http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/03/keutamaan-abu-bakr-dan-umar-yang.html
Artikel lain :
Al-Imam Ibnu Majah rahimahullah berkata :
حدثنا هشام بن عمار ثنا
سفيان عن الحسن بن عمارة عن فراس عن الشعبي عن الحارث عن علي قال قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم أبو بكر وعمر سيدا كهول أهل الجنة من الأولين والآخرين إلا
النبيين والمرسلين لا تخبرهما يا علي ما داما حيين
Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar : Telah
menceritakan kepada kami Sufyaan (bin ‘Uyainah), dari Al-Hasan bin Al-‘Umaarah,
dari Firaas, dari Asy-Sya’biy, dari Al-Haarits, dari ‘Aliy, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Abu
Bakr dan ‘Umar adalah dua orang pemimpin bagi orang-orang dewasa penduduk
surga, dari kalangan terdahulu maupun yang kemudian selain para Nabi dan Rasul.
Jangan engkau khabarkan hal ini kepada mereka wahai ‘Aliy, selama mereka masih
hidup” [Sunan Ibni Maajah no. 95].
Hadits ini juga diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3666, ‘Abdullah bin Ahmad dalamFadlaailush-Shahaabah no. 196 & 202 & 290, Al-Qathii’iy dalam tambahannya terhadap kitab Fadlaailush-Shahaabah no. 632 & 633 & 666, Al-Bazzaar dalam Al-Bahruz-Zakhaar no. 828-831, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar no. 1965, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 1370, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 4/1489, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 3/67 no. 1373-1375, dan Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad6/148-149 & 7/617-618; dari beberapa jalan, dari Asy-Sya’biy, dari Al-Haarits Al-A’war, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Haarits bin ‘Abdillah Al-A’war adalah seorang yang lemah
menurut jumhurmuhadditsiin. Ada pembicaraan yang panjang mengenai
Al-Haarits ini. Bahkan sebagianmuhadditsiin memberikan jarh keras
dengan mendustakaannya, seperti : Asy-Sya’biy (dalam satu perkatannya), Muslim,
Ibnul-Madiiniy, dan yang lainnya. Sebagian yang lain, ada pula yang
mentsiqahkannya seperti : Ibnu Ma’iin, An-Nasa’iy (dalam satu perkataannya),
Ibnu Syaahin, dan Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy. Beberapa ulama menjelaskan
bahwa pendustaan mereka terhadap Al-Haarits ini karena pemikirannya yang
condong kepada Syi’ah/Rafidlah, bahkan disebutkan ia berlebih-lebihan dalam
masalah ini. Namun dalam periwayatan hadits, ia bukan seorang pendusta. Ia di-jarhkarena
lemah dalam dlabth-nya. Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy
pernah ditanya perihal pendustaan Asy-Sya’biy terhadap Al-Haarits, maka ia
menjawab : “Ia (Asy-Sya’biy) tidak mendustakannya dalam hadits, namun ia hanya
mendustakan pemikirannya saja” [Ats-Tsiqaat li-Ibni Syaahin,
lembar 17]. Ibnu Hibban berkata : “Ia seorang berlebih-lebihan dalam tasyayyu’,
dan lemah dalam hadits” [Al-Majruuhiin, 1/222]. Ibnu Hajar pun kemudian
memberi kesimpulan : “….Ia telah didustakan oleh Asy-Sya’biy dan dituduh
sebagai Rafidlah. Namun dalam hadits, ia lemah….” [At-Taqriib, hal. 211
no. 1036]. Adapun Adz-Dzahabiy memberi kesimpulan : “Seorang Syi’ah yang lemah
(syi’iy layyin)” [Al-Kaasyif, 1/303 no. 859]. Inilah
yang raajih mengenai diri Al-Haarits,wallaahu a’lam.
Selengkapnya, silakan lihat Tahdziibul-Kamaal, 5/244-253 no. 1025,Tahdziibut-Tahdziib 2/145-147
no. 248, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 1/142 no. 742, danSiyaru
A’laamin-Nubalaa’ 4/152-155 no. 54.
Diriwayatkan juga oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no.
93 dari jalan Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar, dari Al-Muhaaribiy, dari
Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Zubaid As-Siyaas, dari Asy-Sya’biy, dari
seseorang yang telah menceritakannya, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib secara marfuu’.
Riwayat ini lemah karenamubham-nya perawi antara Asy-Sya’biy dan ‘Aliy
bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Kuat penunjukkannya bahwa
perawi mubham tersebut adalah Al-Haarits bin ‘Abdillah
Al-A’war, sebagaimana riwayat sebelumnya. Adapun perawi lainnya adalah tsiqah,
namun Al-Muhaaribiy seorang mudallis dan ia membawakan
secara ‘an’anah.
Diriwayatkan juga oleh Al-Qathii’iy dalam tambahannya terhadap
kitab Fadlaailush-Shahaabah no. 708 & 709 dan Abu Ya’laa
no. 533 dari jalan Asy-Sya’biy, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib secara marfu’ tanpa
menyebutkan Al-Haarits bin Al-A’war. Riwayat tersebut shahih jika saja tidak
ada keraguan gugurnya Al-Haarits yang menyebabkan sanadnya terputus (munqathi’).
Sebagian ulama menyebutkan bahwa ia telah mengambil dan mendengar riwayat dari
‘Aliy sehingga dalam riwayat ini dihukumi muttashil. Namun
yang raajih – wallaahu a’lam – adalah yang
pertama, karena tidak shahih penyimakan Asy-Sya’biy dari ‘Aliy bin Abi Thaalib
selain dari hadits rajam [lihat Al-‘Ilal oleh Ad-Daaruquthniy
4/96-97 no. 449].
Selain dari Al-Haarits, Asy-Sya’biy juga mengambil riwayat ‘Aliy
dari :
1. Zaid bin
Yutsai’. Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar no. 1964
meriwayatkan dari Bakkaar, dari Ibraahiim bin Abil-Waziir, dari Muhammad bin
Abaan, dari Abu Janaab, dari Asy-Sya’biy, dari Zaid bin Yutsai’, dari ‘Aliy
secaramarfu’. Sanad riwayat ini lemah, dikarenakan kelemahan Abu Janaab.
Abu Janaab adalah Yahyaa bin Abi Hayyah, ia telah dilemahkan oleh jumhur ahli
hadits seperti : Ibnu Sa’d, Yahyaa Al-Qaththaan, Ibnu Ma’iin, ‘Utsmaan
Ad-Daarimiy, Al-‘Ijilliy, Al-Jauzajaaniy, dan yang lainnya. Ia juga seorang
perawi yang banyak melakukantadliis, dan dalam riwayat ini ia membawakan
dengan ‘an’anah.
2. Nufai’ bin
Raafi’ Ash-Shaaigh. ‘Abdullah bin Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no.
94 dari jalan ‘Abdullah bin ‘Umar bin Abaan, dari Al-Muhaaribiy, dari Abu
Janaab, dari Zubaid, dari ‘Aamir Asy-Sya’biy, dari Nufai’ atau Ibnu Nufai’,
dari ‘Aliy secaramarfu’. Riwayat ini lemah dikarenakan ‘an’anah Al-Muhaaribiy
dan kelemahan Abu Janaab.
Selain dari Al-Haarits, Zaid bin Yutsai’, dan Nufai’ bin Raafi’;
riwayat ‘Aliy ini juga mempunyai mutaba’ah dari :
1. Zirr bin
Hubaisy.
Asy-Syaikh Al-Albaniy berkata : “Diriwayatkan oleh Ad-Daulabiy
dalam Al-Kunaa2/99, Ibnu ‘Adiy 2/100, ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy
dalam Al-Ikmaal 1/14/2, dan Ibnu ‘Asaakir 9/310/1; dari
beberapa jalan, dari ‘Aashim bin Bahdalah, dari Zirr, dari ‘Aliy secara marfu’”
[Silsilah Ash-Shahiihah 2/468 no. 824].
Sanad riwayat ini hasan. ‘Aashim, ia adalah Ibnu Abin-Nujuud,
seorang tsiqah yang sedikit diperbincangkan faktor hapalannya.
Haditsnya hasan selama tidak ada pertentangan
dan pengingkaran dalam riwayatnya. Adapun Zirr bin Hubaisy, maka ia seorang
yang tsiqah.
2. ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3665. Sanad riwayat ini sangat
lemah karena keterputusan (inqitha’) antara ‘Aliy bin Al-Husain dengan
‘Aliy bin Abi Thaalib, dan kelemahan Al-Waliid bin Muhammad Al-Muwaqqariy
(sebagaimana dikatakan oleh At-Tirmidziy sendiri), bahkan ia seorang yang matruk.
Diriwayatkan juga oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no.
245. Sanad riwayat ini lemah karena inqitha’ dan kelemahan
Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Mulaikah. Ia telah dilemahkan oleh jumhur ahli
hadits.
3. Al-Hasan bin
‘Aliy bin Abi Thaalib.
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaidul-Musnad 1/80
danFadlaailush-Shahaabah no. 141 serta Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah 3/68-69
no. 1376; dari jalan Wahb bin Baqiyyah Al-Waasithiy, dari ‘Umar bin Yuunus
Al-Yamaamiy, dari ‘Abdullah bin ‘Umar Al-Yamaamiy, dari Al-Hasan bin Zaid bin
Hasan, dari ayahnya, dari, kakeknya, dari ‘Aliy radliyallaahu
‘anhu secara marfu’ [lihat jugaIthraaful-Musnid oleh
Ibnu Hajar, 4/395 no. 6198].
Sanad riwayat ini hasan, seluruh perawinya tsiqah lagi
terkenal kecuali Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan. Ibnu Hajar berkata : “Jujur,
kadang salah (shaduuq yahimu). Dan ia seorang yang mempunyai keutamaan”
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 236 no. 1252]. Sedangkan ‘Abdullah bin ‘Umar
Al-Yamaamiy, ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad Al-Yamaamiy, dikenal sebagai Ibnu
Ar-Ruumiy, termasuk rijaal Muslim.
4. Al-Khaththaab
atau Abul-Khaththaab.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 12/11 dan Ibnu Abi ‘Aashim no.
1419 dari jalan Zaid bin Hubaab, dari Muusaa bin ‘Ubaidah, dari Abu Mu’aadz,
dari Al-Khaththaab atau Abul-Khaththaab, dari ‘Aliy radliyallaahu
‘anhu secara marfuu’. Muusaa bin ‘Ubaidah Ar-Rabdziy dalam
sanad ini adalah seorang yang lemah haditsnya [lihat At-Taqriib,
hal. 983 no. 7038]. Adapun Abu Mu’aadz dan Khaththaab, belum diketahui
biografinya, wallaahu a’lam.
Hadits ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu ini mempunyai
beberapa syawaahid, di antaranya :
a. Abu
Juhaifah radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 6904 (Al-Mawaarid no.
2192) dan Ad-Daulabiy dalam Al-Kunaa 1/120 dari jalan Khunais
bin Bakr bin Khunais, serta Ibnu Maajah no. 100 dari jalan ‘Abdul-Qudduus bin
Bakr bin Khunais); keduanya dari Maalik bin Mighwal, dari ‘Aun bin Abi
Juhaifah, dari ayahnya secara marfu’.
Sanad riwayat ini hasan. Khunais bin Bakr bin Khunais disebutkan
biografinya oleh Ibnu Abi Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil 3/394
tanpa menyebutkan jarh ataupunta’dil. Sejumlah perawi
meriwayatkan hadits darinya. Abu ‘Aliy Shaalih bin Jazarah mendla’ifkannya,
sedangkan Ibnu Hibbaan mentsiqahkannya [lihat Lisaanul-Miizaanno.
1693]. Sebagaimana disebutkan, riwayat Khunais ini diikuti oleh ‘Abdul-Qudduus
bin Bakr bin Khunais. Abu Haatim mengatakan : “Tidak mengapa dengannya (laa
ba’sa bih)”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat.
Ahmad, Ibnu Ma’iin, dan Abu Khaitsamah tidak menghiraukan haditsnya. Ibnu Hajar
memberi kesimpulan atas diri ‘Abdul-Qudduus dengan menyebutkan pen-ta’dil-an
Abu Haatim (yaitu : laa ba’sa bih). Adz-Dzahabiy memberi kesimpulan
ia seorang perawi yang dipercaya [lihat Tahdziibul-Kamaal 18/235-236
no. 3494, Tahdziibut-Tahdziib 6/369 no. 707,At-Taqriib hal.
618 no. 4172, dan Al-Kaasyif 1/660 no. 3421].
b. Anas bin
Maalik radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no.
129, Ibnu Abi ‘Aashim no. 1420, At-Tirmidziy no. 3664, Ath-Thahawiy dalam Syarh
Musykilil-Aatsaar 5/217 no. 1963, Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtarah no.
2508-2510, dan Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 3/69 no.
1377-1378; semuanya dari jalan Muhammad bin Katsiir, dari Al-Auza’iy, dari
Qatadah, dari Anas bin Maalikradliyallaahu ‘anhu secara marfuu’.
Sanad riwayat ini lemah karena Muhammad bin Katsiir. Ibnu Hajar berkata :
“Jujur, tapi banyak salahnya (shaduuq, katsiirul-ghalath)” [At-Taqriib,
hal. 891 no. 6291]. Selain itu, Qatadah membawakan riwayat dengan ‘an’anah sedangkan
ia masyhur dalam tadliis.
c. Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no.
200 dari jalan Muhammad bin Basysyaar, dari Salam bin Qutaibah, dari Yuunus bin
Abi Ishaaq, dari Asy-Sya’biy, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu secara marfu’.
Sanad riwayat ini hasan. Muhammad bin Basysyaar adalah tsiqah menurut
jumhur ahli hadits. Salam bin Qutaibah bin ‘Amr Al-Baahiliy, ia seorang
yang shaduuq [lihat At-Taqriib, hal. 397 no.
2485]. Yuunus bin Abi Ishaaq, ia termasuk rijaal Muslim.
Asy-Sya’biy adalah seorang tsiqah masyhur.
d. Abu Sa’iid
Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar 3/168
no. 2492 dan Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar no.
1966; dari dua jalan yang kesemuanya dari ‘Aliy bin ‘Aabis, dari Abu Jahhaaf
& ‘Abdul-Malik bin Abi Sulaimaan & Katsiir Bayaa’ An-Nawaa, (ketiganya)
dari ‘Athiyyah Al-‘Aufiy, dari Abu Sa’iid Al-Khudriyradliyallaahu
‘anhu secara marfuu’. Sanad riwayat ini lemah. ‘Aliy bin
‘Aabis, Katsiir Bayaa’ An-Nawaa, dan ‘Athiyyah Al-‘Aufiy adalah para perawi
lemah.
e. Jaabir radliyallaahu
‘anhu.
Al-Haitsamiy berkata : “Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy
dalam Al-Ausath, dari syaikhnya yang bernama Al-Miqdaam bin Daawud.
Ibnu Daqiiqil-‘Ied berkata tentanya : ‘Ia dipercaya, namun dilemahkan oleh
An-Nasa’iy dan yang lainnya’. Adapun perawi lainnya termasuk perawi Ash-Shahiih”
[Majma’uz-Zawaaid, 9/53 no. 14360].
f. Ibnu
‘Abbas radliyallaahu ‘anhumaa.
Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 11/443
& 16/318 dan Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah 3/69 no.
1379; keduanya dari jalan Ibnu Makhlad, dari Yahyaa bin Maarimmah, dari
‘Ubaidullah bin Muusaa, dari Thalhah bin ‘Amr, ‘Athaa’, dari Ibnu ‘Abbaas,
secara marfuu’. Namun sanad riwayat ini sangat lemah. Thalhah bin
‘Amr adalah perawi matruuk [lihat At-Taqriib, hal.
464 no. 3047].
g. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy berkata :
“Diriwayatkan oleh As-Sahmiy dalam Taariikh Jurjaan no. 77 dan
Ibnu ‘Asaakir 13/23/1. Ibnu Abi Haatim berkata (2/389) dari ayahnya : ‘Hadits
ini baathil, yaitu dengan sanad ini…”. Kemudian beliau menambahkan : “Para
perawinya tsiqaat, selain ‘Abdurrahmaan bin Maalik bin Mighwal, ia
seorang pendusta sebagaimana dikatakan Abu Daawud. Ad-Daaruquthniy berkata : ‘Matruuk”
[Ash-Shahiihah, 2/471].
Secara keseluruhan dapat kita lihat
bahwa hadits ini adalah shahih tanpa ada keraguan.
Kuhuul (كهول) secara bahasa
maknanya adalah orang yang berusia 30 sampai 50 tahun. Ada beberapa makna
terkait hal ini sebagaimana dijelaskan para ulama mengenai hadits di atas. Ada
pula yang mengatakan maknanya adalah bahwa Abu Bakr dan ‘Umar pemimpin bagi
penduduk surga yang saat di dunia meninggal saat mencapai usia tersebut. Ada
yang mengatakan maknanya adalah Abu Bakr dan ‘Umar merupakan pemimpin bagi
penduduk surga yang berakal lagi baligh, yaitu ini keadaan umum bagi penduduk
surga (yang Allah masukkan dalam keadaan berakal dan baligh).[1]
Ada satu faedah penting yang dapat kita ambil dari hadits ini,
yaitu tentang keutamaan dua orang syaikh (Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa). Mereka berdua adalahpemimpin orang-orang dewasa dari
kalangan ahlul-jannah dari kalangan terdahulu dan kemudian –
selain para Nabi dan Rasul – dimana ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhutermasuk di antaranya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menyebutkan hal itu di depan ‘Aliy bin Abi Thaalib sebagai
penegasan keutamaan mereka berdua dibandingkan para pembesar shahabat lain
(termasuk ‘Aliy), dan ia (‘Aliy) pun mengakuinya.
Tentu saja ini sejalan dengan perkataan ‘Aliy bin Abi Thaalib saat
ditanya siapa shahabat yang paling utama.
عن
عمرو بن حريث، قال : سمعت عليا وهو يخطب على المنبر وهو يقول : ألا أخبركم بخير
هذه الأمة بعد نبيها، أبو بكر، ألا أخبركم بالثاني فإن الثاني عمر.
Dari ‘Amr bin Hariits, ia berkata : Aku pernah mendengar ‘Aliy
berkhutbah di atas mimbar. Ia berkata : “Maukah aku beritahukan kepada kalian
tentang sebaik-baik umat ini setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam ? yaitu Abu Bakr. Maukah aku beritahukan kepada kalian yang
kedua ? yaitu ‘Umar” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no.
398 dengan sanad hasan].
عن
محمد بن الحنفية قال: قلت لأبي: أيُّ الناس خير بعد رسول اللّه صلى اللّه عليه
وسلم؟ قال: أبو بكر، قال: قلت: ثم من؟ قال: ثم عمر، قال: ثم خشيت أن أقول ثم من؟
فيقول عثمان، فقلت: ثم أنت يا أبتِ؟ قال: ما أنا إلا رجل من المسلمين.
Dari Muhammad bin Al-Hanafiyyah, ia berkata : Aku bertanya kepada
ayahku (yaitu ‘Ali bin Abi Thaalib radliyalaahu ‘anhu) : “Siapakah
manusia yang paling baik setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”.
Beliau menjawab : “Abu Bakr”. Aku bertanya : “Kemudian siapa ?”. Beliau
menjawab : “Kemudian ‘Umar”. Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata : “Kemudian aku
takut untuk mengatakan kemudian siapa (setelah ‘Umar). Namun kemudian beliau
berkata : “Kemudian ‘Utsman”. Aku kembali bertanya : “Kemudian setelah itu
engkau wahai ayahku ?”. Beliau menjawab : “Aku hanyalah seorang laki-laki dari
kalangan kaum muslimin” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4629; shahih].
Sekaligus ini sebagai bantahan bagi kaum Syi’ah yang mengingkari
keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar. Juga sebagai bantahan klaim mereka bahwa pujian
‘Aliy kepada Abu Bakr dan ‘Umar hanya sebagai perwujudan ke-tawadlu’-annya
atau sebagai taqiyyah. Mengenai ke-tawadlu’-an, kita memang
tidak meragukannya ada pada diri ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu. Namun itu sama sekali tidak menafikkan hakekat keutamaan keduanya di
atas ‘Aliy, sebagaimana itu dikatakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam kepada ‘Aliy. Adapun tentang taqiyyah, Ahlus-Sunnah
tidak ada urusan membahas hal itu.
Tulisan ini bukan bertujuan untuk merendahkan kedudukan ‘Aliy bin
Abi Thaalibradliyallaahu ‘anhu, atau bahkan membencinya – sebagaimana
tuduhan orang Syi’ah yang telah kehilangan akal sehatnya (dengan menuduh
: Naashibiy, pembenci Ahlul-Bait) – . Bahkan, tidak sempurna iman
seorang muslim jika ia tidak mencintai ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu. Kedudukan beliau menjulang tinggi bersama bintang-bintang di atas
langit. Tidak lebih, tulisan ini sebagai wujud pembelaan kepada Abu Bakr dan
‘Umar dimana kaum Syi’ah enggan untuk mengakui kedudukannya, bahkan malah
mengkafirkannya !!
Terakhir, dapat kita lihat keamanahan ‘Aliy bin Abi Thaalib dalam
menyampaikan hadits keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum.
Hal sebaliknya, kita lihat pada kaum Syi’ah yang mengklaim cinta pada ‘Aliy bin
Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Alih-alih untuk menyampaikan,
mengakuinya pun tidak.
Demikian takhrij hadits ini di-up load-kan.
Walau bukan takhrij yang bersifat daqiiq, saya
berharap ada manfaatnya. Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – 1431].
[1] Bisa juga dilihat di
: http://www.islamweb.net/ver2/fatwa/ShowFatwa.php?lang=a&Id=122162&Option=FatwaId
Artikel ini sudah dibantah oleh secondprince dalam artikel terbarunya.
Tentang artikel dari blog Rafidliy tersebut, maka akan saya ucapkan terima
kasih telah ditunjukkan. Saya akan berusaha menjawab seringkas mungkin, dan
akan membatasi pembahasannya pada riwayat yang bersanad dla’if (namun bisa digunakan sebagai i’tibar) dan hasan. Insya Allah Anda akan mengetahui bahwa hadits ini adalah shahih (dengan syawaahid-nya – bahkan berdasarkan sanggahan yang diberikan oleh rekan Rafidlah
tersebut.
Hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib dari Jalur Asy-Sya’biy
1. Dari jalan Asy-Sya’biy, dari Al-Haarits Al-A’war, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib secara marfuu’.
Sanad hadits ini adalah dla’iif dikarenakan Al-Haarits. Ke-dla’if-annya terletak pada sisi hapalannya, bukan pada ’adalah-nya sebagaimana telah dirinci oleh sebagian ahli hadits, dan itu telah saya tuliskan pada artikel di atas.
2. Dari jalan Asy-Sya’biy, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib secara marfuu’.
Sanad hadits ini adalah dla’iif dikarenakan inqitha’ antara Asy-Sya’biy dengan ‘Aliy. Artinya, Asy-Sya’biy telah menggugurkan perawi antaranya dengan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu.
3. Dari jalan Asy-Sya’biy, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ada tiga jalan riwayat, yaitu Thu’mah bin Ghailaan, Firaas, dan Maalik bin Mighwal. Riwayat ini tentu saja lemah karena Asy-Sya’biy tidak bertemu dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam memberi kesimpulan, rekan Rafidliy tersebut menyatakan hadits ini lemah lagi mudltharib. Dan nampaknya, ia mengisyaratkan idlthirab tersebut berasal dari Asy-Sya’biy sebagai poros sanad.
Saya katakan : Riwayat ini memang lemah, namun tidak mudltharib. Asy-Sya’biy adalah seorang yang tsiqahyang disepakati ke-tsiqah-annya. Mempunyai banyak hadits. Bahkan para ulama mensifatkan, tidak ada orang yang lebih berilmu dan faqih daripadanya di jamannya. Dan ia juga disifati dengan ketinggian dlabth, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Syubrumah dari Asy-Sya’biy sendiri, dimana ia berkata : “….Tidaklah seseorang yang meriwayatkan hadits kepadaku melainkan aku menghapalnya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/323]. Jadi, bukan suatu hal yang aneh jika ia mempunyai banyak jalan riwayat akan hadits ini sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengambil riwayat dari beberapa orang dan menyampaikannya pada beberapa orang, sehingga diketahui hadits ini mempunyai lebih dari satu jalan. Inilah madzhab jumhur ahli hadits. Contohnya banyak dalam kutub hadits dimana riwayat-riwayat mereka tidak dihukumi mudltharib. Oleh karena itu kita mengenal gharib nisbi (dalam mushthalah), yaitu keghariban yang terletak pada tengah sanad.
Adapun dua riwayat mursal Asy-Sya’biy dari ‘Aliy, maka perawi yang digugurkan adalah Al-Haarits Al-A’war. Adapun yang lainnya (Zaid bin Yutsai’ dan Nufai’ bin Raafi’ Ash-Shaaigh), maka kecil kemungkinan karena sanadnya telah gugur sebelum Asy-Sya’biy. Atau dengan kata lain, tidak shahih sampai Asy-Sya’biy. Dan ini benar dalam hal pentarjihannya.
Sedangkan riwayat mursal Asy-Sya’biy dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka ia pun harus dibawa kepada sanad yang bersambung, yaitu kembali pada jalan Al-Haarits Al-A’war, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib, atau Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhumaa sebagaimana nanti akan dijelaskan. Jenis-jenis seperti ini banyak dalam Shahihain sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam An-Nukat 1/369 [lihat juga penjelasan di halaman 362-363].
[kalaupun ‘dipaksa’ bahwa jalan riwayat Asy-Sya’biy adalah mudltharib, maka ia tetap dapat dipertimbangkan sebagai i’tibar, karena ia hanya jatuh dalam hal akurasi hapalan Asy-Sya’biy saja dalam kasus itu. Lafadh haditsnya sendiri tetap dapat dipakai jika ada yang menguatkan].
Hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib dari Jalur Asy-Sya’biy
1. Dari jalan Asy-Sya’biy, dari Al-Haarits Al-A’war, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib secara marfuu’.
Sanad hadits ini adalah dla’iif dikarenakan Al-Haarits. Ke-dla’if-annya terletak pada sisi hapalannya, bukan pada ’adalah-nya sebagaimana telah dirinci oleh sebagian ahli hadits, dan itu telah saya tuliskan pada artikel di atas.
2. Dari jalan Asy-Sya’biy, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib secara marfuu’.
Sanad hadits ini adalah dla’iif dikarenakan inqitha’ antara Asy-Sya’biy dengan ‘Aliy. Artinya, Asy-Sya’biy telah menggugurkan perawi antaranya dengan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu.
3. Dari jalan Asy-Sya’biy, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ada tiga jalan riwayat, yaitu Thu’mah bin Ghailaan, Firaas, dan Maalik bin Mighwal. Riwayat ini tentu saja lemah karena Asy-Sya’biy tidak bertemu dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam memberi kesimpulan, rekan Rafidliy tersebut menyatakan hadits ini lemah lagi mudltharib. Dan nampaknya, ia mengisyaratkan idlthirab tersebut berasal dari Asy-Sya’biy sebagai poros sanad.
Saya katakan : Riwayat ini memang lemah, namun tidak mudltharib. Asy-Sya’biy adalah seorang yang tsiqahyang disepakati ke-tsiqah-annya. Mempunyai banyak hadits. Bahkan para ulama mensifatkan, tidak ada orang yang lebih berilmu dan faqih daripadanya di jamannya. Dan ia juga disifati dengan ketinggian dlabth, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Syubrumah dari Asy-Sya’biy sendiri, dimana ia berkata : “….Tidaklah seseorang yang meriwayatkan hadits kepadaku melainkan aku menghapalnya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/323]. Jadi, bukan suatu hal yang aneh jika ia mempunyai banyak jalan riwayat akan hadits ini sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengambil riwayat dari beberapa orang dan menyampaikannya pada beberapa orang, sehingga diketahui hadits ini mempunyai lebih dari satu jalan. Inilah madzhab jumhur ahli hadits. Contohnya banyak dalam kutub hadits dimana riwayat-riwayat mereka tidak dihukumi mudltharib. Oleh karena itu kita mengenal gharib nisbi (dalam mushthalah), yaitu keghariban yang terletak pada tengah sanad.
Adapun dua riwayat mursal Asy-Sya’biy dari ‘Aliy, maka perawi yang digugurkan adalah Al-Haarits Al-A’war. Adapun yang lainnya (Zaid bin Yutsai’ dan Nufai’ bin Raafi’ Ash-Shaaigh), maka kecil kemungkinan karena sanadnya telah gugur sebelum Asy-Sya’biy. Atau dengan kata lain, tidak shahih sampai Asy-Sya’biy. Dan ini benar dalam hal pentarjihannya.
Sedangkan riwayat mursal Asy-Sya’biy dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka ia pun harus dibawa kepada sanad yang bersambung, yaitu kembali pada jalan Al-Haarits Al-A’war, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib, atau Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhumaa sebagaimana nanti akan dijelaskan. Jenis-jenis seperti ini banyak dalam Shahihain sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam An-Nukat 1/369 [lihat juga penjelasan di halaman 362-363].
[kalaupun ‘dipaksa’ bahwa jalan riwayat Asy-Sya’biy adalah mudltharib, maka ia tetap dapat dipertimbangkan sebagai i’tibar, karena ia hanya jatuh dalam hal akurasi hapalan Asy-Sya’biy saja dalam kasus itu. Lafadh haditsnya sendiri tetap dapat dipakai jika ada yang menguatkan].
Kesimpulannya : Sanad riwayat ini adalah dla’iif – namun dapat
dipertimbangkan sebagai i’tibar. Kalaupun dianggap mudltharib, maka tetap dapat
digunakan i’tibar jika ada sanad lain yang menguatkan Asy-Sya’biy yang dianggap sebagai poros
perselisihan, selama lafadhnya semakna. Inilah yang dikenal dalam ilmu hadits.
Hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib dari Jalur Al-Hasan bin ‘Aliy bin Abi Thaalib
Ia diriwayatkan melalui Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan. Ibnu Hajar mengatakan : “Shaduuq yahimu”. Hadits orang yang disifati dengan sifat ini adalah dla’iif (lemah), namun bisa pula hasan – tergantung qarinah yang ada. Di sini Ibnu Hajar memberi keterangan tambahan : faadlilan (mempunyai keutamaan). Ibnu Hibbaan, Ibnu Sa’d, dan Al-‘Ijliy mentsiqahkannya. Memang benar, jika dilihat secara sendiri-sendiri, masing-masing imam tersebut (Ibnu Hibbaan, Ibnu Sa’d, dan Al-‘Ijliy) adalah para imam yang bermudah-mudah (tasahul) dalam men-tautsiq perawi. Namun jika mereka bersekutu dalam pen-tautsiq-an, maka tautsiq tersebut wajib dipertimbangkan. Lain halnya dengan Ibnu Ma’iin yang mendla’ifkannya dimana ia menyendiri di dalamnya. Ibnu Ma’iin ini merupakan imam yang tasyaddud dalam jarh sebagaimana dikenal. Oleh karena itu, jarh Ibnu Ma’in harus dilihat kesesuaiannya dengan imam yang lain. Lebih dikuatkan lagi bahwa jama’ah perawitsiqaat telah meriwayatkan hadits darinya.
Adapun kutipan teman Rafidliy kita dari perkataan Ibnu Sa’d bahwa : ia meriwayatkan dari ayahnya hadis-hadis yang diingkari; maka maksudnya adalah diingkari oleh hadits-hadits yang ia riwayatkan dari ‘Ikrimah [Al-Kaamil 3/171-172]. Intinya, nakarah itu harus dilihat. Dan di sini, nakarah yang ada nampak pada tambahan lafadh وشبابها (“dan para pemudanya”), karena tambahan ini tidak dijumpai dalam jalan-jalan yang lain selain jalan ini – dimana ia dianggap bertentangan dengan hadits Al-Hasan dan Al-Husain (sebagai pemimpin pemuda ahli surga). Inilah yang diingkari dan dilemahkan. Bukan melemahkan semua lafadh haditsnya (daru ujung hingga akhir) dan kemudian menjatuhkan perawinya sekaligus. Lagi pula, dalam Asy-Syarii’ah (3/68-69 no. 1376), tidak ada tambahan lafadh وشبابها (“dan para pemudanya”); sehingga dapat dipahami kesalahan penambahan itu bukan berasal Al-Hasan bin Zaid.
Oleh karena itu, dalam hal ini riwayat Al-Hasan bin Zaid adalah hasan selain dari tambahan lafadh tersebut.
Hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib dari Jalur Al-Hasan bin ‘Aliy bin Abi Thaalib
Ia diriwayatkan melalui Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan. Ibnu Hajar mengatakan : “Shaduuq yahimu”. Hadits orang yang disifati dengan sifat ini adalah dla’iif (lemah), namun bisa pula hasan – tergantung qarinah yang ada. Di sini Ibnu Hajar memberi keterangan tambahan : faadlilan (mempunyai keutamaan). Ibnu Hibbaan, Ibnu Sa’d, dan Al-‘Ijliy mentsiqahkannya. Memang benar, jika dilihat secara sendiri-sendiri, masing-masing imam tersebut (Ibnu Hibbaan, Ibnu Sa’d, dan Al-‘Ijliy) adalah para imam yang bermudah-mudah (tasahul) dalam men-tautsiq perawi. Namun jika mereka bersekutu dalam pen-tautsiq-an, maka tautsiq tersebut wajib dipertimbangkan. Lain halnya dengan Ibnu Ma’iin yang mendla’ifkannya dimana ia menyendiri di dalamnya. Ibnu Ma’iin ini merupakan imam yang tasyaddud dalam jarh sebagaimana dikenal. Oleh karena itu, jarh Ibnu Ma’in harus dilihat kesesuaiannya dengan imam yang lain. Lebih dikuatkan lagi bahwa jama’ah perawitsiqaat telah meriwayatkan hadits darinya.
Adapun kutipan teman Rafidliy kita dari perkataan Ibnu Sa’d bahwa : ia meriwayatkan dari ayahnya hadis-hadis yang diingkari; maka maksudnya adalah diingkari oleh hadits-hadits yang ia riwayatkan dari ‘Ikrimah [Al-Kaamil 3/171-172]. Intinya, nakarah itu harus dilihat. Dan di sini, nakarah yang ada nampak pada tambahan lafadh وشبابها (“dan para pemudanya”), karena tambahan ini tidak dijumpai dalam jalan-jalan yang lain selain jalan ini – dimana ia dianggap bertentangan dengan hadits Al-Hasan dan Al-Husain (sebagai pemimpin pemuda ahli surga). Inilah yang diingkari dan dilemahkan. Bukan melemahkan semua lafadh haditsnya (daru ujung hingga akhir) dan kemudian menjatuhkan perawinya sekaligus. Lagi pula, dalam Asy-Syarii’ah (3/68-69 no. 1376), tidak ada tambahan lafadh وشبابها (“dan para pemudanya”); sehingga dapat dipahami kesalahan penambahan itu bukan berasal Al-Hasan bin Zaid.
Oleh karena itu, dalam hal ini riwayat Al-Hasan bin Zaid adalah hasan selain dari tambahan lafadh tersebut.
Hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib dari Jalur Zirr bin Hubaisy
Rekan Raafidliy kita mengkritik bahwa tahsin riwayat Ad-Daulabiy dalam Al-Kunaa (2/99) adalah keliru, karena ‘Abdullah Abu Muhammad Maula Bani Haasyim ini namanya adalah : ‘Abdullah bin Muslim bin Rusyaid.
Saya katakan : Memang benar apa yang dikatakannya (dan saya terima kritik itu), mengingat Zuhair (syaikh dari Abu Muhammad) satu thabaqah dengan Maalik, Al-Laits, dan Ibnu Lahi’ah. Ditambah lagi ‘Aliy bin Muhammad bin Ishaaq mempunyai nisbat Al-Kuufiy dan Ath-Thanaafisiy. Kedua nisbat tersebut kebanyakan adalah nisbah kepada fuqahaa Hanafiy. Nama lain dari madzhab Hanafiy adalah madzhab Ashhaabur-Ra’yi. Hal ini sesuai dengan keterangan Ibnu Hibbaan dalam Al-Majruuhiin.
Namun ada satu jalur riwayat lain yang tersisa, yaitu jalur yang disebutkan oleh Penulis Rafidliy dalam tulisannya :
Diriwayatkan dalam Fawaid Abu Bakar Asy Syafi’i no 4 dengan jalan sanad dari Mufadhdhal bin Fadhalah Al Qurasy dari ayahnya dari Ashim dari Zirr dari Ali. Sanad ini tidak tsabit sampai ke Ashim karena Mufadhdhal adalah seorang yang dhaif sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar [At Taqrib 2/209].
Kelemahannya terletak pada Al-Mufadldlal. Ia dla’iif dari sisi hapalannya, jika merujuk pada perkataan An-Nasaa’iy (laisa bil-qawiy), Abu Haatim (yuktabu hadiitsuhu), dan Ibnu Hajar yang dibawakan yang bersangkutan.
Menilik hasil ini, maka kesimpulan hadits ‘Aliy dari jalur Zirr bin Hubaisy adalah lemah, namun bisa digunakan sebagai i’tibar. Namun anehnya, Penulis Rafidliy tersebut tidak memperhatikan apa yang ditulisnya sendiri dengan mengatakan : Kesimpulannya riwayat Zirr bin Hubaisy dari Ali ini adalah riwayat yang sangat dhaif karena diriwayatkan oleh para perawi dhaif, matruk dan pemalsu hadis. Bukankah masih tersisa jalur riwayat yang kelemahannya tidak sebegitu parah sehingga bisa digunakan sebagai i’tibar ?. Tidakkah ia mencermati apa yang ia tulis sendiri ?.
Rekan Raafidliy kita mengkritik bahwa tahsin riwayat Ad-Daulabiy dalam Al-Kunaa (2/99) adalah keliru, karena ‘Abdullah Abu Muhammad Maula Bani Haasyim ini namanya adalah : ‘Abdullah bin Muslim bin Rusyaid.
Saya katakan : Memang benar apa yang dikatakannya (dan saya terima kritik itu), mengingat Zuhair (syaikh dari Abu Muhammad) satu thabaqah dengan Maalik, Al-Laits, dan Ibnu Lahi’ah. Ditambah lagi ‘Aliy bin Muhammad bin Ishaaq mempunyai nisbat Al-Kuufiy dan Ath-Thanaafisiy. Kedua nisbat tersebut kebanyakan adalah nisbah kepada fuqahaa Hanafiy. Nama lain dari madzhab Hanafiy adalah madzhab Ashhaabur-Ra’yi. Hal ini sesuai dengan keterangan Ibnu Hibbaan dalam Al-Majruuhiin.
Namun ada satu jalur riwayat lain yang tersisa, yaitu jalur yang disebutkan oleh Penulis Rafidliy dalam tulisannya :
Diriwayatkan dalam Fawaid Abu Bakar Asy Syafi’i no 4 dengan jalan sanad dari Mufadhdhal bin Fadhalah Al Qurasy dari ayahnya dari Ashim dari Zirr dari Ali. Sanad ini tidak tsabit sampai ke Ashim karena Mufadhdhal adalah seorang yang dhaif sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar [At Taqrib 2/209].
Kelemahannya terletak pada Al-Mufadldlal. Ia dla’iif dari sisi hapalannya, jika merujuk pada perkataan An-Nasaa’iy (laisa bil-qawiy), Abu Haatim (yuktabu hadiitsuhu), dan Ibnu Hajar yang dibawakan yang bersangkutan.
Menilik hasil ini, maka kesimpulan hadits ‘Aliy dari jalur Zirr bin Hubaisy adalah lemah, namun bisa digunakan sebagai i’tibar. Namun anehnya, Penulis Rafidliy tersebut tidak memperhatikan apa yang ditulisnya sendiri dengan mengatakan : Kesimpulannya riwayat Zirr bin Hubaisy dari Ali ini adalah riwayat yang sangat dhaif karena diriwayatkan oleh para perawi dhaif, matruk dan pemalsu hadis. Bukankah masih tersisa jalur riwayat yang kelemahannya tidak sebegitu parah sehingga bisa digunakan sebagai i’tibar ?. Tidakkah ia mencermati apa yang ia tulis sendiri ?.
Hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib dari Jalur ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin
Abi Thaalib
Sanad riwayat ini dikatakan oleh rekan Rafidliy kita sangat lemah karena Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Mulaikah.
Saat saya menuliskan artikel di atas, pengkomentaran terhadap Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Mulaikah mengikuti Dr. Washiyullah Al-‘Abbaas (pentahqiq kitab Al-Fadlaail) untuk memperpendek waktu. Namun setelah melihat aqwaal ulama, maka ada perincian pembahasan mengenai perawi ini.
Ibnu Hajar dalam At-Taqriib mengatakan bahwa sebagian ahli hadits membedakan antara Muhammad bin ‘Abdirrahmaan Al-Jud’aaniy (terkenal dengan : Al-Jud’aaniy) dan Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Mulaikah Al-Jud’aaniy Abu Ghiraarah (terkenal dengan : Abu Ghiraarah). Dua-duanya Al-Jud'aaniy, namun yang lain lebih terkenal dengan Abu Ghiraarah. Yang pertama matruuk, yang kedua layyin.
Al-Mizziy mengatakan diantara ulama yang membedakan kedua orang tersebut adalah Ibnu Abu Haatim. Dan saya cenderung pada pembedaan ini. Abu Haatim saat mengomentari Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Bakr Al-Jud’aaniy (7/no. 1695) mengatakan dla’iif. Sedangkan ketika mengomentari Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Bakr bin Abi Mulaikah (7/no. 1696), mengatakan : “Syaikh” (ta’dil tingkat rendah). Dan nama kedua inilah yang dita’dil oleh Ahmad dan Abu Zur’ah dengan perkataannya laa ba’sa bihi [Al-Jarh wat-Ta’dil 7/no. 1696].
An-Nasa’iy saat mengatakan matruuk, maka ia mengalamatkannya pada Al-Jud’aaniy, bukan Abu Ghiraarah [lihat Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun, no. 524]. Begitu pula dengan Al-Bukhaariy, saat men-jarh denganmunkarul-hadiits, maka ia menisbatkannya pada Al-Jud’aaniy (Ash-Shaghiir no. 2350). Sedangkan Abu Ghiraarah, maka Al-Bukhariy tidak memberikan komentarnya (idem, no. 2204). Begitu pula dengan Ad-Daaruquthniy. Saat menjarh-nya dengan memasukkannya dalam kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun (no. 456), ia adalah Al-Jud’aaniy, bukan Abu Ghiraarah.
Jika benar bahwa ia adalah Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Bakr Abu Ghirarah, maka riwayatnya di sini adalah dla’iif, dengan sebab inqithaa’ antara ‘Aliy bin Al-Husain dengan ‘Aliy bin Abi Thaalib – atau ditambah layyin dari Abu Ghiraarah sebagaimana keterangan Ibnu Hajar; sehingga tetap bisa dijadikani’tibar. Namun jika sebaliknya – yaitu dua perawi tersebut adalah satu orang - , maka statusnya sangat lemah.
Hadits Anas bin Maalik
Hadits ini didla’ifkan dengan sebab utama Muhammad bin Katsiir. Ibnu Hajar berkata : “Jujur, tapi banyak salahnya (shaduuq, katsiirul-ghalath)” [At-Taqriib, hal. 891 no. 6291]. Pelemahan ini disebabkan dari sisi buruknya hapalan. Jarh Al-Bukhariy dengan penghukuman hadits munkar sangat bisa dipertimbangkan dari sebab ini. Namun perlu saya ingatkan kepada rekan-rekan semua bahwa penghukuman oleh seorang ulama terhadap satu hadits dengan hadits munkar, tidak mengkonsekuensikan perawinya disebut munkarul-hadiits. Kita perlu melihat, apa sebab pengingkaran Al-Bukhariy ini. Ia menyebutkan bahwa hadits ini sebenarnya hadis Qatadah dari Mutharrif dari ‘Imraan bin Hushain.
Namun ini juga perlu kita kritisi. Sepanjang pengetahuan saya ditambah lagi memperhatikan tulisan rekan Rafidliy tersebut, tidak ada jalan riwayat yang menyebutkan dari Mutharrif, dari ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhu dalam kitab-kitab hadits. Jadi, kritik bahwa sanad Muhammad bin Katsiir ini keliru perlu ditinjau kembali.
Kalaupun misal bahwa ia merupakan sanad dari Muhammad bin Katsiir, dari Al-Auza’iy, dari Qatadah, dari Mutharrif, dari ‘Imraan bin Hushain; maka ini kedudukan masih seperti semula. Sanad yang dianggap keliru dibawa kepada sanad yang benar.
Kesimpulannya, riwayat ini lemah dari sisi Muhammad bin Katsiir – baik menggunakan sanad di atas ataupun menggunakan asumsi koreksi dari Al-Bukhaariy sebagaimana disinggung oleh rekan Raafidliy tersebut. Bisa digunakan sebagai i’tibar.
Sanad riwayat ini dikatakan oleh rekan Rafidliy kita sangat lemah karena Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Mulaikah.
Saat saya menuliskan artikel di atas, pengkomentaran terhadap Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Mulaikah mengikuti Dr. Washiyullah Al-‘Abbaas (pentahqiq kitab Al-Fadlaail) untuk memperpendek waktu. Namun setelah melihat aqwaal ulama, maka ada perincian pembahasan mengenai perawi ini.
Ibnu Hajar dalam At-Taqriib mengatakan bahwa sebagian ahli hadits membedakan antara Muhammad bin ‘Abdirrahmaan Al-Jud’aaniy (terkenal dengan : Al-Jud’aaniy) dan Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Mulaikah Al-Jud’aaniy Abu Ghiraarah (terkenal dengan : Abu Ghiraarah). Dua-duanya Al-Jud'aaniy, namun yang lain lebih terkenal dengan Abu Ghiraarah. Yang pertama matruuk, yang kedua layyin.
Al-Mizziy mengatakan diantara ulama yang membedakan kedua orang tersebut adalah Ibnu Abu Haatim. Dan saya cenderung pada pembedaan ini. Abu Haatim saat mengomentari Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Bakr Al-Jud’aaniy (7/no. 1695) mengatakan dla’iif. Sedangkan ketika mengomentari Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Bakr bin Abi Mulaikah (7/no. 1696), mengatakan : “Syaikh” (ta’dil tingkat rendah). Dan nama kedua inilah yang dita’dil oleh Ahmad dan Abu Zur’ah dengan perkataannya laa ba’sa bihi [Al-Jarh wat-Ta’dil 7/no. 1696].
An-Nasa’iy saat mengatakan matruuk, maka ia mengalamatkannya pada Al-Jud’aaniy, bukan Abu Ghiraarah [lihat Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun, no. 524]. Begitu pula dengan Al-Bukhaariy, saat men-jarh denganmunkarul-hadiits, maka ia menisbatkannya pada Al-Jud’aaniy (Ash-Shaghiir no. 2350). Sedangkan Abu Ghiraarah, maka Al-Bukhariy tidak memberikan komentarnya (idem, no. 2204). Begitu pula dengan Ad-Daaruquthniy. Saat menjarh-nya dengan memasukkannya dalam kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun (no. 456), ia adalah Al-Jud’aaniy, bukan Abu Ghiraarah.
Jika benar bahwa ia adalah Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Bakr Abu Ghirarah, maka riwayatnya di sini adalah dla’iif, dengan sebab inqithaa’ antara ‘Aliy bin Al-Husain dengan ‘Aliy bin Abi Thaalib – atau ditambah layyin dari Abu Ghiraarah sebagaimana keterangan Ibnu Hajar; sehingga tetap bisa dijadikani’tibar. Namun jika sebaliknya – yaitu dua perawi tersebut adalah satu orang - , maka statusnya sangat lemah.
Hadits Anas bin Maalik
Hadits ini didla’ifkan dengan sebab utama Muhammad bin Katsiir. Ibnu Hajar berkata : “Jujur, tapi banyak salahnya (shaduuq, katsiirul-ghalath)” [At-Taqriib, hal. 891 no. 6291]. Pelemahan ini disebabkan dari sisi buruknya hapalan. Jarh Al-Bukhariy dengan penghukuman hadits munkar sangat bisa dipertimbangkan dari sebab ini. Namun perlu saya ingatkan kepada rekan-rekan semua bahwa penghukuman oleh seorang ulama terhadap satu hadits dengan hadits munkar, tidak mengkonsekuensikan perawinya disebut munkarul-hadiits. Kita perlu melihat, apa sebab pengingkaran Al-Bukhariy ini. Ia menyebutkan bahwa hadits ini sebenarnya hadis Qatadah dari Mutharrif dari ‘Imraan bin Hushain.
Namun ini juga perlu kita kritisi. Sepanjang pengetahuan saya ditambah lagi memperhatikan tulisan rekan Rafidliy tersebut, tidak ada jalan riwayat yang menyebutkan dari Mutharrif, dari ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhu dalam kitab-kitab hadits. Jadi, kritik bahwa sanad Muhammad bin Katsiir ini keliru perlu ditinjau kembali.
Kalaupun misal bahwa ia merupakan sanad dari Muhammad bin Katsiir, dari Al-Auza’iy, dari Qatadah, dari Mutharrif, dari ‘Imraan bin Hushain; maka ini kedudukan masih seperti semula. Sanad yang dianggap keliru dibawa kepada sanad yang benar.
Kesimpulannya, riwayat ini lemah dari sisi Muhammad bin Katsiir – baik menggunakan sanad di atas ataupun menggunakan asumsi koreksi dari Al-Bukhaariy sebagaimana disinggung oleh rekan Raafidliy tersebut. Bisa digunakan sebagai i’tibar.
Hadits Abu Hurairah adliyallaahu ‘anhu
Riwayat ini juga dilemahkan dengan anggapan sanadnya keliru, dari sisi Abu Qutaibah Salm bin Qutaibah. Menurutnya, yang benar adalah dari Yunus bin Abi Ishaaq, dari Asy-Sya’biy, dari ‘Aliy secara marfu’.
Salm bin Qutaibah, Abu Qutaibah Al-Khurasaaniy, shaduuq termasuk perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya. Ia telah ditsiqahkan oleh Abu Dawud dan Abu Zur’ah [Al-Mughniy fii Ma’rifati Rijaal Ash-Shahiihain, hal. 100 dan As-Siyar 9/308 no. 93]. Ibnu Ma’iin mengomentarinya : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)”. Sebagaimana diketahui bahwa ini ekuivalen dengan tsiqah. Abu Zur’ah mengatakan : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan, Ibnu Khalfuun, dan Ibnu Syaahiin memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Begitu pula Ad-Daaruqutniy dalam Suaalaat-nya mentsiqahkannya. Al-Haakim mengatakan tsiqah ma’muun. Abu Haatim menyifatinya : tidak mengapa, banyak salah, namun ditulis haditsnya. Ibnul-Qaththaan juga men-jarh Salm sebagai orang yang tidak kuat haditsnya [At-Tahdziib, 4/133-134].
Kesimpulan bagi Salm, ia adalah shaduq hasanul hadits. Inilah kesimpulan akhir dari para ulama saat menjamak beberapa pujian dan kritik padanya. Ada sedikit permasalahan dalam hapalannya. Ia memang pernah keliru dalam periwayatan hadits. Namun tidak semua riwayatnya menjadi salah. Tidak benar jika kemudian memutlakkan riwayatnya tidak diterima jika tidak ada mutaba’ahnya, karena orang yang tidak diterima karena kebersendiriannya adalah perawi yang memang asalnya dla’if. Sedangkan Salm bukan perawi dla’if.
Sedangkan anggapan penyelisihan di sini, menurut saya kurang kuat penunjukkannya, sebab Asy-Sya’biy sendiri telah membawakan lebih dari satu jalan riwayat sebagaimana terlihat. Jadi ada kemungkinan bahwa ia benar-benar mengambil hadits dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Wallaahu a'lam.
Dhann ghalib saya masih mengatakan bahwa riwayat ini adalah hasan. Kalau pun sanad riwayat ini keliru sebagaimana dikatakan rekan Rafidliy kita, maka ini tidak terlalu berpengaruh pada kesimpulan akhir hadits sebagaimana nanti akan dituliskan.
Riwayat ini juga dilemahkan dengan anggapan sanadnya keliru, dari sisi Abu Qutaibah Salm bin Qutaibah. Menurutnya, yang benar adalah dari Yunus bin Abi Ishaaq, dari Asy-Sya’biy, dari ‘Aliy secara marfu’.
Salm bin Qutaibah, Abu Qutaibah Al-Khurasaaniy, shaduuq termasuk perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya. Ia telah ditsiqahkan oleh Abu Dawud dan Abu Zur’ah [Al-Mughniy fii Ma’rifati Rijaal Ash-Shahiihain, hal. 100 dan As-Siyar 9/308 no. 93]. Ibnu Ma’iin mengomentarinya : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)”. Sebagaimana diketahui bahwa ini ekuivalen dengan tsiqah. Abu Zur’ah mengatakan : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan, Ibnu Khalfuun, dan Ibnu Syaahiin memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Begitu pula Ad-Daaruqutniy dalam Suaalaat-nya mentsiqahkannya. Al-Haakim mengatakan tsiqah ma’muun. Abu Haatim menyifatinya : tidak mengapa, banyak salah, namun ditulis haditsnya. Ibnul-Qaththaan juga men-jarh Salm sebagai orang yang tidak kuat haditsnya [At-Tahdziib, 4/133-134].
Kesimpulan bagi Salm, ia adalah shaduq hasanul hadits. Inilah kesimpulan akhir dari para ulama saat menjamak beberapa pujian dan kritik padanya. Ada sedikit permasalahan dalam hapalannya. Ia memang pernah keliru dalam periwayatan hadits. Namun tidak semua riwayatnya menjadi salah. Tidak benar jika kemudian memutlakkan riwayatnya tidak diterima jika tidak ada mutaba’ahnya, karena orang yang tidak diterima karena kebersendiriannya adalah perawi yang memang asalnya dla’if. Sedangkan Salm bukan perawi dla’if.
Sedangkan anggapan penyelisihan di sini, menurut saya kurang kuat penunjukkannya, sebab Asy-Sya’biy sendiri telah membawakan lebih dari satu jalan riwayat sebagaimana terlihat. Jadi ada kemungkinan bahwa ia benar-benar mengambil hadits dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Wallaahu a'lam.
Dhann ghalib saya masih mengatakan bahwa riwayat ini adalah hasan. Kalau pun sanad riwayat ini keliru sebagaimana dikatakan rekan Rafidliy kita, maka ini tidak terlalu berpengaruh pada kesimpulan akhir hadits sebagaimana nanti akan dituliskan.
Hadits Jaabir radliyallaahu ‘anhu.
Rekan Raafidliy tersebut mempermasalahkan syaikh dari Ath-Thabaraaniy yang bernama Al-Miqdaam bin Dawud. Banyak pembicaraan tentang perawi ini. Namun sayangnya, hanya dinukil jarh-nya saja. Saya bawakan perkataan lain dengan ringkas :
An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Dla’iif”. Ibnu Abi Haatim, Ibnu Yuunus, Ibnul-Qaththaan, dan Adz-Dzahabiy berkata : “Ia diperbincangkan”. Abu ‘Umar Al-Kindiy berkata : “Ia tidakmahmuud dalam riwayatnya, namun ia seorang faqih dan mufti”. Maslamah bin Qaasim berkata : “Tidak mengapa dengan riwayat-riwayatnya”. Al-Mundziriy dan Ibnu Daqiiqil-‘Ied berkata : “Telah ditsiqahkan”. Al-Mas’uudiy berkata : “Ia termasuk fuqahaa yang terhormat, termasuk shahabat besar dari Maalik”. Ibnu Abi Dulaim berkata : “Ia mempunyai kedudukan yang tinggi, dan punya banyak riwayat”. Burhanuddin Al-Halabiy menafsirkan sebuah perkataan Adz-Dzahabiy bahwa ia telah mencacatnya dengan memalsukan salah satu riwayat yang dibawakan Al-Haakim. Al-Haitsamiy berkata : “Dla’iif”. Al-Albaniy kadang berkata : “Tidak tsiqah”; di lain tempat mengatakan : “Lemah sekali”; di lain tempat mengatakan : “Dla’iif”.
Pendapat pertengahan dalam memperhatikan beberapa jarh dan ta’dil tersebut, statusnya adalah dla’iif saja [Irsyaadul-Qaadliy wad-Daaniy ilaa Taraajimi Syuyuukh Ath-Thabaraaniy, hal. 650-651]. Ini nampak karena jarh-jarh tersebut berasal dari kesalahan periwayatannya sebagai akibat jeleknya hapalan. Akibatnya, sebagian ulama mengkritiknya dengan keras. Namun ia sendiri bukan pendusta, karena tautsiq yang diberikan jumur ulama terletak pada kedudukannya dalam agama dan kefaqihan yang menunjukkan tetapnya’adalah. Kritik An-Nasa’iy sebagai seorang yang tidak tsiqah, sangat dipahami karena ia merupakan jajaran ulama yang keras dalam memberikan jarh. Kritik Adz-Dzahabiy sendiri sebenarnya hanya pada penisbatan kekeliruan ini padanya. Tidak secara sharih menyebutkan ia sebagai pemalsu. Kesimpulan ini juga dapat dibaca dalam Mukhtashar Istidrak Adz-Dzahabiy ‘alaa Mustadrak Al-Haakim, hal. 490.
Jadi riwayat ini kualitasnya dla’iif. Bukan dla’iif jiddan seperti kesimpulan yang diambil rekan Rafidliy tersebut. Bisa dipergunakan sebagai i’tibar.
Rekan Raafidliy tersebut mempermasalahkan syaikh dari Ath-Thabaraaniy yang bernama Al-Miqdaam bin Dawud. Banyak pembicaraan tentang perawi ini. Namun sayangnya, hanya dinukil jarh-nya saja. Saya bawakan perkataan lain dengan ringkas :
An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Dla’iif”. Ibnu Abi Haatim, Ibnu Yuunus, Ibnul-Qaththaan, dan Adz-Dzahabiy berkata : “Ia diperbincangkan”. Abu ‘Umar Al-Kindiy berkata : “Ia tidakmahmuud dalam riwayatnya, namun ia seorang faqih dan mufti”. Maslamah bin Qaasim berkata : “Tidak mengapa dengan riwayat-riwayatnya”. Al-Mundziriy dan Ibnu Daqiiqil-‘Ied berkata : “Telah ditsiqahkan”. Al-Mas’uudiy berkata : “Ia termasuk fuqahaa yang terhormat, termasuk shahabat besar dari Maalik”. Ibnu Abi Dulaim berkata : “Ia mempunyai kedudukan yang tinggi, dan punya banyak riwayat”. Burhanuddin Al-Halabiy menafsirkan sebuah perkataan Adz-Dzahabiy bahwa ia telah mencacatnya dengan memalsukan salah satu riwayat yang dibawakan Al-Haakim. Al-Haitsamiy berkata : “Dla’iif”. Al-Albaniy kadang berkata : “Tidak tsiqah”; di lain tempat mengatakan : “Lemah sekali”; di lain tempat mengatakan : “Dla’iif”.
Pendapat pertengahan dalam memperhatikan beberapa jarh dan ta’dil tersebut, statusnya adalah dla’iif saja [Irsyaadul-Qaadliy wad-Daaniy ilaa Taraajimi Syuyuukh Ath-Thabaraaniy, hal. 650-651]. Ini nampak karena jarh-jarh tersebut berasal dari kesalahan periwayatannya sebagai akibat jeleknya hapalan. Akibatnya, sebagian ulama mengkritiknya dengan keras. Namun ia sendiri bukan pendusta, karena tautsiq yang diberikan jumur ulama terletak pada kedudukannya dalam agama dan kefaqihan yang menunjukkan tetapnya’adalah. Kritik An-Nasa’iy sebagai seorang yang tidak tsiqah, sangat dipahami karena ia merupakan jajaran ulama yang keras dalam memberikan jarh. Kritik Adz-Dzahabiy sendiri sebenarnya hanya pada penisbatan kekeliruan ini padanya. Tidak secara sharih menyebutkan ia sebagai pemalsu. Kesimpulan ini juga dapat dibaca dalam Mukhtashar Istidrak Adz-Dzahabiy ‘alaa Mustadrak Al-Haakim, hal. 490.
Jadi riwayat ini kualitasnya dla’iif. Bukan dla’iif jiddan seperti kesimpulan yang diambil rekan Rafidliy tersebut. Bisa dipergunakan sebagai i’tibar.
Hadits Juhaifah radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan melalui jalan Khunais bin Bakr bin Khunais dan ‘Abdul-Qudduus bin Bakr bin Khunais, keduanya dari Maalik bin Mighwal, dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya secara marfu’.
Jalan periwayatan Khunais dikritik karena Muhammad bin ‘Aqil bin Khuwailid karena disebut keliru dalam periwayatan dari orang-orang ‘Iraq, sebagaimana dikatakan Penulis tersebut :
Riwayat Khunais bin Bakr dari Malik ini memiliki kelemahan yaitu Muhammad bin Aqil bin Khuwaylid seorang yang tsiqat tetapi melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis para perawi Iraq dan Khunais termasuk perawi Iraq [Ats Tsiqat juz 9 no 15633].
Saya katakan : Yang dikatakan Ibnu Hibbaan sebenarnya adalah : [ربما أخطأ حدث بالعراق بمقدار عشرة أحاديث مقلوبة] “Kadang melakukan kekeliruan, menceritakan 10 hadits yang terbalik-balik di ‘Iraq” [Tahdziibul-Kamaal 26/129 dan Ats-Tsiqaat 9/147]. Jadi, tidak semua haditsnya di ‘Iraq itu maqluub (terbalik-balik). Dan hadits ini bukan salah satu diantaranya, karena Ibnu Hibbaan sendiri telah menshahihkannya dan membawakannya dalam Shahih Ibni Hibban (no. 6904). Tentu saja ia (Ibnu Hibbaan) lebih tahu hadits yang ia riwayatkan dibandingkan yang lainnya (karena jarh itu bersumber darinya). Ditambah lagi mutaba’ah dari Zakariyya bin Yahyaa, maka itu cukup mengokohkan jalur Khunais ini.
Tentang Khunais, maka telah disebutkan bahwa telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibbaan yang bersamaan dengan itu jama’ah perawi meriwayatkan darinya. Selain itu, Ahmad bin Shaalih mendla’ifkannya. Khunais ini mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdul-Qudduus. Ia dianggap lemah oleh rekan Rafidliy kita. Padahal, ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hajar (yang mengambil ta’dil Abu Haatim : laa ba’sa bih) dan Adz-Dzahabiy. Juga Ibnu Hibbaan. Adapun menolak ‘Abdul-Qudduus dengan alasan bahwa Ahmad, Ibnu Ma’in dan Abi Khaitsamah tidak menghiraukan/menolak hadisnya; maka ini tidak berterima. Sebab jarh seperti ini merupakan jenis jarh yang tidak mu’tamad, khususnya jika telah tegak tautsiq dari imam yang lain. Tidak diterimanya hadits oleh seorang imam masih banyak mengandung kemungkinan, sebagaimana banyak dijelaskan dalam buku-buku ilmu hadits.
Dua jalur periwayatan ini sudah cukup kuat. Namun lagi-lagi ia dikonfrontasikan dengan jalur lain yang dianggap berselisihan, yaitu : Ahmad bin Abdullah bin Yunus, Husyaim bin Basyir dan Syu’aib bin Harb. Rupa-rupanya rekan kita merasa aneh dengan seorang perawi perawi yang mempunyai beberapa jalan sanad (sama seperti kasus Asy-Sya’biy) sehingga gampang sekali menghukumi “menyelisihi”. Termasuk dalam kasus poros sanad Maalik bin Mighwal. Telah sedikit saya singgung hal ini di awal komentar/sanggahan. Saya pikir, rekan kita ini perlu mencermati bagaimana thariqah ulama dalam menghimpun sanad hadits. Tambahan lagi, saya tidak menemui penghukuman “menyelisihi” ini dari para muhaqqiq yang masyhur seperti Syu’aib Al-Arna’uth, Washiyullah ‘Abbas, Basyar ‘Awwaad, dan Al-Albaaniy. Ini bukan sekedar taqlid, tapi sekedar perbandingan saja. Dan rekan-rekan semua bisa turut menelitinya. Dilihat dari dhahir sanadnya saja terlihat bahwa Maalik bin Mighwal ini punya dua jalan periwayatan, yaitu dari Asy-Sya’biy dan ‘Aun, sehingga ia menyampaikan kepada perawi yang berbeda di waktu yang berbeda pula.
Kesimpulannya : Sanad riwayat ini hasan.
Hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy
Sanad riwayat ini lemah. Namun bisa dipakai i’tibar.
Diriwayatkan melalui jalan Khunais bin Bakr bin Khunais dan ‘Abdul-Qudduus bin Bakr bin Khunais, keduanya dari Maalik bin Mighwal, dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya secara marfu’.
Jalan periwayatan Khunais dikritik karena Muhammad bin ‘Aqil bin Khuwailid karena disebut keliru dalam periwayatan dari orang-orang ‘Iraq, sebagaimana dikatakan Penulis tersebut :
Riwayat Khunais bin Bakr dari Malik ini memiliki kelemahan yaitu Muhammad bin Aqil bin Khuwaylid seorang yang tsiqat tetapi melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis para perawi Iraq dan Khunais termasuk perawi Iraq [Ats Tsiqat juz 9 no 15633].
Saya katakan : Yang dikatakan Ibnu Hibbaan sebenarnya adalah : [ربما أخطأ حدث بالعراق بمقدار عشرة أحاديث مقلوبة] “Kadang melakukan kekeliruan, menceritakan 10 hadits yang terbalik-balik di ‘Iraq” [Tahdziibul-Kamaal 26/129 dan Ats-Tsiqaat 9/147]. Jadi, tidak semua haditsnya di ‘Iraq itu maqluub (terbalik-balik). Dan hadits ini bukan salah satu diantaranya, karena Ibnu Hibbaan sendiri telah menshahihkannya dan membawakannya dalam Shahih Ibni Hibban (no. 6904). Tentu saja ia (Ibnu Hibbaan) lebih tahu hadits yang ia riwayatkan dibandingkan yang lainnya (karena jarh itu bersumber darinya). Ditambah lagi mutaba’ah dari Zakariyya bin Yahyaa, maka itu cukup mengokohkan jalur Khunais ini.
Tentang Khunais, maka telah disebutkan bahwa telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibbaan yang bersamaan dengan itu jama’ah perawi meriwayatkan darinya. Selain itu, Ahmad bin Shaalih mendla’ifkannya. Khunais ini mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdul-Qudduus. Ia dianggap lemah oleh rekan Rafidliy kita. Padahal, ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hajar (yang mengambil ta’dil Abu Haatim : laa ba’sa bih) dan Adz-Dzahabiy. Juga Ibnu Hibbaan. Adapun menolak ‘Abdul-Qudduus dengan alasan bahwa Ahmad, Ibnu Ma’in dan Abi Khaitsamah tidak menghiraukan/menolak hadisnya; maka ini tidak berterima. Sebab jarh seperti ini merupakan jenis jarh yang tidak mu’tamad, khususnya jika telah tegak tautsiq dari imam yang lain. Tidak diterimanya hadits oleh seorang imam masih banyak mengandung kemungkinan, sebagaimana banyak dijelaskan dalam buku-buku ilmu hadits.
Dua jalur periwayatan ini sudah cukup kuat. Namun lagi-lagi ia dikonfrontasikan dengan jalur lain yang dianggap berselisihan, yaitu : Ahmad bin Abdullah bin Yunus, Husyaim bin Basyir dan Syu’aib bin Harb. Rupa-rupanya rekan kita merasa aneh dengan seorang perawi perawi yang mempunyai beberapa jalan sanad (sama seperti kasus Asy-Sya’biy) sehingga gampang sekali menghukumi “menyelisihi”. Termasuk dalam kasus poros sanad Maalik bin Mighwal. Telah sedikit saya singgung hal ini di awal komentar/sanggahan. Saya pikir, rekan kita ini perlu mencermati bagaimana thariqah ulama dalam menghimpun sanad hadits. Tambahan lagi, saya tidak menemui penghukuman “menyelisihi” ini dari para muhaqqiq yang masyhur seperti Syu’aib Al-Arna’uth, Washiyullah ‘Abbas, Basyar ‘Awwaad, dan Al-Albaaniy. Ini bukan sekedar taqlid, tapi sekedar perbandingan saja. Dan rekan-rekan semua bisa turut menelitinya. Dilihat dari dhahir sanadnya saja terlihat bahwa Maalik bin Mighwal ini punya dua jalan periwayatan, yaitu dari Asy-Sya’biy dan ‘Aun, sehingga ia menyampaikan kepada perawi yang berbeda di waktu yang berbeda pula.
Kesimpulannya : Sanad riwayat ini hasan.
Hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy
Sanad riwayat ini lemah. Namun bisa dipakai i’tibar.
Kesimpulan
1. Hadits ‘Aliy shahih dengan syawahidnya [jalur Asy-Sya’biy berderajat dla’if, jalur Al-Hasan bin ‘Aliy berderajat hasan, jalur Zirr bin Hubaisy berderajat dla’if, jalur ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib berderajat dla’if – ini yang saya anggap raajih – atau dla’if jiddan].
2. Hadits Anas bin Maalik dla’if.
3. Hadits Abu Hurairah hasan.
4. Hadits Jaabir dla’if.
5. Hadits Juhaifah hasan.
6. Hadits Abu Sa’iid dla’if.
7. Yang lainnya sangat lemah atau palsu, sebagaimana telah saya isyaratkan dalam artikel di atas.
Kesimpulan akhir : Shahih bi-syawaahidihi.
Kalaupun missal hadits ‘Aliy dari jalur ‘Aliy bin Al-Husain dan hadits Abu Hurairah dihapus/digugurkan, maka kesimpulan akhir tetap shahih bi-syawaahidihi.
Hadits ini dengan keseluruhan jalannya telah dishahihkan oleh ‘Asaakir (sebagaimana dinukil dalam Taariikh Al-Islaam lidz-Dzahabiy), Adz-Dzahabiy, Al-Albaaniy, Washiyullah ‘Abbaas, Basyar ‘Awwaad, Syu’aib Al-Arna’uth, Ahmad Syaakir, dan yang lainnya.
Adapun makna kuhuul, maka para ulama telah menjelaskannya dengan beberapa penjelasan. Telah disebutkan bahwa makna itu dapat berarti setiap orang baligh dan berakal sebagaimana sifat ahlul-jannah secara umum. Yang lain mengatakan maknanya adalah orang dewasa (kuhuul) yang meninggal (di dunia), lalu Allah masukkan ke dalam golongan ahlul-jannah (di akhirat). Thariqah Ahlus-Sunnah adalah mencoba memahami keseluruhan dalil, bukan mempertentangkan untuk menolaknya sebagaimana style yang ditempuh ahlul-bida’.
Wallaahu a'lam bish-shawwaab.
1. Hadits ‘Aliy shahih dengan syawahidnya [jalur Asy-Sya’biy berderajat dla’if, jalur Al-Hasan bin ‘Aliy berderajat hasan, jalur Zirr bin Hubaisy berderajat dla’if, jalur ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib berderajat dla’if – ini yang saya anggap raajih – atau dla’if jiddan].
2. Hadits Anas bin Maalik dla’if.
3. Hadits Abu Hurairah hasan.
4. Hadits Jaabir dla’if.
5. Hadits Juhaifah hasan.
6. Hadits Abu Sa’iid dla’if.
7. Yang lainnya sangat lemah atau palsu, sebagaimana telah saya isyaratkan dalam artikel di atas.
Kesimpulan akhir : Shahih bi-syawaahidihi.
Kalaupun missal hadits ‘Aliy dari jalur ‘Aliy bin Al-Husain dan hadits Abu Hurairah dihapus/digugurkan, maka kesimpulan akhir tetap shahih bi-syawaahidihi.
Hadits ini dengan keseluruhan jalannya telah dishahihkan oleh ‘Asaakir (sebagaimana dinukil dalam Taariikh Al-Islaam lidz-Dzahabiy), Adz-Dzahabiy, Al-Albaaniy, Washiyullah ‘Abbaas, Basyar ‘Awwaad, Syu’aib Al-Arna’uth, Ahmad Syaakir, dan yang lainnya.
Adapun makna kuhuul, maka para ulama telah menjelaskannya dengan beberapa penjelasan. Telah disebutkan bahwa makna itu dapat berarti setiap orang baligh dan berakal sebagaimana sifat ahlul-jannah secara umum. Yang lain mengatakan maknanya adalah orang dewasa (kuhuul) yang meninggal (di dunia), lalu Allah masukkan ke dalam golongan ahlul-jannah (di akhirat). Thariqah Ahlus-Sunnah adalah mencoba memahami keseluruhan dalil, bukan mempertentangkan untuk menolaknya sebagaimana style yang ditempuh ahlul-bida’.
Wallaahu a'lam bish-shawwaab.
Ada sanggahan lagi terhadap komentar di atas dari rekan Rafidliy di
Blog-nya. Banyak hal yang dapat dikritik atas sanggahannya tersebut. Di sini
saya hanya akan menanggapi beberapa di antaranya saja :
AL-HAARITS BIN AL-A’WAR
Telah disinggung pada artikel di atas terdapat pembicaraan yang panjang mengenai Al-Haarits. Ada yang menta’dil, ada pula yang menjarh – bahkan dengan jarh yang keras. Jalan yang ditempuh oleh para ulama adalah mengkompromikan dan menyimpulkan antara jarh dan ta’dil yang terkumpul dalam seorang perawi. Tidak selamanya ta’dil dan tajrih itu diterima begitu saja ketika ada seorang ulama mengatakannya. Sama pula, ketika ada ulama yang mengatakan seorang perawi berdusta atau pendusta, harus diteliti, apakah kedustaannya itu terletak pada riwayatnya atau pada madzhabnya (baca : bid’ahnya).
Tidak mengapa sedikit saya ulang dengan penambahan seperlunya. Asy-Sya’biy mengatakan : “Pendusta”. Ibraahiim An-Nakha’iy mengatakan : “Dituduh” – dan kemudian Al-Bukhaariy dalam Adl-Dlu’afaa Ash-Shaghiir mengikutinya. Abu Ishaaq mengatakan : “Pendusta”. Jariir bin ‘Abdil-Hamiid berkata : “Al-Haarits Al-A’war pemalsu”. ‘Aliy bin Al-Maadiniy mengatakan : “Pendusta”. Abu Khaitsamah berkata : “Pendusta”.
Abu Zur’ah berkata : “Tidak boleh berhujjah dengan haditsnya”. Abu Haatim berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy), dan ia bukan termasuk orang yang haditsnya bisa dipakai untuk berhujjah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat”. Namun di lain kesempatan ia berkata : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)”. Ad-Daaruquthniy berkata dalam Al-‘Ilal : “Jika ia bersendirian dalam periwayatan hadits, maka haditsnya tidak shahih”. Al-Bazzaar mengatakan hal yang sama dengan Ad-Daaruquthniy dalam Kasyful-Astaar bahwa jika bersendirian, riwayatnya tidak diterima. Ibnu Sa’d berkata : “Ia mempunyai perkataan yang buruk, dan ia lemah dalam riwayatnya”. Ibnu Hibbaan berkata dalam Al-Majruuhiin : “Ia berlebih-lebihan dalam tasyayyu’, dan lemah dalam hadits”. Ibnu ‘Adiy berkata dalam Al-Kaamil : “Mayoritas riwayatnya tidak mahfudh”. ‘Abdurrahman bin Mahdiy meninggalkan hadits Al-Haarits. Yahyaa bin Sa’iid telah meriwayatkan hadits darinya dimana diketahui madzhabnya tidak akan meriwayatkan dari para perawi yang telah diketahui kedustaaanya. Namun ia memberi persyaratan jika dalam riwayat tersebut disebutkan padanya perkataan Abu Ishaaq : “Aku telah mendengar Al-Haarits”. Selain itu Yahyaa bin Sa’iid juga meriwayatkan hadits Al-Haarits yang berasal dari ‘Abdullah bin Murrah dan Asy-Sya’biy.
Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dari Ibnu Ma’iin bahwa ia berkata : “Senantiasa para ahli hadits menerima riwayatnya”. Dalam riwayat Ad-Duuriy, Ibnu Ma’iin berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Dalam riwayat Ad-Daarimiy bahkan Ibnu Ma’iin mengatakan : “Tsiqah”. Dikatakan, Al-Haarits dikenal sebagai orang yang paling mengetahui hadits ‘Aliy di Kuffah. Ibnu Syaahiin berkata dalam Ats-Tsiqaat-nya bahwa ia tsiqat, terutama dalam riwayatnya dari ‘Aliy. Ia juga membawakan perkataan Ahmad bin Shaalih tentang perkataan Asy-Sya’biy yang mendustakannya, maka ia menjawab : “Ia tidak mendustakan dalam hadits, namun ia mendustakan dalam pemikirannya saja”. Adz-Dzahabiy dalam As-Siyaar menyimpulkan hal yang serupa sebagaimana perkataan Ahmad bin Shaalih, yaitu : “Al-‘Allaamah, al-imaam…..seorang yang faqiih, banyak ilmu, bersamaan dengan kelemahan dalam haditsnya”. Al-‘Ijliy memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, namun kemudian ia membawakan riwayat Ibraahiim An-Nakha’iy yang menuduhnya. Abu Bakr bin Abi Dawud berkata : “Al-Haarits adalah orang yang paling faqih, sangat ahli dalam ilmu faraaidl dan berhitung”. Ibnu Siiriin ketika mendatangi Kuufah, maka ia mendapati orang-orang di sana mendahulukan (mengutamakan) lima orang, yaitu Al-Haarits, ‘Abiidah, ‘Alqamah, Masruuq, dan Syuraih.
AL-HAARITS BIN AL-A’WAR
Telah disinggung pada artikel di atas terdapat pembicaraan yang panjang mengenai Al-Haarits. Ada yang menta’dil, ada pula yang menjarh – bahkan dengan jarh yang keras. Jalan yang ditempuh oleh para ulama adalah mengkompromikan dan menyimpulkan antara jarh dan ta’dil yang terkumpul dalam seorang perawi. Tidak selamanya ta’dil dan tajrih itu diterima begitu saja ketika ada seorang ulama mengatakannya. Sama pula, ketika ada ulama yang mengatakan seorang perawi berdusta atau pendusta, harus diteliti, apakah kedustaannya itu terletak pada riwayatnya atau pada madzhabnya (baca : bid’ahnya).
Tidak mengapa sedikit saya ulang dengan penambahan seperlunya. Asy-Sya’biy mengatakan : “Pendusta”. Ibraahiim An-Nakha’iy mengatakan : “Dituduh” – dan kemudian Al-Bukhaariy dalam Adl-Dlu’afaa Ash-Shaghiir mengikutinya. Abu Ishaaq mengatakan : “Pendusta”. Jariir bin ‘Abdil-Hamiid berkata : “Al-Haarits Al-A’war pemalsu”. ‘Aliy bin Al-Maadiniy mengatakan : “Pendusta”. Abu Khaitsamah berkata : “Pendusta”.
Abu Zur’ah berkata : “Tidak boleh berhujjah dengan haditsnya”. Abu Haatim berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy), dan ia bukan termasuk orang yang haditsnya bisa dipakai untuk berhujjah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat”. Namun di lain kesempatan ia berkata : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)”. Ad-Daaruquthniy berkata dalam Al-‘Ilal : “Jika ia bersendirian dalam periwayatan hadits, maka haditsnya tidak shahih”. Al-Bazzaar mengatakan hal yang sama dengan Ad-Daaruquthniy dalam Kasyful-Astaar bahwa jika bersendirian, riwayatnya tidak diterima. Ibnu Sa’d berkata : “Ia mempunyai perkataan yang buruk, dan ia lemah dalam riwayatnya”. Ibnu Hibbaan berkata dalam Al-Majruuhiin : “Ia berlebih-lebihan dalam tasyayyu’, dan lemah dalam hadits”. Ibnu ‘Adiy berkata dalam Al-Kaamil : “Mayoritas riwayatnya tidak mahfudh”. ‘Abdurrahman bin Mahdiy meninggalkan hadits Al-Haarits. Yahyaa bin Sa’iid telah meriwayatkan hadits darinya dimana diketahui madzhabnya tidak akan meriwayatkan dari para perawi yang telah diketahui kedustaaanya. Namun ia memberi persyaratan jika dalam riwayat tersebut disebutkan padanya perkataan Abu Ishaaq : “Aku telah mendengar Al-Haarits”. Selain itu Yahyaa bin Sa’iid juga meriwayatkan hadits Al-Haarits yang berasal dari ‘Abdullah bin Murrah dan Asy-Sya’biy.
Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dari Ibnu Ma’iin bahwa ia berkata : “Senantiasa para ahli hadits menerima riwayatnya”. Dalam riwayat Ad-Duuriy, Ibnu Ma’iin berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Dalam riwayat Ad-Daarimiy bahkan Ibnu Ma’iin mengatakan : “Tsiqah”. Dikatakan, Al-Haarits dikenal sebagai orang yang paling mengetahui hadits ‘Aliy di Kuffah. Ibnu Syaahiin berkata dalam Ats-Tsiqaat-nya bahwa ia tsiqat, terutama dalam riwayatnya dari ‘Aliy. Ia juga membawakan perkataan Ahmad bin Shaalih tentang perkataan Asy-Sya’biy yang mendustakannya, maka ia menjawab : “Ia tidak mendustakan dalam hadits, namun ia mendustakan dalam pemikirannya saja”. Adz-Dzahabiy dalam As-Siyaar menyimpulkan hal yang serupa sebagaimana perkataan Ahmad bin Shaalih, yaitu : “Al-‘Allaamah, al-imaam…..seorang yang faqiih, banyak ilmu, bersamaan dengan kelemahan dalam haditsnya”. Al-‘Ijliy memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, namun kemudian ia membawakan riwayat Ibraahiim An-Nakha’iy yang menuduhnya. Abu Bakr bin Abi Dawud berkata : “Al-Haarits adalah orang yang paling faqih, sangat ahli dalam ilmu faraaidl dan berhitung”. Ibnu Siiriin ketika mendatangi Kuufah, maka ia mendapati orang-orang di sana mendahulukan (mengutamakan) lima orang, yaitu Al-Haarits, ‘Abiidah, ‘Alqamah, Masruuq, dan Syuraih.
Asy-Sya’biy mengatakan bahwa ia melihat Al-Hasan dan Al-Husain bertanya
kepada Al-Haarits tentang hadits ‘Aliy. Ini merupakan satu qarinah yang cukup
kuat bahwa dari riwayat tersebut bahwa Al-Hasan dan Al-Husain tidak mendustakan
Al-Haarits dalam periwayatan hadits.
Pembahasan :
Bagaimana memahami dan menyimpulkan perkataan para ulama di atas ? Rekan Rafidliy itu berkata :
Apakah pernyataan Asy-Sya’bi kalau Al-Harits seorang pendusta itu berarti cacat pada hapalannya ?.
Di lain kesempatan ia memberikan pernyataan hiburan :
Pertanyaannya adalah sejak kapan jarh pendusta berarti cacat pada hapalannya [orang yang paling awam dalam ilmu hadits pun tahu perbedaannya.
Saya katakan : Sejak kapan saya mengatakan itu ? Bukankah saya mengatakan :
Al-Haarits bin ‘Abdillah Al-A’war adalah seorang yang lemah menurut jumhur muhadditsiin. Ada pembicaraan yang panjang mengenai Al-Haarits ini. Bahkan sebagian muhadditsiin memberikan jarh keras dengan mendustakaannya, seperti : Asy-Sya’biy (dalam satu perkatannya), Muslim, Ibnul-Madiiniy, dan yang lainnya. Sebagian yang lain, ada pula yang mentsiqahkannya seperti : Ibnu Ma’iin, An-Nasa’iy (dalam satu perkataannya), Ibnu Syaahin, dan Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy. Beberapa ulama menjelaskan bahwa pendustaan mereka terhadap Al-Haarits ini karena pemikirannya yang condong kepada Syi’ah/Rafidlah, bahkan disebutkan ia berlebih-lebihan dalam masalah ini. Namun dalam periwayatan hadits, ia bukan seorang pendusta. Ia di-jarh karena lemah dalam dlabth-nya. Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy pernah ditanya perihal pendustaan Asy-Sya’biy terhadap Al-Haarits, maka ia menjawab : “Ia (Asy-Sya’biy) tidak mendustakannya dalam hadits, namun ia hanya mendustakan pemikirannya saja” [Ats-Tsiqaat li-Ibni Syaahin, lembar 17]. Ibnu Hibban berkata : “Ia seorang berlebih-lebihan dalam tasyayyu’, dan lemah dalam hadits” [Al-Majruuhiin, 1/222]. Ibnu Hajar pun kemudian memberi kesimpulan : “….Ia telah didustakan oleh Asy-Sya’biy dan dituduh sebagai Rafidlah. Namun dalam hadits, ia lemah….” [At-Taqriib, hal. 211 no. 1036]. Adapun Adz-Dzahabiy memberi kesimpulan : “Seorang Syi’ah yang lemah (syi’iy layyin)” [Al-Kaasyif, 1/303 no. 859]. Inilah yang raajih mengenai diri Al-Haarits, wallaahu a’lam.
Apa kurang jelas ? Apa yang saya tuliskan tersebut adalah ringkasan penjamakan dari khilaf ulama tentang diri Al-Haarits bin Al-A’war. Berbeda halnya dengan kaca mata kuda yang sedang dipakai rekan kita saat menilai Al-Haarits. Ia hanya menilai pendustaan saja, tanpa melihat ta’dil dan juga jarh ulama lain yang bukan dari sisi pendustaan. Inilah perbedaan saya dengan dirinya.
Ikhwan bisa lihat keterangan-keterangan yang secara ringkas telah saya tuliskan di atas. Apakah pendustaan itu merupakan kesepakatan ? Jawabanya tidak. Apakah pendustaan itu merupakan suara jumhur ulama ? Jawabnya tidak.
Pembahasan :
Bagaimana memahami dan menyimpulkan perkataan para ulama di atas ? Rekan Rafidliy itu berkata :
Apakah pernyataan Asy-Sya’bi kalau Al-Harits seorang pendusta itu berarti cacat pada hapalannya ?.
Di lain kesempatan ia memberikan pernyataan hiburan :
Pertanyaannya adalah sejak kapan jarh pendusta berarti cacat pada hapalannya [orang yang paling awam dalam ilmu hadits pun tahu perbedaannya.
Saya katakan : Sejak kapan saya mengatakan itu ? Bukankah saya mengatakan :
Al-Haarits bin ‘Abdillah Al-A’war adalah seorang yang lemah menurut jumhur muhadditsiin. Ada pembicaraan yang panjang mengenai Al-Haarits ini. Bahkan sebagian muhadditsiin memberikan jarh keras dengan mendustakaannya, seperti : Asy-Sya’biy (dalam satu perkatannya), Muslim, Ibnul-Madiiniy, dan yang lainnya. Sebagian yang lain, ada pula yang mentsiqahkannya seperti : Ibnu Ma’iin, An-Nasa’iy (dalam satu perkataannya), Ibnu Syaahin, dan Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy. Beberapa ulama menjelaskan bahwa pendustaan mereka terhadap Al-Haarits ini karena pemikirannya yang condong kepada Syi’ah/Rafidlah, bahkan disebutkan ia berlebih-lebihan dalam masalah ini. Namun dalam periwayatan hadits, ia bukan seorang pendusta. Ia di-jarh karena lemah dalam dlabth-nya. Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy pernah ditanya perihal pendustaan Asy-Sya’biy terhadap Al-Haarits, maka ia menjawab : “Ia (Asy-Sya’biy) tidak mendustakannya dalam hadits, namun ia hanya mendustakan pemikirannya saja” [Ats-Tsiqaat li-Ibni Syaahin, lembar 17]. Ibnu Hibban berkata : “Ia seorang berlebih-lebihan dalam tasyayyu’, dan lemah dalam hadits” [Al-Majruuhiin, 1/222]. Ibnu Hajar pun kemudian memberi kesimpulan : “….Ia telah didustakan oleh Asy-Sya’biy dan dituduh sebagai Rafidlah. Namun dalam hadits, ia lemah….” [At-Taqriib, hal. 211 no. 1036]. Adapun Adz-Dzahabiy memberi kesimpulan : “Seorang Syi’ah yang lemah (syi’iy layyin)” [Al-Kaasyif, 1/303 no. 859]. Inilah yang raajih mengenai diri Al-Haarits, wallaahu a’lam.
Apa kurang jelas ? Apa yang saya tuliskan tersebut adalah ringkasan penjamakan dari khilaf ulama tentang diri Al-Haarits bin Al-A’war. Berbeda halnya dengan kaca mata kuda yang sedang dipakai rekan kita saat menilai Al-Haarits. Ia hanya menilai pendustaan saja, tanpa melihat ta’dil dan juga jarh ulama lain yang bukan dari sisi pendustaan. Inilah perbedaan saya dengan dirinya.
Ikhwan bisa lihat keterangan-keterangan yang secara ringkas telah saya tuliskan di atas. Apakah pendustaan itu merupakan kesepakatan ? Jawabanya tidak. Apakah pendustaan itu merupakan suara jumhur ulama ? Jawabnya tidak.
Jarh Abu Zur’ah (laa yuhtaju bi-hadiitsihi) adalah jarh mubham yang
bersifat umum. Jarh itu yang bermakna : ia (perawi) asalnya shalih (pada
dirinya), haditsnya dapat dipergunakan sebagai i’tibar dalam syawaahid atau
mutaba’aat [lihat Al-Khulaashah fii ‘Ilmil-Jarh
wat-Ta’diil hal. 316 dan Al-Mughniy fii Alfaadh Al-Jarh wat-Ta’diil hal. 112].
Jarh Abu Haatim (laisa bil-qawiy) maknanya adalah satu pelemahan terhadap perawi yang haditsnya dapat ditulis sebagai i’tibar. Adz-Dzahabiy sendiri saat menjelaskan jenis jarh Abu Haatim ini berkata : ““Dengan menelaah/meneliti apa yang dikatakan Abu Haatim : ‘Laisa bil-qawiy’; maka yang dimaksudkan dengannya adalah orang ini tidak mencapat tingkatan (paling atas) kuat dan tetap/teguh (qawiy tsabat)” [Al-Muuqidhah, hal. 83].
Jarh An-Nasaa’iy (laisa bil-qawiy); maka Adz-Dzahabiy berkata : “Telah dikatakan tentang sekelompok (perawi) : ‘Laisa bil-qawiy’, namun ia tetap digunakan sebagai hujjah’. An-Nasa’i telah berkata mengenai sejumlah perawi yang dihukumi dengan laisa bil-qawiy dan ia masukkan dalam kitabnya (As-Sunan) : ‘Perkataan kami mengenai ‘laisa bil-qawiy’ adalah tidak memberikan jarh yang merusakkan (kedudukannya)’ [Al-Muuqidhah, hal. 82]. Jarh ini termasuk salah satu jarh paling ringan dalam klasifkasi jarh ‘dla’iif’ [lihat Al-Mughniy hal. 87]. Apalagi kemudian An-Nasaa’iy sendiri mengatakan : “Laisa bihi ba’s (tidak mengapa dengannya)”.
Jarh Ad-Daaruquthniy dan Al-Bazzaar bahwa jika Al-Haarits itu bersendirian (tafarrud) dalam periwayatan, maka tidak digunakan sebagai hujjah; ini adalah pelemahan dari sisi dlabth. Riwayatnya lemah jika tidak adamutaba’ah atau syaahid.
Jarh Ibnu Sa’d pun tidak bisa diarahkan untuk menguatkan ta’yin dusta. Pernyataan bahwa Al-Haarits mempunyai perkataan buruk, maka ini tidak dijelaskan. Apakah perkataan buruk ini terkait dengan bid’ah atau yang lainnya. Adapun perkataan lanjutannya bahwa ia dla’iif dalam riwayatnya (dla’iif fii riwayatih), maka ia ekuivalen dengan jarh : dla’iif, atau dla’iiful-hadiits. Orang yang diberikan predikat ini adalah orang yang haditsnya ditulis, tidak ditinggalkan, dan bisa dijadikan i’tibar [lihat Al-Khulaashah, hal. 326].
Jarh Ibnu Hibbaan Ibnu bahwa ia berlebih-lebihan dalam tasyayyu’ dan lemah dalam hadits; merupakan salah satu kemungkinan penjelas dari perkataan Ibnu Sa’d. Maksudnya, perkataan jelek yang dinisbatkan kepada Al-Haarits karena sifat ghulluw-nya terhadap madzhab Syi’ah. Dan riwayatnya lemah – penjelasannya silakan ditengok di atas.
Jarh Ibnu ‘Adiy (’aamatun maa yarwihi ghairu mahfudh) kedudukannya sama dengan laisa bi-mahfuudhil-hadiits. Maksudnya, perawi ini tidak kuat lagi dla’iif. Haditsnya dapat dipakai jika ia punya mutaba’at atau syawaahid [lihat Al-Mughniy, hal. 89]. Jarh ini menunjukkan kurangnya sifat dlabth.
Pernyataan bahwa ‘Abdurrahman bin Mahdiy meninggalkan hadits Al-Haarits merupakan jarh yang kurang mu’tamad. Maksudnya, jarh jenis ini masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Hal ini dikarenakan banyak faktor/sebab seorang ahli hadits meninggalkan riwayat seorang perawi. Apakah ia meninggalkan karena kekurangan sifat dlabth-nya, gugur ‘adalah-nya, atau penetapan kebid’ahannya ?
Dari sini apakah kita akan membutakan diri – sebagaimana rekan Rafidliy kita ini – akan pernyataan para imam ini. Ditambah lagi dengan lafadh-lafadh yang mengandung makna ta’dil.
Jarh Abu Haatim (laisa bil-qawiy) maknanya adalah satu pelemahan terhadap perawi yang haditsnya dapat ditulis sebagai i’tibar. Adz-Dzahabiy sendiri saat menjelaskan jenis jarh Abu Haatim ini berkata : ““Dengan menelaah/meneliti apa yang dikatakan Abu Haatim : ‘Laisa bil-qawiy’; maka yang dimaksudkan dengannya adalah orang ini tidak mencapat tingkatan (paling atas) kuat dan tetap/teguh (qawiy tsabat)” [Al-Muuqidhah, hal. 83].
Jarh An-Nasaa’iy (laisa bil-qawiy); maka Adz-Dzahabiy berkata : “Telah dikatakan tentang sekelompok (perawi) : ‘Laisa bil-qawiy’, namun ia tetap digunakan sebagai hujjah’. An-Nasa’i telah berkata mengenai sejumlah perawi yang dihukumi dengan laisa bil-qawiy dan ia masukkan dalam kitabnya (As-Sunan) : ‘Perkataan kami mengenai ‘laisa bil-qawiy’ adalah tidak memberikan jarh yang merusakkan (kedudukannya)’ [Al-Muuqidhah, hal. 82]. Jarh ini termasuk salah satu jarh paling ringan dalam klasifkasi jarh ‘dla’iif’ [lihat Al-Mughniy hal. 87]. Apalagi kemudian An-Nasaa’iy sendiri mengatakan : “Laisa bihi ba’s (tidak mengapa dengannya)”.
Jarh Ad-Daaruquthniy dan Al-Bazzaar bahwa jika Al-Haarits itu bersendirian (tafarrud) dalam periwayatan, maka tidak digunakan sebagai hujjah; ini adalah pelemahan dari sisi dlabth. Riwayatnya lemah jika tidak adamutaba’ah atau syaahid.
Jarh Ibnu Sa’d pun tidak bisa diarahkan untuk menguatkan ta’yin dusta. Pernyataan bahwa Al-Haarits mempunyai perkataan buruk, maka ini tidak dijelaskan. Apakah perkataan buruk ini terkait dengan bid’ah atau yang lainnya. Adapun perkataan lanjutannya bahwa ia dla’iif dalam riwayatnya (dla’iif fii riwayatih), maka ia ekuivalen dengan jarh : dla’iif, atau dla’iiful-hadiits. Orang yang diberikan predikat ini adalah orang yang haditsnya ditulis, tidak ditinggalkan, dan bisa dijadikan i’tibar [lihat Al-Khulaashah, hal. 326].
Jarh Ibnu Hibbaan Ibnu bahwa ia berlebih-lebihan dalam tasyayyu’ dan lemah dalam hadits; merupakan salah satu kemungkinan penjelas dari perkataan Ibnu Sa’d. Maksudnya, perkataan jelek yang dinisbatkan kepada Al-Haarits karena sifat ghulluw-nya terhadap madzhab Syi’ah. Dan riwayatnya lemah – penjelasannya silakan ditengok di atas.
Jarh Ibnu ‘Adiy (’aamatun maa yarwihi ghairu mahfudh) kedudukannya sama dengan laisa bi-mahfuudhil-hadiits. Maksudnya, perawi ini tidak kuat lagi dla’iif. Haditsnya dapat dipakai jika ia punya mutaba’at atau syawaahid [lihat Al-Mughniy, hal. 89]. Jarh ini menunjukkan kurangnya sifat dlabth.
Pernyataan bahwa ‘Abdurrahman bin Mahdiy meninggalkan hadits Al-Haarits merupakan jarh yang kurang mu’tamad. Maksudnya, jarh jenis ini masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Hal ini dikarenakan banyak faktor/sebab seorang ahli hadits meninggalkan riwayat seorang perawi. Apakah ia meninggalkan karena kekurangan sifat dlabth-nya, gugur ‘adalah-nya, atau penetapan kebid’ahannya ?
Dari sini apakah kita akan membutakan diri – sebagaimana rekan Rafidliy kita ini – akan pernyataan para imam ini. Ditambah lagi dengan lafadh-lafadh yang mengandung makna ta’dil.
Bagaimana kita mengkompromikan ? Tentu saja kita tidak merasa enggan untuk
melakukannya sebagaimana keengganan rekan Rafidliy kita – karena mungkin akan
merugikan madzhabnya.
Asy-Sya’biy mengatakan bahwa ia berselisih dengan Al-Haarits. Namun ia juga belajar ilmu hitung kepada Al-Haarits, dan kemudian Asy-Sya’biy memujinya bahwa ia orang yang paling ahli dalam ilmu itu. Perkataannya ini menandakan bahwa ia tidak memutlakkan dusta kepada Al-Haarits. Para ulama telah menetapkan bahwa asal dari seorang pendusta – yang telah jelas diketahui kedustaannya – adalah tidak diambil ilmunya; baik ilmu hitung, terlebih lagi ilmu hadits. Ditambah lagi, Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan tetap menerima riwayat Al-Haarits yang berasal dari Asy-Sya’biy – bersamaan dengan pengetahuan Yahyaa akan jarh Asy-Sya’biy kepada Al-Haarits. Juga, kita ketahui bahwa Yahyaa Al-Qaththaan adalah termasuk ulama yang keras dalamjarh terhadap perawi.
Ada kemungkinan ulama lain yang mendustakannya bersandar kepada perkataan Asy-Sya’biy karena ia termasuk salah seorang ashhaab dari Al-Haarits.
Oleh karena itu, kemungkinan pendustaan Asy-Sya’biy ini adalah karena pendustaan terhadap bid’ahnya yang berlebih-lebihan dalam tasyayyu’. Adapun perihal dirinya sendiri, ia seorang yang jujur, punya keutamaan, namun lemah dalam penyampaian riwayat hadits.
Dan perlu diketahui bahwa sebagian muhadditsiin menetapkan sifat kadzdzaab kepada perawi yang ghulluwdalam bid’ahnya. Contohnya Ibnu Ma’iin saat mengomentari Talid bin Sulaimaan Al-Muhaarabiy sebagaimana tercantum dalam Taariikh Baghdaad. Silakan baca penjelasan jarh ini dalam Syifaaul-‘Aliil hal. 343.
Metode penjamakan ini adalah lebih tepat dan ‘adil. Apalagi perkataan ini ada salaf (pendahulu)-nya, yaitu Ahmad bin Shaalih, Ibnu Hibbaan, Ibnu Sa’d, Adz-Dzahabiy, dan juga Ibnu Hajar.
[lihat selengkapnya data tentang Al-Haarits bin Al-A’war dalam : Adl-Dlu’afaa Ash-Shaghiir no. 60, Ahwaalur-Rijaal hal. 41-43 no. 10, Tahdziibul-Kamaal 5/244-253 no. 1025, Tahdziibut-Tahdziib 2/145-147 no. 248, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 1/142 no. 742, Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 4/152-155 no. 54, Al-Majruuhiin 1/264-265 no. 200, Al-Jarh wat-Ta’diil 3/78-79 no. 363, dan yang lainnya].
Rekan Raafidliy tersebut berkata :
Tidak masalah bagi kami jika nashibi itu menolak pernyataan mudltharib. Yang aneh adalah nashibi itu membantah pernyataan mudltharib dengan menunjukkan ketsiqahan Asy-Sya’bi, padahal telah ma’ruf diketahui kalau seorang yang tsiqat bisa sajamengalami idlthirab pada haditsnya, lagi-lagi ia menunjukkan sikap seolah-olah ia sangat awam dalam masalah ini.
Hadits Asy-Sya’biy memang tidak mudltharib.
‘Alaa kulli haal, lagi-lagi rekan Raafidliy kita ini menampakkan ketidakcermataannya. Saya tidak tahu apakah ada faktor kesengajaan atau tidak. Faktor ketsiqahan dalam penerimaan riwayat mutlak. Tapi di sini saya bukan hanya mengatakan faktor tsiqah saja, namun juga ketinggian dlabth. Bukankah saya mengatakan :
Asy-Sya’biy adalah seorang yang tsiqah yang disepakati ke-tsiqah-annya. Mempunyai banyak hadits. Bahkan para ulama mensifatkan, tidak ada orang yang lebih berilmu dan faqih daripadanya di jamannya.Dan ia juga disifati dengan ketinggian dlabth, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Syubrumah dari Asy-Sya’biy sendiri, dimana ia berkata : “….Tidaklah seseorang yang meriwayatkan hadits kepadaku melainkan aku menghapalnya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/323]. Jadi, bukan suatu hal yang aneh jika ia mempunyai banyak jalan riwayat akan hadits ini sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Inilah yang saya tekankan. Jadi bukan menjadi masalah jika ada seorang perawi punya banyak jalan pengambilan riwayat. Bahasan dlabth ini sebenarnya sudah ma’ruf. Namun saya tidak tahu kalau hal itu terlalu asing bagi rekan Rafidliy kita ini.
Asy-Sya’biy mengatakan bahwa ia berselisih dengan Al-Haarits. Namun ia juga belajar ilmu hitung kepada Al-Haarits, dan kemudian Asy-Sya’biy memujinya bahwa ia orang yang paling ahli dalam ilmu itu. Perkataannya ini menandakan bahwa ia tidak memutlakkan dusta kepada Al-Haarits. Para ulama telah menetapkan bahwa asal dari seorang pendusta – yang telah jelas diketahui kedustaannya – adalah tidak diambil ilmunya; baik ilmu hitung, terlebih lagi ilmu hadits. Ditambah lagi, Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan tetap menerima riwayat Al-Haarits yang berasal dari Asy-Sya’biy – bersamaan dengan pengetahuan Yahyaa akan jarh Asy-Sya’biy kepada Al-Haarits. Juga, kita ketahui bahwa Yahyaa Al-Qaththaan adalah termasuk ulama yang keras dalamjarh terhadap perawi.
Ada kemungkinan ulama lain yang mendustakannya bersandar kepada perkataan Asy-Sya’biy karena ia termasuk salah seorang ashhaab dari Al-Haarits.
Oleh karena itu, kemungkinan pendustaan Asy-Sya’biy ini adalah karena pendustaan terhadap bid’ahnya yang berlebih-lebihan dalam tasyayyu’. Adapun perihal dirinya sendiri, ia seorang yang jujur, punya keutamaan, namun lemah dalam penyampaian riwayat hadits.
Dan perlu diketahui bahwa sebagian muhadditsiin menetapkan sifat kadzdzaab kepada perawi yang ghulluwdalam bid’ahnya. Contohnya Ibnu Ma’iin saat mengomentari Talid bin Sulaimaan Al-Muhaarabiy sebagaimana tercantum dalam Taariikh Baghdaad. Silakan baca penjelasan jarh ini dalam Syifaaul-‘Aliil hal. 343.
Metode penjamakan ini adalah lebih tepat dan ‘adil. Apalagi perkataan ini ada salaf (pendahulu)-nya, yaitu Ahmad bin Shaalih, Ibnu Hibbaan, Ibnu Sa’d, Adz-Dzahabiy, dan juga Ibnu Hajar.
[lihat selengkapnya data tentang Al-Haarits bin Al-A’war dalam : Adl-Dlu’afaa Ash-Shaghiir no. 60, Ahwaalur-Rijaal hal. 41-43 no. 10, Tahdziibul-Kamaal 5/244-253 no. 1025, Tahdziibut-Tahdziib 2/145-147 no. 248, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 1/142 no. 742, Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 4/152-155 no. 54, Al-Majruuhiin 1/264-265 no. 200, Al-Jarh wat-Ta’diil 3/78-79 no. 363, dan yang lainnya].
Rekan Raafidliy tersebut berkata :
Tidak masalah bagi kami jika nashibi itu menolak pernyataan mudltharib. Yang aneh adalah nashibi itu membantah pernyataan mudltharib dengan menunjukkan ketsiqahan Asy-Sya’bi, padahal telah ma’ruf diketahui kalau seorang yang tsiqat bisa sajamengalami idlthirab pada haditsnya, lagi-lagi ia menunjukkan sikap seolah-olah ia sangat awam dalam masalah ini.
Hadits Asy-Sya’biy memang tidak mudltharib.
‘Alaa kulli haal, lagi-lagi rekan Raafidliy kita ini menampakkan ketidakcermataannya. Saya tidak tahu apakah ada faktor kesengajaan atau tidak. Faktor ketsiqahan dalam penerimaan riwayat mutlak. Tapi di sini saya bukan hanya mengatakan faktor tsiqah saja, namun juga ketinggian dlabth. Bukankah saya mengatakan :
Asy-Sya’biy adalah seorang yang tsiqah yang disepakati ke-tsiqah-annya. Mempunyai banyak hadits. Bahkan para ulama mensifatkan, tidak ada orang yang lebih berilmu dan faqih daripadanya di jamannya.Dan ia juga disifati dengan ketinggian dlabth, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Syubrumah dari Asy-Sya’biy sendiri, dimana ia berkata : “….Tidaklah seseorang yang meriwayatkan hadits kepadaku melainkan aku menghapalnya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/323]. Jadi, bukan suatu hal yang aneh jika ia mempunyai banyak jalan riwayat akan hadits ini sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Inilah yang saya tekankan. Jadi bukan menjadi masalah jika ada seorang perawi punya banyak jalan pengambilan riwayat. Bahasan dlabth ini sebenarnya sudah ma’ruf. Namun saya tidak tahu kalau hal itu terlalu asing bagi rekan Rafidliy kita ini.
Ia berkata :
Perkataan Nashibi ini hanya basa-basi yang biasa dilontarkan oleh orang yang sudah kehabisan kata-kata. Pernyataannya : ‘hadits ini mempunyai lebih dari satu jalan’ hanyalah angan-angan semata [alias tidak ada buktinya]. Tidak ada riwayat Asy-Sya’biy yang tsabit dalam hadits ini kecuali riwayatnya dari Al-Harits dari Ali.
Inilah satu keanehan yang terlalu vulgar untuk dibaca. Lantas, apa gerangan yang menyebabkan ia menghukumi bahwa riwayat Asy-Sya’bi itu mudltharib kalau bukan karena keyakinannya ia punya lebih dari satu jalan periwayatan ? Mengkais-kais seribu cara untuk melemahkan riwayat – walau kadang keluar dari keilmuan standar – ?
Ini dia yang saya katakan :
Jadi, bukan suatu hal yang aneh jika ia mempunyai banyak jalan riwayat akan hadits ini sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengambil riwayat dari beberapa orang dan menyampaikannya pada beberapa orang, sehingga diketahui hadits ini mempunyai lebih dari satu jalan.
Ini pernyataan umum yang saya katakan untuk menyanggah klaim idlthirab dari Asy-Sya’biy. Karena sangat dimungkinkan bagi orang seperti Asy-Sya’bi ini punya beberapa jalan periwayatan. Mungkin saja ketika menulis, rekan Rafidliy ini tidak berpikir dengan apa yang ia tulis.
Saya juga telah jelaskan bagaimana menyikapi riwayat mursal Asy-Sya’biy yang ia anggap sebagai permasalahan idlthirab. Ringkasnya, klaim idlthirabnya adalah lemah. Dan anehnya ia akhirnya kembali memberi kesimpulan aneh :
Riwayat Asy-Sya’bi yang tsabit adalah riwayatnya dari Al-Harits yang dla’if dan kedla’ifannya terletak pada ‘adalah Al-Harits.
Plin-plan ? Kalau sadar yang tsabit hanya satu jalan riwayat (yang dengan itu memberikan pemahaman bahwa riwayat lain yang telah ia sebutkan sendiri tidak tsabit), hendaknya ia menghapus klaim idlthirabnya. Kita tunggu. Adapun pembahasan Al-Haarits, silakan menengok apa yang telah dituliskan.
Perkataan Nashibi ini hanya basa-basi yang biasa dilontarkan oleh orang yang sudah kehabisan kata-kata. Pernyataannya : ‘hadits ini mempunyai lebih dari satu jalan’ hanyalah angan-angan semata [alias tidak ada buktinya]. Tidak ada riwayat Asy-Sya’biy yang tsabit dalam hadits ini kecuali riwayatnya dari Al-Harits dari Ali.
Inilah satu keanehan yang terlalu vulgar untuk dibaca. Lantas, apa gerangan yang menyebabkan ia menghukumi bahwa riwayat Asy-Sya’bi itu mudltharib kalau bukan karena keyakinannya ia punya lebih dari satu jalan periwayatan ? Mengkais-kais seribu cara untuk melemahkan riwayat – walau kadang keluar dari keilmuan standar – ?
Ini dia yang saya katakan :
Jadi, bukan suatu hal yang aneh jika ia mempunyai banyak jalan riwayat akan hadits ini sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengambil riwayat dari beberapa orang dan menyampaikannya pada beberapa orang, sehingga diketahui hadits ini mempunyai lebih dari satu jalan.
Ini pernyataan umum yang saya katakan untuk menyanggah klaim idlthirab dari Asy-Sya’biy. Karena sangat dimungkinkan bagi orang seperti Asy-Sya’bi ini punya beberapa jalan periwayatan. Mungkin saja ketika menulis, rekan Rafidliy ini tidak berpikir dengan apa yang ia tulis.
Saya juga telah jelaskan bagaimana menyikapi riwayat mursal Asy-Sya’biy yang ia anggap sebagai permasalahan idlthirab. Ringkasnya, klaim idlthirabnya adalah lemah. Dan anehnya ia akhirnya kembali memberi kesimpulan aneh :
Riwayat Asy-Sya’bi yang tsabit adalah riwayatnya dari Al-Harits yang dla’if dan kedla’ifannya terletak pada ‘adalah Al-Harits.
Plin-plan ? Kalau sadar yang tsabit hanya satu jalan riwayat (yang dengan itu memberikan pemahaman bahwa riwayat lain yang telah ia sebutkan sendiri tidak tsabit), hendaknya ia menghapus klaim idlthirabnya. Kita tunggu. Adapun pembahasan Al-Haarits, silakan menengok apa yang telah dituliskan.
HADITS ‘ALIY BIN ABI THALIB DARI JALUR AL-HASAN BIN ‘ALIY BIN ABI THAALIB
Rekan Rafidliy itu mengatakan yang ia klaim sesuatu hal yang lucu :
Silakan Pembaca mengingat-ingat kembali pembahasan soal hadits : ‘Jika kamu melihat Mu’awiyyah di mimbarku maka bunuhlah ia’. Pada pembahasan hadits tersebut kami membawakan sanad Al-Baladzuri yang jayyid. Saudara nashibi itu membantah dengan mencacatkan salah seorang perawinya yaitu Sallam Abul-Mundzir padahal yang menjarhnya hanya Ibnu Ma’in dan Sallam telah dita’dilkan oleh para ulama lain. Lucunya dahulu ia berpegang pada pendhaifan Ibnu Ma’in dan sekarang ia berkata Ibnu Ma’in yterkenal tasyaddud dan jarh-nya harus disesuaikan dengan imam yang lain. Kemana perkataan nashibi itu mencacatkan Sallam Abul-Mundzir, aneh sekali bukan ?.
Ya, memang aneh. Saya sarankan rekan Rafidliy tersebut – dan juga pendukungnya yang selalu menantikan ulasannya – membaca kembali apa yang telah saya tulis. Apakah perkataannya itu akurat atau hanya mengada-ada ?
Dalam pembahasan riwayat Sallaam Abul-Mundzir, bukankah saya waktu itu berpegang pada perkataan Ibnu Ma’iin dan As-Saajiy ? Ibnu Ma’iin mengatakan : ‘Laa syai’ (tidak ada apa-apanya). Dan untuk As-Saajiy, maka ia mengatakan : “Shaduuq yahimu, laisa bi-mutqinin fil-hadiits (jujur kadang salah, tidak mutqin dalam hadiits)”. Lupa dengan yang satu ini ? Jadi jarh Ibnu Ma’in ini tidak lah bersendirian. Bahkan jarh kepada Sallaam ini menjadi mufassar saat As-Saajiy mengatakan bahwa ia tidak mutqin dalam hadits.
Nah, apakah yang ini sama dengan yang itu ? Coba direnung-renung sedikit barangkali nanti dapat pencerahan.
Ia kemudian mengatakan :
Nashibi ini maaf tidak memahami dengan baik letak kemungkaran hadits hadits Hasan bin Zaid. Lafaz ‘dan para pemudanya’ adalah lafaz yang mungkar dan bertentangan dan bertentangan dengan khabar shahih. Asal kemungkaran ini hanya bisa dikembalikan pada Hasan bin Zaid karena ia diperbincangkan dan dikenal meriwayatkan hadits-hadits munkar……. Jadi Hasan bin Zaid tertuduh dalam hadits ini dalam hadits ini dan jelas hadits munkar tidak bisa dijadikan hujjah…...
Perkataan ini kurang bermanfaat sebagaimana biasa.
Sebenarnya yang dipermasalahkan adalah tambahan lafadh : وشبابها (“dan para pemudanya”), karena tambahan ini tidak dijumpai dalam jalan-jalan yang lain selain jalan ini – dimana ia dianggap bertentangan dengan hadits Al-Hasan dan Al-Husain (sebagai pemimpin pemuda ahli surga). Saya sepakat dengan ini. Tambahan ini tidak mahfudh. Permasalahan di sini bukan dalam kelemahan sanad (karena sanadnya adalah hasan), namun kelemahan sebagian matannya.
Sebagaimana telah diterangkan dalam buku-buku ilmu hadits, bahwa terkadang ada satu hadits shahih, namun matan/lafadhnya tidaklah shahih secara keseluruhan. Bisa dikarenakan syudzudz, idraj, atau yang lainnya. Begitu pula sebaliknya, ada satu hadits dla’if, namun ada sebagian matannya yang shahih karena dikuatkan oleh yang lainnya.
Hadits ini termasuk bahasan pertama. Ia adalah hadits hasan, namun ada sebagian lafadhnya yang tidak shahih karena memuat tambahan yang tidak diriwayatkan oleh riwayat yang lain – atau ber-tafarrud; dan/atau bertentangan secara dhahir dengan hadits yang lainnya.
Rekan Rafidliy itu mengatakan yang ia klaim sesuatu hal yang lucu :
Silakan Pembaca mengingat-ingat kembali pembahasan soal hadits : ‘Jika kamu melihat Mu’awiyyah di mimbarku maka bunuhlah ia’. Pada pembahasan hadits tersebut kami membawakan sanad Al-Baladzuri yang jayyid. Saudara nashibi itu membantah dengan mencacatkan salah seorang perawinya yaitu Sallam Abul-Mundzir padahal yang menjarhnya hanya Ibnu Ma’in dan Sallam telah dita’dilkan oleh para ulama lain. Lucunya dahulu ia berpegang pada pendhaifan Ibnu Ma’in dan sekarang ia berkata Ibnu Ma’in yterkenal tasyaddud dan jarh-nya harus disesuaikan dengan imam yang lain. Kemana perkataan nashibi itu mencacatkan Sallam Abul-Mundzir, aneh sekali bukan ?.
Ya, memang aneh. Saya sarankan rekan Rafidliy tersebut – dan juga pendukungnya yang selalu menantikan ulasannya – membaca kembali apa yang telah saya tulis. Apakah perkataannya itu akurat atau hanya mengada-ada ?
Dalam pembahasan riwayat Sallaam Abul-Mundzir, bukankah saya waktu itu berpegang pada perkataan Ibnu Ma’iin dan As-Saajiy ? Ibnu Ma’iin mengatakan : ‘Laa syai’ (tidak ada apa-apanya). Dan untuk As-Saajiy, maka ia mengatakan : “Shaduuq yahimu, laisa bi-mutqinin fil-hadiits (jujur kadang salah, tidak mutqin dalam hadiits)”. Lupa dengan yang satu ini ? Jadi jarh Ibnu Ma’in ini tidak lah bersendirian. Bahkan jarh kepada Sallaam ini menjadi mufassar saat As-Saajiy mengatakan bahwa ia tidak mutqin dalam hadits.
Nah, apakah yang ini sama dengan yang itu ? Coba direnung-renung sedikit barangkali nanti dapat pencerahan.
Ia kemudian mengatakan :
Nashibi ini maaf tidak memahami dengan baik letak kemungkaran hadits hadits Hasan bin Zaid. Lafaz ‘dan para pemudanya’ adalah lafaz yang mungkar dan bertentangan dan bertentangan dengan khabar shahih. Asal kemungkaran ini hanya bisa dikembalikan pada Hasan bin Zaid karena ia diperbincangkan dan dikenal meriwayatkan hadits-hadits munkar……. Jadi Hasan bin Zaid tertuduh dalam hadits ini dalam hadits ini dan jelas hadits munkar tidak bisa dijadikan hujjah…...
Perkataan ini kurang bermanfaat sebagaimana biasa.
Sebenarnya yang dipermasalahkan adalah tambahan lafadh : وشبابها (“dan para pemudanya”), karena tambahan ini tidak dijumpai dalam jalan-jalan yang lain selain jalan ini – dimana ia dianggap bertentangan dengan hadits Al-Hasan dan Al-Husain (sebagai pemimpin pemuda ahli surga). Saya sepakat dengan ini. Tambahan ini tidak mahfudh. Permasalahan di sini bukan dalam kelemahan sanad (karena sanadnya adalah hasan), namun kelemahan sebagian matannya.
Sebagaimana telah diterangkan dalam buku-buku ilmu hadits, bahwa terkadang ada satu hadits shahih, namun matan/lafadhnya tidaklah shahih secara keseluruhan. Bisa dikarenakan syudzudz, idraj, atau yang lainnya. Begitu pula sebaliknya, ada satu hadits dla’if, namun ada sebagian matannya yang shahih karena dikuatkan oleh yang lainnya.
Hadits ini termasuk bahasan pertama. Ia adalah hadits hasan, namun ada sebagian lafadhnya yang tidak shahih karena memuat tambahan yang tidak diriwayatkan oleh riwayat yang lain – atau ber-tafarrud; dan/atau bertentangan secara dhahir dengan hadits yang lainnya.
Di sini yang lemah hanyalah tambahan lafadh dan para pemudanya. Inilah yang lemah.
Adapun yang lain, maka ia hasan.
Sampai di sini pun sebenarnya sudah mencukupi hujjah saya dalam hal ini.
Jika rekan Rafidliy kita sering mengutip penjelasan Basyar ‘Awwad dan Al-Arna’uth dalam At-Tahriir, maka silakan pula lihat praktek mereka dalam hal ini dalam bahasan takhrij mereka, insya Allah akan menemukan sebagaimana yang saya isyaratkan. Misalnya dalam takhrij Shahih Ibni Hibbaan atau Musnad Ahmad yang ditulis oleh Al-Arna’uth.
Tambahan lagi, bukankah dalam Asy-Syarii’ah (3/68-69 no. 1376) tidak ada tambahan lafadh وشبابها (“dan para pemudanya”) sehingga mengkonsekuensikan riwayat ini dengan lafadhnya bersih dari kritikan ?
Klaimnya bahwa riwayat Asy-Syaari’ah ini tidak ada nilainya, ya terserah saja. Bagi saya perkataan tersebut tidak ada nilainya karena memang telah tsabit jalan ini dari apa yang dikritiknya tentang tambahan lafadh. Saya hanya ingin mengucapkan : ‘Selamat belajar kembali ilmu mushthalah’.
Sampai di sini pun sebenarnya sudah mencukupi hujjah saya dalam hal ini.
Jika rekan Rafidliy kita sering mengutip penjelasan Basyar ‘Awwad dan Al-Arna’uth dalam At-Tahriir, maka silakan pula lihat praktek mereka dalam hal ini dalam bahasan takhrij mereka, insya Allah akan menemukan sebagaimana yang saya isyaratkan. Misalnya dalam takhrij Shahih Ibni Hibbaan atau Musnad Ahmad yang ditulis oleh Al-Arna’uth.
Tambahan lagi, bukankah dalam Asy-Syarii’ah (3/68-69 no. 1376) tidak ada tambahan lafadh وشبابها (“dan para pemudanya”) sehingga mengkonsekuensikan riwayat ini dengan lafadhnya bersih dari kritikan ?
Klaimnya bahwa riwayat Asy-Syaari’ah ini tidak ada nilainya, ya terserah saja. Bagi saya perkataan tersebut tidak ada nilainya karena memang telah tsabit jalan ini dari apa yang dikritiknya tentang tambahan lafadh. Saya hanya ingin mengucapkan : ‘Selamat belajar kembali ilmu mushthalah’.
HADITS ‘ALIY BIN ABI THAALIB DARI JALUR ZIRR BIN HUBAISY
Dengan ketidaktahuannya rekan Raafidlah tersebut berbicara tanpa ilmu ketika membahas diri Al-Mufadldlal bin Fadlaalah :
Perkataan An-Nasaa’i : ‘tidak kuat’ pada asalnya adalah perkataan yang bersifat jarh [cacat] tetapi karena beliau dikenal tasyaddud maka bisa saja ditafsirkan ini berarti hadits perawi tersebut hasan dan kedhaifannya terletak pada hapalannya. Tetapi tentu saja penafsiran ini dipakai kalau perawi yang dimaksud telah tetap penta’dilannya oleh ulama lain yang mu’tabar…...
Bagi yang mengerti dan pernah belajar (atau setidaknya membaca) buku ilmu jarh wa ta’dil, tentu akan tersenyum geli membaca ini.
Para ulama ketika menjelaskan satu lafadh jarh atau ta’dil adalah murni dari makna lafadh itu sendiri. Lain halnya jika kita menghukumi satu riwayat yang dibawakan satu perawi dimana padanya tercampur antara jarh dan ta’dil dari para ulama; maka ini perlu penelitian. Perkataan satu ulama, baik jarh atau ta’dil, harus dilihat perbandingannya dengan ulama lain, sehingga hasil akhirnya didapatkan apakah hadits perawi tersebut dla’if atau shahih.
An-Nasa’iy mengatakan : laisa bil-qawiy. Silakan rekan-rekan membaca kembali apa makna lafadh ini sebagaimana diterangkan oleh Adz-Dzahabiy dalam Al-Muuqidhah di atas.
Kata rekan Rafidliy tersebut :
Begitu pula dengan perkataan Abu Hatim ‘ditulis haditsnya’, bukanlah suatu ta’dil mu’tamad karena telah ma’ruf bahwa perawi dla’if pun ditulis haditsnya.
Jika yang ia katakan tentang ta’dil yang mu’tamad maksudnya adalah ta’dil yang memberikan konsekuensi diterima haditsnya dan dijadikan hujjah, maka saya sepakat bahwa lafadh itu bukan ta’dil yang mu’tamad. Namun jika yang ia maksudkan itu bukan jenis lafadh ta’dil, maka keliru. Perkataan ‘ditulis haditsnya’merupakan jenis lafadh ta’dil pada tingkatan paling rendah yang mendekati jarh. Dan konsekuensi dari lafadh ini adalah kedla’ifan.
Abu Haatim berkata : laa yuktabu haditsuhu. Para ulama telah menerangkan makna lafadh jarh Abu Haatim ini, yaitu : bahwa ia adalah perawi yang dla’if (dla’if li-dzaatihi), namun haditsnya baik untuk dijadikan i’tibar [lihat Al-Khulaashah hal. 314-315].
Rekan Rafidliy kita kembali mengeluarkan suara ajaibnya :
Ibnu Hajar dalam At-Taqrib menyebutkan dengan perkataan “dhaif”. Di sisi Ibnu Hajar (dalam At-Taqrib) jarh ini berada pada tingkatan kedelapan yaitu perawi dimana tidak ada ulama mu’tabar yang mentautsiq-nya, dhaif mutlak dan tidak bisa dijadikan i’tibar. Begitu pula disebutkan dalam Tahrir At-Taqrib no. 6857 dimana penulis menyepakati pendapat Ibnu Hajar yang menyatakan ‘dhaif’. Dan dalam muqaddimah disebutkan bahwa perkataan ‘dhaif’ saja tanpa ‘yu’tabaru bihi’ berarti perawinya dhaif mutlak dan tidak bisa dijadikan mutaba’ah dan syawaahid.
Perkataan ini juga termasuk ulasannya yang tidak akurat. Ia telah mencampur-adukkan antara ijtihad Ibnu Hajar dengan ijtihad Dr. Basyar ‘Awwaad dan Syu’aib Al-Arna’uth.
Dalam kitab At-Tahriir, Dr. Basyar ‘Awwaar dan Syu’aib Al-Arna’uth seringkali tidak sependapat dengan Ibnu Hajar, baik dalam ta’dil maupun tajrih. Manhaj Ibnu Hajar dalam kitab-kitabnya saat mendla’ifkan perawi kebanyakan tidak menggunakan istilah yu’tabaru bihi. Ia merupakan istilah khusus yang digunakan Dr. Basyar ‘Awwad dan Syu’aib Al-Arna’uth dalam kitab At-Tahriir untuk membedakan dla’if yang bisa dijadikan i’tibar dan yang tidak saat mentahqiq At-Taqrib. Jadi, apa yang dikatakan oleh rekan Rafidlah itu bukan perkataan dari Ibnu Hajar. Bisa dilihat pernyataan penulis kitab At-Tahriir dalam muqaddimah tahqiiq juz 1 halaman 46-47.
Dengan ketidaktahuannya rekan Raafidlah tersebut berbicara tanpa ilmu ketika membahas diri Al-Mufadldlal bin Fadlaalah :
Perkataan An-Nasaa’i : ‘tidak kuat’ pada asalnya adalah perkataan yang bersifat jarh [cacat] tetapi karena beliau dikenal tasyaddud maka bisa saja ditafsirkan ini berarti hadits perawi tersebut hasan dan kedhaifannya terletak pada hapalannya. Tetapi tentu saja penafsiran ini dipakai kalau perawi yang dimaksud telah tetap penta’dilannya oleh ulama lain yang mu’tabar…...
Bagi yang mengerti dan pernah belajar (atau setidaknya membaca) buku ilmu jarh wa ta’dil, tentu akan tersenyum geli membaca ini.
Para ulama ketika menjelaskan satu lafadh jarh atau ta’dil adalah murni dari makna lafadh itu sendiri. Lain halnya jika kita menghukumi satu riwayat yang dibawakan satu perawi dimana padanya tercampur antara jarh dan ta’dil dari para ulama; maka ini perlu penelitian. Perkataan satu ulama, baik jarh atau ta’dil, harus dilihat perbandingannya dengan ulama lain, sehingga hasil akhirnya didapatkan apakah hadits perawi tersebut dla’if atau shahih.
An-Nasa’iy mengatakan : laisa bil-qawiy. Silakan rekan-rekan membaca kembali apa makna lafadh ini sebagaimana diterangkan oleh Adz-Dzahabiy dalam Al-Muuqidhah di atas.
Kata rekan Rafidliy tersebut :
Begitu pula dengan perkataan Abu Hatim ‘ditulis haditsnya’, bukanlah suatu ta’dil mu’tamad karena telah ma’ruf bahwa perawi dla’if pun ditulis haditsnya.
Jika yang ia katakan tentang ta’dil yang mu’tamad maksudnya adalah ta’dil yang memberikan konsekuensi diterima haditsnya dan dijadikan hujjah, maka saya sepakat bahwa lafadh itu bukan ta’dil yang mu’tamad. Namun jika yang ia maksudkan itu bukan jenis lafadh ta’dil, maka keliru. Perkataan ‘ditulis haditsnya’merupakan jenis lafadh ta’dil pada tingkatan paling rendah yang mendekati jarh. Dan konsekuensi dari lafadh ini adalah kedla’ifan.
Abu Haatim berkata : laa yuktabu haditsuhu. Para ulama telah menerangkan makna lafadh jarh Abu Haatim ini, yaitu : bahwa ia adalah perawi yang dla’if (dla’if li-dzaatihi), namun haditsnya baik untuk dijadikan i’tibar [lihat Al-Khulaashah hal. 314-315].
Rekan Rafidliy kita kembali mengeluarkan suara ajaibnya :
Ibnu Hajar dalam At-Taqrib menyebutkan dengan perkataan “dhaif”. Di sisi Ibnu Hajar (dalam At-Taqrib) jarh ini berada pada tingkatan kedelapan yaitu perawi dimana tidak ada ulama mu’tabar yang mentautsiq-nya, dhaif mutlak dan tidak bisa dijadikan i’tibar. Begitu pula disebutkan dalam Tahrir At-Taqrib no. 6857 dimana penulis menyepakati pendapat Ibnu Hajar yang menyatakan ‘dhaif’. Dan dalam muqaddimah disebutkan bahwa perkataan ‘dhaif’ saja tanpa ‘yu’tabaru bihi’ berarti perawinya dhaif mutlak dan tidak bisa dijadikan mutaba’ah dan syawaahid.
Perkataan ini juga termasuk ulasannya yang tidak akurat. Ia telah mencampur-adukkan antara ijtihad Ibnu Hajar dengan ijtihad Dr. Basyar ‘Awwaad dan Syu’aib Al-Arna’uth.
Dalam kitab At-Tahriir, Dr. Basyar ‘Awwaar dan Syu’aib Al-Arna’uth seringkali tidak sependapat dengan Ibnu Hajar, baik dalam ta’dil maupun tajrih. Manhaj Ibnu Hajar dalam kitab-kitabnya saat mendla’ifkan perawi kebanyakan tidak menggunakan istilah yu’tabaru bihi. Ia merupakan istilah khusus yang digunakan Dr. Basyar ‘Awwad dan Syu’aib Al-Arna’uth dalam kitab At-Tahriir untuk membedakan dla’if yang bisa dijadikan i’tibar dan yang tidak saat mentahqiq At-Taqrib. Jadi, apa yang dikatakan oleh rekan Rafidlah itu bukan perkataan dari Ibnu Hajar. Bisa dilihat pernyataan penulis kitab At-Tahriir dalam muqaddimah tahqiiq juz 1 halaman 46-47.
Kembali ke istilah dla’iif dari Ibnu Hajar. Ia memang berada di tingkat
kedelapan dalam pengklasifikasian status perawi. Dari yang tingkat shahabat
sampat tingkat pendusta. Semuanya ada 12 tingkatan. Ibnu Hajar berkata ketika
menjelaskan tingkatan kedelapan :
Seorang perawi yang tidak ada yang mentsiqahkannya dan dia dilemahkan meskipun tidak dijelaskan sebab-sebab kelemahannya (tidak mufassar), maka ia diisyaratkan dengan lafadh dla’iif.
Oleh karena itu para ulama telah menjelaskan bahwa lafadh dla’iif dari Ibnu Hajar ini adalah lafadh jarh yang umum (mujmal). Harus dilihat qarinah yang ada, sehingga Ibnu Hajar bisa memberi kesimpulan dengannya.
Dalam kasus ini, bukankah kesimpulan ini dihasilkan dari perkataan An-Nasaa’iy dan Abu Haatim dimana keduanya mengisyaratkan riwayat dari Al-Mufadldlal ini bisa dijadikan i’tibar ?
Dan perlu saya tambahkan agar tidak tercecer, bahwa Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. At-Tirmidziy berkata : “Seorang Syaikh daerah Bashrah. Dan Al-Mufadldlal bin Fadlaalah Al-Mishriy lebih tsiqah dan masyhur darinya”. Ibnul-Madiniy berkata : “Pada haditsnya terdapat nakarah” [Tahdziibul-Kamaal, 28/415].
Perkataan Ibnul-Madiniy merupakan jenis jarh. Namun ia bukan jenis jarh yang menunjukkan kelemahan perawi secara asal. Karena nakarah dalam riwayat ini bisa berasal darinya atau selain dirinya. Bisa jadi ia seorang yang dla’if, tsiqah atau shaduuq; namun kemudian membawakan riwayat yang mengandung nakarah. Intinya, lafadh jarh ini mengandung ihtimaal.
Mengenai Fadlalah bin Abi Umayyah, ia adalah seorang perawi mastuur. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat (5/297). Perawi seperti ini bisa dipakai untuk i’tibar.
Rekan Rafidliy kita berkata :
Jadi bagaimana bisa hadits dengan cacat seperti ini bisa dijadikan i’tibar.
Saya berkata : “Sejak kapan hadits dla’if dikarenakan cacat perawi seperti ini tidak bisa dijadikan i’tibar ?”. Cacat sanad seperti ini adalah jenis cacat yang ringan yang bisa dikuatkan oleh riwayat lain.
Saya sarankan kepada rekan kita ini untuk baca-baca buku At-Talkhiishul-Habiir karya Ibnu Hajar (atau yang lainnya). Misalnya, ketika beliau membawakan jalan-jalan periwayatan disyari’atkannya tasmiyyah (membaca basmalah) ketika wudlu. Di situ beliau menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat tentang hal itu tidak ada yang selamat dari kedla’ifan, namun bisa saling menguatkan. Salah satu contohnya adalah hadits Abu Hurairah. Ibnu Hajar mendla’ifkan riwayat ini karena Mahmuud bin Muhammad Adh-Dhafariy dan Ayyuub bin An-Najaar. Kata Ibnu Hajar, Mahmud ini seorang yang tidak kuat (laisa bil-qawiy). Adapun Ayyuub, maka Ibnu Hajar mengisyaratkan adanya keterputusan antaranya dengan Mahmud dengan mengutip perkataan Ibnu Ma’iin bahwa Ayyuub tidak mendengar dari Mahmuud kecuali hanya satu hadits saja. Anyway, di akhir bahasan Ibnu Hajar mengatakan bahwa secara keseluruhan hadits-hadits yang ia sebutkan – termasuk hadits Abu Hurairah ini – bisa saling menguatkan sehingga derajatnya hasan lighairihi.
Masih banyak contoh dan variasi di buku itu. Juga buku yang ditulis ulama lain. Saya ucapkan selamat membaca.
Seorang perawi yang tidak ada yang mentsiqahkannya dan dia dilemahkan meskipun tidak dijelaskan sebab-sebab kelemahannya (tidak mufassar), maka ia diisyaratkan dengan lafadh dla’iif.
Oleh karena itu para ulama telah menjelaskan bahwa lafadh dla’iif dari Ibnu Hajar ini adalah lafadh jarh yang umum (mujmal). Harus dilihat qarinah yang ada, sehingga Ibnu Hajar bisa memberi kesimpulan dengannya.
Dalam kasus ini, bukankah kesimpulan ini dihasilkan dari perkataan An-Nasaa’iy dan Abu Haatim dimana keduanya mengisyaratkan riwayat dari Al-Mufadldlal ini bisa dijadikan i’tibar ?
Dan perlu saya tambahkan agar tidak tercecer, bahwa Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. At-Tirmidziy berkata : “Seorang Syaikh daerah Bashrah. Dan Al-Mufadldlal bin Fadlaalah Al-Mishriy lebih tsiqah dan masyhur darinya”. Ibnul-Madiniy berkata : “Pada haditsnya terdapat nakarah” [Tahdziibul-Kamaal, 28/415].
Perkataan Ibnul-Madiniy merupakan jenis jarh. Namun ia bukan jenis jarh yang menunjukkan kelemahan perawi secara asal. Karena nakarah dalam riwayat ini bisa berasal darinya atau selain dirinya. Bisa jadi ia seorang yang dla’if, tsiqah atau shaduuq; namun kemudian membawakan riwayat yang mengandung nakarah. Intinya, lafadh jarh ini mengandung ihtimaal.
Mengenai Fadlalah bin Abi Umayyah, ia adalah seorang perawi mastuur. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat (5/297). Perawi seperti ini bisa dipakai untuk i’tibar.
Rekan Rafidliy kita berkata :
Jadi bagaimana bisa hadits dengan cacat seperti ini bisa dijadikan i’tibar.
Saya berkata : “Sejak kapan hadits dla’if dikarenakan cacat perawi seperti ini tidak bisa dijadikan i’tibar ?”. Cacat sanad seperti ini adalah jenis cacat yang ringan yang bisa dikuatkan oleh riwayat lain.
Saya sarankan kepada rekan kita ini untuk baca-baca buku At-Talkhiishul-Habiir karya Ibnu Hajar (atau yang lainnya). Misalnya, ketika beliau membawakan jalan-jalan periwayatan disyari’atkannya tasmiyyah (membaca basmalah) ketika wudlu. Di situ beliau menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat tentang hal itu tidak ada yang selamat dari kedla’ifan, namun bisa saling menguatkan. Salah satu contohnya adalah hadits Abu Hurairah. Ibnu Hajar mendla’ifkan riwayat ini karena Mahmuud bin Muhammad Adh-Dhafariy dan Ayyuub bin An-Najaar. Kata Ibnu Hajar, Mahmud ini seorang yang tidak kuat (laisa bil-qawiy). Adapun Ayyuub, maka Ibnu Hajar mengisyaratkan adanya keterputusan antaranya dengan Mahmud dengan mengutip perkataan Ibnu Ma’iin bahwa Ayyuub tidak mendengar dari Mahmuud kecuali hanya satu hadits saja. Anyway, di akhir bahasan Ibnu Hajar mengatakan bahwa secara keseluruhan hadits-hadits yang ia sebutkan – termasuk hadits Abu Hurairah ini – bisa saling menguatkan sehingga derajatnya hasan lighairihi.
Masih banyak contoh dan variasi di buku itu. Juga buku yang ditulis ulama lain. Saya ucapkan selamat membaca.
HADITS ‘ALIY BIN ABI THAALIB DARI JALUR ‘ALIY BIN AL-HUSAIN BIN ‘ALIY BIN
ABI THAALIB
Apa yang ditulis rekan Rafidliy dalam point ini bukannya belum saya baca sebelumnya. Alhamdulillah telah saya pelajari itu, yang kemudian saya tuliskan dalam komentar yang ringkas. Dan saya akui ada kekeliruan penulisan saya pada komentar saya sebelumnya, yaitu pada point perkataan Ad-Daaruquthniy. Namun hal itu sama sekali tidak mengubah esensi tulisan saya.
Saya memandang bahwa Muhammad bin ‘Abdirrahmaan Al-Jud’aaniy (terkenal dengan : Al-Jud’aaniy) dan Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Mulaikah Al-Jud’aaniy Abu Ghiraarah (terkenal dengan : Abu Ghiraarah) adalah dua orang yang berbeda. Satu orang terkumpul padanya ta’dil. Yang lain terkumpul padanya jarh syadiid. Bukan satu hal yang mustahil ada dua orang yang berbeda namun namanya dan nama bapaknya sama, tinggal di tempat yang sama dan di waktu yang sama.
Jika mereka berdua tinggal di tempat yang sama dan di waktu yang sama, bukankah hal yang mustahil pula jika ada sebagian guru atau murid mereka sama.
Sebelumnya, sangat keliru jika rekan Rafidliy tersebut mencatut nama Adz-Dzahabiy bahwa ia menyamakan antara keduanya dengan menisbatkan pada kitab Al-Mughniy. Tidakkah ia melihat bahwa Adz-Dzahabiy membawakan dua orang tersebut di dua nomor yang berbeda (no. 5735 dan no. 5737) ? Lihat juga dalamMiizaanul-I’tidaal (3/619-620 no. 7834 dan no. 7835). Walau akurasi detail perkataan Adz-Dzahabiy juga perlu diteliti kembali.
Juga, sangat keliru mengatakan Ibnu ‘Adiy menyamakan keduanya. Memang benar, dalam penulisan biografi, Ibnu ‘Adiy menuliskan dalam satu tempat. Namun, Ibnu ‘Adiy tidak men-jazm-kan penyamaan dua orang ini. Ia mengatakan kemungkinan pembedaan ini dalam Al-Kaamil (7/397-398 no. 1664).
Apa yang ditulis rekan Rafidliy dalam point ini bukannya belum saya baca sebelumnya. Alhamdulillah telah saya pelajari itu, yang kemudian saya tuliskan dalam komentar yang ringkas. Dan saya akui ada kekeliruan penulisan saya pada komentar saya sebelumnya, yaitu pada point perkataan Ad-Daaruquthniy. Namun hal itu sama sekali tidak mengubah esensi tulisan saya.
Saya memandang bahwa Muhammad bin ‘Abdirrahmaan Al-Jud’aaniy (terkenal dengan : Al-Jud’aaniy) dan Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Mulaikah Al-Jud’aaniy Abu Ghiraarah (terkenal dengan : Abu Ghiraarah) adalah dua orang yang berbeda. Satu orang terkumpul padanya ta’dil. Yang lain terkumpul padanya jarh syadiid. Bukan satu hal yang mustahil ada dua orang yang berbeda namun namanya dan nama bapaknya sama, tinggal di tempat yang sama dan di waktu yang sama.
Jika mereka berdua tinggal di tempat yang sama dan di waktu yang sama, bukankah hal yang mustahil pula jika ada sebagian guru atau murid mereka sama.
Sebelumnya, sangat keliru jika rekan Rafidliy tersebut mencatut nama Adz-Dzahabiy bahwa ia menyamakan antara keduanya dengan menisbatkan pada kitab Al-Mughniy. Tidakkah ia melihat bahwa Adz-Dzahabiy membawakan dua orang tersebut di dua nomor yang berbeda (no. 5735 dan no. 5737) ? Lihat juga dalamMiizaanul-I’tidaal (3/619-620 no. 7834 dan no. 7835). Walau akurasi detail perkataan Adz-Dzahabiy juga perlu diteliti kembali.
Juga, sangat keliru mengatakan Ibnu ‘Adiy menyamakan keduanya. Memang benar, dalam penulisan biografi, Ibnu ‘Adiy menuliskan dalam satu tempat. Namun, Ibnu ‘Adiy tidak men-jazm-kan penyamaan dua orang ini. Ia mengatakan kemungkinan pembedaan ini dalam Al-Kaamil (7/397-398 no. 1664).
Saya sebutkan beberapa qarinah yang membedakannya, antara lain :
1. Pembedaan Ibnu Abi Haatim dengan penukilan jarh dan ta’dil yang berbeda antara kedua orang tersebut.
2. Satu orang dinisbatkan kepada Ibnu Abi Mulaikah, dan yang lain tidak.
3. Penyebutan Al-Bukhaariy dalam Ash-Shaghiir dalam dua nomor yang berbeda secara dhahir menjelaskan bahwa keduanya adalah berbeda. Dan penjelasan selanjutnya ada di point berikutnya.
4. Dari riwayat-riwayat yang ada, Abu Ghiraraah meriwayatkan dari ayahnya; sedangkan Al-Jud’aaniy tidak disebutkan. Sangat aneh jika ada yang luput dari penyebutan biografi Al-Jud’aaniy satu periwayatan dari ayahnya jika memang keduanya sama.
5. Yang punya istri yang bernama Jabrah adalah Ibnu Abi Mulaikah Abu Ghiraarah (sebagaimana terdapat dalam Al-Jarh wat-Ta’diil no. 1696, Al-Majruuhiin 2/270-271, At-Taariikh Ash-Shaghiir 2/162, dan Al-Kunaa lil-Muslim hal. 672 no. 6717). Jabrah tersebut adalah Bintu Muhammad bin Tsaabit bin Sibaa’.
Adapun penukilan Al-Bukhaariy dalam Ash-Shaghiir (2/196 – Daarul-Ma’rifah) adalah penulisan yang keliru (saaqith). Ia (Al-Bukhaariy) berkata :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdirrahman Al-Jud’aaniy, termasuk penduduk Makkah, dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar : Telah mendengar darinya Ismaa’iil bin Abi Aus, munkarul-hadiits, Al-Jud’aaniy, Ibnu Abi Bakr Al-Qurasyiy.
Telah berkata kepadaku Ismaa’iil : Aku mendengar darinya sejak 60 tahun lalu.
At-Taimiy, dari Sulaiman bin Mirqaa’ dimana ia pernah melihatnya, ia adalah suami Jabrah binti Abi Mulaikah.
Saya katakan : Riwayat ini cacat. Pertama, perkataan Al-Bukhaariy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdirrahman Al-Jud’aaniy. Ini adalah keliru. Al-Bukhariy tidak pernah meriwayatkan dari Al-Jud’aaniy. Akan tetapi yang benar ia mendapat riwayat dari Ismaa’iil. Kedua, Jika ia adalah dua orang yang sama, maka istrinya seharusnya bernama Jabrah binti Muhammad bin Tsaabit bin Sibaa’. Bukan Bintu Abi Mulaikah. Al-Bukhaariy menyebutkannya dalam Ash-Shaghiir 2/162 dan Al-Kabiir (1/157-158 no. 468) dalam biografi Muhammad bin ‘Abdirrahman Abu Ghiraarah, istrinya bernama Jabrah binti Muhammad bin Tsaabit bin Sibaa’. Oleh karena itu, ada kemungkinan yang tertulis dalam Ash-Shaghiir itu keliru atau mengalamitashhif.
6. Dan yang lainnya.
1. Pembedaan Ibnu Abi Haatim dengan penukilan jarh dan ta’dil yang berbeda antara kedua orang tersebut.
2. Satu orang dinisbatkan kepada Ibnu Abi Mulaikah, dan yang lain tidak.
3. Penyebutan Al-Bukhaariy dalam Ash-Shaghiir dalam dua nomor yang berbeda secara dhahir menjelaskan bahwa keduanya adalah berbeda. Dan penjelasan selanjutnya ada di point berikutnya.
4. Dari riwayat-riwayat yang ada, Abu Ghiraraah meriwayatkan dari ayahnya; sedangkan Al-Jud’aaniy tidak disebutkan. Sangat aneh jika ada yang luput dari penyebutan biografi Al-Jud’aaniy satu periwayatan dari ayahnya jika memang keduanya sama.
5. Yang punya istri yang bernama Jabrah adalah Ibnu Abi Mulaikah Abu Ghiraarah (sebagaimana terdapat dalam Al-Jarh wat-Ta’diil no. 1696, Al-Majruuhiin 2/270-271, At-Taariikh Ash-Shaghiir 2/162, dan Al-Kunaa lil-Muslim hal. 672 no. 6717). Jabrah tersebut adalah Bintu Muhammad bin Tsaabit bin Sibaa’.
Adapun penukilan Al-Bukhaariy dalam Ash-Shaghiir (2/196 – Daarul-Ma’rifah) adalah penulisan yang keliru (saaqith). Ia (Al-Bukhaariy) berkata :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdirrahman Al-Jud’aaniy, termasuk penduduk Makkah, dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar : Telah mendengar darinya Ismaa’iil bin Abi Aus, munkarul-hadiits, Al-Jud’aaniy, Ibnu Abi Bakr Al-Qurasyiy.
Telah berkata kepadaku Ismaa’iil : Aku mendengar darinya sejak 60 tahun lalu.
At-Taimiy, dari Sulaiman bin Mirqaa’ dimana ia pernah melihatnya, ia adalah suami Jabrah binti Abi Mulaikah.
Saya katakan : Riwayat ini cacat. Pertama, perkataan Al-Bukhaariy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdirrahman Al-Jud’aaniy. Ini adalah keliru. Al-Bukhariy tidak pernah meriwayatkan dari Al-Jud’aaniy. Akan tetapi yang benar ia mendapat riwayat dari Ismaa’iil. Kedua, Jika ia adalah dua orang yang sama, maka istrinya seharusnya bernama Jabrah binti Muhammad bin Tsaabit bin Sibaa’. Bukan Bintu Abi Mulaikah. Al-Bukhaariy menyebutkannya dalam Ash-Shaghiir 2/162 dan Al-Kabiir (1/157-158 no. 468) dalam biografi Muhammad bin ‘Abdirrahman Abu Ghiraarah, istrinya bernama Jabrah binti Muhammad bin Tsaabit bin Sibaa’. Oleh karena itu, ada kemungkinan yang tertulis dalam Ash-Shaghiir itu keliru atau mengalamitashhif.
6. Dan yang lainnya.
Penyebutan Ibnu Hibbaan dalam Al-Majruuhiin hanya satu biografi saja bukan
berarti Ibnu Hibbaan menganggap Al-Jud’aaniy dan Abu Ghiraarah itu satu. Justru
yang dituliskan Ibnu Hibbaan tersebut adalah biografi Abu Ghiraarah.
Begitu pula dengan Al-‘Uqailiy. Ia menyebutkan dalam Adl-Dlu’afaa’ (hal. 1258 no. 1660) adalah Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Bakr Al-Jud’aaniy. Ini juga bukan berarti ia menganggapnya dua orang tersebut adalah satu nama.
Sudah maklum diketahui dalam kitab biografi para perawi bahwa para ahli hadits ada yang lebih dan ada yang kurang dalam penyebutan nama-nama perawi.
Al-Albaaniy (Mu’jam Asaamiyyir-Ruwaat, 3/650) membedakan dua orang ini sebagaimana di atas dengan menyandarkan pada Ibnu Hajar dalam At-Taqriib (dimana hal ini disepakati Basyar ‘Awwad dan Al-Arna’uth).
Begitu pula dengan Al-‘Uqailiy. Ia menyebutkan dalam Adl-Dlu’afaa’ (hal. 1258 no. 1660) adalah Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Bakr Al-Jud’aaniy. Ini juga bukan berarti ia menganggapnya dua orang tersebut adalah satu nama.
Sudah maklum diketahui dalam kitab biografi para perawi bahwa para ahli hadits ada yang lebih dan ada yang kurang dalam penyebutan nama-nama perawi.
Al-Albaaniy (Mu’jam Asaamiyyir-Ruwaat, 3/650) membedakan dua orang ini sebagaimana di atas dengan menyandarkan pada Ibnu Hajar dalam At-Taqriib (dimana hal ini disepakati Basyar ‘Awwad dan Al-Arna’uth).
HADITS ANAS BIN MAALIK
Rekan Rafidliy tersebut sangat bersemangat ketika mengatakan bahwa hadits yang dibawakan oleh Muhammad bin Katsiir ini (dari Al-Auza’iy) adalah hadits munkar yang katanya ini adalah perkataan Ahmad bin Hanbal, Ibnul-Madiniy, dan Al-Bukhaariy.
Saya katakan :
Pendla’ifan dan pengingkaran Ahmad poros penyebabnya adalah pada riwayatnya yang berasal dari Ma’mar. Termasuk perkataannya di sini : fadla’afahu jiddan dan munkarul-hadiits. Yaitu, ia telah meriwayatkan hadits dari Ma’mar melalui kitabnya, lalu ia meriwayatkannya kepada orang-orang [silakan cermati : Al-Jarh wat-Ta’diil 8/69 no. 309, Al-‘Ilal no. 5109, Tartiib ‘Ilal At-Tirmidziy no. 599, Tahdziibul-Kamaal 26/331, danMausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad hal. 307-308].
Jadi, pendla’ifan dan pengingkaran Ahmad terhadap Muhammad bin Katsiir ini muqayyad dengan sebab, yaitu riwayatnya dari Ma’mar.
Sedangkan ‘Aliy bin Al-Madiiniy : Ketika disebutkan hadits sayyid kuhuul Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy, dari Qataadah, dari Anas; maka Ibnul-Madiiniy berkata : “Dulu aku menginginkan untuk melihat syaikh ini. Tapi sekarang, aku tidak senang melihatnya” [Al-Jarh wat-Ta’diil 8/69 dan Tahdziibul-Kamaal, 26/331].
Benar bahwa sikap Ibnul-Madiniy tersebut dilatarbelakangi hadits yang diriwayatkan Muhammad bin Katsiir. Namun pengingkaran di sini tidak dijelaskan sebabnya sehingga mengandung kemungkinan yang banyak. Dan tidak selalu mengkonsekuensikan hadits Muhammad bin Katsiir itu adalah hadits munkar. Sungguh jauh dan terburu-buru penilaian ini. Adanya nakarah dalam satu hadits tidak sama dengan penghukuman hadits munkar. Silakan cermati pendefinisian dua istilah ini dalam ilmu hadits.
Abu Zur’ah berkata : “Dibawakan kepadanya kitab Al-Auza’iy yang semua haditsnya tertulis : ‘Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir’. Kemudian ia membaca kepada yang lain. Ia berkata : ‘Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy….” [Al-Jarh wat-Ta’diil 8/69].
Inilah kritik yang dialamatkan kepada Muhammad bin Katsiir terhadap riwayatnya dari Al-Auza’iy – yang dalam hal ini mirip dengan kritikan riwayatnya dari Ma’mar. Riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy dan Ma’mar banyak diingkari oleh ahli hadits karena ia meriwayatkan dari kitab keduanya – yang kemudian ia meriwayatkan kepada yang lain seakan-akan bukan dari kitab (namun dari simaa’).
Abu Zur’ah di atas (dan juga Abu Haatim – sebagaimana dalam Tahdziibul-Kamaal) hanya menyampaikan khabar saja, bukan menghukumi riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy. Jadi keliru kalau ada orang yang menyimpulkan bahwa Abu Zur’ah dan Abu Haatim telah mengatakan riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy adalah munkar. Itu adalah kesimpulannya sendiri, bukan kesimpulan/perkataan Abu Zur’ah ataupun Abu Haatim. Apalagi sampai menyimpulkan bahwa keduanya memutlakkan jarh : ‘munkarul-hadiits’.
Adapun perkataan Al-Bukhaariy bahwa Muhammad bin Katsiir mempunyai riwayat-riwayat yang munkar, maka ia mengikuti perkataan Ahmad bin Hanbal [lihat At-Taariikh Al-Kabiir 1/218 no. 684, At-Taariikh Ash-Shaghiir 2/no. 2805, ’Ilal At-Tirmidziy Al-Kabiir 2/324-325 no. 599].
Rekan Rafidliy tersebut sangat bersemangat ketika mengatakan bahwa hadits yang dibawakan oleh Muhammad bin Katsiir ini (dari Al-Auza’iy) adalah hadits munkar yang katanya ini adalah perkataan Ahmad bin Hanbal, Ibnul-Madiniy, dan Al-Bukhaariy.
Saya katakan :
Pendla’ifan dan pengingkaran Ahmad poros penyebabnya adalah pada riwayatnya yang berasal dari Ma’mar. Termasuk perkataannya di sini : fadla’afahu jiddan dan munkarul-hadiits. Yaitu, ia telah meriwayatkan hadits dari Ma’mar melalui kitabnya, lalu ia meriwayatkannya kepada orang-orang [silakan cermati : Al-Jarh wat-Ta’diil 8/69 no. 309, Al-‘Ilal no. 5109, Tartiib ‘Ilal At-Tirmidziy no. 599, Tahdziibul-Kamaal 26/331, danMausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad hal. 307-308].
Jadi, pendla’ifan dan pengingkaran Ahmad terhadap Muhammad bin Katsiir ini muqayyad dengan sebab, yaitu riwayatnya dari Ma’mar.
Sedangkan ‘Aliy bin Al-Madiiniy : Ketika disebutkan hadits sayyid kuhuul Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy, dari Qataadah, dari Anas; maka Ibnul-Madiiniy berkata : “Dulu aku menginginkan untuk melihat syaikh ini. Tapi sekarang, aku tidak senang melihatnya” [Al-Jarh wat-Ta’diil 8/69 dan Tahdziibul-Kamaal, 26/331].
Benar bahwa sikap Ibnul-Madiniy tersebut dilatarbelakangi hadits yang diriwayatkan Muhammad bin Katsiir. Namun pengingkaran di sini tidak dijelaskan sebabnya sehingga mengandung kemungkinan yang banyak. Dan tidak selalu mengkonsekuensikan hadits Muhammad bin Katsiir itu adalah hadits munkar. Sungguh jauh dan terburu-buru penilaian ini. Adanya nakarah dalam satu hadits tidak sama dengan penghukuman hadits munkar. Silakan cermati pendefinisian dua istilah ini dalam ilmu hadits.
Abu Zur’ah berkata : “Dibawakan kepadanya kitab Al-Auza’iy yang semua haditsnya tertulis : ‘Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir’. Kemudian ia membaca kepada yang lain. Ia berkata : ‘Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy….” [Al-Jarh wat-Ta’diil 8/69].
Inilah kritik yang dialamatkan kepada Muhammad bin Katsiir terhadap riwayatnya dari Al-Auza’iy – yang dalam hal ini mirip dengan kritikan riwayatnya dari Ma’mar. Riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy dan Ma’mar banyak diingkari oleh ahli hadits karena ia meriwayatkan dari kitab keduanya – yang kemudian ia meriwayatkan kepada yang lain seakan-akan bukan dari kitab (namun dari simaa’).
Abu Zur’ah di atas (dan juga Abu Haatim – sebagaimana dalam Tahdziibul-Kamaal) hanya menyampaikan khabar saja, bukan menghukumi riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy. Jadi keliru kalau ada orang yang menyimpulkan bahwa Abu Zur’ah dan Abu Haatim telah mengatakan riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy adalah munkar. Itu adalah kesimpulannya sendiri, bukan kesimpulan/perkataan Abu Zur’ah ataupun Abu Haatim. Apalagi sampai menyimpulkan bahwa keduanya memutlakkan jarh : ‘munkarul-hadiits’.
Adapun perkataan Al-Bukhaariy bahwa Muhammad bin Katsiir mempunyai riwayat-riwayat yang munkar, maka ia mengikuti perkataan Ahmad bin Hanbal [lihat At-Taariikh Al-Kabiir 1/218 no. 684, At-Taariikh Ash-Shaghiir 2/no. 2805, ’Ilal At-Tirmidziy Al-Kabiir 2/324-325 no. 599].
Adapun perkataan Al-Bukhaariy bahwa Muhammad bin Katsiir mempunyai
riwayat-riwayat yang munkar, maka ia mengikuti perkataan Ahmad bin Hanbal
[lihat At-Taariikh Al-Kabiir 1/218 no. 684, At-Taariikh Ash-Shaghiir 2/no. 2805, ’Ilal At-Tirmidziy Al-Kabiir 2/324-325 no. 599].
Adapun perkataan Al-Bukhaariy dalam Al-‘Ilal bahwasannya riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy dari Qataadah dari Anas – yang dikatakan oleh rekan Rafidliy itu sebagai sanad yang munkar lagi salah (munkar khaththa’) adalah hadits : ”Senantiasa akan ada segolongan dari umatku yang akan berperang di atas kebenaran hingga hari kiamat………….
Oleh karena itu, tidak ada hujjah di sini untuk mengatakan riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy dari Qataadah dari Anas tentang sayyid kuhuul ahlil-jannah sebagai sanad yang munkar dan salah berdasarkan perkataan Al-Bukhaariy dalam Al-‘Ilal. Ringkasnya, salah alamat (lihat Al-‘Ilal no. 598).
Oleh karena itu, dalam komentar terdahulu pun saya katakan bahwa dalam kitab-kitab hadits tidak ada sanad Qatadah, dari Mutharrif, dari ‘Imraan bin Hushain tentang hadits sayyid kuhuul ahlil-jannah. Bahwasannya yang dimaksudkan oleh Al-Bukhaariy dengan sanad Qatadah, dari Mutharrif, dari ‘Imraan bin Hushain adalah hadits ath-thaaifah al-manshuurah yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 2482 dan Ahmad dalam Musnad-nya 4/429 & 437.
Tampaklah di sini bahwa rekan Rafidliy kita itu tidak paham apa yang ditulisnya. Saya tidak tahu apakah ia benar-benar membuka kitabnya atau hanya sekedar……..
Adapun perkataan Al-Bukhaariy dalam Al-Mukhtarah (di bawah hadits no. 2510); maka ini dibawakan oleh Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy. Ia (Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy) berkata :
وقال البخاري : هذا حديث منكر.
قال الترمذي : إنما أنكر محمد هذا من حديث قتادة، عن أنس، عن النبي صلى الله عليه وسلم.
“Al-Bukhaariy berkata : ‘Hadits ini munkar’.
At-Tirmidziy berkata : ‘Muhammad hanyalah mengingkari hadits yang diriwayatkan dari Qataadah, dari Anas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Al-Mukhtarah 7/97].
Tentu saja kita boleh bersikap kritis terhadap perkataan Adl-Dliyaa’ di atas.
Jika kita menengok sumber-sumber perkataan Al-Bukhaariy sebagaimana telah disebutkan di atas (terutama dalam ’Ilal At-Tirmidziy), maka yang dimaksudkan hadits munkar dari Muhammad bin Katsiir tersebut adalah hadits ath-thaaifah al-manshuurah. Bukan hadits sayyid kuhuul ahlil-jannah. Dan itulah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidziy.
Adapun perkataan Al-Bukhaariy dalam Al-‘Ilal bahwasannya riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy dari Qataadah dari Anas – yang dikatakan oleh rekan Rafidliy itu sebagai sanad yang munkar lagi salah (munkar khaththa’) adalah hadits : ”Senantiasa akan ada segolongan dari umatku yang akan berperang di atas kebenaran hingga hari kiamat………….
Oleh karena itu, tidak ada hujjah di sini untuk mengatakan riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy dari Qataadah dari Anas tentang sayyid kuhuul ahlil-jannah sebagai sanad yang munkar dan salah berdasarkan perkataan Al-Bukhaariy dalam Al-‘Ilal. Ringkasnya, salah alamat (lihat Al-‘Ilal no. 598).
Oleh karena itu, dalam komentar terdahulu pun saya katakan bahwa dalam kitab-kitab hadits tidak ada sanad Qatadah, dari Mutharrif, dari ‘Imraan bin Hushain tentang hadits sayyid kuhuul ahlil-jannah. Bahwasannya yang dimaksudkan oleh Al-Bukhaariy dengan sanad Qatadah, dari Mutharrif, dari ‘Imraan bin Hushain adalah hadits ath-thaaifah al-manshuurah yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 2482 dan Ahmad dalam Musnad-nya 4/429 & 437.
Tampaklah di sini bahwa rekan Rafidliy kita itu tidak paham apa yang ditulisnya. Saya tidak tahu apakah ia benar-benar membuka kitabnya atau hanya sekedar……..
Adapun perkataan Al-Bukhaariy dalam Al-Mukhtarah (di bawah hadits no. 2510); maka ini dibawakan oleh Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy. Ia (Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy) berkata :
وقال البخاري : هذا حديث منكر.
قال الترمذي : إنما أنكر محمد هذا من حديث قتادة، عن أنس، عن النبي صلى الله عليه وسلم.
“Al-Bukhaariy berkata : ‘Hadits ini munkar’.
At-Tirmidziy berkata : ‘Muhammad hanyalah mengingkari hadits yang diriwayatkan dari Qataadah, dari Anas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Al-Mukhtarah 7/97].
Tentu saja kita boleh bersikap kritis terhadap perkataan Adl-Dliyaa’ di atas.
Jika kita menengok sumber-sumber perkataan Al-Bukhaariy sebagaimana telah disebutkan di atas (terutama dalam ’Ilal At-Tirmidziy), maka yang dimaksudkan hadits munkar dari Muhammad bin Katsiir tersebut adalah hadits ath-thaaifah al-manshuurah. Bukan hadits sayyid kuhuul ahlil-jannah. Dan itulah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidziy.
Apa yang dikatakan di sini tentu sangat beralasan, sebab Adl-Dliyaa’ (567 –
643 H) bukan murid Al-Bukhaariy ataupun At-Tirmidziy. Besar kemungkinannya ia
mengutip dari kitab keduanya. Sedangkan yang tertulis dari kitab keduanya
adalah apa yang telah saya tuliskan di atas.
Adapun sikap Al-Bukhaariy – sebagaimana dikutip At-Tirmidziy dalam Al-‘Ilal - tentang Muhammad bin Katsiir, maka ia mengisyaratkan penyandarannya terhadap perkataan Ahmad bin Hanbal sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Yaitu, ia (Muhammad bin Katsiir) telah meriwayatkan hadits-hadits munkar (terutama dari Ma’mar).
Telah diketahui sebab pengingkaran sebagian ulama terhadap riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy (dan dari Ma’mar) adalah karena cara periwayatannya. Ia (Muhammad bin Katsiir) meriwayatkan hadits Al-Auza’iy melalui kitabnya (bukan dari sama’ atau pertemuan), yang kemudian dengan itu ia riwayatkan kepada orang lain seakan-akan ia meriwayatkan dari Al-Auza’iy melalui perantaraan sima’. Thariqah seperti ini sangat dicela oleh ahli hadits. [silakan baca sedikit bahasan ini dalam bab thuruquth-thahammul dalam mushthalah].
Model periwayatan seperti ini dihukumi munqathi’. Muhammad bin Katsiir dalam periwayatannya dari Al-Auza’iy (dan Ma’mar) menjadi tercela lagi diingkari karena ia tidak menjelaskan thariqah periwayatannya, yaitu melalui kitab (wijadah).
Pertanyaan lanjutannya, apakah memang semua riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy adalah seperti disebutkan di atas ?
Telah maklum dalam kitab-kitab hadits bahwa sebagian riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy menggunakan shighah simaa’ (misal : haddatsanaa). Termasuk riwayat Muhammad bin Katsiir dalam yang dibawakan oleh Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtarah, Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah, dan yang lainnya dalam pembahasan ini. Tidaklah mengherankan, karena Muhammad bin Katsiir termasuk ashhaab Al-Auza’iy, sebagaimana dikatakan oleh Abu Dawud [lihat : Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 3/72 no. 4131].
Oleh karena itu, perkataan yang menyatakan hadits Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy, dari Qatadah, dari Anas tentang sayyid kuhuul ahlil-jannah adalah hadits munkar dan sanadnya salah (khaththa’) adalah perkatan yang lemah. Bahkan lemah sekali.
Dengan data dan keterangan di atas, maka hadits Anas yang dibawakan Muhammad bin Katsiir adalah lemah, dan bisa dijadikan i’tibar.
Adapun sikap Al-Bukhaariy – sebagaimana dikutip At-Tirmidziy dalam Al-‘Ilal - tentang Muhammad bin Katsiir, maka ia mengisyaratkan penyandarannya terhadap perkataan Ahmad bin Hanbal sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Yaitu, ia (Muhammad bin Katsiir) telah meriwayatkan hadits-hadits munkar (terutama dari Ma’mar).
Telah diketahui sebab pengingkaran sebagian ulama terhadap riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy (dan dari Ma’mar) adalah karena cara periwayatannya. Ia (Muhammad bin Katsiir) meriwayatkan hadits Al-Auza’iy melalui kitabnya (bukan dari sama’ atau pertemuan), yang kemudian dengan itu ia riwayatkan kepada orang lain seakan-akan ia meriwayatkan dari Al-Auza’iy melalui perantaraan sima’. Thariqah seperti ini sangat dicela oleh ahli hadits. [silakan baca sedikit bahasan ini dalam bab thuruquth-thahammul dalam mushthalah].
Model periwayatan seperti ini dihukumi munqathi’. Muhammad bin Katsiir dalam periwayatannya dari Al-Auza’iy (dan Ma’mar) menjadi tercela lagi diingkari karena ia tidak menjelaskan thariqah periwayatannya, yaitu melalui kitab (wijadah).
Pertanyaan lanjutannya, apakah memang semua riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy adalah seperti disebutkan di atas ?
Telah maklum dalam kitab-kitab hadits bahwa sebagian riwayat Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy menggunakan shighah simaa’ (misal : haddatsanaa). Termasuk riwayat Muhammad bin Katsiir dalam yang dibawakan oleh Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtarah, Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah, dan yang lainnya dalam pembahasan ini. Tidaklah mengherankan, karena Muhammad bin Katsiir termasuk ashhaab Al-Auza’iy, sebagaimana dikatakan oleh Abu Dawud [lihat : Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 3/72 no. 4131].
Oleh karena itu, perkataan yang menyatakan hadits Muhammad bin Katsiir dari Al-Auza’iy, dari Qatadah, dari Anas tentang sayyid kuhuul ahlil-jannah adalah hadits munkar dan sanadnya salah (khaththa’) adalah perkatan yang lemah. Bahkan lemah sekali.
Dengan data dan keterangan di atas, maka hadits Anas yang dibawakan Muhammad bin Katsiir adalah lemah, dan bisa dijadikan i’tibar.
Itu saja yang dapat saya tuliskan.... masih banyak hal yang lain yang tidak
saya tuliskan di sini.....
Dari keterangan di atas telah nampak bahwa kedudukan hadits itu kuat dari segi sanadnya.
Dari keterangan di atas telah nampak bahwa kedudukan hadits itu kuat dari segi sanadnya.
Hadist tipu....masa' nabi bilang abubakar & umar pemimpin kaum tua di
surga, tp Ali gak boleh bilangin mereka selama mereka masih hidup??? Ngasih
Taunya Kapan dong ??? Kalo ude di akhirat???
Lagian juga ngapain nabi pake gak mau ngasih tau, sedangkan di hadist lain nabi Udah masukin Nama abubakar + umar dalam 10 sahabat yg dijamin sorga???
Udah gitu, keutamaan yg lain sok sok di sangkutkan seakan Akan parawinya imam Ali, yg notabene orang yg haknya dirampas sama tuh 2 orang. Ketauan banget maksainnye !!!
Dulu yg ngarang ni cerita kagak mikir dulu apa ya !!???
Lagian juga ngapain nabi pake gak mau ngasih tau, sedangkan di hadist lain nabi Udah masukin Nama abubakar + umar dalam 10 sahabat yg dijamin sorga???
Udah gitu, keutamaan yg lain sok sok di sangkutkan seakan Akan parawinya imam Ali, yg notabene orang yg haknya dirampas sama tuh 2 orang. Ketauan banget maksainnye !!!
Dulu yg ngarang ni cerita kagak mikir dulu apa ya !!???
Dari dulu hingga sekarang, orang-orang semacam Anda dalam menentukan
standar hadits itu tipuan atau bukan hanyalah mengandalkan perasaan saja. Anda
menjadi pusing kepala luar biasa karena isi hadits itu adalah pujian Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam terhadap Abu Bakr yang disampaikan kepada 'Aliy
bin Abi Thaalib. Coba saja kalau hadits itu berisi pujian kepada 'Aliy dan anak
keturunannya...., dapat saya pastikan pusing kepala Anda yang luar biasa itu
berubah menjadi kegembiraan yang luar biasa. Pusing Anda akan mendadak sembuh.
Tidak ada halangan bagi Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memuji Abu Bakr radliyallaahu dalam beberapa kali kesempatan, sebagaimana beliau juga memuji 'Aliy dalam beberapa kesempatan.
Kalau Anda mengatakan bahwa Abu Bakr merampas haknya 'Aliy (baca : hak imamah), ini baru namanya penipuan, ngaco, dan ngarang. Bisa ditangkap polisi Anda karena terkena pasal penipuan terhadap publik. 'Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu 'anhu sendiri mengakui bahwa tidak ada wasiat apapun dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam terhadap dirinya dalam masalah imamah. Baca : di sini.
'Aliy pun mengakui kok bahwa Abu Bakr (dan 'Umar) menjalankan pemerintahan sesuai dengan sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Baca : di sini.
'Aliy bin Al-Husain bin 'Aliy bin Abi Thaalib pun menyatakan bahwa Abu Bakr dan 'Umar mempunyai kedudukan yang sangat dekat dengan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, baik semasa hidupnya ataupun setelah matinya. Baca di sini.
Ini semua ada riwayatnya. Shahih lagi.
Makanya, Anda kalau mau rada-rada ngaco, yang ilmiah dikit kek, biar enak dibaca. Atau Anda ogah mbaca kitab-kitab hadits Anda (Syi'ah) yang luar biasa itu ?. Sedla'if-dla'ifnya riwayat dalam Al-Bukhaariy dan Muslim (kalau pun ada), gak bakal ada yang menjadikan keledai sebagai perawi hadits seperti dalam kitab Al-Kaafi-nya Al-Kulainiy. Baca di sini.
Sekonyol-konyolnya Ibnul-Qayyim mengarang kitab Ath-Thibbun-Nabawiy yang berisikan penjelasan berbagai pengobatan sesuai riwayat dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, tidak ada yang menyuruh makan tanah kuburan. Ini yang ngarang riwayat tidak pernah sekolah dukun obat apa ya (karena mungkin dulu tidak ada Fakultas Kedokteran seperti yang di UI) ?. Ada lagi ulama Syi'ah yang mengatakan minum dan makan kencing dan kotorannya imam dapat masuk surga. Baca di sini. Coba deh saya dikasih referensi ilmiahnya dari riwayat dan nasihat konyol dari Syi'ah ini...
Bener kata Bang Haji Rhoma : "Terlalu.....".
Tidak ada halangan bagi Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memuji Abu Bakr radliyallaahu dalam beberapa kali kesempatan, sebagaimana beliau juga memuji 'Aliy dalam beberapa kesempatan.
Kalau Anda mengatakan bahwa Abu Bakr merampas haknya 'Aliy (baca : hak imamah), ini baru namanya penipuan, ngaco, dan ngarang. Bisa ditangkap polisi Anda karena terkena pasal penipuan terhadap publik. 'Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu 'anhu sendiri mengakui bahwa tidak ada wasiat apapun dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam terhadap dirinya dalam masalah imamah. Baca : di sini.
'Aliy pun mengakui kok bahwa Abu Bakr (dan 'Umar) menjalankan pemerintahan sesuai dengan sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Baca : di sini.
'Aliy bin Al-Husain bin 'Aliy bin Abi Thaalib pun menyatakan bahwa Abu Bakr dan 'Umar mempunyai kedudukan yang sangat dekat dengan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, baik semasa hidupnya ataupun setelah matinya. Baca di sini.
Ini semua ada riwayatnya. Shahih lagi.
Makanya, Anda kalau mau rada-rada ngaco, yang ilmiah dikit kek, biar enak dibaca. Atau Anda ogah mbaca kitab-kitab hadits Anda (Syi'ah) yang luar biasa itu ?. Sedla'if-dla'ifnya riwayat dalam Al-Bukhaariy dan Muslim (kalau pun ada), gak bakal ada yang menjadikan keledai sebagai perawi hadits seperti dalam kitab Al-Kaafi-nya Al-Kulainiy. Baca di sini.
Sekonyol-konyolnya Ibnul-Qayyim mengarang kitab Ath-Thibbun-Nabawiy yang berisikan penjelasan berbagai pengobatan sesuai riwayat dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, tidak ada yang menyuruh makan tanah kuburan. Ini yang ngarang riwayat tidak pernah sekolah dukun obat apa ya (karena mungkin dulu tidak ada Fakultas Kedokteran seperti yang di UI) ?. Ada lagi ulama Syi'ah yang mengatakan minum dan makan kencing dan kotorannya imam dapat masuk surga. Baca di sini. Coba deh saya dikasih referensi ilmiahnya dari riwayat dan nasihat konyol dari Syi'ah ini...
Bener kata Bang Haji Rhoma : "Terlalu.....".
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/07/kedudukan-abu-bakr-dan-umar-di-sisi.html
Mari kita
perhatikan riwayat berikut :
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ بن
أحمد: حَدَّثَنِي أَبُو مَعْمَرٍ، عَنْ ابْنِ أَبِي حَازِمٍ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ، فَقَالَ مَا كَانَ مَنْزِلَةُ أَبِي بَكْرٍ،
وَعُمَرَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "
مَنْزِلَتُهُمَا السَّاعَةَ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad : Telah menceritakan kepadaku Abu
Ma’mar, dari Ibnu Abi Haazim, ia berkata : Seorang laki-laki mendatangi ‘Aliy
bin Al-Husain dan bertanya : “Bagaimanakah kedudukan Abu Bakr dan ‘Umar di sisi
Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Kedudukan keduanya adalah seperti kedudukan
mereka berdua pada saat ini (yaitu sangat dekat dimana kedua berdampingan
dengan kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam)” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad
dalam Zawaaid
Al-Musnad, 4/77].
Diriwayatkan
juga oleh ‘Abdullah dalam Zawaaid Fadlaailish-Shahaabah no. 223 danZawaaid Az-Zuhd no. 576 dan dari jalannya Ibnu ‘Asaakir
dalam At-Taariikh 41/388.
Semua
perawinya tsiqaat, hanya saja sanadnya terputus. Ibnu Abi
Haazim tidak pernah bertemu dengan ‘Aliy bin Al-Husain rahimahullah.
Abu Ma’mar
namanya adalah Ismaa’iil bin Ibraahiim bin Ma’mar bin Al-Hasan
Al-Hudzaliy; seorang
yang tsiqah lagi ma’muun [Taqriibut-Tahdziib, hal. 136 no.
419]. Ibnu Abi Haazim namanya adalah ‘Abdul-‘Aziiz bin Abi Haazim
Salamah bin Diinaar Al-Makhzuumiy, Abu Tamaam Al-Madaniy; seorang yang shaduuq lagi faqiih [Taqriibut-Tahdziib, hal. 611 no.
4116] – bahkan ia tsiqah, khususnya dalam periwayatan dari ayahnya.
Abu Haazim namanya adalah : Salamah bin Diinaar Al-A’raj Al-Afzar At-Tammaar
Al-Madaniy Al-Qaadliy;
seorang yang tsiqah lagi ‘aabid [Taqriibut-Tahdziib, hal. 399 no.
2502].
Diriwayatkan
dengan sanad maushul (bersambung) oleh Ad-Daaruquthniy dalamFadlaailush-Shahaabah no. 39, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 2460, dan Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 41/387-388; dari jalan Abul-‘Ainaa’
Muhammad bin Al-Qaasim : Telah mengkhabarkan kepada kami Ya’quub bin Muhammad
Az-Zuhriy, dari Ibnu Abi Haazim, dari ayahnya, dari ‘Aliy bin Al-Husain rahimahullah; dengan lafadh yang serupa.
Sanad
riwayat ini lemah karena Ya’quub bin Muhammad Az-Zuhriy adalah seorang yangshaduuq,
namun banyak keraguannya (katsiirul-wahm) [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1090 no. 7888].
Ya’quub bin
Muhammad Az-Zuhriy dalam periwayatan maushul mempunyai mutaba’ahdari Abu Mush’ab Az-Zuhriy sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad 1/287 dan dari jalannya Ibnu ‘Asaakir
dalam At-Taariikh 41/388 :
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ
الْحَافِظُ، ثنا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ صَالِحِ بْنِ هَانِئٍ، ثنا أَبُو
الْعَبَّاسِ أَحْمَدُ بْنُ خَالِدٍ الدَّامَغَانِيُّ، ثنا أَبُو مُصْعَبٍ
الزُّهْرِيُّ، ثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ،
قَالَ: مَا رَأَيْتُ هَاشِمِيًّا أَفْقَهَ مِنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ،
سَمِعْتُ عَلِيَّ ابْنَ الْحُسَيْنِ، يَقُولُ وَهُوَ يُسْأَلُ: كَيْفَ مَنْزِلَةُ
أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ
بِيَدِهِ إِلَى الْقَبْرِ، ثُمَّ قَالَ: مَنْزِلَتُهُمَا مِنْهُ السَّاعَةَ.
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah menceritakan kepada
kami Abu Ja’far Muhammad bin Shaalih bin Haani’ : Telah menceritakan kepada
kami Abul-‘Abbaas Ahmad bin Khaalid Ad-Daamaghaaniy : Telah menceritakan kepada
kami Abu Mush’ab Az-Zuhriy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin
Abi Haazim, dari ayahnya, ia berkata : “Aku tidak pernah melihat keturunan Bani
Haasyim yang lebih faqih daripada ‘Aliy bin Al-Husain. Aku telah mendengar
‘Aliy bin Al-Husain berkata yang ketika itu ia ditanya : “Bagaimanakah
kedudukan Abu Bakr dan ‘Umar di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Lalu ia berisyarat dengan tangannya ke
arah kubur dan berkata : “Kedudukan keduanya di sisi beliau adalah seperti
kedudukan mereka berdua pada saat ini” [selesai].
Sanad
riwayat ini shahih.
Abu
‘Abdillah Al-Haafidh adalah Al-Haakim An-Naisaabuuriy, penulis kitab Al-Mustadrak.Muhammad bin Shaalih bin Haani’, syaikh
dari Al-Haakim, seorang yang tsiqah lagima’muun [Rijaal Al-Haakim, hal. 216-217 no. 1360]. Ahmad bin Khaalid
Ad-Daamaghaaniy; tentangnya As-Sam’aaniy berkata : “Syaikh mufiid,
katsiirur-rihlah(banyak berjalan ke penjuru negeri dalam menuntut ilmu)”.
Beberapa imam mengambil periwayatan hadits darinya [Al-Ansaab 5/260 dan Al-Mu’jamu fii Asaamiy Syuyuukh Abi Bakr
Al-Ismaa’iiliy hal. 384-385 no. 55]. Abu Mush’ab Az-Zuhriy, namanya adalah Ahmad
bin Al-Qaasim bin Al-Haarits bin Zuraarah Al-Madaniy, seorang yang tsiqah, termasuk rijaal Syaikhaan (Al-Bukhaariy dan Muslim) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 87 no. 17
dan Tahriirut-Taqriib, 1/58 no. 17].
Ibnul-Bukhaariy
membawakan riwayat dari Al-Qathii’iy dari ‘Abdullah bin Ahmad seperti di atas
dengan sanad maushul sebagai berikut :
وَبِهِ قَالَ الْقَطِيعِيُّ: نا
عَبْدُ اللَّهِ ابْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ، حَدَّثَنِي أَبُو مَعْمَرٍ، عَنِ ابْنِ
أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: " جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عَلِيِّ بْنِ
حُسَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: مَا كَانَ مَنْزِلَةُ أَبِي بَكْرٍ
وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: “ كَمَنْزِلَتِهِمَا السَّاعَةَ “
Dan
dengannya, telah berkata Al-Qathii’iy : Telah mengkhabarkan kepada kami
‘Abdullah bin Al-Imaam Ahmad : Telah menceritakan kepadaku Abu Ma’mar, dari
Ibnu Abi Haazim, dari ayahnya, ia berkata : Seorang laki-laki mendatangi ‘Aliy
bin Al-Husainradliyallaahu ‘anhu, lalu ia bertanya : “Bagaimanakah
kedudukan Abu Bakr dan ‘Umarradliyallaahu ‘anhumaa di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Seperti kedudukan
mereka berdua pada hari ini” [Masyyakhah Ibnil-Bukhaariy, 1/379].
Dan berikut
adalah sanad Ibnul-Bukhaariy hingga Al-Qathii’iy :
أَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ
حَنْبَلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَرَجِ بْنِ سَعَادَةَ الرُّصَافِيُّ
الْمُكَبِّرُ، قِرَاءَةً عَلَيْهِ، وَأَنَا أَسْمَعُ، أَنَا أَبُو الْقَاسِمِ
هِبَةُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَاحِدِ بْنِ الْحُصَيْنِ
الشَّيْبَانِيُّ، قِرَاءَةً عَلَيْهِ، وَأَنَا أَسْمَعُ بِبَغْدَادَ، أَنَا أَبُو
عَلِيٍّ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ مُحَمَّدٍ الْوَاعِظُ، أَنَا أَبُو بَكْرٍ
أَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرِ بْنِ حَمْدَانَ بْنِ مَالِكِ بْنِ شَبِيبٍ الْقَطِيعِيُّ،
“Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Aliy Hanbal bin ‘Abdillah bin Al-Faraj bin
Sa’aadah Ar-Rushaafiy Al-Mukabbir dengan qira’at kepadanya dan aku mendengarnya : Telah
mengkhabarkan kepada kami Abul-Qaasim Hibatullah bin Muhammad bin ‘Abdil-Waahid
bin Al-Hushain Asy-Syaibaaniy dengan qiraa’at kepadanya dan aku mendengarnya di Baghdaad
: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Aliy Al-Hasan bin ‘Aliy bin Muhammad
Al-Waa’idh : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Ahmad bin Ja’far bin
Hamdaan bin Maalik bin Syabiib Al-Qathii’iy” [selesai].
Sanad
riwayat ini shahih, dan para perawi dalam sanad ini merupakan perawi yang
meriwayatkan Musnad Al-Imaam Ahmad bin Hanbal [selengkapnya lihat : Al-Musnad, 1/40-56, tahqiiq : Ahmad Syaakir].
Riwayat maushul ini dikuatkan lagi oleh qarinah yang terdapat dalam
riwayat berikut :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
جَعْفَرِ بْنِ حَمْدَانَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنِي
أَبُو مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي حَازِمٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي حَازِمَ،
يَقُولُ: " مَا رَأَيْتُ هَاشِمِيًّا أَفْضَلَ مِنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ
"
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Ja’far bin Hamdaan : Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad : Telah menceritakan kepadaku Abu Ma’mar :
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Haazim, ia berkata : Aku mendengar Abu
Haazim berkata : “Aku tidak pernah melihat keturunan Bani Haasyim yang utama
daripada ‘Aliy bin Al-Husain” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 3/141].
Sanad
riwayat ini shahih, dimana para perawinya yang dimulai dari Al-Qathii’iy hingga
Ibnu Abi Haazim dan Abu Haazim merupakan para perawi dalam riwayat mursal danmaushul sebelumnya. Riwayat ini menyebutkan
sebagian lafadh yang terdapat dalam riwayat Al-Baihaqiy rahimahullah di atas. Oleh karena itu, dapat dipastikan
bahwa perantara Ibnu Abi Haazim dengan ‘Aliy bin Al-Husain adalah ayahnya (Abu
Haazim).
Diriwayatkan
juga oleh Ad-Diinawariy dalam Al-Mujaalasah no. 1411 dan dari jalannya Ibnu ‘Asaakir
dalam At-Taarikh 41/388 :
نَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حَبِيبٍ،
نَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ الْمَكِّيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ بْنَ
عُيَيْنَةَ، يَقُولُ: " قَالَ رَجُلٌ لِعَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ بْنِ
عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ: كَيْفَ كَانَ
مَنْزِلَةُ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَنْزِلَتُهُمَا مِنْهُ مَنْزِلَتُهُمَا مِنْهُ الْيَوْمَ
"
Telah
mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim bin Habiib : Telah mengkhabarkan kepada
kami Muhammad bin ‘Abbaad Al-Makkiy, ia berkata : Aku mendengar Sufyaan bin
‘Uyainah berkata : Seorang laki-laki bertanya kepada ‘Aliy bin Al-Husain bin
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhum ajma’iin : “Bagaimanakah kedudukan Abu Bakr dan
‘Umar di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Kedudukan keduanya di
sisi beliau adalah seperti kedudukan mereka berdua di sisi beliau pada hari
ini” [selesai].
Sanad
riwayat ini lemah dikarenakan kemajhulan Ibraahiim bin Habiib Al-Hamdaaniy [Bughyatuth-Thalab,
3/1136] dan keterputusan antara Ibnu ‘Uyainah dengan ‘Aliy bin Al-Husain.
Diriwayatkan
juga oleh Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 41/388 : Telah mengkhabarkan kepada kami
Abul-Husain bin Al-Farraa’, serta Abu Ghaalib dan Abu ‘Abdillah dua orang anak
dari Al-Bannaa, mereka semua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu
Ja’far bin Al-Maslamah : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir Al-Mukhallish
: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Sulaimaan : Telah menceritakan
kepada kami Az-Zubair bin Bakkaar, ia berkata : Dan telah menceritakan kepadaku
Muhammad bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepadaku sebagian shahabat kami, ia
berkata : Telah berkata seorang laki-laki kepada ‘Aliy bin Al-Husain :
“Bagaimanakah kedudukan Abu bakr dan ‘Umar di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab :
منزلتهما اليوم
“(Seperti)
kedudukan mereka berdua di sisi beliau pada hari ini” [selesai].
Riwayat ini
lemah karena adanya perawi yang mubham.
Kesimpulannya
: Riwayat ‘Aliy bin Al-Husain bin 'Aliy Abi Thaalib rahimahullah adalahshahih. Wallaahu a’lam.
Sebagian
Fiqh Riwayat
Perkataan
‘Aliy bin Al-Husain atau masyhur dengan nama ‘Aliy Zainul-‘Aaabidiin
tentang kedekatan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukanlah hanya sekedar kedekatan fisik
saja, namun juga kedekatan dalam hal pembelaan dan mutaba’ah.
إِنَّ أَمَنَّ النَّاسِ عَلَيَّ
فِي صُحْبَتِهِ وَمَالِهِ أَبُو بَكْرٍ وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلًا مِنْ
أُمَّتِي لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ وَلَكِنْ أُخُوَّةُ الْإِسْلَامِ
وَمَوَدَّتُهُ لَا يَبْقَيَنَّ فِي الْمَسْجِدِ بَابٌ إِلَّا سُدَّ إِلَّا بَابُ
أَبِي بَكْرٍ
“Sesungguhnya
orang yang paling besar jasanya bagiku dalam hal pershahabatan dan hartanya
adalah Abu Bakr. Seandainya aku boleh mengambil kekasih dari umatku, tentulah
Abu Bakr orangnya. Akan tetapi yang ada adalah persaudaraan Islam dan berkasih
sayang dalam Islam. Janganlah tersisa satu pun pintu di masjid melainkan pintu
Abu Bakr" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3904].
Dan tentang
‘Umar, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ
عُمَرُ
“Dan
yang paling tegas dalam menegakkan urusan Allah (syari’at-Nya) adalah ‘Umar……”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3791, dan ia berkata : “Hadits hasan
shahih”].
لَوْ كَانَ بَعْدِي نَبِيٌّ
لَكَانَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
“Seandainya
setelahku ada nabi, niscaya ia adalah ‘Umar bin Al-Khaththaab”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3686 dan yang lainnya[2]].
Tidaklah
heran jika sebelum meninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpesan :
اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ
بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ
“Mencontohlah
kepada dua orang setelahku : Abu Bakr dan ‘Umar” [lihat : Silsilah Ash-Shahiihah no. 1233].
Dan
tidaklah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwasiat agar umatnya meneladani
seseorang kecuali ia adalah orang yang baik atau paling baik agamanya.
Selain itu, atsar di atas juga memberikan satu pemahaman
pada kita tentang sikap ahlul-bait dari anak cucu ‘Aliy bin Abi Thaalib
terhadap Abu Bakr dan ‘Umarradliyallaahu ‘anhum. Mereka mencintai dan menghormati Abu Bakr
dan ‘Umarradliyallaahu ‘anhumaa. Mereka tidak menuduh Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa sebagai perusak agama dan pengkhianat
risalah, sebagaimana tuduhan para pendengki yang pura-pura mendakwakan diri
sebagai pecinta Ahlul-Bait. Ahlul-Bait, dalam hal ini ‘Aliy bin Al-Husain rahimahullah, mengakui Abu Bakr dan ‘Umarradliyallaahu
‘anhumaa berjalan di atas manhaj Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamsemasa hidup mereka.
Orang yang
mencintai Ahlul-Bait pasti akan mencintai Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Bahkan, Ahlul-Bait berlepas diri dari
kicauan orang-orang dungu yang melanggar kehormatan mereka berdua.
‘Aliy bin
Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu pernah
berkata :
مَا لِي وَلِهَذَا الْحَمِيتِ
الأَسْوَدِ، يَعْنِي: عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَبَإٍ، وَكَانَ يَقَعُ فِي أَبِي
بَكْرٍ، وَعُمَرَ.
“Apa
urusanku dengan orang hitam jelek ini – yaitu ‘Abdullah bin Saba’ - . Dia
biasa mencela Abu Bakar dan ’Umar” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah no.
4358; shahih].
‘Abdullah
bin Saba’ adalah founding father sekte Syi’ah Raafidlah.
Ja’far
Ash-Shaadiq rahimahullah pernah berkata :
بَرِئَ اللَّهُ مِمَّنْ تَبَرَّأَ مِنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
“Allah
berlepas diri terhadap orang-orang yang berlepas diri terhadap Abu Bakr dan
‘Umar”
[Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 1182; shahih].
Selengkapnya
silakan baca artikel : Berlepas Dirinya Imam Ahlul-Bait terhadap Orang-Orang yang
Mencela Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
Anda, saya
dan siapa saja yang mencintai Ahlul-Bait karena Allah....., haruskah mengekor
orang-orang yang pura-pura mencintai Ahlul-Bait itu ?. Tipuan adalah tipuan
yang akan terbongkar sebagaimana bedak para pelawak yang akan luntur oleh
siraman air hujan.
كُلٌ يَدَّعِي وَصْلاً بِلَيْلَى وَلَيْلَى
لاَ تُقِرُّهُمْ بِذَاكَ
“Semua
orang mengaku-ngaku punya hubungan kasih dengan si Laila,
namun
Laila tidak mengakui mereka akan hal itu”.
Sungguh
kasihan......
Semoga
bermanfaat.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’
– ngaglik, sleman, yogyakarta, 16072012].
COMMENTS
Malamnya, seterang siang
hari, kecuali orang yang buta mata. Sangat bermanfaat.
super sekali ust :)
Baarakallahu fik.
abu aisyah
Baarakallahu fik.
abu aisyah
Mau tanya, akhiy.
`Aliy di sini cucunya `Aliy bin Abi Thaalib rodhiallaahu`anhu, sahabat Nabi?
Kalau benar, apakah nasabnya harusnya menjadi(?):
`Aliy bin Al-Husain bin `Aliy bin Abi Thaalib.
Atau, memang boleh mempersingkat nasab?
Barokallaahu fiik.
`Aliy di sini cucunya `Aliy bin Abi Thaalib rodhiallaahu`anhu, sahabat Nabi?
Kalau benar, apakah nasabnya harusnya menjadi(?):
`Aliy bin Al-Husain bin `Aliy bin Abi Thaalib.
Atau, memang boleh mempersingkat nasab?
Barokallaahu fiik.
Ustadz, apakah namanya
benar: Ali bin Husain bin ABI THALIB
ataukah ada yang kurang, yaitu
Ali bin Husain bin ALI bi Abi Thalib?
Irfan
ataukah ada yang kurang, yaitu
Ali bin Husain bin ALI bi Abi Thalib?
Irfan
Abu Yahyaa dan
'Irfaan,.... yang benar : 'Aliy bin Al-Husain bin 'Aliy bin Abi Thaalib.
Sebagian nama di bawah telah dituliskan demikian. Adapun yang antum sebutkan,
maka itu kekeliruan (kekurangan) penulisan dari saya.
Terima kasih atas masukannya. Jazaakallaahu khairan.
Terima kasih atas masukannya. Jazaakallaahu khairan.