Wednesday, August 27, 2014

Imam Ali bin Abi Thalib dan Nikah Mut’ah (01)


http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/08/imam-ali-bin-abi-thalib-dan-nikah-mutah.html
Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 08.49 
Label: Syi'ah

Nikah mut’ah adalah salah satu simbolitas yang disiarkan oleh kaum Syi’ah. Nikah ini memang pernah dihalalkan oleh Islam, namun kemudian dihapuskan hingga hari kiamat. Akan tetapi, kaum Syi’ah tetap melestarikannya dengan dalih : Mengikuti warisan Ahlul-Bait, khususnya ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu sebagaimana akan disinggung dalam artikel ini. Kata mereka, dalam referensi Ahlus-Sunnah ada yang menyatakan bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib memang menghalalkan nikah mut’ah. Dimanakah itu ? Berikut pernyataan mereka :

Silakan wahai pembaca yang budiman untuk membuka Kitab Tafsir Durr al manstur dan Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari –kedua kitab tafsir panutan salafy- dan disana anda akan menemukan bahwa Imam Ali menghalalkan mut’ah dan menentang larangan Umar.
Ulama panutan salafy Jalaludin Suyuthi dalam kitab tafisrnya durr al mantsur jilid 2 hal 140 ketika membahas surah An Nisa’ ayat 24 membawakan riwayat berikut
وأخرج عبد الرزاق وأبو داود في ناسخه وابن جرير عن الحكم أنه سئل عن هذه الآية أمنسوخة ؟ قال  لا وقال علي  لولا أن عمر نهى عن المتعة ما زنا إلا شقي
Abdurrazaq, Abu Daud dalam kitab Nasikh dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Hakim ketika ia ditanya “apakah ayat ini dimansukh”?. Ia berkata “tidak”, dan Ali berkata  “kalau umar tidak melarang mut’ah maka tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka”.
Atsar ini disampaikan oleh orang-orang yang tsiqah sehingga tidak ada alasan untuk menolak dan menentangnya. Ibnu Jarir dalam tafsirnya jilid 4 hal 10 menyebutkan sanad atsar ini.
حدثنا محمد بن المثنى قال ، حدثنا محمد بن جعفر قال ، حدثنا شعبة ، عن الحكم قال
Muhammad bin Al Mutsanna menceritakan kepada kami dimana ia berkata Muhammad bin Ja’far menceritakan kepada kami dimana ia berkata Syu’bah menceritakan kepada kami dimana ia berkata dari Al Hakim yang berkata……
Muhammad bin Al Mutsanna disebutkan Ibnu Hajar –ulama rijal salafy- dalam kitab Taqrib jilid 2 hal 129 sebagai orang yang tsiqat dan tsabit.
Muhammad bin Ja’far disebutkan Ibnu Hajar dalam kitab Taqrib jilid 2 Hal 63 sebagai orang yang tsiqat.
Syu’bah bin Hajjaj disebutkan Ibnu Hajar dalam Kitab Taqrib jilid 1 hal 458 sebagai orang yang tsiqat, hafiz, mutqin
Hakim bin Utaibah Al Kindi disebutkan Ibnu Hajar dalam kitab Taqrib jilid 1 hal 232 sebagai orang yang tsiqat dan tsabit.
Orang-orang yang menyampaikan atsar tersebut ternyata orang-orang yang terpercaya di kalangan salafy sehingga tidak diragukan lagi kalau Imam Ali alaihissalam telah menghalalkan mut’ah dan ini dimuat oleh kitab salafy sendiri dengan perawi yang terpercaya dan shahih.
Saya ajak ikhwah sekalian bersama-sama membuka kitab Ad-Durrul-Mantsuur. Akan saya tulis ulang apa yang dituliskan oleh As-Suyuthiy rahimahullah dalam kitab tersebut (4/331, tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy; Cet. 1/1424 H) :
وأخرج عبدُ الرزاق، وأبو داودَ في ((ناسخهِ)) وابنُ جريرٍ، عن الحكم، أنه سُئِل عن هذه الآيةِ أمنسوخةٌ ؟ قال : لا. وقال عليٌّ : لو لا أن عمر نَهَى عن المتعةِ ما زنى إلا شقيٌّ.
“Dan diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq, Abu Daawud dalam kitab Naasikh-nya, dan Ibnu Jariir, dari Al-Hakam : Bahwasannya ia pernah ditanya tentang ayat ini : ‘Apakah ia telah dihapus/mansuukh ?’. Maka ia menjawab : ‘Tidak’. ‘Aliy berkata : ‘Seandainya ‘Umar tidak melarang nikah mut’ah, tidaklah akan ada seseorang yang berzina kecuali orang yang celaka” [selesai].
Riwayat tersebut disebutkan ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf (no. 14029) dan Ibnu Jariir dalam At-Tafsiir (6/588).
Sanad ‘Abdurrazzaaq adalah lemah karena ada perawi mubham antara Ibnu Juraij dan ‘Aliy bin Abi Thaalib. Sedangkan padanya ada lafadh perkataan ‘Aliy yang tidak ‘menguntungkan’ kaum Syii’ah, yaitu :
لولا ما سبق من رأي عمر بن الخطاب - أو قال : من رأي ابن الخطاب - لأمرت بالمتعة، ثم ما زنا إلا شقي.
“Seandainya tidak ada ra’yu/pendapat ‘Umar bin Al-Khaththaab – atau ia berkata : pendapat Ibnul-Khaththaab – yang telah lalu, niscaya aku perintahkan untuk nikahmut’ah. Kemudian, tidaklah ada seseorang berzina kecuali orang yang celaka” [selesai].
Dhahir atsar di atas menunjukkan ‘Aliy bin Abi Thaalib tunduk dan mengikuti keputusan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhumaa, sehingga ia urung/enggan menghalalkan nikah mut’ah.
Sedangkan sanad Ath-Thabariy – sebagaimana dibahas oleh orang Syi’ah tersebut di atas – ini pun juga lemah. Ath-Thabariy berkata :
حدثنا محمد بن المثنى قال، حدثنا محمد بن جعفر قال، حدثنا شعبة، عن الحكم قال: سألته عن هذه الآية : "والمحصنات من النساء إلا ما ملكت أيمانكم" إلى هذا الموضع:"فما استمْتَعتم به منهن"، أمنسوخة هي؟ قال: لا. قال الحكم : وقال علي رضي الله عنه: لولا أن عمر رضي الله عنه نهى عن المتعة ما زنى إلا شَقِيٌّ.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-Hakam. Syu’bah berkata : Aku bertanya kepadanya (Al-Hakam) tentang ayat ini : ‘dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki’ sampai pada : ‘Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka’; apakah telah dihapus/mansuukh ?. Ia (Al-Hakam) menjawab : “Tidak”. Ia melanjutkan : “Telah berkata ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu : ‘Seandainya ‘Umar radliyallaahu ‘anhu tidak melarang nikah mut’ah, tidaklah akan ada seseorang yang berzina kecuali orang yang celaka” [selesai].
Para perawinya memang perawi tsiqaat, akan tetapi terdapat inqithaa’ (keterputusan) antara Al-Hakam bin ‘Utaibah Al-Kindiy dengan ‘Aliy bin Abi Thaalib. Al-Hakam termasuk shighaarut-taabi’iin yang lahir tahun 50 H dan wafat tahun 113/114/115 H. Sedangkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu wafat pada tahun 40 H.
Ini jawaban dari sisi Ahlus-Sunnah.
Adapun dari sisi Syi’ah, maka riwayat itu pun tidak shahih. Al-Hakam bin ‘Utaibah ini, menurut Al-Hulliy :
مذموم من فقهاء العامة
“Orang yang tercela dari kalangan fuqahaa’ al-‘aammah[1]”.
Riwayat ‘Aliy bin Abi Thaalib tersebut juga dibawakan oleh Al-Kulainiy sebagai berikut :
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ عَنِ الْفَضْلِ بْنِ شَاذَانَ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ يَحْيَى عَنِ ابْنِ مُسْكَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَقُولُ كَانَ عَلِيٌّ ( عليه السلام ) يَقُولُ لَوْ لَا مَا سَبَقَنِي بِهِ بَنِي الْخَطَّابِ مَا زَنَى إِلَّا شَقِيٌّ
Muhammad bin Ismaa’iil, dari Al-Fadhl bin Syaadzaan, dari Shafwaan bin Yahyaa, dari Ibnu Mukaan, dari ‘Abdullah bin Sulaimaan, ia berkata : Aku mendengar Abu Ja’far (‘alaihis-salaam) berkata : ‘Aliy (‘alaihis-salaam) pernah berkata : “Seandainya  Ibnul-Khaththaab tidak mendahuluiku dalam pengharaman mut’ah, tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang celaka” [Al-Kaafiy, 5/448].
Al-Majlisiy telah menghukumi riwayat ini dengan : ‘majhuul’. Alias : tidak shahih [lihat :Mir’aatul-‘Uquul 20/227 dan Malaadzul-Akhbaar 12/29].
Oleh karena itu, riwayat ini tidak shahih, baik dari jalan Ahlus-Sunnah maupun Syi’ah. Inikah yang disebut shahih ?
Bahkan riwayat ini munkar di sisi Ahlus-Sunnah. Telah shahih dari ‘Aliy bin Abi Thaalibradliyallaahu ‘anhu bahwasannya ia mengatakan pengharaman nikah mut’ah.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ الْحَسَنِ وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, Ibnu Numair, dan Zuhair bin Harb, kesemuanya dari Ibnu ‘Uyainah. Zuhair berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, dari Az-Zuhriy, dari Al-Hasan dan ‘Abdullah – keduanya adalah anak Muhammad bin ‘Aliy - , dari ayahnya, dari ‘Aliy (bin Abi Thaalib) : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah mut’ah dan (memakan) daging keledai kampung/peliharaan pada hari (peperangan) Khaibar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1407].
Wallaahu a’lam.
NB : Pembahasan di sini sebatas pembahasan riwayat di atas. Bukan pembahasan nikahmut’ah secara luas. Bersambung ke SINI.
[abul-jauzaa’ – Menjelang akhir Sya’baan 1431 H].



[1]      Istilah ‘aammah (orang umum/awam) adalah sebutan orang Syi’ah bagi Ahlus-Sunnah.

COMMENTS
Anonim mengatakan...
sukron ustad atas penjelasannya.
Semoga Allah menambahkan kebaikan kepada antum , jawaban antum sulit dibantah oleh mereka yang mengagungkan nikah mut'ah .
Anonim mengatakan...
Kan bener, sudah umum klo org syi'ah itu didalam mengutip sesuatu keliatan banget tidak amanahnya/ada sesuatu yg dipotong2 krn ga sesuai dengan hawa nafsunya.
Benarlah ucapan Imam Syafi'i -rahimahullah- bahwa jgn diterima persaksian org Rafidhah karena mereka pendusta.
Terima kasih akh. Jazakallah khoir.
Anonim mengatakan...
kalau makan daging keledai apa jg dilarang sd skrng ?
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ya

Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 08.32 
Label: Syi'ah

Artikel ini adalah kelanjutan dari artikel sebelumnya yang berjudul sama : Nikah Mut’ah. Akan tetapi di sini akan saya ketengahkan satu riwayat dari sumber Syi’ah yang berasal dari ‘Aliy bin Abi Thaalibradliyallaahu ‘anhu yang isinya mengharamkan nikahmut’ah. Berikut riwayat tersebut tertuliskan :


محمد بن يحيى عن أبي جعفر عن أبي الجوزاء عن الحسين بن علوان عن عمرو بن خالد عن زيد بن علي عن آبائه عن علي عليهم السلام قال : ((حرم رسول الله صلى الله عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة)).
Muhammad bin Yahyaa, dari Abu Ja’far, dari Abul-Jauzaa’, dari Al-Husain bin ‘Ulwaan, dari ‘Amru bin Khaalid, dari Zaid bin ‘Aliy, dari ayah-ayahnya, dari ‘Aliy ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi telah mengharamkan pada hari Khaibar daging keledai kampung/jinak dan nikah mut’ah” [Tahdziibul-Ahkaam oleh Ath-Thuusiy, 7/251].
Muhammad bin Yahyaa; menurut An-Najaasyiy (no. 946) ia seorang tsiqatun ‘ain.
Abu Ja’far, ia adalah Ahmad bin Muhammad bin ‘Iisaa; seorang yang tsiqah [lihat : Al-Mufiid fii Mu’jami Rijaalil-Hadiits, hal 690].
Abul-Jauzaa’, ia adalah Al-Munabbih bin ‘Abdillah At-Taimiy; seorang yang berpredikatshahiihul-hadiits [lihat : Al-Mufiid fii Mu’jami Rijaalil-Hadiits, hal 619].
Al-Husain bin ‘Ulwaan Al-Kalbiy; seorang ‘aamiy yang tsiqah [lihat : Al-Mufiid fii Mu’jami Rijaalil-Hadiits, hal. 173 dan Mu’jamu Rijaalil-Hadiits no. 3508].
‘Amru bin Khaalid Al-Waasithiy; seorang ‘aamiy yang tsiqah [lihat : Mu’jamu Rijaalil-Hadiits no. 8909].
Zaid bin ‘Aliy, maka ia termasuk imam dari kalangan Ahlul-Bait.
Sanad hadits ini shahih menurut standar penilaian ulama Syi’ah. Akan tetapi, beberapa ulama Syi’ah melemahkannya – dan bahkan menyebutkannya sebagai riwayat dusta – karena dianggap syadz bertentangan dengan kebanyakan riwayat yang menyatakan kehalalan nikah mut’ah.
Ada satu hal yang menarik dari penulis kitab Al-Ibtishaar (3/142) – yaitu Ath-Thuusiy - saat ia berkata :
فالوجه في هذه الرواية أن نحملها على التقية لأنها موافقة لمذاهب العامة ........
“Pemahaman terhadap atas riwayat ini adalah kami membawanya sebagai satu taqiyyahkarena riwayat tersebut berkesesuaian dengan madzhabnya orang-orang awam (baca : Ahlus-Sunnah)……” [selesai].[1]
Perkataan semakna dari Ath-Thuusiy juga terdapat dalam Tahdziibul-Ahkaam (7/251).
Taqiyyah yang dimaksudkan dalam perkataan di atas adalah taqiyyah yang dilakukan oleh ‘Aliy bin Abi Thaalib saat membawakan riwayat hadits di atas.[2]
Jika disebut sebagai riwayat lemah[3] dan dusta, mengapa pula disebut sebagaitaqiyyah ? Pemaknaan sebagai taqiyyah dari ‘Aliy bin Thaalib merupakan salah satu cabang tashhiih sebagaimana ta’wil juga merupakan cabang dari tashhiih. Itulah yangma’ruf dalam ilmu ushul. Jika bukan merupakan tashhiih riwayat, niscaya Ath-Thuusiy tidak akan mengatakan itu merupakan taqiyyah (dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu).
Selain itu, pemaknaan taqiyyah dari Ath-Thuusiy atas riwayat di atas juga merupakanpengakuan secara eksplisit bahwa kejadian itu benar-benar ada. Maksudnya, ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu memang benar-benar pernah mengatakan bahwa nikah mut’ah itu diharamkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika kejadian itu tidak nyata, tentu tidak layak disebut sebagai satu taqiyyah.
Adapun perkataan sebagian ulama Syi’ah setelahnya (terutama kalanganmuta’khkhiriin) yang menyatakan riwayat itu sebagai riwayat dusta, maka patut kita cermati – jika kita sandingkan dengan perkataan Ath-Thuusiy di atas. Jika Ath-Thusiy mengatakan bahwa riwayat tersebut sebagai taqiyyah dan di sisi lain ada ulama yang mengatakan riwayat dusta; maka siapakah yang berdusta di sini ? Apakah ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu ? Kalau ini yang dimaksud, maka kita (Ahlus-Sunnah) menolaknya, karena beliau jauh dari sifat dusta. Dusta itu definisinya adalah menyatakan sesuatu tidak sesuai dengan realitas, baik sengaja ataupun tidak sengaja. Mirip-mirip dengan taqiyyah.[4] ‘Alaa kulli haal, saya persilakan Pembaca budiman memikirkannya sendiri.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ – beberapa hari menjelang kedatangan bulan Ramadlan yang diberkahi 1431 H].


[1]      Saya nukil sesuai keperluan saja. Adapun perkataan Ath-Thuusiy selanjutnya adalah pernyataannya tentang mukhalafah terhadap riwayat jama’ah dan kewajiban mengamalkan riwayat jama’ah yang menyatakan kehalalan nikah mut’ah.
[2]      Ada sebagian ulama Syi’ah yang men-ta’wil-nya sebagai taqiyyah dalam periwayatan. Selain istilah ini membingungkan, juga bertentangan dengan dhahir perkataan Ath-Thuusiy sendiri.
[3]      Beberapa ulama Syi’ah melemahkan sanad riwayat di atas dari faktor Al-Husain bin ‘Ulwaan Al-Kalbiy dan ‘Amru bin Khaalid Al-Waasithiy karena mereka bukan termasuk rijal khaash, meskipun mereka orang-orang tsiqah.
[4]      Saya tidak tahu apa kepentingan taqiyyah sebagaimana dikatakan Ath-Thuusiy d atas. Apakah memang ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berada dalam ketakutan yang mengancam jiwanya sehingga mengharuskan ber-taqiyyah ? Atau ada sebab lain ? Karena, kita mengenal beliau sebagai sosok pemberani yang tegas menegakkan kebenaran.



Penjelasan Kedla’ifan Asbaabun-Nuzuul QS. Al-Maaidah : 55 dalam Kitab Lubaabun-Nuqul lis-Suyuthi


http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/penjelasan-kedlaifan-asbaabun-nuzuul-qs.html
Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 09.11 
Label: Al-Qur'an dan Tafsir
Ini adalah kelanjutan tulisan saya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/04/apakah-adl-dlahhak-bin-muzaahim-bertemu.html. Tulisan ini saya tujukan sebagai komentar (sanggahan) terhadap artikel yang terpampang di :http://secondprince.wordpress.com/2007/10/11/jawaban-untuk-saudara-ja’far-tentang-imamah-ayat-al-wilayah/#comment-2034.
Dikatakan :
Dalam kitab Lubab Al Nuqul fi Asbabun Nuzul Jalaludin As Suyuthi hal. 93 beliau menjabarkan jalur-jalur dari hadis asbabun nuzul ayat ini, kemudian ia berkata ” Dan ini adalah bukti-bukti yang saling mendukung”. Atau dapat dilihat dalam Edisi terjemahannya dari Kitab As Suyuthi oleh A Mudjab Mahali dalam Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al Quran hal 326 menguatkan asbabun nuzul ayat ini untuk Imam Ali. Beliau membawakan hadis At Thabrani dalam Al Awsath dan mengkritiknya karena terdapat perawi yang majhul dalam sanadnya tetapi kemudian beliau melanjutkan keterangannya ”Sekalipun hadis ini ada rawi yang majhul(tidak dikenal) tetapi mempunyai beberapa hadis penguat di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Abdil Wahab bin Mujahid dari Ayahnya dari Ibnu Abbas. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawih dari Ibnu Abbas dan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mujahid dan Ibnu Abi Hatim dari Salamah bin Kuhail. Hadis ini satu sama lainnya saling kuat menguatkan”.
Mari kita lihat apa yang tercantum dalam kitab Lubaabun-Nuquul-nya As-Suyuthirahimahullah :
قوله تعالى : (إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ).
٤٠٩ - أخرجه الطبراني في ((الأوسط)) بسندٍ فيه مجاهيل عن عمَّار بن ياسر قال : وقف بعلي بن طالب سائل، وهو راكع في صلاة تطوُّع فنزع ختمه فأعطاه السائل، فنزلت : (إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ) الآية وله شاهد.
٤١٠ - قال عبد الرزاق : حدَّثنا عبد الوهاب بن مجاهد، عن أبيه، عن ابن عباس في قوله : (إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ) الآية، قال : نزلت في عليِّ بن أَبي طالب.
٤١١ - وروى ابن مردويه من وجهٍ آخر عن ابن عباس مثله.
٤١٢ - وأخرج أيضًا عن علي مثله.
٤١٣ - وأخرج ابن جرير عن مجاهد.
٤١٤ - وابن أبي حاتم عن سلمة بن كهيل مثله.
فهذه شواهد يقوِّي بعضها بعضًا.
“Firman-Nya : “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.
409 – Dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dengan sanad yang padanya terdapat orang yang majhul, dari ‘Ammaar bin Yaasir ia berkata : “Seorang peminta-minta berdiri di dekat ‘Ali bin Abi Thaalib dimana ia sedang dalam keadaan rukuk pada satu shalat sunnah (tathawwu’). Kemudian ia melepaskan cincinnya yang lalu diberikan kepada peminta-minta tersebut.  Maka, turunlah ayat : “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah dan Rasul-Nya” – al-ayat – dan riwayat itu mempunyai syaahid :
410 – ‘Abdurrazzaq berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab bin Mujaahid, dari bapaknya, dari Ibnu ‘Abbas mengenai firman Allah ta’ala :“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah dan Rasul-Nya”, maka Ibnu ‘Abbas berkata : “Diturunkan pada ‘Ali”.
411 – Ibnu Marduyah meriwayatkan dari jalan yang lain dari Ibnu ‘Abbas seperti di atas.
412 – Dan ia meriwayatkan juga dari ‘Ali seperti di atas.
413 – Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dari Mujaahid.
414 – Dan Ibnu Abi Haatim dari Salmah bin Kahiil seperti di atas.
(As-Suyuthi berkata) : “Beberapa syawaahid ini saling menguatkan satu dengan yang lainnya”.
[Lubaabun-Nuquul fii Asbaabin-Nuzuul hal. 97-98].
Perkataan As-Suyuthi rahimahullah ini layak diberikan kritikan. Berikut sedikit perinciannya :
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath no. 6232 dari hadits ‘Ammaar (bin Yaasir). Padanya terdapat perawi yang bernama Khaalid bin Yaziid Al-‘Umariy, seorang pendusta (kadzdzaab). Ibnu Ma’in berkata : “Pendusta”. Abu Haatim berkata : “Pendusta, ditinggalkan haditsnya” (kadzdzaab, dzaahibul-hadiits)” [Al-Jarh wat-Ta’diil3/360 dan Al-Miizaan 1/646 – melalui perantaraan Majma’ul-Bahrain 1/279 & 6/20 oleh Al-Haitsami]. Ishaq bin ‘Abdillah bin Muhammad bin ‘Aliy bin Husain, tidak ditemukan biografinya. Adapun Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Abu Muhammad, ia seorang yang jujur, namun kadang melakukan kesalahan (shaduuq, yahimu) – sebagaimana dalam At-Taqrib.
Dikeluarkan oleh Al-Wahidiy (no. 397), dari Muhammad bin Marwaan, dari Muhammad bin Saaib, dari Abu Shaalih, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfu’. Namun sanadnya tidak shahih sama sekali. Muhammad bin Marwaan, ia adalah As-Suddiy Ash-Shaghiir, seorang yang ditinggalkan haditsnya, dituduh berdusta (matruk, muttaham bil-kidzb). Ibnu Saaib, ia adalah Al-Kalbiy, seorang telah ditetapkan pada dirinya dengan kedustaan. Silakan merujuk pada Al-Miizaan. Adapun Abu Shaalih, namanya adalah Baadzaam; seorang perawi lemah. Ibnu Hibban mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar hadits dari Ibnu ‘Abbas [lihat selengkapnya pada Tahdziibut-Tahdziib, 1/416-417].
Dikeluarkan juga oleh ‘Abdurrazzaq sebagaimana dalam Tafsir Ibnu Katsiir (5/266), dari Ibnu ‘Abbas. Ibnu Katsir berkata : “Dalam sanadnya terdapat ‘Abdul-Wahhaab bin Mujaahid, seorang yang tidak boleh berhujjah dengannya”. Adz-Dzahabi berkata dalamAl-Miizaan (2/682) : “Yahya berkata : ‘Tidak ditulis haditsnya’. Ahmad berkata : ‘Tidak ada apa-apanya (laisa bi-syai’)’. Ibnu ‘Adiy berkata : ‘Secara umum apa-apa yang diriwayatkannya tidak ada yang mengikutinya (mutaba’ah)’. Al-Bukhari berkata : ‘Mereka (para ulama) berkata : Tidak pernah mendengar hadits dari bapaknya’ [selesai].
Dikeluarkan juga oleh Ath-Thabari (no. 12214) dari Mujaahid secara mursal, dalam sanadnya terdapat Ghaalib bin ‘Ubaidillah, seorang yang matruk (ditinggalkan haditsnya). Al-Bukhari berkata : “Munkarul-hadiits, mendengar hadits dari Mujaahid” [At-Taariikh Al-Kabiir 7/101 – melalui Tafsir Ibni Katsiir 5/265. Lihat juga catatan kaki Asy-Syaikh Ahmad Syaakir atas atsar ini dalam tafsir Ath-Thabariy 10/426].  Ia (Ath-Thabari – no. 12211) juga meriwayatkan dari jalan Abu Ja’far, namun riwayat inimu’dlal.
Ibnu Katsir berkata (5/264-265I) : “Ibnu Marduyah (Mardawaih) meriwayatkan hadits ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu, ‘Ammaar bin Yaasir, dan Abu Raafi’; namun tidaklah shahih semua riwayat tersebut sama sekali karena kedla’ifan sanadnya dan kemajhulan para perawinya”.
Dikeluarkan juga oleh Ibnu Abi Haatim dari Salmah bin Kahiil (hal. 1162 no. 6551). Namun sanad hadits ini munqathi’ antara Salmah bin Kahiil dengan ‘Ali bin Abi Thaalib. Selain itu, Salmah ini – walaupun seorang yang tsiqah – mempunyai sedikit kecondongan terhadap Syi’ah [lihat At-Tahdziib 4/156-157].
Jika kita lihat keseluruhan sanadnya, maka tampak bagi kita bahwa riwayat tersebut berkualitas lemah, sangat lemah, bahkan palsu. Lantas, bagaimana bisa As-Suyuthirahimahullah mengatakan bahwa hadits tersebut saling menguatkan ? Bahkan banyaknya jalur periwayatan sebagaimana terlihat di atas malah semakin menunjukkan ketidakshahihan riwayat, sebagaimana dikatakan oleh pentakhrij/penta’liq kitabLubaabun-Nuquul (hal. 98).
Saya ingin sekali meminta kepada penulis tersebut siapa yang menyatakan hadis asbabun nuzul ayat ini untuk Imam Ali adalah dhaif atau maudhu’ setelah menganalisis semua jalur sanadnya. Sekedar pernyataan dari Ali As Salus dalam Imamah dan Khilafah atau Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj As Sunnah jelas tidak kuat. Alasannya karena mereka yang saya sebutkan itu tidak menganalisis semua jalur sanad hadis asbabun nuzul ayat Al Wilayah. Mereka hanya mencacat sebagian hadisnya, seperti Ali As Salus yang hanya membahas hadis ini dalam Tafsir Ath Thabari kemudian langsung memutuskan bahwa riwayat tersebut dhaif tanpa melihat banyak sanad lainnya dari kitab lain. Apalagi Ibnu Taimiyyah yang melakukan banyak kekeliruan dalam Minhaj As Sunnah antara lain beliau mengatakan bahwa hadis asbabun nuzul ayat ini tidak ditemukan dalam Tafsir Ath Thabari dan Tafsir Al Baghawi padahal kenyataannya kedua kitab tafsir itu memuat hadis yang kita bicarakan ini.
Setidaknya, dengan menelusuri riwayat-riwayat yang disebutkan As-Suyuthi dalamLubaabun-Nuquul di atas, dapat diketahui bahwa jalur-jalur periwayatan tersebut tidak ada yang shahih, dan tidak pula dapat disimpulkan shahih. Letak kelemahannya bukan hanya dari segi jahalah perawi saja sebagaimana disebutkan oleh As-Suyuthirahimahullah.
Sedikit ulama yang saya ketahui yang mengatakan ketidakshahihan riwayat-riwayat di atas antara lain : Al-Haitsami, Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyyah, Ahmad Syakir, dan sejumlah peneliti serta ahli hadits kontemporer. Minimal itu yang dapat disebutkan dengan bacaan saya yang serba terbatas.
Adapun tentang Ibnu Taimiyyah, maka beliau dalam kitabnya Minhaajus-Sunnah adalah sedang membantah seorang Raafidly, penulis kitab Minhaajul-Karaamah, yang mengklaim para ulama bersepakat bahwa QS. Al-Maaidah ayat 55 turun kepada ‘Aliradliyallaahu ‘anhu. Jelas ini merupakan satu kedustaan, sebagaimana biasa ia lakukan.
Mengenai perkataan Anda bahwa Ibnu Taimiyyah telah melakukan banyak kekeliruan (?!) yang salah satu atau duanya – kata Anda – bahwa beliau mengatakan asbabun-nuzul ayat ini tidak ditemukan dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Al-Baghawi.
Benarkah beliau mengatakan itu ?
Tentang perkataan beliau sebagaimana yang Anda maksud, maka ini yang saya temukan dalam kitab Minhaajus-Sunnah (7/12) ketika beliau membicarakan Tafsir Al-Baghawiy :
ولهذا لما كان البغوي عالما بالحديث اعلم به من الثعلبي والواحدي وكان تفسيره مختصر تفسير الثعلبي لم يذكر في تفسيره شيئا من الأحاديث الموضوعة التي يرويها الثعلبي
Silakan baca sendiri….. Jadi yang dinafikkan Ibnu Taimiyyah dalam Tafsir Al-Baghawiy adalah hadits maudlu’ yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat yang dibawakan oleh Ats-Tsa’labiy. Lantas, apa yang diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labiy (yang kemudian dibawakan oleh si Raafidliy dalam kitab Minhaajul-Karaamah) ? Kita buka halaman sebelumnya (7/5-7) :
قال الثعلبي في إسناده إلى أبي ذر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم بهاتين وإلا صمتا ورايته بهاتين وإلا عميتا يقول علي قائد البررة وقاتل الكفرة فمنصور من نصره ومخذول من خذله أما أني صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما صلاة الظهر فسال سائل في المسجد فلم يعطه أحد شيئا فرفع السائل يده إلى السماء وقال اللهم أنك تشهد أني سالت في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم فلم يعطني أحد شيئا وكان علي راكعا فأومأ بخنصره اليمنى وكان متختما فيها فأقبل السائل حتى أخذ الخاتم وذلك بعين النبي صلى الله عليه وسلم فلما فرغ من صلاته رفع رأسه إلى السماء وقال اللهم أن موسى سألك وقال: {رب اشرح لي صدري ويسر لي أمري واحلل عقدة من لساني يفقهو ا قولي واجعل لي وزيرا من أهلي هارون أخي اشدد به أزري وأشركه في أمري} فأنزلت عليه قرأنا ناطقا {س نشد عضدك بأخيك ونجعل لكما سلطانا فلا يصلو ن إليكما بآياتنا} اللهم وأنا محمد نبيك وصفيك اللهم فاشرح لي صدري ويسر لي أمري واجعل لي وزيرا من أهلي عليا اشدد به ظهري قال أبو ذر فما استتم كلام رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى نزل عليه جبريل من عند الله فقال يا محمد اقرأ قال وما أقرأ قال اقرأ: { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ }
Pertanyaan saya kepada Anda : “Adakah hadits/riwayat tersebut dalam Tafsir Al-Baghawiy ?”. Saya bantu Anda untuk membacanya di sini (tafsir QS. Al-Maaidah : 55) :
{ إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا } [روي عن ابن عباس رضي الله عنهما أنها نزلت في عبادة بن الصامت وعبد الله بن أبي بن سلول حين تبرأ عبادة من اليهود، وقال: أتولى الله ورسوله والذين آمنوا، فنزل فيهم من قوله: "يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء"، إلى قوله: "إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا" (2) يعني عبادة بن الصامت وأصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم (3) . وقال جابر بن عبد الله: جاء عبد الله بن سلام إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إن قومنا قريظة والنضير قد هجرونا وفارقونا وأقسموا أن لا يجالسونا، فنزلت هذه الآية، فقرأها عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال: "يا رسول الله رضينا بالله وبرسوله وبالمؤمنين أولياء" (4) . وعلى هذا التأويل أراد بقوله: { وَهُمْ رَاكِعُونَ } صلاة التطوع بالليل والنهار، قاله ابن عباس رضي الله عنهما.
وقال السدي: قوله: "والذين آمنوا الذين يقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة وهم راكعون"، أراد به علي بن أبي طالب رضي الله عنه، مر به سائل وهو راكع في المسجد فأعطاه خاتمه (1) .
وقال جوبير عن الضحاك في قوله: { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا } قال: هم المؤمنون بعضهم أولياء بعض، وقال أبو جعفر محمد بن علي الباقر: { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا } نزلت في المؤمنين، فقيل له: إن أناسا يقولون إنها نزلت في علي رضي الله عنه، فقال: هو من المؤمنين (2) .
{ وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا } يعني: يتولى القيام بطاعة الله ونصرة رسوله والمؤمنين، قال ابن عباس رضي الله عنهما: يريد المهاجرين والأنصار، { فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ } يعني: أنصار دين الله، { هُمُ الْغَالِبُونَ }
[silakan baca sendiri, maaf catatan kakinya tidak saya ikutsertakan]
‘Perasaan’ saya sih mengatakan bahwa yang riwayat yang dibawakan oleh Ats-Tsa’labiy itu tidak ada. Entah, jika Anda mempunyai Tafsir Al-Baghawiy selain yang di atas…..
Nah, begitu pula hal yang dinafikkan Ibnu Taimiyyah dalam Tafsir Ath-Thabariy (lihatMinhajus-Sunnah 7/13) :
وأما أهل العلم الكبار أهل التفسير مثل تفسير محمد بن جرير الطبري وبقي بن مخلد وابن أبي حاتم وابن المنذر وعبد الرحمن بن إبراهيم دحيم وأمثالهم فلم يذكروا فيها مثل هذه الموضوعات.
Silakan periksa…. Mungkin Anda ketika berkata-kata tidak sedang membaca kitab Ibnu Taimiyyah, tapi membaca kitab yang lain.
Ini saja yang dapat saya tulis, semoga ada manfaatnya…….

Abul-Jauzaa’

Bahan bacaan :
1.    Lubaabun-Nuquul fii Asbaabin-Nuzuul oleh As-Suyuthi, takhrij & ta’liq : ‘Abdurrazzaaq Mahdiy; Daarul-Kutub Al-‘Arabiy, Cet. Thn. 1426
2.    Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq : Mushthafa As-Sayyid Muhammad, Muhammad As-Sayyid Rasyaad, dll; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1421.
3.    Al-Mu’jamul-Ausath oleh Ath-Thabaraniy, tahqiq : Thaariq bin ‘Awwadlillah Muhammad & ‘Abdul-Muhsin bin Ibrahim Al-Husainiy; Daarul-Haramain, Cet. Thn. 1410.
4.    Tafsir Ath-Thabariy, tahqiq : Ahmad Syaakir; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 1/1420].
5.    Tafsir Al-Baghawiy, tahqiq & takhrij : Muhammad bin ‘Abdillah Al-Namr, dll; Daaruth-Thayyibah, Cet. 4/1417.
6.    Minhaajus-Sunnah oleh Ibnu Taimiyyah, tahqiq : Dr. Muhammad Rasyaad Saalim; Univ. Muhammad bin Su’ud, Cet. 1/1406.
7.    Majma’ul-Bahrain oleh Al-Haitsami, tahqiq/takhrij : ‘Abdul-Qudduus bin Muhammad Nadziir; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1413.
8.    Tafsir Ibni Abi Haatim, tahqiq : As’ad Muhammad Thayyib; Maktabah Nizaar Mushthafaa Al-Baaz, Cet. 1/1417.
9.    Miizaanul-I’tidaal oleh Adz-Dzahabi, tahqiq : ‘Ali Muhammad Al-Bajaawiy; Daarul-Ma’rifah.
10.  Tahdziibut-Tahdziib oleh Ibnu Hajar; Daairatul-Ma’aarif An-Nidhaamiyyah, Cet. 1/1326, India.
11.  Dll.


pandangan syi'ah terhadap kesucian Al-Qur'an dan Hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam



Published on Sunday, 26 January 2014 15:31
Kata “Rafidhi” itu pecahan dari “Zaid”, yang dikenal dengan sebutan Syiah Zaidiyah [para pengikut syiah zaid], tetapi dalam perjalanan sejarahanya Syiah Zaidiyah tinggal namanya saja, karena baik syiah Zaidiyah atau Syiah Imamiyah atau Rafidhoh, menjadi satu kongsi untuk menghancurkan Islam.
Tujuannya adalah mengganti kedudukan Islam sebagai agama, memusnahkan semua Islam yang dibawa sahabat nabi, kecuali Ali. Dalam pandangan mereka, yang disebut agama adalah berdasarkan garis keturunan, bukan berdasarkan “jamaah yang dibangun Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Kalau agama berdasarkan garis keturunan Ali , ini menunjukkan otoritas agama itu sifatnya keturunan, dan hanya berlaku, diluar mereka, sekalipun misalnya mereka melakukan kesalahan. Sebab masalahnya adalam “Imam Suci” bentukan mereka, telah menghapus kemanusiaan yang ada, sebaliknya mendudukan derajat manusia sama dengan nabi nabi. Sedangkan dalam Islam kata “Ma’shum” hanya berlaku kepada para nabi saja.
Untuk membuktikan syiah agama tersendiri yang terlepas dari Islam, bisa menghayati kitab populer syiah yang membantah ke Sucian Al-Quran yang diyakini ribuan sahabat nabi waktu itu .
Muhammad bin Murtadlaa Al-Kaasyiy berkata :

لم يبق لنا اعتماد على شيء من القران. اذ على هذا يحتمل كل اية منه أن يكون محرفاً ومغيراً ويكون على خلاف ما أنزل الله فلم يقب لنا في القران حجة أصلا فتنتفى فائدته وفائدة الأمر باتباعه والوصية بالتمسك به 
“Tidaklah tersisa bagi kami untuk berpegang suatu ayat dari Al-Qur’an. Hal ini disebabkan setiap ayat telah terjadi pengubahan sehingga berlawanan dengan yang diturunkan Allah. Dan tidaklah tersisa dari Al-Qur’an satu ayatpun sebagai hujjah. Maka tidak ada lagi faedahnya, dan faedah untuk menyuruh dan berwasiat untuk mengikuti dan berpegang dengannya ….” [Tafsir Ash-Shaafiy, 1/33].
Ash-Shaafi membuktikan kenakalan syiah yang menghapus “kescuian al-Quran” sebagai kitab suci umat Islam. Padahal sejarah pengumpulan Al-Quran di saksikan ribuan orang, bukan sekedar dua atau tiga orang, yang tidak memungkinkan terjadi tumpang tindih dalam Quran. Kemungkinan besar “Imam Ali” yang masih hidup dijaman Usman, termasuk para pakar Quran seperti Ibnu Abbas tidak akan tinggal diam dengan perbuatan Usman bin Affan, buktinya hingga zaman Ali memerintah, tidak ada satupun inisiatif dari pemerintahan Ali untuk merobah al-Quran, terlebih Al-Quran itu bukan sebuah tulisan dan susunan bahasa Arab belaka, tetapi wahyu. Manakala Quran ada yang salah pada waktu itu, sudah pasti mereka akan menggunakan harta dan jiwanya untuk membela Al-Quran hingga tetets darah penghabisan. Nyatanya , baik Ali atau Umayyah tak pernah mempermasalahkan Al-Quran yang disusun oleh Usman bin Affan dengan timnya.
Penolakan Syiah dengan Quran sebagai kitab suci Umat Islam, ini merupakan bukti kalau Syiah bukan agama Islam, karena kehadiran syiah menimbulkan keraguan terhadap keberadaan Al-Quran. Menuduh para penulis dan nara sumber penggalian Al-Quran melakukan perombakan terhadap Al-Quran. Sedangkan Al-Quran di masa itu tidak sebatas dalam bentuk tulisan yang sampai kepada umat, melainkan juga dalam bentuk warisan lisan kelisan atau “hafalan”, yang tidak ada perobahan antara tulisan dan hafalan yang sampai kepada umat ini.
Pikiran syiah yang tertulis dalam kitab Ash-Shafi adalah cerminan kalau syiah inkarul Quran, dan hal itu ukuran atas kemusliman syiah atau tidak. Dengan klaim dan pernyataan syiah yang dibuat dalam kitab kitabnya, menyerang Al-Quran , hadist dan shahibul hadist, juga merupakan wajah syiah yang bukan Islam. Sebagaimana yang kita ketahui, kitab kitab Imam Bukhari, Muslim dan Imam Imam Hadist lainnya kalau saja mau jujur tak ada satupun yang tertandingi keilmiahannya.
Kesimpulannya bahwa tidak ada alasan nyata  dari syiah, melainkan asumsi fanatisme politisasi agama model syiah yang tega menyalahkan pengumpulan Al-Quran oleh usman. Umat Islam saatnya berpaling dari sandaran sandaran syiah yang menciptakan keraguan ditengah kaum muslimin, diikuti tindakan atas nama “pembelaan dan dendam Husain bin Ali Radhiallahu’anma. Padahal sekedar tipu daya syiah yang Persiaisme yang dendam terhadap Islam, sehingga dalam konsep syiah di Iran, agama adalah harus berkiblat ke pada Iran, yang dianggap sebagai kota suci keempat oleh mereka.
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“MEREKA HENDAK MEMADAMKAN CAHAYA (AGAMA) ALLAH DENGAN MULUT (UCAPAN-UCAPAN) MEREKA, DAN ALLAH TETAP MENYEMPURNAKAN CAHAYA-NYA MESKIPUN ORANG-ORANG KAFIR BENCI” [QS. Ash-Shaff : 8].

Mengapa Hadis Syiah Tidak Bisa Diterima?
Published on Tuesday, 08 July 2014 20:03
koepas.org
(koepas) - Hadis merupakan salah satu sumber hukum islam setelah Al-Qur'an, oleh karena itu demi menjaga kemurnian Islam sangat perlu diperhatikan keabsahan sebuah hadits.
Para ulama ahlu sunnah sangat memperhatikan hal ini, sehingga mereka sangat ketat dalam memfilter mana hadits yang bisa dijadikan sebagai landasan dan mana hadits yang tidak layak dikategorikan sebagai hadits baik itu karena lemah maupun palsu. Mereka memberikan syarat-syarat yang ketat dalam memilah dan menyampaikan hadits karena merupakan landasan agama yang harus dijaga kemurniannya.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan kelakuan orang-orang syi'ah, mereka tidak mempedulikan hadist-hadits nabi, mereka tidak memperhatikan keabsahan sebuah sanad, begitu juga dengan kaidah-kaidah ilmiyah dalam menyeleksi sebuah hadits.
Bagi mereka hanya hadits yang dinisbatkan kepada Ahlul bait saja yang dapat diterima tidak peduli apakah sanadnya benar atau salah, setiap hadits yang tidak dinisbatkan kepada Alul bait meskipun benar dan sesuai dengan kaidah ilmiyah tetaplah tidak mereka terima.
Dikalangan syi'ah tidak dikenal ilmu mustalah hadits, karena bagi mereka setiap riwayat asalkan dinisbatkan kepada Ahlul bait pastilah mereka terima dan percayai.
Sering sekali terdapat riwayat dalam kitab-kitab refrensi Syi'ah hadits yang diriwayatkan dengan model sanad sebagai berikut :"Dari Muhammad bin Ismail dari sebagian sahabat kami dari seorang yang meriwayatkan darinya  bahwa dia berkata….."
Dalam disiplin ilmu hadits dikalangan Ahlu sunnah, sanad seperti di atas sama sekali tidak dapat diterima dan tidak dianggap, karena didalamnya terdapat perawi yang majhul/tidak dikenal jati dirinya. Jika perawinya tidak dikenal berarti diragukan 'adalahnya(integritas kepribadian) dan tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Namun, di kalangan Syi'ah sanad yang sangat rancu dan meragukan seperti itu diterima, bahkan kitab-kitab mereka penuh dengan puluhan ribu hadits-hadits maudhu' (palsu), karena mereka memang tidak pernah menyaring riwayat-riwayat yang mereka terima, maka dengan landasan riwayat palsu dan lemah itulah mereka membangun landasan agama mereka, sehingga tak heran agama syi'ah penuh kebohongan, kerancuan dan kontradiksi.

http://koepas.org/index.php/opini/647
Published on Sunday, 26 January 2014 15:41



Semua ulama Islam dari awal sudah sepakat, kalau Abu Hurairah adalah salah satu perawi hadist yang paling banyak meriwayatkan hadits nabi. Banyak hadist yang diriwayatkan dari lidah Abu hurairah sebagai sahabat nabi, yang di sansikan Syiah, dengan satu target melemahkan barisan ahlussunah waljamah. Dan promosi hadist hadist syiah yang tidak berhasil dikalangan sunni, menyebabkan syiah mengambil jalan pintas dengan mencari cela cela yang dapat menghancurkan hadist hadits Abu Hurairah. Usaha mereka terbilang gigi mernacang berbagai cara, agar umat Islam bisa terpedaya dengan ocehan syiah yang menyiramkan air garam pada umat islam.
Pendustaan dan pemalsuan yang terus menerus dilakukan Syiah, jelas merupakan usaha gigih syiah dalam rangka membendung keyakinan sunah yang sudah mengakar, dan bertujuan menarik dan merekrut sunni dengan tipuan tipuannya kedalam Syiah yang di murkai Allah dan rasul-Nya.
Padahal sejak jaman Imam Imam Hadist sebelum Bukhari, hatta gurunya Imam Bukhari dan lainnya tidak ada seorangpun dari mereka yang menolak “Abu Hurairah”. Ribuan imam sunni dari jaman ke jaman tak pernah ada yang melakukan abortus terhadap hadits Abu Hurairah. Kelekar syiah menempatkan Abu Hurairah sebagai perawi palsu justru makin meyakinkan Muslim, kalau syiah bukan Islam. Sejak muncul imam imam fiqih semacam imam Aza’I , Malik, Abu hanifah, Imam syafii, Imam Ahmad bin Hambal, tak terkisahkan dari mereka, kalau hadist hadist Abu Hurairah adalah palsu. Mereka menggunakan hadist hadist Abu Hurairah sebagai hujjah fiqihnya.
Membaca prilaku Syiah melemahkan Abu Hurairah, kelak akan menghasilkan kesimpulan, kalau Imam Imam yang menyandarkan fiqihnya ke Abu Hurairah, atau imam imam mufasir atau imam imam mujtahid sekaliber mujahid dianggap menjadi palsu pula, dan pada gilirannya semua imam yang jumlahnya ribuan mengakui Abu hurairah adalah Imam batil tak pantas diikuti. Sedangkan dijaman khilafah dari masa ke masa tidak ada satupun tim hadist yang melecehkan Abu Hurairah, kecuali syiah yang dengan rancanganya melakukan tipu daya terhadap umat Islam.
Sinergi kesesatan tim syiah melakukan abortus terhadap hadist Abu Hurairah sebenarnya tak pernah berhasil, karena argument apapun yang digunakan Syiah melecehkan Abu hurairah tidak lebih dari basa basi taqiyah syiah yang di marginalkan oleh tokoh sunni.
Buruknya perangan syiah melecehkan sahabat nabi, sudah jelas menempatkan syiah pada posisi terpojok, tidak punya teman gaul, sehingga banyak melakukan aksi pembunuhan karakter terhadap sunni. Al-Quran sudah dilecehkan, hadistpun telah didustakan, masihkah ada pemuda Islam yang cerdas simpati dengan syiah, atau karena ketidakmampuan mereka berada dalam bingkai intelektual yang terpasung oleh logika syiah, sehingga sulit keluar dari paham sesat tersebut. Bisa di kelaskan mereka yang meninggalkan pemahaman sunni tidak ada seorangpun dari mereka yang sederajat dengan sunni hafalan dan kekuatan ingatannya. Melainkan kalangan orang orang pandir yang rakus dengan kesesatan belaka.
Dr Ahmad Al-Thayib, Syaikh Al-Azhar kemarin pagi menemui Dr Khodair Al Khuza’iy, Wakil Presiden Republik Irak dan delegasi yang menyertainya seperti dilansir alriyadh 10/06/2014.
Selama pertemuan tersebut, Wakil Presiden Irak mengungkapkan kebahagiaannya bisa bertemu Syaikh Al-Azhar,dengan membawa pesan kasih sayang dan cinta untuk Al-Azhar dari rakyat Irak, menekankan bahwa Al-Azhar memiliki karakter yang jelas dalam menyatukan umat dan mengumpulkan umat yang berpecah belah, di mana Al-Azhar menyembuhkan luka-luka dunia Arab dan Islam.
Dia menambahkan bahwa negara Islam sepakat Al-Azhar adalah simbol kemoderatan, dan sebuah mercusuar pemikiran moderat.
Basa-basi dari Wapres Irak tersebut mendapat sambutan hangat dari imam besar Al-Azhar, namun Syaikh Al-Azhar menekankan kesiapan Al-Azhar untuk mengadakan pertemuan bersama antara Ulama Sunni dan Syiah, dengan syarat Marja’ terbesar Syiah di Irak dan Iran mengeluarkan fatwa tegas dan eksplisit yang berisi pengharaman dalam bentuk tegas terhadap segala macam caci-maki terhadap para Sahabat dan Ummahatul Mu’minin (istri-istri Nabi), dan menghentikan upaya untuk menyebarkan ajaran sesat Syiah di negara-negara Sunni.
Namun bisa dipastikan para Marja' Syiah akan menolak usulan tersebut, karena pengharaman caci-maki sahabat dan istri nabi memiliki konsekuensi bahwa para Sahabat tidak merebut khilafah dari Ali dan berarti khilafah Abu Bakar, Umar, dan Utsman adalah sah, sementara hal ini semua bertolak belakang dengan keyakinan Syiah.
Republik Irak saat ini dikuasai oleh orang-orang Syiah karena bantuan dari Amerika yang secara suka rela menyerahkan Irak kepada Syiah.
Di Indonesia sendiri Syiah terang-terangan mencela para Sahabat dan istri-istri Nabi, seperti yang sering dilakukan caleg DPR-RI dari PDI-P, Jalaluddin Rakhmat baik melalui lisan maupun tulisan. Seperti yang kita ketahui bersama, Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk menganut akidah Islam Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama'ah), namun Syiah tetap berupaya keras menebarkan doktrin-doktrin sesatnya di perkotaan dan pedesaan.