http://www.kiblat.net/2013/05/22/apakah-setiap-orang-yang-keluar-dari-ketaatan-penguasa-disebut-khawarij/
KIBLAT.NET – Khuruj atau keluar dari
ketaatan terhadap penguasa Islam menjadi topik menarik dalam wacana Siyasah
Syar’iyyah(Politik Islam). Ia merupakan bentuk protes dan perlawanan terhadap
penguasa. Perwujudannya bisa beragam, mulai dari menolak baiat (janji setia)
terhadap Imam, melepas baiat yang telah diikrarkan, hingga pemberontakan. Meski
demikian para ulama lebih sering menyebut istilah Khuruj sebagai sebuah
pemberontakan.[1]
Latar belakang dan motivasinya juga
beragam, karenanya, Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji termasuk yang tidak
setuju menghukumi kelompok penentang (al-khaarijun) secara mutlak dengan hukum
tertentu (khos), tanpa terlebih dahulu dilihat apa latar belakang dan motivasi
sebuah pemberontakan dilakukan. Hingga menurutnya perlu dikembalikan pada lima
dasar hukum dalam Islam, yakni haram, makruh, mubah, sunnah, dan wajib. [2]
Karenanya, untuk mencapai kesimpulan lima
dasar hukum di atas diperlukan kajian secara teliti dan obyektif. Untuk itu
diperlukan pendefinisian secara tepat tiga unsur utama, Al-Khaarijun (kelompok
yang khuruj), Al Makhruj Alaih (Penguasa), dan Wasilatul Khuruj (sarana
khuruj). Ketepatan mendefinisikan tiga unsur di atas tentu sangat urgen untuk
beroleh sebuah konklusi hukum yang tepat pula.
Unsur penguasa misalnya, ia tidak akan
lepas dari tiga kategori: Imam adil, Imam Ja’ir/zalim (maksiat) dan Imam Murtad
(kufran bawwahan). Penegasan status kategori di atas menjadi penting karena
akan memengaruhi status hukum Al-Khaarijun (kelompok penentang). Khuruj
terhadap Imam Adil misalnya, tentu tidak bisa disamakan dengan Khuruj terhadap
Imam Murtad (kufran bawwahan).
Kelompok penentang dan sikap terhadap
mereka
Dua amal yang secara lahiriah tampak identik atau bahkan sama persis tidak
menjamin kesamaan niat, motivasi, dasar pijakan dan juga muara akhir. Dalam
konteks perlawanan terhadap penguasa misalnya, tidak bisa disamakan antara
perlawanan Husein bin Ali terhadap Yazid dengan perlawanan Khawarij terhadap
Ali bin Abi Thalib. Ulama mengklasifikasikan kelompok penentang penguasa Islam
sekurang-kurangnya menjadi empat kategori, yakni Khawarij, Al Muharabun, Bughat
dan Ahlul Adl.
Pertama, Khawarij. Sebagaimana diketahui, khawarij merupakan sekelompok orang
yang melakukan pemberontakan terhadap Imam Adil Ali bin Abi Thalib.
Pemberontakan dipicu oleh penolakan mereka terhadap Tahkim antara kubu Ali bin
Abi Thalib dan kubu Mua’wiyah.
Mereka digambarkan sebagai kelompok yang
bersahaja namun tidak berilmu. Akibatnya, mereka terlalu gegabah dalam menuduh
selain kelompoknya sebagai kafir. Hal ini berangkat dari logika sederhana
mereka bahwa orang muslim tidak mungkin maksiat. Barang siapa maksiat berarti
bukan muslim. Konyolnya, maksiat itu sendiri diukur atas persepsi (ra’yu)
mereka, hingga apa yang dilakukan oleh Ali bin Thalib dan sahabat lain
dipandang sebagai maksiat karenanya telah keluar dari Islam. Berikutnya,
kelompok ini berkembang menjadi kelompok ideologi yang memiliki prinsip-prinsip
(mabadi’) Aqidah menyimpang. Yang paling menonjol adalah sikap pengkafiran
terhadap pelaku maksiat dan pandangan wajib memberontak kepada Imam Ja’ir.
Terhadap kelompok semacam ini Rasulullah
bersabda:
“Seorang di antara kamu akan menganggap
remeh (amat sedikit) shalatnya ketika membandingkan dengan shalat mereka, akan
menganggap remeh (amat sedikit) shaumnya ketika membandingkan dengan shaum
mereka dan akan menganggap remeh bacaan Al-Qur’annya ketika membandingkan
dengan bacaan Al-Qur’an mereka. Mereka membaca Al-Qur’an tidak sampai melampaui
tenggorokannya. Dan mereka melesat lepas dari Islam sebagaimana melesatnya
batang anak panah dari busurnya. Di mana kamu jumpai mereka, maka bunuhlah
mereka. Sesungguhnya pembunuhan terhadap mereka akan mendapat pahala di hari
Kiamat bagi yang membunuhnya” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Para sahabat pun menyikapi secara tegas.
Mereka turut memerangi bersama Ali bin Abi Thalib.
Kedua, Al Muhaaribun. Sekelompok pembuat
onar yang sering mengganggu stabilitas keamanan, meresahkan penduduk dengan
melakukan aksi teror, perampokan pencurian dan sejenisnya. Kewajiban Imam
adalah menegakkan hukum (hadd) seperti tertera dalam Al Maidah: 33:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”.
Untuk menjelaskan ayat di atas, Imam
Syafi’i meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Jika mereka—al-muharibun—membunuh
sekaligus merampas harta, maka hukuman mereka dibunuh dan disalib, jika mereka
membunuh tanpa merampas harta maka hukumannya dibunuh tanpa disalib, jika
mereka merampas harta tanpa membunuh maka dipotong tangan dan kaki mereka
secara bertimbal balik, dan jika mereka menakut-nakuti di jalanan (teror) tanpa
merampas harta maka hukumannya diusir dari negeri…”.[3]
Ketiga, Bughat. Sekelompok yang
melawan Imam Adil. Motivasinya bisa karena menuntut hak, ambisi jabatan, ambisi
dunia, kepentingan kelompok, kesalahpahaman atas sebuah persoalan, dan
lain-lain.[4]
Kelompok semacam ini tidak boleh langsung diperangi, melainkan diperlukan pola
pendekatan persuasif (islah) dengan mencoba melacak lebih jauh apa motivasi
perlawanannya. Jika ada kesalahpahaman (syubhat) maka perlu diberi penjelasan,
jika ada hak yang terampas maka perlu dikembalikan. Jika pola Islah tidak
membuahkan hasil, baru dilakukan cara represif.[5] Seperti firman Allah
dalam Al Hujurat: 5.
“Dan jika dua
golongan orang beriman saling berperang, maka islahlah antara keduanya, Jika
salah satu dari keduanya melampaui batas (bughot), maka perangilah kelompok
yang melampaui batas sampai kembali kepada urusan Allah”
Keempat, Ahlul Haq (Pembela Kebenaran). Sekelompok penegak keadilan yang
melawan Imam Ja’ir. Seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar: “Sekelompok yang
khuruj terhadap penguasa dalam keadaan marah atas dasar dien, karena melihat
penguasa yang ja’ir (zalim) dan meninggalkan sunnah (tuntunan) Nabi. Mereka
adalah Ahlul Haq, termasuk di dalamnya, Husein bin Ali, Penduduk Madinah dalam
perang Harrah, dan mereka yang melawan Hajjaj bin Yusuf”. [6]
Seperti disebut
dalam sejarah, Husein bin Ali, Ibnu Zubair dan Penduduk Madinah, pernah
menentang penguasa pada masanya.
Pertikaian itu terjadi, di samping karena prosedur pengangkatannya yang
dipersoalkan, juga menyangkut kelayakan. [7]
Al Waqidi meriwayatkan
dari jalan Adullah bin Hanzhalah Al-Ghasiil, “Demi Allah, kami tidak khuruj;
terhadap Yazid kecuali karena kami takut dihujani batu dari langit. Karena
sesungguhnya ia orang yang menggauli ummahatul aulad—budak-budak yang telah
melahirkan dan tidak sah digauli, gadis-gadis, akhwat, suka meminum khamer, dan
meninggalkan shalat. [8]
Ketidaklayakan
itulah yang menjadikan Husein bin Ali Abdullah bin Zubair enggan berbaiat.
Husein yang semula menolak ajakan khuruj penduduk Kufah pada masa Mu’awiyah,
menjadi berpikir lain ketika Yazid tampil. Didukung penyataan tertulis penduduk
Irak yang menyatakan akan mendukungnya, ia akhirnya pergi ke Kufah beserta
kerabat dan beberapa pendukungnya dari Hijaz. Beberapa sahabat senior seperti
Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan yang lain berusaha mencegah kepergiannya karena
khawatir mereka akan dibunuh. Para sahabat juga sangsi atas kesetiaan penduduk
Irak. Namun, nasihat tersebut tidak dihiraukan, dan akhirnya apa yang
dikhawatirkan menjadi kenyataan. Husein beserta keluarga dan pendukungnya
dibantai di Karbala. [9]
Tahun 63 Hijriah,
giliran penduduk Madinah melepaskan baiat terhadap Yazid, atau yang lebih
dikenal dengan tragedi Harrah. Imam Suyuthi berkata, “Sebab penduduk Madinah
melepaskan bai’ah adalah karena Yazid berlebih-lebihan dalam maksiat”. [10]
Ibnu Katsir menjelaskan, tragedi Harrah bermula saat utusan penduduk Madinah
menghadap Yazid bin Mu’awiyah di Damaskus di bawah pimpinan Abdullah bin
Handhalah bin Abi Amir. Mereka disambut dengan baik.
Sepulang dari
Damaskus, para utusan bercerita kepada penduduk Madinah perihal perilaku
menyimpang Yazid, seperti meminum khamer yang berdampak munculkan
kemungkaran-kemungkaran lain, termasuk kesalahan yang dinilai paling besar
adalah meninggalkan shalat karena mabuk. Penduduk Madinah kemudian bersepakat
melepaskan ketaatan. Hal ini mereka lakukan di mimbar Nabi. Mendengar hal ini,
Yazid mengutus pasukan di bawah pimpinan Muslim bin Uqbah—para Salaf
memelesetkan menjadi Musrif (melampaui batas) bin Uqbah. Sesampainya di
Madinah, mereka menghalalkan Madinah selama tiga hari. Ribuan penduduk dibunuh.
Dari kalangan Ahli Qur’an saja, menurut Imam Malik, tidak kurang dari 700
orang. [11]
Pasukan mengarah ke
Makkah untuk mengepung kelompok Ibnu Zubair yang tengah berlindung di Ka’bah.
Di tengah perjalanan, komandan pasukan mati, kemudian digantikan oleh yang
lain. Mereka mengepung dan memerangi kelompok Ibnu Zubair dengan menggunakan
manjaniq—pelontar batu—hingga merusak Ka’bah. Ini terjadi bulan Shafar tahun 64
Hijriah. Pada tahun itu juga Yazid meninggal dunia, penduduk Syam mengangkat
Mu’awiyah bin Yazid atas wasiat Amir sebelumnya, dan kepemimpinannya hanya
berlangsung 20 hari—dalam riwayat lain 40 hari—karena keburu meninggal dunia.
Sementara Abdullah bin Zubair menyeru penduduk untuk membaiat (mengangkat)
dirinya menjadi imam. Ia resmi menjadi Amirul Mukminin dan diakui oleh penduduk
Hijaz, Iraq dan Khurasan. Semenjak itu terjadi dualisme kepemimpinan.
Sepeninggal
Mu’awiyah bin Yazid, penduduk Syam mengangkat Marwan bin Hakam. Dalam kasus ini
Adz-Dzahabi menyatakan—dan pernyataan ini dibenarkan As-Suyuthi—bahwa Marwan
bin Hakam tidak sah sebagai Amirul Mukminin karena menurut riwayat yang benar,
tidak ada pengangkatan dirinya oleh Amir sebelumnya. Karenanya ia berstatus
Bughat terhadap Amir yang sah, Ibnu Zubair.
Ibnu Zubair terus
mengendalikan pemerintahannya dari Makkah hingga akhirnya ia berhasil
digulingkan oleh Abdul Malik bin Marwan yang mengutus Hajjaj beserta pasukannya
mengepung Makkah selama berbulan-bulan. Seperti pasukan sebelumnya, Hajjaj juga
menggunakan pelontar batu hingga berhasil membunuh Ibnu Zubair beserta
pendukungnya pada Jumadil Ula tahun 73 Hijriah. Sejak itu ahli sejarah semacam
Suyuthi, baru menyatakan sah atas kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan. [12]
Meski singkat,
penggalan sejarah di atas cukup memberikan gambaran tentang motivasi
penentangan yang dilakukan Hussein bin Ali, Penduduk Madinah dan Ibnu Zubair
terhadap penguasa masa itu. Tak lain, adalah semangat pembelaan terhadap dien.
Karenanya, para Ulama memasukkan mereka pada kategori Ahlul Haq, bukan
Khawarij, bukan bughat dan bukan yang lainnya.
Terhadap kelompok
semacam ini Al Hafidz berpendapat, “Adapun barang siapa yang keluar dari
ketaatan terhadap Imam Ja’ir untuk membela hak harta, jiwa dan keluarganya maka
ia ma’dhur (mendapat udhur) dan tidak halal memeranginya, dan baginya hendaklah
membela jiwa, harta dan keluarganya sesuai kemampuannya”.
Pendapat tersebut
sesuai dengan perkataan Ali bin Thalib a yang diriwayatkan Thabari, “Jika
mereka menyelisihi Imam Adil, maka perangilah mereka, namun jika mereka
memerangi Imam Ja’ir, maka jangan perangi mereka karena bagi mereka maqal
(tempat)”. [13]
Demikianlah, empat
tipe kelompok penentang. Status masing-masing kelompok berikut cara
menghadapinya berbeda-beda, tidak bisa dipukul rata, baik sebutan maupun cara
menyikapi mereka. Karenanya Ibnu Taimiyyah mengkritik beberapa Fuqaha’ yang
mencantumkan sikap Abu Bakar memerangi mumtani’uz zakat, sikap Ali memerangi
Khawarij, dan sikap Ali memerangi pasukan Jamal ke dalam sebuah bab, “Memerangi
Ahlul Baghyi”. Selanjutnya, Ibnu Taimiyyah mentarjih, “Adapun Jumhur ahlul ilmi
maka mereka membedakan antara Kelompok Khawarij, Pasukan Jamal, dan Shiffin,
dan selain Pasukan Jamal dan Siffin dari kelompok Bughat yang muta’awwil. Ini
pendapat yang dikenal di kalangan sahabat, juga pendapat kebanyakan Ahlul
Hadits, Fuqaha’ dan Ahli Kalam.” [14]
Penutup
Seluruh kaum muslimin, terutama para anggota gerakan Islam, harus mempelajari
persoalan-persoalan hukum, menyebarkan keharusan mengingkari thaghut, wajibnya
memberontak dan melengserkan pemerintahan murtad ketika memiliki kemampuan,
serta wajibnya beri’dad ketika dalam keadaan lemah. Sebab, menyebarkan
pemahaman di atas membuat musuh Allah marah, menyadarkan umat dari tidurnya,
dan menjelaskan penyebab keterpurukan mereka selama ini.
Dengan membahas wajibnya memberontak,
kami tak bermaksud menganjurkan pembaca melakukan perbuatan-perbuatan yang tak
bertanggung jawab yang mengakibatkan timbulnya kerusakan yang lebih besar
daripada maslahat yang diinginkan. Akan tetapi, maksud kami ialah menyadarkan
umat akan pentingnya persiapan yang matang, planning yang bagus terhadap segala
perencanaan, kesungguhan, keikhlasan, dan tidak bergantungnya hati pada
faktor-faktor penyebab ini.
Kaum muslimin harus meyakini bahwa
pertolongan hanyalah bersumber dari Allah semata. Allah berfirman, “Dan
kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Ali-Imran:
126).
Namun demikian, kaum muslimin juga tidak
boleh tergesa-gesa. Perjuangan memerlukan persiapan yang panjang. Jika kaum
muslimin telah berhasil mempersiapkan kekuatan hingga dianggap cukup oleh para
pakar di bidangnya serta di atas kertas telah terbukti musuh bisa dikalahkan,
saat itulah kaum muslimin boleh memberontak melawan pemerintahan kafir.
————————-
[1] Abdullah bin Umar Sulaiman Ad
Dumaiji. Al Imamah Al Udzma ‘Inda Ahlis Sunnah wal-Jama’ah. Sebuah desertasi
untuk memperoleh gelar Magister bidang Aqidah pada Fakultas Syari’ah wad
Dirasat Islamiyah Universitas Ummul Quro Makkah. Desertasi ini mendapat
predikat Mumtaz (cumlaude). Hal. 491
[2] ibid. 491
[3] Ibnu Taimiyyah. Siyasah Syar’iyyah. Bab Uqubatul Muharibin. Selanjutnya
beliau menyatakan bahwa ini merupakan pendapat mayoritas Ulama, ada juga yang
berpendapat bahwa hukumannya ditentukan kebijakan penguasa.
[4] Baca juga At Tasyri’ Al Jina’i. Abdul Qadir Audah. II/673. Muassasah
Risalah.
[5] Abdul Qadir berkata: Seluruh Mazhab bersepakat bahwa memerangi
kelompok penentang tidak boleh dilakukan sebelum menanyakan sebab mereka
melakukan pertentangan. Jika alasan mereka karena menuntut hak atau memprotes
kezaliman sedangkan mereka berada dijalan yang benar, maka kewajiban penguasa
mengembalikan hak dan menghapuskan kezaliman seperti yang mereka tuntut,
kemudian mengajak kepada mereka untuk kembali taat, sebaliknya, pihak penentang
juga harus siap taat…. Ibid. II/679.
[6] Fathul Baari: XII/286
[7] Adalah, merupakan syarat kriteria yang harus dimiliki pemimpin Islam,
menyangkut sikap adil, amanah, akhlak dan kepribadian yang terpuji, Lihat, Al
Imamah Al Udzma. 251.
[8] Imam Suyuthi. Tarikhul Khulafa’. 195. Namun, riwayat Al-Waqidi ini perlu
diverifikasi ulang.
[9] Periksa Tarikhul Khulafa’. Imam Suyuthi. 191-195 Darul Fikr
[10] Ibid. 195
[11] Periksa, Al Bidayah Wan Nihayah. Ibnu Katsir VI/619. Darul Ma’rifah
[12] Lihat. Ibid. 200
[13] Lihat. Ibid. 200
[14] Lihat. Ibid. 200
Editor: Agus Abdullah
Al-Ustadz
Abdul Hakim bin Amir Abdat
“Kami melaksanakan dalam rangka menaati
dan mengikuti ulil amri!”
Ini adalah
perkataan yang sangat batil yang telah menjadikan ulil amri sebagai tuhan-tuhan
selain Allah yang telah menetapkan kepada mereka sebuah syari’at walaupun
menyalahi Syari’at Rabbul ‘alamin. Oleh karena itu tidak ada seorangpun Ulama
yang mengatakan secara mutlak ketaatan kepada ulil amri seperti perekataan yang
sangat batil di atas. Akan tetapi mereka selalu mengkaitkan dengan ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila perkataan atau ketetapan ulil amri
menyalahi ketetapan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tidak boleh didengar dan tidak
boleh ditaati, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat
kepada Rabbul ‘alamin sebagaimana telah di jelaskan dalam hadits-hadits yang
shahih dalam masalah ini. Selain perkataan dan perbuatan mereka diatas
menyerupai manhaj Khawarij secara khusus dan manhaj ahli bid’ah secara umum,
yaitu berdalil dengan dalil-dalil umum atau mutlak dengan meninggalkan
dalil-dalil yang tidak bersifat umum atau mutlak. Maka ikutilah penjelasan
tafsirnya berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
“Hai
orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (-Nya), dan ulil
amri diantara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah
lebih utama(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An-Nisaa': 59)
Dalam ayat
yang mulia iniAllah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk taat
kepada Allah dan Rasul-Nya secara mutlak. Oleh karena itu Allah mengulang fi’il
(kata kerja) ” athi’u ” (أَطِيعُوا) ketika memerintahkan untuk menaati-Nya dan
menaati Rasul-Nya. Adapun ketaatan kepada ulil amri tidak secara mutlak, tetapi
terkait dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah tidak
mengulang kata kerja (fi’il) athi’u ketika memerintahkan untuk menaati ulil
amri. Karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Apabila ulil amri memerintahkan kepada kita untuk maksiat kepada
Allah dan Rasul-Nya atau perintahnya menyalahi Al-Kitab dan Sunnah, maka tidak
boleh didengar dan ditaati sebagaimana telah di jelaskan di dalam Al-Kitab dan
Sunnah dari hadits-hadits shahih. Karena kalau kita taati perintah ulil amri
yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka kita telah menjadikan ulil
amri tersebut sebagai tuhan-tuhan selain dari Allah yang ditaati perintah dan
larangannya secara mutlak sebagaimana perbuatan Ahli Kitab dari orang-orang
Yahudi dan Nashara. Tetapi sangat penting kita ketahui, bahwa
larangan tidak boleh mendengar dan mentaati perintah ulil amri yang menyalahi
Al-Kitab dan Sunnah, tidaklah mewajibkan kepada kita untuk memberontak yang
kemudian menjatuhkannya atau yang semakna dengannya sebagaimana perbuatan ahli
bid’ah dan firqoh-firqoh sesat seperti khawarij dan mu’tazilah dan yang sepaham
dengan mereka. Tetapi ada cara yang diajarkan oleh islam dalam menasehati dan
memperingati ulil amri yang zhalim atau yang memerintahkan maksiat atau yang
perintahnya menyalahi keputusan Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan
yang dimaksud dengan ketaatan kepada Allah ialah dengan berpegang dan mengikuti
kitab-Nya Al-Qur’an. Dan ketaatan kepada Rasul dengan berpegang dan mengikuti
Sunnahnya. Ayat yang mulia ini (Qs.An-Nisaa': 59, admin) menjadi sebesar-besar
dalil dan hujjah akan kedudukan dan ketinggian serta kemuliaan Sunnah, bahwa
menaati Rasul yakni dengan mengikuti Sunnahnya secara mutlak, baik terdapat di
dalam Al-Qur’an atau tidak, sama saja, kewajiban kita mentaati dan
mengikutinya. Jelas sekali dari ayat yang muliakita mengetahui, bahwa orang
yang meninggalkan Sunnah dengan sendirinya dia telah meninggalkan Al-Kitab
(Al-Qur’an) dan tidak menaati Allah secara mutlak. Dari sini pun kita
mengetahui, bahwa orang yang menjadikan dalil aqli (yang diputuskan oleh akal)
sebagai asas, kemudian dalil naqli(yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah)
mengikutinya, yang pada hakekatnya mereka telah menjadikan akal-akal mereka
sebagai raja yang memerintahkan` dua wahyu yang mulia (Al-Kitab dan Sunnah).
Mereka inilah orang-orang yang tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan
tingkat kesesatan mereka.
Kemudian ,
pada bagian kedua dari ayat yang mulia ini, Allah Tabaaraka wa Ta’ala telah
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengembalikan segala
sesuatu yang mereka perselisihkan dari urusan dunia dan akherat kepada Allah
dan Rasul-Nya, yakni kepada Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya. Karena didalam
Al-Kitab dan Sunnah itulah mereka akan mendapati penjelasan danpenyelesaian
tentang hukum yang mereka perselisihkan. Sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi
ketika Allah memerintahkan untuk mengembalikan segalaperselisihan kepada
Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya kemudian mereka benar-benar mengembalikan kepada
keduanya. Dengan syarat, tentunya mengembalikan kepada keduanya itu dengan cara
yang benar, yaitu dengan ilmu dan keadilan bukan dengan kebodohan dan hawa. Dan
hal ini menjadi bukti bahwa kita memang benar-benar beriman kepada Allah dan
hari akhir. Kemudian buah yang akan dihasilkan dari mengembalikan segala urusan
perselisihan kepada Al-Kitab dan Sunnah ialah penyelesaiannya akan berakhir
dengan kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat kamu.
Disalin
dari Kitab Al-Masaa-il Jilid 5 (Masalah 110) hal. 88-92 oleh guru kami Al-Ustadz
Abdul Hakim bin Amir Abdat~semoga Allah menjaganya~. (Pustaka Darus Sunnah – Jakarta,
Cetakan 1, November 2005)