Wednesday, June 20, 2018

Syaikh 'Abdul Qadir Al-Jailani Berakidah Salafush Soleh (Akidah Para Sahabat) Dalam Masalah Masalah Tauhid, Al-Asma` Wa Ash-Shifat, Takdir, Hari Akhir, Dan Kesesatan Syi’ah. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Tulen. Kitabnya Yang Terkenal, Al Ghunyah Li Thalibi Dan Futuh Al-Ghaib.

Apakah Cerita Karomah Kesaktian Syech Abdul Qadir Jaelani Itu Benar - Ustadz Firanda
Syeikh Abdul Qadir Jailani Dan Syiah

Siapakah Abdul Qadir Al-Jailani?

Tahukah anda siapa itu Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani?

Ya, semua orang tahu siapa itu Abdul Qadir Jailani. Mulai dari anak-anak kecil sampai orang-orang tua pun tahu tentang Abdul Qadir Jailani, sampai para tukang becak pun tahu akan siapa tokoh ini. Sampai-sampai jika ada orang yang bernama Abdul Qadir, maka orang akan mudah menghafal namanya disebabkan namanya ada kesamaan dengan nama Abdul Qadir Jailani. Yang jelas, selama orangnya muslim, pasti tahu siapa itu Abdul Qadir Jailany. Ya minimal namanya.

Jika nama Abdul Qadir disebut atau didengarkan oleh sebagian orang, niscaya akan terbayang suatu hal berupa kesholehan, dan segala karomah, serta keajaiban yang dimiliki oleh beliau menurut mereka.Orang-orang tersebut akan membayangkan Abdul Qadir Jailani itu bisa terbang di atas udara, berjalan di atas laut tanpa menggunakan seseuatu apapun, mengatur cuaca, mengembalikan ruh ke jasad orang, mengeluarkan uang di balik jubahnya, menolong perahu yang akan tenggelam, menghidupkan orang mati dan lain sebagainya.
Apakah semua itu betul, ataukah semua itu hanyalah karangan dan kedustaan dari para qashshash (pendongeng) yang bodoh?
Berikut sedikit keterangan mengenai siapakah Abdul Qadir Al-Jailani.

(Nama lengkap beliau)

Seorang ahli sejarah Islam, Ibnul Imad menyebutkan tentang nama dan masa hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany: “Pada tahun 561 H hiduplah Asy-Syaikh Abdul Qadir bin Abi Sholeh bin Janaky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh bin Al-Hasan bin Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailany”. (Lihat Syadzarat Adz-Dzahab (4/198) oleh Ibnul Imad Al-Hanbaly).
(Tempat kelahiran beliau)

Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany adalah salah seorang ulama ahlusunnah yang berasal dari negeri Jailan. Kepada negeri inilah beliau dinasabkan sehingga disebut “Al-Jailany”, artinya seorang yang berasal dari negeri Jailan.Jailan merupakan nama bagi beberapa daerah yang terletak di belakang Negeri Thobaristan. Tidak ada satu kota pun terdapat di negeri Jailan kecuali ia hanya merupakan bentuk perkampungan yang terletak pada daerah tropis di sekitar pegunungan. (Lihat Mu’jam Al-Buldan (4/13-16) Oleh Abu Abdillah Yaqut bin Abdillah Al-Hamawy)
(Komentar para ulama tentang beliau)

Para ulama memberikan pujian kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany termasuk orang yang berpegang-teguh dengan sunnah dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, Qodar, dan semisalnya, bersungguh-sungguh dalam membantah orang yang menyelisihi perkara tersebut. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany berkata dalam kitabnya Al-Ghun-yah yang masyhur: [Allah berada di bagian atas langit, bersemayam di atas Arsy, menguasai kerajaan, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, kepada-Nya lah naik kata-kata yang baik dan amalan sholeh diangkatnya. Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, lalu urusan itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang sama dengan seribu tahun menurut perhitungan kalian.Tidak boleh Allah disifatkan bahwa Dia ada di segala tempat. Bahkan Dia di atas langit, di atas Arsy sebagaimana Allah berfirman, “Ar-Rahman (Allah) tinggi di atas Arsy”.
Kitab Al-Ghun-yah di atas, judul lengkapnya adalah: “Ghun-yah Ath-Tholibin” sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud (3/300), dan Al-Mubarakfury dalam Tuhfah Al-Ahwadzi (7/430)  Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah berkata, “Kami masuk Baghdad tahun 561 H. Ternyata Syaikh Abdul Qadir termasuk orang yang mencapai puncak kepemimpinan dalam ilmu , harta, fatwa dan amal disana. Penuntut ilmu tidak perlu lagi menuju kepada yang lainnya karena banyaknya ilmu, kesabaran terhadap penuntut ilmu, dan kelapangan dada pada diri beliau. Orangnya berpandangan jauh. Beliau telah mengumpulkan sifat-sifat yang bagus, dan keadaan yang agung. Saya tak melihat ada orang yang seperti beliau setelahnya.” (Lihat Dzail Thobaqot Hanabilah (1/293) karya Ibnu Rajab.)
Kehebatan-kehebatan yang dinisbatkan kepada beliau  Adapun khurafat yang biasa dinisbahkan kepada beliau sebagaimana yang telah kami sebutkan contohnya di atas, maka Al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah berkata: “Akan tetapi Al-Muqri’ Abul Hasan Asy-Syanthufi Al-Mishri telah mengumpulkan berita-berita, dan keistimewaan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany sebanyak tiga jilid. Ia telah menulis di dalamnya suatu musibah, dan cukuplah seseorang itu dikatakan berdusta jika ia menceritakan segala yang ia dengar. …. Di dalamnya terdapat keanehan, malapetaka, pengakuan dusta, dan ucapan batil, yang tak bisa lagi dihitung. Semua itu tak bisa dinisbahkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany rahimahullah. Kemudian saya mendapatkan Al-Kamal Ja’far Al-Adfawy telah menyebutkan bahwa Asy-Syanthufi sendiri tertuduh dusta dalam berita yang ia riwayatkan dalam kitab ini.” (Lihat Dzail Thobaqot Hanabilah (1/293) karya Ibnu Rajab)  Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Mereka telah menyebutkan dari beliau (Abdul Qadir Al-Jailany) ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, pengungkapan urusan gaib, yang kebanyakannya adalah ghuluw (sikap berlebih-lebihan). Beliau orangnya sholeh dan wara’. Beliau telah menulis kitab Al-Ghun-yah, dan Futuh Al-Ghaib. Dalam kedua kitab ini terdapat beberapa perkara yang baik, dan ia juga menyebutkan di dalamnya hadits-hadits dha’if, dan palsu. Secara global, ia termasuk di antara pemimpin para masyayikh (orang-orang yang berilmu)”. (Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah (12/252) oleh Ibnu Katsir)
Kesimpulannya:  Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah seorang ulama ahlussunnah wal jamaah, salafi. Mempunyai karya-karya ilmiah di antaranya kitab Al-Ghun-yah dalam masalah tauhid Al-Asma` wa Ash-Shifat, yang di dalamnya beliau menjelaskan tentang akidah ahlussunnah. Sebagian ulama belakangan menyebutkan bahwa memang beliau mempunyai beberapa karamah, hanya saja sebagian orang-orang jahil lagi ghulum kepada beliau terlalu memperbesar-besar kejadiannya dan banyak menambah kisah-kisah palsu lagi dusta lalu menyandarkannya kepada beliau -rahimahullah-.  Wallahu a’lam bishshawab
Ringkasan dari muqaddimah tulisan Al-Ustadz Abu Faizah Abdul Qadir yang berjudul Biografi Abdul Qadir Al-Jailani Sebuah sosok yang dikultuskan ahli tasawwuf

Siapa Abdul Qadir Al-Jailani?

Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc
Mengenal Abdul Qadir Al-Jailani
Siapa yang tidak pernah mendengar nama Abdul Qodir al-Jailani?
Hampir semua muslim pernah mendengar namanya.
Dari anak SD hingga manusia usia senja, mengenal namanya.
Ketika namanya disebut, yang terbayang keshalehan dengan segudang karomah.

Lalu siapakah sebenarnya Abdul Qodir al-Jailani itu?
Nama dan Nasab

Seorang ahli sejarah Islam, Ibnul Imad menyebutkan tentang nama dan masa hidup Abdul Qadir Al-Jailani,
 “Pada tahun 561 H hiduplah Asy-Syaikh Abdul Qadir bin Abi Sholeh bin Janaky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh bin Al-Hasan bin Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailani.”
(Syadzarat Adz-Dzahab, Ibnul Imad Al-Hanbali, 4/198)

Tempat Kelahiran

Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany adalah salah seorang ulama ahlusunnah yang berasal dari negeri Jailan. Dari nama negerinya ini, beliau dinasabkan sehingga disebut “al-Jailani”, artinya seorang yang berasal dari negeri Jailan.
Jailan sendiri merupakan nama bagi beberapa daerah yang terletak di belakang Negeri Thobristan.
Kota yang ada di negeri Jailan, hanyalah perkampungan yang terletak pada daerah tropis di sekitar pegunungan.
 (Mu’jam Al-Buldan, 4/13-16)

Madzhab Fiqh Syaikh Abdul Qadir

Beliau termasuk salah satu ulama dan tokoh dalam madzhab Hambali. Ad-Dzahabi ketika membawakan biografinya menyatakan,

الجِيْلِيُّ الحَنْبَلِيُّ، شَيْخُ بَغْدَادَ

Beliau dari Jailani, bermadzhab hambali, tokoh di Baghdad.
Kemudian ad-Dzahabi menyebutkan beberapa guru beliau, diantaranya, Abu Ghalib al-Baqillani, Ahmad bin Mudzaffar, Abu Qasim bin Bayan.

Sementara murid beliau, sederet ulama madzhab hambali, diataranya, as-Sam’ani, al-Hafidz Abdul Ghani – penulis Umdatul Ahkam –, dan al-Muwaffaq Ibnu Qudamah, penulis kitab al-Mughni .
(Siyar A’lam an-Nubala, 20/439)

Aqidah Syaikh Abdul Qadir

Bagian ini sagat penting untuk kita pahami, menyusul banyaknya keyakinan tentang beliau yang banyak bercampur khurafat dan takhayul. Salah satunya, dikatakan bahwa Syaikh Abdul Qadir mampu mengambil kembali ruh yang sudah dicabut oleh malaikat. Kemudian dikembalikan kepada orang yang baru meninggal.
Ini kisah sangat jelas kedustaannya. Siapapun manusia, bahkan seorang Nabi-pun, tidak mampu melakukan semacam ini.
Yang sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi sekarang, tapi sudah ada di masa silam. Dan para ulama ahlus sunah berusaha meluruskannya. Kita simak keterangan Al-Hafidz Ibnu Katsir,

ولأتباعه وأصحابه فيه مقالات ، ويذكرون عنه أقوالا وأفعالا ومكاشفات أكثرها مغالاة ، وقد كان صالحاً ورِعاً ، وقد صنَّف كتاب ” الغُنية ” و ” فتوح الغيب ” ، وفيهما أشياء حسنة ، وذكر فيهما أحاديث ضعيفة وموضوعة ، وبالجملة كان من سادات المشايخ

 “Mereka telah menyebutkan dari beliau (Abdul Qadir Al-Jailany) ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, pengungkapan urusan gaib, yang kebanyakannya adalah ghuluw (sikap berlebih-lebihan). Beliau orangnya sholeh dan wara’. Beliau telah menulis kitab Al-Ghun-yah, dan Futuh Al-Ghaib. Dalam kedua kitab ini terdapat beberapa perkara yang baik, dan ia juga menyebutkan di dalamnya hadits-hadits dha’if, dan palsu. Secara global, ia termasuk di antara pemimpin para masyayikh (orang-orang yang berilmu)”.
 (al-Bidayah wa an-Nihayah, 12/252)

Karena itu, bagian penting yang perlu kita perhatikan ketika kita mengkaji sejarah tokoh adalah memahami bagaimana aqidahnya, bukan kesaktiannya atau karomahnya. Karena yang kita tiru amal dan aqidahnya, bukan ilmu kanuragannya. Terlebih lagi, beliau sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan, apalagi memilikinya.
Memang beliau memiliki banyak karomah. Namun karomah yang beliau miliki bukan karena beliau mempelajarinya, tapi murni pemberian dari Allah, sebagai bentuk pertolongan dari Allah untuk hamba-Nya yang sholeh. Sehingga sekali lagi, yang perlu kita tiru adalah keshalehannya bukan karamahnya.

Diantara cara untuk memahami aqidah beliau adalah dengan melihat karya tulis beliau.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memiliki kitab al-Ghunyah. Dalam salah satu biografi beliau yang disebutkan oleh Ibnu Rajab, di kitab Dzail Thabaqat Hanabilah dinyatakan,

وللشيخ عبد القادر رحمه الله تعالى كلام حسن في التوحيد، والصفات والقدر، وفي علوم المعرفة موافق للسنة. وله كتاب ” الغنية لطالبي طريق الحق ” وهو معروف، وله كتاب ” فتوح الغيب ” وجمع أصحابه من مجالسه في الوعظ كثيرًا. وكان متمسكًا في مسائل الصفات، والقدر، ونحوهما بالسنة، بالغًا في الرد على من خالفها

 “Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany memiliki keterangan yang bagus tentang Tauhid, penjelasan sifat Allah, dan taqdir. Dalam ilmu ma’rifat, ilmu beliau sesuai kaidah ahlus sunah wal jamaah.

Beliau memiliki buku berjudul:

“al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haqq.”

Kitab yang terkenal. Beliau juga punya kitab judulnya:

Futuh al-Ghaib.

Sahabat beliau yang ikut kajian tentang nasehat sangat banyak sekali. Beliau berpegang dengan sunnah (ajaran Nabi) dalam masalah sifat Allah dan taqdir atau aqidah lainnya. Beliau sangat jeli dalam membantah.
 (al-Ghuntah, hlm. 151)

Ibnu Qudamah menuturkan pengalaman dengan gurunya,

دخلنا بغداد سنة إحدى وستين وخمسمائة فإذا الشيخ عبد القادر ممن انتهت إليه الرئاسة بها علمًا وعملاً ومالاً واستفتاء. وكان يكفي طالب العلم عن قصد غيره من كثرة ما اجتمع فيه من العلوم، والصبر على المشتغلين، وسعة الصدر

 “Kami masuk Baghdad tahun 561 H. Ternyata Syaikh Abdul Qadir termasuk orang yang mencapai puncak kepemimpinan dalam ilmu , harta, fatwa dan amal disana. Penuntut ilmu tidak perlu lagi menuju kepada yang lainnya karena banyaknya ilmu, kesabaran terhadap penuntut ilmu, dan kelapangan dada pada diri beliau. Orangnya berpandangan jauh. Beliau telah mengumpulkan sifat-sifat yang bagus, dan keadaan yang agung. Saya tak melihat ada orang yang seperti beliau setelahnya.”
 (Dzail Thobaqot Hanabilah, 1/293)

Pernyataan Syaikh Abdul Qadir tentang Aqidah

Pertama, Allah ber-istiwa di atas Arsy,
Beliau mengatakan,

وهو بجهة العلو مستو ، على العرش محتو على الملك محيط علمه بالأشياء

Dia beristiwa di atas. Dia di atas Arsy, Dia menguasai semua kerajaan, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. (al-Ghunyah, 1/71)

Kedua, beliau membantah semua sekte selain ahlus sunnah,

وينبغي إطلاق صفة الاستواء من غير تأويل ، وأنه استواء الذات على العرش لا على معنى القعود والمماسة كما قالت المجسمة والكرامية ، ولا على معنى العلو والرفعة كما قالت الأشعرية ، ولا معنى الاستيلاء والغلبة كما قالت المعتزلة ، لأن الشرع لم يرد بذلك ولا نقل عن أحد من الصحابة والتابعين من السلف الصالح من أصحاب الحديث ذلك

Selayaknya memahami istiwa Allah sesuai makna tekstualnya, tanpa ditakwil. Dia bersemayam secara dzat di atas ‘Arsy, tidak kita maknai duduk dan menempel di Arsy, sebagaimana perkataan Mujassimah dan Karramiyah, tidak pula dimaknai berada di atas, sebagaimana perkataan Asy’ariyah. Tidak boleh dimaknai menguasai, sebagaimana aqidah Mu’tazilah. Karena syariat tidak menyebutkan semua makna itu, dan tidak dinukil satupun keterangan dari sahabat, maupun tabi’in di kalangan Salaf, para pembawa hadis.
 (al-Ghunyah, 1/74)

Pernyataan ini membuktikan, bahwa beliau adalah pengikut salaf, pembawa hadis, ahlus sunah, bukan Asy’ariyah, apaagi Mu’tazilah.
Mengapa lebih banyak disinggung aqidah masalah Allah beristiwa di atas?

Karena ini titik sengketa antara ahlus sunnah dengan ahlul bid’ah dalam masalah aqidah, seperti Asy’ariyah dan Mu’tazilah.

Mengingat pentingnya meluruskan sejarah beliau, hingga Dr. Said bin Musfir menulis disertasi doktoral dengan judul, [الشيخ عبدالقادر الجيلاني وآراؤه الاعتقادية والصوفية] “Syaikh Abdul Qadir Jailani: Pemikiran Aqidah dan Sufiyah”

Dalam disertasi ini beliau benyak membantah orang-orang sufi yang menyalah gunakan nama beliau untuk mendukung aqidah sufinya.

Buku ini telah diterjemahkan dalam edisi Indonesia dengan judul:

Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Termasuk yang perlu dibersihkan adalah tersebarnya gambar beliau, yang ini bisa kita pastikan dusta. Karena beliau memusuhi gambar bernyawa dengan wajah.
Allahu a’lam
●●●
Sumber: Fb Hadis Shahih
Dishare Ustadz Badru Salam, Lc -hafizhahullah- tgl 19 Shafar 1437 / 1 Desember 2015

Akidah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani


Di sini akan disebutkan dengan ringkas apa yang menjadi akidah Syaikh 'Abdul Qadir al-Jailani, berdasarkan keterangan yang terdapat di dalam kitab beliau al-Ghunyah dan yang lainnya.

Syaikh Jailani Mengikuti 'Akidah Salaf

Syaikh 'Abdul Qadir al-Jailani seringkali menyatakan:
"Akidah (keyakinan) kami adalah 'akidah (kaum) Salafush Soleh dan akidah para Sahabat." (Siyar A 'lamin Nubala', XX/442)

Imam Az-Zahabi berkata: "Tidak ada seorangpun para ulama terkemuka yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi". (Siyar A'lamin Nubala XX/451).

Syaikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136:
"Aku telah mengenal pasti akidah beliau (Syaikh Abdul Qadir Al Jailani) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94). Maka aku mengetahui bahawa dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan akidah-akidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syiah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Zulkaidah 1415 H/ 8 April 1995 M.)

Beliau juga berkata dalam kitabnya Fat-hur Rabbani hal. 35 (majlis ke-10):
"Hendaklah kamu berittiba' dan janganlah kamu berbuat bid'ah, dan hendaklah kamu juga mengikuti mazhab Salafush Soleh, berjalanlah kamu di jalan yang lurus." (Syaikh 'Abdul Qadir al-Jailani, hal. 76.)

Mengikuti Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Dalam kitabnya al-Ghunyah (1/80), beliau mengatakan:
"Wajib bagi setiap orang yang beriman untuk mengikuti (Ahlus) Sunnah wal Jamaah, yang dimaksud dengan Sunnah adalah Sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, sedangkan yang dimaksud dengan Jamaah adalah kesepakatan para Sahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pada masa Khulafaa-ur Rasyidin yang empat (Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali radhiyallaahu 'annum) -mudah-mudahan Allah merahmati mereka semua-."

Kewajiban mengikuti akidah yang benar -yakni akidah Salafush Soleh-

Syaikh mengatakan di dalam kitabnya al Ghunyah hal. 455:
"Perkara yang diwajibkan atas setiap para pemula yang baru mengikuti tarekat (al-Qadiriyah) ini untuk memiliki akidah yang shahih. Dan hal itu merupakan dasar (yang harus dimiliki), dan akidah yang shahih itu adalah akidah Salafush Soleh. (Syeikh 'Abdul Qadir al-Jailani, hal. 637.)

Tentang Iman

Beliau juga telah mengatakan di dalam kitab al-Ghunyah hal. 80:
"Kami meyakini bahawasanya iman itu adalah ucapan dengan lisan, meyakini dengan hati, dan amal perbuatan anggota badan, dan iman itu dapat bertambah dengan ketaatan serta dapat berkurang dengan perbuatan dosa dan maksiat, dan iman itu juga dapat menjadi kuat dengan ilmu, dan juga dapat melemah dengan kebodohan, dan hanya dengan taufik dari Allah Ta'ala iman itu akan terwujud."

Untuk itulah maka kemudian Syaikh membawakan sebuah hadits sebagai dalil dalam masalah ini:
"Iman itu memiliki 70 cabang/tingkatan lebih, yang tertinggi dari cabang-cabang keimanan itu adalah dengan mengucapkan "laa ilaaha illallaah" (tidak ada ilah yang berhak untuk disembah dengan benar kecuali Allah) dan cabang/tingkatan terendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan."

Syaikh Jailani membedakan antara Iman dan Islam

Beliau juga membedakan antara Iman dan Islam, di mana beliau menyatakan di dalam al-Ghunyah hal. 81:
"Adapun Islam, maka masuk ke dalam pengertian Iman, oleh kerana itu, setiap Iman itu pasti Islam, akan tetapi (tidak sebaliknya; yakni) tidak setiap Islam itu Iman."

Sifat Istiwa' (bersemayam di atas 'Arsy)

Syaikh mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 73:
"Wajib hukumnya untuk memutlakkan Sifat Istiwa' (bersemayamnya Allah di atas 'Arsy) bagi Allah, tanpa takwil, dengan meyakini bahawa Zat Allah bersemayam di atas 'Arsy, dan bukan dengan makna duduk dan mumarasah (kebiasaan), sebagaimana yang telah diucapkan oleh kaum Mujassimah (mereka yang telah mensifati Allah dengan jism/tubuh.) dan Karamiyah, dan juga bukan dengan makna ketinggian Martabat ('uluw war rifah) sebagaimana yang difahami oleh kaum Asyariah, dan juga bukan dengan makna istila' (penguasaan) dan ghalabah (mengalahkan yang lain), sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Muktazilah, kerana tidak ada dalil yang menunjukkan kepada semua arti tersebut. Dan juga tidak pernah dinukil dari keterangan para Sahabat dan Tabi'in dari kalangan Salafush Soleh, dari para ulama Ash-habul Hadits, bahkan sebaliknya bahwa yang telah dinukil keterangannya dari Salafush Soleh dan para ulama Hadits itu adalah bahawa mereka memahami ayat-ayat dan hadits-hadits Sifat secara mutlak (apa adanya, tanpa takwil dan ta'thil)."

Kemudian pada hal. 73, beliau berkata:
Keterangan yang menyebutkan bahawa Allah bersemayam di atas Arsy-Nya itu juga telah disebutkan di dalam setiap Kitab yang pernah Allah Turunkan kepada setiap Nabi yang pernah diutus (ke muka bumi ini), tanpa disebutkan tentang kaifiah (hakikat bentuk)nya, kerana Allah akan tetap memiliki Sifat ketinggian ('uluw) dan kemampuan (qudrah), dan Allah juga memiliki Sifat menguasai dan mengalahkan (ghalabah) atas setiap hamba-hamba-Nya, seperti: Arsy dan yang lainnya dari makhluk ciptaan Allah. Akan tetapi Sifat istiwa' itu tidak boleh untuk diartikan dengan menguasai (istaiilaf) dan mengalahkan (ghalabah), kerana Sifat istiwa' (bersemayamnya) Allah di atas 'Arsy itu merupakan Sifat Zatiah (Yang dimaksud dengan "Sifat Zatiyah" adalah sifat yang selalu ada dan akan terus ada pada Allah, dan tidak mungkin berpisah dari-Nya.) bagi Allah, sebagaimana Allah telah mengkhabarkan sendiri tentang hal itu (di dalam Al-Qur'an) kemudian Allah memperjelas lagi hal ini di dalam 7 ayat yang terdapat di dalam Al-Qur-an. (Tujuh tempat tersebut dalam Al-Qur-an adalah al-A'raaf: 54, Yunus: 3, ar-Ra'd: 2, Thaha: 5, al-Furqaan: 59, as-Sajadah: 4, dan al-Hadid: 4) begitu juga (telah diterangkan oleh Rasul-Nya) di dalam Sunnah beliau yang datang dari beliau shallallaahu 'alailu wa sallam, dan Sifat ini adalah Sifat yang terus-menerus ada dan sesuai bagi Allah 'Azza wa Jalla, seperti halnya dengan Sifat Tangan, Wajah, Mata, Pendengaran, Penglihatan, Hidup dan al-Qudrah (Kemampuan)."

Sifat Ketinggian (al 'Uluw)

Syaikh mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 71:
"Allah berada di atas, bersemayam di atas 'Arsy, menjaga dan memelihara kerajaan, Yang Ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu, (dimana Allah Ta'ala telah berfirman:) "Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya" [Fathir (35): 10], (dan Allah 'Azza wa Jalla juga telah berfirman:) "Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu."[QS. As-Sajadah (32): 5]."

Beliau juga mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 72:
"Arsy Allah Yang Maha rahman berada di atas air, dan Allah Ta'ala berada (bersemayam) di atas 'Arsy."

Beliau juga mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 106:
"Kecuali apa yang telah kami sebutkan bahawasanya (Allah Bersemayam) di atas 'Arsy."

Beliau juga mengatakan di dalam kitabnya Tuhfatul Muttaqin wa Subulul 'Arifin:
"Dan Dzat Allah bersemayam di atas 'Arsy, sedangkan Ilmu-Nya mengawasi di setiap tempat." (Lihat Ijtima'ul Juyusyal-lslamiyyah hal. 79, karya Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-jauziyyah.)

Syaikh melarang kita menyatakan bahwa Allah berada di mana-mana

Di dalam kitabnya al Ghunyah hal. 72, beliau mengatakan:
"Allah (bersemayam di atas 'Arsy-Nya) terpisah dari Hamba-hamba-Nya, akan tetapi Ilmu Allah itu meliputi setiap tempat, dan tidak diperbolehkan (sama sekali) mensifati Allah bahwa Dia berada di setiap tempat, akan tetapi wajib untuk dikatakan bahawa Allah berada di atas langit (bersemayam) di atas 'Arsy-Nya, sebagaimana Allah telah berfirman: "Rabb Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy." [Thaha (20): 5]."

Kursi Allah

Syaikh mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 72:
"Kursi Allah itu berada di sisi 'Arsy-Nya, (yang mana Kursi Allah itu diumpamakan) seperti sebuah gelang yang dilempar di tengah tanah lapang yang luas."

Sifat Jari-jemari Allah

Syaikh mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 72:
"Hati-hati manusia itu berada di antara genggaman kedua jari dari jari-jemari Allah, yang mana Allah membolak-balikkan hati-hati itu ke mana saja Dia Kehendaki."

[Sumber: Kutipan dari kajian Ustadz Rasul Dahri tentang "Akidah Syaikh Bdul Qadir Jailani"]
faisalchoir.blogspot.com 


Mengoreksi Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Oleh : Ustadz Anwar
(disertai penyempurnaan tulisan dari admin)
Banyak kita jumpai orang yang sangat mengagung-agungkan “ibadah” bacaan manaqib bahkan melebihi ibadah sunnah. Mereka berkeyakinan agar “wasilahnya” cepat sampai dan terkabul. Misalnya, membuat ayam ungkep utuh (ingkung-Jawa), yang dimasak oleh wanita suci dari hadast, lalu yang boleh menyembelih harus orang sudah berijazah dari gurunya (telah mengkhatamkan bacaan manaqib sebanyak 40 kali). Di saat pembacaan manaqib, sudah menjadi keyakinan bagi para jamaahnya untuk membawa botol berisi air yang diletakkan di depan Imam atau gurunya, konon air tersebut dipercaya membawa berbagai macam berkah.
Khasiat lainnya yakni apabila seseorang mempunyai keinginan tertentu (usaha dan rejeki lancar, pandai, atau nadhar lainnya), mereka membaca bersama-sama pada hari yang ditentukan, misalnya tiap Rabu Kliwon, Pon, bahkan ada yang disertai dengan pembakaran kemenyan atau parfum wewangian agar ruh sang tokoh hadir ikut mendoakannya, karena “konon” ada pendapat bahwa Syaikh Abdul Qodir Jaelani pernah berkata, “Dimana saja dibacakan manaqib-ku aku hadir padanya”

Para pelaku manaqib tersebut berkeyakinan, bahwa bacaan itu adalah suatu amalan agung yang di ajakan guru-gurunya meskipun tidak jelas sumber asalnya. Namun jika kita kaji lebih dalam, kata manaqib berasal dari “manqobah” berarti kisah tentang kesolehan, dan amal seseorang. Jadi membaca manaqib, sama saja dengan membaca biografi atau cerita kebaikan seseorang Namun sayang, manaqib disini banyak mengisahkan cerita-cerita bohong, dan tidak masuk akal. Ironisnya lagi, dengan dalih sebagai bukti kecintaannya kepada waliyullah, mereka selalu membaca, mengingat, bahkan memanggil dan memohon roh wali yang sudah mati (Abdul Qodir Jailani-red) untuk perantara. Jika sudah seperti ini yang di dapat adalah…..kesyirikan. Karena menghadirkan roh orang yang sudah mati adalah mustahil, yang datang adalah jin yang berubah rupa atas bantuan tukang sihir bangsa jin.
Sedangkan berbagai cara dan persyaratan ritual manaqib sangat mirip sekali dengan cara-cara zaman jahiliyah dan budaya orang-orang musyrik dalam berinteraksi dengan para dewanya (bangsa jin). Bedanya sekarang mereka beralasan tidak menyembah roh tapi sebagai bentuk taqarruban (mendekatkan diri) dan wasilah (perantara) kepada Allah. Padahal Allah sendiri telah memperingatkan dengan keras dan tegas dalam firman-Nya:
“Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Faathir: 14)

Cerita-cerita bohong dan sesat  didalam bacaan manaqib antara lain :

Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah duduk selama 30 tahun dengan tidak bergeser dari tempatnya karena ketaatannya kepada nabi Khidir.Pada waktu pertama kali masuk Irak, Syaikh Abdul Qadir Jailani ditemani Khidir, dan Syaikh belum pernah mengenalnya sebelum itu. Kemudian Khidir memberikan isyarat kepadanya agar ia tidak disalahi dan kalau sampai hal itu terjadi maka akan menjadi sebab perpisahan antara keduanya. Maka berkatalah Khidir kepadanya : Duduklah di sini ! Maka beliaupun duduk ditempat yang ditunjuk oleh Khidir itu selama tiga tahun, yang selalu dikunjunginya setiap setahun sekali dan katanya lagi: Janganlah engkau bergeser dari tempat itu sampai aku datang [Lubabul Ma’ani hal. 20]
Bantahan :
Cerita ini terlalu mengada-ada. Duduk selama 3 tahun tanpa beranjak/bergeser dari tempat duduknya adalah mustahil. Bagaimana Syaikh Abdul Qadir Jailani mengambil air wudhu, Shalat Jum’at dan Shalat ‘Id ?

Diceritakan juga bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah bermimpi junub sebanyak 40 kali dalam waktu semalam.[Lubabul ma’ani, hal. 20-21]
Bantahan :
Kebohongan yang luar biasa, cukupkah waktu untuk 40 kali tidur, 40 kali bermimpi bersetubuh dan 40 kali mandi janabat ?

100 ulama merobek-robek baju sendiri [Lubabul Ma’ani, hal. 23-24]
Bantahan :
Sungguh tidak masuk akal dan tidak pernah terbayang dalam angan-angan orang yang normal akalnya bahwa seorang yang saleh dan ulama yang ikhlas seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani sampai hati melihat para ‘aimmah merobek-robek pakainnya dan bertingkah polah seperti orang yang tidak waras.

Di antara kekeramatan Syaikh Abdul Qadir Jailani, bahwa seekor burung Elang yang terbang di atas majlis syaikh, dimohon kepada angin agar dipenggal leher burung tersebut, maka putuslah leher burung Elang tersebut.[Lubabul Ma’ani, hal. 59]
Bantahan :
Burung adalah binatang yang tidak dibekali akal seperti manusia dan tidak dibebani tata tertib hidup serta tidak terikat dengan berbagai aturan sesamanya. Ia terbang mengikuti naluri hayawani tanpa memperdulikan apakah ada makhluk lain yang terganggu olehnya. Maka alangkah teganya hati Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk membunuh burung Elang tersebut.

Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu. (QS. Al Mulk : 19)

Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
(QS. An Nur : 41)

Diantara kekeramatan lainnya. Matinya seorang pelayan karena sorotan mata Syaikh Abdul Qadir Jailani karena kesalahannya tidak sudi meletakkan kendi kearah kiblat.[Lubabul ma’ani, hal. 58-59]
Bantahan :
Peristiwa kesalahan yang tidak patal sehingga membuat Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk membunuh, apakah mungkin dilakukan bagi seorang syaikh yang berakhlaq mulia ?

Syaikh Abdul Qadir Jailani menjamin para muridnya masuk surga [Lubabul Ma’ani, hal. 80-81]
Bantahan :
Tak mungkin lebih hebat daripada Rasulullah yang sama sekali tidak bisa menjamin umatnya masuk surga

Syaikh Abdul Qadir Jailani mengejar Malaikat Maut untuk membatalkan kematian salah seorang muridnya, sehingga Malaikat Maut mengembalikan lagi ruh yang sudah dicabut tadi. [Dikutip dari Tafsir al manar, Rasyid Juz XI hal. 423, oleh HAS. Al Hamdani dalam bukunya Sorotan terhadap Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani]
Bantahan :
Ajal seseorang Allah yang menentukan dan tidak bisa dimajukan atau dimundurkan, bagaiman mungkin syaikh dapat menunda ketentuan yang sudah Allah tetapkan, Sedang Allah Ta’ala berfirman:
“Tiap-tiap umat itu mempunyai batas (timing ) ajal; maka jika telah datang ajalnya mereka tidak dapat mengundurkan barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya.” (QS. Al A’raf:34).
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila datang waktu ajalnya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Munafiqun:11).

Beberapa nasehat Beliau;

“Janganlah berbuat bid’ah dan sesuatu yang baru dalam agama Allah. Ikutilah para saksi yang adil berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah karena keduanya akan mengantarkanmu kepada Tuhanmu ‘Azza wa Jalla. Jika kamu berbuat bid’ah, saksimu adalah akal dan hawa nafsumu sendiri. Keduanya akan mengantarkanmu kepada neraka dan mempertautkanmu dengan Fir’aun, Haman, beserta bala tentaranya. Jangan engkau berhujah dengan qadr, karena itu tidak akan diterima darimu. Engkau harus masuk Darul Ilmi dan belajar, beramal, lalu ikhlas”. (Syaikh Abdul Qadir Jailani dlm Al Fath Ar Rabbani, al Majlis 47)

“Ber-ittiba’lah dan jangan berbuat bid’ah. Patuhilah dan janganlah membangkang. Bersabarlah dan jangan khawatir. Tunggulah dan jangan berputus asa”. (Al Sya’rani, al Thabaqat al Kubra hal. 129)

“Hendaklah kalian ber-ittiba’ dan tidak berbuat bid’ah. Hendaklah kalian bermazhab kepada Salafus Shalih. Berjalanlah pada jalan yang lurus”. (Syaikh Abdul Qadir Jailani dlm Al Fath Ar Rabbani, al Majlis 4)

“Ikutilah sunnah Rasul dengan penuh keimanan, jangan membuat bid’ah, patuhlah selalu kepada Allah dan Rasul-Nya, jangan melanggar, junjung tinggi tauhid dan jangan menyekutukan Dia”. (Syaikh Abdul Qadir Jailani dlm FUTUH GHAIB risalah 2).

Syaikh Abdul Qadir Jailani berkata; Nabi bersabda : “Barangsiapa berbuat sesutu yang tidak kami perintahkan, maka perbuatnnya tertolak. Hal ini meliputi kehidupan, kata dan perilaku. Hanya Nabilah yang dapat kita ikuti, dan hanya berdasarkan al Qur’anlah kita berbuat. Maka jangan menyimpang dari keduanya ini, agar engkau tidak binasa, dan agar hawa nafsu serta setan tidak menyesatkanmu”. (Syaikh Abdul Qadir Jailani dlm FUTUH GHAIB risalah 36)

Kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani

Syaikh Abdul Qadir al Jailani merupakan tokoh sufi paling masyhur di Indonesia. Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Tarekat Qadiriyah ini lebih dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran spiritualnya. Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran karamahnya, Biografi (manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang dikenal di masyarakat dengan sebutan manaqiban. Seharusnya bagi pencari kebenaran dan penuntut ilmu adalah "wajib" membaca buku-buku yang beliau tulis sendiri, disamping membaca manaqib yang ditulis oleh orang lain.


Buku-buku yang beliau tulis antara lain:
Al Ghunyah Li thalibi Al Haq Azza wa Jalla.
Futuh Al Ghaib.
Al Fath Ar Rabbani wa Al Faidh ar-Rahman.


Kitab-kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani yang banyak beredar di Indonesia, pada umumnya disusun oleh penulis-penulis Indonesia yang maraji’nya (sumber pengambilan) dari kitab-kitab berbahasa Arab yang antara lain, seperti Tafrijul Khathir, Muzkin Nufus, Lujainid-Dani.

Buku-buku tentang BARJANZI versi Indonesia antara lain:


Madarij Al-Su’ud ila Iktisah Al-Burud - Muhammad Nawawi Bin Umar Al-Jawi Al Bantani. Berbagai Terbitan.
Sabil Al-Munji (berbahasa Jawa)- Abu Ahmad Abd Al-Hamid Al-Qandali (Kendal)
Nur Al-Lail Al-Duji wa Miftah Bab Al-Yasar (berbahasa Jawa) – Hasan Al-Attas- Pekalongan.
Munyah Al-Martaji fi Tarjamah Maulid Al Barjanzi (berbahasa Jawa) – Asrari Ahmad- Wonosari Tempuran.
Al Qaul Al-Munji Ala Ma’ani Al Barjanzi (berbahasa Jawa) – Sa’ad Bin Nashir bin Nabhan. Surabaya
Badr Al-Daji Fi Tarjamah Maulid Al-Barjanzi (berbahasa Indonesia) –M. Mizan Asrari Zain Muhammad (Sidawaya, Rembang).

Di bawah ini buku-buku Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani (asal terjemahan dari- Lujjain Al-Dani. Penulis, Ja’far Ibn Hasan Ibn ‘Abd Al-Karim Ibn Muhammmad (1690-1764) beliau juga menulis buku Al-Iqd Al Jawahir (al-Barjanzi) dan Qishshah Al-Mi’raj); di terbitkan di Indonesia dengan berbagai versi:


Jauhar Al-Asnani ‘Ala Al-Lujjain Al-Dani Fi Manaqib Abd Al Qadir - Abu Ahmad Abd Al Hamid Al-Qandali (Kendal) : Semarang , Al Munawwir.
Al-Nur Al Burhani Fi Tarjamah Al Lujjain Al-Dani - Muslih Bin Abd Al Rahman Al Maraqi (Mranggen) : Semarang, Toha Putra.
Lubab Al Ma’ani Fi Tarjamah Lujjain Al-Dani –Abu Muhammad Salih Mustamir Al Hajaini (Kajen) : Kudus, Menara.
Al Nur Al-Amani Fi Tarjamah Al Lujjain Al-Dani – M.Mizan Asrari Zain Muhammad (Sidawaya Rembang) ; Terbitan sendiri.
Khulashah Al Manaqib Li- Al-Syaikh ‘Abd Al-Qadir ‘Abd Al Qadir Al-Jilani - Asrari Ahmad (Wonosari, Tempuran) Surabaya, ‘ Istiqomah.
Wawacan Kangjeng Syaikh ‘Abd Al-Qadir Jilani R.A (berbahasa Sunda) Bandung, Sindangdjaja.
Manaqib Syeikh Abdulqadir Jailani Radhiyallahu Anhu (berbahasa Arab dan Indonesia) –Abdallah Shonhaji. Semarang, Al-Munawir.
Lubabul Ma’ani - Abi Shaleh Mustamir (Juana, Jawa Tengah)
Miftahul Babil Amani -Moh. Hambali. (Semarang, Jawa Tengah)
An Nurul Burhani – A. Lutfi Hakim dkk (Semarang, Jawa Tengah)
Nailul Amani – A.Subhi Masyhadi. (Pekalongan, Jawa Tengah)

Koreksi Terhadap Kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani

Dalam kitab Manaqib tersebut tertulis:


- Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah duduk selama 30 tahun dengan tidak bergeser dari tempatnya karena ketaatannya kepada nabi Khidir.

Pada waktu pertama kali masuk Irak, Syaikh Abdul Qadir Jailani ditemani Khidir, dan Syaikh belum pernah mengenalnya sebelum itu. Kemudian Khidir memberikan isyarat kepadanya agar ia tidak disalahi dan kalau sampai hal itu terjadi maka akan menjadi sebab perpisahan antara keduanya. Maka berkatalah Khidir kepadanya : Duduklah di sini ! Maka beliaupun duduk ditempat yang ditunjuk oleh Khidir itu selama tiga tahun, yang selalu dikunjunginya setiap setahun sekali dan katanya lagi: Janganlah engkau bergeser dari tempat itu sampai aku datang [Lubabul Ma'ani hal. 20]

Bantahan :
Cerita ini terlalu mengada-ada. Duduk selama 3 tahun tanpa beranjak / bergeser dari tempat duduknya adalah mustahil. Bagaimana Syaikh Abdul Qadir Jailani mengambil air wudhu, Shalat Jum'at dan Shalat 'Id?

- Diceritakan juga bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah bermimpi junub sebanyak 40 kali dalam waktu semalam. [Lubabul ma'ani, hal. 20-21]

Bantahan :
Kebohongan yang luar biasa, cukupkah waktu untuk 40 kali tidur, 40 kali bermimpi bersetubuh dan 40 kali mandi janabat? 

- 100 ulama merobek-robek baju sendiri [Lubabul Ma'ani, hal. 23-24] 

Bantahan : 
Sungguh tidak masuk akal dan tidak pernah terbayang dalam angan-angan orang yang normal akalnya bahwa seorang yang saleh dan ulama yang ikhlas seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani sampai hati melihat para 'aimmah merobek-robek pakainnya dan bertingkah polah seperti orang yang tidak waras. 

- Di antara kekeramatan Syaikh Abdul Qadir Jailani, bahwa seekor burung Elang yang terbang di atas majlis syaikh, dimohon kepada angin agar dipenggal leher burung tersebut, maka putuslah leher burung Elang tersebut. [Lubabul Ma'ani, hal. 59]

Bantahan :
Burung adalah binatang yang tidak dibekali akal seperti manusia dan tidak dibebani tata tertib hidup serta tidak terikat dengan berbagai aturan sesamanya. Ia terbang mengikuti naluri hayawani tanpa memperdulikan apakah ada makhluk lain yang terganggu olehnya. Maka alangkah teganya hati Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk membunuh burung Elang tersebut.

Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu. (QS. Al Mulk : 19)

Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS. An Nur : 41) 

- Diantara kekeramatan lainnya. Matinya seorang pelayan karena sorotan mata Syaikh Abdul Qadir Jailani karena kesalahannya tidak sudi meletakkan kendi kearah kiblat. [Lubabul ma'ani, hal. 58-59]

Bantahan : 
Peristiwa kesalahan yang tidak patal sehingga membuat Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk membunuh, apakah mungkin dilakukan bagi seorang syaikh yang berakhlaq mulia? 

- Syaikh Abdul Qadir Jailani meramal nasib [Lubabul Ma'ani, hal. 59-64]

Bantahan :
Mirip Mama Lauren aja. 

- Syaikh Abdul Qadir Jailani menjamin para muridnya masuk surga [Lubabul Ma'ani, hal. 80-81] 

Bantahan :
Lebih hebat daripada Rasulullah 

- Syaikh Abdul Qadir Jailani mengejar Malaikat Maut untuk membatalkan kematian salah seorang muridnya, sehingga Malaikat Maut mengembalikan lagi ruh yang sudah dicabut tadi. [Dikutip dari Tafsir al manar, Rasyid Juz XI hal. 423, oleh HAS. Al Hamdani dalam bukunya Sorotan terhadap Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani] 

Bantahan : ???? 

- Syaikh Abdul Qadir Jailani mendapat sepucuk surat dari Allah. [Lubabul ma'ani, hal. 89] 

Bantahan : ??? Sungguh dusta dinisbatkan kepada beliau, kalimat-kalimat kekufuran!!

Catatan : Mohon diperhatikan agar tidak salah menanggapi artikel ini, bahwa keterangan-keterangan seperti tersebut di atas tidak dijumpai dalam kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani sendiri. Beliau orang yang sangat mulia, rendah hati dan mempunyai aqidah yang bersih dan lurus insyAllah. Untuk lebih jelasnya silahkan membaca "Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al Jailani" oleh Dr. Said bin Musfir Al Qahthani, Penerbit Darul Falah. 
[Sumber: Hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com]

Begini Ketegasan Syekh Abdul Qadir Jailani Terhadap Perkara Bid’ah

Adalah Syekh Abdul Qadir Jailani, siapa yang tidak tahu dengan sosok ulama tersohor ini? Di Indonesia, nama ini bukanlah nama yang asing. Hampir semua muslim Indonesia mengenalnya. Bahkan tidak hanya di Indonesia, ia dikenal baik di seluruh belahan dunia muslim. Namun sayang, tidak sedikit orang yang telah salah kaprah dalam menilai sosoknya. Sehingga banyak yang terjerumus dalam perbuatan bid’ah dengan mengatasnamakan beliau.
Padahal dalam banyak kajiannya, beliau adalah sosok yang tegas terhadap perkara bid’ah dalam agama. Beliau senantiasa menasehati muridnya agar mengikuti sunah. Beliau menghubungkan nasihat-nasihatnya itu dengan tauhid dan pentingnya menjauhi kesyirikan. Beliau berkata, “Ikutilah sunah dan jangan berbuat bid’ah. Taatilah Allah dan jangan melanggar larangan-larangan-Nya. Beribadahlah hanya kepada Allah dan jangan berbuat syirik.” (Futuh Al-Ghaib, Al-Jailani, makalah ke-2, hal: 10)
Dalam kesempatan lain beliau berujar “Ikutilah sunah dan jangan berbuat bid’ah. Beribadahlah sesuai sunah dan jangan menyelisihinya. Taatilah dan jangan menentang, Beribadahlah hanya kepada Allah dan jangan berbuat syirik.” (Al-Fath Ar-Rabbani, Al-Jailani, nasihat ke-47, hal: 151)
Syaikh abdul Qadir juga menjabarkan bahwa asas-asas kebaikan adalah hanya dengan mengikuti sunah Nabi SAW. Beliau mengatakan, “Asas-asas kebaikan hanyalah dengan mengikuti sunah Nabi n, baik perkataannya maupun perbuatannya.” (Al-Ghaniyyah, Al-Jailani, 1/79)
Selanjutnya, beliau menerangkan bahwa sesuatu yang paling utama bagi seorang mukmin yang berakal adalah mengikuti sunah. Beliau menuturkan, “Hal terpenting bagi seorang mukmin yang berakal lagi cerdas ialah agar mengikuti sunah dan tidak berbuat bid’ah; tidak mempersempit, mempersulit, apalagi memberat-beratkan diri, karena hal itu akan membuatnya tersesat, hancur, dan binasa.”
Ahlussunnah wal Jamaah mencela perbuatan bid’ah dan menentangnya. Mereka berhujah dengan banyak dalil, baik dari AL-Qur’an maupun As-Sunnah. Allah Ta’ala berfirman,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
 “ …Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
Syekh Abdul Qadir Jailani juga menuturkan, “Wajib bagi seorang mukmin untuk mengikuti sunah dan jamaah. Sunah adalah apa-apa yang ditetapkan oleh Rasulullah n, sedangkan jamaah adalah apa saja yang disepakati oleh para shahabat pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin.”
Kemudian, setelah beliau menyampaikan definisi Ahlussunnah wal Jamaah, beliau mengingatkan berkenaan dengan ahli bid’ah, beliau menuturkan, “Janganlah kalian bergaul dengan ahli bid’ah, jangan mendekati mereka, dan jangan memberi salam kepada mereka. Sebab, Imam Ahmad telah mengatakan, ‘Barangsiapa mengucapkan salam kepada ahli bid’ah, maka sungguh ia telah mencintainya, karena Nabi SAW bersabda, ‘Sebarkanlah salam di antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.’ (Al-Ghaniyyah, 1/80; Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, hal: 431)
Beliau mengatakan, “Ketahuilah, bahwa ahli bid’ah memilki ciri-ciri yang mereka dikenali melalui ciri-ciri tersebut. Ciri-ciri mereka adalah sebutan-sebutan mereka terhadap ahlul atsar (Ahlus Sunnah). Kaum Zindik menamai ahlul atsar dengan sebutan Al-Hasyusyiyah; kaum Qadariyah menyebut ahlul atsar dengan Mujbirah(Jabbariyah); kaum Jahmiyah menjuluki Ahlus Sunnah dengan Musyabbihah; dan kaum Rafidhah menyebut ahlul atsar dengan Nashibah. Semua itu hanyalah fanatisme dan kebencian mereka kepada Ahlus Sunnah.
Tidak ada panggilan bagi Ahlus Sunnah kecuali hanya satu panggilan, yaitu Ashhabul Hadits. Tidak akan melekat terhadap Ahlus Sunnah apa pun yang digelarkan oleh ahli bid’ah atas mereka, sebagaimana tidak melekatnya terhadap Nabi SAW apa-apa yang disematkan oleh kaum kafir Mekah berupa penyihir, penyair, orang gila, pembuat fitnah, dan dukun. Tidak ada julukan bagi Rasulullah SAW di sisi Allah, para malaikat, manusia, jin, dan seluruh makhluk melainkan hanya satu nama, yaitu Nabi dan Rasul yang terlepas dari celaan-celaan itu seluruhnya.” (Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, hal: 477)
Fakhruddin
Sumber: Buku “Biografi Imam Al-Ghazali Dan Syekh Abdul Qadir Jailani” Karya Ali Muhammad Ash-Shallabi, Penerbit : Beirut Publishing, Jakarta

Meluruskan Sejarah Biografi Syaikh Abdul Qadir Jailani

Siapakah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Nama beliau adalah Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang 'ulama bermadzhab Syafi'i yang tinggal di Baghdad.
Kelahiran dan wafatnya beliau : Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.
Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al Jailani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga dengan Kailan. Sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy. (Biaografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail 'Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).
Beliau wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi'ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.

Masa muda beliau :
Beliau meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama' seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra' dan juga Abu Sa'ad Al Muharrimi. Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama'. Suatu ketika Abu Sa'ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak kuat menampungnya. Maka, diadakan perluasan.

Murid-murid beliau :
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama' terkenal. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga Syeikh Qudamah penyusun kitab figh terkenal Al Mughni.

Perkataan ulama tentang beliau :
Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir, beliau menjawab, " kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu." Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A'lamin Nubala XX/442).

Beliau adalah seorang 'alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, "thariqah" yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Diantaranya dapat diketahui dari perkataan Imam Ibnu Rajab, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik 'ulama dan para ahli zuhud. Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah.

Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri' Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir Al Lakh-mi Asy Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya ). Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar”. Imam Ibnu Rajab bekata : ” Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah mansyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh (dari agama dan akal ), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas. (Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya.) semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja'far Al Adfwi (Nama lengkapnya ialah Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang 'ulama bermadzhab Syafi'i. Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitan Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.) telah menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini."(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.). Imam Ibnu Rajab juga berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah memiliki yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal.

Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah ." Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, " Dia ( Allah ) di arah atas, berada diatas 'arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu." Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata " Sepantasnya menetapkan sifat istiwa' ( Allah berada diatas 'arsyNya ) tanpa takwil ( menyimpangkan kepada makna lain ).
Dan hal itu merupakan istiwa' dzat Allah diatas arsys." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 515). Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, " Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali (kekasih) yang tidak berada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal?" Maka beliau menjawab, " Tidak pernah ada dan tidak akan ada."( At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 516).

Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap manhaj Salaf.
Sam'ani berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau." Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,"Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat."

Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan bekiau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, "Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau."( Siyar XX/451 ).
Imam Adz Dzahabi juga berkata, " Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi ".

Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, " Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jailani ) didalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).

Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang 'alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a'lam bishshawwab.

Kesimpulannya beliau adalah seorang 'ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu'alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan. Karena Rasulullah shollallahu 'alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun.

Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah ( erantara ) dalam do'a mereka. Berkeyakinan bahwa do'a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meningal sebagai perantara, maka tidak ada syari'atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo'a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do'a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo'a kepada selain Allah,

Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya disamping ( menyembah ) Allah. ( QS. Al-Jin : 18 )

Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para 'ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari'ah.
Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.
Wallahu a'lam bishshawab
[Sumber : Majalah Assunnah Edisi 07/Tahun VI/1423H/2002M]

Kesabaran Syaikh Abdul Qaidr Al-Jailani dalam Menuntut Ilmu

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullah Mengais Sisa-sisa Makanan Karena Lapar

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata dalam kitabnya Dzailu Thabaqatil Hanabilah,I:298, tentang  biografi Imam Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullah (wafat tahun 561 H.), “Syaikh Abdul Qadir berkata, “Aku memunguti selada, sisa-sisa sayuran dan daun carob dari tepi kali dan sungai. Kesulitan yang menimpaku karena melambungnya harga yang terjadi di Baghdad membuatku tidak makan selama berhari-hari. Aku hanya bisa memunguti sisa-sisa makanan yang terbuang untukku makan.

Suatu hari, karena saking laparnya, aku pergi ke sungai dengan harapan mendapatkan daun carob, sayuran, atau selainnya yang bisa ku makan. Tidaklah aku mendatangi suatu tempat melainkan ada orang lain yang telah mendahuluinya. Ketika aku mendapatkannya, maka aku melihat orang-orang miskin itu memperebutkannya. Maka, aku pun membiarkannya, karena mereka lebih membutuhkan.

Aku pulang dan berjalan di tengah kota. Tidaklah aku melihat sisa makanan yang terbuang, melainkan ada yang mendahuluiku mengambilnya. Hingga, aku tiba di Masjid Yasin di pasar minyak wangi di Baghdad. Aku benar-benar kelelahan dan tidak mampu menahan tubuhku. Aku masuk masjid dan duduk di salah satu sudut masjid. Hampir saja aku menemui kematian. Tib-tiba ada seorang pemuda non Arab masuk ke masjid. Ia membawa roti dan daging panggang. Ia duduk untuk makan. Setiap kali ia mengangkat tangannya untuk menyuapkan makanan ke mulutnya, maka mulutku ikut terbuka, karena aku benar-benar lapar. Sampai-sampai, aku mengingkari hal itu atas diriku. Aku bergumam, “Apa ini?” aku kembali bergumam, “Disini hanya ada Allah atau kematian yang telah Dia tetapkan.”

Tiba-tiba pemuda itu menoleh kepadaku, seraya berkata, “Bismillah, makanlah wahai saudaraku.” Aku menolak. Ia bersumpah untuk memberikannya kepadaku. Namun, jiwaku segera berbisik untuk tidak menurutinya. Pemuda itu bersumpah lagi. Akhirnya, akupun mengiyakannya. Aku makan dengan tidak nyaman. Ia mulai bertanya kepadaku, “Apa pekerjaanmu? Dari mana kamu berasal? Apa julukanmu?” Aku menjawab, “Aku orang yang tengah mempelajari fiqih yang berasal dari Jailan bernama Abdul Qadir. Ia dikenal sebagai cucu Abdillah Ash-Shauma ‘I Az-Zahid?” Aku berkata, “Akulah orangnya.”

Pemuda itu gemetar dan wajahnya sontak berubah. Ia berkata, “Demi Allah, aku tiba di Baghdad, sedangkan aku hanya membawa nafkah yang tersisa milikku. Aku bertanya tentang dirimu, tetapi tidak ada yang menunjukkanku kepadamu. Bekalku habis. Selama tiga hari ini aku tidak mempunyai uang untuk makan, selain uang milikmu yang ada padaku. Bangkai telah halal bagiku (karena darurat). Maka, aku mengambil barang titipanmu, berupa roti dan daging panggang ini. Sekarang, makanlah dengan tenang. Karena, ia adalah milikmu. Aku sekarang adalah tamumu, yang sebelumnya kamu adalah tamuku.”

Aku berkata kepadanya, “Bagaimana ceritanya?” Ia menjawab, “Ibumu telah menitipkan kepadaku uang 8 dinar untukmu. Aku menggunakannya karena terpaksa. Aku meminta maaf kepadamu.” Aku menenangkan dan menenteramkan hatinya. Aku memberikan sisa makanan dan sedikit uang sebagai bekal. Ia menerima dan pergi.” 

[Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah,  Zam-Zam Mata Air Ilmu, 2008. Judul asli: Shafahat min Shabril ‘Ulama’, Syaikh Abdul Fatah, Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyyah cet. 1394 H./1974 M.] Sumber: www.KisahMuslim.com
  
Wasiat Emas Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah, (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani). Lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M kota Baghdad sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani. Biografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali.

Beberapa Nasehat Beliau untuk Ittiba' Kepada Sunnah dan Menjauhi Bid'ah

"Janganlah berbuat bid'ah dan sesuatu yang baru dalam agama Allah. Ikutilah para saksi yang adil berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah karena keduanya akan mengantarkanmu kepada Tuhanmu 'Azza wa Jalla. Jika kamu berbuat bid'ah, saksimu adalah akal dan hawa nafsumu sendiri. Keduanya akan mengantarkanmu kepada neraka dan mempertautkanmu dengan Fir'aun, Haman, beserta bala tentaranya. Jangan engkau berhujah dengan qadr, karena itu tidak akan diterima darimu. Engkau harus masuk Darul Ilmi dan belajar, beramal, lalu ikhlas". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam Al Fath Ar Rabbani, al Majlis 47) 

"Ber-ittiba'lah dan jangan berbuat bid'ah. Patuhilah dan janganlah membangkang. Bersabarlah dan jangan khawatir. Tunggulah dan jangan berputus asa". (Al Sya'rani, al Thabaqat al Kubra hal. 129) 

"Hendaklah kalian ber-ittiba' dan tidak berbuat bid'ah. Hendaklah kalian bermazhab kepada Salafus Shalih. Berjalanlah pada jalan yang lurus". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam Al Fath Ar Rabbani, al Majlis 4)

"Ikutilah sunnah Rasul dengan penuh keimanan, jangan membuat bid'ah, patuhlah selalu kepada Allah dan Rasul-Nya, jangan melanggar, junjung tinggi tauhid dan jangan menyekutukan Dia". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam FUTUH GHAIB risalah 2).

Syaikh Abdul Qadir Jailani berkata; Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa berbuat sesuatu yang tidak kami perintahkan, maka perbuatnnya tertolak. Hal ini meliputi kehidupan, kata dan perilaku. Hanya Nabilah yang dapat kita ikuti, dan hanya berdasarkan al Qur'anlah kita berbuat. Maka jangan menyimpang dari keduanya ini, agar engkau tidak binasa, dan agar hawa nafsu serta setan tidak menyesatkanmu". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam FUTUH GHAIB risalah 36).

Nasehat Syaikh Abdul Qadir al Jailani


Dimana Syukurmu?
Syaikh Abdul Qodir al Jailani rahimahullah berkata: Tidak baik bagimu jika engkau kagum dengan amal-amalmu, engkau bangga dengan dirimu sendiri, dan meminta imbalan dari setiap amal yang engkau lakukan. Padahal.. Engkau bisa beramal karena taufik dari Allah, pertolongan, kekuatan, kehendak dan karunia-Nya. Jika engkau bisa menjauh dari maksiat, maka itupun terjadi karena perlindungan, penjagaan dan pengayoman-Nya. Dimana dirimu dari sikap bersyukur, mengapa engkau tidak mengakui nikmat-nikmat yang diguyurkan kepadamu? [Lihat kitab Futuhul Ghaib]

[Dikutip dari buku ‘Nasehat Syaikh Abdul Qadir Jailani, Oleh: Syaikh Shalih Ahmad Syami] 
Gambaran Tawadhu’
Syaikh Abdul Qodir al Jailani rahimahullah menggambarkan tentang TAWADHU’:
Yaitu seseorang tidak berjumpa dengan yang lain kecuali ia berpandangan bahwa orang itu memiliki kebaikan atas dirinya, dan ia berkata: “Semoga ia lebih baik di sisi Allah dariku dan menganugerahkan kepadanya derajat yang tinggi.”
Jika ia lebih muda darinya, ia berkata: “Ia belum bermaksiat kepada Allah, sementara aku sudah banyak bermaksiat, tidak diragukan lagi ia lebih baik dariku.”
Jika ia lebih tua darinya, ia berkata: “Ia telah lebih dulu beribadah kepada Allah dariku.”
Jika ia lebih berilmu darinya, ia berkata: “Ia telah diberikan apa yang aku belum sampai kepadanya, ia telah memperoleh apa yang belum aku peroleh, ia seorang alim tapi aku seorang yang jahil, ia beramal dengan ilmunya.”
Jika ia lebih jahil darinya, ia berkata: “Ia bermaksiat kepada Allah karena kejahilannya, sementara aku bermaksiat kepada  Allah padahal aku berilmu, aku tidak tahu pasti dengan cara bagaimana Allah menutup hidupku. Serta dengan cara bagaimana Allah menutup hidupnya.”
Bila ia seorang hamba, ia berdoa: “Semoga Allah menghindarkan dirinya dari kesesatan.” [Lihat kitab Futuhul Ghaib]
[Dikutip dari buku ‘Nasehat Syaikh Abdul Qadir Jailani, Oleh: Syaikh Shalih Ahmad Syami]
Obat Kekerasan Hati
Syaikh Abdul Qodir al Jailani rahimahullah berkata: 
Rendahkanlah hatimu dengan berdzikir.
Ingatlah Dia ketika datangnya Hari Kebangkitan.
Pikirkanlah nasibmu di alam kubur.
Pikirkanlah bagaimana Allah ‘Azza wa Jalla menghimpun manusia di padang Mahsyar, dan mereka berdiri di hadapan-Nya. Jika engkau memikirkan hal ini maka kekerasan hatimu akan hilang, ia akan menjadi lembut dan suci.
[al Fathu Rabbani wal Faidhu Rahmani]
[Dikutip dari buku ‘Nasehat Syaikh Abdul Qadir Jailani, Oleh: Syaikh Shalih Ahmad Syami]
Menjalani Sebab
Syaikh Abdul Qodir al Jailani berkata:
“Rasakanlah pahitnya obat, dan berdirilah di depan pintu pekerjaan untuk memasukinya, sehingga engkau dapat bersungguh-sungguh dengannya.
Jangan sekali-kali hanya duduk di atas tempat pembaringan, atau tidur di balik selimut, atau bersembunyi di balik pintu kemudian engkau meminta pekerjaan. Itu suatu hal yang mustahil. [al Fathu Rabbani wal Faidhu Rahmani]

[Dikutip dari buku ‘Nasehat Syaikh Abdul Qadir Jailani, Oleh: Syaikh Shalih Ahmad Syami]
Berempatilah Kepada Kaum Fakir
Syaikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah berkata:
Berempatilah dengan kaum fakir dengan harta yang kalian miliki, jangan sekali-kali menolak dengan terang-terangan seorang yang sangat membutuhkan padahal kalian sanggup memberi, baik sedikit maupun banyak.
Perhatikanlah dengan seksama bahwa Allah ‘Azza wa Jalla adalah Dzat yang senang memberi.
Bersyukurlah, karena Allah telah menganugerahkan kepada kalian untuk memberi dan berempati.
Celaka engkau, orang-orang butuh yang mengharapkan empatimu adalah hadiah Allah kepada, bagaimana mungkin engkau menolak hadiah itu, sementara engkau sanggup memberi sesuatu kepadanya.[*]
Dihadapanku engkau mendengar petuahku lalu menangis. Tapi, jika seorang fakir datang mengharapkan bantuanmu, hatimu tiba-tiba menjadi keras, itu artinya pendengaran dan tangisanmu belum bisa dikatakan ikhlas dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla. [al Fathu Rabbani wal Faidhu Rahmani]
______
[*] Zainal Abidin apabila seorang peminta-minta datang kepadanya, beliau berkata kepadanya, “Selamat datang wahai saudaraku, engkau telah datang membawa bekal untuk akhirat kami.
[Dikutip dari buku Nasehat Syaikh Abdul Qadir al Jailani, Syaikh Shalih Ahmad Syami, Penerbit Tazkia]
Tanda-Tanda Ikhlas
Syaikh Abdul Qodir al Jailani rahimahullah berkata:
“Tanda-tanda keikhlasanmu adalah engkau tidak peduli dengan sanjungan makhluk dan tidak menoleh kepada cacian mereka, engkau tidak berambisi memperoleh apa yang berada di tangan mereka.” [al Fathu Rabbani wal Faidhu Rahmani]
[Dikutip dari buku Nasehat Syaikh Abdul Qadir al Jailani, Syaikh Shalih Ahmad Syami, Penerbit Tazkia]
Dengarkan Nasihat
Biasakanlah mendengarkan nasihat kebaikan, karena sesungguhnya hati jika terlampau lama tidak mendengar nasihat, ia akan menjadi berkarat dan buta.
Jangan memandang enteng ungkapan penuh hikmah yang keluar dari mulut para ulama, karena ia merupakan intisari dan buah dari wahyu Allah ‘Azza wa Jalla. [al Fathu Rabbani wal Faidhu Rahmani]
[Dikutip dari buku ‘Nasehat Syaikh Abdul Qadir Jailani, Oleh: Syaikh Shalih Ahmad Syami]

Berserah Diri Kepada Allah ‘Azza wa Jalla
Syaikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah berkata:
“Berpaling dari Allah pada saat ketetapan-Nya turun adalah kematian agama, kematian tauhid, kematian tawakkal, dan kematian keikhlasan. Hati seorang Mukmin tidak mengenal kata, ‘Mengapa’ atau ‘Bagaimana’. [al Fathu Rabbani wal Faidhu Rahmani]
[Dikutip dari buku ‘Nasehat Syaikh Abdul Qadir Jailani, Oleh: Syaikh Shalih Ahmad Syami] Sumber: Kisahislam.net 

143615: Sekilas Tentang Abdul Qodir al Jaelani dan Mu’inuddin al Jasyti dan Akidah Keduanya

Apakah anda bisa menjelaskan sejarah dari Syeikh Abdul Qodir al Jaelani dan al Khowajah Mu’inuddin al Jasyti ?; karena pengikut mereka banyak tersebar di dunia, oleh karena itu saya ingin mengetahui sejauh mana kebenaran yang mereka bawa.
Published Date: 2016-04-15
Alhamdulillah
Pertama:
1.      Abdul Qodir al Jaelani, nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdul Qodir bin Abu Shaleh Abdullah bin Janki Duusat al Jaili al Hambali.
2.      Syeikh Abdul Qodir dilahirkan di Jaelan, daerah di belakang Thabaristan pada tahun 471 H. dan meninggal dunia pada tahun 561 H.
3.      Dia belajar dari Abu Ghalib Al Baqelani, Ahmad bin Mudzaffar dan Abu Qasim bin Bayan. Dan yang  meriwayatkan darinya adalah As Sam’ani, al Hafidz Abdul Ghoniy, dan Syeikh Muwaffiqud Diin Ibnu Qudamah.
4.      Imam Dzahabi –rahimahullah- menyatakan tentangnya: “Dia adalah seorang syeikh, imam, ulama, orang yang zuhud, pandai, menjadi teladan, syeikh Islam, mengetahui para wali.
(Siyar A’laam Nubala’: 20/439)
Imam As Sam’ani –rahimahullah- berkata:
“Abdul Qodir termasuk penduduk Jaelan, imam dari madzhab Hambali, menjadi guru mereka pada masanya, ahli fikih, sholeh, agamawan, baik, banyak berdzikir, selalu berfikir, mudah menangis”.
(Siyar A’laam Nubala’: 20/441)
Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata:
“Dia mempunyai perangai yang baik, pendiam, cepat melakukan amar ma’ruf dan mencegah yang mungkar, nampak sekali kezuhudannya, dia mempunyai perangai yang sholeh dan penerawangan, pengikut dan para sahabatnya banyak yang menuliskan tentangnya, mereka menyebutkan tentang diri beliau dengan perbuatan, perkataan, penerawangan yang kebanyakan terlalu berlebihan, dia termasuk orang sholeh dan wara’ (hati-hati dalam masalah yang syubhat), dia telah mengarang buku “Al Ghunyah” dan “Futuh al Ghaib” di dalam kedua buku tersebut ada banyak kebaikan, dia juga menyebutkan di dalam kedua bukunya hadits-hadits dha’if dan maudhu’ (palsu), secara umum dia termasuk pemuka dari para syeikh”. (Al Bidayah wan Nihayah: 12/768)
5.      Sebagian pelajar yang mencari tahu tentang akidah al Jaelani dan biografinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Sa’id bin Mufassir –semoga Alloh memberinya taufik- dalam bukunya “Syeikh Abdul Qodir al Jaelani wa Aara’ahu al I’tiqadiyah was Shufiyyah”,buku ini merupakan desertasi ilmiyah untuk mendapatkan gelar Doktor dari Universitas Ummul Quro, dia telah menyebutkan pada kesimpulan desertasinya:
a.      Bahwa Syiekh Abdul Qadir al Jaelani berakidah salaf, sesuai dengan manhaj ahlus sunnah wal jama’ah dalam semua masalah akidah, seperti masalah iman, tauhid, kenabian, hari akhir, dia juga menentukan akan kewajiban mentaati para wali amri (pemimpin) dan tidak boleh keluar dari mereka.
b.      Dia termasuk tokoh orang-orang shufi pada generasi awalnya sesuai dengan pemahaman shufi yang seimbang dan dekat dengan sunnah, yang kebanyakan bersandarkan kepada al Qur’an dan sunnah disertai banyak perhatian pada masalah-masalah hati.
c.       Bahwa beliau –rahimahullah- dilihat dari sisi mempelajari ilmu tasawuf dari para tokohnya yang banyak membutuhkan ilmu yang berdasarkan kepada al Qur’an dan sunnah, seperti syeikhnya ad Dabbas yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis), beliau –rahimahullah- telah melakukan beberapa syathahat (tarikat-tarikat) dan beberapa bid’ah di dalam beribadah, tapi semua itu tertutupi oleh lautan kebaikannya, karena terjaga dari dosa itu tidak terjadi kecuali kepada para Nabi dan selain dari pada mereka berpeluang untuk melakukan kesalahan, dan jika air itu melebihi dua kullah maka tidak akan terpengaruh oleh kotoran.
d.      Bahwa hampir semua karamah yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qodir al Jaelani terlalu berlebih-lebihan, sebagiannya tidak benar. Adapun yang bisa diterima, bisa jadi karena firasat atau karena karamah yang ahlus sunnah wal jama’ah meyakini masih bisa terjadi sesuai dengan koridor-koridor syar’i yang dijelaskan di dalam risalahnya.
(Syeikh Abdul Qodir al Jaelani wa Aaraauhu al I’tiqadiyyah was Shufiyyah: 660-661)
Baca juga jawaban soal nomor: 12932 dan 45435.
Kedua:
Sedangkan Mu’inuddin al Jasyti adalah:
1.      Dia adalah al Khowaja Mu’inuddin Hasan bin al Khowaja Ghiyatsuddin as Sajzi, dikenal dengan “Gharib Nuwwaz” yaitu; penolong orang-orang fakir atau suka memberi sesuatu kepada mereka.
2.      Dilahirkan di Sistan sebelah timur lautnya Iran pada tahun: 536 H. dan meninggal dunia pada tahun: 627 H.
3.      Dia termasuk wali yang paling populer di kawasan Asia utara, kuburannya paling banyak dikunjungi oleh para penganut shufi dan yang ahli khurafat, bahkan dia juga dikunjungi oleh mereka yang beragama Hindu.
4.      Dikatakan tentang sebab dia menganut ajaran shufi adalah bahwa pada saat Al Jasyti mengairi tanamannya di sawahnyam, dia dikunjungi oleh seorang laki-laki shufi namanya Syeikh Ibrohim Kunduz, maka dia yang masih berjiwa muda pun mendekati Syiekh tersebut, dia pun memberinya beberapa buah-buahan, sebagai imbalannya Syeikh Ibrohim Kunduz pun bercerita tentang kisah jenggotnya dan memintanya untuk memakannya, maka Mu’inuddin pun memakannya, tiba-tiba perutnya bercahaya !, kemudian dia melihat dirinya sedang berada di alam lain yang asing baginya. Setelah kejadian itulah dia meninggalkan kebun dan semua aset pertaniannya, dia pun membagi semua hartanya kepada fakir miskin dan meninggalkan urusan duniawi, lalu dia pergi ke Bukhoro untuk belajar.
5.      Al Jasyti banyak berkelana di berbagai tempat di dunia, kemudian dia menentukan untuk pindah ke India karena dia pernah bermimpi bertemu dengan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan beliau menyuruhnya untuk pindah. Maka dia pun pergi ke India dan singgah di Lahor setelah beberapa lama dia singgah juga di Ijmir di daerah Rajistan. Dia pun bertempat tinggal di sana sampai meninggal dunia.
6.      Dialah penyebar aliran shufi yang bid’ah dengan nama “al Jasytiyah” karena dinisbatkan ke sebuah desa yang bernama “Jisyti” di Harah di sebelah barat laut dari Afganistan di India.
7.      Thariqat Mu’inuddin tidak berbeda dengan thariqat shufi lainnya yang mengandung bid’ah, bahkan sebagian thariqat tersebut mengandung aqidah yang kafir.
Dan pada thariqat ini mereka menyebutnya dengan “Muraqabah al Jisytiyah” (pengawasan al Jisyti) yaitu menghabiskan setengah jam setiap pekannya di salah satu kuburan, dengan menutup kepalanya dan berdzikir dengan ungkapan: “Alloh Hadhiri” (Alloh sedang hadis menyertaiku), “Alloh Nadziri” (Alloh sedang melihatku).
Tidak diragukan lagi bahwa perkara tersebut merupakan bid’ah yang sesat, bahkan dihawatirkan akan menjadi pintu masuk menuju syirik kepada Alloh –Ta’ala-, karena seorang penganut shufi akan tunduk kepada orang yang di dalam kuburan, dan menjadikan persaksian, pengawasan dan kehadirannya di hadapannya –anggapan mereka- merupakan syirik besar. 
Ketiga:
Ulama Lajnah Daimah pernah ditanya:
“Saya berharap dari anda yang terhormat agar menuliskan untuk kami dengan ringkas tentang shufiyah dan pengikutnya, apakah yang dimaksud shufiyah ?, apa saja akidah mereka ?, bagaimanakah pendapat ahlus sunnah terhadap mereka ?, apa yang seharusnya dilakukan oleh ahlus sunnah wal jama’ah kepada mereka ?, atau bagaimanakah sebaiknya bergaul dengan mereka, jika mereka bersi keras pada akidah mereka ?, mereka meyakini bahwa mereka berada di dalam kebenaran meskipun kebenaran telah nampak di hadapan mata kepala mereka sendiri ?”.
Mereka menjawab:
“Kata “shufiyyah” dinisbatkan ke shuf (bulu domba); karena menjadi ciri khas mereka dalam berpakaian, hal ini dekat dengan maknanya secara bahasa dan sesuai dengan realita mereka. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa shufiyyah dinisbatkan ke “Shuffah” karena ada kesamaan mereka dengan orang-orang fakir dari para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- yang mereka bertempat tinggal di emperan masjid Nabawi, atau dinisbatkan kepada “Shofwah” karena kejernihan hati dan amalan mereka, semua itu merupakan kesalahan dan tidak benar; karena kalau dinisbatkan ke kata " صفّة " (Shuffah) maka harusnya menjadi "صفّي " (Shuffi) huruf fa’ dan ya’nya bertasydid, kalau dinisbatkan ke "صفوة" (Shofwah) maka harusnya menjadi "صفويّ" (Shofwi) dan kerena kedua makna tersebut tidak sesuai dengan sifat mereka, karena akidah mereka banyak mengandung kerusakan dan bid’ah.
Semua thariqat shufi atau yang dinamakan dengan tasawuf belakangan ini, kebanyakan mereka mengamalkan bid’ah yang mengandung syirik dan atau amalan yang bisa membawanya kepada kesyirikan, akidah yang rusak, menyimpang dari al Qur’an dan sunnah, seperti; meminta pertolongan kepada orang yang sudah mati dan dari kalangan tokoh mereka dengan mengatakan: “مدد يا سيدي” (Lapangkanlah wahai tuan kami), “مدد يا سيدة زينب  “ (Lapangkanlah wahai siti Zainab), “ مدد يا بدوي “ (Lapangkanlah wahai Badwi), atau “يا دسوقي  “ (wahai Dasuqi) dan lain-lain dari bentuk meminta pertolongan kepada para Syeikh dan tokoh mereka. Mereka meyakini bahwa mereka sebagai mata-mata semua hati, mereka mengetahui yang ghaib, mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati, mereka juga yang melakukan di balik sebab-sebab yang biasa, seperti memberi nama kepada Alloh dengan nama yang Dia sendiri tidak menamakannya, seperti; Huwa Huwa dan Aah Aah Aah.
Orang-orang shufi mempunyai wirid-wirid yang mengandung bid’ah dan doa-doa yang tidak disyari’atkan, mereka mengambil janji kepada para murid  (orang yang mengikuti thariqat mereka) agar mereka berdzikir kepada Alloh sesuai dengan manasik dan ibadah mereka dengan nama-nama tertentu dari nama-nama Alloh yang dilakukan dengan secara berjama’ah, seperti; Alloh Yang Maha Hidup, Maha Berdiri Sendiri, yang diulang-ulang setiap hari, dan tidak beralih kepada nama-nama Alloh yang lain kecuali atas seizin para syeikh mereka, kalau tidak maka dianggap telah bermaksiat dan takut dari khodam nama-nama tersebut, semua itu dilakukan dengan memohon, ruku’, mengangkat kepala dari ruku’, tarian, nasyid, tepuk tangan dan lain sebagainya yang tidak ada dasarnya dan tidak ada di dalam kitabullah dan juga sunnah Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Maka menjadi kewajiban seorang muslim agar tidak ikut duduk di dalam majelis mereka dan menjauh tidak berbaur dengan mereka, agar tidak terpengaruh dengan akidah mereka yang rusak dan ikut terjerumus bersama mereka kepada kesyirikan dan bid’ah, dan hendaknya menasehati mereka dan menjelaskan kebenaran kepada mereka; mudah-mudahan Alloh memberikan hidayah kepada mereka melalui dirinya, namun tetap mengakui perbuatan mereka yang masih sesuai dengan al Qur’an dan sunnah, dan mengingkari semua yang bertentangan dengan keduanya, tentunya dengan tetap berkomitmen kepada manhaj ahlus sunnah wal jama’ah agar selamat dalam menjalankan agama. Barang siapa yang ingin mengetahui keadaan orang-orang shufi dan keyakinan mereka dengan rinci, maka hendaknya membaca kitab “Madarikus Salikin” karangan Ibnu Qayyim al Jauziyah dan kitab “Hadzihi Hiya ash Shufiyah” karangan Abdurrahman al Wakil.
(Syeikh Abdul Aziz, Syiekh Abdul Aziz Alu syeikh, Syeikh Sholeh al Fauzan, Syeikh Bakr Abu Zaid)
Fatawa Lajnah Daimah / Jilid 2 : (2/88-90)
Baca juga jawaban soal nomor: 20375 penjelasan tentang hukum bergabung kepada thariqat shufiyah.
Wallahu A’lam.