March 19, 2014
Bagaimana Sikap Habaib Ba ‘Alawi
terhadap Syiah
Kitab An-Nashaaih al-Diniyyah
wal-Washaya al-Imaniyyah, Syaikh Abdullah Ba ‘Alawi Al-Haddad ini dikaji di
Betawi Jakarta hingga kini
Imam Abdullah bin Alawi
bin Muhammad Al-Haddad setelah menerangkan Syi’ah Rafidhah, berkomentar: ”
Rafidhah adalah golongan sesat. Mereka tidak bisa dipercaya dalam hal
apapun, karena jika ada sedikit kebenaran pasti mereka campur dengan
kebatilan, maka tidak ada sedikit pun kebenaran yang tersisa dari mereka
layaknya seseorang membuat mentega dari kotoran.
Orang Betawi Jakarta dan para
habaib yang masih ada atsar dari para gurunya yang memberi pelajaran
kitab Al-Nashaih Al-Diniyyah dan semacamnya seharusnya malu
bila mendekat-dekat dengan syiah. Orang Betawi Jakarta seperti Saefuddin Amsir
yang selama dua generasi mengalami kajian kitab itu namun kini berkarib-karib
dengan syiah bahkan sampai pidato memberikan sambutan di acara Idul
Ghadir-nya Syiah; selayaknya jadi contoh tidak sedap bagi kalangan Muslimin
Betawi Jakarta dan para habaib.
Bagaimana tidak mengherankan,
orang seperti Saefuddin Amsir yang dikenal seolah sebagai penerus atau
pengganti Ulama Betawi KH Syafi’i Hazami dan dulunya dikenal akrab dengan KH
Abdullah Syafi’I ulama Betawi, namun kini lewat jalur NU (Nahdlatul Ulsamsa)
tega-teganya Saefuddin Amsir hadir sebagai pembicara di acara syiah yang
sejatinya adalah perayaan mengutuk para sahabat Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam itu. – See more at:http://www.nahimunkar.com/orang-betawi-ridwan-saidi-dan-saefuddin-amsir-jadi-pendukung-syiah/#sthash.HeYb2zSn.dpuf
Untuk mengetahui apa yang
diungkapkan Saefuddin Amsir dalam acara syiah itu, dapat dibaca artikel Cara
Syaifuddin Amsir Tokoh NU Berdusta dan « Menjilat » Syiah http://www.nahimunkar.com/cara-syaifuddin-amsir-tokoh-nu-berdusta-dan-menjilat-syiah/
Kenapa jadi contoh tidak sedap?
Untuk menjawab pertanyaan itu,
mari kita simak tulisan yang menguraikan sikap para habaib Ba ‘Alawi terhadap
syiah berikut ini.
Selamat menyimak dengan baik.
Sikap Para Habaib Ba
Alawi Tentang Syi’ah Rafidhah
- Siapakah Para Habaib Ba
‘Alawi?
Mereka adalah kelompok Ahlul
Bait yang bertempat tinggal di Hadromaut Yaman sejak akhir abad ketiga
hijriyah. Dari keturunan Imam Alawi bin Imam Ubaidillah bin Imam Al-Muhajir
Ahmad bin Imam ‘Isa bin Imam Muhammad bin Imam ‘Ali Al-’Uroidli bin Imam Ja’far
Shodiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Zainul ‘Abidin ‘Ali bin Imam
Al-Husain Al-Sibthi bin Sayyidina Al-Imam ‘Ali bin Abi Tholib Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala memulyakannya bin Sayyidatuna Fatimah Al-Zahro’ binti
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam.
Mereka adalah orang-orang yang
mulia, termasuk ahlul ‘ilmi, amal dan adil. Thoriqotnya –dibangsakan pada
kakeknya– bernama ‘Alawiyah yang mereka terima secara turun temurun dari orang
tua sepanjang zaman.
Aqidahnya berdasarkan al-Qur’an
dan al-Sunnah. Tahap awal adalah mengutamakan dan mengedepankan akhlaq dan
amal, sedangkan tahap akhirnya penyucian diri dan penyaksian ni’mat hakiki dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua itu berazaskan tiga pilar ajaran yang telah
disebutkan dalam kata mutiara Imam Abdillah bin Alawi Al-Haddad:
”Berpegang teguhlah pada
al-Qur’an ikutilah sunnah Rasul, teladani Salafusshalih,niscaya Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberi hidayah padamu.”
Bagaimana sikap Para Habaib Ba
Alawi terhadap Syi’ah Rafidhah?
Sikap mereka terhadap Syi’ah
Rafidhah akan saya jelaskan dengan dalil-dalil yang menyangkut keteguhan para
Habaib Ba Alawi dalam memegang thoriqoh Ahlussunnah wal Jama’ah dan bebasnya
mereka dari Syi’ah Rafidhah juga dari setiap perkara yang bisa merendahkan
derajat para tokoh shahabat Radhiyallahu ‘anhu.
Kita memulai dengan kesaksian
yang benar tentang para Habaib Ba Alawi dari Syaikh Yusuf bin Isma’il
al-Nabhani yang mengatakan dalam kitabnya al-Asalib al-Badi’ah fi Fadllis
Shohabah wa Iqnai al-Syi’ah hal 495: “Keturunan Nabi jikalau mereka
mengunggulkan kakeknya (Ali Radhiyallahu ‘anhu) sebab kecintaan mereka
kepadanya itu sama sekali tidak dapat mempengaruhi keutamaan Abu Bakar dan
Umar.” Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan habaib
apalagi sadat (sesepuh) para Habaib Ba Alawi yang notabene
bermadzhab Ahlulsunnah wal Jama’ah pasti mengunggulkan keutamaan Abu bakar dan
Umar dari pada Ali Radhiyallahu ‘anhu. Hal tersebut juga ditetapkan dalam kitab
mereka dan dijadikan kurikulum dalam mata pelajaran di madrasah mereka.
Hanya dengan pertolongan
Allah Subhanahu wa Ta’ala lah, mereka tetap konsis dan eksis melakukan syari’at
Islam mengalahkan tuntutan hawa nafsu.
Teladanilah pernyataan mereka
-yang kami terangkan di bawah ini- yang menyerukan untuk selalu konsis dengan
ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah dan terhindar dari Rafidhah dan faham sesatnya.
Imam Abdullah bin Alawi bin
Muhammad Al-Haddad setelah menerangkan Syi’ah Rafidhah, berkomentar: ” Rafidhah
adalah golongan sesat. Mereka tidak bisa dipercaya dalam hal apapun,
karena jika ada sedikit kebenaran pasti mereka campur dengan kebatilan, maka
tidak ada sedikit pun kebenaran yang tersisa dari mereka layaknya seseorang
membuat mentega dari kotoran.
Anggapan mereka bahwa Sayyidina
Ali Radhiyallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah jikalau itu benar pasti
yang menjadi kholifah setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam
adalah beliau, padahal kenyataan yang ada pada saat itu justru mayoritas
shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam termasuk Ali Radhiyallahu
‘anhu sepakat membaiat Abu Bakar menjadi khalifah. Dikarenakan beliau adalah
shahabat yang paling senior, pernah suka duka bersama Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa sallam di Gua Hira’ dan beliau juga pernah diperintah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa sallam untuk mengimami sholat di masa hidupnya. Pada
awalnya beliau berijtihad memberikan kursi kekhilafahan kepada Umar, akan
tetapi Umar Radhiyallahu ‘anhu justru menyerahkannya kepada lembaga
permusyawaratan yang telah dibentuk dengan beranggotakan enam shahabat termasuk
Sayyidina Ali Radhiyallahu ‘anhu. Dan cukup bagi Ali Radhiyallahu ‘anhu
keutamaan dan keistimewaan walaupun kepemimpinan beliau paling akhir.
Adapun tuduhan Rafidhah terhadap
Ali Radhiyallahu ‘anhu sebab beliau tidak berkomentar banyak seputar khilafah
karena taqiyah, maka sesungguhnya itu bukan semata-mata karena takut akan
tetapi karena beliau ingin menjaga kesatuan dan kebersamaan umat Islam serta
menghindari perpecahan di dalamnya.” Keterangan dari kitab Tatsbitul al-Fu’ad.
Masih dalam kitab tersebut
Imam Abdullah Alawi Al-Haddad juga berkata: “Ketika Syi’ah Zaidiyah sampai ke
negara Yaman, mereka banyak bertanya tentang beberapa hal, mereka berkata
kepada kami: kenapa kalian semua mendahulukan orang lain dari pada Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu ‘anhum? lalu kami menjawab: Beliau sendirilah yang
melakukan hal itu, maka kami mengikuti apa yang beliau lakukan, mereka berkata:
Itu Cuma Taqiyah belaka, kami menjawab: Kami tidak sehebat dan seberani beliau.
Kalau memang benar Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu melakukan Taqiyah lalu
siapakah orang yang lebih kuat atau mengimbanginya dalam kejantanan dan
keberaniannya?
Di dalam kitab Al-Nashaih
Al-Diniyyah pada bagian akhir ketika membahas tentang aqidah Ahlussunnah wal
Jama’ah menjelaskan: Bagi setiap muslim wajib meyakini keutamaan para shahabat
dan tingkatan mereka dan mereka itu adalah orang-orang yang adil dan terpilih
tidak diperbolehkan menghujat mereka. Sesungguhnya khalifah yang benar setelah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam adalah Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu,
Umar Radhiyallahu ‘anhu, Utsman Radhiyallahu ‘anhu kemudian Ali
Radhiyallahu ‘anhu.
Beliau berkata dalam kitab
Al-Da’wah Al-Taammah: “Merupakan suatu keharusan bagi kita untuk tidak membahas
konflik yang terjadi diantara para shahabat setelah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa sallam, seperti perang Jamal, Shiffin. Menyikapi hal tersebut bagi
seorang muslim harus memberikan jalan dan solusi terbaik mengingat keagungan
derajat mereka. Sebagai seorang yang baik haruslah seperti apa yang difirmankan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri
ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami,
dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang.”
(Q.S. al-Hasyr: 10).
Diriwayatkan dari Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam beliau bersabda:
“Ketika (polemik/konflik)
shahabatku dibahas maka diamlah kalian (dari berkomentar buruk).” (H.R.
Thabrani dan Al-Harist bin Abu Usamah dari Ibnu Mas’ud).
Dan Beliau juga bersabda:
“Shahabat-shahabatku laksana
bintang-bintang siapapun diantara mereka kalian ikuti maka kalian pasti
mendapat petunjuk.” (H.R. Thobaroni dan al-Haitsami).
Beliau juga bersabda:
“Hormati dan muliakanlah para
shahabat dan keluargaku, jangan pernah mencaci maki mereka. Barangsiapa yang
melakukan hal tersebut maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melindunginya di
dunia dan akhirat. Barangsiapa yang melakukan sebaliknya,maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala akan meninggalkannya. Barangsiapa yang ditinggalkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala maka dikhawatirkan mendapat siksaan-Nya.” (H.R. Thobaroni dan Ibnu
Asakir).
Dan beliau bersabda:
“Hormati dan muliakanlah para
shahabatku dan jangan sekali-kali mereka kalian jadikan bahan hinaan, sebab
orang yang bisa mencintai mereka itu karena mencintaiku dan sebaliknya, orang
yang memusuhi mereka tak lain karena memusuhiku. Barangsiapa yang menyakitiku
berarti menyakiti Allah Subhanahu wa Ta’ala dan siapa saja yang menyakiti Allah
Subhanahu wa Ta’ala pasti dia akan mendapatkan siksa.” (H.R. At-Tirmidzi,
Ahmad, Baihaqi).
Dan Beliau bersabda:
“Jangan kalian mencaci maki
shahabat-ku, demi dzat yang menguasai jiwa-ku, andaikan salah satu dari kalian
bersedekah emas sebesar gunung Uhud niscaya tidak akan bisa menandingi sedekah
mereka satu mud dan/atau setengahnya.” (H.R. Bukhori Muslim).
Beliau Imam Abdullah Alawi
Al-Haddad bersya’ir dalam kitabnya Al-Durrul Al-Manzhum li Dzawil Uqul Wal
Fuhum:
Para shahabat Nabi yang mulia
adalah pemimpin baik Muhajirin maupun Anshor.
Laksana
bintang-bintang pemberi petunjuk, dermawan, pemurah hati,
dan
bertanggung jawab atas amanat yang dipikulnya
Mereka
golongan yang mendapat hidayah Tuhan
maka
ikutilah Dan bermulazamah dengan mereka jangan sampai engkau berpaling
Jangan
pernah memusuhinya, sebab mereka sumber hidayah
Dan para penyampai ilmu
Al-Qur’an dan Al-Sunnah
Orang yang mengejeknya berarti
mendekostruksi dasar agama
Dan terpeleset dalam jurang
kesesatan
Sayyid Abdurrahman bin Hamid
Al-Sari berkata dalam kitabnya Nafahat Al-Nashim Al-Hajiri Min Kalami Syaikhil
Islam Abdullah bin Umar Al-Syathiri hal 340 mengutip langsung dari Imam
Abdullah Al-Syathiri termasuk pemimpin para Habaib Ba ‘Alawi: pada bulan Syawal
Tahun 1359 H. disaat kita belajar ilmu tajwid beliau memberi nasehat kepada
kami setelah memberikan kajian ilmiah khusus mendalami seputar polemik dan
konflik antara para shahabat Nabi serta berpesan agar tidak membahasnya terlalu
dalam. Saking pentingnya beliau hampir tidak mau berdiri untuk mengakhirinya.
Di antara nasehat-nasehatnya
adalah: “Wahai anakku, pegangilah nasehatku ini: Barangsiapa yang ingin ilmunya
bermanfaat dan berpegang teguh pada thoriqoh A’lawiyyin serta menjadi orang
yang dicintai, maka jauhilah membahas polemik dan konflik para shahabat Nabi
dan jangan sekali-kali menanggapi orang yang membahasnya.
Apa yang terjadi antara shahabat
Nabi Janganlah kita komentari,
Cukup bagi kita berkata: “Mereka
berhak mendapatkan pahala atas ijtihad mereka.”
Ada sebuah pertanyaan diajukan
kepada Ibnul Mubarok; mana yang lebih utama antara Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu
dan Umar bin Abdul Aziz? beliau menjawab: sisa-sisa debu yang menempel pada
hidung kudanya Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu itu lebih utama dari pada Umar bin
Abdul Aziz. Walaupun hakikat kebenaran berpihak kepada Sayyidina Ali
Radhiyallahu ‘anhu tetapi tidak baik membahas permasalahan ini kecuali orang
yang pandir lagi bodoh.
(Dikutip sebagian dari tulisan
panjang berjudul TENTANG SYI’AH yang diposkan Hermanzsyah Reza Jakarta, D.K.I Jakarta, Indonesia, Jumat, Februari
28, 2014/ http://hermanzsyahreza70.blogspot.com/ ).
(nahimunkar.com)
03/02/20140
Para Habib yang mengikuti
ajaran Syiah sejatinya adalah para pengkhianat Ahlul Bait Nabi Muhammad
Shallalahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga bukan habib tetapi mantan Habib.
Hal ini disampaikan oleh Pengurus Majelis Ulama’
Indonesia (MUI) Jawa Timur dan Majelis Tinggi NU Jawa Timur, Ustadz Habib Ahmad
Zein Alkaff saat acara kajian ilmiah “Mengapa Syiah Bukan Islam?” di Gedung Al
Irsyad, Surakarta, Ahad (2/1/2013).
Habib Zein mengingatkan betapa dahulu Ketua Habaib
bekorban hijrah dari Bashrah negeri yang subur menuju Hadramaut negeri yang
kurang subur alias tandus demi menyelamatkan aqidah anak turunanya (Ahlul Bait
Rasul) dari fitnah syiah yang berkembang di Bashrah.
Menurutnya, kalau ada habib yang menjadi syiah itu
maka telah berhianat kepada datuknya, Nabi Muhammad Shallalahu alaihi wa
sallam. “Kalau ada habib tidak berjalan diatas jalan habib dia bukan habib,
tetapi mereka mantan habib” tegas Habib Zein, seperti ditulis Annajah.net,
Senin
Habib Zein meneyebut Syiah itu telah melakukan
kedustaan perihal Ahlul Bait. Mereka seringkali mengaku dan mengatasnamakan
kecintaan terhadap Ahlul Bait, padahal sesungguhnya mereka pengkhianat Ahlul
Bait Rasul, “Syiah mengaku mencintai Ahlul Bait padahal tidak mencintai mereka”
pungkasnya.
Mengapa Syiah bukan Islam?
Pada kesempatan itu Habib Zein menjelaskan alasan
mengapa Syiah bukan Islam, yakni yang pokok tentunya karena aqidah mereka itu
bertentangan dengan Al Qur’an dan Al Hadits.
Pertama, karena
rukun imannya berbeda dengan Islam. Rukun iman Syiah ada 5 sedangkan rukum Iman
umat Islam ada 6. “Konsekunsi dari keimanan ini maka saling mengkafirkan, Syiah
mengkafirkan ahlus sunnah dan ahlus sunnah mengkafirkan Syiah” ungkapnya.
Kedua, perbedaan
dalam rukun Islam. Kalau rukun Islamnya orang Syiah itu shalat, shaum, zakat,
haji dan wilayah. Sedangkan rukun Islamnya ahlus sunnah itu syahadatain,
shalat, puasa, zakat, dan haji. Sama konsekuensinya saling mengkafirkan.
Ketiga, Al
Qur’an yang dibaca kaum muslim sudah mengalami muharraf (perubahan), bisa
ditambah dan dikurangi. Padahal Allah secara tegas telah mengatakan
sesungguhkan kami yang telah menurunkan al qur’an dan kami pula yang
menjagannya. Hal ini tidak sebagaimana orang Syiah mereka itu mengatakan al
qur’an telah berubah baik ditambah maupun dikurangi. Bahkan al qur’an menurut
mereka itu 17.000 ayat tiga kali lipat al qur’an yang ada.
Keempat, mereka
mengklaim imam-imam mereka lebih mulia daripada Rasulullah Shallalahu
‘alaihi wa sallam. Menurut Syiah Imam kami punya kedudukan diatas
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam. “Seseorang yang mengaku lebih
afdhol dari para rasul telah keluar dari Islam, inilah aqidah Islam” tegasnya.
Kelima, mereka
mencaci para sahabat bahkan mereka mengkafirkan para sahabat kecuali yang empat
orang saja. “Padahal Allah telah menegaskan dalam al Qur’an Allah ridha kepada
mereka dan mereka ridha Allah sebagai rabb mereka” ujarnya.
Ulama NU
kelahiran 1941 ini mengingatkan untuk menghadang perkembangan Syiah di
Indonesia karena jika tidak diwaspadai maka apa yang terjadi di Irak, Iran,
Yaman, Bahrain akan juga bisa terjadi di bumi ahlus sunnah Indonesia ini.
Untuk
mengingatkan bahaya Syi’ah Habib mengutip hadits Rasulullah Shallalahu
‘alaihi wa sallam : “Apabila timbul fitnah atau bid’ah, dimana
sahabat-sahabatku dicaci maki, maka setiap orang yang berilmu diperintahkan
untuk menyampaikan ilmunya (menyampaikan apa yang ia ketahui kesesatan Syiah).
Dan barang siapa tidak melaksanakan perintah tersebut, maka dia akan mendapat
laknat dari Allah dan dari Malaikat serta dari seluruh manusia. Semua
amal kebajikannya, baik yang berupa amalan wajib maupun amalan sunnah tidak
akan diterima Allah”.
Umat Islam
dituntut pembelaannya manakala Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam,
para sahabatnya, istri-istrinya yang dicacimaki oleh siapapun, termasuk Syi’ah.
“Kalau seandainya kita tidak marah ketika istri-istri Rasulullah Shallalahu
‘alaihi wa sallam, mertua Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam, menantu
Rasulullah dan juga para sahabatnya dicacimaki dan dikafirkan maka diragukan
kecintaannya kepada Rasulullah Saw. Jangan mengaku cinta, jika tidak ada
buktinya,” pungkasnya. (azm/annajah.net/arrahmah.com)
Allahu
Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Saatnya
tokoh-tokoh Ahlul Bait di Indonesia bersuara lantang menentang Syi’ah.
Tiga tokoh Habaaib:
- Al-Habib Mohammad bin Hasan Baharun
(Ketua Komisi Hukum & Perundangan MUI Pusat)
- Al-Habib
Achmad bin Zein Al-Kaff
(Surabaya)
- Al-Habib
Thohir bin Abdullah Al-Kaff (Tegal)
Akan menjadi pembicara dalam Tabligh Akbar
bertemakan:
“Memperkokoh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah Dari
Ancaman Penyimpangan Ajaran Syi’ah”
Hari:
Ahad, 30 Maret 2014
Pukul: 07:30 – 12.00
Tempat: Madrasah Diniyyah Al-Islamiyah Al-Kamiliyyah, Jalan Otista II, RW
09, Kel. Bidaracina, Jatinegara, Jakarta Timur.
Sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk
menjaga dan memperkuat aqidah kaum muslimin dan muslimat di NKRI dari segala
macam aliran menyimpang/sesat, terutama Syi’ah.
Sebarkan….!!!
Forum Pemuda Ahlul Bait dan Sahabat NKRI Rayon 99