لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Kalau sekirannya perbuatan
itu baik tentulah para sahabat telah mendahului kita dalam mengamalkannya.”
Tidak mungkin ada orang yang lebih memahami perkataan dan perilaku Nabi selain
para sahabat Nabi, maka pemahaman yang paling benar terhadap agama Islam ada
para mereka. sungguh aneh jika seseorang berkeyakinan atau beramal ibadah yang
sama sekali tidak diyakini dan tidak diamalkan oleh para sahabat, lalu dari
mana ia mendapatkan keyakinan itu?
Kewajiban ittiba (mengikuti) jejak salafush
shalih dan menetapkan manhajnya
Dalil Ittiba Manhaj
Salafussolih Wajibnya Mengikuti Manhaj Salaf Dalil Menghormati Salafush Sholih
Kewajiban Mengikuti Manhaj Salaf
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas
Mengikuti manhaj/jalan
Salafush Shalih (yaitu para Shahabat) adalah kewajiban bagi setiap individu
Muslim. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai
berikut:
A. DALIL-DALIL DARI AL-QUR’AN
Allah berfirman:
“Artinya : Maka jika mereka
beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah
mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam
permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan
Dia-lah Yang Mahamendengar lagi Maha-mengetahui.” [Al-Baqarah: 137]
Al-Imam Ibnu Qayyim
al-Jauziyah rahimahullah (wafat tahun 751 H) berkata: “Pada ayat ini Allah
menjadikan iman para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
timbangan (tolak ukur) untuk membedakan antara petunjuk dan kesesatan, antara
kebenaran dan kebatilan. Apabila Ahlul Kitab beriman sebagaimana berimannya
para Shahabat, maka sungguh mereka mendapat hidayah (petunjuk) yang mutlak dan
sempurna. Jika mereka (Ahlul Kitab) berpaling (tidak beriman), sebagaimana
imannya para Shahabat, maka mereka jatuh ke dalam perpecahan, perselisihan, dan
kesesatan yang sangat jauh…”
Kemudian beliau rahimahullah
melanjutkan: “Memohon hidayah dan iman adalah sebesar-besar kewajiban,
menjauhkan perselisihan dan kesesatan adalah wajib. Jadi, mengikuti (manhaj)
Shahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kewajiban yang paling
wajib.” [1]
“Artinya : Dan bahwa (yang
Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; janganlah
kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh
Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” [Al-An’aam: 153]
Ayat ini sebagaimana
dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa jalan itu hanya
satu, sedangkan jalan selainnya adalah jalan orang-orang yang mengikuti hawa
nafsu dan jalannya ahlul bid’ah.
Hal ini sesuai dengan apa
yang telah dijelaskan oleh Imam Mujahid ketika menafsirkan ayat ini. Jalan yang
satu ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para Shahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Jalan ini adalah
ash-Shirath al-Mustaqiim yang wajib atas setiap muslim menempuhnya dan jalan
inilah yang akan mengantarkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Ibnul Qayyim menjelaskan
bahwa jalan yang mengantarkan seseorang kepada Allah hanya SATU… Tidak ada
seorang pun yang dapat sampai kepada Allah, kecuali melalui jalan yang satu
ini.[2]
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
“Artinya : Dan barangsiapa
yang menentang Rasul sesudah jelas kebe-naran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahan-nam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisaa’: 115]
Ayat ini menunjukkan bahwa
menyalahi jalannya kaum mukminin sebagai sebab seseorang akan terjatuh ke dalam
jalan-jalan kesesatan dan diancam dengan masuk Neraka Jahannam.
Ayat ini juga menunjukkan
bahwasanya mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
sebesar-besar prinsip dalam Islam yang mempunyai konsekuensi wajibnya ummat
Islam untuk mengikuti jalannya kaum mukminin dan jalannya kaum Mukminin adalah
perkataan dan perbuatan para Shahabat ridhwanullahu ‘alaihim ajma’iin. Karena,
ketika turunnya wahyu tidak ada orang yang beriman kecuali para Shahabat,
sebagaimana firman Allah jalla wa’ala:
“Artinya : Rasul telah
beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula
orang-orang yang beriman.” [Al-Baqarah : 285]
Orang Mukmin ketika itu
hanyalah para Shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak ada yang lain. Ayat di atas
menunjukkan bahwa mengikuti jalan para Shahabat dalam memahami syari’at adalah
wajib dan menyalahinya adalah kesesesatan.[3]
“Artinya : Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka
Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemeangan yang besar.” [At-Taubah: 100]
Ayat tersebut sebagai hujjah
bahwa manhaj para Shahabat ridhwanullahu ‘alaihim jami’an adalah benar. Dan
orang yang mengikuti mereka akan mendapatkan keridhaan dari Allah Jalla wa ’Ala
dan disediakan bagi mereka Surga. Mengikuti manhaj mereka adalah wajib atas
setiap Mukmin. Kalau mereka tidak mau mengikuti, maka mereka akan mendapatkan
hukuman dan tidak mendapatkan keridhaan Allah Jalla wa ’Ala dan ini harus
diperhatikan.[4]
“Artinya : Kamu adalah ummat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” [Ali Imraan: 110]
Ayat ini menunjukkan bahwa
Allah Jalla wa ’Ala telah menetapkan keutamaan atas sekalian ummat-ummat yang
ada dan hal ini menunjukkan keistiqamahan para Shahabat dalam setiap keadaan,
karena mereka tidak menyimpang dari syari’at yang terang benderang, sehingga
Allah Jalla wa ’Ala mempersaksikan bahwa mereka memerintahkan setiap kema’rufan
(kebaikan) dan mencegah setiap kemungkaran. Hal tersebut menunjukkan dengan
pasti bahwa pemahaman mereka (Shahabat) adalah hujjah atas orang-orang setelah
mereka, sampai Allah Jalla wa ’Ala mewariskan bumi dan seisinya.[5]
B. DALIL-DALIL DARI AS-SUNNAH
‘Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu berkata:
خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ
مُسْتَقِيْمًا وَخَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ:
هَذِهِ سُبُلٌ (مُتَفَرِّقَةٌ) لَيْسَ مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلاَّ عَلَيْهِ شَيْطَانٌ
يَدْعُوْ إِلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَهُ تَعَالَى
“Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam membuat garis dengan tangannya kemudian bersabda: ‘Ini jalan
Allah yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian
bersabda: ‘Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tak satu pun dari
jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat syaitan yang menyeru kepadanya.’
Selanjutnya beliau membaca firman Allah Jalla wa ’Ala: ‘Dan bahwa (yang Kami
perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, janganlah
kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh
Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.’” [Al-An’aam: 153][6]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
ثُمَّ يَجِئُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِيْنَهُ، وَيَمِيْنُهُ
شَهَادَتَهُ.
“Sebaik-baik manusia adalah
pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya, kemudian
yang sesudahnya. Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah
seorang dari mereka men-dahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului
persaksiannya.” [7]
Dalam hadits ini Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang kebaikan mereka, yang
merupakan sebaik-baik manusia serta keutamaannya. Sedangkan perkataan
‘sebaik-baik manusia’ yaitu tentang ‘aqidahnya, manhajnya, akhlaqnya, dakwahnya
dan lain-lainnya. Oleh karena itu, mereka dikatakan sebaik-baik manusia [8].
Dan dalam riwayat lain disebutkan dengan kata (خَيْرُكُمْ) ‘sebaik-baik
kalian’ dan dalam riwayat yang lain disebutkan (خَيْرُ
أُمَّتِيْ) “sebaik-baik ummatku.”
Kata Shahabat Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ اللهَ نَظَرَ إلَى قُلُوْبِ الْعِبَادِ،
فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ
الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ، فاَبْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ
فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ، بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ
خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ، يُقَاتِلُوْنَ
عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ،
وَمَا رَأَوْا سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ.
“Sesungguhnya Allah melihat
hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan risalah
kepada-nya, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hambah-hamba-Nya setelah
Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka didapati bahwa hati para Shahabat
merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan mereka sebagai
pendamping Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka berperang atas
agama-Nya. Apa yang dipandang kaum Muslimin (para Shahabat Rasul) itu baik,
maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang mereka (para Shahabat Rasul)
pandang jelek, maka di sisi Allah itu jelek.” [9]
Dan dalam hadits lain pun
disebutkan tentang kewajiban kita mengikuti manhaj Salafush Shalih (para
Shahabat), yaitu hadits yang terkenal dengan hadits ‘Irbadh bin Sariyah, hadits
ini terdapat pula dalam al-Arbain an-Nawawiyah no. 28:
قَالَ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ: صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً
ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ, فَقَالَ قَائِلٌ:
يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَماذَا تَعْهَدُ
إِلَيْنَا؟ فَقَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ جَلَّ وَعَلَى وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ
فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Berkata al-‘Irbadh bin
Sariyah [10] radhiyallahu ‘anhu: ‘Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami dan
memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang menjadikan air mata
berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah,
nasehat ini seakan-akan nasehat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah
kami wasiat.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku
wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertaqwa kepada Allah, tetaplah mendengar
dan taat, walaupun yang memerintah kamu adalah seorang budak Habasiyyah.
Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku maka ia akan melihat
perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada
Sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah dia
dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru,
karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid’ah. Dan setiap
bid’ah adalah sesat.’[11]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengabarkan tentang akan terjadinya perpecahan dan perselisihan pada
ummatnya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan
keluar untuk selamat dunia dan akhirat, yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan
sunnah para Shahabatnya ridhwanullaahu ‘alaihim jami’an. Hal ini menunjukkan
tentang wajibnya mengikuti Sunnahnya (Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam) dan sunnah para Shahabatnya ridhwanullahu ‘alaihim jami’an.
Kemudian dalam hadits yang
lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang
hadits iftiraq (akan terpecahnya ummat ini menjadi 73 golongan):
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ
الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي
النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ.
“Ketahuilah, sesungguhnya
orang-orang sebelum kamu dari ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh
puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah
menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam
Neraka dan satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.” [12]
Dalam riwayat lain
disebutkan:
كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَةً وَاحِدَةً:
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.
“Semua golongan tersebut
tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Shahabatku berjalan
di atasnya.” [13]
Hadits iftiraq tersebut juga
menunjukkan bahwa ummat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, semua binasa
kecuali satu golongan yaitu yang mengikuti apa yang dilaksanakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya ridhwanullahu ‘alaihim
jami’an. Jadi jalan selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti al-Qur’an dan
as-Sunnah menurut pemahaman Salafus Shalih (para Shahabat).
Hadits di atas menunjukkan
bahwa, setiap orang yang mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Shahabatnya adalah termasuk ke dalam al-Firqatun Najiyah (golongan yang
selamat). Sedangkan yang menyelisihi (tidak mengikuti) para Shahabat, maka
mereka adalah golongan yang binasa dan akan mendapat ancaman dengan masuk ke
dalam Neraka.
C. DALIL-DALIL DARI
PENJELASAN SALAFUSH SHALIH
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْد ٍرَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ: إِتَّبِعُوْا وَلاََ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian
ber-buat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi dengan Islam ini.” [14]
‘Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan:
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّيًا فَلْيَتَأَسَّ
بِأَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُمْ
كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا،
وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا، وَأَحْسَنَهَا حَالاً، قَوْمٌ
اخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَ ِلإِقَامَةِ دِيْنِهِ فَاعْرِفُوْا
لَهُمْ فَضْلَهُمْ، وَاتَّبِعُوْهُمْ فِي آثَارِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى
الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ.
“Barangsiapa di antara kalian
yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Shahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah ummat yang
paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling
lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah
memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka
kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada
di jalan yang lurus.” [15]
Imam al-Auza’i rahimahullah
(wafat th. 157 H) mengatakan:
اِصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ، وَقِفْ
حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ، وَقُلْ بِمَا قَالُواْ، وَكُفَّ عَمَّا كُفُّوْا عَنْهُ،
وَاسْلُكْ سَبِيْلَ سَلَفِكَ الصَّالِحَ، فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسِعَهُمْ.
“Bersabarlah dirimu di atas
Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah
sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka
menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih, karena akan mencukupi
kamu apa saja yang mencukupi mereka.” [16]
Beliau rahimahullah juga
berkata:
عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ وَإِنْ رَفَضَكَ
النَّاسُ وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالِ وَإِنْ زَخْرَفُوْهُ لَكَ بِالقَوْلِ.
“Hendaklah kamu berpegang
kepada atsar Salafush Shalih meskipun orang-orang menolaknya dan jauhkanlah
diri kamu dari pendapat orang meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataannya
yang indah.” [17]
Muhammad bin Sirin
rahimahullah (wafat th. 110 H) berkata:
كَانُوْا يَقُوْلُوْنَ: إِذَا كَانَ الرَّجُلُ
عَلَى اْلأَثَرِ فَهُوَ عَلَى الطَّرِيْقِ.
“Mereka mengatakan: ‘Jika ada
seseorang berada di atas atsar (sunnah), maka sesungguhnya ia berada di atas
jalan yang lurus.” [18]
Imam Ahmad rahimahullah
(wafat th. 241 H) berkata:
أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا: التَّمَسُّكُ
بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَاْلإِقْتِدَاءُ بِهِمْ وَتَرْكُ البِدَعِ وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلاَلَةٌ.
“Prinsip Ahlus Sunnah adalah
berpegang dengan apa yang dilaksanakan oleh para Shahabat ridhwanullahi
‘alaihim ajma’in dan mengikuti jejak mereka, meninggalkan bid’ah dan setiap
bid’ah adalah sesat.” [19]
Jadi, dari penjelasan
tersebut di atas dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah meyakini bahwa kema’shuman
dan keselamatan hanya ada pada manhaj Salaf. Dan bahwasanya seluruh manhaj yang
tidak berlandaskan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah MENURUT PEMAHAMAN SALAFUS
SHALIH adalah menyimpang dari ash Shirath al-Mustaqiim, penyimpangan itu sesuai
dengan kadar jauhnya mereka dari manhaj Salaf. Dan kebenaran yang ada pada
mereka juga sesuai dengan kadar kedekatan mereka dengan manhaj Salaf. Sekiranya
para pengikut manhaj-manhaj menyimpang itu mengikuti pedoman manhaj mereka
niscaya mereka tidak akan dapat mewu-judkan hakekat penghambaan diri kepada
Allah Jalla wa ’Ala sebagaimana mestinya selama mereka jauh dari manhaj Salaf.
Sekiranya mereka berhasil meraih tampuk kekuasaan tidak berdasarkan pada manhaj
yang lurus ini, maka janganlah terpedaya dengan hasil yang mereka peroleh itu.
Karena kekuasaan hakiki yang dijanjikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam hanyalah bagi orang-orang yang berada di atas manhaj Salaf ini.
Janganlah kita merasa
terasing karena sedikitnya orang-orang yang mengikuti kebenaran dan jangan pula
kita terpedaya karena banyaknya orang-orang yang ter-sesat.
Ahlus Sunnah meyakini bahwa
generasi akhir ummat ini hanya akan menjadi baik dengan apa yang menjadikan
baik generasi awalnya. Alangkah meruginya orang-orang yang terpedaya dengan
manhaj (metode) baru yang menyelisihi syari’at dan melupakan jerih payah
Salafush Shalih. Manhaj (metode) baru itu semestinya dilihat dengan kacamata
syari’at bukan sebaliknya.
Fudhail bin ‘Iyad
rahimahullah berkata:
اتَّبِعْ طُرُقَ الْهُدَى وَلاَ يَضُرُّكَ
قِلَّةُ السَّالِكِيْنَ وَإِيَّاكَ وَطُرُقَ الضَّلاَلَةِ وَلاَ تَغْتَرْ
بِكَثْرَةِ الْهَالِكِيْنَ.
“Ikutilah jalan-jalan
petunjuk (Sunnah), tidak membahayakanmu sedikitnya orang yang menempuh jalan
tersebut. Jauhkan dirimu dari jalan-jalan kesesatan dan janganlah engkau
tertipu dengan banyaknya orang yang menempuh jalan kebinasaan.” [20]
PERHATIAN PARA ULAMA TENTANG
AQIDAH SALAFUSH SHALIH
Sesungguhnya para ulama
mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap ‘aqidah Salafush Shalih. Mereka
menulis kitab-kitab yang banyak sekali untuk menjelaskan dan menerangkan
‘aqidah Salaf ini, serta membantah orang-orang yang menentang dan menyalahi
‘aqidah ini dari berbagai macam firqah dan golongan yang sesat. Karena
sesungguhnya ‘aqidah dan manhaj Salaf ini dikenal dengan riwayat bersambung
yang sampai kepada imam-imam Ahlus Sunnah dan ditulis dengan penjelasan yang
benar dan akurat.
Adapun untuk mengetahui
‘aqidah dan manhaj Salaf ini, maka kita bisa melihat:
Pertama, penyebutan
lafazh-lafazh tentang ‘aqidah dan manhaj salaf yang diriwayatkan oleh para Imam
Ahlul Hadits dengan sanad-sanad yang sah.
Kedua, yang meriwayatkan
‘aqidah dan manhaj Salaf adalah seluruh ulama kaum Muslimin dari berbagai macam
disiplin ilmu: Ahlul Ushul, Ahlul Fiqh, Ahlul Hadits, Ahlut Tafsir, dan yang
lainnya.
Sehingga ‘aqidah dan manhaj
salaf ini diriwayatkan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu secara
mutawatir.
Penulisan dan pembukuan
‘aqidah dan manhaj salaf (seiring) bersamaan dengan penulisan dan pembukuan
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pentingnya ‘aqidah salaf ini
di antara ‘aqidah-’aqidah yang lainnya, yaitu antara lain:
1. Bahwa dengan ‘aqidah salaf
ini seorang muslim akan mengagungkan al-Qur’an dan as-Sunnah, adapun ‘aqidah
yang lain karena mashdarnya (sumbernya) hawa nafsu, maka mereka akan
mempermainkan dalil, sedang dalil dan tafsirnya mengikuti hawa nafsu.
2. Bahwa dengan ‘aqidah salaf
ini akan mengikat seorang Muslim dengan generasi yang pertama, yaitu para
Shahabat ridhwanullahi ‘alaihim jamii’an yang mereka itu adalah sebaik-baik
manusia dan ummat.
3. Bahwa dengan ‘aqidah salaf
ini, kaum Muslimin dan da’i-da’inya akan bersatu sehingga dapat mencapai
kemuliaan serta menjadi sebaik-baik ummat. Hal ini karena ‘aqidah salaf ini
berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat. Adapun
‘aqidah selain ‘aqidah salaf ini, maka dengannya tidak akan tercapai persatuan
bahkan yang akan terjadi adalah perpecahan dan kehancuran. Imam Malik berkata:
لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِلاَّ
مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا.
“Tidak akan baik akhir ummat
ini melainkan apabila mereka mengikuti baiknya generasi yang pertama ummat ini
(Shahabat).” [21]
4. ‘Aqidah salaf ini jelas,
mudah dan jauh dari ta’wil, ta’thil, dan tasybih. Oleh karena itu dengan
kemudahan ini setiap muslim akan mengagungkan Allah Jalla wa ’Ala dan akan
merasa tenang dengan qadha’ dan qadar Allah Jalla wa ’Ala serta akan
mengagungkan-Nya.
5. ‘Aqidah salaf ini adalah
‘aqidah yang selamat, karena as-Salafush Shalih lebih selamat, tahu dan
bijaksana (aslam, a’lam, ahkam). Dan dengan ‘aqidah salaf ini akan membawa
kepada keselamatan di dunia dan akhirat, oleh karena itu berpegang pada ‘aqidah
salaf ini hu-kumnya wajib.
MARAJI’
1. Bashaa-iru Dzaawi Syaraf bi Syarah Marwiyati
Manhajis Salaf, oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly, cet. Makta-bah al-Furqaan,
th. 1421 H.
2. Tafsiir al-Qayyim, oleh Syaikhul Islam Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah th. 1398 H.
3. Limadza Ikhtartu Manhajas Salafy, oleh
Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly, cet. Markaz ad-Diraasah al-Man-hajiyyah
as-Salafiyyah, th. 1420 H.
4. Musnad Imam Ahmad, Imam Ahmad bin Hanbal,
cet. Daarul Fikr, th. 1398 H.
5. Sunan ad-Darimy, Imam ad-Darimy, cet. Daarul
Fikr, th. 1398 H.
6. Al-Mustadrak, Imam al-Hakim, cet. Daarul
Fikr, th. 1398 H.
7. Syarhus Sunnah, oleh Imam al-Baghawy,
tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Muhammad Zuhair asy-Syawaisy, cet. Al-Maktab
al-Islamy, th. 1403 H.
8. As-Sunnah libni Abi ‘Ashim, takhrij Syaikh
al-Albany.
9. Tafsiir an-Nasaa-i, Imam an-Nasa-i, tahqiq:
Shabri bin ‘Abdul Khaliq asy-Syafi’i dan Sayyid bin ‘Abbas al-Jalimy, cet.
Maktabah as-Sunnah, th. 1410 H.
10. Shahih al-Bukhary.
11. Shahih Muslim.
12. Al-Ishaabah fii Tamyiiz ash-Shahaabah,
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
13. Fa-idhul Qadir, Imam al-Munawy.
14. Nadhmul Mutanatsir, oleh al-Kattany.
15. Majma’-uz Zawaa-id, oleh al-Hafizh
al-Haitsamy, cet. Daarul Kitab al-‘Araby-Beirut, th. 1402 H.
16. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq: Ahmad
Mu-hammad Syakir, cet. Daarul Hadits, th. 1416 H.
17. Sunan at-Tirmidzi.
18. Sunan Abi Dawud.
19. Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal
Jama’ah, oleh Imam al-Lalikaa-i, cet. Daar Thayyibah, th. 1418 H.
20. Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah, oleh
Imam Muham-mad Nashirudin al-Albany.
21. Shahihul Jaami’ ash-Shaghir, oleh Imam
Muhammad Nashirudin al-Albany.
22. Dar-ul Irtiyaab ‘an Hadits Ma Ana ‘alaihi
wa Ash-habii, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daarul Raayah, 1410 H.
23. Al-Mu’jamul Kabiir, oleh Imam ath-Thabrany,
tahqiq: Hamdi ‘Abdul Majid as-Salafy, cet. Daar Ihyaa’ al-Turats al-‘Araby, th.
1404 H.
24. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih, oleh Imam
Ibnu ‘Abdil Baar, tahqiq: Abul Asybal Samir az-Zuhairy, cet. Daar Ibnul Jauzy,
th. 1416 H.
25. Mukhtashar al-‘Uluw lil Imam adz-Dzahaby,
tahqiq: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktab al-Islamy, th. 1424 H.
26. Siyar A’lamin Nubalaa’, oleh Imam
adz-Dzahaby.
27. Al-I’tishaam, oleh Imam asy-Syathiby,
tahqiq: Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, cet. Daar Ibni ‘Affan, tahun 1412 H.
28. Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidhisy
Syaitan, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq: Khalid Abdul Latiif as-Sab’il ‘Alamiy,
cetakan Daarul Kitab ‘Araby, th. 1422 H.
29. Sittu Durar min Ushuli Ahlil Atsar, oleh
‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhany, cet. Maktabah al-‘Umarain al-‘Ilmiyyah, th.
1420 H.
[Disalin
dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
Footnote
[1]. Bashaa-iru Dzaawi Syaraf bi Syarah
Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 53), oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
[2]. Tafsir al-Qayyim oleh Ibnul Qayyim (hal.
14-15).
[3]. Lihat Bashaa-iru Dzawisy Syaraf bi Syarah
Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 54), oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
[4]. Bashaa-iru Dzawisy Syaraf bi Syarah
Marwiyati Manhajis Salaf, hal. 43, 53-54.
[5]. Lihat Limadza Ikhtartu Manhajas Salafy
(hal. 86) oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
[6]. Hadits shahih riwayat Ahmad (I/435, 465),
ad-Darimy (I/67-68), al-Hakim (II/318), Syarhus Sunnah oleh Imam al-Baghawy
(no. 97), dihasankan oleh Syaikh al-Albany dalam as-Sunnah libni Abi Ashim (no.
17), Tafsir an-Nasaa’i (no. 194). Adapun tambahan (mutafarriqatun) diriwayatkan
oleh Imam Ahmad (I/435).
[7]. Muttafaq alaih, al-Bukhari (no. 2652,
3651, 6429, 6658) dan Muslim (no. 2533 (211)) dan lainnya dari Shahabat Ibnu
Masud radhiyallahu anhu. Hadits ini mutawatir, sebagaimana telah ditegaskan
oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishabah (I/12), al-Munawy dalam Faidhul
Qadir (III/478) serta disetujui oleh al-Kattaany dalam kitab Nadhmul Mutanatsir
(hal 127). Lihat Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy (hal. 87).
[8]. Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy (hal.
86-87).
[9]. HR. Ahmad (I/379), dishahihkan oleh Syaikh
Ahmad Syakir (no. 3600). Lihat Majmauz Zawaa-id (I/177-178).
[10]. Perawi hadits adalah Irbadh bin Sariyah
Abu Najih as-Salimi, beliau termasuk ahli Suffah, tinggal di Himsha setelah
penaklukan Makkah, tentang wafatnya ahli sejarah berbeda pendapat, ada yang
mengatakan tatkala peristiwa Ibnu Zubair, adapula yang mengatakan tahun 75 H.
Lihat al-Ishabah (II/473 no. 5501).
[11]. HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no.
4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimy (I/44), al-Baghawy dalam kitabnya
Syarhus Sunnah (I/205), al-Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam
adz-Dzahabi, dan Syaikh al-Albany menshahihkan juga hadits ini
[12]. HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102),
al-Hakim (I/128), ad-Darimy (II/241), al-Aajury dalam asy-Asyariah,
al-Laalikaaiy dalam as-Sunnah (I/113 no.150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan
disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Muawiyah bin Abu Sufyan. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur. Dishahihkan oleh Syaikh
al-Albany. Lihat Silsilatul Ahaadits Shahihah (no. 203 dan 204).
[13]. HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dari Shahabat
Abdullah bin Amr, dan di-hasan-kan oleh Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami
(no. 5343). Lihat Dar-ul Irtiyaab an Hadits Ma Ana Alaihi wa Ash-habii oleh
Syaikh Salim bin Ied al-Hilaaly, cet. Daarul Raayah, 1410 H, sebagaimana juga
telah saya terangkan panjang lebar mengenai hadits Iftiraqul Ummah sebelum ini,
walhamdulillah.
[14]. Diriwayatkan oleh ad-Darimi I/69, Syarah
Ushul Itiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaah I/96 no. 104, oleh al-Laalikaa-iy,
ath-Thabrany dalam al-Kabir, sebagaimana kata al-Haitsamy dalam Majmauz Zawaaid
I/181.
[15]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Baar dalam
kitabnya Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlih II/947 no. 1810, tahqiq Abul Asybal Samir
az-Zuhairy.
[16]. Syarh Ushul Itiqaad Ahlis Sunnah wal
Jamaah 1/174 no. 315
[17]. Imam al-Aajury dalam as-Syariah I/445 no.
127, dishahihkan oleh al-Albany dalam Mukhtashar al-Uluw lil Imam adz-Dzahaby hal.
138, Siyar Alaam an-Nubalaa VII/120.
[18]. HR. Ad-Darimy I/54, Ibnu Baththah dalam
al-Ibanah an Syariatil Firqatin Najiyah I/356 no. 242. Syarah Ushul Itiqaad
Ahlis Sunnah wal Jamaah oleh al-Laalikaa-iy I/98 no. 109.
[19]. Syarah Ushul Itiqaad Ahlis Sunnah wal
Jamaah oleh al-Laalikaaiy I/175-185 no. 317.
[20]. Lihat al-Itisham I/112
[21]. Lihat Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidhis
Syaitan hal. 313, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq Khalid Abdul Latiif as-Sab’il
Alamiy, cet. Daarul Kitab Araby, 1422 H. Sittu Durar min Ushuli Ahli Atsar hal.
73 oleh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhany
https://almanhaj.or.id/1276-kewajiban-ittiba-mengikuti-jejak-salafush-shalih-dan-menetapkan-manhajnya.html
Meneladani Sahabat Nabi, Jalan Kebenaran
Tidak mungkin ada orang yang
lebih memahami perkataan dan perilaku Nabi selain para sahabat Nabi, maka tentu
pemahaman yang paling benar terhadap agama Islam ada para mereka
Di tengah maraknya pemikiran
dan pemahaman dalam agama Islam, klaim kebenaran begitu larisnya bak kacang
goreng. Setiap kelompok dan jama’ah tentunya menyatakan diri sebagai yang lebih
benar pemahamannya terhadap Islam, menurut keyakinannya.
Kebenaran hanya milik Allah.
Namun kebenaran bukanlah suatu hal yang semu dan relatif. Karena Allah Ta’ala
telah menjelaskan kebenaran kepada manusia melalui Al Qur’an dan bimbingan
Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam. Tentu kita wajib menyakini bahwa kalam
ilahi yang termaktub dalam Al Qur’an adalah memiliki nilai kebenaran mutlak.
Lalu siapakah orang yang paling memahami Al Qur’an? Tanpa ragu, jawabnya adalah
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dengan kata lain, Al Qur’an sesuai
pemahaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sabda-sabda
Shallallahu’alaihi Wasallam itu sendiri keduanya adalah sumber kebenaran.
Yang menjadi masalah
sekarang, mengapa ketika semua kelompok dan jama’ah mengaku telah berpedoman
pada Al Qur’an dan Hadits, mereka masih berbeda keyakinan, berpecah-belah dan
masing-masing mengklaim kebenaran pada dirinya? Setidaknya ini menunjukkan Al
Qur’an dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ternyata dapat ditafsirkan
secara beragam, dipahami berbeda-beda oleh masing-masing individu. Jika
demikian maka pertanyaannya adalah, siapakah sebetulnya di dunia ini yang
paling memahami Al Qur’an serta sabda-sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam? Jawabnya, merekalah para sahabat Nabi radhi’allahu ‘anhum ajma’in.
Pengertian Sahabat Nabi
Yang dimaksud dengan istilah
‘sahabat Nabi’ adalah:
من رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم في حال
إسلام الراوي، وإن لم تطل صحبته له، وإن لم يرو عنه شيئاً
“Orang yang melihat
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan Islam, yang meriwayatkan
sabda Nabi. Meskipun ia bertemu Rasulullah tidak dalam tempo yang lama, atau
Rasulullah belum pernah melihat ia sama sekali” [1]
Empat sahabat Nabi yang
paling utama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan
dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu’ahum ajma’in. Tentang jumlah orang yang
tergolong sahabat Nabi, Abu Zur’ah Ar Razi menjelaskan:
شهد معه حجة الوداع أربعون ألفاً، وكان معه بتبوك
سبعون ألفاً، وقبض عليه الصلاة والسلام عن مائة ألف وأربعة عشر ألفاً من الصحابة
“Empat puluh ribu orang
sahabat Nabi ikut berhaji wada bersama Rasulullah. Pada masa sebelumnya 70.000
orang sahabat Nabi ikut bersama Nabi dalam perang Tabuk. Dan ketika Rasulullah
wafat, ada sejumlah 114.000 orang sahabat Nabi”[2]
Keutamaan Sahabat
Para sahabat Nabi adalah
manusia-manusia mulia. Imam Ibnu Katsir menjelaskan keutamaan sahabat Nabi:
والصحابة كلهم عدول عند أهل السنة والجماعة، لما
أثنى الله عليهم في كتابه العزيز، وبما نطقت به السنة النبوية في المدح لهم في
جميع أخلاقهم وأفعالهم، وما بذلوه من الأموال والأرواح بين يدي رسول الله صلى الله
عليه وسلم
“Menurut keyakinan
Ahlussunnah Wal Jama’ah, seluruh para sahabat itu orang yang adil. Karena Allah
Ta’ala telah memuji mereka dalam Al Qur’an. Juga dikarenakan banyaknya pujian
yang diucapkan dalam hadits-hadits Nabi terhadap seluruh akhlak dan amal
perbuatan mereka. Juga dikarenakan apa yang telah mereka korbankan, baik berupa
harta maupun nyawa, untuk membela Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam”[3]
Pujian Allah terhadap para
sahabat dalam Al Qur’an diantaranya:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya.
Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam pun memuji dan memuliakan para sahabatnya. Beliau bersabda:
لا تزالون بخير ما دام فيكم من رآني وصاحبني ومن
رأى من رآني ومن رأى من رأى من رآني
“Kebaikan akan tetap ada
selama diantara kalian ada orang yang pernah melihatku dan para sahabatku, dan
orang yang pernah melihat para sahabatku (tabi’in) dan orang yang pernah
melihat orang yang melihat sahabatku (tabi’ut tabi’in)”[4]
Beliau Shallallahu’alaihi
Wasallam juga bersabda:
خير الناس قرني ، ثم الذين يلونهم ، ثم الذين
يلونه
“Sebaik-baik manusia adalah
yang ada pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka”[5]
Dan masih banyak lagi pujian
dan pemuliaan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap para
sahabatnya yang membuat kita tidak mungkin ragu lagi bahwa merekalah umat
terbaik, masyarakat terbaik, dan generasi terbaik umat Islam. Berbeda dengan
kita yang belum tentu mendapat ridha Allah dan baru kita ketahui kelak di hari
kiamat, para sahabat telah dinyatakan dengan tegas bahwa Allah pasti ridha
terhadap mereka. Maka yang layak bagi kita adalah memuliakan mereka, meneladani
mereka, dan tidak mencela mereka. Imam Abu Hanifah berkata:
أفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم :
أبوبكر وعمر وعثمان وعلي , ثم نكف عن جميع أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا
بذكر جميل
“Manusia yang terbaik setelah
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman
lalu Ali. Kemudian, kita wajib menahan lisan kita dari celaan terhadap seluruh
sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kita tidak boleh menyebut
mereka kecuali dengan sebutan-sebutan yang indah”[6]
Lebih lagi Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
لا تسبوا أصحابي ، فلو أن أحدكم أنفق مثل أحد
ذهبا ، ما بلغ مد أحدهم ولا نصيف
“Jangan engkau cela
sahabatku, andai ada diantara kalian yang berinfaq emas sebesar gunung Uhud,
tetap tidak akan bisa menyamai pahala infaq sahabatku yang hanya satu mud (satu
genggam), bahkan tidak menyamai setengahnya”[7]
Pemahaman Sahabat Nabi,
Sumber Kebenaran
Jika kita telah memahami
betapa mulia kedudukan para sahabat Nabi, dan kita juga tentu paham bahwa tidak
mungkin ada orang yang lebih memahami perkataan dan perilaku Nabi selain para
sahabat Nabi, maka tentu pemahaman yang
paling benar terhadap agama Islam ada para mereka. Karena merekalah yang
mendakwahkan Islam serta menyampaikan sabda-sabda Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam hingga akhirnya sampai kepada kita, walhamdulillah. Merekalah
‘penghubung’ antara umat Islam dengan Nabinya.
Oleh karena ini sungguh aneh
jika seseorang berkeyakinan atau beramal ibadah yang sama sekali tidak diyakini
dan tidak diamalkan oleh para sahabat, lalu dari mana ia mendapatkan keyakinan
itu? Apakah Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya? Padahal turunnya wahyu
sudah terhenti dan tidak ada lagi Nabi sepeninggal Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari sini kita perlu menyadari bahwa mengambil
metode beragama Islam yang selain metode beragama para sahabat, akan
menjerumuskan kita kepada jalan yang menyimpang dan semakin jauh dari ridha
Allah Ta’ala. Sedangkan jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh para
sahabat Nabi. Setiap hari kita membaca ayat:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ
“Ya Allah, tunjukilah kami
jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat.” (QS. Al Fatihah: 6-7)
Al Imam Ibnu Katsir
menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang telah Engkau beri nikmat‘
adalah yang disebutkan dalam surat An Nisa, ketika Allah berfirman:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ
مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ
وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang
mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang
yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin,
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman
yang sebaik-baiknya.”[8]
Seorang ahli tafsir dari
kalangan tabi’ut tabi’in, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, menafsirkan bahwa
yang dimaksud dalam ayat ini adalah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para
sahabatnya[9].
Oleh karena itulah, seorang
sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata:
من كانَ منكم مُتأسياً فليتأسَّ بأصحابِ رسول
ِاللهِ صلى اللهُ عليهِ وسلمَ, فإنهم كانوا أبرَّ هذهِ الأمةِ قلوباً، وأعمقـُها
عِلماً، وأقلـُّهَا تكلـُّفَا، وأقومُها هَديَا، وأحسنـُها حالاً، اختارَهُمُ
اللهُ لِصُحبةِ نبيِّهِ صلى اللهُ عليهِ وسلمَ وإقامَةِ دينِهِ، فاعرفوا لهم
فضلـَهُم، واتـَّبـِعُوهم في آثارِهِم، فإنهم كانوا على الهُدى المُستقيم
“Siapa saja yang mencari
teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Karena merekalah orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling
mendalam ilmu agamanya, umat yang paling sedikit dalam berlebihan-lebihan,
paling lurus bimbingannya, paling baik keadaannya. Allah telah memilih mereka
untuk mendampingi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan menegakkan agama-Nya.
Kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jalan mereka. Karena mereka semua
berada pada shiratal mustaqim (jalan yang lurus)”[10]
Beliau juga berkata:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى نَظَرَ فِي قُلُوبِ
الْعِبَادِ فَاخْتَارَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَهُ
بِرِسَالَتِهِ، وَانْتَخَبَهُ بِعِلْمِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ النَّاسِ
فَاخْتَارَ أَصْحَابَهُ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، وَأَنْصَارَ دِينِهِ، فَمَا رَآهُ الْمُؤْمِنُونَ حَسَنًا فَهُوَ
عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ، وَمَا رَآهُ الْمُؤْمِنُونَ قَبِيحًا فَهُوَ عِنْدَ
اللَّهِ قَبِيحٌ
“Allah Ta’ala memperhatikan
hati-hati hambanya, lalu Ia memilih Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan
mengutusnya dengan risalah. Allah Ta’ala memperhatikan hati-hati manusia, lalu
Ia memilih para sahabat Nabi, kemudian menjadikan mereka sebagai pendamping
Nabi-Nya dan pembela agama-Nya. Maka segala sesuatu yang dipandang baik oleh
kaum Mu’minin -yaitu Rasulullah dan para sahabatnya-, itulah yang baik di sisi
Allah. Maka segala sesuatu yang dipandang buruk oleh kaum Mu’minin, itulah yang
buruk di sisi Allah”[11]
Dalam matan Ushul As Sunnah,
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:
أصول السنة عندنا التمسك بما كان عليه أصحاب رسول
الله صلى الله عليه و سلم والاقتداء بهم…
“Asas Ahlussunnah Wal Jama’ah
menurut kami adalah berpegang teguh dengan pemahaman para sahabat Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam dan meneladani mereka… dst.”
Jika demikian, layaklah bila
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan solusi dari perpecahan ummat,
solusi dari mencari hakikat kebenaran yang mulai samar, yaitu dengan mengikuti
sunnah beliau dan pemahaman para sahabat beliau. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة ،
وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة ، قال من هي يا رسول
الله ؟ قال : ما أنا عليه وأصحابي
“Bani Israil akan berpecah
menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di
nereka, kecuali satu golongan”
Para sahabat bertanya:
“Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”
“Orang-orang yang mengikutiku
dan para sahabatku”[12]
Beliau juga bersabda
menjelang hari-hari wafatnya:
أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة ، وإن كان عبدا
حبشيا فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا ، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين
المهديين ، فتمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل
محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة )
“Aku wasiatkan kalian agar
bertaqwa kepada Allah. Lalu mendengar dan taat kepada pemimpin, walaupun ia
dari kalangan budak Habasyah. Sungguh orang yang hidup sepeninggalku akan
melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk mengikuti
sunnnahku dan sunnah khulafa ar raasyidin yang mereka telah diberi petunjuk.
Berpegang teguhlah dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Serta jauhilah perkara
yang diada-adakan, karena ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat” (HR.
Abu Daud no.4609, Al Hakim no.304, Ibnu Hibban no.5)
Jika Sahabat Berselisih
Pendapat
Sebagaimana yang telah kita
bahas, jika dalam suatu permasalahan terdapat penjelasan dari para sahabat,
lalu seseorang memilih pendapat lain di luar pendapat sahabat, maka kekeliruan
dan penyimpangan lah yang sedang ia tempuh. Namun jika dalam sebuah permasalahan,
terdapat beberapa pendapat diantara para sahabat, maka kebenaran ada di salah
satu dari beberapa pendapat tersebut, yaitu yang lebih mendekati kesesuaian
dengan Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah
berkata:
: قد
سمعت قولك في الإجماع والقياس بعد قولك في حكم كتاب الله وسنة رسوله أرأيت أقاويل
أصحاب رسول الله إذا تفرقوا فيها ؟
[ فقلت
: نصير منها إلى ما وافق الكتاب أو السنة أو الإجماع أو كان أصحَّ في القياس
“Jika ada orang yang
bertanya, Wahai Imam Syafi’i, aku dengar engkau mengatakan bahwa setelah Al
Qur’an dan Sunnah, ijma dan qiyas juga merupakan dalil. Lalu bagaimana dengan
perkataan para sahabat Nabi jika mereka berbeda pendapat?
Imam Asy Syafi’i berkata:
Bimbingan saya dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara para sahabat adalah
dengan mengikuti pendapat yang paling sesuai dengan Al Qu’an atau Sunnah atau
Ijma’ atau Qiyas yang paling shahih”[13]
Semoga Allah senantiasa
menunjukkan kita jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam serta para sahabatnya
Penulis: Yulian Purnama
[1] Al Ba’its Al Hatsits Fikhtishari ‘Ulumil
Hadits, Ibnu Katsir (1/24)
[2] Al Ba’its Al Hatsits (1/25)
[3] Al Ba’its Al Hatsits (1/24)
[4] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al Ashabani
dalam Fadhlus Shahabah. Di-hasan-kan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul
Baari (7/7)
[5] HR. Bukhari no.3651, Muslim no.2533
[6] Nur Al Laami’ (199), dinukil dari kitab
I’tiqad A’immatil Arba’ah, Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais, (1/7)
[7] HR. Bukhari no. 3673, Muslim no. 2540
[8] Tafsir Ibnu Katsir (1/140)
[9] Tafsir At Thabari (1/179)
[10] Tafsir Al Qurthubi (1/60)
[11] HR. At Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir
no.8504. Dalam Majma’ Az Zawaid (8/453), Al Haitsami berkata: “Semua perawinya
tsiqah”
[12] HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al
Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”
[13] Ar Risalah (1/597)
Lau Kaana Khairan Lasabaquuna Ilaihi
Al-Ustadz Abdul Hakim bin
Amir Abdat
Suatu kaidah penting yang
mengharuskan kita mengikuti pemahaman para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam menjalankan agama Islam yang mulia ini.
aitu:
لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Kalau sekirannya perbuatan
itu baik tentulah para sahabat telah mendahului kita dalam mengamalkannya.”
Di antara ulama yang
mengucapkan perkataan ini adalah Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah di dalam
tafsirnya, ketika menafsirkan Surat An-Najm ayat 38 dan 39. Allah Ta’ala
berfirman:
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى، وَأَن
لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“(Yaitu) bahwasanya seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS An-Najm [53]: 38-39)
Kemudian Al-Hafidz Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan:
لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Kalau sekirannya perbuatan
itu baik tentulah para sahabat telah mendahului kita dalam mengamalkannya.”
Beliau juga menjelaskan bahwa
dalam masalah ibadah itu hanya terbatas pada dalil dan tidak boleh dipalingkan
dengan berbagai macam qiyas dan ra’yu, yaitu akal pikiran manusia.
Jika ada suatu amalan yang
baik pasti para sahabat telah mendahului kita dalam mengamalkannya. Hal itu
karena tidak ada suatu amal dari amalan-amalan yang ada di dalam Islam yang
luput dari para sahabat. Karena Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengajarkan kepada mereka segala sesuatunya, sampai adab buang hajat pun
telah diajarkan.
________________________
Dan barangsiapa yang
menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebenaran) dan dia
mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min, niscaya akan Kami palingkan
(sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke
dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
[An-Nisa’ : 115]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Rahimahullah di muqaddimah kitabnya “Naqdlul Mantiq” telah menafsirkan ayat
“jalannya orang-orang mu’min” (bahwa) mereka adalah para sahabat. Maksudnya
bahwa Allah telah menegaskan barangsiapa yang memusuhi atau menentang rasul dan
mengikuti selain jalannya para sahabat sesudah nyata baginya kebenaran Islam
yang dibawa oleh Rasulullah dan didakwahkan dan diamalkan oleh Rasulullah
bersama para sahabatnya, maka Allah akan menyesatkannya kemana dia tersesat
(yakni dia terombang-ambing dalam kesesatan).
Ayat yang mulia ini merupakan
sebesar-besar ayat dan dalil yang paling tegas dan terang tentang kewajiban
yang besar bagi kita untuk mengikuti “jalannya orang-orang mu’min” yaitu para
sahabat. Yakni cara beragamanya para sahabat atau manhaj mereka berdasarkan
nash Al-Kitab dan As-Sunnah diantaranya ayat di atas.
Jika dikatakan : Kenapa
“sabilil mukminin atau jalannya orang-orang mukmin” di ayat yang mulia ini
ditafsirkan dengan para sahabat (?!) bukan umumnya orang-orang mu’min??
Saya jawab berdasarkan
istinbath (pengambilan; penggalian) dari ayat di atas:
Pertama
Ketika turunnya ayat yang
mulia ini, tidak ada orang mu’min di permukaan bumi ini selain para sahabat.
Maka, khithab (pembicaraan) ini pertama kali Allah tujukan kepada mereka.
Kedua
Mahfumnya, bahwa orang-orang
mu’min yang sesudah mereka (para sahabat) dapat masuk ke dalam ayat yang mulia
ini dengan syarat mereka mengikuti jalannya orang-orang mu’min yang pertama
yaitu para sahabat. Jika tidak, berarti mereka telah menyelisihi jalannya
orang-orang mu’min sebagaimana ketegasan firman Allah di atas.
Ketiga
Kalau orang-orang mu’min di
ayat yang mulia ini ditafsirkan secara umum, maka jalannya orang mu’min
manakah? Apakah mu’minnya Khawarij atau Syiah/Rafhidhah atau Mu’tazilah atau
Murji’ah atau Jahmiyyah atau Falasifah atau Sufiyyah atau….atau…?
Keempat
Perjalanan orang-orang mu’min
yang paling jelas arahnya, aqidah dan manhajnya hanyalah perjalanan para
sahabat. Adapun yang lain mengikuti perjalanan mereka, baik aqidah dan manhaj.
Kelima
Perjalanan orang-orang mu’min
yang paling alim terhadap agama Allah yaitu Al-Islam hanyalah para sahabat.
Allah telah menegaskan di dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa mereka adalah
orang-orang yang telah diberi ilmu. [Muhammad : 16]
Keenam
Perjalanan orang-orang mu’min
yang mulia yang paling taqwa kepada Allah secara umum hanyalah para sahabat.
Ketujuh
Perjalanan orang-orang mu’min
yang paling taslim (menyerahkan diri) kepada Allah dan Rasul-Nya secara umum
hanyalah para sahabat.
Kedelapan
Perjalanan orang-orang mu’min
yang ijma’ (kesepakatan) mereka menjadi hujjah dan menjadi dasar hukum Islam yang
ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah hanyalah ijma’ para sahabat. Oleh karena
itu tidak ada ijma’ kecuali para sahabat atau setelah terjadi ijma’ diantara
mereka. Demikian itu juga sebaliknya, mustahil terjadi perselisihan apabila
para sahabat telah ijma’. Dan tidak ada yang menyalahi ijma’ mereka kecuali
orang-orang sesat dan menyesatkan yang telah mengikuti “selain jalannya
orang-orang mu’min”.
Kesembilan
Perjalanan orang-orang mu’min
yang tidak pernah berselisih didalam aqidah dan manhaj hanyalah perjalanan para
sahabat bersama orang-orang yang mengikuti mereka tabi’in dan tabi’ut tabi’in
dan seterusnya.
Kesepuluh
Para sahabat adalah
sebaik-baik umat ini dan pemimpin mereka.[Bacalah I’laamul Muwaqqi’iin juz 1
hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim]
Kesebelas
Para sahabat adalah ulama dan
muftinya umat ini. [Bacalah I’laamul Muwaqqi’iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul
Qayyim]
Keduabelas
Para sahabat adalah
orang-orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena
itu Allah memerintahkan manusia untuk mengikuti mereka [Al-Baqarah :13]
Ketigabelas
Para sahabat telah dipuji dan
dimuliakan oleh Allah dibanyak tempat di dalam Kitab-Nya yang mulia.
Keempat belas
Bahwa perjalanan para sahabat
telah mendapat keridhaan Allah dan merekapun ridha kepada Allah [At-Taubah
:100]
Kelima belas
Perjalanan para sahabat telah
menjadi dasar, bahwa Allah akan meridhai perjalannnya orang-orang mu’min dengan
syarat mereka mengikuti “jalannya orang-orang mu’min yang pertama yaitu para
sahabat”. Mahfumnya, bahwa Allah tidak akan meridhai mereka yang tidak
mengikuti perjalanannya Al-Muhajirin dan Al-Anshar [At-Taubah :100]
Keenam belas
Sebaik-baiknya sahabat para
nabi dan rasul ialah sahabat-sahabat Rasulullah.
Ketujuh belas
Tidak ada yang marah dan
membenci para sahabat kecuali orang-orang kafir. [Tafsir Ibnu Katsir surat
Al-Fath :29]
Kedelapan belas
Dan tidak ada yang menyatakan
bodoh terhadap para sahabat kecuali orang-orang munafik. [Al-Baqarah : 13].
Kesembilan belas.
Rasulullah telah bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku, kemudian yang sesudah
mereka” [Hadist Shahih mutawatir dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan
lain-lain]
Generasi pertama adalah sahabat,
yang kedua tabi’in dan yang ketiga adalah tabiut tabi’in. mereka inilah
dinamakan dengan nama Salafush Shalih (generasi pendahulu yang shalih) yakni
tiga generasi terbaik dari umat ini. Kepada mereka inilah kita meruju’ cara
beragama kita dalam mengamalkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas. Sedangkan
orang-orang yang mengikuti mereka dinamakan Salafiyyun dari zaman ke zaman
sampai hari ini.
Kedua puluh.
Rasulullah telah bersabda
pada waktu hajjatul wada’ (haji perpisahan): “Hendaklah orang yang hadir
diantara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir”. [Hadist shahih riwayat
Bukhari dan Muslim dari jalan beberapa orang sahabat]
Hadist yang mulia ini
meskipun bersifat umum tentang perintah tabligh dan dakwah akan tetapi para
sahabatlah yang pertama kali diperintahkan oleh Rasulullah untuk bertabligh dan
berdakwah, sebagai contoh bagi umat ini dan agar diikuti oleh mereka bagaimana
cara bertabligh dan berdakwah yang benar di dalam menyampaikan yang hak. Oleh
karena itu hadist yang mulia ini memberikan pelajaran yang tinggi kepada kita
diantaranya:
[a]. Bahwa dakwah mereka
adalah haq dan lurus di bawah bimbingan Nabi yang mulia.
[b]. Bahwa mereka adalah
orang-orang kepercayaan Rasulullah. Kalau tidak, tentu Rasulullah tidak akan
memerintahkan mereka untuk menyampaikan dari beliau.
[c]. Bahwa mereka kaum yang
benar, lawan dari dusta, yang amanat, lawan dari khianat. Bahwa mereka telah di
ta’dil (dinyatakan bersifat adalah : tsiqah/ terpercaya dan dhabt/teliti) oleh
Rabb mereka, Allah, dan oleh nabi mereka. Oleh karena itu Ahlussunnah Wal
Jama’ah telah ijma’ bahwa mereka tidak perlu diperiksa lagi dengan sebab di
atas. Keadilan dan ketsiqahan mereka tidak diragukan lagi. Allahumma! Kecuali
oleh kaum Syi’ah dan Rafhidhah dari cucu Abdullah bin Saba’ si Yahudi hitam dan
orang-orang mereka yang dahulu dan sekarang.
[d]. Bahwa wajib bagi kita
kaum muslimin mengikuti cara dakwahnya para sahabat, bagaimana dan apa yang
mereka dakwahkan dan seterusnya. Adapun dalam masalah keduniaan seperti alat
dan sarana mengikuti perkembangan zaman dan tingkat pengetahuan manusia,
seperti menggunakan kendaraan yang ada pada zaman ini atau alat perekam dan
pengeras suara dan lain-lain.
Keduapuluh satu.
Rasulullah telah bersabda :
“Janganlah kamu mencaci-maki sahabat-sahabatku! Kalau sekiranya salah seorang
dari kamu menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya Tidak akan mencapai
derajat mereka satu mud-pun atau setegah mud”. [Hadist Shahih riwayat Bukhari
dan Muslim]
Keduapuluh dua.
Para sahabat secara umum
telah dijanjikan jannah (sorga). [At-Taubah : 100]
Keduapuluh tiga.
Secara khusus sebagian
sahabat telah diberi khabar gembira oleh Nabi sebagai penghuni sorga, seperti
Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali dan lain-lain.
Keduapuluh empat.
Para sahabat telah berhasil
menguasai dunia membenarkan janji Allah di dalam Kitab-Nya yang mulia [Tafsir
Ibnu Katsir surat An-Nuur ayat 55]
Keduapuluh lima.
Perjalanan orang-orang mu’min
yang paling kuat “Ukhuwwah Islamiyyahnya” ialah para sahabat berdasarkan nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Tarikh.
Keduapuluh enam.
Di dalam ayat yang mulia ini
Allah tidaklah mencukupkan firman-Nya dengan perkataan: “Barangsiapa yang memusuhi
Rasul sesudah nyata baginya kebenaran…., niscaya akan palingkan dia….”. dan
kalau Allah mencukupinya sampai disitu pasti hak/benar. Akan tetapi terdapat
hikmah yang dalam ketika Allah mengkaitkan dengan “dan dia mengikuti selain
jalannya orang-orang mu’min -yaitu para sahabat. Dari sini kita mengetahui,
bahwa di dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus ada jalan atau
cara di dalam memahami keduanya. Jalan atau cara itu adalah “jalannya
orang-orang mu’min yaitu para sahabat”. Jadi urutan dalilnya sebagai berikut :
Al-Qur’an As-Sunnah. Keduanya menurut pemahaman para sahabat atau cara beragama
mereka, aqidah dan manhaj.
[Disalin dari Majalah
As-Sunnah edisi : 02/V/1421-2001M, hal 51-53]
Mix :
Rangkuman artikel : Apa, siapakah dan rujukan Ahlus-Sunnah wal-jama’ah?
'Aqidah Ahlus-Sunnah
wal-Jama'ah dalam Sifat Allah ta'ala
Abul-Hasan Al-Asy’ariy
Bertaubat ke ‘Aqidah Asy’ariyyah atau Salafiyyah ?
Al-Imam Abul-Hasan
Al-Asy’ariy, Asyaa’irah (Asy’ariyyah), dan Bahasan Pemalsuan Kitab Al-Ibaanah
‘an Ushuulid-Diyaanah
Apakah Imam Madzhab Itu
Lebih Tahu Seluruh Hadits Daripada Ulama Setelahnya? Akidah Imam Yang Empat Itu
Adalah Satu… Yaitu Akidah Yang Benar..!
Ahlul Bait Ahlus Sunnah
Beda dengan Ahlul Bait Syiah
Ahlul-Bait Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam
Ahlus Sunnah Untuk
Keutuhan NKRI
Apakah Syiah
Dikategorikan Sebagai Orang Kafir
Aqidah Dua Mujaddid
dalam Islam : Imam Syafi'i dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Apa Jadinya Jika Saudi
Arabia Dikuasai Oleh Sufi Dan Syiah, Serta Metode (Pemahaman) Nenek Moyang
(Tradisi).
Bagi Yang Membenci
SAUDI, Bacalah Surat Cinta Ini,.
Ciri-ciri Aqidah dan
Karakteristik Pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah
Diantara Adab dalam
Menerima Kebenaran dan Membantah Kebatilan
Daftar Referensi Studi
Komparatif Antara Tuduhan Dan Fakta : Salafi (Ahlus Sunnah, “Wahhabi"?),
Aswaja, Ibnu Taimiyah, Sifat/Keberadaan/ Melihat Allah Diakhirat, Tanduk Setan,
Najd, Muawiyah Bin Abi Sofyan, Takfiri Syi’ah, Nawashib,Saudi, Malaysia Dan
Lain-Lain.
Definisi Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah Menurut Ali Jum’ah ( “Ulama” Berlumuran Darah, Taqiyaher Syi’ah)
Pada Pembukaan Konferensi “ Dhirar Chechnya”. Tampak Menyelisihi Pemahaman Tiga
Generasi Terbaik Setelah Nabi. Sangat Ribet Dan Jelimet, Bandingkan Dengan
ulasan Dilamurkha.
Definisi Ahlus Sunnah
Wal Jamaah Yang Lain, Sebagai Pembanding/Kajian ( Bagian I )
Definisi Ahlus Sunnah
Wal Jamaah Yang Lain, Sebagai Pembanding/Kajian ( Bagian 2 )
Definisi Aswaja Di
Nusantara Yang Disepakati 3 Tokoh NU Garis Lurus
Definisi Aswaja Menurut
Rumusan Muktamar NU
Dakwah Salafiyyah Dan
Daulah Su’udiyyah
Fatwa MPU Aceh No. 9
Tahun 2014 Terkait Manhaj Salaf Tampak Janggal Dan Terkesan Tidak Ilmiyyah,
Bertentangan Dengan Dalil Alquran Dan Sunnah. Berseberangan Dengan Fatwa Yang
Pernah Dikeluarkan Oleh MUI Jakarta Utara Tentang Salafi. Tidak Jujur Menyalin/Memahami
Manhaj Salaf Dari Tokoh-Tokoh Salafi Aceh, Dilakukan Tanpa Proses Peradilan Di
Mahkamah Syar’iyah Dan Terkesan Ada Vested Interested.
Generasi Salaf Ajarkan
Sirah Nabawiyah ( Berdasarkan Riwayat-riwayat Shahih ) Seperti Mengajarkan
Surat Al Qur’an
Hakikat Yang Terlupakan
Dari Imam Asy-Syafi'i Dan Kesamaan Aqidah Imam Empat
Habib Rizieq Shihab Mau
Paksakan Aswajasisasi Di Indonesia, Yang Lain Bagaimana ? Mana Yang Lebih
Ittiba : Salafi (Ahlus Sunnah) Atau ASWAJA ? Mari Kita Kaji Secara Ilmiyyah
Dengan Dalil Yang Shahih Dan Sharih Tanpa Kebencian Dan Vested Interested.
Saudi Arabia Negeri Ahlus Sunnah, Berkoalisi Dengan Malaysia Memerangi Syiah !
Habib Salim Al-Muhdor:
Mazhab Ahlul Bait Itu Bohong!
Hadist: Jika Engkau Tak
Malu, Perbuatlah Sesukamu
Ibnu Abbas, Ahlus Sunnah
dan Syiah
[Jawaban Dungu Web
Syiah] Kenapa Imam Mazhab Tidak Pakai Hadits Bukhari dan Muslim?
Konferensi Dhirar
”Chechnya” Manifestasi Kedengkian Dan Kepanikan Terhadap “ Ahlus Hadits
(Atsariyah) Dan Kemenangan Mujahidin Suriah, Atas Pesanan Komunis Putin (
Rusia). Takut Mengundang Ulama Bermanhaj Salafiyyah Yang akan Mengancam
Eksistensi Peserta.
Kata Pak Habib, Ahlus
Sunnah itu adalah Asy ‘ariyyah?? lucu sekali ya pak habib ini..
Kemana Umat Islam Akan
Dibawa? Ke Blok Putin (Komunis) Dan Ini Berarti Dukung Syi’ah Iran Dan Rezim
(Pembantai) Suriah, Atau Pilih Blok Salafi, Yang Berarti Ke Blok Saudi ( Tempat
Al-Haramain, Al-Haq) ? Pecah Belah, Strategi Kuno Tapi Tetap Efektif.
Kebenaran Tidak Diukur
Dengan Banyaknya Orang Yang Mengikutinya.Berpegang Pada Suara Mayoritas Adalah
Kaidah Kaum Jahiliyah
Kepada Ustadz KH Muh
Idrus Ramli ( Dan Haters Lainnya ) Dari Pada Syahwat Kebenciannya Terhadap
Wahhabi Menggangu Ketaqwaan Anda, Lebih Baik Kumpulkan Semua Tulisan Anda
Silahkan Bandingkan Dan Simpulkan Dengan Ratusan Artikel Dilamurkha Terkait
Masalah Pokok ( Ushul ) Yang Sering Dinisbatkan Negatif Terhadap Wahhabi.
Makna Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah
Manhaj Salaf, manhaj
resmi di Negeri Perlis (Malaysia)
Mendahulukan Akidah
Sebelum Ukhuwah
Mengikuti Manhaj Salaf
Dalam Segala Hal
Muktamar Dhirar
“Chechnya” Dihadiri “Ulama-Ulama” Koplak Dari Jenis Yang Sama (Berhati Syi’ah).
Memanipulir Definisi Ahlus Sunnah Dengan Meniadakan “ Ahlul
Hadits,Atsariyyah,Salafiyyah, Pemahaman Tiga Generasi Terbaik Setelah Nabi
(Al-Haq)”. 21 Wadah Ulama Ahlussunnah Di Dunia Mengutuk Konferensi Tersebut.
Mereka Membenci Kitab
“Al-Ibanah” Karya Abul Hasan al-Asy’ari?! (Bagian 1 dari 2 Tulisan)
Mereka Membenci Kitab
“al-Ibanah” Karya Abul Hasan al-Asy’ari?! (Bagian 2 dari 2 Tulisan)
Mau Tahu Sanad Ulama
Salafy (Wahabi) ?
Nasihat untuk Ahlus
Sunnah Aceh dan Seluruh Negeri (Disertai Jawaban Ilmiah Atas Fatwa Sesat dari
MPU Aceh)
Para Shahabat Saja
Bertanya!
Pandangan Prof. Dr.
Yunahar Ilyas Tentang Ahlus Sunnah Di Nusantara
Pembelaan Atas Negeri
Saudi ( Sunni Salafy ) Pendukung Manhaj Salaf Dan Kembali Pada Al Haq
Pembelaan Salafi
Ahlussunnah terhadap Kehormatan Shahabat Nabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan (1):
SIAPA KITA, SIAPA MU’AWIYAH?
Pembelaan Salafi
Ahlussunnah terhadap Kehormatan Shahabat Nabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan (2): KONSPIRASI MENCABIK KEHORMATAN MU’AWIYAH BIN ABI SOFYAN
Pembelaan Salafi
Ahlussunnah Terhadap Kehormatan Shahabat Nabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan (3):
KEUTAMAAN MU’AWIYAH KESEPAKATAN AHLUSSUNAH SEPANJANG ZAMAN
Politik pecah belah
Syiah ala Neomajusi (Surat terbuka mahasiswa LIPIA untuk Muslim Indonesia)
Rujuk Kepada Petunjuk
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Korelasi Antara Bermadzhab Dengan
Ta’ashub.
Sanad Hadits,
Pentingkah?
Sebagian Pokok-Pokok
‘Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah – Komparasi Antara Klaim dan Realitas
Sejarah Istilah Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah: Meluruskan Pemahaman Habib Rizieq Shihab
Siapa yang menyatakan
beda antara Ahlus Sunnah dan Syiah termasuk masalah furu' dan Tidak Semua
Syi’ah Sesat, maka Dia… Syi’ah !
Siapakah Ahl As-Sunnah
Siapakah Ahlussunnah Wal
Jama’ah?
Sikap Ahlus Sunnah
Terhadap Mu'awiyah Dan Pertikaiannya Dengan Ali
Soal Mengkafirkan Syiah
syi'ah termasuk dalam
klasifikasi /golongan Kafir Harbi
Saudi Arabia Memimpin
Umat Islam Memerangi Syi’ah. Wajib Atas Setiap Muslim Di Seluruh Belahan Dunia
Untuk Bekerjasama Dengan Pemerintah Arab Saudi. Syukur Dan Dukungan Terhadap
Kerajaan Islam Saudi Arabia.
Tantangan Aktual
Ahlusunnah Wal Jama’ah
Ulama Syafi’iyah Antara
Salafi Dan Asy’ari
Wahhabi : Antara
Stigmatisasi Dan Adu Domba Umat Islam