Sunday, October 19, 2014

Amnesti Internasional: Milisi Syiah Lebih Kejam dari ISIS

http://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2014/10/18/31560/lakukan-pembantaian-amnesti-internasional-milisi-syiah-lebih-kejam-dari-isis.html

Di saat seluruh dunia berfokus menyerang gerakan Daulah Islamiyah Iraq wa Syam (DAIS) atau sering disingkat ISIS atau ISIL, lembaga hak asasi manusia (HAM) Internasional menemukan banyak korban warga Sunni jadi korban pembantaian milisi Syiah.
Dalam satu laporan bertajuk “Absolute Impunity: Militia Rule in Iraq” yang diterbitkan hari Selasa 14 Oktober 2014, lembaga HAM internasional berbasis di London, Amnesti Internasional (AI) menemukan banyak korban diculik dari rumah mereka, tempat kerja atau pos-pos pemeriksaan.
Mereka kemudian ditemukan tewas, kebanyakan dengan tangan terborgol dan ditembak di belakang kepala.
Laporan AI diperoleh dari keluarga korban dan saksi yang telah dikuatkan oleh Departemen Kesehatan, di mana ditemukan dalam beberapa terakhir mereka telah menerima puluhan mayat laki-laki tak dikenal dengan luka tembak di kepala dan sering dengan kondisi tangan mereka diikat dengan logam, tali plastik, atau kain.
Menurut AI, pola pembunuhan dilakukan secara disengaja, sebagaimana gaya eksekusi. Beberapa korban tewas bahkan setelah pihak keluarga telah membayar uang tebusan.
Beberapa keluarga mengatakan kepada AI bagaimana mereka telah menerima panggilan dan ditakuti dan ancaman pihak penculik dengan meminta uang tebusan puluhan ribu dolar AS, tapi akhirnya tetap saja dibunuh.
“Aku memohon teman-teman dan kenalan untuk meminjam uang tebusan guna menyelamatkan anak saya, tapi setelah saya bayar mereka justru membunuhnya dan sekarang saya tidak punya cara untuk membayar kembali uang yang saya pinjam,” ujar seorang ibu sebagaimana dikutip AI dalam laporannya.
Menurut AI, puluhan korban lainnya kini masih dinyatakan hilang. Pihak amnesti juga telah mendokumentasikan puluhan kasus penculikan dan pembunuhan di luar hukum oleh milisi Syiah di wilayah Baghdad, Samarra dan Kirkuk.
Mayoritas korban ditemukan tewas tertembak di belakang kepala dengan tangan terborgol
mengutip anggota milisi Syiah Asa’ib Ahl al-Haq, salah satu milisi terbesar di Iraq, bertugas di pos pemeriksaan di utara Baghdad, mengatakan, “Jika kita berhasil menangkap “anjing itu” (Sunni) turun dari Tikrit kita mengeksekusi mereka; di daerah-daerah mereka semua bekerja dengan DAIS/ISIS.Mereka datang ke Baghdad untuk melakukan kejahatan teroris. Jadi kita harus menghentikan mereka,” ujarnya dikutip laman www.independent.co.uk.
Amnesti juga menuduh milisi Syiah Iraq sengaja memanfaatkan perang melawan ISIS justru untuk membantai warga sipil Muslim Sunni di seluruh Iraq.
Menurut AI, milisi Syiah –di antaranya Brigade Badr dan Mehdi—di mana mereka justru mendapat dukungan pemerintah Iraq (terutama saat Iraq diperintah PM Nuri al-Maliki), termasuk menyediakan senjata, melawan ISIS.
Namun kenyataan milisi Syiah dinilai lebih suka membunuh warga sipil Muslim Sunni yang tak bersenjata. Mereka beroperasi di luar kerangka hukum dan tanpa pengawasan resmi. Mereka menyebabkan peningkatan pelanggaran hukum serius di Iraq.
“Mereka kejam. Mereka memicu konflik sektarian dengan kedok memerangi terorisme,” ujar Donatella Rovera, panasehat senior AI.
“Mereka lebih suka menghukum Muslim Sunni atas kebangkitan ISIS,” lanjut Rovera.
Menurut AI, milisi Syiah terus beroperasi dengan berbagai tingkat kerjasama dengan pasukan pemerintah, mulai persetujuan secara diam-diam, terkoordinasi, bahkan operasi bersama.
Meski demikian, PM Haidar al-Abbadi tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah kekejian yang diperlihatkan milisi Syiah saat ini. (hidayatullah.com)

Apakah Setiap Orang yang Keluar dari Ketaatan Penguasa Disebut Khawarij?

http://www.kiblat.net/2013/05/22/apakah-setiap-orang-yang-keluar-dari-ketaatan-penguasa-disebut-khawarij/
KIBLAT.NET – Khuruj atau keluar dari ketaatan terhadap penguasa Islam menjadi topik menarik dalam wacana Siyasah Syar’iyyah(Politik Islam). Ia merupakan bentuk protes dan perlawanan terhadap penguasa. Perwujudannya bisa beragam, mulai dari menolak baiat (janji setia) terhadap Imam, melepas baiat yang telah diikrarkan, hingga pemberontakan. Meski demikian para ulama lebih sering menyebut istilah Khuruj sebagai sebuah pemberontakan.[1]
Latar belakang dan motivasinya juga beragam, karenanya, Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji termasuk yang tidak setuju menghukumi kelompok penentang (al-khaarijun) secara mutlak dengan hukum tertentu (khos), tanpa terlebih dahulu dilihat apa latar belakang dan motivasi sebuah pemberontakan dilakukan. Hingga menurutnya perlu dikembalikan pada lima dasar hukum dalam Islam, yakni haram, makruh, mubah, sunnah, dan wajib. [2]
Karenanya, untuk mencapai kesimpulan lima dasar hukum di atas diperlukan kajian secara teliti dan obyektif. Untuk itu diperlukan pendefinisian secara tepat tiga unsur utama, Al-Khaarijun (kelompok yang khuruj), Al Makhruj Alaih (Penguasa), dan Wasilatul Khuruj (sarana khuruj). Ketepatan mendefinisikan tiga unsur di atas tentu sangat urgen untuk beroleh sebuah konklusi hukum yang tepat pula.
Unsur penguasa misalnya, ia tidak akan lepas dari tiga kategori: Imam adil, Imam Ja’ir/zalim (maksiat) dan Imam Murtad (kufran bawwahan). Penegasan status kategori di atas menjadi penting karena akan memengaruhi status hukum Al-Khaarijun (kelompok penentang). Khuruj terhadap Imam Adil misalnya, tentu tidak bisa disamakan dengan Khuruj terhadap Imam Murtad (kufran bawwahan).
Kelompok penentang dan sikap terhadap mereka
Dua amal yang secara lahiriah tampak identik atau bahkan sama persis tidak menjamin kesamaan niat, motivasi, dasar pijakan dan juga muara akhir. Dalam konteks perlawanan terhadap penguasa misalnya, tidak bisa disamakan antara perlawanan Husein bin Ali terhadap Yazid dengan perlawanan Khawarij terhadap Ali bin Abi Thalib. Ulama mengklasifikasikan kelompok penentang penguasa Islam sekurang-kurangnya menjadi empat kategori, yakni Khawarij, Al Muharabun, Bughat dan Ahlul Adl.
Pertama, Khawarij. Sebagaimana diketahui, khawarij merupakan sekelompok orang yang melakukan pemberontakan terhadap Imam Adil Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan dipicu oleh penolakan mereka terhadap Tahkim antara kubu Ali bin Abi Thalib dan kubu Mua’wiyah.
Mereka digambarkan sebagai kelompok yang bersahaja namun tidak berilmu. Akibatnya, mereka terlalu gegabah dalam menuduh selain kelompoknya sebagai kafir. Hal ini berangkat dari logika sederhana mereka bahwa orang muslim tidak mungkin maksiat. Barang siapa maksiat berarti bukan muslim. Konyolnya, maksiat itu sendiri diukur atas persepsi (ra’yu) mereka, hingga apa yang dilakukan oleh Ali bin Thalib dan sahabat lain dipandang sebagai maksiat karenanya telah keluar dari Islam. Berikutnya, kelompok ini berkembang menjadi kelompok ideologi yang memiliki prinsip-prinsip (mabadi’) Aqidah menyimpang. Yang paling menonjol adalah sikap pengkafiran terhadap pelaku maksiat dan pandangan wajib memberontak kepada Imam Ja’ir.
Terhadap kelompok semacam ini Rasulullah bersabda:
“Seorang di antara kamu akan menganggap remeh (amat sedikit) shalatnya ketika membandingkan dengan shalat mereka, akan menganggap remeh (amat sedikit) shaumnya ketika membandingkan dengan shaum mereka dan akan menganggap remeh bacaan Al-Qur’annya ketika membandingkan dengan bacaan Al-Qur’an mereka. Mereka membaca Al-Qur’an tidak sampai melampaui tenggorokannya. Dan mereka melesat lepas dari Islam sebagaimana melesatnya batang anak panah dari busurnya. Di mana kamu jumpai mereka, maka bunuhlah mereka. Sesungguhnya pembunuhan terhadap mereka akan mendapat pahala di hari Kiamat bagi yang membunuhnya” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Para sahabat pun menyikapi secara tegas. Mereka turut memerangi bersama Ali bin Abi Thalib.
Kedua, Al Muhaaribun. Sekelompok pembuat onar yang sering mengganggu stabilitas keamanan, meresahkan penduduk dengan melakukan aksi teror, perampokan pencurian dan sejenisnya. Kewajiban Imam adalah menegakkan hukum (hadd) seperti tertera dalam Al Maidah: 33:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”.
Untuk menjelaskan ayat di atas, Imam Syafi’i meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Jika mereka—al-muharibun—membunuh sekaligus merampas harta, maka hukuman mereka dibunuh dan disalib, jika mereka membunuh tanpa merampas harta maka hukumannya dibunuh tanpa disalib, jika mereka merampas harta tanpa membunuh maka dipotong tangan dan kaki mereka secara bertimbal balik, dan jika mereka menakut-nakuti di jalanan (teror) tanpa merampas harta maka hukumannya diusir dari negeri…”.[3]
Ketiga, Bughat.
Sekelompok yang melawan Imam Adil. Motivasinya bisa karena menuntut hak, ambisi jabatan, ambisi dunia, kepentingan kelompok, kesalahpahaman atas sebuah persoalan, dan lain-lain.[4]
Kelompok semacam ini tidak boleh langsung diperangi, melainkan diperlukan pola pendekatan persuasif (islah) dengan mencoba melacak lebih jauh apa motivasi perlawanannya. Jika ada kesalahpahaman (syubhat) maka perlu diberi penjelasan, jika ada hak yang terampas maka perlu dikembalikan. Jika pola Islah tidak membuahkan hasil, baru dilakukan cara represif.[5]   Seperti firman Allah dalam Al Hujurat: 5.
“Dan jika dua golongan orang beriman saling berperang, maka islahlah antara keduanya, Jika salah satu dari keduanya melampaui batas (bughot), maka perangilah kelompok yang melampaui batas sampai kembali kepada urusan Allah”
Keempat, Ahlul Haq (Pembela Kebenaran). Sekelompok penegak keadilan yang melawan Imam Ja’ir. Seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar: “Sekelompok yang khuruj terhadap penguasa dalam keadaan marah atas dasar dien, karena melihat penguasa yang ja’ir (zalim) dan meninggalkan sunnah (tuntunan) Nabi. Mereka adalah Ahlul Haq, termasuk di dalamnya, Husein bin Ali, Penduduk Madinah dalam perang Harrah, dan mereka yang melawan Hajjaj bin Yusuf”. [6]
Seperti disebut dalam sejarah, Husein bin Ali, Ibnu Zubair dan Penduduk Madinah, pernah menentang penguasa pada masanya.
Pertikaian itu terjadi, di samping karena prosedur pengangkatannya yang dipersoalkan, juga menyangkut kelayakan. [7]
Al Waqidi meriwayatkan dari jalan Adullah bin Hanzhalah Al-Ghasiil, “Demi Allah, kami tidak khuruj; terhadap Yazid kecuali karena kami takut dihujani batu dari langit. Karena sesungguhnya ia orang yang menggauli ummahatul aulad—budak-budak yang telah melahirkan dan tidak sah digauli, gadis-gadis, akhwat, suka meminum khamer, dan meninggalkan shalat. [8]
Ketidaklayakan itulah yang menjadikan Husein bin Ali Abdullah bin Zubair enggan berbaiat. Husein yang semula menolak ajakan khuruj penduduk Kufah pada masa Mu’awiyah, menjadi berpikir lain ketika Yazid tampil. Didukung penyataan tertulis penduduk Irak yang menyatakan akan mendukungnya, ia akhirnya pergi ke Kufah beserta kerabat dan beberapa pendukungnya dari Hijaz. Beberapa sahabat senior seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan yang lain berusaha mencegah kepergiannya karena khawatir mereka akan dibunuh. Para sahabat juga sangsi atas kesetiaan penduduk Irak. Namun, nasihat tersebut tidak dihiraukan, dan akhirnya apa yang dikhawatirkan menjadi kenyataan. Husein beserta keluarga dan pendukungnya dibantai di Karbala. [9]
Tahun 63 Hijriah, giliran penduduk Madinah melepaskan baiat terhadap Yazid, atau yang lebih dikenal dengan tragedi Harrah. Imam Suyuthi berkata, “Sebab penduduk Madinah melepaskan bai’ah adalah karena Yazid berlebih-lebihan dalam maksiat”. [10] Ibnu Katsir menjelaskan, tragedi Harrah bermula saat utusan penduduk Madinah menghadap Yazid bin Mu’awiyah di Damaskus di bawah pimpinan Abdullah bin Handhalah bin Abi Amir. Mereka disambut dengan baik.
Sepulang dari Damaskus, para utusan bercerita kepada penduduk Madinah perihal perilaku menyimpang Yazid, seperti meminum khamer yang berdampak munculkan kemungkaran-kemungkaran lain, termasuk kesalahan yang dinilai paling besar adalah meninggalkan shalat karena mabuk. Penduduk Madinah kemudian bersepakat melepaskan ketaatan. Hal ini mereka lakukan di mimbar Nabi. Mendengar hal ini, Yazid mengutus pasukan di bawah pimpinan Muslim bin Uqbah—para Salaf memelesetkan menjadi Musrif (melampaui batas) bin Uqbah. Sesampainya di Madinah, mereka menghalalkan Madinah selama tiga hari. Ribuan penduduk dibunuh. Dari kalangan Ahli Qur’an saja, menurut Imam Malik, tidak kurang dari 700 orang. [11]
Pasukan mengarah ke Makkah untuk mengepung kelompok Ibnu Zubair yang tengah berlindung di Ka’bah. Di tengah perjalanan, komandan pasukan mati, kemudian digantikan oleh yang lain. Mereka mengepung dan memerangi kelompok Ibnu Zubair dengan menggunakan manjaniq—pelontar batu—hingga merusak Ka’bah. Ini terjadi bulan Shafar tahun 64 Hijriah. Pada tahun itu juga Yazid meninggal dunia, penduduk Syam mengangkat Mu’awiyah bin Yazid atas wasiat Amir sebelumnya, dan kepemimpinannya hanya berlangsung 20 hari—dalam riwayat lain 40 hari—karena keburu meninggal dunia. Sementara Abdullah bin Zubair menyeru penduduk untuk membaiat (mengangkat) dirinya menjadi imam. Ia resmi menjadi Amirul Mukminin dan diakui oleh penduduk Hijaz, Iraq dan Khurasan. Semenjak itu terjadi dualisme kepemimpinan.
Sepeninggal Mu’awiyah bin Yazid, penduduk Syam mengangkat Marwan bin Hakam. Dalam kasus ini Adz-Dzahabi menyatakan—dan pernyataan ini dibenarkan As-Suyuthi—bahwa Marwan bin Hakam tidak sah sebagai Amirul Mukminin karena menurut riwayat yang benar, tidak ada pengangkatan dirinya oleh Amir sebelumnya. Karenanya ia berstatus Bughat terhadap Amir yang sah, Ibnu Zubair.
Ibnu Zubair terus mengendalikan pemerintahannya dari Makkah hingga akhirnya ia berhasil digulingkan oleh Abdul Malik bin Marwan yang mengutus Hajjaj beserta pasukannya mengepung Makkah selama berbulan-bulan. Seperti pasukan sebelumnya, Hajjaj juga menggunakan pelontar batu hingga berhasil membunuh Ibnu Zubair beserta pendukungnya pada Jumadil Ula tahun 73 Hijriah. Sejak itu ahli sejarah semacam Suyuthi, baru menyatakan sah atas kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan. [12]
Meski singkat, penggalan sejarah di atas cukup memberikan gambaran tentang motivasi penentangan yang dilakukan Hussein bin Ali, Penduduk Madinah dan Ibnu Zubair terhadap penguasa masa itu. Tak lain, adalah semangat pembelaan terhadap dien. Karenanya, para Ulama memasukkan mereka pada kategori Ahlul Haq, bukan Khawarij, bukan bughat dan bukan yang lainnya.
Terhadap kelompok semacam ini Al Hafidz berpendapat, “Adapun barang siapa yang keluar dari ketaatan terhadap Imam Ja’ir untuk membela hak harta, jiwa dan keluarganya maka ia ma’dhur (mendapat udhur) dan tidak halal memeranginya, dan baginya hendaklah membela jiwa, harta dan keluarganya sesuai kemampuannya”.
Pendapat tersebut sesuai dengan perkataan Ali bin Thalib a yang diriwayatkan Thabari, “Jika mereka menyelisihi Imam Adil, maka perangilah mereka, namun jika mereka memerangi Imam Ja’ir, maka jangan perangi mereka karena bagi mereka maqal (tempat)”. [13]
Demikianlah, empat tipe kelompok penentang. Status masing-masing kelompok berikut cara menghadapinya berbeda-beda, tidak bisa dipukul rata, baik sebutan maupun cara menyikapi mereka. Karenanya Ibnu Taimiyyah mengkritik beberapa Fuqaha’ yang mencantumkan sikap Abu Bakar memerangi mumtani’uz zakat, sikap Ali memerangi Khawarij, dan sikap Ali memerangi pasukan Jamal ke dalam sebuah bab, “Memerangi Ahlul Baghyi”. Selanjutnya, Ibnu Taimiyyah mentarjih, “Adapun Jumhur ahlul ilmi maka mereka membedakan antara Kelompok Khawarij, Pasukan Jamal, dan Shiffin, dan selain Pasukan Jamal dan Siffin dari kelompok Bughat yang muta’awwil. Ini pendapat yang dikenal di kalangan sahabat, juga pendapat kebanyakan Ahlul Hadits, Fuqaha’ dan Ahli Kalam.” [14]
Penutup
Seluruh kaum muslimin, terutama para anggota gerakan Islam, harus mempelajari persoalan-persoalan hukum, menyebarkan keharusan mengingkari thaghut, wajibnya memberontak dan melengserkan pemerintahan murtad ketika memiliki kemampuan, serta wajibnya beri’dad ketika dalam keadaan lemah. Sebab, menyebarkan pemahaman di atas membuat musuh Allah marah, menyadarkan umat dari tidurnya, dan menjelaskan penyebab keterpurukan mereka selama ini.
Dengan membahas wajibnya memberontak, kami tak bermaksud menganjurkan pembaca melakukan perbuatan-perbuatan yang tak bertanggung jawab yang mengakibatkan timbulnya kerusakan yang lebih besar daripada maslahat yang diinginkan. Akan tetapi, maksud kami ialah menyadarkan umat akan pentingnya persiapan yang matang, planning yang bagus terhadap segala perencanaan, kesungguhan, keikhlasan, dan tidak bergantungnya hati pada faktor-faktor penyebab ini.
Kaum muslimin harus meyakini bahwa pertolongan hanyalah bersumber dari Allah semata. Allah berfirman, “Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Ali-Imran: 126).
Namun demikian, kaum muslimin juga tidak boleh tergesa-gesa. Perjuangan memerlukan persiapan yang panjang. Jika kaum muslimin telah berhasil mempersiapkan kekuatan hingga dianggap cukup oleh para pakar di bidangnya serta di atas kertas telah terbukti musuh bisa dikalahkan, saat itulah kaum muslimin boleh memberontak melawan pemerintahan kafir.
————————-
[1] Abdullah bin Umar Sulaiman Ad Dumaiji. Al Imamah Al Udzma ‘Inda Ahlis Sunnah wal-Jama’ah. Sebuah desertasi untuk memperoleh gelar Magister bidang Aqidah pada Fakultas Syari’ah wad Dirasat Islamiyah Universitas Ummul Quro Makkah. Desertasi ini mendapat predikat Mumtaz (cumlaude). Hal. 491
[2] ibid. 491
[3] Ibnu Taimiyyah. Siyasah Syar’iyyah. Bab Uqubatul Muharibin. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa ini merupakan pendapat mayoritas Ulama, ada juga yang berpendapat bahwa hukumannya ditentukan kebijakan penguasa.
[4] Baca juga At Tasyri’ Al Jina’i. Abdul Qadir Audah. II/673. Muassasah Risalah.
[5]  Abdul Qadir berkata: Seluruh Mazhab bersepakat bahwa memerangi kelompok penentang tidak boleh dilakukan sebelum menanyakan sebab mereka melakukan pertentangan. Jika alasan mereka karena menuntut hak atau memprotes kezaliman sedangkan mereka berada dijalan yang benar, maka kewajiban penguasa mengembalikan hak dan menghapuskan kezaliman seperti yang mereka tuntut, kemudian mengajak kepada mereka untuk kembali taat, sebaliknya, pihak penentang juga harus siap taat…. Ibid. II/679.
[6]  Fathul Baari: XII/286
[7]  Adalah, merupakan syarat kriteria yang harus dimiliki pemimpin Islam, menyangkut sikap adil, amanah, akhlak dan kepribadian yang terpuji, Lihat, Al Imamah Al Udzma. 251.
[8] Imam Suyuthi. Tarikhul Khulafa’. 195. Namun, riwayat Al-Waqidi ini perlu diverifikasi ulang.
[9] Periksa Tarikhul Khulafa’. Imam Suyuthi. 191-195 Darul Fikr
[10] Ibid. 195
[11] Periksa, Al Bidayah Wan Nihayah. Ibnu Katsir VI/619. Darul Ma’rifah
[12] Lihat. Ibid. 200
[13] Lihat. Ibid. 200
[14]  Lihat. Ibid. 200
Editor: Agus Abdullah


Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
 “Kami melaksanakan dalam rangka menaati dan mengikuti ulil amri!”
Ini adalah perkataan yang sangat batil yang telah menjadikan ulil amri sebagai tuhan-tuhan selain Allah yang telah menetapkan kepada mereka sebuah syari’at walaupun menyalahi Syari’at Rabbul ‘alamin. Oleh karena itu tidak ada seorangpun Ulama yang mengatakan secara mutlak ketaatan kepada ulil amri seperti perekataan yang sangat batil di atas. Akan tetapi mereka selalu mengkaitkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila perkataan atau ketetapan ulil amri menyalahi ketetapan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tidak boleh didengar dan tidak boleh ditaati, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Rabbul ‘alamin sebagaimana telah di jelaskan dalam hadits-hadits yang shahih dalam masalah ini. Selain perkataan dan perbuatan mereka diatas menyerupai manhaj Khawarij secara khusus dan manhaj ahli bid’ah secara umum, yaitu berdalil dengan dalil-dalil umum atau mutlak dengan meninggalkan dalil-dalil yang tidak bersifat umum atau mutlak. Maka ikutilah penjelasan tafsirnya berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (-Nya), dan ulil amri diantara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An-Nisaa': 59)
Dalam ayat yang mulia iniAllah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya secara mutlak. Oleh karena itu Allah mengulang fi’il (kata kerja) ” athi’u ” (أَطِيعُواketika memerintahkan untuk menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya. Adapun ketaatan kepada ulil amri tidak secara mutlak, tetapi terkait dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah tidak mengulang kata kerja (fi’il) athi’u ketika memerintahkan untuk menaati ulil amri. Karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila ulil amri memerintahkan kepada kita untuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya atau perintahnya menyalahi Al-Kitab dan Sunnah, maka tidak boleh didengar dan ditaati sebagaimana telah di jelaskan di dalam Al-Kitab dan Sunnah dari hadits-hadits shahih. Karena kalau kita taati perintah ulil amri yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka kita telah menjadikan ulil amri tersebut sebagai tuhan-tuhan selain dari Allah yang ditaati perintah dan larangannya secara mutlak sebagaimana perbuatan Ahli Kitab dari orang-orang Yahudi dan Nashara. Tetapi sangat penting kita ketahui, bahwa larangan tidak boleh mendengar dan mentaati perintah ulil amri yang menyalahi Al-Kitab dan Sunnah, tidaklah mewajibkan kepada kita untuk memberontak yang kemudian menjatuhkannya atau yang semakna dengannya sebagaimana perbuatan ahli bid’ah dan firqoh-firqoh sesat seperti khawarij dan mu’tazilah dan yang sepaham dengan mereka. Tetapi ada cara yang diajarkan oleh islam dalam menasehati dan memperingati ulil amri yang zhalim atau yang memerintahkan maksiat atau yang perintahnya menyalahi keputusan Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan yang dimaksud dengan ketaatan kepada Allah ialah dengan berpegang dan mengikuti kitab-Nya Al-Qur’an. Dan ketaatan kepada Rasul dengan berpegang dan mengikuti Sunnahnya. Ayat yang mulia ini (Qs.An-Nisaa': 59, admin) menjadi sebesar-besar dalil dan hujjah akan kedudukan dan ketinggian serta kemuliaan Sunnah, bahwa menaati Rasul yakni dengan mengikuti Sunnahnya secara mutlak, baik terdapat di dalam Al-Qur’an atau tidak, sama saja, kewajiban kita mentaati dan mengikutinya. Jelas sekali dari ayat yang muliakita mengetahui, bahwa orang yang meninggalkan Sunnah dengan sendirinya dia telah meninggalkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak menaati Allah secara mutlak. Dari sini pun kita mengetahui, bahwa orang yang menjadikan dalil aqli (yang diputuskan oleh akal) sebagai asas, kemudian dalil naqli(yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah) mengikutinya, yang pada hakekatnya mereka telah menjadikan akal-akal mereka sebagai raja yang memerintahkan` dua wahyu yang mulia (Al-Kitab dan Sunnah). Mereka inilah orang-orang yang tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan tingkat kesesatan mereka.
Kemudian , pada bagian kedua dari ayat yang mulia ini, Allah Tabaaraka wa Ta’ala telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengembalikan segala sesuatu yang mereka perselisihkan dari urusan dunia dan akherat kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya. Karena didalam Al-Kitab dan Sunnah itulah mereka akan mendapati penjelasan danpenyelesaian tentang hukum yang mereka perselisihkan. Sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi ketika Allah memerintahkan untuk mengembalikan segalaperselisihan kepada Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya kemudian mereka benar-benar mengembalikan kepada keduanya. Dengan syarat, tentunya mengembalikan kepada keduanya itu dengan cara yang benar, yaitu dengan ilmu dan keadilan bukan dengan kebodohan dan hawa. Dan hal ini menjadi bukti bahwa kita memang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Kemudian buah yang akan dihasilkan dari mengembalikan segala urusan perselisihan kepada Al-Kitab dan Sunnah ialah penyelesaiannya akan berakhir dengan kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat kamu.
Disalin dari Kitab Al-Masaa-il Jilid 5 (Masalah 110) hal. 88-92 oleh guru kami Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat~semoga Allah menjaganya~. (Pustaka Darus Sunnah – Jakarta, Cetakan 1, November 2005)



Mana yang Lebih Berbahaya, Syi’ah atau Khawarij?

http://www.kiblat.net/2014/10/18/mana-yang-lebih-berbahaya-syiah-atau-khawarij
KIBLAT.NET – Syiah dan Khawarij merupakan dua sekte yang muncul secara bersamaan dalam satu waktu bahkan dari sumber yang sama. Meski demikian di antara keduanya ada kesamaan dalam sebagian perkara dan ada perbedaan dalam beberapa perkara lainnya.
Seorang pemerhati dunia Syiah yang berasal dari Mesir, Abdul Malik bin Abdurrahman as Syafi’i dalam bukunya al Fikr at Takfiri ‘Inda as Syi’ah Haqiqah am Iftira’ (Pemikiran Mudah Mengkafirkan Dalam Syiah: Nyata atau Mengada-ada?) menyatakan,  “Syiah dan Khawarij berkolaborasi dalam menebarkan ide-ide takfir dan dalam memusuhi kaum muslimin. Hanya saja kalangan Khawarij melakukan takfir secara terang-terangan dan terbuka. Seperti mereka menyatakan inilah akidah kami. Lain halnya dengan kalangan Syiah yang menyembunyikan pemikiran takfirnya dan tidak memunculkannya di hadapan kaum muslimin. Padahal buku-buku otoritatif mereka penuh dengan riwayat yang begitu mudah mengkafirkan kaum muslimin.”
Meski demikian, ada beberapa poin kesamaan antara Khawarij dan Syiah. Di antaranya, mereka sama-sama berpandangan ekstrem, pola pikir yang pendek, dangkal dalam pemahaman agamanya, mudah mengkafirkan kaum muslimin yang berseberangan dengan mereka, menolak hadits yang shahih meskipun mutawatir, taklid kepada para tokoh dan lain-lain.
Kemudian muncul pertanyaan, manakah yang paling berbahaya antara Syiah dan Khawarij? Jika ditelusuri lebih lanjut kesamaan dan perbedaan antara kedua sekte tersebut maka dapat dipastikan bahwa Syiah jauh lebih berbahaya dari pada kalangan Khawarij.
Di antara karakteristik kalangan Khawarij adalah memerangi kaum muslimin dan membiarkan kaum paganisme. Sementara kalangan Syiah senantiasa membantu kaum kafir dalam memerangi kaum muslimin, mereka tunduk kepada kaum kafir dan mereka menjadi mitra kaum kafir. Sikap kalangan Syiah ini sebagaimana yang bisa kita lihat baik di Iran, Iraq, Lebanon, Yaman, Indonesia dan negara-negara lainnya. Kalangan Syiah begitu mesra berdampingan dengan kaum kafir dari kalangan Yahudi, Nashara, dan sekte-sekte sesat.
Kalangan Khawarij generasi awal mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin ‘Ash. Sementara kalangan Syi’ah mengkafirkan seluruh sahabat kecuali hanya segelintir. Kalangan Syiah mengkafirkan para sahabat yang mulia seperti Abu Bakar, Umar bin Khathtab, Utsman bin Affan dan istri-istri Nabi.
Pengkafiran terhadap sosok-sosok yang mulia bisa dilihat dalam ritual Idul Ghadir yang telah lalu dan bisa ditemukan juga nanti dalam ritual Asyura mereka di bulan Muharram.
Dengan demikian, Syiah lebih berbahaya dari pada Khawarij, penyimpangan mereka lebih banyak dari pada penyimpangan Khawarij. Kelompok Syiah dipenuhi dengan kemunafikan dan ini tidak ditemukan dalam Khawarij dan pengkafiran yang mereka lakukan pun jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan vonis kafir yang dilakukan kalangan Khawarij.
Yang jelas, kita berlindung dari dua sekte yang menyimpang ini, dan tidak bisa berharap banyak dari mereka dalam meninggikan kalimat Allah di muka bumi.
Penulis : Dr. (cand) Anung Al-Hamat, Wakil Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Wilayah DKI dan Ketua Forum Studi Sekte-sekte Islam (FS3I).


Kang Jalal Tulis Disertasi Terkait Kegagalan Nabi SAW Menunjuk Pemimpin

http://www.kiblat.net/2014/10/16/kang-jalal-tulis-disertasi-terkait-kegagalan-nabi-saw-menunjuk-pemimpin/
KIBLAT.NET, Jakarta – Tokoh Syiah Indonesia, Jalaludin Rakhmat, sedang menulis disertasi yang menyebabkan dia diancam akan dihukum mati. Pasalnya, dalam disertasi yang masih dalam tahap penulisan ini Jalal menulis bahwa Nabi Muhammad SAW gagal mengorganisasikan masyarakat sesudahnya.
“Saya sedang menulis sebuah disertasi yang kedua, dan ini mungkin disertasi yang paling lama yang saya kerjakan,” ungkap Jalal, yang mengaku sedang menulis disertasi di UIN Alauddin, Makassar.
“Ini jadi sekian lama karena mungkin satu-satunya disertasi yang mendapat tekanan dari penduduk di sekitarnya. Sudah pernah didemo beberapa kali dan saya mau diancam mau dihukum mati. Kemudian dilaporkan ke polisi karena disertasi itu, yang belum terbit, baru dalam tahap proses pembuatan,” katanya.
Pasalnya, dalam disertasi itu pemimpin organisasi Syiah IJABI ini menulis bahwa Nabi Muhammad SAW gagal mengorganisasikan masyarakat sepeninggalnya. Dia mengaku mengutip tulisan tersebut dari sejarawan Barat, Arnold Joseph Toynbee.
“Ajaib, Muhammad adalah seorang yang cerdas dan seorang manajer yang brilian (sebelumnya ditulis penyihir, red). Ternyata dia tidak berhasil mengorganisasikan masyarakat sesudahnya, karena dia tidak meninggalkan siapa pemimpin masyarakat sesudahnya. Dia pergi begitu saja, tanpa meninggalkan siapa yang dia amanati untuk meneruskan memimpin masyarakat,” demikian ujar Jalal, mengutip pernyataan Arnold Toynbee dalam disertasinya.
Jalal juga mengutip sejarawan Italia, Leone Caetani yang menyatakan, Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan pengganti yang meneruskan kepemimpinannya karena dia tidak sempat melakukannya.
“Dia (SAW) tidak mengira bahwa kematiannya datang terlalu cepat. Jadi kematiannya begitu cepat sehingga beliau belum sempat karena beliau lupa menunjuk penerusnya,” pungkas Jalal.
Reporter: Imam S.
Editor: Fajar Shadiq
4 Responses to “Kang Jalal Tulis Disertasi Terkait Kegagalan Nabi SAW Menunjuk Pemimpin”
amin says:
Kalau mengutip pendapat ahli sejarah yang bener donk, yang kredibel dan yang tidak punya kebencian.
dan kalau anda mengutip pendapat tersebut, itu artinya anda sama dengan mereka, tanpa pengetahuan dan pemahaman yang benar.
Kalau anda sama dengan mereka, apakah anda masih bisa disebaut orang Islam atau anda sudah menjadi musuh Islam dan musuh Allah.
Jangan berkedok “pendapat orang lain” kalau diri anda juga setuju, pada hakekatnya diri anda lah yang ikut tersesat, semoga Allah SWT memberikan hidayah untuk anda
abu+iffah says:
Innalillahi, Bahkan Allah Al Aziz dalam Alquran sdh menegaskan bahwa ajaran agama ini sdh sempurna dan dengan himkah yang tinggi, rasulullah diwafatkan di waktu yang tepat, tdk ada keraguan sedikitpun bagi kami terhadap masalah ini.
Allah Maha Sempurna dalam ketentuan dan taqdirNya
Bagi jalal, satu hal yang perlu anda tahu, bahwa kisah ummat2 terdahulu yang dibinasakan karena menentang dan mencela NabiNya sangat bisa terulang pada diri anda.
Wallahu’alam,
Hasbiyallaah says:
Jalal, jalal… alangkah beraninya nt menantang Neraka Jahannam !!!… ‘selamat’ untuk ye !!!!
lavon says:
Subhanalloh …keji sekali orang ini.. dia menyebut nama Nabi shollallohu alaihi wassalam tanpa penghormatan … dan dia menuduh Nabi shollahu ‘alaihi wassalam lupa menunjuk pengganti… padahal Nabi shollahu ‘alaihi wassalam sudah tahu ajal beliau sudah dekat, bahkan Abu Bakar pun tahu, juga sahabat yang lain rodhiyallohu ‘anhum. Betapa syaithan sudah menyesatkan orang ini ..
Semoga Alloh memberi kita petunjuk-Nya.