Wednesday, November 18, 2015

Siapa Penggagas Agama Syiah?

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa kesetiaan Ahlus Sunah terhadap Rasulullah adalah monoloyalitas (kesetiaan tunggal). Kesetiaan itu terwujud dalam bentuk memberikan perhatian sepenuh hati terhadap sunah-sunah beliau, sebagaimana sikap mereka terhadap Alquran. Mereka berusaha keras untuk memeliharanya dari berbagai dusta dan kesalahan yang dapat menodai kemurniannya.

Dalam hal kesetiaan ini, kelompok Sy’iah berbeda dengan Ahlus Sunah, kesetiaan mereka terhadap Rasulullah Saw. tidak monoloyalitas, karena kesetiaan mereka terbagi kepada para imam yang dipandang ma’shum. Bahkan kecintaan mereka kepada para imam melebihi kencintaan kepada Nabi.
1
Syi’ah Imamiyah, Ja’fariyah, Itsna ‘Asyariyah (atau menggunakan nama samaran Madzhab Ahlul Bait) meyakini para imam ma’shum itu sebanyak 12 Imam (Itsna ‘Asyariyah) yaitu: 1. Ali ibn Abu Thalib, 2. Hasan ibn Ali Al-Mujtaba, 3. Husain ibn Ali Sayyidussyuhada, penghulu para syuhada, 4. Ali ibn Husain, 5. Muhammad Al- Baqir, 6. Ja’far ibn Muhammad Ash-Shadiq, 7. Musa ibn Ja’far, 8. Ali ibn Musa Ar-Ridha, 9. Muhammad ibn Ali Al-Taqi Al-Jawad, 10. Ali ibn Muhammad an-Naqi Al-Hadi, 11. Hasan ibn Ali Al-Askari, dan terakhir, 12. Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi. Syi’ah meyakini bahwa Imam Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi masih hidup hingga sekarang ini, tapi dalam keadaan gaib, namun akan muncul kembali pada akhir zaman. [1]

Posisi imam dalam keyakinan Syi’ah memiliki kedudukan teristimewa, bahkan lebih tinggi kedudukannya daripada Nabi Saw. Dalam keyakinan mereka, para imam itu mengetahui hal ghaib, dan mengetahui seluruh ilmu yang dikeluarkan (diajarkan) kepada para malaikat, para nabi dan para rasul, dan sesungguhnya mereka mengetahui ilmu yang terdahulu dan sekarang, dan tidak ada yang tersembunyi bagi mereka sesuatu apapun, dan sesungguhnya mereka mengetahui seluruh bahasa alam semesta, dan sesungguhnya seluruh bumi ini adalah milik mereka.
 2
Imam al-Kulaini telah menuliskan dalam kitabnya al-Kafi berbagai karakteristik kedua belas imam mereka. Karakteristik dan sifat-sifat tersebut telah mengangkat derajat mereka dari manusia biasa hingga tingkatan Tuhan.

Seandainya kita hendak menampilkan berbagai karakteristik itu secara keseluruhan dari kitab al-Kafi dan kitab-kitab terpercaya mereka lainnya, niscaya akan terkumpul satu jilid kitab besar.

Karena itu, kami cukupkan dengan kutipan beberapa judul bab secara utuh dan dengan apa adanya dari kitab al-Kafi, di antaranya sebagai berikut:

بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام يَعْلَمُونَ جَمِيعَ الْعُلُومِ الَّتِي خَرَجَتْ إِلَى الْمَـلاَئِكَةِ وَ الأَنْبِيَاءِ وَ الرُّسُلِ عليهم السلام

“Bab: Bahwa Para Imam Mengetahui Segala Ilmu Yang Turun Kepada Para Malaikat, Nabi Dan Rasul.” [2]

بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام يَعْلَمُونَ مَتَى يَمُوتُونَ، وَأَنَّهُمْ لاَ يَمُوْتُوْنَ إِلاَّ بِاخْتِيَارٍ مِنْهُمْ

“Bab: Bahwa Para Imam Mengetahui Kapan Mereka Akan Meninggal, Dan Bahwa Mereka Tidaklah Meninggal Melainkan Atas Kehendak Mereka Sendiri.” [3]

بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام يَعْلَمُونَ عِلْمَ مَا كَانَ وَ مَا يَكُونُ، وَ أَنَّهُ لاَ يَخْفى عَلَيْهِمُ الشَّيْءُ صَلَوَاتُ اللّهِ عَلَيْهِمْ

“Bab: Bahwa Para Imam Mengetahui Perihal Yang Telah Lalu Dan Perihal Yang Akan Datang, Dan Sesungguhnya Tidak Ada Yang Tersembunyi Bagi Mereka Sesuatu pun.” [4]

بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام عِنْدَهُمْ جَمِيعُ الْكُتُبِ الَّتِي نَزَلَتْ مِنْ عِنْدِ اللّهِ عَزَّ وَ جَلَّ ، وَأَنَّهُمْ يَعْرِفُونَهَا عَلَى اخْتِـلاَفِ أَلْسِنَتِهَا

”Bab: Bahwa Para Imam Memiliki Seluruh Kitab, Dan Mengetahuinya Dengan Segala Perbedaan Bahasanya.” [5]

بَابُ أَنَّهُ لَمْ يَجْمَعِ الْقُرْآنَ كُلَّهُ إِلاَّ الأَئِمَّةُ عليهم السلام وَ أَنَّهُمْ يَعْلَمُونَ عِلْمَهُ كُلَّهُ

”Bab: Bahwa Tidaklah Ada Orang Yang Pernah Menyatukan Alquran Secara Utuh Selain Para Imam, Dan Bahwa Mereka Mengetahui Seluruh Ilmu Yang Terkandung Dalamnya.” [6]

بَابُ مَا عِنْدَ الأَئِمَّةِ مِنْ آيَاتِ الاْءَنْبِيَاءِ عليهم السلام

”Bab: Apa-Apa Yang Dimiliki Oleh Para Imam Dari Mukjizat Para Nabi.” [7]

بَابُ أَنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الْحَقِّ فِي يَدِ النَّاسِ إِلَا مَا خَرَجَ مِنْ عِنْدِ الْأَئِمَّةِ عليهم السلام وَ أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ عِنْدِهِمْ فَهُوَ بَاطِلٌ

”Bab: Bahwa Tidak Ada Sedikit pun Kebenaran Yang Ada di Masyarakat Selain Yang Pernah Diajarkan Oleh Para Imam, Dan Bahwa Segala Sesuatu Yang Tidak Diajarkan Oleh Mereka, Maka Itu Adalah Bathil.” [8]

بَابُ أَنَّ الْأَرْضَ كُلَّهَا لِلْإِمَامِ عليه السلام

”Bab: Bahwa Bumi Seluruhnya Adalah Milik Para Imam.” [9]
3 
Keyakinan akan keistimewaan para imam sangat mempengaruhi sikap kaum Syi’ah terhadap hadis atau sunah, baik berkaitan dengan kriteria terminologis maupun metodologisnya, bahkan sumber syariat itu sendiri.

Dalam konteks ini dapat kita maklumi jika hadis atau sunah versi mereka bukan semata-mata bersumber dari Nabi Saw. melainkan juga dari para imam dua belas tesebut. Demikian itu dinyatakan oleh ulama Syi’ah, antara lain:

Syekh Muhammad Baha’uddin al-‘Amili (w. 1031 H) berkata:

عُرِّفَ الْحَدِيْثُ بِأَنَّهُ كَلاَمٌ يَحْكِيْ قَوْلَ الْمَعْصُوْمِ أَوْ فِعْلَهُ أَوْ تَقْرِيْرَهُ

“Hadis didefinisikan yaitu perkataan yang menceritakan perkataan orang yang ma’shum, perbuatannya atau ketetapannya.” [10]

Pengertian hadis menurut mereka berbeda dengan Sunah. Menurut mereka, sunah secara istilah adalah:

نَفْسُ قَوْلِ الْمَعْصُوْمِ، وَفِعْلِهِ،وَتَقْرِيْرِهِ

“Hakikat perkataan orang yang ma’shum, perbuatannya atau ketetapannya.” [11]

Dalam redaksi Sayyid Muhammad Taqiy al-Hakim:

فَهِيَ كُلُّ مَا يَصْدُرُ عَنِ الْمَعْصُوْمِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ

“Dan sunah adalah segala sesuatu yang bersumber dari al-ma’shum, berupa perkataan, perbuatan dan taqrir.” [12]

Sayyid Muhammad Taqiy al-Hakim berkata:

وَأَلْحَقَ الشِّيْعَةُ الإِمَامِيَّةُ كُلَّ مَا يَصْدُرُ عَنْ أَئِمَّتِهِمْ الإِثْنَي عَشَرَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ بِالسُّنَّةِ الشَّرِيْفَةِ

“Syi’ah imamiyah menghubungkan dengan sunah segala sesuatu yang bersumber dari para imam mereka yang dua belas, berupa perkataan, perbuatan dan taqrir.” [13]
 4
Latar belakang pembentukan istilah dan sumber sunah di kalangan Syi’ah, lebih jauh diterangkan oleh Syekh Muhammad Ridha al-Muzhaffar—Pakar Ushul Fiqih Syi’ah kontemporer—sebagai berikut:

السُّنَّةُ فِي اصْطِلاَحِ الْفُقَهَاءِ: (قَوْلُ النَّبِيِّ أَوْ فِعْلُهُ أَوْ تَقْرِيْرُهُ)… أَمَّا فُقَهَاءُ الإِمَامِيَّةِ بِالْخُصُوْصِ فَلَمَّا ثَبَتَ لَدَيْهِمْ أَنَّ الْمَعْصُوْمَ مِنْ آلِ الْبَيْتِ يَجْرِيْ قَوْلُهُ مَجْرَى قَوْلِ النَّبِيِّ مِنْ كَوْنِهِ حُجَّةً عَلَى الْعِبَادِ وَاجِبَ الإِتِّبَاعِ فَقَدْ تَوَسَّعُوْا فِي اصْطِلاَحِ السُّنَّةِ إِلَى مَا يَشْمُلُ قَوْلَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَعْصُوْمِيْنَ أَوْ فِعْلَهُ أَوْ تَقْرِيْرَهُ، فَكَانَتِ السُّنَّةُ بِاصْطِلاَحِهِمْ: (قَوْلُ الْمَعْصُوْمِ أَوْ فِعْلُهُ أَوْ تَقْرِيْرُهُ)

As-Sunah menurut istilah fuqaha’ adalah “Sabda Nabi, perbuatan dan taqrirnya”…Adapun menurut fuqaha Syi’ah Imamiyah—setelah  kokoh keyakinan mereka bahwa perkataan al-Ma’shum dari kalangan Ahlul Bait setingkat dengan perkataan Nabi Saw. sebagai sebuah hujjah yang wajib diikuti oleh para hamba—sungguh mereka memperluas batasan Sunah menjadi sesuatu yang mencakup perkataan, perbuatan dan taqrir setiap al-Ma’shum (dari Ahlul Bait). Sehingga Sunah dalam terminologi mereka adalah “perkataan, perbuatan atau taqrir al-Ma’shum.”

وَالسِّرُّ فِي ذلِكَ أَنَّ الأَئِمَّةَ مِنْ آلِ الْبَيْتِ عليه السلام لَيْسُوْا هُمْ مِنْ قَبِيْلِ الرُّوَاةِ عَنِ النَّبِيِّ وَالْمُحَدِّثِيْنَ عَنْهُ لِيَكُوْنَ قَوْلُهُمْ حُجَّةً مِنْ جِهَةِ أَنَّهُمْ ثِقَاتٌ فِي الرِّوَايَةِ بَلْ لِأَنَّهُمْ هُمُ الْمَنْصُوْبُوْنَ مِنَ اللهِ تَعَالَى عَلَى لِسَانِ النَّبِيِّ لِتَبْلِيْغِ الأَحْكَامِ الْوَاقِعَةِ، فَلاَ يَحْكُمُوْنَ إِلاَّ عَنِ الأَحْكَامِ الْوَاقِعِيَّةِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى َكَمَا هِيَ، وَذلِكَ مِنْ طَرِيْقِ الإِلْهَامِ كَالنَّبِيِّ مِنْ طَرِيْقِ الْوَحْيِ أَوْ مِنْ طَرِيْقِ التَّلَقِّيْ مِنَ الْمَعْصُوْمِ قَبْلَهُ

Rahasia di balik itu semua adalah karena para imam dari kalangan Ahlul Bait tidaklah sama dengan para perawi dan ahli hadits yang meriwayatkan dari Nabi—hingga perkataan mereka baru dapat dijadikan hujjah jika mereka ‘tsiqah’ dalam periwayatannya—namun mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya untuk menyampaikan hukum-hukum yang bersifat realita. Maka mereka tidak mungkin menetapkan hukum, kecuali jika hukum-hukum realita itu memang berasal dari Allah Ta’ala apa adanya. Dan itu semua (diperoleh) melalui jalur ilham—seperti Nabi melalui jalur wahyu—atau  melalui penerimaan dari (imam) ma’shum sebelumnya…

وَعَلَيْهِ فَلَيْسَ بَيَانُهُمْ لِلأَحْكَامِ مِنْ نَوْعِ رِوَايَةِ السُّنَّةِ وَحِكَايَتِهَا، وَلاَ مِنْ نَوْعِ الإِجْتِهَادِ فِي الرَّأْيِ وَالإِسْتِنْبَاطِ مِنْ مَصَادِرِ التَّشْرِيْعِ، بَلْ هُمْ أَنْفُسُهُمْ مَصْدَرٌ لِلتَّشْرِيْعِ فَقَوْلُهُمْ سُنَّةٌ لاَ حِكَايَةُ السُّنَّةِ

Berdasarkan ini, maka penjelasan mereka terhadap hukum bukan termasuk dalam kategori periwayatan Sunah atau ijtihad dalam menggali sumber-sumber tasyri’, akan tetapi karena merekalah sumber hukum (tasyri’) itu sendiri. Maka perkataan mereka adalah sunah, bukan hikayat sunah.” [14]

Dengan demikian, Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa wahyu tidak terhenti sepeninggal Rasulullah. Karena itu, imam-imam Syi’ah dapat mengeluarkan hadis dan Sunah. Jadi, tidak heran jika surat-surat dan khutbah para imam serta hal-hal lain yang disangkut pautkan dengan ajaran agama diposisikan sebagai hadis dan Sunah. Ini menjadikan kajian hadis Syi’ah berbeda dengan kalangan Ahlus Sunah. Itulah yang menjadikan penyebab jumlah hadis Syi’ah jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hadis Ahlus Sunah.
 5
Dari sini dapat dimaklumi, jika di kalangan Syi’ah jumlah hadis yang bersumber dari para imam itu jauh lebih banyak dibanding dengan hadis Nabi Saw., bahkan hadis Ali sendiri. Demikian itu tampak jelas terlihat jika kita merujuk kepada empat kitab standar hadis Syi’ah (al-Kafi, Man La Yahdhuruh al-Faqih, Tahdzib al-Ahkam, al-Istibshar). Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kandungan hadis dalam empat kitab tersebut sebanyak 43.850 hadis. Jika kita merujuk kepada angka itu, akan didapatkan hasil bahwa kapasitas hadis Nabi Saw. dalam empat kitab itu hanya sebesar 11.30 % (4.956 hadis). Sementara kapasitas hadis Ja’far ash-Shadiq (Imam Syi’ah ke-6) sebesar 25 %  (10.967 hadis).

Berangkat dari fakta ini, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sumber ajaran Syi’ah itu bukan Sunah Rasulullah, melainkan Sunah Ja’fariyyah, sehingga mereka disebut pula kelompok Syi’ah Ja’fariyyah dan fikihnya disebut fikih Ja’fari. Jika demikian halnya, apakah benar Imam Ja’far ash-Shadiq, yang diklaim Syiah sebagai Imam ke-6 itu, sebagai penggagas agama Syiah? Apakah benar beliau mengajarkan doktrin-doktrin Syiah, yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran moyangnya Ahlul Bait (Nabi saw.)? Hakikatnya Imam Ja’far berlepas diri dari apa yang mereka katakan. Kajian lebih lanjut tentang itu akan ditayangkan pada edisi khusus sigabah.com

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

[1] Lihat, Buku Putih Mazhab Syiah, terbitan ormas Syiah (ABI), hal. 22-23.
[2] Lihat, al-Kafi,  jilid 1, hal. 255, pada kitab al-Hujjah.
[3] Ibid., hal. 258.
[4] Ibid., hal. 260.
[5] Ibid., hal. 227.
[6] Ibid., hal. 228.
[7] Ibid., hal. 231.
[8] Ibid., hal. 339.
[9] Ibid., hal. 407.
[10]Lihat, Masyriq asy-Syamsain, hal. 268 dan al-Wajizah fi ad-Dirayah, hal. 2. Lihat pula keterangan  Syekh Abdullah bin Muhammad Hasan al-Mamqani dalam Miqbas al-Hidayah, Juz 1, hal. 57; Syekh Hasan ash-Shadr, dalam Nihayah ad-Dirayah, hal. 80.
[11]Lihat keterangan Syekh Hasan ash-Shadr, Nihayah ad-Dirayah, hal. 85; Syekh I’dad Abu al-Fadhl al-Babuli, Rasa’il fi Dirayah al-Hadis, Juz 2, hal. 530; Syekh Muhammad Husen al-Anshari, al-Ma’ayir al-’Ilmiyyah li Naqd al-Hadis, hal. 20; Syekh Muhammad Kazhim al-Khurasani, Kifayah al-Ushul, hal. 8; Syekh al-Anshari, Fara’id al-Ushul, hal. 365; Syekh Hasan bin Ali Asghar al-MuSawi, Muntaha al-Ushul, Juz 2, hal. 117; Sayyid Muhsin al-Hakim, Haqa’iq al-Ushul, hal. 12.
[12]Lihat, al-Ushul al-’Ammah li al-Fiqh al-Muqaran, hal. 122. Lihat pula keterangan Syekh Abu Thalib at-Tajlil at-Tibrizi dalam Tanzih ay-Syi’ah al-Itsna ’Asyariyah ’an asy-Syubuhat al-Wahiyah, hal. 57.
[13]Lihat, Sunah Ahl al-Bait, hal. 9.
[14]Lihat, Ushul al-Fiqh, hal. 331-332.

Syiah dan Abdullah bin Saba’

Secara historis, asas dan ideologi Syiah tidak muncul secara tiba-tiba atau tanpa perhitungan matang. Sekte yang lebih menonjolkan sikap keberpihakan terhadap Ali ra. ini muncul melalui tahapan yang panjang dan berliku, di mana pada ujungnya, sekte ini memiliki banyak cabang, sebagaimana yang akan kita lihat nanti.
Sejarah awal munculnya sikap keberpihakan yang berlebihan (tasyayyu’) terhadap Sayyidina Ali ra. masih menjadi perdebatan panjang di kalangan sejarawan dan para pengamat sejarah sekte-sekte Islam, baik dari kalangan sejarawan terdahulu maupun para pengkaji sejarah kontemporer. Bahkan, di kalangan Syiah sendiri juga masih belum ditemukan kata sepakat antara penulis yang satu dengan yang lain.
Sebagian penulis Syiah mencatat bahwa sekte ini muncul pada masa Nabi SAW. Awal kemunculan sikap afiliasi terhadap Sayyidina Ali ra. bersamaan dengan munculnya risalah Nabi SAW. itu sendiri. Menurutnya, Nabi-lah yang menjadi ‘peletak batu pertama’ munculnya benih-benih Syiah. Karenanya, pendapat ini menyatakan bahwa sejak masa Nabi SAW. sudah terdapat sekelompok kecil sahabat yang memihak terhadap Sayyidina Ali ra.
Muhammad Husain Ali Kasyif al-Ghitha’, seorang penulis Syiah kontemporer ternama, adalah di antara mereka yang berpendapat demikian. Dalam salah satu karyanya, dia mengemukakan bahwa orang pertama kali yang memunculkan benih-benih keberpihakan terhadapa Sayyidina Ali ra. adalah pembawa syariat Islam sendiri (Nabi Muhammad SAW.). Artinya, menurut pandangan ini, munculnya benih-benih Syiah adalah bersamaan dengan munculnya benih-benih ajaran Islam.[1]
Hal serupa juga diungkapkan oleh Muhammad Jawwad Mughniyah. Penulis kontemporer Syiah yang satu ini beranggapan bahwa Nabi Muhammad SAW. telah memunculkan ideologi Syiah dan seruan untuk mencintai Sayyidina Ali ra. dan keluarganya. Ia juga memaparkan bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah orang yang pertama kali menggunakan kata ‘Syiah’ terhadap para pengikutnya. Muhammad Jawwad Mughniyah meyakinkan, andai saja tidak ada Nabi Muhammad SAW., niscaya Syiah tidak akan muncul dan tidak berbekas.[2]
Tokoh Syiah terkemuka dan motor penggerak revolusi Iran, Ayatullah Ruhullah Khomaini, dalam “al-Hukumah al-Islamiyyah”-nya, juga mengemukakan komentar yang sama. Menurutnya, Syiah sebetulnya muncul dari titik nol. Ketika Rasulullah SAW. mengumpulkan kaumnya, lalu mengajukan asas khilafah kepada mereka, Rasulullah SAW. malah ditertawakan dan dihina oleh mereka. Khomaini melanjutkan, bahwa Rasulullah SAW. bersabda kepada mereka, “Siapa yang akan menjadi pengganti, pewaris dan menteriku menangani urusan ini?” lalu tidak satupun yang meresponnya kecuali Sayyidina Ali ra. padahal beliau saat itu masih berusia muda. Pada saat itu, salah seorang dari mereka berkata kepada Abu Thalib, seraya memberi dorongan, “Sesungguhnya, keponakanmu ingin agar kamu memperhatikan omongan anakmu dan mematuhinya.[3]
Di sini secara tidak langsung, para penulis Syiah di atas menafikan peran Abdullah bin Saba’ (w. 40 H) dalam kancah sejarah awal kemunculan Syiah. Memang, tidak sedikit dari kalangan penulis Syiah mutakhir yang mempermasalahkan kebenaran munculnya orang Yahudi yang digembar-gemborkan sebagai proklamator pecinta keluarga Nabi SAW. (Ahlul Bait) ini, kendati keberadaan Abdullah bin Saba’ telah menjadi kenyataan sejarah yang tak terelakkan, dan telah diungkap profil, latarbelakang dan perannya oleh para ahli di setiap periode.
Seorang penulis Syiah kontemporer, Murtadha al-‘Askari, adalah salah satu di antara mereka yang mengingkari keberadaan Abdullah bin Saba’. Menurutnya, kisah tentang Abdullah bin Saba’ hanyalah sebuah legenda yang tidak ditemukan ujung pangkalnya, ia hanyalah tokoh fiktif yang dibuat-buat (utshurah).[4] Bahkan, di antara penulis itu, seperti Ali al-Wardi dan Musthafa asy-Syaibi, beranggapan bahwa Abdullah bin Saba’ tidak lain adalah seorang sahabat yang bernama Ammar bin Yasir ra.[5]
Penafian terhadap Ibnu Saba’ juga diakui seorang penulis kenamaan terkini, Dr. Quraish Shihab. Berikut kutipan komentar sosok yang dikenal sebagai pakar tafsir modern ini dalam bukunya, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran: “Rasanya tidaklah logis, seorang Yahudi dapat mempengaruhi sahabat-sahabat besar Nabi SAW. Tak dapat dibayangkan, bahwa tokoh semacam Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Thalhah dan az-Zubair ra—yang pengetahuan, keikhlasan, dan kedekatan mereka kepada Nabi SAW. sudah umum diketahui—dapat dikelabui oleh seorang Yahudi, sehingga upaya berdamai mereka gagal. Karena itu, banyak pakar, baik Sunnah, lebih-lebih Syiah, yang menolak bukan saja peranan Abdullah bin Saba’ yang demikian besar, tetapi wujud pribadinya dalam kenyataan pun mereka sangsikan. Tidak sedikit pakar menilai bahwa pribadi Abdullah bin Saba’ sama sekali tidak pernah ada. Ia adalah tokoh fiktif yang diciptakan para anti-Syiah. Ia (Abdullah bin Saba’) adalah sosok yang tidak pernah wujud dalam kenyataan. Thaha Husain – ilmuwan kenamaan Mesir – adalah seorang yang menegaskan ketiadaan Bin Saba’ itu. Dan bahwa ia adalah hasil rekayasa musuh-musuh Syiah.”[6]
Namun, jika kita merujuk pada buku-buku sejarah yang otoratif, atau pada pernyataan para sejarawan terkemuka, agaknya pernyataan dari para tokoh Syiah ini lebih merupakan upaya preventif dalam rangka melindungi akidah dan menutupi kedok mereka. Sebab dalam catatan sejarah perkembangan Islam, peran Abdullah bin Saba’ sudah menjadi rahasia umum. Malah, biang keladi gerakan yang mengobarkan pemberontakan terhadap khalifah Utsman bin Affan ra. ini tidak hanya menjadi bahan dokumentasi ulama Sunni, tokoh-tokoh Syiah pun tidak ketinggalan membukukan biografinya. Tidak sedikit para pemuka Syiah yang diakui memiliki kapabilitas dan dinilai ‘tsiqah’ periwayatannya, mengakui akan keberadaan sosok yang disebut sebagai Abdullah bin Saba’.
Sa’ad al-Qummi, seorang tokoh dan pakar fikih Syiah abad ketiga, tidak memungkiri keadaan Abdullah bin Saba’. Tokoh yang dikenal ‘tsiqah’ dan memiliki wawasan luas di kalangan Syiah ini, malah menyebutkan dengan rinci para pengikut Abdullah bin Saba’, yang dikenal dengan sekte Saba’iyah. Dalam karyanya, Al-Maqalat wa al-Firaq, al-Qummi menyatakan bahwa Saba’iyah adalah sekte (firqah) pertama kali yang menerapkan sikap mendukung atau mencintai secara berlebihan (al-ghuluw) terhadap Sayyidina Ali ra. dalam perjalanan sejarah Islam.
Menurut tokoh Syiah—yang konon telah bertemu dengan Imam-iman Syiah yang ma’shum—Abdullah bin Saba’ adalah orang pertama kali yang memunculkan cacian dan kebencian terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman dan para sahabat ra. atas dasar perintah Sayyidina Ali ra. Akan tetapi, ketika perilaku itu diketahui oleh Sayyidina Ali ra., beliau lantas memerintahkan agar Abdullah bin Saba’ dibunuh. Akhirnya, Abdullah bin Saba’ diasingkan ke Mada’in.[7]
Kisah tentang Abdullah bin Saba’ juga dikutip oleh guru besar Syiah, An-Nubakhti dan Al-Kasyi.[8] Kedua guru besar Syiah ini—dikalangan Syiah—dikenal ‘tsiqah’ dan menjadi rujukan mereka. Kutipan statemen yang dipaparkan oleh Al-Kasyi berikut akan lebih memperjelas tentang wujud Abdullah bin Saba’: “Para pakar ilmu menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang Yahudi yang kemudian masuk Islam. Atas dasar keyahudiannya, ia menggambarkan Ali ra. setelah wafatnya Rasulullah SAW. sebagai Yusya’ bin Nun yang mendapatkan wasiat dari Nabi Musa As…”
Sejarawan kenamaan Syiah pada masa dinasti Abbasiyah, Ahmad bin Abi Ya’qub, juga ikut andil mencatat sosok Abdullah bin Saba’. Dia mengutip perkataan Sayyidina Utsman ra. saat marah-marah terhadap Sahabat Ammar bin Yasir karena telah merahasiakan wafatnya Abdullah bin Mas’ud dan Miqdad bin Al-Aswad: “Celakalah Ibnu as-Sauda’ (Abdullah bin Saba’) itu. Sungguh aku benar-benar mengetahuinya.”[9]
Dalam salah satu karyanya, Ibnu Khaldun juga menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba’—yang populer dengan sebutan Ibnu as-Sauda’—adalah orang Yahudi. Dia memeluk agama Islam pada masa Sayyidina Utsman bin Affan ra., namun sangat tidak mencerminkan kepribadian seorang Muslim.[10] Saat Sayyidina Utsman bin Affan ra. menjabat sebagai khalifah, Abdullah bin Saba’ berkali-kali diasingkan dari komunitas Muslim. Mula-mula ia dibuang ke Bashrah, kemudian diusir oleh Abdullah bin Amir dan melarikan diri ke Kufah, lalu ke negeri Syam hingga akhirnya ke Mesir. Di sanalah dia melanjutkan misinya; menyebarkan propaganda untuk mempengaruhi banyak orang agar mencaci Sayyidina Utsman ra.[11] Dalam propagandanya, dia menyatakan bahwa Utsman ra. telah merampas hak khilafah. Secara diam-diam, sosok yang konon berdarah Yaman itu juga mengajak penduduk Mesir untuk memihak pada Ahlul Bait. Dia menegaskan bahwa Sayyidina Ali ra. adalah orang yang mendapat wasiat dari Rasulullah SAW. untuk menjdai penggantinya.[12]
Berangkat dari paparan para penulis Sunni dan para guru besar Syiah ini, jelaslah kiranya, bahwa orang-orang Syiah kontemporer berusaha untuk menyembunyikan kenyataan ini. Mereka sengaja melakukan distorsi terhadap fakta sejarah yang tidak hanya ditulis oleh para penulis Sunni dan para sejarawan yang otoritatif, namun juga diakui oleh orang-orang Syiah sendiri. Mereka menutup-nutupi keberadaan Abdullah bin Saba’ karena ideologinya tidak jauh berbeda dengan ideologi Saba’iyah.
Dalam hal ini, Dr. Ahmad Muhammad Ahmad Jaliy dalam bukunya Dirasah ‘an al-Firaq fi Tarikh al-Muslimin “al-Khawarij wa asy-Syi’ah” dan Dr. Nashir bin Abdillah Al-Qifari dalam Ushulu Madzahib asy-Syiah al-Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyah, menulis bahwa orang-orang Syiah memang sengaja berupaya menutup-nutupi peran Abdullah bin Saba’ dalam sejarah awal kemunculan alirannya. Upaya mereka dalam mengembalikan sejarah awal kemunculan sektenya pada masa Nabi SAW. sebetulnya adalah upaya pelarian, guna menyangkal gerak mereka yang kontras Syiah, dan telah membuktikan bahwa ideologi Syiah memang bersumber dari Yahudi dan doktrin-doktrin Persia.[13]
Lebih jelas, Dr. Ahmad Muhammad Ahmad Jaliy menegaskan: “Dalam sorotan kajian ilmiah mutakhir untuk permasalahan krusial dalam sejarah Islam ini, pandangan Thaha Husain dan sejenisnya mengenai Abdullah bin Saba’ tidak dihiraukan oleh para pengkaji yang menekankan penelitian mendalam terhadap berita-berita dan realita seputar gerakan Saba’iyah. Mereka menetapkan fakta yang tidak memberikan ruang keraguan akan keberadaan Abdullah bin Saba’ dan hal-hal yang berkenaan dengannya, dalam menggerakan fitnah dan mempersiapkan kehancurannya dengan rapi.”[14]
Sementara asumsi yang dimunculkan oleh Dr. Quraish Shihab di atas, adalah asumsi yang meleset dan tidak memiliki landasan apapun dari sejarah. Kekeliruan Dr. Quraish Shihab terletak pada pilihan beliau yang hanya mengikuti asumsi penulis Syiah kontemporer, yakni Muhammad Ali Kasyif al-Ghitha’, dimana pernyataannya juga ditolak mentah-mentah oleh para ahli serta bertentangan dengan pandangan ulama-ulama Syiah terdahulu yang dianggap otoritatif.
Maka dapat dimaklumi, bahwa pemaparan Dr. Quraish Shihab dalam konteks ini sungguh amat dangkal. Beliau tidak berani masuk pada akar permasalahan dan sama sekali tidak menunjukkan bukti-bukti kesejarahan dari sumber-sumbernya yang terpercaya. Dr. Quraish Shihab, misalnya, sama sekali tidak melakukan pembacaan terhadap situasi dan kondisi umat Islam, di mana Abdullah bin Saba’ melancarkan berbagai propagandanya.
Namun demikian, upaya Dr. Quraish Shihab yang perlu mendapat acungan jempol adalah kelihaiannya dalam menggiring logika pembaca, dan pembacaannya yang cermat terhadap nalar mereka. Bahwa siapa pun akan setuju dengan pernyataan bahwa Sayyidina Ali ra. tidak mungkin terpengaruh oleh propaganda murahan Abdullah bin Saba’, sebab faktanya, Sayyidina Ali ra. sendiri pernah membakar hidup-hidup para pengikut abdullah bin Saba’ yang mengkultuskan beliau. Demikian pula halnya dengan pemuka sahabat yang lain, mereka semua tidak ada yang terpengaruh oleh fitnah Ibnu Saba’, sebab ia (Abdullah bin Saba’) hanya menyebarkan ajaran-ajaran sesatnya kepada masyarakat Muslim awam, yang sebelumnya telah termakan isu miring mengenai berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh para menteri dan gubernur Khalifah Utsman ra.
Abdullah bin Saba’ berikut para musuh Islam lain yang sebelumnya telah dipecundangi umat Islam, pada periode Khalifah Utsman seakan menemukan momentum baru untuk melakukan pembalasan terhadap kaum Muslimin. Di sinilah mereka berjuang mengorbankan fitnah dikalangan masyarakat akar rumput yang tidak selektif dalam menerima informasi, serta telah terlanjur membenci para pemimpin daerah dan para pemegang kebijakan pada periode pemerintahan Sayyidina Utsman ra.
Nah, disinilah Abdullah bin Saba’ berhasil mencaplok sebagian besar mereka yang menaruh dendam kepada pemerintah. Ia mulai menyebarkan akidah-akidah menyimpang yang diadopsinya dari ajaran Yahudi, seperti raj’ah, bada’, para nabi, para washi dan sebagainya. Menurutnya, setiap nabi pasti mempunyai washi , dan Ali adalah washi-nya Nabi Muhammad SAW. Setelah berhasil menyebarkan akidah tersebut, selanjutnya ia beralih menyebarkan sikap anti-Utsman dengan cara mencemarkan nama baik beliau yang dituduh merampas kursi kekhilafahan Sayyidina Ali ra. tanpa hak. Selanjutnya, provokasi Abdullah bin Saba’ yang sangat rapi dan terencana ini berujung pada kudeta kepala Negara dan terbunuhnya sang Khalifah.[15]

Kembali pada ajaran sesat Abdullah bin Saba’, sekalipun gerakan pengkultusan terhadap Sayyidina Ali ra. sendiri, sebagaimana paparan guru besar Syiah, al-Qummi, namun ideologi yang diajarkan Abdullah bin Saba’ terlanjur tertanam subur dalam benak orang-orang yang memiliki nilai keimanan dangkal. Semakin hari, doktrin sesat Abdullah bin Saba’ itu semakin merebah ke berbagai kawasan.

Peristiwa Jamal dan Shiffin yang kemudian disusul dengan terbunuhnya Ali ra. dan Husain putra Ali ra., selanjutnya menjadi semacam pupuk yang semakin menyuburkan doktrin-doktrin sesat Abdullah bin Saba’ itu. Kufah adalah sasaran utamanya dalam penyebaran fitnah dan propaganda ideologis atas nama kecintaan terhadap Ahlul Bait. Peristiwa -peristiwa itulah yang mereka jadikan momentum baru untuk memperkokoh propagandanya yang tidak lain hanyalah untuk menghancurkan persatuan umat Islam.[16]

By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] Muhammad Husain Ali Kasyif al-Ghitha’, Ashl as-Syiah wa Ushuliha, hlm. 43
[2] Muhammad Jawwad Mughniyah, asy-Syiah fi al-Mizan, hlm. 17 dan Tarikh al-Fikr al-Ja’fari, hlm. 105; al-Wabili, Hawiyat asy-Syiah, hlm. 27 dan buku-buku Syiah kontemporer lainnya.
[3], Ayatullah Ruhullah Khomaini, al-Hukumah al-Islamiyyah,hlm. 131.
[4] Murtadha al-‘Askari, Abdullah bin Saba’, hlm. 35 dan seterusnya.
[5] Ali al-Wardi, Wu’adh as-Shalathin, hlm. 274 dan Musthafa asy-Syaibi, as-Shilah baina at-Tashawuf wa at-Tasyayyu’, hlm. 40-41
[6] Dr. Quraish Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Hlm. 65.
[7] Al-Qummi, Al-Maqalat wa al-Firaq, hlm. 20.
[8] Lihat penjelasan Abdullah bin Saba’ dalam Firaq as-Syi’ahkarya An-Naubakhti, hlm. 22 dan Rijal al-Kasyi, hlm. 106-108. Lihat pula penjelasan lengkap oleh Sulaiman bin Hamad Al-‘Audah dalam Abdullah bin Saba’ wa Atsaruhu fi-Ahdatsi al-Fitnah fi-Shadhri al-Islam.
[9] Tarikh al-Ya’qubi, juz 2 hlm. 171. Dalam literatur sejarah Islam dijelaskan bahwa Ibnu Sauda’ adalah nama Abdullah bin Saba’ yang populer. Lihat dalam Tarikh Ibnu Khaldun, juz 2 hlm. 139-161 dan juz 3 hlm. 171.
[10] Sayyid Husain Al-Musawi, setelah keluar dari sekte Syiah, mengungkap dan mengakui bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang Yahudi yang menampakkan diri sebagai seorang Muslim. Lihat pula Umar Abdul Jabbar; Khulashah Nurul Yaqin.
[11] Dalam catatan Dr. Muhammad Kamil Al-Hasyimi dijelaskan bahwa orang-orang yang dipropaganda oleh Abdullah bin Saba’ adalah orang-orang Mesir yang tidak puas dengan wakil-wakil Khalifah Utsman ra. yang ada di Mesir dan daerah-daerah lain. ‘Aqa’idu as-Syiah fi al-Mizan (dalam edisi Bahasa Indonesia, Hakikat Akidah Syiah), hlm. 14.
[12] Tarikh Ibnu Khaldun, juz 2 hlm. 139. Lihat juga kutipan kitabRaudh Shafa karya sejarawan Iran oleh Dr. Ahmad Kamal Sya’t dalam bukunya Asy-Syi’ah Al-Imamiyah Falsafah wa Tarikh, hlm. 109.
[13] Lihat, Dr. Ahmad Muhammad Ahmad Jaliy, Dirasah ‘an al-Firaq wa Tarikh al-Muslimin, Al-Khawarij wa asy-Syi’ah, hlm. 156. Lihat juga, Dr. Nashir bin Abdillah Al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah al-Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyah, juz 1 hlm. 72-73, dan Muhammad Al-Bandari, At-Tasyayyu’ baina Mafhum al-A’immah wa al-Mafhum al-Farisi, hlm. 20.
[14] Dr. Ahmad Muhammad Ahmad Jaliy, Dirasah ‘an al-Firaq wa Tarikh al-Muslimin, Al-Khawarij wa asy-Syi’ah, hlm. 157.
[15] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, juz 4 hlm. 340-341.
[16] Dr. Muhammad Kamil al-Hasyimi, ‘Aqa’idu asy-Syiah fi al-Mizan (edisi Bahasa Indonesia, Hakikat Akidah Syiah), hlm. 16.