Nya – telah memasuki tahun ketiga dari umurnya
dan kelahirannya. Ia lahir setelah berlalunya 2 detik dan 16 menit dari hari
Jum’at, tanggal 8 Muharram tahun 647 di Masyhad maula kami ‘Aliy ‘alaihis-salaam……” [Kasyful-Mahajjah, 4/4].
Dalam kitab Al-Mu’jamul-Wasiith (1/291) dituliskan :
(الدقيقة) وحدة زمنية تعادل جزءا من ستين جزءا من الساعة ووحدة
لقياس خطوط الطول أو العرض تساوي جزءا من ستين جزءا من الدرجة (مج) (ج) دقائق (محدثة)
“Menit (ad-daqiqah)
adalah satuan waktu yang sama dengan 1/60 jam, dan satuan bagi busur garis
vertikal dan horisontal yang disamakan dengan 1/60 derajat. Jamaknyadaqaaiq;
dan ia merupakan istilah baru (muhdats)”.
Oleh karena
itu, sangat patut diduga Al-Kaafiy yang beredar sekarang ini ditulis oleh
pihak-pihak tertentu (entah siapa) setelah era Al-Kulainiy, karena ia merupakan
bahasa serapan dari bahasa ‘ajam yang tidak dikenal di jaman Al-Kulainiy
dan sebelumnya. Aslikah kitab Al-Kaafiy sekarang ini ?
Mungkinkah
Abu ‘Abdillah menggunakan istilah yang bukan asli bahasa ‘Arab dalam ‘kalam
sucinya’ ?.
Bandingkan dengan bahasa Al-Qur’an :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا
جَاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ
“Tiap-tiap
umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak
dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya” [QS. Al-A’raf : 34].
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ كَأَنْ
لَمْ يَلْبَثُوا إِلا سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ يَتَعَارَفُونَ بَيْنَهُمْ قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ
كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
“Dan
(ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka
merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya
sesaat saja di siang hari (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya
rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka
tidak mendapat petunjuk” [QS. Yunus : 45].
Apapun
itu,… nampaknya eksistensi sanad ataupun bahasa tidak terlalu dipikirkan oleh
sebagian ulama Syi’ah.
Seorang
ulama Syi’ah yang bernama Muhamad Baaqir Al-Majlisiy berkata :
فإننا لا نحتاج إلى سند لهذه
الأصول الأربعة وإذا أوردنا سنداً فليس إلا للتيمن والبركة والإقتداء بسنة السلف
“Sesungguhnya
kami tidak butuh kepada sanad untuk al-ushul-al-arba’ah ini (yaitu empat kitab hadits utama
Syi’ah, termasuk Al-Kaafiy). Apabila kami meletakkan sanad (pada satu riwayat), maka tidak lain
itu hanyalah sekedar memandang baik, menggapai barakah, dan mengikuti sunnah
salaf” [Rasaail Abil-Ma’aaliy Al-Majlisiy, hal. 459].
Juga Al-Muhaqqiq Abul-Hasan Asy-Sya’raaniy :
إن أكثر أحاديث الأصول في الكافي
غير صحيحة الإسناد ولكنها معتمدة لاعتبار متونها وموافقتها للعقائد الحقّة ولا
ينظر في مثلها إلى الإسناد
“Sesungguhnya
kebanyakan hadits-hadits dalam Al-Ushul-fil-Kahfiy sanadnya tidak shahih, akan tetapi ia
dapat dipercaya dan layak dipertimbangkan matannya karena berkesesuaian dengan
‘aqidah-‘aqidah yang hak, sehingga tidak perlu melihat sanadnya untuk hadits
yang semisal itu” [Miqyaasul-Hidaayah, 2/282].
Artinya,
sumber apapun yang berkesesuaian dengan doktrin teologis mereka akan
dibenarkan. Itu bukan kesimpulan saya, tapi kesimpulan yang dapat ditarik dari
ulama Syi’ah di atas….
afwan
ust. klo ptnyaanx kluar dr Topik.., apa hukum Sighat Taklik yg dbaca saat
nikah.,apakh wajib, sunnah ataukah bid'ah, ada bbrp Ikhwa yg mmbacax n
dikatakan hal ini tak mngapa..,tlg d bhas scara Ilmiah..,Syukran Jazakallahu
khayr... :)
ust. klo
Maslahat n Mudharat sm2 seimbang apakh yg hrs kita lakukan..??????, sykran
Padahal
pada al Kafi Juz I/hal 274 itu berada pada bagian BAB 81. Penjelasan di antara
dakwaan orang yang benar dan orang yang batil tentang urusan imamah BERISI
hadits yang sangat panjang, dengan sanad ini nih :Ali bin Ibrahim bin
Hasyim,... daripada bapanya, daripada Ibn Mahbub, daripada Salam bin Abdullah
dan Muhammad bin al-Hasan dan Ali bin Muhammad, daripada Sahl bin Ziyad dan Abu
Ali al-Asy'ari, daripada Muhammad bin Hassan, daripada Muhammad bin Ali,
daripada Ali bin al-Asbat, daripada Salam bin Abdullah al-Hasyimi, Muhammad bin
Ali berkata:
Noh sanandnya saja sudah bohong xi xi xi.. ini belum soal Isinya... wuah beda jauh... Wah nih yang dusta Ahlu sunnah pa Wahabbi ya xi xi xi.... kalau wahabi maklum dech... abu al Jauzaa kan wahabbi... sering ketahuan malsuin hadits... noh bilang sono dicari sama Secondprince dan jakfari... dua blog yang sering menunjukkan kedustaan Abu al Jauza.... xi xi xi
Noh sanandnya saja sudah bohong xi xi xi.. ini belum soal Isinya... wuah beda jauh... Wah nih yang dusta Ahlu sunnah pa Wahabbi ya xi xi xi.... kalau wahabi maklum dech... abu al Jauzaa kan wahabbi... sering ketahuan malsuin hadits... noh bilang sono dicari sama Secondprince dan jakfari... dua blog yang sering menunjukkan kedustaan Abu al Jauza.... xi xi xi
Siapa yang dusta bung ? Anda mbuka matan kitab Al-Kaafiy
gak ? Saya nulis itu - walau dengan mengambil faedah dari tulisan orang lain -
, juga mbuka kitab Al-Kaafiy yang saya punya. Dan itu saya kopi paste kan
langsung dari matan kitab Al-Kaafiy.
Sungguh kasihan Anda......
Sungguh kasihan Anda......
afwan ustadz, apabila tidak nyambung dengan bab ini
saya ingin bertanya, ustadz menulis sunan abu dawud no hadits 3332, tentang apakah pahala sampe kepada mayit ato tidak dalam forum habib mundzir
setelah saya cek sunan abu dawud no 3332 di lidwa.com maka yang keluar kok tentang makan bawang
pripun ini ustadz?
jazakallahu khoir atas penjelasan yang akan antum berikan
saya ingin bertanya, ustadz menulis sunan abu dawud no hadits 3332, tentang apakah pahala sampe kepada mayit ato tidak dalam forum habib mundzir
setelah saya cek sunan abu dawud no 3332 di lidwa.com maka yang keluar kok tentang makan bawang
pripun ini ustadz?
jazakallahu khoir atas penjelasan yang akan antum berikan
penomoran hadits versi lidwa dan yang versi cetak lain.
apa yang saya tulis adalah versi cetaknya.
sekali lagi
jazakallahu khairan ustadz atas penjelasannya
sabar ya ustadz sama syi'ah. . .saya pernah "berdialog" dengan mereka dan kalo udah kepepet maka mencela sahabat lagi
waktu saya bilang, nama anak 'ali radhiyallahu 'anhu adalah abu bakar dan umar, maka mereka menjawab kalo itu adalah nama umum
di indonesia seperti tono, andi, budi. . . bikin guemes bener dah mereka
jazakallahu khairan ustadz atas penjelasannya
sabar ya ustadz sama syi'ah. . .saya pernah "berdialog" dengan mereka dan kalo udah kepepet maka mencela sahabat lagi
waktu saya bilang, nama anak 'ali radhiyallahu 'anhu adalah abu bakar dan umar, maka mereka menjawab kalo itu adalah nama umum
di indonesia seperti tono, andi, budi. . . bikin guemes bener dah mereka
ustad kok ngibul...
nih di buktiin ngibulnya antum ustad
nih di buktiin ngibulnya antum ustad
Ada
orang Syi'ah yang lucu.....
Katanya daqiiq dalam artian menit itu katanya bukan muhdats. Inti alasannya adalah mengambil perkataan Ibnnu Hazm dan beberapa perkataan dalam ilmu falaq.
Al-Kulainiy menyebutkan riwayat dalam Al-Kaafiy yang dinisbatkan pada Abu 'Abdillah (imam Syi'ah) dengan menyebutkan kata 'daqiiq' untuk perhitungan waktu. Al-Kulainiy meninggal tahun 329 H.
Riwayat itu lemah menurut Al-Majlisiy, sehingga yang jadi terdakwa tidak mungkin Abu 'Abdillah. Tidak ada satupun ayat Al-Qur'an, hadits, sya'ir bahasa Arab klasik (yang biasanya menjadi keotentikan kata/kalimat dalam bahasa Arab) yang menyebutkan kata 'daqiiq'.
Dan tidak mungkin Abu 'Abdillah menggunakan kata 'daqiiq' karena kata itu belum dikenal di jaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Adalah aneh jika orang Syi'ah itu mengatakan bahwa 'mungkin' di jaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kata 'daqiiq' itu belum ada, namun menjadi ada di jaman Imam Ja'far. Jika ia mengatakan itu, artinya, kata 'daqiiq' itu bukan kata Arab yang asli dan fasih. Orang Arab di jaman dulu tidak menyukai (dan bahkan mencela) penggunakan kata-kata yang tidak fasih. Apalagi kata-kata orang 'Ajam.
Kemudian,... jika orang Syi'ah itu berdalil dengan perkataan Ibnu Hazm, maka kita katakan : jarak antara Al-Kulainiy dengan Ibnu Hazm itu jauh. Ibnu Hazm lahir tahun 384 H (bandingkan dengan tahun wafat Al-Kulainiy di atas). Oleh karena itu, beberapa ulama mengklasifikasikan periode Ibnu Hazm adalah periode muta'akhkhiriin.
Selain itu, ia adalah penduduk Andalus (Spanyol) yang di situ (waktu itu) berkembang ilmu-ilmu serapan.
Justru itulah, dengan perkataan Ibnu Hazm itu kita mengetahui bahwa kata 'daqiiq' (yang menunjukkan waktu) yang ia ucapkan bukan merupakan kata asli dalam bahasa Arab. Begitu pula dengan perkataan Al-Khawaarizmiy (lahir tahun 387 H) dalam Mafaatihul-'Uluum yang menggunakan kata 'daqiiq' dalam ilmu falaq. (Nama) satuan-satuan ilmu falaq itu tidak dikenal masyarakat 'Arab, karena ia merupakan ilmu serapan.
Jadi, jangan dibolak-balik.
Lalu, tentang perkataan orang Syi'ah itu yang membahas kata 'saa'ah' dalam hadits. Ia membawakan itu untuk mengqiyaskan dengan permasalahan kata 'daqiiq'.
Ini namanya qiyas ma'al-faariq. Saa'ah yang menunjukkan pada waktu itu dikenal dalam Al-Qur'an, hadits, syi'ir bahasa Arab, dan juga kamus bahasa Arab sebagai kata asli dan fasih.
Adapun jika dikatakan dalam hadits :
يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً
"Hari Jum'at ada 12 sa'aah".
Memang benar, saa'ah itu asalnya bukan berarti 'jam'. Saa'ah itu artinya waktu atau saat. Ibnul-Atsiir dalam An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits mengatakan bahwa as-sa'ah itu dalam bahasa Arab dimutlakkan dalam dua makna, yaitu : satu bagian dari 24 bagian waktu sehari dan semalam. Kedua, bagian yang sedikit/sebentar dari waktu malam dan siang. Oleh karena itu, hadits di atas bisa diartikan : "Hari Jum'at ada 12 waktu/saat". Atau dikatakan : 12 jam. Ini masalah translasi saja.
Adapun perincian menit dan detik, itu tidak ada dalam bahasa Arab dan baru muncul kemudian (setelah berkembangnya ilmu falaq).
NB : Apabila orang Syi'ah itu kemudian berhujjah dengan referensi-referensi Syi'ah lain seperti bukunya Al-Ya'quubiy, Ash-Shaffaar, atau yang telah disebutkan di artikel di atas, maka silakan saja, karena justru itulah permasalahan yang kita kritik. Kan sudah ditulis di atas. Kalau mereka berpegang dengan kitab-kitab mereka, itu wajar lah ya.....
Katanya daqiiq dalam artian menit itu katanya bukan muhdats. Inti alasannya adalah mengambil perkataan Ibnnu Hazm dan beberapa perkataan dalam ilmu falaq.
Al-Kulainiy menyebutkan riwayat dalam Al-Kaafiy yang dinisbatkan pada Abu 'Abdillah (imam Syi'ah) dengan menyebutkan kata 'daqiiq' untuk perhitungan waktu. Al-Kulainiy meninggal tahun 329 H.
Riwayat itu lemah menurut Al-Majlisiy, sehingga yang jadi terdakwa tidak mungkin Abu 'Abdillah. Tidak ada satupun ayat Al-Qur'an, hadits, sya'ir bahasa Arab klasik (yang biasanya menjadi keotentikan kata/kalimat dalam bahasa Arab) yang menyebutkan kata 'daqiiq'.
Dan tidak mungkin Abu 'Abdillah menggunakan kata 'daqiiq' karena kata itu belum dikenal di jaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Adalah aneh jika orang Syi'ah itu mengatakan bahwa 'mungkin' di jaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kata 'daqiiq' itu belum ada, namun menjadi ada di jaman Imam Ja'far. Jika ia mengatakan itu, artinya, kata 'daqiiq' itu bukan kata Arab yang asli dan fasih. Orang Arab di jaman dulu tidak menyukai (dan bahkan mencela) penggunakan kata-kata yang tidak fasih. Apalagi kata-kata orang 'Ajam.
Kemudian,... jika orang Syi'ah itu berdalil dengan perkataan Ibnu Hazm, maka kita katakan : jarak antara Al-Kulainiy dengan Ibnu Hazm itu jauh. Ibnu Hazm lahir tahun 384 H (bandingkan dengan tahun wafat Al-Kulainiy di atas). Oleh karena itu, beberapa ulama mengklasifikasikan periode Ibnu Hazm adalah periode muta'akhkhiriin.
Selain itu, ia adalah penduduk Andalus (Spanyol) yang di situ (waktu itu) berkembang ilmu-ilmu serapan.
Justru itulah, dengan perkataan Ibnu Hazm itu kita mengetahui bahwa kata 'daqiiq' (yang menunjukkan waktu) yang ia ucapkan bukan merupakan kata asli dalam bahasa Arab. Begitu pula dengan perkataan Al-Khawaarizmiy (lahir tahun 387 H) dalam Mafaatihul-'Uluum yang menggunakan kata 'daqiiq' dalam ilmu falaq. (Nama) satuan-satuan ilmu falaq itu tidak dikenal masyarakat 'Arab, karena ia merupakan ilmu serapan.
Jadi, jangan dibolak-balik.
Lalu, tentang perkataan orang Syi'ah itu yang membahas kata 'saa'ah' dalam hadits. Ia membawakan itu untuk mengqiyaskan dengan permasalahan kata 'daqiiq'.
Ini namanya qiyas ma'al-faariq. Saa'ah yang menunjukkan pada waktu itu dikenal dalam Al-Qur'an, hadits, syi'ir bahasa Arab, dan juga kamus bahasa Arab sebagai kata asli dan fasih.
Adapun jika dikatakan dalam hadits :
يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً
"Hari Jum'at ada 12 sa'aah".
Memang benar, saa'ah itu asalnya bukan berarti 'jam'. Saa'ah itu artinya waktu atau saat. Ibnul-Atsiir dalam An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits mengatakan bahwa as-sa'ah itu dalam bahasa Arab dimutlakkan dalam dua makna, yaitu : satu bagian dari 24 bagian waktu sehari dan semalam. Kedua, bagian yang sedikit/sebentar dari waktu malam dan siang. Oleh karena itu, hadits di atas bisa diartikan : "Hari Jum'at ada 12 waktu/saat". Atau dikatakan : 12 jam. Ini masalah translasi saja.
Adapun perincian menit dan detik, itu tidak ada dalam bahasa Arab dan baru muncul kemudian (setelah berkembangnya ilmu falaq).
NB : Apabila orang Syi'ah itu kemudian berhujjah dengan referensi-referensi Syi'ah lain seperti bukunya Al-Ya'quubiy, Ash-Shaffaar, atau yang telah disebutkan di artikel di atas, maka silakan saja, karena justru itulah permasalahan yang kita kritik. Kan sudah ditulis di atas. Kalau mereka berpegang dengan kitab-kitab mereka, itu wajar lah ya.....
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/11/hapalan-abu-hurairah-radliyallaahu-anhu.html
حدثنا أحمد بن أبي بكر أبو مصعب قال: حدثنا محمد بن إبراهيم بن
دينار، عن ابن أبي ذئب، عن سعيد المقبري، عن أبي هريرة قال : قلت: يا رسول الله،
إني أسمع منك حديث كثيرا أنساه؟ قال: (أبسط رداءك). فبسطته، قال: فغرف بيديه، ثم
قال: (ضمه) فضممته، فما نسيت شيئا بعده.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abi Bakr Abu Mush’ab, ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ibraahiim bin Diinaar,
dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah, ia berkata :
Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar banyak hadits darimu,
namun (saat ini) aku lupa”. Beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : ‘Bentangkanlah selendangmu !’. Akupun kemudian
membentangkan kain selendangku. Lalu beliau menggerakkan tangannya seakan-akan
menciduk sesuatu, kemudian bersabda : ‘Tangkupkanlah ia’. Aku pun
menangkupkannya. Semenjak itu aku tidak pernah melupakan sesuatu” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhariy no. 119].
Muslim meriwayatkan dengan lafadh :
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم "من يبسط ثوبه فلن ينسى شيئا
سمعه مني" فبسطت ثوبي حتى قضى حديثه. ثم ضممته إلي. فما نسيت شيئا سمعته منه.
“Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : ‘Barangsiapa yang membentangkan pakaiannya, niscaya ia tidak akan
lupa sedikitpun apa-apa yang ia dengar dariku’. Maka aku (Abu
Hurairah) pun membentangkan pakaianku hingga beliau selesai bersabda. Kemudian
aku lipat/tangkupkan pada diriku. (Semenjak saat itu), aku tidak lupa terhadap
apa-apa yang aku dengardari beliau” [Shahih Muslim no. 2492].
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وفي هذين الحديثين فضيلة ظاهرة لأبي هريرة ومعجزة واضحة من علامات
النبوة، لأن النسيان من لوازم الإنسان، وقد اعترف أبو هريرة بأنه كان يكثر منه ثم
تخلف عنه ببركة النبي صلى الله عليه وسلم.
“Dalam dua hadits ini terdapat keutamaan nyata yang ada pada diri
Abu Hurairah, sertamu’jizat yang jelas dari
tanda-tanda kenabian. Hal itu dikarenakan, sifat lupa adalah sesuatu yang biasa
terjadi pada diri manusia. Abu Hurairah sendiri mengakui bahwa dirinya dulu
mempunyai banyak sifat lupa, kemudian hal ini hilang dikarenakan barakah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Fathul-Baariy,
1/215].
Kemudian beliau (Ibnu Hajar) melanjutkan :
وفي المستدرك للحاكم من حديث زيد بن ثابت قال: "كنت أنا وأبو
هريرة وآخر عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال: "ادعوا." فدعوت أنا
وصاحبي وأمن النبي صلى الله عليه وسلم، ثم دعا أبو هريرة فقال: اللهم إني أسألك
مثل ما سألك صاحباي، وأسألك علما لا ينسى. فأمن النبي صلى الله عليه وسلم فقلنا:
ونحن كذلك يا رسول الله، فقال: "سبقكما الغلام الدوسي".
“Dan dalam Al-Mustadrak karangan Al-Haakim dari hadits Zaid bin Tsaabit ia berkata : ‘Aku,
Abu Hurairah, dan seorang yang lain pernah berada di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda : ‘Berdoalah kalian’. Aku dan temanku pun berdoa, sementara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengaminkannya. Kemudian Abu Hurairah berdoa : ‘Ya Allah,
sesunguhnya aku memohon kepada-Mu semisal apa yang dimohonkan oleh dua orang
shahabatku ini. Dan aku memohon kepada-Mu ilmu yang tidak pernah aku lupakan’.
Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam mengaminkannya. Kami
pun berkata : ‘Dan kami pun memohon seperti itu juga wahai Rasulullah’. Beliau
menjawab : ‘Anak dari suku Daus itu telah mendahului kalian
berdua” [idem].[1]
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
حماد بن زيد: حدثني عمرو بن عبيد الانصاري: حدثني أبو الزعيزعة كاتب
مروان: أن مروان أرسل إلى أبي هريرة، فجعل يسأله، وأجلسني خلف السرير، وأنا أكتب،
حتى إذا كان رأس الحول، دعابه، فأقعده من وراء الحجاب، فجعل يسأله عن ذلك الكتاب،
فما زاد ولا نقض، ولا قدم ولا أخر.
قلت: هكذا فليكن الحفظ.
قلت: هكذا فليكن الحفظ.
“(Berkata) Hammad bin Zaid : Telah menceritakan kepadaku ‘Amr bin
‘Ubaid Al-Anshaariy : Telah menceritakan kepadaku Abuz-Zu’aizi’ah, sekretaris
Marwaan : Bahwasannya Marwaan pernah mengutusnya seseorang kepada Abu Hurairah
untuk menanyakan sesuatu. Ia (Marwaan) menyuruhku duduk di belakang
pembaringan, dan aku menulis (apa yang ia tanyakan kepada Abu Hurairah). Hingga
datang awal tahun berikutnya, Marwaan memanggil Abu Hurairah dan menyuruhnya
duduk di balik hijab. Lalu ia bertanya kepada Abu Hurairah tentang isi tulisan
(yang dulu pernah ia tanyakan kepadanya). Tidaklah Abu Hurairah menambahkan,
mengurangi, mendahulukan, dan mengakhirkan isi tulisan tersebut.
Aku (Adz-Dzahabiy) berkata : Begitulah yang seharusnya (yang
dilakukan dalam) menghapal” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 2/598].[2]
Adz-Dzahabiy rahimahullah mensifati Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu sebagai :
الامام الفقيه المجتهد الحافظ، صاحب رسول الله صلى الله عليه وسلم،
أبو هريرة الدوسي اليماني.
سيد الحفاظ الاثبات.
سيد الحفاظ الاثبات.
“Al-imam, al-faqih, al-mujtahid, al-haafidh, salah seorang
shahabat Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam. Abu Hurairah
Ad-Dausiy Al-Yamaaniy. Penghulu penghapal hadits yang terpercaya” [idem,
2/578].
وقد كان أبو هريرة وثيق الحفظ، ما علمنا أنه أخطأ في حديث.
“Abu Hurairah adalah orang yang terpercaya dalam hapalannya. Kami
tidak pernah mengetahuinya salah dalam (meriwayatkan) hadits” [idem, 2/621].
عن بن عمر أنه قال لأبي هريرة : يا أبا هريرة أنت كنت ألزمنا لرسول
الله صلى الله عليه وسلم وأحفظنا لحديثه
Dari Ibnu ‘Umar, bahwasannya ia pernah berkata kepada Abu Hurairah
: “Wahai Abu Hurairah, engkau adalah orang yang paling sering mendampingi (bersama)
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam dan paling hapal hadits beliau di antara kami” [Diriwayatkan oleh
At-Tirmidziy no. 3836, Ahmad 2/2, ‘Abdurrazzaq no. 6270, Al-Haakim 3/510, dan
Ibnul-Atsir dalam Usudul-Ghaabah 6/320. At-Tirmidziy berkata : “Hadits ini hasan”. Al-Albaniy
berkata : “Shahiihul-isnaad”].
عن محمد بن عمارة بن عمرو بن حزم أنه قعد في مجلس فيه أبو هريرة وفيه
مشيخة من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم بضعة عشر رجلا فجعل أبو هريرة يحدثهم عن
النبي صلى الله عليه وسلم فلا يعرفه بعضهم ثم يتراجعون فيه فيعرفه بعضهم ثم يحدثهم
ولا يعرفه بعضهم ثم يعرفه بعض حتى فعل ذلك مرارا فعرفت يومئذ أن أبا هريرة أحفظ
الناس عن النبي صلى الله عليه وسلم
Dari Muhammad bin ‘Umaarah bin ‘Amr bin Hazm, bahwasannya ia
pernah duduk di dalam suatu majelis yang dihadiri oleh belasan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang telah tua (senior). Lalu Abu Hurairah menyampaikan satu
hadits dari Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Sebagian di antara mereka ada yang tidak mengetahui
hadits tersebut. Maka mereka mengulang-ulangnya hingga benar-benar
mengetahuinya (menghapalnya). Kemudian Abu Hurairah menyampaikan hadits yang
lain kepada mereka dimana sebagian di antara mereka tidak mengetahuinya.
(Mereka mengulangnya) hingga mereka mengetahuinya. Begitulah yang terjadi
berulang-ulang. Sejak itu saat itu aku mengetahui bahwa Abu Hurairah adalah
orang yang paling hapal hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalamAl-Kabiir 1/186-187 no. 574].
Tidaklah heran jika Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu – dengan
kelebihannya tersebut - menjadi shahabat paling banyak meriwayatkan hadits dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
عن أبي هريرة قال: ما من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم أحد أكثر
حديثا عنه مني، إلا ما كان من عبد الله بن عمرو، فإنه كان يكتب ولا أكتب.
Dari Abu Hurairah, ia berkata : “Tidak ada seorang pun dari
kalangan shahabat Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak dariku dalam meriwayatkan hadits dari beliau,
kecuali ‘Abdullah bin ‘Amr. Ia menulis, sedangkan aku tidak menulis”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 113, Ahmad 2/248-249, At-Tirmidziy no.
2668, dan yang lainnya].[3]
عن أبي أنس بن أبي عامر قال كنت عند طلحة بن عبيد الله فدخل عليه رجل
فقال يا أبا محمد ما ندري هذا اليماني أعلم برسول الله منكم أم هو يقول على رسول
الله صلى الله عليه وسلم ما لم يقل فقال والله ما نشك أنه سمع من رسول الله صلى
الله عليه وسلم ما لم نسمع وعلم ما لم نعلم إنا كنا أقواما أغنياء ولنا بيوتات
وأهلون وكنا نأتي نبي الله صلى الله عليه وسلم طرفي النهار ثم نرجع وكان مسكينا لا
مال له ولا أهل إنما كانت يده مع يد نبي الله صلى الله عليه وسلم وكان يدور معه
حيث دار فما نشك أنه قد علم ما لم نعلم وسمع ما لم نسمع ولم نجد أحدا فيه خير يقول
على رسول الله صلى الله عليه وسلم ما لم يقل
Dari Abu Anas bin Abi ‘Aamir, ia berkata : “Aku pernah berada di
sisi Thalhah bin ‘Ubaidillah. Lalu ada seorang laki-laki yang masuk menemuinya
dan berkata : ‘Wahai Abu Muhammad, demi Allah, tidaklah kami mengetahui orang
Yaman ini (yaitu Abu Hurairah – Abul-Jauzaa’) paling tahu
tentang (hadits) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam dibanding kalian (para shahabat). Ataukah ia
mengatakan tentang Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam apa-apa yang tidak beliau sabdakan ?’. Thalhah berkata : ‘Demi
Allah, tidaklah kami ragu bahwasannya ia telah mendengar dari Rasulullahshallallaahu
‘alaihi wa sallam apa-apa yang tidak
kami dengar, dan ia mengetahui apa-apa yang tidak kami ketahui. Sesungguhnya
kami ada kaum yang berkecukupan, memiliki rumah dan keluarga. Kami mendatangi
Nabiyullah shallallaahu ‘alaihi wa sallampada pagi dan sore,
lalu kami pulang. Adapun ia adalah seorang yang miskin, tidak mempunyai harta
dan keluarga. Tangannya selalu bergandengan dengan tangan Nabishallallaahu
‘alaihi wa sallam. Ia selalu bersama beliau dimanapun beliau berada. Oleh
karena itu, kami tidak ragu bahwa ia mengetahui apa-apa yang tidak kami ketahui
dan mendengar apa-apa yang tidak kami dengar. Kami tidak mendapati seorang pun
yang mempunyai kebaikan mengatakan tentang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apa-apa yang tidak beliau sabdakan” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim
dalam Al-Mustadrak (At-Tatabbu’) 3/627-628, Abu Ya’laa no. 636-637, Ibnu
Katsiir dalam Al-Bidaayah wan-Nihaayah 8/109, dan At-Tirmidziy no. 3837. Rijaal-nya tsiqah, namun dalam sanad
ini Ibnu Ishaaq telah melakukan ‘an’anah, sedangkan ia
seorang mudallis].
Ibnu Shalaah rahimahullah berkata :
أكثر الصحابة حديثا عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أبو هريرة.
“Shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Hurairah” [‘Uluumul-Hadiits, hal. 265].
Beberapa peneliti kontemporer, diantaranya Dr. Dliyaaurrahmaan
Al-A’dhamiy telah melakukan penelitian ulang terhadap musnad Abu Hurairah yang
diambil dari Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan ditambah dengan riwayat dalam al-kutubus-sittah, dengan menyatakan bahwa jumlah hadits Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu berjumlah 1336 buah. Kemudian beliau berkata : “Benar bahwa ada
sejumlah riwayat lain (yang diriwayatkan Abu Hurairah) di dalam kitab Al-Mustadrak milik Al-Haakim, Sunan Al-Baihaqiy, Sunan
Ad-Daaruquthniy, Mushannaf ‘Abdirrazzaq, dan kitab-kitab
hadits yang lain. Namun saya berani memastikan bahwa riwayat-riwayat tersebut
tidak mencapai jumlah yang disebutkan oleh para ulama. Bahkan menurut dugaan
kuat, tidak mencapai 2000 hadits” [Abu Hurairah fii Dlau’i Marwiyyatihi oleh Dr. Dliyaaurrahmaan Al-A’dhamiy, hal. 76].[4]
Semoga Allah ta’ala meridlainya dan membalas kebaikannya dengan jannah.
[1] Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak (At-Tatabbu’) 3/624. Al-Haakim berkata : “Sanadnya
shahih, namun tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhariy dan Muslim”. Pernyataan
Al-Haakim ini tidak benar, sebab padanya ada perawi yang bernama Hammaad bin
Syu’aib bin Ismaa’il, seorang yang dla’iif. Namun ia mempunyai mutaba’ah dari Muhammad bin Ibraahiim sebagaimana
dalam As-Sunan
Al-Kubraa oleh An-Nasa’iy 5/374 no. 5839. Muhammad bin Ibraahiim adalah
seorang yang sangat jujur. Oleh karena itu, derajat hadits ini adalah hasan.
[2] Riwayat tersebut dibawakan oleh Al-Haakim
dalam Al-Mustadrak (At-Tatabbu’) 3/625-626 danTaariikh
Dimasyq 20/89. Sanad ini shahih hingga Abuz-Zu’aizi’ah sebagaimana
dikatakan oleh Al-Haakim dan disepakati Adz-Dzahabiy. Adapun Abuz-Zu’aizi’ah
sendiri, maka ia majhulsebagaimana
dikatakan oleh Abu Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil 9/375 no. 1734.
هذا استدلال من أبي هريرة على ما
ذكره من أكثرية ما عند عبد الله بن عمرو أي ابن العاص على ما عنده، ويستفاد من ذلك
أن أبا هريرة كان جازما بأنه ليس في الصحابة أكثر حديثا عن النبي صلى الله عليه
وسلم منه إلا عبد الله، مع أن الموجود المروي عن عبد الله بن عمرو أقل من الموجود
المروي عن أبي هريرة بأضعاف مضاعفة، فإن قلنا الاستثناء منقطع فلا إشكال، إذ
التقدير: لكن الذي كان من عبد الله وهو الكتابة لم يكن مني، سواء لزم منه كونه
أكثر حديثا لما تقتضيه العادة أم لا. وإن قلنا الاستثناء متصل فالسبب فيه من جهات:
أحدها أن عبد الله كان مشتغلا بالعبادة أكثر من اشتغاله بالتعليم فقلت الرواية
عنه. ثانيها أنه كان أكثر مقامه بعد فتوح الأمصار بمصر أو بالطائف ولم تكن الرحلة
إليهما ممن يطلب العلم كالرحلة إلى المدينة، وكان أبو هريرة متصديا فيها للفتوى
والتحديث إلى أن مات، ويظهر هذا من كثرة من حمل عن أبي هريرة، فقد ذكر البخاري أنه
روى عنه ثمانمائة نفس من التابعين، ولم يقع هذا لغيره. ثالثها ما اختص به أبو
هريرة من دعوة النبي صلى الله عليه وسلم له بأن لا ينسى ما يحدثه به كما سنذكره
قريبا. رابعها أن عبد الله كان قد ظفر في الشام بحمل جمل من كتب أهل الكتاب فكان
ينظر فيها ويحدث منها فتجنب الأخذ عنه لذلك كثير من أئمة التابعين.
..........
ويحتمل أن يقال تحمل أكثرية عبد
الله بن عمرو على ما فاز به عبد الله من الكتابة قبل الدعاء لأبي هريرة لأنه قال
في حديثه: "فما نسيت شيئا بعد " فجاز أن يدخل عليه النسيان فيما سمعه
قبل الدعاء، بخلاف عبد الله فإن الذي سمعه مضبوط بالكتابة،
“Ini adalah
pendalilan dari Abu Hurairah atas apa yang ia sebutkan bahwa hadits ‘Abdullah
bin ‘Amr lebih banyak daripada yang ia ada padanya. Dari ucapan Abu Hurairah ini dapat
diambil faedah bahwa ia menyatakan secara tegas tidak ada shahabat yang
mempunyai hadits lebih banyak darinya kecuali ‘Abdullah bin ‘Amr. Padahal,
hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr lebih sedikit dari Abu
Hurairah (yaitu dalam kitab-kitab hadits). Jika kita katakan pengecualian
(dalam ucapan Abu Hurairah) di atas bersifat terputus, maka tidak ada masalah (isykaal) padanya; karena penjabarannya : ‘akan
tetapi apa yang dilakukan ‘Abdullah, yaitu menuliskan hadits, tidak aku
melakukannya. Sama saja, apakah ia mempunyai lebih banyak hadits ataupun tidak’.
Jika kita katakan bahwa pengecualian tersebut bersifat tersambung, maka
sebabnya bisa dijelaskan dalam beberapa sisi : (1). ‘Abdullah lebih banyak
menyibukkan diri dengan ibadah daripada mengajar, sehingga riwayat yang
diterima darinya lebih sedikit. (2). Setelah penaklukan banyak kota/daerah,
‘Abdullah lebih banyak menetap di Mesir atau Tha’if yang notabene bukan sebagai
tujuan menuntut ilmu seperti halnya Madinah. Sedangkan Abu Hurairah menjadi
tempat rujukan fatwa dan periwayatan hadits hingga ia meninggal. Hal ini
terlihat dari banyaknya orang yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah.
Al-Bukhariy menyebutkan bahwa jumlah mereka mencapai 800 orang dari kalangan
tabi’in. Jumlah ini tidak dicapai oleh shahabat yang lain. (3) Keistimewaan
yang dimiliki Abu Hurairah dari doa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam padanya, bahwa ia tidak akan melupakan apa
yang ia riwayatkan. (4) ‘Abdullah bin ‘Amr lama menetap di Syaam dengan membawa
onta yang mengangkut kitab-kitab Ahli KItab. Ia membacanya dan membicarakannya.
Oleh karena itu, para pemuka tabi’in menjauhkan diri dari mengambil hadits
darinya.
……
Dan tidak
menutup kemungkinan kelebihan ‘Abdullah bin ‘Amr (atas Abu Hurairahradliyallaahu
‘anhum) dipahami sebagai kelebihannya dalam hal penulisan sebelum adanya doa (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam) kepada Abu Hurairah. Karena ia berkata
dalam haditsnya : ‘Semenjak
itu aku tidak pernah melupakan sesuatu’. Maka, boleh jadi ia pernah mengalami
kelupaan atas apa yang didengarnya dari beliau sebelum mendapat doa tersebut.
Berbeda halnya dengan ‘Abdullah, dimana apa-apa yang didengarnya terjaga oleh
tulisan” [Fathul-Baariy, 1/207].
[4] Tentu saja ini berbeda dengan beberapa
pernyataan ulama mutaqaddimiin – misalnya Ibnu Hazm – yang menyatakan
jumlah hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu sebanyak 5374 buah. Wallaahu a’lam.
COMMENTS
Assalamu alaikum
ustadz,
Ada sebuah tulisan yg membantah hal ini, di sini: http://satriasyiah.wordpress.com/2009/03/11/77/
Ada makalahnya, tolong dijawab balik, terutama masalah hadits terakhir yg dia kutip dari Al Hakim yg katanya Abu Hurairah bertemu dgn Ruqayyah istri Utsman, shahihkah hadits itu?
Syukran.
Ada sebuah tulisan yg membantah hal ini, di sini: http://satriasyiah.wordpress.com/2009/03/11/77/
Ada makalahnya, tolong dijawab balik, terutama masalah hadits terakhir yg dia kutip dari Al Hakim yg katanya Abu Hurairah bertemu dgn Ruqayyah istri Utsman, shahihkah hadits itu?
Syukran.
Dalam tulisan tersebut
tidak lebih hanya mengulang-ulang apa yang telah dikatakan pendahulunya. Secara
umum begitu. Tidak ada yang baru.
Adapun hadits yang antum tanyakan adalah sebagai berikut (Al-Mustadrak 4/48):
حدثنا الشيخ أبو بكر بن إسحاق أنبأ علي بن الحسين بن الجنيد ح و حدثنا محمد بن أحمد بن سعيد الرازي إملاء في الجامع حدثنا أبو زرعة الرازي قالا ثنا المعافى بن سليمان الحراني ثنا محمد بن سلمة عن أبي عبد الرحيم عن زيد بن أبي أنيسة عن محمد عبد الله بن عمرو بن عثمان عن المطلب بن عبد الله عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه قال دخلت على رقية بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم امرأة عثمان وبيدها مشط فقالت خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم من عندي آنفا رجلت رأسه فقال لي كيف تجدين أبا عبد الله قلت بخير قال أكرميه فإنه من أشبه أصحابي بي خلقا هذا حديث صحيح الإسناد واهي المتن فإن رقية ماتت سنة ثلاث من الهجرة عند فتح بدر وأبو هريرة إنما أسلم بعد فتح خيبر والله أعلم وقد كتبناه بإسناد آخر
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 834 :
حدثنا الهيثم قال نا الخليل بن عمرو البغوي قال نا محمد بن سلمة الحراني أبو عبد الله عن أبي عبد الرحيم عن زيد بن أبي أنيسة عن محمد بن عبد الله عن المطلب عن أبي هريرة قال دخلت على رقية ابنة رسول الله صلى الله عليه وسلم امرأة عثمان بن عفان وفي يدها مشط فقالت خرج من عندي رسول الله صلى الله عليه وسلم آنفا رجلت رأسه فقال كيف تجدين أبا عبد الله قلت كخير الرجال قال أكرميه فإنه من أشبه أصحابي بي خلقا
Para perawi hadits ini adalah tsiqah, namun ia ma'luul. Dalam sanadnya terdapat Muthallib bin 'Abdillah. Ibnu Hajar berkata dalam At-Taqriib :
المطلب بن عبد الله بن المطلب بن حنطب بن الحارث المخزومي صدوق كثير التدليس والإرسال
"Al-Muthallib bin 'Abdillah bin Al-Muthallib bin Hanthaab bin Al-Haarits Al-Makhzuumiy, shaduuq (jujur), banyak melakukan tadlis dan irsaal" [lihat At-Taqriib 1/534].
Di sini ia (Al-Muthallib) membawakan secara 'an'anah. Jadi riwayat ini adalah dla'iif.
Wallaahu a'lam.
Adapun hadits yang antum tanyakan adalah sebagai berikut (Al-Mustadrak 4/48):
حدثنا الشيخ أبو بكر بن إسحاق أنبأ علي بن الحسين بن الجنيد ح و حدثنا محمد بن أحمد بن سعيد الرازي إملاء في الجامع حدثنا أبو زرعة الرازي قالا ثنا المعافى بن سليمان الحراني ثنا محمد بن سلمة عن أبي عبد الرحيم عن زيد بن أبي أنيسة عن محمد عبد الله بن عمرو بن عثمان عن المطلب بن عبد الله عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه قال دخلت على رقية بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم امرأة عثمان وبيدها مشط فقالت خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم من عندي آنفا رجلت رأسه فقال لي كيف تجدين أبا عبد الله قلت بخير قال أكرميه فإنه من أشبه أصحابي بي خلقا هذا حديث صحيح الإسناد واهي المتن فإن رقية ماتت سنة ثلاث من الهجرة عند فتح بدر وأبو هريرة إنما أسلم بعد فتح خيبر والله أعلم وقد كتبناه بإسناد آخر
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 834 :
حدثنا الهيثم قال نا الخليل بن عمرو البغوي قال نا محمد بن سلمة الحراني أبو عبد الله عن أبي عبد الرحيم عن زيد بن أبي أنيسة عن محمد بن عبد الله عن المطلب عن أبي هريرة قال دخلت على رقية ابنة رسول الله صلى الله عليه وسلم امرأة عثمان بن عفان وفي يدها مشط فقالت خرج من عندي رسول الله صلى الله عليه وسلم آنفا رجلت رأسه فقال كيف تجدين أبا عبد الله قلت كخير الرجال قال أكرميه فإنه من أشبه أصحابي بي خلقا
Para perawi hadits ini adalah tsiqah, namun ia ma'luul. Dalam sanadnya terdapat Muthallib bin 'Abdillah. Ibnu Hajar berkata dalam At-Taqriib :
المطلب بن عبد الله بن المطلب بن حنطب بن الحارث المخزومي صدوق كثير التدليس والإرسال
"Al-Muthallib bin 'Abdillah bin Al-Muthallib bin Hanthaab bin Al-Haarits Al-Makhzuumiy, shaduuq (jujur), banyak melakukan tadlis dan irsaal" [lihat At-Taqriib 1/534].
Di sini ia (Al-Muthallib) membawakan secara 'an'anah. Jadi riwayat ini adalah dla'iif.
Wallaahu a'lam.
Tambahan lagi Ibnu Abi
Hatim berkata dalah Al Jarh wa At-Ta'dil:
مطلب بن عبد الله بن المطلب بن عبد الله بن حنطب روى عن
ابن عباس مرسل (3) وابن عمر مرسل، وابى موسى مرسل، وام سلمة مرسل، وعائشة، مرسل [ ولم يدركها - 4 ] وابى قتادة مرسل [ وابى هريرة، مرسل - 4 ]
Al-Jarh wa At-Ta'dil, nomor 1644 maktabah syamilah).
Jadi menurut Ibnu Abi Hatim bahwa haditsnya dari Abu Hurairah juga mursal.
Lalu Al-'Ala`i juga memasukkannya dalam nama-nama rawi mudallis nomor 774 dan menerangkan perkataan Al Bukhari bahwa dia berkata, "Aku tidak tahu Muththalib ini mendengar langsung dgn seorangpun dari sahabat kecuali perkataannya, "Ada sahabat yg mendengar Nabi saw berkhutbah menceritakan kepadaku..."
Sedangkan Abu Hatim mengatakan bahwa haditsnya mursal dan tidak bertemu dgn sahabat Nabi kecuali Sahl bin Sa'd, Anas, Salamah bin Al Akwa' atau yg dekat dgn itu." (Jami' At Tahshil hal. 281)
Adapun riwayatnya dalam Al Mustadrakn yg satu lagi adalah dha'if jiddan karena melalui jalur Abdul Mun'im bin Idris yg matruk. wallahu a'lam.
wallahu a'lam.
مطلب بن عبد الله بن المطلب بن عبد الله بن حنطب روى عن
ابن عباس مرسل (3) وابن عمر مرسل، وابى موسى مرسل، وام سلمة مرسل، وعائشة، مرسل [ ولم يدركها - 4 ] وابى قتادة مرسل [ وابى هريرة، مرسل - 4 ]
Al-Jarh wa At-Ta'dil, nomor 1644 maktabah syamilah).
Jadi menurut Ibnu Abi Hatim bahwa haditsnya dari Abu Hurairah juga mursal.
Lalu Al-'Ala`i juga memasukkannya dalam nama-nama rawi mudallis nomor 774 dan menerangkan perkataan Al Bukhari bahwa dia berkata, "Aku tidak tahu Muththalib ini mendengar langsung dgn seorangpun dari sahabat kecuali perkataannya, "Ada sahabat yg mendengar Nabi saw berkhutbah menceritakan kepadaku..."
Sedangkan Abu Hatim mengatakan bahwa haditsnya mursal dan tidak bertemu dgn sahabat Nabi kecuali Sahl bin Sa'd, Anas, Salamah bin Al Akwa' atau yg dekat dgn itu." (Jami' At Tahshil hal. 281)
Adapun riwayatnya dalam Al Mustadrakn yg satu lagi adalah dha'if jiddan karena melalui jalur Abdul Mun'im bin Idris yg matruk. wallahu a'lam.
wallahu a'lam.
Oh ya tambahan lagi,
ternyata hadits ini juga ada dalam At-Tarikh Al-Awsath karya Al-Bukhari di
nomor 49 dan dia melemahkannya dgn mengatakan bahwa Muththalib tidak diketahui
pernah mendengar hadits dari Abu Hurairah, bahkan Muhammad pun tidak diketahui
pernah mendengar dari Muththalib.
(At-Tarikh Al-Awsath, juz 1 hal. 292, terbitan Dar Ar-Rasyid Riyadh, cet. tahun 1426 H.)
(At-Tarikh Al-Awsath, juz 1 hal. 292, terbitan Dar Ar-Rasyid Riyadh, cet. tahun 1426 H.)
Komentar
ini telah dihapus oleh administrator blog.
Ada seorang yang
mengirimkan komentar sebagai berikut :
Ini ada artikel yg bisa mematahkan kredibilitas Abu Hurairah, silahkan dijawab dgn ilmiah: http://islamsyiah.******abu-hurairah-bukan-sahabat-nabi/
Ini adalah pengulangan artikel2 lama Syi'ah yang sebenarnya telah dijawab. Banyak di dalamnya nukilan-nukilan dusta, yang sayangnya Anda terima begitu saja.
Bertaburan dalam kitab-kitab hadits dan biografi yang menyebutkan kebershahabatan Abu Hurairah dengan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Perkara orang Syi'ah menolak dan mencela riwayat Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu; bukan sesuatu hal yang aneh. Karena mereka telah menolak dan mencela sesuatu yang lebih besar dari itu....yang jama'ah shahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Bahkan mengkafirkannya !!
Innaalillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.
Ini ada artikel yg bisa mematahkan kredibilitas Abu Hurairah, silahkan dijawab dgn ilmiah: http://islamsyiah.******abu-hurairah-bukan-sahabat-nabi/
Ini adalah pengulangan artikel2 lama Syi'ah yang sebenarnya telah dijawab. Banyak di dalamnya nukilan-nukilan dusta, yang sayangnya Anda terima begitu saja.
Bertaburan dalam kitab-kitab hadits dan biografi yang menyebutkan kebershahabatan Abu Hurairah dengan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Perkara orang Syi'ah menolak dan mencela riwayat Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu; bukan sesuatu hal yang aneh. Karena mereka telah menolak dan mencela sesuatu yang lebih besar dari itu....yang jama'ah shahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Bahkan mengkafirkannya !!
Innaalillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.
hadits beda dengan
sunnah dan amal, sunnah bisa dicatat oleh hadits, begitupula ada sunnah yang
tidak dicatat oleh hadits, tapi sunnah dan hadits semuanya adalah menegaskan
atau memberi petunjuk pelaksanaan tuntunan Allah dalam Qu'an.