Thursday, August 14, 2014

Bisakah Umat Islam Mengandalkan Syiah untuk Bebaskan Al-Quds?

Fahmi Salim, M.A

Pemerhati Al-Quds, Wakil Sekjen MIUMI

Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini sudah lama menggelayuti pikiran dan perasaan saya. Apalagi sejak tahun 2006, Hizbullah Lebanon berhasil, katanya, mengalahkan mesin perang Israel dan mampu mengusir mereka keluar. Peristiwa perang 33 hari Israel vs Hizbullah dimana Hizbullah keluar sebagai pemenangnya, inilah komoditas dan merek dagang baru jualan Syiah untuk banyak mengelabui umat muslim yang mayoritas mutlak berakidah ahlusunnah wal jamaah.
Jauh sebelumnya memang sudah pernah ada usaha syiah untuk mengeksploitasi isu Palestina ini misalnya dengan fatwa Imam Khomeini, Rahbar Iran, yang menetapkan hari jumat terakhir bulan Ramadhan sebagai Hari Al-Quds Internasional. Namun sepertinya, tidak begitu berpengaruh dan ‘ngefek’ untuk menarik simpati kaum muslimin sunni untuk melirik akidah syiah.
Baru setelah kisah heroic perlawanan milisi Hizbullah tahun 2006 itulah, terjadi titik balik fitnah tasyayyu di dunia Islam terutama di Syam (Mesir, Suriah, Lebanon dan Yordania) dan Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia). Hanya karena sekali peristiwa perlawanan Syiah terhadap Zionis-Israel, yang sebelumnya selalu bekerjasama menghancurkan perlawanan bangsa Palestina, yang lebih didorong faktor politis untuk menguasai Selatan Lebanon sebagai basis milisi Syiah secara nasional dengan tidak menyatakan kepentingan perang itu demi Palestina.
Sekali lagi, hanya karena sekali itu saja, kita lalu dibuat –akibat bombardier media massa pro syiah di dunia- buta dan tidak kenal sama sekali kepahlawanan para tokoh-tokoh pejuang sunni yang puluhan ribu gugur untuk membela isu Al-Quds dan Masjidil Aqsha. Nama besar seperti Hasan Al-Banna, Mustafa Siba’I, Ahmad Yassin, Abdul Aziz Rantisi, Yahya Ayyash, dan sederet martir-martir ahlusunnah lenyap sirna seolah tertelan dan tenggelam oleh kehebatan sosok milisi Hizbullah dengan pemimpinnya Hasan Nasrallah.
Waktu itu, saya pun ikut mengagumi Nasrallah, sambil tetap mengenal baik jasa-jasa martir sunni di kepala saya. Sehingga doa selalu kami kirim untuk arwah mereka. Namun tidak sedikit, kawan-kawan saya wartawan media massa sudah termakan jualan syiah ini. Sambil meledek saya, ada yang berkata, mana orang-orang sunni yang seberani Hizbullah dan Ahmadi Nejad menentang dan menantang Israel dan AS? Ya Subhanallah, dia lupa akan nama-nama tadi dan jadi korban media-media syiah yang rajin membombardir kita dengan Hizbullah sehingga kita lupa terhadap jasa para martir ahlusunnah.
Selain faktor media itu dan kondisi memalukan dari sikap politik resmi rejim pemerintahan Negara-negara sunni yang lebih tunduk kepada tekanan AS dan ikut memusuhi Hamas, tidak banyak yang mengetahui bagaimana sebenarnya sikap keimanan syiah terhadap Al-Quds dan Masjidil Aqsha, baik dari kalangan para mufasirnya maupun dari kalangan ulama akidah yang menjadi marja utama kaum syiah di dunia.
Posisi Masjidil Aqsha dalam Literatur Tafsir Syiah
Seorang peneliti masalah-masalah syiah, Thoriq Ahmad Hijazi dalam bukunya yang berjudul “As-Syi’ah wa Al-Masjid Al-Aqsha”, telah memaparkan hasil penelitiannya tentang kedudukan Masjidil Aqsha ini di mata ulama dan marja syiah.
Hijazi memaparkan bahwa, hampir semua kitab-kitab tafsir syiah imamiyah ketika menafsirkan ayat Isra Mi’raj yang populer dalam Q.s. Al-Isra: 1, menyatakan bahwa posisi Masjidil Aqsha yang sebenarnya itu adalah di langit atau baytul ma’mur. Ketika dinyatakan bahwa orang awam (ahlusunnah) menganggapnya itu adalah mesjid yang ada di atas bukit di kawasan kota Al-Quds, para ulama syiah menyatakan bahwa Masjid Kufah lebih utama dari Masjidil Aqsha yang dibumi itu. (lihat Tafsir As-Shafi karya Al-Faydh Al-Kasyani vol.3/166; Tafsir Nur Al-Tsaqalain karya Al-Huwaizi vol.3/97; Tafsir Al-‘Iyasyi vol.2/302; Tafsir Bayan As-Sa’adah vol.2/431)
Hakikat Masjidil Aqsha yang dinyatakan oleh para mufasir syiah itu juga sama dengan yang diungkapkan oleh ulama marja’ syiah di dalam kitab-kitab akidah mereka, yaitu di antaranya: Muhammad Baqir Al-Majlisi dalam Bihar Al-Anwar vol.97/405; Abbas Al-Qummi dalam Muntaha Al-Amal hal.70; Ja’far Al-‘Amili dalam As-Sahih min Sirah Ar-Rasul Al-A’zham vol.3/101; Al-Kulayni dalam kitab Al-Kafi vol.1/481).
Bahkan Al-Hurr Al-Amili dalam kitab Tafshil Wasail Syiah ila Tahsil Masail Al-Syari’ah menyatakan bahwa hanya ada 3 tempat suci bagi umat Islam (tentu saja syiah maksudnya) yaitu Masjidil Haram di Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid Kufah karena ia adalah haram-nya Imam Ali b. Abi Thalib (lihat vol.14/360). Ungkapan Hurr Amili ini didukung oleh Syaikh Al-Shaduq penulis kitab Man La Yahdhuruh Al-Faqih yang merupakan satu dari 4 kitab rujukan utama syiah, seperti dikutip Hurr Amili dalam kitabnya, yang meriwayatkan hadis dari Amirul Mu’minin Ali b. Abi Thalib bahwa: “Tidak dianjurkan mengencangkan perjalanan kecuali kepada 3 Masjid: Al-Haram di Mekkah, Nabawi di Madinah dan Masjid Kufah” (vol.3/525)
Anehnya, ketika mengagungkan Masjid Kufah karena didalamnya Imam Ali b. Abi Thalib dimakamkan, syiah sudah melupakan fakta bahwa Masjid tersebut dibangun oleh panglima muslim salah satu sahabat nabi yaitu Sa’ad bin Abi Waqqas, satu dari 10 orang sahabat yang dijamin masuk surga, atas perintah Khalifah Umar bin Khattab saat ummat Islam berhasil menaklukkan ibukota kerajaan Persia.
Sebagaimana maklum Umar bin Khattab dianggap dajjal dan ‘kafir’ oleh syiah karena ikut merampas hak kekhalifahan Ali, demikian pula Sa’ad bin Abi Waqqas dikafirkan oleh mereka karena tidak membaiat khalifah Ali. Sa’ad bahkan dijuluki oleh mereka Qarun-nya umat Islam. Bagaimana bisa Masjid yang dibangun oleh panglima Sa’ad yang “murtad” dan atas perintah khalifah Umar yang “kafir” itu demikian mulia di mata para ulama rujukan kaum syiah dan para pengikutnya?
Relasi Masjidil Aqsha dengan Proyek Syiah
Sebelum rejim partai Ba’ats di Irak pimpinan Presiden Saddam Husain terguling oleh koalisi ‘halus’ Amerika Serikat dan Syiah Irak pada tahun 2003, pada tahun 2002 sebuah majalah Syiah “Al-Minbar” di Kuwait membuat reportase ekslusif tentang Karbala dan Al-Quds. Majalah itu dipimpin oleh Yasir Habib, yang heboh pada tahun 2006 melaknat Aisyah dan sahabat nabi secara terbuka di Youtube sehingga memaksa Rahbar Iran Ayatullah Ali Khamenei mengeluarkan fatwa haram mencaci symbol-simbol tokoh ahlusunnah demi persatuan Islam.
Di dalam majalah Al-Minbar edisi 23, bulan Maret 2002, Yasir Habib menulis tajuk redaksi berjudul “Sebelum Al-Quds, Bebaskan Dulu Karbala!”, disitu ia mengatakan bahwa “Meskipun Al-Quds istimewa dan suci namun tetap urutannya ada setelah Karbala, kedudukan Quds tidak sama dengan Karbala dan kedudukan Dome of Rock juga tidak lebih istimewa dari Hussein, Masjid Aqsha juga tidak sama dengan Haram Masjid Kufah… Quds bukanlah fokus perhatian pertama kami (syiah), Karbala lah fokus utama kami, maka sebelum membebaskan Al-Quds maka kita wajib membebaskan Karbala (yang masih dijajah oleh rejim Saddam Husein saat itu tahun 2002).” Setelah itu bisa dibebaskan, lanjut Yasir, maka barulah kita bergerak ke Palestina, dan dari sana lah kita akan bergerak ke seluruh dunia menyebarkan cahaya dan petunjuk.
Ia kembali menegaskan, “Telah kami jelaskan bahwa Al-Quds tidak akan kembali ke pangkuan umat Islam selama umat Islam belum kembali ke pangkuan Muhammad dan Ali alayhima assalam! (maksudnya mengikuti akidah syiah) Ia menambahkan seruannya, “Kembalilah kalian semua kepada Muhammad dan Ali, niscaya Al-Quds akan kembali ke pangkuan kalian dengan Al-Mahdi! Bebaskan Karbala dahulu sebelum segala sesuatunya, baru pikirkan (langkah membebaskan) Al-Quds dan wilayah-wilayah sekitarnya. (Majalah Al-Minbar edisi 23, Maret 2002 M)
Akidah Syiah dan Propaganda Yahudi dan Orientalis
Kaum Zionis-Yahudi selalu berusaha untuk meninjau ulang penafsiran ayat-ayat alquran yang menyatakan keistimewaan Masjidil Aqsha dan meragukan hadis-hadis nabi yang dinyatakan kesahihannya oleh ijma’ ulama ahlusunnah wal jama’ah.
Mereka menyatakan bahwa kata Al-Aqsha berarti tempat shalat di langit, dan untuk tujuan itu mereka mendapatkan pembenaran dari riwayat-riwayat syiah yang menyatakan bahwa Masjidil Aqsha adalah nama Masjid di langit yang mirip namanya dengan Masjid yang terletak di Al-Quds sekarang ini.
Pandangan Zionis semacam ini mudah didapatkan di dalam beberapa literatur seperti entri Al-Quds yang ditulis F. Buhl, cendekiawan Yahudi di dalam Encyclopedia of Islam. Ia menulis, “barangkali Rasul (Muhammad) mengira bahwa Masjidil Aqsha adalah suatu tempat di langit”. (lihat buku Fadhail Bayt Al-Maqdis fi Makhtutat ‘Arabiyyah Qadimah karya Dr. Mahmud Ibrahim hlm.47, terbitan Ma’had Al-Makhtutat Al-‘Arabiyyah, cet.1 tahun 1985)
Salah satu peneliti senior di Akademi Studi Asia dan Afrika di Universitas Hebrew Jerussalem, Yitzhak Hasson, pernah meneliti manuskrip kitab Fadhail Bayt Al-Maqdis karya Abu Bakr Muhammad bin Ahmad Al-Wasithi.
Ia menulis dalam kata pengantarnya, “telah dimaklumi bahwa sekte-sekte syiah tidak memandang adanya keistimewaan Masjid Bayt Al-Maqdis ini di atas Masjid-Masjid lainnya”.
Yitzhak Hasson juga mengajukan dalil hadis-hadis yang tertera di dalam kitab Bihar Al-Anwar karya Al-Majlisi, seorang marja utama syiah, dengan menulis bahwa “ulama Islam tidak pernah bersepakat bahwa Masjid al-Aqsha yang dimaksud adalah Masjid yang sekarang ada di kota Al-Quds sekarang ini, karena sebagian mereka menganggap bahwa Masjidil Aqsha adalah Masjid yang letaknya di langit berada tepat di atas kota Al-Quds atau Mekkah” (ibid, Dr. Mahmud Ibrahim, hlm.41)
Propaganda Yahudi yang menyangsikan posisi dan kedudukan Masjidil Aqsha di dalam keyakinan umat Islam yang mayoritas berakidah ahlusunnah wal jamaah, juga didukung oleh beberapa serpihan pemikiran orientalis.
Ignas Goldziehr (Orientalis Hongaria berdarah Yahudi, 1850-1920 M) adalah orang pertama yang meragukan hadis-hadis keutamaan Masjidil Aqsha yang ada sekarang ini dengan mengklaim bahwa khalifah Abdul Malik bin Marwan pada masa Umawiyah, telah melarang orang pergi haji ke Mekkah pada masa fitnah yang terjadi pada masa Abdullah ibnu Az-Zubair yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang menguasai kota Mekkkah.
Sebagai tandingannya, Abdul Malik ibnu Marwan membangun The Dome of Rock (Qubbat Sakhra) di Masjidil Aqsha agar umat Islam pergi haji ke sana sebagai alternatif berhaji ke Mekkah yang sedang dikuasai oleh Ibnu Zubair.
Untuk memuluskan politik ‘haji’ ala Abdul Malik bin Marwan inilah, menurut Ignas Goldziehr, ia meminta Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri untuk membuat hadis-hadis palsu yang menerangkan keutamaan Masjidil Aqsha seperti hadis populer tentang syaddu rihal ke Masjid Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.
Goldziehr mengklaim bahwa semua hadis keutamaan baytul maqdis itu melalui jalur periwayatan ibnu Syihab Az-Zuhri. (lihat pembahasan ini dalam kitab As-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ Islami, karya Dr. Musthafa As-Siba’I, hlm. 189-199, cet. Maktab Islami, tahun 1985)
Dari paparan tersebut, jelaslah bahwa Yahudi memanfaatkan hadis-hadis syiah yang bertujuan politis untuk melawan para khalifah Bani Umayyah dan untuk memberikan keistimewaan bagi kota-kota suci syiah yang melebihi kedudukan Masjidil Aqsha.
Dengan demikian jelas pula kedudukan Masjidil Aqsha di mata syiah. Karena mereka tidak mengakui keistimewaan Masjid suci ketiga dan kiblat pertama umat Islam, yang dibebaskan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA dan dipugar oleh para khalifah Bani Umayyah, serta dibebaskan kedua kali dari Pasukan Salib oleh Sultan An-Nashir Shalahudin Ayyubi.
Jadi mana mungkin mereka mengakui keistimewaan Masjid yang dimuliakan oleh tokoh-tokoh Ahlusunnah yang dimata mereka semua sangat dibenci. Khalifah Umar bin Khattab jelas dituding merampas hak kekhalifahan Ali, Bani Umayyah apalagi jelas dituding membantai dan menindas Ahlul Bayt dan pengikutnya, dan Sultan Shalahudin Ayyubi jelas sekali menghancurkan kekuatan daulah syiah ismailiyah, saudara kembar syiah imamiyah, yaitu Daulah Fatimid di Mesir, sebelum beliau mengalahkan kekuatan Salib.
Kenapa Al-Quds?
Sekarang, pertanyaannya mengapa kelompok syiah dunia saat ini menaruh perhatian besar terhadap persoalan Al-Quds dan Masjidil Aqsha? Sudah beberapa seminar internasional digelar dan juga seminar-seminar nasional yang diadakan oleh pihak-pihak Indonesia yang pro syiah yang mengangkat tema pembebasan Al-Quds.
Saya menduga, bahwa perhatian mereka terhadap persoalan Al-Quds dan Masjid Aqsha belakangan ini lebih disebabkan faktor-faktor politis, non ideologis keagamaan murni.
Salah satu blog syiah (www.yahosein.com) di dunia arab pernah pertanyakan status dan kedudukan Masjidil Aqsha di mata syiah. Uniknya, salah satu peserta diskusi jelas menyatakan bahwa “Masjid Al-Quds itu menurut syiah dan golongan-golongan sesat (ahlusunnah, di dalamnya) diakui telah dibangun oleh perampok nomor dua (kiasan untuk Khalifah Umar), dan di dalamnya ada kayu minbar yang populer dengan sebutan mimbar shalahuddin, dimana sultan kharabuddin (perusak agama, julukan buat Shalahudin Ayyubi di kalangan syiah) membacakan khutbah, amat disayangkan ada umat syiah yang bersedih dan menangis ketika Yahudi menggali di kawasan sekeliling Masjidil Aqsha”.
Hemat saya, perhatian mereka belakangan ini kepada isu Palestina dan Al-Quds memang disebabkan faktor politis non ideologis. Sebab jika ditilik akidah atau ideology syiah tentang Masjid Al-Aqsha jelas sekali dianggap tidak suci dan tidak istimewa melebihi Masjid Kufah, Karbala, Kubah Samarra, Najaf dan lain-lain. Satu-satunya alasan yang tersisa adalah faktor politis.
Seperti kita maklumi, Iran sejak revolusi Khomeini bersemangat ingin mengekspor revolusi syiahnya ke seluruh dunia Islam dan bekerja siang malam untuk menyebarkan paham syiah dengan segala sumber daya yang dimiliki.

Untuk tujuan itu, mereka berpikir keras agar paling tidak sebagai tahap awal bisa diterima oleh mayoritas mutlak umat Islam yang ahlusunnah ini dan tidak dicurigai membawa paham syiah. Mereka melihat bahwa isu Palestina dan Al-Quds sejak beberapa dekade silam menjadi isu sentral sekaligus seksi di mata umat Islam dunia. Oleh sebab itulah, para politisi dan ulama syiah mengangkat isu ini sebagai ‘jualan’ komoditas mereka (trademark).
Mereka juga sejak dekade lalu menetapkan Hari Al-Quds Internasional pada setiap jum’at terakhir bulan Ramadhan. Isu sentral Al-Quds memang sangat sentral dan empuk untuk meraih kepercayaan dan simpati publik muslim sunni di dunia Islam.
Persoalan utamanya justru yang bisa menjadi pembenar dugaan saya bahwa isu ini dieksplotasi secara politis untuk menyebarkan paham syiah dengan seolah menggambarkan kepahlawanan syiah lah sesungguhnya yang mengalahkan Israel dalam perang Hizbullah tahun 2006 dan manuver Ahmadi Nejad, presiden Iran, yang terus menerus berkoar akan melumatkan Israel dan menghapusnya dari peta dunia.
Strategi ini cukup sukses untuk membius dan menipu ulama dan cendekiawan sunni yang awam terhadap strategi syiah ini, sehingga secara langsung atau tidak ikut membantu dan membela hak syiah menyebarkan ajarannya di tengah komunitas ahlusunnah.
Padahal tanah yang diberkahi yaitu Palestina dan Al-Quds tidaklah dimuliakan dan disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya melainkan karena di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsha. Untuk itulah, terdapat hadis-hadis mutawatir yang menyebutkan keutamaan shalat di dalamnya, dan bepergian kesana. Namun, seperti yang sudah saya singgung, sikap dan pendirian para mufasir dan ulama-ulama rujukan utama syiah tidak menganggap sama sekali adanya Masjidil Aqsha, apalagi keistimewaannya seperti dijelaskan oleh sumber-sumber ahlusunnah.
Oleh sebab itu tidak ada tafsir lain yang bisa menjelaskan perhatian besar mereka terhadap isu Al-Quds dan Palestina, selain faktor politis yang saya kemukakan di atas. Silahkan pembaca menilainya sendiri secara objektif. Diterima atau tidak terserah pembaca.
Mamduh Ismail, seorang kolumnis Palestina menulis di situs Islamway.com bahwa poros aliansi syiah Iran-Suriah-Hizbullah adalah kaum munafik yang memanfaatkan isu Palestina untuk kepentingan mereka sendiri sebagai jualan heroisme kepada rakyatnya dan bangsa-bangsa muslim dunia. Namun pada saat Gaza digencet Israel dan dibombardir Zionis selama lebih dari 20 hari di akhir tahun 2008 sampai Januari 2009, poros syiah yang tampil heroik di depan publik muslim dunia ternyata tidak menolong sedikitpun kepada ‘saudara-saudara’ mereka kaum muslimin di Gaza yang menderita akibat agresi Israel. Tidak satupun roket atau senjata yang mereka kirim untuk membantu Hamas yang berjuang sendirian mempertahankan Gaza dari agersi Israel. Padahal katanya mereka adalah Negara kuat yang memiliki kekuatan militer yang bisa menghancurkan pasukan Zionis. Namun apa yang terjadi? Apa yang mereka lakukan hanyalah bentuk kemunafikan yang menjijikkan (lihat link berbahasa arab http://ar.Islamway.com/article/4939 diunduh oleh penulis pada tanggal 4 Juli 2012)
Kesimpulannya, saya berkeyakinan bahwa kelompok yang ‘terbiasa’ menghina Khalifah Umar bin Khattab dan mendiskreditkan Shalahuddin Ayyubi pada masa silam, tentu saja tidak akan bisa membebaskan Palestina dan Al-Quds pada masa kini.
Al-Quds dan Masjid Al-Aqsha hanya bisa dibebaskan oleh kelompok yang mendapat pertolongan Allah ta’ala, mereka disebut At-Thoifah Al-Manshurah yang teguh dan istikamah memegang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, dan memiliki akidah yang sahih tidak bercampur sedikitpun dengan bid’ah-bid’ah dhalalah seperti akidah kemaksuman manusia biasa selain Rasul, dan apalagi yang meyakini Al-Qur’an ini palsu dan terdistorsi. Allahu A’lam