Dalam
penerbangan kembali ke Jakarta tadi pagi, saya berkesempatan membaca surat
kabar yang diberikan pihak maskapai, Harian Nasional. Lembar demi lembar
saya baca dan sampailah pada halaman dimana dimuat satu kolom informasi singkat
seputar kunjungan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) bersama sejumlah jurnalis
asing yang tergabung dalam East-West Center : Collaboration, Ekpertise,
Leadership ke Kementrian Agama pada selasa (2/9). Lukman Hakim Saifuddin
sebagai Menteri Agama langsung menerima kunjungan para juru warta tersebut.
“Umat Islam
Indonesia adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang
kebetulan tinggal di Indonesia” ujar Lukman Hakim seperti dikutip harian
Nasional, Rabu (3/8). Lukman menjelaskan bahwa dua ungkapan ini mengandung
makna yang berbeda dan mengulang kembali ungkapan diatas guna mempertegas
maksudnya.
Ungkapan
Menteri Agama yang mengawali karirnya dengan kontroversi pengesahan Bahai
sebagai sebuah agama yang sah di Indonesia ini cukup menarik. Ungkapan tersebut
memang mengandung makna yang berbeda. “Orang Indonesia yang beragama Islam”
bermakna identitas yang dominan adalah nasionalisme dan agama hanyalah asesoris
tambahan, sementara ungkapan “orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia”
menggambarkan identitas Aqidah yang dominan sementara penyebutan nama negara
atau wilayah Indonesia hanya keterangan tambahan yang menggambarkan salah satu
kawasan di muka bumi yang dihuni oleh sekelompok orang tanpa makna mendalam
apapun serta tidak mengandung konsekuensi signifikan jika keterangan wilayah
itu dirubah menjadi Yaman, Inggris, Afrika dan lain sebagainya.
Selasa, 2 September 2014,
17:09 –
Menag: Kita Adalah Orang
Indonesia Yang Islam, Bukan Orang Islam di Indonesia
Jakarta (Pinmas) —- Menteri
Agama Lukman Hakim Saifuddin hari ini, Selasa (02/09), menerima kunjungan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama beberapa wartawan internasional yang
tergabung dalam East-West Center: Collaboration, Ekpertise, Leadership.
Kedatangan sekitar 14
jurnalis ini dalam rangka “2014 Senior Journalist Seminar: Bridging Gaps Betwen
The U.S. and The Muslom World” sekaligus lebih mengenal kehidupan umat Muslim
di Negara-negara Muslim, termasuk di Indonesia. Mereka berasal Bangladesh,
India, Iran, Iraq, Malaysia, Pakistan, Palestina, Singapura, USA, dan juga
Indonesia.
Kepada mereka, Menag menegaskan bahwa umat Islam
Indonesia adalah orang Indonesia yang beragama Islam dan bukan orang Islam yang
kebetulan tinggal di Indonesia. “Kita berupaya betul meyakinkan kepada umat
Islam Indonesia bahwa kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan
orang Islam yang sedang tinggal di Indonesia,” tegas Menag.
“Ini dua hal yang berbeda,” tambahnya didampingi Sekjen
Kemenag Nur Syam, Pgs. Kepala Balitbang-Diklat, Kepala Pusat Informasi dan
Humas, serta beberapa pejabat eselon II lainnya.
Menag menegaskan bahwa dalam kehidupan Islam di
Indonesia, umat Islam senantiasa mengkaitkan antara Indonesia, Islam, dan
kemodernan. “Kami di Indonesia itu sejak lama melalui tokoh-tokoh kami mencoba
menerapkan paham keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Kita selalu
mengkaitkan antara Islam, Indonesia, dan kemodernan,” katanya.
“Jadi, bagaimanapun keindonesian kita inilah yang perlu
dikedepankan dalam kita menjalani kehidupan keagamaan kita, termasuk kehidupan
keislaman kita dengan tetap bisa menyerap nilai-nilai modernitas itu,”
tandasnya.
Indonesia Sebagai Model
Dalam kesempatan berdialog, Guy Taylor dari Washinton
Time mengatakan bahwa Islam Indonesia yang moederat toleran harusnya bisa
menjadi model kehidupan beragama di dunia. Tapi, Guy Taylor mempertanyakan
kenapa pemberitaan di justru tentang Islam yang militan dan ekstrimis.
“Indonesia sebagai Negara muslim moderat, kenapa bukan
ini yang muncul di internasional, justru berita-beritanya yang militan?”
tanyanya.
Akan hal ini, Menag mengatakan bahwa Indonesia terus
mensosialisasikan dan memperkenalkan bagaimana Islam yang rahmatan lil alamin
bisa menjadi mainstrean dalam kehidupan antar kita, bahkan di dunia
internasional. Menurutnya, banyak forum internasional yang sekarang mulai melihat
Indonesia sebagai contoh bagaimana mengelola keragaman dengan penuh kedamaian
dan harmoni.
“Karenanya, yang perlu ditekankan di sini, kasus-kasus di
Timur Tengah misalnya yang selama ini menjadi kiblat dunia melihat Islam, harus
mulai diubah. Jangan hanya Timur Tengah saja yang menjadi potret wajah Islam,
tapi juga belahan timur di mana Indonesia bisa menjadi contoh sesungguhnya
dalam melihat bagaimana nilai-nilai Islam itu bisa diterapkan dalam ikut
menjadi perdamaian di dunia,” pungkas Menag. (mkd/mkd)
Pikiran saya
pun melambung jauh tertuju pada satu karya tokoh intelektual Islam bernama
Sayyid Quthb Rahimahullah yang berjudul “Ma’alim fi Thoriq” (Petunjuk Jalan, dalam edisi berbahasa
Indonesia). Dalam satu Bab dibuku itu, Sayyid Quthb membahas seputar tema
“Kewarganegaraan Seorang Muslim adalah Aqidah-nya” di situ Sayyid Quthb
menjabarkan kebathilan segala macam ikatan yang bernada Nasionalisme seperti
pan Arabisme dan seruan-seruan serupa.
Beliau
Rahimahullah juga menganalisa fakta sejarah bahwa di awal kemunculan Rasulullah
SAW, pertama kali hal yang didakwahkan adalah aqidah tauhid yang justru banyak
mendapat penentangan dari bangsa Arab pada masa itu. Padahal jika Nabi SAW
mengawali dakwahnya dengan seruan kebangsaan mungkin akan berbeda, pasalnya
bangsa Arab ketika itu sangat gandrung dengan isu kesukuan dan kebangsaan,
terlebih Nabi SAW berasal dari suku terpandang.
Sayyid Quthb
memaparkan fakta sejarah bahwa Nabi SAW tidak melakukan seruan kebangsaan,
seruan aqidah tauhid seberapapun tantangan yang menghadang dan resiko yang
besar tetaplah menjadi pilihan. Allah SWT memerintahkan seruan aqidah tauhid
dan memang inilah inti ajaran Islam dan karakteristikanya yang menghancurkan
sekat-sekat jahiliyah termasuk sekat kesukuan, kebangsaan serta konsep
kewarganegaraan primordial-primitif lainnya.
Sayyid Quthb
mengatakan,”Kewarganegaraan yang dikehendaki oleh Islam untuk manusia
(seluruhnya, pen.) adalah kewarganegaraan aqidah, dimana sama seorang Arab
dengan seorang Romawi, seorang Parsi, setiap jenis dan warna (semuanya sama) di
bawah panji-panji Allah. Dan inilah jalannya”
Penjelasan
Sayyid Quthb ini juga dikuatkan dengan Sabda Rasulullah SAW yang mencela ashobiyah (fanatisme golongan/kesukuan/kebangsaan),
beliau SAW bersabda, ”Bukanlah termasuk golongan umatku orang yang menyerukanashobiyah”. Takdir Allah bahwa manusia diciptakan
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah untuk saling mengenal menjalin ukhuwah
dan bukan untuk terkotak-kotak dalam bingkai kesukuan ataupun kebangsaan itu
sendiri.
Islam memang
lahir untuk mempersatukan manusia di bawah satu panji dengan aqidah sebagai
ikatan yang utama. Menjadikan ikatan kebangsaan atau kenegaraan menjadi ikatan
utama diatas ikatan aqidah maka itu menyalahi syariat Islam, terlebih
terpecah-pecahnya dunia Islam menjadi negara-negara yang ada hari ini adalah
ulah kaum imperialis yang tidak bisa dijadikan dasar ikatan untuk menandingi
ikatan yang didasari wahyu.
“Dalam wacana
ilmu politik modern pengertian ‘bangsa’ lebih bersifat imajinatif” (Benedict
Anderson, 1999). Imajinatif karena kata bangsa tidak lagi sesuai dengan teori
asalnya berdasarkan kesamaan ras, suku, budaya dan bahasa. Menilik penyebutan
Indonesia sebagai bangsa, tentu jelas sangat imajinatif dan absurd, mengingat
di dalam Indonesia justru terdapat banyak suku/ras/bangsa dan bahasa. Oleh
karenanya kata “Indonesia” pun tidak bisa bermakna mewakili sebuah bangsa.
Dengan demikian “bagaimana ungkapan sang Mentri Agama di atas?
Apa maknanya?” Silakan Anda menilai. Setelah menilai dan merenung,
jangan lupa tentukan pilihan apakah anda adalah “Orang Islam yang ditakdirkan
tinggal di Indonesia” atau “Orang Indonesia yang Beragama Islam”.
Penulis: Usyaqul Hurr
Editor: Hamdan
Menag:
Islam Ala Indonesia Bukan Islam yang Terlalu Hitam-Putih
KIBLAT.NET, Jakarta – Menteri Agama RI, Lukman Hakim
Syaifuddin kembali menegaskan apa yang ia maksud sebagai Islam ala Indonesia
atau Islam Nusantara.
“Islam Nusantara itu ialah Islam yang rahmatan lil alamin. Islam yang
penuh dengan kedamaian, Islam yang bisa hidup di tengah keragamaan. Karena
hakikatnya Indonesia adalah bangsa yang sangat besar dan penuh dengan
keragaman,” jelas Lukman Hakim kepada Kiblat.net usaiacara Launching Musabaqah Kedubes Saudi di
Hotel Raffles, Jakarta, tadi malam (11/02).
Menurut beliau, para pendahulu kita telah mewariskan
ajaran Islam yang toleran dan rahmatan lil alamin. Sehingga, mampu melihat
perbedaan itu sebagai keragaman yang variatif bukan yang kontradiktif.
“Saya lebih senang menyebut perbedaan sebagai keragaman.
Itu adalah dalam rangka untuk saling melengkapi dan mengisi sehingga saling
menyempurnakan kita manusia yang pada dasarnya terbatas,” tambahnya.
Lukman menambahkan, Islam ala Indonesia bukanlah
Islam yang terlalu hitam-putih, yang mudah untuk menyalah-nyalahkan atau bahkan
mengkafirkan.
“Karena beberapa negara sudah mulai ke arah sana sehingga
di era globalisasi ini agar paham-paham seperti itu tidak terlalu mempengaruhi
umat Islam Indonesia yang sesungguhnya mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu
Islam Nusantara itu,” jelas Lukman.
Seperti diberitakan Kiblat.net sebelumnya, dalam
sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di
Yogyakarta, Menteri Agama
Lukmanul Hakim menyatakan bahwa Islam ala Indonesia yang moderat adalah Islam
yang diharapkan dunia.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar
negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Menag, Ahad
(8/2/2015).
SELASA,
10 FEBRUARI 2015 | 02:14 WIB
Apa kata tokoh JIL/sepilis ( perusak
agama) si azyumardi azra !!
Islam Indonesia Bukan Arab, Wanita Bisa Jadi Raja
[terkuak
kedengkiannya terhadap bangsa Arab ]
TEMPO.CO, Yogyakarta -
Kasultanan Yogyakarta merupakan salah satu kasultanan Islam di Indonesia.
Sesuai dengan tradisi kerajaan Islam yang berkembang di Nusantara, seorang
perempuan bisa diangkat sebagai sultan. "Tak apa-apa sultan
perempuan," kata cendekiawan muslim, Azyumardi Azra, seusai pembukaan
Kongres Umat Islam VI di Yogyakarta, Senin, 7 Februari 2015.
Islam di Indonesia, menurut dia, adalah Islam yang rileks. Itu berbeda dengan Islam yang berkembang di Arab. Perbedaan corak Islam itu pun berdampak pada cara memandang raja perempuan. "Kalau di Arab, jangankan jadi raja, (perempuan) menyetir mobil saja tidak boleh," ujarnya.
Dia menuturkan kasultanan di Nusantara memiliki sejarah adanya sultan perempuan. Di Kasultanan Aceh pada abad ke-XVII, dia memberi contoh, ada tiga perempuan yang menjadi raja (sultonah). "Kita bukan di Arab," katanya.
Undang-Undang Keistimewaan DIY mengamanatkan gubernur merupakan Raja Keraton Yogyakarta yang bertahta, Sultan Hamengku Buwono. Ada indikasi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 itu bahwa sultan harus seorang lelaki. Sepanjang sejarah kasultanan Yogyakarta, dari Hamengku Buwono I hingga X, sultan merupakan seorang lelaki.
Azyumardi menjelaskan, pada dasarnya, Islam Nusantara tak menghalangi seorang perempuan menjadi sultan. "(Kalau tidak bisa) mungkin karena aturan kerajaannya," katanya. Namun aturan itu bisa saja diubah.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin menuturkan keraton Yogyakarta merupakan salah satu kasultanan Islam di Indonesia. Bergelar Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah, sultan tak hanya merupakan pemimpin politik, tapi sekaligus pemimpin agama bagi rakyatnya. "Sultan gelarnya luar biasa," ujarnya.
Posisi sebagai pemimpin politik sekaligus pemimpin agama itu, menurut dia, tak hanya berlaku di Keraton Yogyakarta, tapi juga di hampir semua kasultanan di Indonesia. Dalam pembukaan Kongres yang berlangsung di Pagelaran Keraton Yogyakara itu, dihadiri pula oleh 42 kasultanan di Indonesia.
Islam di Indonesia, menurut dia, adalah Islam yang rileks. Itu berbeda dengan Islam yang berkembang di Arab. Perbedaan corak Islam itu pun berdampak pada cara memandang raja perempuan. "Kalau di Arab, jangankan jadi raja, (perempuan) menyetir mobil saja tidak boleh," ujarnya.
Dia menuturkan kasultanan di Nusantara memiliki sejarah adanya sultan perempuan. Di Kasultanan Aceh pada abad ke-XVII, dia memberi contoh, ada tiga perempuan yang menjadi raja (sultonah). "Kita bukan di Arab," katanya.
Undang-Undang Keistimewaan DIY mengamanatkan gubernur merupakan Raja Keraton Yogyakarta yang bertahta, Sultan Hamengku Buwono. Ada indikasi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 itu bahwa sultan harus seorang lelaki. Sepanjang sejarah kasultanan Yogyakarta, dari Hamengku Buwono I hingga X, sultan merupakan seorang lelaki.
Azyumardi menjelaskan, pada dasarnya, Islam Nusantara tak menghalangi seorang perempuan menjadi sultan. "(Kalau tidak bisa) mungkin karena aturan kerajaannya," katanya. Namun aturan itu bisa saja diubah.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin menuturkan keraton Yogyakarta merupakan salah satu kasultanan Islam di Indonesia. Bergelar Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah, sultan tak hanya merupakan pemimpin politik, tapi sekaligus pemimpin agama bagi rakyatnya. "Sultan gelarnya luar biasa," ujarnya.
Posisi sebagai pemimpin politik sekaligus pemimpin agama itu, menurut dia, tak hanya berlaku di Keraton Yogyakarta, tapi juga di hampir semua kasultanan di Indonesia. Dalam pembukaan Kongres yang berlangsung di Pagelaran Keraton Yogyakara itu, dihadiri pula oleh 42 kasultanan di Indonesia.
DALAM
sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta,
Menteri Agama Lukmanul Hakim menyatakan bahwa Islam Indonesia yang moderat
adalah versi Islam yang diharapkan dunia.
“Islam
Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat
menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Menag, Ahad (08/02/2015).
Para ilmuwan
dari dalam dan luar negeri mengharapkan model Islam Indonesia.
Nah para
ilmuwan itu bisa kasih apa di akherat nanti?
Bagaimana jika
Islam yang diharapkan para ilmuwan itu berbeda dengan Islam yang diharapkan
Allah?
sultan Palembang Tolak “Islam Indonesia” ala Menag
DALAM
sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta,
Menteri Agama Lukmanul Hakim menyatakan bahwa Islam Indonesia yang moderat
adalah versi Islam yang diharapkan dunia.
“Islam
Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat
menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Menag, Ahad (08/02/2015).
Namun
pernyataan terkait “Islam yang Indonesia” ini ditolak oleh Sultan Palembang
Iskandar Mahmud Badaruddin, saat memberi sambutan di kesempatan yang sama.
Menurutnya
sebelum Indonesia berdiri, Kesultanan di Nusantara sudah memeluk Islam yang
tidak dapat dibedakan antara satu sama lainnya.
“Kalau
Bapak Menteri tadi bilang ada Islam ini dan itu, saya tidak sepakat, sebab
Islam adalah rohmatan lil alamin dan hanya satu,” tegas Sultan.
Selain
itu, Sultan Palembang menyatakan bahwa banyaknya krisis yang menimpa Indonesia
disebabkan produk hukumnya masih menggunakan hukum Belanda yang notabene
bertentangan dengan ajaran Islam.
“Ini
produk hukum kafir,” tandasnya.
Sebagai
Sultan dari Palembang yang memiliki akar keislaman yang kuat, Mahmud Badaruddin
berharap agar dalam Kongres Umat Islam Indonesia ini hukum Islam dapat kembali
dikuatkan sebagaimana pernah dicontohkan para Sultan Nusantara. [Eza/Islampos]
Ada Islam Arab Apalagi Islam Indonesia
FUI: Islam
Bukan Produk Budaya, Tidak Ada Islam Arab Apalagi Islam Indonesia
KIBLAT.NET, Jakarta – Sekjen Forum Umat Islam, Ustadz Muhammad Al Khaththath
menegaskan Islam yang perlu dianut umat Islam di dunia dan di Indonesia adalah
Islam model Rasulullah SAW bukan Islam versi mana pun.
“Sebab Rasulullah SAW
adalah satu-satunya model Islam. Tidak ada model lain, apalagi Islam model
Indonesia,” katanya kepada Kiblat.net pada Selasa (10/2).
Beliau menanggapi pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Syaefuddin yang
mengemukakan gagasan perlunya mengembangkan Islam ala Indonesia.
Menurut beliau,
agama Islam bukan hasil buatan manusia, sehingga Islam tidak memiliki varian
yang diukur dari nilai suatu daerah.
“Islam bukan produk budaya
masyarakat atau bangsa tertentu. Jadi, tidak ada Islam model Arab Saudi atau
model Islam Indonesia,” ucap Ustadz Khaththath.
Apalagi, lanjutnya,
sewaktu ajaran Islam diturunkan belum ada negara-negara bangsa seperti Arab
Saudi ataupun Indonesia.
“Islam adalah risalah
yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad pada 15 abad lalu, sedangkan
Arab Saudi dan Indonesia baru ada pada abad 20 kemarin,” tutur Ustadz
Khaththath.
Ia menambahkan, dalam
firman Allah pada QS Al-Ahzab: 21 diterangkan bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan
teladan yang baik bagi seluruh manusia.
“Laqad kaanaa lakum fi
rasulullahi uswatun hasanah.
Sungguh dalam diri Rasulullah SAW ada model teladan yang baik dan wajib diikuti
oleh setiap Muslim dimanapun dan kapanpun,” tandasnya.
Seperti diketahui,
dalam sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di
Yogyakarta, Menteri Agama Lukmanul Hakim menyatakan bahwa Islam Indonesia yang
moderat adalah Islam yang diharapkan dunia.
“Islam Indonesia oleh
beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang
bisa diharapkan,” ujar Menag, Ahad (8/2/2015).
Reporter: Bilal Muhammad
Editor: Fajar Shadiq
Syarif Baraja: Islam Ala Indonesia Berarti Bukan Islam Ala
Sahabat Nabi SAW
KIBLAT.NET, Jakarta –
Dai muda dan Motivator ‘Sholat For Success’, Ustadz Syarif Baraja menolak
pandangan Menteri Agama yang meminta agar Islam moderat atau Islam ala
Indonesia dikembangkan. Menag beralasan, model Islam ala Indonesia menjadi
harapan para ilmuwan di dalam dan di luar negeri.
“Islam ala Indonesia
itu berarti bukan Islam ala Sahabat Nabi shalallahu alaihi wassalam,”
katanya menanggapi pertanyaan dari pertemanan Facebooknya, pada Senin (9/2).
Menurut da’i muda yang
memiliki 30 ribu follower twitter ini, para ilmuwan bukanlah standar kebenaran
untuk menentukan Islam mana yang cocok diterapkan oleh umat Islam baik di
Indonesia ataupun di luar negeri.
“Para ilmuwan itu bisa
kasih apa di akhirat nanti? Bagaimana jika Islam yang diharapkan para ilmuwan
itu berbeda dengan Islam yang diharapkan oleh Allah?” tanyanya retoris.
Seperti diketahui,
dalam sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat Islam
Indonesia VI di Yogyakarta, Menteri Agama Lukman Hakim
menyatakan bahwa Islam Indonesia yang moderat adalah Islam yang diharapkan
dunia.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan
luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Lukman
pada Ahad lalu (08/02).
Reporter: Bilal