Wednesday, May 11, 2016

Mengungkap Akar Konflik Syiah-Sunni

kelompok syiah dalam salah satu perayaan

Jumat, 6 Mei 2016
Oleh : Dr. Slamet Muliono*
Menarik untuk mengeksplorasi daurah yang diselenggarakan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang mengambil tema “Naqdh Aqo’id Asy Syi’ah Al Imamiyah” dengan menghadirkan seorang pakar ajaran Syi’ah, Syaikh Ali bin Abdullah Al Amary. Setidaknya ada empat informasi penting yang bisa diambil dari daurah ini.
Pertama, ajaran Syiah berujung mengkafirkan para sahabat nabi. Kedua, Syiah memiliki bermacam aliran yang mengkafirkan satu sama lain. Ketiga, Syi’ah meyakini bahwa konsekuensi cinta kepada ahlul bait adalah membenci sahabat nabi. Keempat, Syiah membenci Ahlus Sunnah dan bisa bergaul dengan orang Yahudi dan Nasrani. (Fokusislam.com.5/5/2016)
Apa yang diungkap oleh Syaikh Ali bin Abdullah Al-Amiry setidaknya mengungkap jati diri Syiah sehingga bisa untuk membaca dinamika Syiah-Sunni yang penuh dengan perseteruan dan konflik yang sulit didamaikan. Secara teoritik akademik, konflik dua aliran keagamaan itu ingin segera diakhiri dengan berbagai upaya untuk didekatkan. Banyak pihak berupaya untuk melakukan pendekatan, dan bahkan hingga mencari persamaan di antara keduanya.
Namun upaya itu lebih banyak bersifat basa basi, dan tidak berhasil mengungkap akar masalahnya. Konflik yang tidak segera berakhir, disamping karena disulut oleh kepentingan politik, juga karena ajaran Syiah sendiri memang berlawanan dengan apa yang diajarkan Ahlussunnah.
Kalau dilihat dari akar dan genealogi, ajaran yang digagas Abdullah bin Saba’ itu,  lebih banyak dipenuhi dengan laknat kepada para sahabat nabi. Kalau merujuk kepada kitab rujukan asli yang ditulis oleh ulama Syiah, banyak dijumpai ajaran yang mengkafirkan  sahabat. Bahkan hampir seluruh sahabat Nabi dinyatakan keluar dari Islam kecuali tiga saja, yakni Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqdad bin Aswad. Syiah bukan hanya mengkafirkan tetapi juga melaknatnya.
Dua Sahabat Terbaik
Terlebih yang dilaknat oleh kelompok syiah bukan sahabat biasa, tetapi sahabat agung dan mulia, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Padahal dua manusia yang dijamin masuk surga itu, tidak lain mertua Nabi sekaligus sahabat terbaik. Dua sahabat besar ini memiliki kontribusi yang agung bagi umat Islam dan berkontribusi dalam meneguhkan peradaban Islam. Syiah menjuluki keduanya sebagau “Al-jibtu wa al-thoghut”.
Dalam sejarah disebutkan bahwa prestasi gemilang Abu Bakar adalah keberhasilannya dalam mengembalikan umat Islam dari kemurtadan dan memperbaiki agama mereka. Sementara Umar disamping dikenal sebagai pemimpin yang adil, juga berhasil memperluas wilayah Islam dan meruntuhkan imperium Persia dan imperium Romawi.
Syi’ah memang memiliki sejumlah varian dan bermacam-macam pemikiran, dan satu sama lain saling mengkafirkan dan sulit dipersatukan. Di antara aliran Syiah itu, ada aliran yang dekat dengan Ahlussunnah, yaitu Syiah Zaidiyah, dimana mereka menerima kepemimpinan Abu Bakar dan Umar. Sementara Syi’ah secara umum serta yang ekstrem lainnya seperti Rafidha, Hutsi dan Jarudiyah, bukan hanya meniadakan kepemimpinan dua khalifah itu, tetapi melakukan pengkafiran kepada dua khalifah itu.
Syiah bukan hanya berbeda dengan Ahlussunnah tetapi bertentangan dalam ajarannya dalam hal yang sangat prinsip. Kalau Syiah menganggap bahwa mencintai Ahlul Bait berkonsekuensi membenci para sahabat, maka Ahlussunnah menyakini bahwa mencintai Ahlul Bait berarti juga mencintai sahabat nabi semuanya. Kesalahan pemahaman dalam mencintai Ahlul Bait, dengan membenci para sahabat, memiliki dampak dan konsekuensi. (1) Pencitraan bahwa Syiah adalah kelompok yang paling cinta dan loyal terhadap Ahlul Bait. (2) Pencitraan bahwa Ahlussunnah merupakan kelompok yang benci Ahlul Bait. Dua hal ini memiliki konsekuensi bahwa kalau masyarakat cinta Ahlul Bait maka mereka harus mencintai Syiah dan membenci Ahlussunnah.
Terjadinya pandangan yang terdistorsi seperti itu sangat wajar  bila melahirkan sejumlah pertentangan antara Syiah dan Ahlussunnah. Salah satu di antaranya adalah spirit Syiah yang ingin memusnahkan keberadaan Ahlussunnah sebagaimana yang bisa kita saksikan dengan sepak terjang Iran di beberapa negara di kawasan Timur Tengah. Hal ini bisa kita lihat beberapa fakta seperti Yaman dengan Hutsinya, Libanon dengan Hizbullahnya, dan Suriah dengan Bashar Assadnya. Bukti empirik permusuhan Syiah terhadap Ahlussunnah, sebagaimana diungkapkan Syaikh Al-Amary, dengan ketiadaan masjid Ahlussunnah yang berdiri tegak di Iran. Beberapa sumber terpercaya menyebutkan bahwa muslim Sunni yang ingin shalat di masjid harus sembunyi-sembunyi. Bahkan kalau mau shalat harus datang ke masjid di komplek Kedubes Saudi yang ada di Iran. Hal ini karena Syi’ah yang menaruh kebencian yang besar kepada Ahlussunnah. Sementara keberadaan Sinagog (tempat ibadah Yahudi) bisa ditemukan di negara para Mullah itu.
Fakta empirik di lapangan menunjukkan kedekatan hubungan antara Syiah dengan Yahudi dan Nasrani. Syiah mau bergaul dengan siapapun, meskipun dengan orang Yahudi dan Nasrani, tapi tidak demikian halnya dengan kelompok Ahlussunnah. Bukti empiriknya,  ribuan website, tak ada satupun melakukan bantahan kepada Yahudi dan Nasrani, tetapi bantahan senantiasa ditujukan kepada Ahlussunnah.
Fakta-fakta tentang pengkafiran terhadap para sahabat nabi, cinta kepada ahlul bait dengan membenci sahabat nabi, dan kebencian Syiah terhadap Ahlus Sunnah serta kedekatannya dengan orang Yahudi dan Nasrani, maka hal itu menunjukkan sulitnya menuju persatuan antara Syiah dan Ahlussunnah. Hal itu bisa kita lihat fenomena di Suriah, dimana Bashar Assad, yang berideologi Syiah dengan dukungan kuat Iran, tega membunuh rakyatnya sendiri yang mayoritas Ahlussunnah.
Surabaya, 6 Mei 2016
*Penulis adalah dosen di UIN Sunan Ampel dan STAI Ali Bin Abi Thalib Surabaya
http://fokusislam.com/3001-mengungkap-akar-konflik-syiah-sunni.html