Membongkar
hubungan Quraish Shihab dengan Syi'ah dan Penyimpangannya mengenai tafsir
Jilbab.
Apakah
Hukum Usaha Mendekatkan Antara Ahli Sunnah Yang Bertauhid Dengan Rafidhah Yang
Musyrik?
Saudaraku pembaca yang
budiman, saya cukupkan saja dalam masalah ini, dengan mencantumkan tulisan dari
tulisan-tulisan DR. Nashir Al Qafari di dalam kitabnya : “Masalah At Taqriib”,
yaitu tulisan yang ke tujuh, dimana beliau berkata -semoga Allah menjaganya :
“Bagaimana mungkin mendekatkan antara orang
yang mencaci kitab Allah dan menafsirkannya tidak sesuai dengan tafsirannya,
dan mendakwakan turunnya kitab-kitab ilahi (wahyu) kepada imam-imamnya setelah
Al Quranul Karim?, dan ia memandang keimaman itu adalah kenabian, para imam
baginya seperti para nabi dan bahkan lebih mulia, dan ia menafsirkan
mengibadati Allah semata yang mana itu adalah inti dari misi (ajaran) para
rasul seluruhnya tidak sesuai dengan maknanya yang hakiki, dan mendakwakan
bahwa sesungguhnya ibadah itu adalah ta’at kepada para imam. dan sesungguhnya
syirik kepada Allah adalah mentaati selain mereka (para imam) bersama mereka,
ia mengkafirkan orang-orang yang terbaik dari para sahabat rasulullah, dan
mengkliem seluruh para sahabat dengan murtad, kecuali tiga atau empat atau
tujuh sesaui dengan perbedaan riwayat mereka. Dan orang ini (orang Syiah)
tampil berbeda dengan keganjilan dari jamaah kaum muslimin dengan
masalah-masalah akidah dan keyakinan di dalam keimaman, kemaksuman (terjaga
dari dosa), taqiyah (kemunafikan), dan mengatakan raj’ah (imam kembali ke
dunia), Al qhaibah (menghilangnya As Kaari) dan Al Bada’”. [“Masalah At
Taqriib” DR. Nashir Al-Qafari 2/302]
Salah satu mata acara saat
Sahur, di Metro TV, Jakarta, disajikan tanya jawab keagamaan (Islam) antara
sejumlah audiens dengan narasumber kesohor yaitu Quraish Shihab. Dia ini pria
kelahiran Rappang (Sulawesi Selatan) pada 16 Februari 1944, pernah menjabat
sebagai rector IAIN Jakarta, kemudian menjadi Menteri Agama RI selama 70 hari
di akhir masa pemerintahan Soeharto yang lengser Mei 1998.
Di acara Metro TV, salah
seorang peserta ketika mengajukan pertanyaan berkenaan dengan latar belakang
adanya kebiasaan memperingati atau merayakan hari anak yatim (10 Muharram),
Quraish Shihab menjawabnya dengan memasukan doktrin Syi’ah tentang perang
Karbala yang menewaskan cucu Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam yakni
Husein radhiyallahu ‘anhu. (Metro TV edisi Selasa 02 Ramadhan 1429 H bertepatan
dengan 02 September 2008)
Menurut Quraish Shihab,
perayaan anak yatim yang bertepatan dengan tanggal 10 Muharram itu adalah untuk
mengenang kematian Husein radhiyallahu ‘anhu dan keluarganya yang tewas pada
perang Karbala. Dari peperangan itu menghasilkan banyak anak yatim. Peristiwa
Karbala yang menewaskan Husein radhiyallahu ‘anhu terjadi pada 10 Muharram
tahun 61 Hijriyah.
Jawaban khas Syi’ah ala
Quraish Shihab itu, menunjukkan bahwa ia memang penganjur Syi’ah yang konsisten
dan gigih. Di berbagai kesempatan, bila ada peluang memasukkan doktrin dan
ajaran Syi’ah, langsung dimanfaatkannya, apalagi di hadapan audiens yang awam
(tidak mengerti apa itu Syi’ah, dan bagaimana ajarannya yang sesat dan
menyesatkan).
Pada
dasarnya, Islam sangat memuliakan anak yatim. Semasa Rasulullah shallallohu
‘alaihi wa sallam masih hidup, anjuran untuk menyantuni anak yatim sudah
disosia-lisasikan bahkan dipraktekkan sendiri. Artinya, anjuran dan praktek itu
sudah ada jauh sebelum Husein radhiyallahu ‘anhu wafat. Sehingga pernyataan
Quraish Shihab tersebut terkesan ahistoris, bila menyantuni anak yatim
dikaitkan dengan kematian Husein radhiyallahu ‘anhu di Karbala.
Dalam salah satu hadits
riwayat An-Nasa’i, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
9150
- عن أبي شريح الخزاعي قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم :{اللَّهُمَّ إنِّي
أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ : حَقَّ الْيَتِيمِ وَ حَقَّ الْمَرْأَةِ}(سنن
النسائي الكبرى - (ج 5 / ص 363)
Ya Allah sungguh saya
mengharamkan (penyia-nyiaan) hak dua macam manusia yang lemah yaitu: hak anak
yatim dan hak wanita. (HR An-Nasaai nomor 9150).
Namun demikian, dalam
ajaran Islam tidak ada waktu-waktu khusus yang ditetapkan untuk memperingati
atau merayakan anak yatim. Tanggal 10 Muharram yang oleh sebagian kalangan
dijadikan momentum merayakan atau memperingati atau menyantuni anak yatim
–sebagaimana dilakukan oleh sejumlah masjid yang secara madzhab dan kultural
dekat dengan NU– pada dasarnya tidak ada contohnya. Pada tangal 9 dan 10
Muharram ummat Islam disunahkan berpuasa.
Dalam Hadits Shahih
Riwayat Muslim,
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ : يُكَفِّرُ
السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ .( رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Rasulullah shallallohu
‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari ‘Asyura’, maka beliau menjawab,
“Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin.” (HR
Muslim).
___________________________________________________
Benarkah
Quraish Shihab penganut paham Syi’ah?
LPPI
pernah mendapatkan surat pernyataan dari Osman Ali Babseil (PO Box 3458 Jedah,
Saudi Arabia, dengan nomor telepon 00966-2-651 7456). Usianya kini sekitar 74
tahun, lulusan Cairo University ...tahun 1963.
Dengan sungguh-sungguh
seraya berlepas diri dari segala dendam, iri hati, ia menyatakan:
1.
Sebagai teman dekat sewaktu mahasiswa di Mesir pada tahun 1958-1963, saya
mengenal benar siapa saudara Dr. Quraish Shihab itu dan bagaimana perilakunya
dalam membela aqidah Syi’ah.
2.
Dalam beberapa kali dialog dengan jelas dia menunjukkan sikap dan ucapan yang
sangat membela Syi’ah dan merupakan prinsip baginya.
3.
Dilihat dari dimensi waktu memang sudah cukup lama, namun prinsip aqidah
terutama bagi seorang intelektual, tidak akan mudah hilang/dihilangkan atau
berubah, terutama karena keyakinannya diperoleh berdasarkan ilmu dan
pengetahuan, bukan ikut-ikutan.
4.
Saya bersedia mengangkat sumpah dalam kaitan ini dan pernyataan ini saya buat
secara sadar bebas dari tekanan oleh siapapun.
Pernyataan
itu dibuat Osman Ali Babseil sepuluh tahun lalu (Maret 1998), namun hingga kini
masih relevan, karena Quraish Shihab pun hingga kini terbukti masih
menyebarluaskan doktrin Syi’ah.
Ke-Syi’ah-an
Quraish Shihab juga terlihat ketika ia meluncurkan Ensiklopedi Al-Qur’an:
Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya, yang diterbitkan oleh Bayt Al-Qur’an dan Museum
Istiqlal bekerjasama dengan Yayasan Bimantara (2007). Salah satu indikasinya,
dalam Ensiklopedi itu terlalu gandrung menggunakan tafsir Syi’ah Al Mizan
karangan Tabataba’i sebagai referensi dalam penulisan entri. Bahkan dapat
dikatakan, rujukan utama Ensiklopedi ini adalah tafsir Syi’ah yang memberikan
penafsiran terhadap Al-Qur’an sesuai dengan pemahaman aliran Syi’ah yang
memusuhi sahabat-sahabat Nabi Muhammad shallallohu ‘alaihi wa sallam.
Contoh lain ketika ia
menerbitkan buku berjudul Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Pada
buku itu antara lain dikatakan, bahwa di antara Sunnah-Syi’ah terdapat kesamaan
dalam prinsip-prinsip ajaran, sedang dalam rinciannya terdapat perbedaan. Namun
persamaannya jauh lebih banyak. Ini bisa dilihat dari masalah keimanan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala dan hari kemudian, ketaatan kepada Rasul dan
mengikuti apa yang dinilai sah bersumber dari beliau, serta melaksanakan Rukun
Islam yang lima.
Benarkah
demikian?
Dalam
buku Syi’ah sendiri dinyatakan: Abi Abdullah berpesan; sesungguhnya dunia dan
akhirat adalah kepunyaan Imam, diberikannya kepada yang dikehendakinya dan
ditolaknya bagi yang tak diingininya. Ini kekuasaan yang diberikan oleh Allah
kepada Imam. Sebagaimana ditulis oleh Muhammad bin Ya’kub al-Kulaini dalam
kitab Ushul Kafi, khususnya pada bab yang berjudul Bumi Seluruhnya Adalah Milik
Imam.
Salah satu ulama Syi’ah
lainnya, Jakfar as-Shadiq diklaim mengatakan:
“Yang punya bumi adalah
Imam, maka apabila Imam keluar kepadamu cukuplah akan menjadi cahaya (nur).
Manusia tidak akan memerlukan matahari dan bulan.” (lihat Tarjumah Maqbul
Ahmad, hal. 339). Tarjumah Maqbul Ahmad. (bahasa Urdu) hal. 339. Diterjemahkan
secara harfiyah.
Padahal, Allah subhanahu
wa ta’ala mengatakan dalam Al-Qur’an, surat al-Araf:
إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya bumi adalah kepunyaan Allah, diwariskan kepada
orang yang dikehendaki-Nya”. (QS Al-A’raf: 128)
Menurut
Quraish pula, secara bahasa Suni atau Sunah berarti perilaku atau tindakan
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan Syi’ah berarti mengikuti,
maksudnya adalah menjadi pengikut Nabi Muhammad shallallohu ‘alaihi wa sallam.
Karena itu, semua Sunah adalah Syi’ah, dan semua Syi’ah adalah Sunah. Karena
mereka yang mengikuti perilaku Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam adalah
pengikutnya Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam dan begitu juga
sebaliknya.
Padahal,
makna Syi’ah adalah pengikut (‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu). Quraish
jelas telah memanipulasi makna Syi’ah. Kalau Sunnah dan Syi’ah tidak ada
perbedaan, tentu tak perlu repot-repot mengidentifikasikan dirinya dengan nama
yang berbeda. (lihat tulisan berjudul Ahmadiyah, Syi’ah dan Liberal, April 7,
2008 2:30 am).
Penyimpangannya
dalam Masalah Jilbab
Selain
berpaham Syi’ah militan, Quraish Shihab juga berbanjar bersama-sama dengan
sejumlah orang yang menempatkan berjilbab (menutup aurat) pada posisi
khilafiah, sebagaimana ditulisnya dalam sebuah buku berjudul Jilbab, Pakaian
Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer di tahun
2006.
Menurut
Quraish, ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung
aneka interpretasi. Selain itu, ketetapan
hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat
zhanniy yakni dugaan semata. Quraish juga bersikap, bahwa adanya perbedaan
pendapat para pakar hukum tentang batasan aurat adalah perbedaan antara
pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman
serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertim-bangan-pertimbangan
nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas.
Sikap seperti itu jelas menepis Al-Qur’an. Sebab, Allah sudah secara tegas
berfirman melalui surat Al-Ahzaab ayat 59:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(59)
Hai Nabi katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
pengampun lagi Maha penyayang. (QS Al-Ahzab/ 33: 59).
Sedangkan berkenaan dengan
batasan aurat, sudah secara tegas difirmankan melalui surat QS An Nuur ayat 31:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ
مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ
النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ
زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(31)
Katakanlah kepada wanita
yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau
putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.” (QS An-Nur/ 24: 31).
Sebab
turunnya ayat ini, dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Asma’ binti Murtsid
pemilik kebun kurma, sering dikunjungi wanita-wanita yang bermain-main di
kebunnya tanpa berkain panjang sehingga kelihatan gelang-gelang kakinya,
demikian juga dada dan sanggul-sanggul mereka. Berkatalah Asma’: 揂langkah buruknya (pemandangan) ini. Turunlah ayat ini (S.24:31) sampai عَوْرَاتِ النِّسَاءِ auratinnisa (aurat wanita) berkenaan dengan peristiwa tersebut
yang memerintahkan kepada Kaum Mu’minat untuk menutup aurat mereka.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muqatil yang bersumber dari Jabir bin
Abdillah.)
Sebab
turunnya ayat (penggalan selanjutnya QS 24: 31) ini, dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa seorang wanita membuat dua kantong perak yang diisi untaian
batu-batu mutu manikam sebagai perhiasan kakinya. Apabila ia lewat di hadapan
sekelompok orang-orang, ia memukul-mukulkan kakinya ke tanah sehingga dua
gelang kakinya bersuara beradu
. Maka turunlah kelanjutan
ayat ini ( S. 24 : 31, dari وَلَا
يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ “wala yadlribna bi arjulihinna” sampai akhir
ayat) yang melarang wanita menggerak-gerakan anggota tubuhnya untuk mendapatkan
perhatian laki-laki. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari
Hadhrami). (KHQ Shaleh dkk, Asbabun Nuzul, CV Diponegoro, Bandung, cetakan 7,
tt, hlm 356).
_________________________________________________
Fatwa-fatwa
tentang jilbab.
Mari
kita bandingkan pendapat Quraish Shihab tersebut di atas dengan fatwa-fatwa
berikut ini.
1.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh berfatwa :
Bahwa wanita itu adalah
aurat, diperintahkan untuk berhijab dan menutup. Dan dilarang tabarruj (membuka
aurat yang diperintahkan untuk ditutupi, atau berhias dan bertingkah laku untuk
dilihat lelaki) dan dilarang memperlihatkan perhiasannya, kecantikannya, dan
bagian-bagian tubuh yang menimbulkan fitnah. Allah Ta’ala berfirman dalam
Surat Al-Ahzab ayat 59, QS An-Nur: 31, dan QS Al-Ahzab: 33.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Dan hendaklah kamu tetap
di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu (QS Al-Ahzab/ 33: 33). (Fatawa dan surat-surat Muhammad
bin Ibrahim Alu Al-Syaikh juz 2/ halaman 124).
2.
Fatwa dari Qitho’il Ifta’ di Kuwait:
Wajib atas perempuan
muslimah sejak umur baligh untuk menutup seluruh badannya selain wajah dan dua
tapak tangannya. Hal itu apabila ia keluar dari rumahnya atau adanya laki-laki
bukan mahramnya, maka tidak boleh bagi perempuan muslimah menampakkan kepada lelaki
ajnabi (bukan mahramnya) sebagian tubuhnya seperti: rambutnya, atau lehernya,
atau hastanya (lengan/ dzira’) atau betisnya yang oleh sebagian wanita muslimah
biasa terbuka pada masa kini menirukan orang bukan Islam. Apabila wanita
muslimah menampakkan sebagian dari tubuhnya itu maka sungguh dia telah berbuat
haram yang telah pasti haramnya.
Dalil
atas wajibnya wanita menutup seluruh badannya selain wajah dan dua tapak tangan
adalah nash-nash yang banyak dari Al-Qur’anul karim dan sunnah Nabi yang shahih.
Di antaranya firman Allah Ta’ala dalam QS An-Nur: 31.
Maksud
dari firman-Nya
إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
(kecuali yang (biasa) nampak daripadanya) adalah
wajah dan dua tapak tangan. Sebagaimana hal itu telah ditunjukkan oleh
As-Sunnah dan atsar dari sahabat.
Maksud
dari firman-Nya
{وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ}
(Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya), adalah hendaknya wanita melabuhkan kerudung yakni tutup kepalanya
dimana agar menutup jaibuts tsaub yaitu bukaan leher.
Oleh karena itu Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(59)
Hai Nabi katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
pengampun lagi Maha penyayang. (QS Al-Ahzab/ 33: 59).
Dan dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لا
يَصْلُحُ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى كَفِّهِ
وَوَجْهِهِ (أخرجه أبو داود (4/62 ، رقم 4104) ، والبيهقى فى السنن الكبرى (7/86 ،
رقم 13274) . وأخرجه أيضًا : فى شعب الإيمان (6/165 ، رقم 7796) ). - ( ضعيف )
وصححه الشيخ الألباني في صحيح سنن أبي داود وقال في الترغيب والترهيب : ( حسن
لغيره برقم 2045)
Wahai
Asma’: Sesungguhnya wanita apabila telah sampai haidh maka tidak pantas untuk
dilihat daripadanya kecuali ini dan ini, dan beliau menunjuk ke telapak tangan
beliau dan wajah beliau. (HR Abu Dawud, dan Al-Baihaqi, dhaif, tetapi
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, dan dihasankan
lighoirihi dalam At-Targhib wat Tarhib).
Atas
dasar yang demikian itulah maka telah terjadi ijma’ ulama ummat sejak zaman
Nabi, maka siapa yang menganggap bolehnya wanita muslimah di depan lelaki
ajnabi (bukan mahram) membuka rambutnya atau lehernya atau semacamnya dari
apa-apa yang diperintahkan untuk ditutupnya, maka sungguh telah menyelisihi
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’, dan telah menghalalkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Fatawa Qitha’il Ifta’
bil-Kuwait juz 6 halaman 223-224).
Kembali
ke sikap dan pemahaman yang dihembuskan Quraish Shihab :
Anak perempuan Quraish
Shihab, Najwa Syihab (penyiar televisi swasta?), dalam salah satu edisi majalah
buatan kelompok yang dekat dengan liberal, menjadi gambar sampul, dengan
tulisan mencolok, terhormat tanpa memakai jilbab. Dia menganggap, jilbab tidak
wajib, dan dia mengaku bahwa itu mengikuti fatwa bapaknya.
Begitulah
watak Quraish Shihab, terhadap urusan yang sudah jelas landasannya saja ia
masih berani membantah Kebenaran. (haji/tede).
الفتاوى:
1- أَن المرأَة عورة، ومأْمورة بالاحتجاب والستر. ومنهية عن التبرج
وإِظهار زينتها ومحاسنها ومفاتنها، قال الله تعالى: (*) الآية(1). وقال تعالى:
(*)(2). وقال تعالى: (*)(3).
(1) سورة الأحزاب آية 59 .
(2)
سورة النور آية 31 .
(3)
سورة الأحزاب آية 33 .
)فتاوى
ورسائل محمد بن إبراهيم آل الشيخ - (ج 2 / ص 124)(
2- يجب على المرأة المسلمة منذ سنّ البلوغ أن تستر جميع بدنها ما عدا
الوجه والكفين ، وذلك إذا خرجت من بيتها أو كانت بمحضر رجال من غير محارمها ، فلا
يجوز لها أن يظهر منها للرجال الأجانب عنها شئ من شعرها أو رقبتها أو ذراعيها أو
ساقيها ممّا اعتادت بعض النساء المسلمات كشفه في هذا العصر تقليداً لغير المسلمات
، فإن ظهرت المرأة المسلمة شيئاً من ذلك فقد فعلت محرما مقطوعاً بتحريمه.
والدليل على وجود ستر المرأة جميع بدنها ما عدا الوجه والكفين نصوص
كثيرة من القرآن الكريم ، والسنة النبوية الصحيحة منها قول الله تعالى :{وقل
للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولا يبدين زينتهن إلاّ ما …ظهر منها
وليضربن بخمرهن على جيوبهن ولا يبدين زينتهن إلاّ لبعولتهن أو آبائهن أو آباء
بعولتهن أو أبنائهن أو أبناء بعولتهن أو إخوانهن أو بني إخوانهن …أو نسائهن أو ما
ملكت أيمانهن أو التابعين غير أولى الإربة من الرجال أو الطفل الذين لم يظهروا على
عورات النساء ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن وتوبوا إلى الله جميعا
أيها المؤمنون لعلكم تفلحون}(سورة النور الآية رقم 31)، والمراد بقوله تعالى في
هذه الآية{إلاّ ما ظهر منها}هو الوجه والكفان. كما دلتّ على ذلك السنة والآثار عن
الصحابة والمراد بقوله تعالى:{ولْيضربْن بخُمُرهن على جيوبهن}أن تلوي المرأة
الخمار وهو (غطاء الرأس ) بحيث يستر جيب الثوب وهو ( فتحة العنق ) ومن ذلك قول
الله تعالى{يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من
جلابيبهن ذلك أدنى أن …يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفوراً رحيماً}(سورة الأحزاب
الآية رقم59 ) ومن السنة النبوية قول الرسول صلى الله عليه وسلم ( يا أسماء إن
المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يُرى منها إلا هذا وهذا ، وأشار إلى الوجه
والكفين ) رواه أبو داود عن عائشة رضى الله عنها.
Perkataan
Para Imam Terdahulu tentang Rafidhah (Syi'ah)
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah telah berkata :
“Dan sungguh telah sepakat ahli ilmu dalam bidang naqal, riwayat dan sanad,
bahwasanya Rafidhah adalah yang paling pendusta dari kalangan kelompok-kelompok
(yang sesat), berbohong terdapat dalam diri mereka sudah sejak lama, oleh
karena inilah para imam-imam Islam metitelkan keistimewaan mereka dengan sering
(banyak) berdusta.
Asyhab
bin Abdul Aziz telah berkata : Imam
Malik telah ditanya tentang Rafidhah, maka beliau menjawab : Janganlah kamu
berbicara dengan mereka, dan janganlah mengambil riwayat dari mereka,
sesungguhnya mereka itu orang-orang yang berdusta (pembohong).
Dan
berkata Imam Malik : orang yang
mecaci maki para sahabat Rasulullah, maka ia tidak berhak mendapatkan nama,
atau tempat di dalam Islam.
Berkata
Ibnu Katsir di dalam firman Allah (yang artinya) :
“Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku'dan
sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada
muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya
maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak
lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena
Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mu'min)”. [Al Fath : 29].
“Dari
ayat ini, maka Imam Malik menyimpulkan di dalam satu riwayat darinya, dengan
mengkafirkan orang-orang rafidhah dimana mereka membenci para sahabat, beliau
berkata : “Karena para sahabat menjengkelkan hati mereka (orang-orang
rafidhah), barangsiapa yang dijengkeli oleh para sahabat maka ia adalah kafir
oleh ayat ini”.
Al
Qarthubi telah berkata : “Sungguh
Imam Malik telah berbuat baik dalam ucapannya dan ia telah benar dalam
menafsirkannya, maka barangsiapa mencela seorang saja dari mereka atau mencela
riwayatnya maka ia sungguh telah membantah Allah Rabb semesta alam, dan telah
menggugurkan syari’at-syari’at kaum muslimin.” [Ushul Madzhab As Syi’ah Al
Imamiyah Al Itsna Asyara, oleh Dr. Nashir AL Qafaari, 3/1250]
Abu
Hatim telah berkata : “ Telah
menceritakan kepada kami Harmalah, ia berkata : Saya telah mendengar Imam
Syafi’i berkata : “Saya belum pernah melihat seseorang yang lebih mudah
bersaksi dengan kepalsuan daripada Rafidhah”.
Muammil
bin Ahab telah berkata : “Saya telah
mendengar Yazid bin Harun berkata : “Ditulis (riwayat hadits) dari setiap
pelaku bid’ah bila tidak mengajak ke bid’ahnya, kecuali Rafidhah, sesungguhnya
mereka itu pendusta.”
Dan
Muhammad bin Sa’ad Al Ashbahaani telah berkata : “Saya telah mendengar syeikh Syuraik berkata : “Ambillah
ilmu itu dari setiap orang yang kamu jumpai kecuali Rafidhah, sesungguhnya
mereka membuat-buat (memalsukan) hadits, dan mereka menjadikan hal itu sebagai
agama”. Syuraik ini adalah Syuraik bin Abdullah Qodhi (hakim) kota Kufah.
Mu’awiyah
telah berkata : “Saya telah
mendengan Al ‘Amasy berkata : Saya menjumpai sekelompok manusia, dan mereka
tidaklah menyebutkan tentang mereka (rafidhah) kecuali (digolongkan kepada)
orang-orang sangat pembohong”, maksudnya (mereka pembohong itu) adalah pengikut
Al Mughirah bin Sa’id yang bermadzhab rafidhah lagi pendusta, seperti yang
disifati oleh imam Adz Dzahabi. [Minhaajus Sunnah, oleh Syeikhul Islam Ibnu
Timiyah, 1/59-60]
Syeikhul
Islam telah berkata dalam mengomentari apa yang dikatakan oleh para imam salaf
: “Dan adapun Rafidhah asal usul
bid’ah mereka diambil dari Zindiq dan kufur serta unsur kesengajaan, kebohongan
banyak sekali di tengah-tengah mereka, dan mereka mengakui hal itu, dengan
mengatakan : Agama kita adalah Taqiyah, yaitu salah seorang dari mereka
mengucapkan dengan lidahnya berbeda dengan apa yang ada di hatinya. Dan inilah
hakikat kebohongan dan kemunafikan, maka mereka dalam hal itu sebagaimana
pepadah : “Ia telah melemparku dengan penyakitnya lalu ia lari”. [Minhaajus
Sunnah, oleh Syeikhul Islam Ibnu Timiyah, 1/68]
Berkata
Abdullah bin Ahmad bin Hambal : Saya
telah bertanya kepada bapakku tentang Rafidhah, maka ia mengatakan : “Yaitu
orang-orang yang mencaci maki atau mencela Abu Bakr dan Umar”. Dan Imam Ahmad
ditanya tentang Abu Bakr dan Umar, maka ia menjawab : Doa’kanlah mereka berdua
agar diberi rahmat, dan berlepas dirilah dari orang yang membenci mereka
berdua”. [Al
Masail dan Al Rasail Al Mawiyah ‘An Imam Ahmad bin Hambal, oleh Abdul Ilah bin
Sulaiman Al Ahmadi, 2/357]
Al Khallal meriwayatkan dari Abu Bakr Al Marwazi,
ia berkata : Saya telah bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) tentang orang yang
mencaci maki Abu Bakr dan Umar serta ‘Aisyah, maka ia berkata : “Saya tidak
memandangnya di dalam Islam (artinya orang yang mencaci itu telah keluar dari
Islam -pent.). [As Sunnah oleh Khalal 3/493. Ini merupakan pernyataan yang
jelas dari imam Ahmad dalam menghukum kafir orang Rafidhah]
Al Khallal meriwayatkan, ia berkata : Saya telah diberi tahu
oleh Harb bin Ismail Al Karmaani, ia berkata : Telah bercerita kapada kami Musa
bin Harun bin Ziad, ia berkata : saya telah mendengar Al Firyaabi sedangkan
seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang orang yang mencaci maki Abu Bakr,
ia berkata : Kafir. Lalu ia berkata lagi, apakah disolatkan? Ia berkata: Tidak.
Ibnu Hazam telah berkata : tentang Rafidhah tatkala
ia berdebat dengan orang Kristen, dan orang-orang memberikan kepadanya
kitab-kitab Rafidhah untuk bantahan terhadapnya (Ibnu Hazam dan berkata) :
sesungguhnya Rafidhah bukanlah kaum muslimin, dan perkataan mereka bukanlah
argumen terhadap agama, akan tetapi Rafidhah itu hanyalah suatu golongan, mula
terjadinya kira-kira duapuluh lima tahun setelah Nabi Wafat, dan permulaannya
adalah merespon pangilan orang yang hampir masuk islam dari orang-orang yang
dihina Allah. Rafidhah itu adalah kelompok yang berjalan atas jalan ajaran
Yahudi dan Nasrani dalam kebohongan dan kekufuran.” [Al Fashlu Fi Al Milal wa
An Nihal, oleh Ibnu Hazam 2/78]
Abu Zur’ah Ar Raazi berkata : “Bila kamu melihat
seseorang yang mencaci salah seorang dari para sahabat Rasulullah, maka
ketahuilah sesungguhnya dia itu Zindiq.”
Lajnah Daimah Lil Ifta (Lembaga Tetap untuk Fatwa)
di Kerajaan Saudi Arabia pernah ditanya dengan satu pertanyaan, dalam
pertanyaan itu penanya mengatakan bahwa ia dan sekelompok teman bersamanya
berada di perbatasan utara berdekatan dengan cek point negara Iraq. Di sana ada
sekelompok penduduk yang bermadzhab Al Ja’fariyah, dan diantara mereka
(kelompok penanya) ada orang yang enggan untuk memakan sembelihan penduduk itu,
dan diantara mereka ada yang makan, maka kami bertanya : Apakah halal bagi kami
untuk memakan sembelihan mereka, ketahuilah sesungguhnya mereka berdoa minta
tolong kepada Ali, Hasan dan Husain serta seluruh pemimpin-pemimpin mereka di
dalam keadaan sulit dan keadaan lapang ? Lalu Lajnah (lembaga) yang diketuai
oleh Syeikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz dan anggota-anggotanya: Syeikh
Abdul Razaq ‘Afifi, Syeikh Abdullah bin Ghudayan, dan Syeikh Abdullah bin
Qu’uud, semoga Allah memberi pahala kepada mereka semua.
Jawabannya :
Segala puji bagi Allah semata, dan shalawat dan salam semoga dianugerahkan
kepada rasul-Nya dan keluarga beliau serta sahabat-sahabatnya, dan adapun
selanjutnya :
Jika permasalahannya seperti yang disebutkan oleh penanya, bahwa
sesungguhnya jamaah (kelompok) yang memiliki ajaran Ja’fariyah, mereka berdo’a
dan meminta tolong kepada Ali, Hasan dan Husain serta pemimpin-pemimpin mereka,
maka mereka itu adalah orang-orang musyrik murtad, kelaur dari agama Islam,
semoga Allah melindungi kita dari itu, tidaklah halal memakan sembelihan
mereka, karena sembelihan itu adalah bangkai, walaupun mereka menyebut nama
Allah saat menyembelihnya.” [Fatwa Lajnah Daimah Lil Ifta, 2/264]
Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin ditanya, soal itu berbunyi :
wahai syeikh yang mulia, di negeri kami terdapat seorang rafidhah (bermadzhab
syi’ah rafidhah) bekerja sebagai tukang sembelih, maka ahlusunnah datang
kepadanya untuk menyembelih sembelihan mereka, dan begitu juga sebagian rumah
makan, bekerja sama dengan orang rafidhah ini, dan dengan rafidhah lainnya yang
berprofesi sama, apakah hukumnya bertransaksi atau berkoneksi dengan orang
rafidhah ini dan semisalnya? Apakah hukum sembelihannya, apakah sembelihannya
halal atau haram, berikanlah kepada kami fatwa, semoga syeikh diberi pahala
oleh Allah.
Jawabannya :
Tidaklah halal sembelihan orang rafidhah, dan juga memakan sembelihannya,
sesungguhnya orang rafidhah pada umumnya adalah orang-orang musyrik, dimana
mereka selalu menyeru Ali bin Abi Thalib di waktu sempit dan lapang, sampai di
Arafah dan saat tawaf dan sa’i, mereka juga menyeru anak-anak beliau dan
imam-imam mereka seperti yang sering kita dengar dari mereka, perbuatan ini
adalah syirik akbar dan keluar dari agama Islam yang berhak dihukum mati
atasnya.
Sebagaimana mereka sangat berlebih-lebihan dalam menyifati Ali, mereka
menyifati beliau dengan sifat-sifat yang tidak layak kecuali hanya untuk Allah,
sebagaimana kita mendengarnya dari mereka di Arafah, dan mereka disebabkan
perbuatan itu telah murtad, yang mana mereka telah menjadikannya sebagai Rabb,
Sang Pencipta, dan Yang mengatur Alam, Yang mengetahui ghaib, yang menguasai
kemudaratan dan manfaat, dan semisal itu.
Dan sebagaimana mereka mencela Al Quran, mereka
mendakwakan bawah para sahabat telah merubah, menghilangkan dari Al Quran
ayat-ayat yang banyak berhubungan dengan Ahlu Bait dan musuh-musuh mereka, lalu
mereka tidak berpedoman kepada Al Quran dan mereka tidak memandangnnya sebagai
dalil dan argumen.
Sebagaimana mereka mencela pemuka-pemuka sahabat,
seperti tiga orang khalifah rasyidin, dan selain mereka dari orang yang diberi
kabar gembira jaminan masuk surga, para umul mukminin (istri-istri rasulullah),
para sahabat yang terkenal, seperti Anas, Jabir, Abu Hurairah dan semisalnya,
maka mereka tidak menerima hadits-hadits para sahabat tersebut, karena mereka
itu orang kafir menurut dakwaan mereka, mereka tidak mengamalkan hadits-hadits
di Bukhari Muslim kecuali yang berasal dari Ahlu Bait. Mereka bergantung dengan
hadits-hadits palsu atau hadits-hadits yang di dalamnya tidak ada bukti atas
apa yang mereka katakan. Akan tetapi walaupun demikian, mereka itu adalah
bersikap munafik, maka mereka mengucapkan dengan lidah mereka apa yang tidak
ada pada hati mereka (yang tidak mereka yakini), mereka menyembunyikan di diri
mereka apa yang tidak mereka tampakkan kepadamu, mereka berkata : barangsiapa
tidak bersikap taqiyah (nifaq) maka tidak ada agama baginya. Maka dakwaan
mereka itu tidak bisa diterima dalam ukhwah persaudaraan, dan dakwaan mereka
akan cinta syari’at… dan seterusnya. Sikap nifaq adalah merupakan akidah bagi
mereka. Semoga Allah menjaga (kita) dari kejelekan mereka, semoga Allah
menganugerahkan shalawat dan salam keada Muhammad, dan keluarga beliau serta
para sahabatnya.
Fatwa ini keluar dari syeikh setelah dilontarkan
kepada beliau suatu soal yang berhubungan dengan sikap bergaul sama orang
rafidhah pada tahun 1414 H, dan penyusun ingin menerangkan sekitar apa yang
terdengar bahwa syeikh Abdullah Al-Jibrin –semoga Allah melindunginya- beliau
seorang yang mengkafirkan orang-orang Rafidhah, yang benarnya adalah bahwa para
imam dari terdahulu sampai belakangan ini mengkafirkan kelompok ini, hal itu
disebabkan karena hujjah telah ditegakkan kepada mereka, dan hilangnya uzur
kebodohan dari mereka.
Sumber : http://almanhaj.or.id/
__________________________________________________
“Mengkritik Quraish Shihab secara Ilmiah
(Bukti bahwa Quraish adalah seorang syiah)"
Oleh: Adian Husaini
Belum lama ini saya
menerima kiriman berupa sebuah buku terbitan Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan, Jawa Timur. Judulnya cukup panjang:
“Mungkinkah Sunnah-Syiah
dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan
Tangan! Mungkinkah?)” Penulisnya adalah Tim Penulis Buku Pustaka SIDOGIRI,
Pondok Pesantren Sidogiri, yang dipimpin seorang anak muda bernama Ahmad
Qusyairi Ismail.
Membaca buku ini halaman
demi halaman, muncul rasa syukur yang sangat mendalam. Bahwa, dari sebuah
pesantren yang berlokasi di pelosok Jawa Timur, terlahir sebuah buku ilmiah
yang bermutu tinggi, yang kualitas ilmiahnya mampu menandingi buku karya Prof. Dr.
Quraish Shihab yang dikritik oleh buku ini. Buku dari Pesantren Sidogiri ini
terbilang cukup cepat terbitnya.
Cetakan pertamanya keluar
pada September 2007. Padahal, cetakan pertama buku Quraish Shihab terbit pada
Maret 2007. Mengingat banyaknya rujukan primer yang dikutip dalam buku ini,
kita patut mengacungi jempol untuk para penulis dari Pesantren tersebut.
Salah
satu kesimpulan Quraish Shihab dalam bukunya ialah, bahwa Sunni dan Syiah
adalah dua mazhab yang berbeda.
“Kesamaan-kesamaan yang
terdapat pada kedua mazhab ini berlipat ganda dibandingkan dengan
perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan antara kedua mazhab – dimana
pun ditemukan – adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan
dalam ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak juga dan Rukun-rukun
Islam.” (Cetakan II, hal. 265).
Berbeda dengan Quraish
Shihab, pada bagian sampul belakang buku terbitan Pesantren Sidogiri, dikutip
sambutan KH. A. Nawawi Abdul Djalil, pengasuh Pesantren Sidogiri yang
menegaskan:
“Mungkin
saja, Syiah tidak akan pernah habis sampai hari kiamat dan menjadi tantangan
utama akidah Ahlusunnah. Oleh karena itu, kajian sungguh-sungguh yang dilakukan
anak-anak muda seperti ananda Qusyairi dan kawan-kawannya ini, menurut saya
merupakan langkah penting untuk membendung pengaruh aliran sesat semacam
Syiah.”
Berikut ini kita kutip
sebagian kritik dari Pesantren Sidogiri terhadap Quraish Shihab (selanjutnya
Quraish Shihab disingkat “QS” dan Pondok Pesantren Sidogiri disingkat “PPS”). Kutipan dan pendapat QS
dan PPS diambil dari buku mereka masing-masing.
1. Tentang Abdullah bin Saba‘.
QS: “Ia adalah tokoh fiktif yang diciptakan para anti-Syiah. Ia (Abdullah
bin Saba’) adalah sosok yang tidak pernah wujud dalam kenyataan. Thaha Husain –
ilmuwan kenamaan Mesir – adalah salah seorang yang menegaskan ketiadaan Ibnu
Saba’ itu dan bahwa ia adalah hasil rekayasa musuh-musuh Syiah.” (hal. 65).
PPS: Bukan hanya sejarawan Sunni yang mengakui kebaradaan Abdullah bin
Saba’. Sejumlah tokoh Syiah yang diakui ke-tsiqah-annya oleh kaum Syiah juga
mengakui kebaradaan Abdullah bin Saba’. Sa’ad al-Qummi, pakar fiqih Syiah abad
ke-3, misalnya, malah menyebutkan dengan rinci para pengikut Abdullah bin
Saba’, yang dikenal dengan sekte Saba’iyah.
Dalam bukunya, al-Maqalat wa al-Firaq, (hal. 20), al-Qummi menyebutkan,
bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang memunculkan ide untuk mencintai Sayyidina
Ali secara berlebihan dan mencaci maki para sahabat Nabi lainnya, khususnya Abu
Bakar, Umar, dan Utsman radhiyallahu 'anhum Kisah tentang Abdullah bin Saba’
juga dikutip oleh guru besar Syiah, An-Nukhbati dan al-Kasyi, yang menyatakan,
bahwa, para pakar ilmu menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang Yahudi
yang kemudian masuk Islam. Atas dasar keyahudiannya, ia menggambarkan Ali
radhiyallahu 'anhu setelah wafatnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
sebagai Yusya’ bin Nun yang mendapatkan wasiat dari Nabi Musa alaihisallam
Kisah Abdullah bin Saba’ juga ditulis oleh Ibn Khaldun dalam bukunya, Tarikh
Ibn Khaldun. (hal. 44-46).
2. Tentang hadits Nabi shalallahu 'alaihi wasallam
dan Abu Hurairah :
QS: “Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan
seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian
menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan satu keharusan. Disamping
itu semua, harus diakui juga bahwa tingkat kecerdasan dan kemampuan ilmiah,
demikian juga pengenalan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu menyangkut Nabi
shalalahu 'alaihi wasallam berada di bawah kemampuan sahabat-sahabat besar Nabi
saw, atau istri Nabi, Aisyah radhiyallahu 'anha” (hal. 160).
QS: “Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar hadits
Ahlusunnah tidak meriwayatkan dari imam-imam mereka. Imam Bukhari, misalnya, tidak
meriwayatkan satu hadits pun dari Ja’far ash-Shadiq, Imam ke-6 Syiah Imamiyah,
padahal hadits-haditsnya cukup banyak diriwayatkan oleh kelompok Syiah.” (hal.
150).
PPS: “Sejatinya, melancarkan suara-suara miring terhadap sahabat pemuka
hadits sekaliber Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dengan menggunakan pendekatan
apa pun, tidak akan pernah bisa meruntuhkan reputasi dan kebesaran beliau,
sebab sudah pasti akan bertentangan dengan dalil-dalil hadits, pengakuan para
pemuka sahabat dan pemuka ulama serta realitas sejarah.
Jawaban untuk secuil sentilan terhadap Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu
sejatinya telah dilakukan oleh para ulama secara ilmiah dan rasional. Banyak
buku-buku yang ditulis oleh para ulama khusus untuk membantah tudingan miring
terhadap sahabat senior Nabi shalallahu 'alaihi wasallam tersebut, diantaranya
adalah al-Burhan fi Tabri’at Abi Hurairah min al-Buhtan yang ditulis oleh
Abdullah bin Abdul Aziz bin Ali an-Nash, Dr. Al-A’zhami dalam Abu Hurairah fi
Dhau’i Marwiyatih, Muhammad Abu Shuhbah dalam Abu Hurairah fi al-Mizan,
Muhammad ?Ajjaj al-Khatib dengan bukunya Abu Hurairah Riwayat al-Islam dan
lain-lain.”
Dalam Bidayah wa an-Nihayah, Ibn Katsir mengatakan, bahwa Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu merupakan sahabat yang paling kuat hafalannya, kendati
beliau bukan yang paling utama. Imam Syafii juga menyatakan, “Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu adalah orang yang memiliki hafalan paling cemarlang dalam
meriwayatkan hadits pada masanya.” (hal. 320-322).
Karena kuatnya bukti-bukti keutamaan Abu Hurairah,
maka PPS menegaskan :
“Dengan demikian, maka keagungan, ketekunan, kecerdasan dan daya ingat Abu
Hurairah tidak perlu disangsikan, dan karena itulah posisi beliau di bidang
hadits demikian tinggi tak tertandingi. Yang perlu disangsikan justru
kesangsian terhadap Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu seperti ditulis Dr. Quraish
Shihab:
“Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan
seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian
menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan satu keharusan.” (hal.
322).
“Pernyataan seperti yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Shihab tersebut
sebetulnya hanya muncul dari asumsi-asumsi tanpa dasar dan tidak memiliki
landasan ilmiah sama sekali. Sebab jelas sekali jika beliau telah mengabaikan
dalil-dalil tentang keutamaan Abu Hurairah dalam hadits-hadits Nabi shalallahu
'alaihi wasallam, data-data sejarah dan penelitian sekaligus penilaian ulama
yang mumpuni di bidangnya (hadits dan sejarah).
Kekurangcakapan Dr. Quraish Shihab di bidang hadits semakin tampak, ketika
beliau justru menjadikan buku Mahmud Abu Rayyah, Adhwa’ ?ala Sunnah
Muhammadiyah, sebagai rujukan dalam upaya menurunkan reputasi Abu Hurairah r.a.
Padahal, semua pakar hadits kontemporer paham betul akan status dan pemikiran
Abu Rayyah dalam hadits.” (hal. 322-323).
Tentang banyaknya hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu., Dr. al-A’zhami melakukan penelitian, bahwa jumlah 5.000 hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah adalah jika dihitung hadits yang substansinya
diulang-ulang. Jika penghitungan dilakukan dengan mengabaikan hadits-hadits
yang diulang-ulang substansinya, maka hadits dari Abu Hurairah yang ada dalam
Musnad dan Kutub as-Sittah tinggal 1336 saja.
“Nah, kadar ini, kata Ali as-Salus, bisa dihafal oleh pelajar yang tidak
terlalu cerdas dalam waktu kurang dari satu tahun. Bagaimana dengan Abu
Hurairah, yang merupakan bagian dari mu’jizat kenabian?” (hal. 324).
Memang dalam pandangan Syiah, seperti dijelaskan oleh Muhammad Husain
Kasyif al-Ghitha’ (tokoh Syiah kontemporer yang menjadi salah satu rujukan kaum
Syiah masa kini), yang juga dikutip oleh QS:
“Syiah tidak menerima hadits-hadits Nabi saw kecuali yang dianggap sah dari
jalur Ahlul bait. Sementara hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi
semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash dan sesamanya, maka dalam
pandangan Syiah Imamiyah, mereka tidak memiliki nilai walau senilai nyamuk
sekalipun.” (hal. 313).
PPS juga menjawab tuduhan bahwa Ahlusunnah diskriminatif, karena tidak mau
meriwayatkan hadits dari Imam-imam Syiah. Pernyataan semacam itu hanyalah suatu
prasangka belaka dan tidak didasari penelitian ilmiah apa pun. Dalam
kitab-kitab Ahlusunnah, riwayat-riwayat Ahlul Bait begitu melimpah. Imam
Bukhari memang tidak meriwayatkan hadits dari Imam Ja’far ash-Shadiq, dengan
berbagai alasan, terutama karena banyaknya hadits palsu yang disandarkan kaum
Syiah kepada Ja’far ash-Shadiq. Bukan karena Imam Bukhari membencinya. Bukhari
juga tidak meriwayatkan hadits dari Imam Syafii dan Ahmad bin Hanbal, bukan
karena beliau membenci mereka. (hal. 324-330).
3. Tentang pengkafiran Ahlusunnah :
QS: “Apa yang dikemukakan di atas sejalan dengan kenyataan yang terlihat,
antara lain di Makkah dan Madinah, di mana sekian banyak penganut aliran Syiah
Imamiyah yang shalat mengikuti shalat wajib yang dipimpin oleh Imam yang
menganut mazhab Sunni yang tentunya tidak mempercayai imamah versi Syiah itu.
Seandainya mereka menilai orang-orang yang memimpin shalat itu kafir, maka
tentu saja shalat mereka tidak sah dan tidak juga wajar imam itu mereka ikuti.”
(hal. 120).
PPS: “Memperhatikan tulisan Dr. Quraish Shihab di
atas, seakan-akan Syiah yang sesungguhnya memang seperti apa yang
digambarkannya (tidak menganggap Ahlusunnah kafir dan najis). Akan
tetapi siapa mengira bahwa faktanya tidak seperti penggambaran Dr. Quraish
Shihab? Jika kita merujuk langsung pada fatwa-fatwa ulama Syiah, maka akan
tampak bahwa sebetulnya Dr. Quraish Shihab hendak mengelabui pemahaman umat
Islam akan hakikat Syiah. Bahwa sejatinya, Syiah tetap Syiah.
Apa yang mereka yakini hari ini tidak berbeda dengan keyakinan para
pendahulu mereka. Dalam banyak literatur Syiah dikemukakan, bahwa orang-orang
Syiah yang shalat di belakang (menjadi makmum) imam Sunni tetap dihukumi batal,
kecuali dengan menerapkan konsep taqiyyah…
“Suatu ketika, tokoh Syiah terkemuka, Muhammad
al-Uzhma Husain Fadhlullah, dalam al-Masa’il Fiqhiyyah, ditanya :
“Bolehkah kami (Syiah) shalat bermakmum kepada
imam yang berbeda mazhab dengan kami, dengan memperhatikan perbedaa-perbedaan
di sebagian hukum antar shalat kita dan shalat mereka?”
Muhammad Husain Fadhlullah menjawab: “Boleh,
asalkan dengan menggunakan taqiyyah.” (348-349).
Seorang dai Syiah, Muhammad Tijani, mengungkapkan, bahwa “Mereka
(orang-orang Syiah) seringkali shalat bersama Ahlusunnah wal Jama’ah dengan
menggunakan taqiyyah dan bergegas menyelesaikan shalatnya. Dan barangkali
kebanyakan mereka mengulangi shalatnya ketika pulang.” (hal. 350-351).
Banyak sekali buku-buku referensi utama kaum Syiah
yang dirujuk dalam buku terbitan PPS ini. Karena itu, mereka juga menolak
pernyataan Dr. Quraish Shihab bahwa yang mengkafirkan Ahlusunnah hanyalah
pernyataan orang awam kaum Syiah. PPS juga mengimbau agar umat Islam
berhati-hati dalam menerima wacana “Persatuan umat Islam” dari kaum Syiah.
Sebab, mereka yang mengusung persatuan, ternyata dalam kajiannya justru
memojokkan Ahlusunnah dan memposisikannya di posisi zalim, sementara Syiah
diposisikan sebagai “yang terzalimi”.
Buku terbitan PPS ini memang banyak memuat fakta dan data tentang ajaran
Syiah, baik klasik maupun kontemporer. Terhadap Imam mazhab yang empat,
misalnya, dikutip pendapat dalam Kitab Kadzdzabu ?ala as-Syiah, “Andai para dai
Islam dan Sunnah mencintai Ahlul Bait, niscaya mereka mengikuti jejak langkah
Ahlul Bait dan tidak akan mengambil hokum-hukum agama mereka dari para
penyeleweng, seperti Abu Hanifah, asy-Syafii, Imam Malik dan Ibnu Hanbal.”
(hal. 366).
Terlepas dari fakta tentang Syiah dan kritik terhadap Quraish Shihab,
terbitnya buku ini telah menjadi momen penting bagi PPS untuk turut berkiprah
dalam peningkatan khazanah keilmuan Islam di Indonesia. PPS memang telah
didirikan pada tahun 1745. Jadi, usianya kini telah mencapai lebih dari 260
tahun. Jumlah muridnya kini lebih dari 5000 orang. Sejumlah prestasi ilmiah
tingkat nasional juga pernah diraihnya. Diantaranya, pada Ramadhan 1425 H, PPS
berhasil meraih juara I dan III lomba karya ilmiah berbahasa Arab yang diselenggarakan
oleh Depdiknas RI.
Dalam Jurnal Laporan Tahunan 1425/1426 H, disebutkan bahwa PPS juga cukup
sering mendapat kunjungan tamu-tamu dari luar negeri. Termasuk dari kedutaan
Australia dan Amerika Serikat. Mereka selalu menerima tamunya dengan baik. Tetapi,
dengan sangat berhati-hati, selama ini, PPS senantiasa menolak dana bantuan dan
hibah dari Australia dan Amerika.
PPS juga termasuk salah satu pesantren di Jawa Timur yang sangat gigih
dalam melawan penyebaran paham Liberal. Ditulis dalam Laporan Tahunan tersebut:
“Tahun ini, PPS menggerakkan piranti dunia maya untuk melestarikan dan
menyelamatkan ajaran Ahlusunnah dari serbuan berbagai aliran sesat. Di website www.sidogiri.com secara
khusus disediakan rubrik “Islam Kontra Liberal”. Rubrik ini digunakan oleh
Pondok Pesantren Sidogiri untuk meng-counter wacana-wacana pendangkalan akidah
yang ramai berkembang saat ini. Liberalisme, humanisme, rasionalisme,
pluralisme, feminisme, sekularisme, dekonstruksi syariah dan paham-paham
destruktif modern lainnya, menjadi bidikan yang terus ditangkal dengan
wacana-wacana salaf yang dipegang Pondok Pesantren Sidogiri.”
Kita berdoa, mudah-mudahan akan terus lahir karya-karya ilmiah yang bermutu
tinggi dari PPS. Begitu juga dari berbagai pesantren lainnya. [Depok, 13
Rabiulawwal 1429 H/21 Maret] (aktivis muslim).