Date:
Sebuah Resume Dari Bedah Buku Oleh Ust. Anwar IslamBuku ini
ditulis oleh Sayyid Ali Murtadho dari Kuffah, Irak. Beliau merupakan keturunan
Nabi Muhammad dari Hasan bin Ali.
Sejarah Syiah dimulai sejak peristiwa
pengangkatan Abdurahman bin Abu Bakar sebagai Gubernur Mesir oleh Khalifah
Utsman bin Affan. Dalam perjalanan menuju Mesir Abdurahman disusul oleh
seseorang yang mengaku sebagai utusan dan membawa pesan dari khalifah. Utusan
ini kemudian diketahui membawa surat perintah untuk membunuh Abdurahman bin Abu
Bakar. Surat perintah tersebut berstempel negara Madinah dan ditandatangani
oleh Khalifah.
Mendapati kenyataan tersebut Abdurahman
membatalkan rencana ke Mesir dan memilih kembali ke Madinah menemui Khalifah.
Sesampainya di Madinah, Abdurahman bertanya kepada Khalifah, “Wahai Amirul
Mukminin, engkau mengangkatku sebagai Gubernur Mesir, lalu mengapa engkau
mengutus orang untuk membunuhku?” Tanya Abdurahman sambil menyerahkan surat
perintah pembunuhan atas dirinya.
Mendapat pertanyaan tersebut Khalifah bingung
karena tidak merasa menandatangani surat tersebut. Khalifah kemudian memanggil
para pembantunya termasuk Ali bin Abi Thalib dan Marwan bin Hakam dua orang
yang selama ini menjadi asistennya.
Para sahabat kemudian memberi kesaksian bahwa
itu merupakan tulisan tangan Marwan bin Hakam. Marwan ini merupakan kerabat
Khalifah. Maka Abdurahman dan orang-orang Mesir yang menyertainya menuntut
Khalifah untuk menyerahkan Marwan untuk dibunuh, tetapi Utsman menolak dan
justru melindungi Marwan di rumahnya.
Inilah yang kemudian menjadi sebab
dikepungnya rumah Utsman oleh orang-orang Mesir hingga 40 hari. Ali dan para
sahabat yang lain menyarankan agar Utsman memerintahkan tentaranya untuk
mengusir para pengepungnya. Permintaan ini ditolak dengan alasan Utsman tidak
mau menumpahkan darah kaum muslimin. Selain itu Utsman juga ingin membuktikan
kebenaran nubuwat Rasulullah tentang kematiannya.
Maka disuatu hari, saat Utsman sedang membaca
Al Quran para pengepung berhasil masuk ke rumah Utsman. Abdurahman dengan kasar
memegang kepala Utsman dan menarik jenggotnya, maka Utsman berkata, “Seandainya
ayahmu menyaksikan perbuatanmu niscaya dia akan malu.”
Seketika itu lemaslah Abdurahman, tetapi baru saja dilepasnya kepala Utsman
sebilah pedang yang yang ditebaskan seorang Mesir yang selama ini ikut dalam
pengepungan berhasil membunuh Utsman.
Pasca terbunuhnya Utsman, Ali dipilih oleh
para sahabat sebagai Khalifah. Awalnya Ali menolak namun semua sahabat yang
lain juga menolak dan menganggap Ali paling layak. Dukungan paling besar atas
Ali diberikan oleh orang-orang Mesir yang terlibat dalam pembunuhan Utsman.
Mereka inilah yang kemudian menamakan dirinya sebagai Syiah—pembela—Ali.
Setelah Ali menjadi khalifah, para sahabat
dan penduduk Madinah meminta Ali untuk segera melakukan qishash bagi pembunuh
Utsman, namun permintaan ini ditolak Ali. Pertimbangan Ali saat itu dukungan
untuk dirinya masih kecil sebab masih ada beberapa sahabat yang menolak/menunda
baiat yaitu Muawiyah (Gubernur Syam) dan Amr bin Ash (Gubernur Mesir). Kedua
sahabat ini menuntut Ali melakukan qishash terlebih dahulu. Ali ingin kondisi
politik stabil dulu baru qishash dilakukan. Muawiyah kemudian memproklamirkan
diri sebagai khalifah.
Maka terjadilah peristiwa tahkim (arbitrase).
Pihak Ali diwakili Abu Musa al Ansyari sedangkan pihak Muawiyah menunjuk Amr
bin Ash. Dalam arbitrase ini berkat kecerdikan Amr bin Ash, pihak Muawiyah
keluar sebagai pemenang.
Pasca tahkim Syiah Ali pecah menjadi 2 kelompok yaitu Khawarij yang bermarkas
di Makkah dan Syiah yang berpusat di Kufah, Irak. Kedua kelompok ini bersikap
serba berlebihan terhadap Ali. Khawarij menganggap Ali telah murtad karena
berhukum kepada selain Al Quran (tahkim), sementara Syiah menganggap Ali
sebagai seorang yang maksum tanpa dosa. Inilah yang kemudian menjadi cikal
bakal Syiah dimasa-masa awal.
Saking berlebihannya Khawarij, mereka sampai
menghalalkan darah Ali dan kaum muslimin yang dianggap telah kafir. Dalam
sebuah musyawarah mereka sepakat untuk membunuh 3 orang yang dianggap sebagai
tokoh golongan murtadin yaitu Ali (Kufah), Muawiyah (Syam) dan Amr bin Ash
(Mesir). Orang yang mendapat tugas membunuh Ali adalah Abdullah bin Muljam.
Maka berangkatlah Ibnu Muljam ke Kufah.
Setibanya di sana ia menyembunyikan identitas, hingga terhadap teman-temannya
dari kalangan Khawarij yang dahulu bersamanya. Ketika ia sedang duduk-duduk
bersama beberapa orang dari Bani Taim ar-Ribab, mereka mengenang teman-teman
mereka yang terbunuh pada peperangan Nahrawan.
Tiba-tiba datanglah seorang wanita bernama
Qatham binti Asy-Syijnah, ayah dan abangnya dibunuh oleh Ali pada peperangan
Nahrawan. Ia adalah wanita yang sangat cantik dan populer. Dan ia telah
mengkhususkan diri beribadah dalam masjid jami’. Demi melihatnya Ibnu Muljam
mabuk kepayang. Ia lupa tujuannya datang ke Kufah. Ia meminang wanita itu.
Qatham mensyaratkan mahar tiga ribu dirham,
seorang khadim, budak wanita dan membunuh Ali bin Abi Thalib untuk dirinya. Ibnu
Muljam berkata, “Engkau pasti mendapatkannya, demi Allah tidaklah aku datang ke
kota ini melainkan untuk membunuh Ali.”
Lalu Ibnu Muljam menikahinya dan berkumpul
dengannya. Kemudian Qathami mulai mendorongnya untuk melaksanakan tugasnya itu.
Ia mengutus seorang lelaki dari kaumnya bernama Wardan, dari Taim Ar-Ribab,
untuk menyertainya dan melindunginya. Lalu Ibnu Muljam juga menggaet seorang
lelaki lain bernama Syabib bin Bajrah al-Asyja’i al-Haruri. Ibnu Muljam berkata
kepadanya, “Maukah kamu memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat?”
“Apa itu?” Tanyanya.
“Membunuh Ali!” Jawab Ibnu Muljam.
Ia berkata, “Celaka engkau, engkau telah
mengatakan perkara yang sangat besar! Bagaimana mungkin engkau mampu
membunuhnya?”
Ibnu Muljam berkata, “Aku mengintainya di masjid,
apabila ia keluar untuk mengerjakan shalat subuh, kita mengepungnya dan kita
membunuhnya. Apabila berhasil maka kita merasa puas dan kita telah membalas
dendam. Dan bila kita terbunuh maka apa yang tersedia di sisi Allah lebih baik
dari-pada dunia.”
Ia berkata, “Celaka engkau, kalaulah orang
itu bukan Ali tentu aku tidak keberatan melakukannya, engkau tentu tahu
senioritas beliau dalam Islam dan kekerabatan beliau dengan Rasulullah. Hatiku
tidak terbuka untuk membunuhnya.”
Ibnu Muljam berkata, “Bukankah ia telah membunuh teman-teman kita di Nahrawan?”
“Benar!” jawabnya.
“Marilah kita bunuh ia sebagai balasan bagi
teman-teman kita yang telah dibunuhnya” kata Ibnu Muljam.
Beberapa saat kemudian Syabib menyambutnya.
Masuklah bulan Ramadhan. Ibnu Muljam membuat
kesepakatan dengan teman-temannya pada malam Jum’at 17 Ramadhan. Ibnu Muljam
berkata, “Malam itulah aku membuat kesepakatan dengan teman-temanku untuk
membunuh target masing-masing. Lalu mulailah ketiga orang ini bergerak, yakni
Ibnu Muljam, Wardan dan Syabib, dengan menghunus pedang masing-masing. Mereka
duduk di hadapan pintu yang mana Ali biasa keluar dari-nya.
Ketika Ali keluar, beliau membangunkan
orang-orang untuk shalat sembari berkata, “Shalat… shalat!” Dengan cepat Syabib
menyerang dengan pedang-nya dan memukulnya tepat mengenai leher beliau.
Kemudian Ibnu Muljam menebaskan pedangnya ke atas kepala beliau. Darah beliau
mengalir membasahi jenggot beliau. Ibnu Muljam menebas leher Ali sambil
berkata, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah, bukan milikmu dan bukan milik
teman-temanmu, hai Ali!” Ia membaca firman Allah:
“Dan di antara manusia ada orang yang
mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun
kepada hamba-hambaNya.” (Al-Baqarah: 207).
Ali berteriak, “Tangkap mereka!”
Adapun Wardan melarikan diri namun berhasil
dikejar oleh seorang lelaki dari Hadhramaut lalu membunuhnya. Adapun Syabib,
berhasil menyelamatkan diri dan selamat dari kejaran manusia. Sementara Ibnu
Muljam berhasil ditangkap.
Ali menyuruh Ja’dah bin Hubairah bin Abi
Wahab untuk mengimami Shalat Fajar. Ali pun dibopong ke rumahnya. Lalu digiring
pula Ibnu Muljam kepada beliau dan dibawa kehadapan beliau dalam keadaan
dibelenggu tangannya ke belakang pundak, semoga Allah memburukkan rupanya.
Ali berkata kepadanya,” Apa yang mendorongmu
melakukan ini?” Ibnu Muljam berkata, “Aku telah mengasah pedang ini selama
empat puluh hari. Aku memohon kepada Allah agar aku dapat membunuh dengan
pedang ini makhlukNya yang paling buruk!”
Ali berkata kepadanya, “Menurutku engkau
harus terbunuh dengan pedang itu. Dan menurutku engkau adalah orang yang paling
buruk.”
Kemudian beliau berkata, “Jika aku mati maka
bunuhlah orang ini, dan jika aku selamat maka aku lebih tahu bagaimana aku
harus memperlakukan orang ini!”
Tidak lama setelah itu Ali wafat. Ibnu Muljam
diqishash. Perkataan Ibnu Muljam saat menebas leher Ali menjadi slogan kaum
khawarij hingga hari ini : ‘La hukmu illa lillah…’
Pasca terbunuhnya Ali, kaum Syiah Ali
membaiat Husein sebagai khalifah. Mereka mengagungkannya secara berlebihan,
memuja Husein sebagaimana mereka memuja Ali. Husein sendiri dipilih—bukan
Hasan—karena Husein menikah dengan anak perempuan Kisra sehingga mereka
menganggap Husein adalah penyatuan dua kemuliaan : Ali dan Kisra. Sejatinya,
Ibnu Muljam adalah juga Syiah yang kemudian bergabung dg Khawarij dan kelak
orang Syiah pula yang membunuh Husein.
Pada dasarnya Syiah setelah wafatnya Ali
memang lebih kental dipengaruhi Persia. Mereka—penduduk—Kufah masih menyimpan
dendam atas pembunuhan Kisra dan ditaklukkannya Persia oleh tentara Umar bin
Khattab.
Penulis: *Mas Azzam