Peristiwa-Peristiwa
Penting Menjelang Keruntuhan Khilafah Bani Abbâsiyah
Oleh Ustadz Abu Ihsan
al-Atsary
http://abunamira.wordpress.com/2014/02/05/peristiwa-peristiwa-penting-menjelang-keruntuhan-khilafah-bani-abbasiyah/
Posted on 5 Februari 2014 by abunamirahasna Standar
Bani Abbâsiyah atau
kekhalifahan Abbâsiyah adalah kekhalifahan Islam kedua yang berkuasa di Baghdad
(sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan
dunia Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan. Kekhalifahan ini berkuasa setelah
merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia.
Bani Abbâsiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang termuda, yaitu Abbâs bin Abdul Muththalib (566 H – 652
H). Oleh karena itu mereka juga termasuk Bani Hâsyim. Kekhilafahan ini berkuasa
mulai tahun 750 M dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang
selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang
sebelumnya merupakan bagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan
dikenal dengan sebutan Mamlûk. Selama 150 tahun berkuasa, kekhalifahan dipaksa
untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering
disebut amîr atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah
yang melarikan diri, Marocco dan Africa kepada Aghlabid dan Fathimiyah.
Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 M disebabkan serangan bangsa Mongol yang
dipimpin Hulaghu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun
dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.
Bani Abbâsiyah berhasil
memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali
kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan
budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 M kekuatan kekhalifahan menyusut
ketika orang-orang non-Arab, khususnya bangsa Turki (kemudian diikuti oleh
Mamlûk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan
mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Khilafah Abbâsiyah merupakan
kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari
khilafah ini adalah Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullâh bin
al-Abbâs rahimahullah. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbâsiyah
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d. 656
H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik, ahli sejarah membagi masa pemerintahan Daulah
Abbâsiyah menjadi lima periode :
1. Periode Pertama (132 H/750
M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M
– 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945
M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan
khilafah Abbâsiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447
H/1055 M – 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan
khilafah Abbâsiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di
bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
5. Periode Kelima (590 H/1194
M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi
kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi
dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama
pemerintahan Bani Abbâsiyyah mencapai masa keemasan. Secara politis, para
khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan
agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat
tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi ilmu pengetahuan
dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai
menurun dalam bidang politik, meskipun ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu
al-Abbâs, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M.
Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja’far al-Manshûr (754-775 M), yang keras menghadapi
lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij dan juga Syi’ah. Untuk
memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingannya
disingkirkan satu persatu. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah
pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di
Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya. al-Manshûr
memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati
Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi
pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara
adalah al-Hâsyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga
stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Manshûr memindahkan ibu kota negara
ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon,
tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbâs berada di
tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshûr melakukan
konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam
lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan
tradisi baru dengan mengangkat wazîr (Perdana Menteri) sebagai koordinator dari
kementrian yang ada. Wazîr pertama yang diangkat adalah Khâlid bin Barmak,
berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara,
sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan
bersenjata. Dia menunjuk Muhammad bin Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga
kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah
ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk
mengantar surat. Pada masa al-Manshûr, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun
seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat
berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku
gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshûr berusaha
menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari
pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara
usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia,
wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya
melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia
berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M,
Byzantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan
pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus
dan India.
Kalau dasar-dasar
pemerintahan Daulah Abbâsiyah diletakkan dan dibangun oleh Abul Abbâs as-Saffah
dan al-Manshûr, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh
khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hâdi (775- 786 M), Harun
ar-Rasyîd (786-809 M), al-Ma’mûn (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M),
al-Watsîq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi
perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui
irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan
besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa
kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas Daulah Abbâsiyah
mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun ar-Rasyîd t (786-809 M) dan
puteranya al-Ma’mûn (813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun
al-Rasyîd untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga
pendidikan dokter dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar
800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun.
Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara
Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
DIAMBANG KERUNTUHAN
Faktor yang menyebabkan peran politik Bani Abbâsiyyah menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang Bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbâsiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Faktor yang menyebabkan peran politik Bani Abbâsiyyah menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang Bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbâsiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani
Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan
tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan
seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut
jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut
kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas.
Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah
bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih
dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah
kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode
ketiga (334-447 H/l055 M), Daulah Abbâsiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan
Bani Buwaih yang berpaham Syi’ah.
Faktor-faktor penting yang
menyebabkan kemunduran Daulah Bani Abbâsiyah pada masa ini, sehingga banyak
daerah memerdekakan diri, adalah :
1. Luasnya wilayah kekuasaan
daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan.
Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan
pelaksana pemerintahan sangat rendah.
2. Profesionalisasi angkatan
bersenjata membuat ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat
sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada
saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak
ke Baghdad.
4. Posisi-posisi penting
negara dipercayakan kepada ahli bid’ah, khususnya jabatan wazîr (perdana
menteri) dan penasihat yang diserahkan kepada Syi’ah.
5. Penyakit wahan (cinta
dunia dan takut mati) yang menguasai para penguasa dan jajarannya.
KEMEROSOTAN EKONOMI
Khilafah Abbâsiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Khilafah Abbâsiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki
periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat
lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin
menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu
perekonomian rakyat. Diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil
yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran
membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat
semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan
korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara
morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan
politik dinasti Abbâsiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak
terpisahkan.
MUNCULNYA ALIRAN-ALIRAN SESAT
DAN FANATISME KESUKUAN
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. al-Manshûr berusaha keras memberantasnya, bahkan al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka.
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. al-Manshûr berusaha keras memberantasnya, bahkan al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka.
Konflik antara ahlus Sunnah
dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana
seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang
menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah
contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai
tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga
banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang
oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran yang
berlawanan dengan paham Ahlussunnah.
ANCAMAN DARI LUAR
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbâsiyah lemah dan akhirnya hancur.
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbâsiyah lemah dan akhirnya hancur.
Perang Salib yang berlangsung
beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
Serangan tentara Mongol ke
wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen
Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M)
mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan
orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara
komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang
tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib. Pengaruh
perang salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa
Hulaghu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak
dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen
berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di
kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan
pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerusalem.
SERANGAN BANGSA MONGOL DAN
KERUNTUHAN BAGHDAD
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah al-Musta’shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 – 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung “topan” tentara Hulaghu Khan.
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah al-Musta’shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 – 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung “topan” tentara Hulaghu Khan.
Jatuhnya kota Baghdad pada
tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah
Bani Abbâsiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik
dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban
Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap
dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.
Berikut ini detik-detik
runtuhnya Khilafah Abbâsiyah dan jatuhnya Baghdad seperti yang direkam oleh Ibnu
Katsîr rahimahullah :
“Runtuhnya Baghdad di tangan
bangsa Mongol (Tatar) tidak lepas dari pengkhianatan yang dilakukan oleh wazîr
(perdana menteri) Muhammad bin al-Alqami, seorang penganut paham Syi’ah yang
sangat dendam terhadap Ahlussunnah. Ia menjabat wazîr (Perdana Menteri) bagi
Khalifah al-Musta’shim billah, khalifah terakhir Bani Abbas di Iraq,
Ini terjadi pada tanggal 12
Muharram 656 H. Hulaghu Khan, cucu Jengghis Khan mengepung Baghdad dengan
seluruh bala tentaranya yang berjumlah lebih kurang 200.000 personil. Mereka
mengepung istana Khalifah dan menghujaninya dengan anak panah dari segala
penjuru, hingga menewaskan seorang budak wanita yang sedang menari di hadapan
Khalifah untuk menghiburnya. Budak wanita itu adalah seorang selir yang bernama
Arafah. Sebilah anak panah datang dari arah jendela menembus tubuhnya pada saat
ia menari di hadapan Khalifah. Hal itu membuat cemas Khalifah dan ia amat
terkejut. Pada anak panah yang menewaskan selirnya itu mereka dapati tulisan,
“Jika Tuhan hendak melaksanakan ketentuan-Nya maka Dia akan melenyapkan akal
waras orang yang berakal.” Setelah kejadian itu Khalifah memerintahkan agar
memperketat keamanan.
Pengkhianatan Ibnul al-Alqami
yang begitu dendam terhadap Ahlussunnah ini disebabkan pada tahun sebelumnya
(655 H) pecah peperangan hebat antara kaum Sunni dan Syi’ah yang berakhir
dengan direbutnya kota al-Karkh yang merupakan pusat kaum Syi’ah Rafidhah,
beberapa rumah milik sanak famili Ibnu al-Alqami sempat kena jarah.
Sebelum runtuhnya Baghdad,
Ibnul al-Alqami secara diam-diam mengurangi jumlah tentara, yaitu dengan
memecat sebagian besar tentara dan mencoret mereka dari dinas kemiliteran.
Sebelumnya, jumlah tentara pada masa kekhalifahan al-Mustanshir mencapai
100.000 personil. Jumlah ini terus dikurangi oleh Ibnu al-Alqami hingga menjadi
10.000 personil saja.
Kemudian setelah itu, barulah
ia mengirim surat rahasia kepada bangsa Mongol dan memprovokasi mereka untuk
menyerang Baghdad. Dalam surat tersebut dia beberkan kelemahan angkatan
bersenjata Daulah Abbâsiyah. Ini merupakan salah satu sebab begitu mudahnya
pasukan Mongol menguasai Baghdad.
Semua itu dilakukan oleh Ibnu
al-Alqami untuk melampiaskan dendam kesumatnya dan ambisinya untuk melenyapkan
sunnah dan memunculkan bid’ah syi’ah Rafidhah, wallahul musta’an.
Tatkala pasukan Mongol
mengepung benteng kota Baghdad pada tanggal 12 Muharram 656 H, mulailah wazir
Ibnu al-Alqami menunjukkan pengkhianatannya yang kedua, yaitu dialah orang yang
pertama kali menemui pasukan Mongol. Dia keluar bersama keluarga, pembantu dan
pengikutnya menemui Hulaghu Khan untuk meminta perlindungan kepadanya. Kemudian
dia kembali ke Baghdad lalu membujuk Khalifah agar keluar bersamanya untuk
menemui Hulaghu Khan dengan alasan bahwa Hulaghu ingin berdamai dengannya dan
mengawinkan puterinya dengan putera Khalifah serta pembagian hasil devisa
setengah untuk Khalifah dan setengah untuk Hulaghu.
Maka berangkatlah Khalifah
bersama para qadhi, ahli fiqh, kaum sufi, tokoh-tokoh negara, masyarakat dan
petinggi-petinggi negara dengan 700 kendaraan. Tatkala mereka hampir mendekati
markas Hulaghu mereka ditahan oleh pasukan Mongol dan tidak diizinkan bertemu
Hulaghu kecuali Khalifah bersama 17 orang saja.
Lalu Khalifah pun menemui
Hulaghu Khan bersama 17 orang tersebut sedangkan yang lain menunggu di atas
tunggangan mereka. Sepeninggal Khalifah, mereka dirampok dan dibunuh oleh
pasukan Mongol. Selanjutnya, Khalifah dibawa ke hadapan Hulaghu dan disandera
bersama 17 orang yang ikut dengannya. Mereka diteror, diancam dan diintimidasi
serta dipaksa agar menyetujui apa yang diinginkan oleh Hulaghu.
Kemudian Khalifah kembali ke
Baghdad bersama Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin ath-Thusi yang semadzhab dengan
Ibnul al-Alqami. Dan dibawah rasa takut dan tekanan yang hebat Khalifah pun
mengeluarkan emas, perak, perhiasan, permata dan barang-barang berharga lainnya
yang jumlahnya sangat banyak untuk diserahkan kepada Hulaghu. Akan tetapi
sebelumnya Ibnu al-Alqami bersama Nashiruddin ath-Thusi sudah membisiki Hulaghu
agar tidak menerima tawaran perdamaian dari Khalifah. Mereka berhasil
mempengaruhi Hulaghu bahwa perdamaian itu hanya bertahan 1 atau 2 tahun saja.
Mereka pun mendorong Hulaghu agar menghabisi Khalifah.
Tatkala Khalifah kembali
dengan membawa barang-barang yang banyak, Hulaghu justeru menginstruksikan agar
mengeksekusi Khalifah. Maka pada hari Rabu tanggal 14 Shafar terbunuhlah
Khalifah al-Musta’shim billahi. Dalang dibalik terbunuhnya Khalifah adalah Ibnu
al-Alqami dan Nashiruddin ath-Thusi.
Bersamaan dengan gugurnya
Khalifah maka pasukan Mongol pun menyerbu masuk ke Baghdad tanpa perlawanan
yang berarti. Dengan demikian, jatuhlah Baghdad di tangan pasukan Mongol.
Dilaporkan bahwa jumlah orang yang tewas kala itu adalah 2 juta jiwa.Tak ada
yang selamat kecuali Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang meminta
perlindungan kepada pasukan Mongol atau berlindung di rumah Ibnu al-Alqami
serta para konglomerat yang membagi-bagikan harta mereka kepada pasukan Mongol
dengan jaminan keamanan pribadi…!
BELAJAR DARI SEJARAH
Ibnu Katsir dan Ibnul Atsir yang mengabadikan kisah pilu ini dalam kitab mereka (al-Bidayah wan Nihayah, juz 18 halaman 213-224) mengatakan, “Kalau bukan untuk memberikan pelajaran kepada generasi yang akan datang, kami malu menyantumkan kisah tragis ini dalam buku kami.”
Ibnu Katsir dan Ibnul Atsir yang mengabadikan kisah pilu ini dalam kitab mereka (al-Bidayah wan Nihayah, juz 18 halaman 213-224) mengatakan, “Kalau bukan untuk memberikan pelajaran kepada generasi yang akan datang, kami malu menyantumkan kisah tragis ini dalam buku kami.”
Demikianlah, mengangkat orang
kafir dan ahli bid’ah sebagai pemangku jabatan merupakan salah satu faktor
penyebab kehancuran Daulah Bani Abbâsiyah. Disamping itu, jauhnya umat dari
Islam dan sikap mereka yang memusuhi sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam merupakan salah satu sebab yang mempercepat kehancuran suatu negeri.
Ingatlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang
yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih. [an-Nûr/24:63]
.
Demikian pula, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
.
Demikian pula, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
جُعِلَ الذُّلُّ وَ الصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي
Akan ditimpakan kehinaan dan
kerendahan bagi siapa saja yang menyalahi perintahku [1]
Apa yang terjadi dahulu tidak
jauh berbeda dengan apa yang terjadi sekarang.
Umat manusia sekarang ini,
berada dalam jurang yang sangat terjal dan dalam. Belenggu-belenggu kebinasaan
siap menghancurleburkan mereka. Realita ini merupakan akibat buruk yang dipetik
oleh umat manusia karena telah menjauh dari al-haq. Mereka menjadi
bulan-bulanan panah kebatilan. Kenyataan yang ada cukup menjadi bukti dan petunjuk
yang jelas. Tanda-tanda kehancuran itu terpampang jelas di hadapan setiap orang
yang masih punya pikiran waras dan punya pengetahuan. Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa mereka akan terpecah belah dan terpuruk, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata :
إِنَّ اْلإِسْلاَمُ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
Islam pada awalnya asing
kemudian akan kembali asing maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing
(ghurabaa’)[2]
Hadits ghuraba’ di atas
merupakan gambaran global dari suatu perkara yang detail. Hadits di atas
menegaskan bahwa Islam akan kembali asing di tengah kehidupan manusia. Keadaan
itu berarti manusia secara keseluruhan telah keluar dari jalur Islam. Mereka
menempuh jalur yang terjal dan curam lagi berat. Berbagai bentuk kehinaan dan
keterpurukan terus menimpa mereka. Dan pada akhirnya mereka harus gigit jari
seraya menyesali nasib diri, namun…….penyelasan tiada berguna![3]
Umat manusia berpaling dari
Kitabullah, lalu menggantinya dengan undang-undang buatan manusia dan
menjadikannya sebagai pedoman dalam berbagai bidang kehidupan.
Para penguasa menyedot
kekayaan negara untuk dirinya sendiri dan menetapkan hukum secara
sewenang-wenang terhadap masyarakat menurut selera mereka. Siapa saja yang
menyanjung perbuatan mereka yang melanggar syariat pasti akan dinaikkan
pangkatnya. Dan siapa saja yang menyelisihi atau mengingkari kemungkaran dan
perbuatan buruk itu pasti akan dihancurkan haknya dan akan direndahkan
kedudukannya. Itulah yang diisyaratkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sebuah hadits :
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
Sepeninggalku nanti kalian
akan melihat atsarah (lebih mementingkan urusan dunia-pent) dan perkara-perkara
agama yang kalian ingkari.” Para sahabat bertanya: “Apa yang engkau perintahkan
kepada kami wahai Rasûlullâh ?” Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tunaikanlah hak-hak penguasa dan mintalah kepada Allâh Azza wa Jalla hak-hak
kalian.”[4]
Seiring rusaknya kehidupan
politik yang semakin terpuruk, pada akhirnya juga merusak kehidupan sosial
hingga jatuh ke derajat yang paling hina dan rendah. Sebagaimana dimaklumi
bahwa aspek-aspek kehidupan manusia saling terkait satu sama lainnya.
Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa akan muncul nanti beberapa kaum yang
tidak lagi menepati perjanjian dan melesat keluar dari agama. Mereka melakukan
apa yang tidak diperintahkan, memberikan persaksian sedangkan mereka tidak
diminta untuk bersaksi.
Karakter yang paling tepat
bagi zaman kita sekarang ini adalah firman Allah:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
Maka datanglah sesudah
mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan
hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan. [Maryam/19:59]
Ini merupakan kondisi umum
manusia sekarang. Manusia telah menjadi hamba nafsu syahwatnya bagaikan seekor
anjing yang selalu menjulurkan lidahnya. Mereka tega menjual kehormatan dan
amanat dengan harga yang murah di pasar murahan dan hina. Mereka rela
mempersembahkan diri sebagai tumbal syahwat. Mereka ini tidak mengingkari
kemungkaran dan tidak mengenal perkara kebajikan (kecuali segelintir orang yang
dirahmati Allâh dan itupun jumlahnya sangat sedikit). Bahkan sebaliknya, mereka
menyuruh kepada perkara mungkar dan melarang dari perkara yang ma’ruf dengan
meneriakkan slogan-slogan yang gemerlap lagi menipu, dengan kata-kata yang
penuh hiasan dan kiasan, lewat mulut-mulut penuh dusta dan lisan-lisan para
kaum munafik.
Sebagai akibat langsung
keterpurukan politik dan keganjilan sosial masyarakat maka yang menjadi penentu
segala sikap dan kebijakan adalah dinar dan dirham (uang). Uang begitu
mendominasi kehidupan manusia sehingga menjadi sangat diagungkan dan didewakan.
Manusia pun menyungkur sujud menyembah uang di samping menyembah Allâh Azza wa
Jalla . Sampai-sampai yang menjadi semboyan manusia sekarang ini adalah, “Siapa
yang tidak punya uang tidak akan dipandang. Harga seorang manusia dilihat dari
harta yang dimilikinya!”
Sehingga demi meraih
kebahagian hidup yang diiming-imingi oleh iblis dan bala tentaranya, maka
merekapun menghalalkan segala cara.
Para penguasa yang berkuasa
di negeri-negeri Islam menjauhkan generasi Muslim dari nilai-nilai Islam yang
merupakan keistimewaan dan menjadi kebanggaan setiap muslim serta menjadi
penggerak bagi jiwa menuju kemuliaan. Lalu mereka menggantinya dengan budaya
rendahan, sia-sia dan penuh dusta. Maka lahirlah generasi yang minim
pengetahuan, tidak memiliki pengetahuan agama dan tidak pernah merasakan cita
rasa ilmu. Lantas mereka mengangkat orang-orang jahil sebagai pemimpin. Apabila
mereka dimintai fatwa oleh masyarakat, mereka berfatwa tanpa ilmu, akibatnya mereka
sesat lagi menyesatkan.
Realita di atas menimbulkan
dampak munculnya kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang saling bermusuhan
dan bertentangan. Sehingga umat Islam menjadi terpecah belah berkeping-keping
tak karuan.
Fenomena kelompok tersebut memicu
pertentangan dan menyebabkan tercerai berainya barisan. Dan juga menebar benih
perpecahan dan permusuhan di tubuh umat yang satu. Sehingga dengan mudah musuh
dapat memporakporandakan negeri-negeri kaum Muslimin, menjajah dan menjarah
harta kekayaan mereka, wallâhul musta’ân.
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan taatlah kepada Allâh dan
Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi
gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allâh beserta
orang-orang yang sabar. [al-Anfâl/8:46]
Kita harus belajar dari
sejarah, mengambil ibrah dari apa yang telah dialami oleh para pendahulu kita.
Merupakan karakter umat ini adalah tidak jatuh dalam satu lobang dua kali,
apalagi berkali-kali. Keruntuhan khilafah Abbâsiyah bukanlah terjadi begitu
saja, tetapi ada sebab-sebab yang memicunya. Bila kita tidak belajar dari
sejarah umat terdahulu maka bukan tidak mungkin kita akan mengalami apa yang
sudah mereka alami.
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 07/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ (2831).
[2]. HR. Muslim.
[3]. Al-Jamâ’ah al-Islâmiyah fi Dhauil Kitâb was Sunnah, tulisan Syaikh Salîm bin ‘Ied al-Hilâli.
[4]. HR. al-Bukhâri
_______
Footnote
[1]. HR. Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ (2831).
[2]. HR. Muslim.
[3]. Al-Jamâ’ah al-Islâmiyah fi Dhauil Kitâb was Sunnah, tulisan Syaikh Salîm bin ‘Ied al-Hilâli.
[4]. HR. al-Bukhâri
Sumber : al-Manhaj.or.id