Oleh: Syekh Utsman bin
Ahmad Al Khumais
Ayat wilâyah itu
maksudnya ayat yang berbicara tentang hak kepemimpinan terhadap umat Islam.
Yang dimaksudkan ayat wilâyah oleh kaum Syiah adalah firman Allah:
“Sesungguhnya yang berhak menjadi wali (penolong/pemimpin) bagi kalian hanyalah
Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan
menunaikan zakat seraya mereka rukuk (tunduk kepada Allah).” (Al-Maidah:
55).
Dengan ayat ini
kaum Syiah berdalih bahwa Ali adalah orang yang lebih berhak memegang
kepemimpinan umat Islam (setelah Wafatnya Rasulullah) mendahului Abu Bakar,
Umar, dan Utsman. Titik yang mereka jadikan sebagai dalil sebetulnya tidak
termaktub dalam nash ayat, tetapi pada sebab turunnya ayat ini. Bila kita lihat
nash ayat ini sama sekali tidak menyinggung nama Ali tidak pula nama seorang
pun sahabat Rasulullah yang lain. Ayat ini hanya menyebutkan Allah, Rasulullah,
dan orang-orang yang beriman secara global dengan ciri-ciri mendirikan shalat
dan membayar zakat seraya rukuk (tunduk) kepada Allah. Jadi, di manakah letak
dalil bahwa Ali adalah orang yang paling berhak sebagai penerus Rasulullah
dalam memimpin umat? Mereka (syi’ah) mengatakan dan meyakini bahwa letak
dalilnya ada pada peristiwa sebab turunnya ayat ini.
Menurut anggapan
mereka, sebab turunnya ayat ini berupa peristiwa bahwa pada waktu itu Ali
sedang mengerjakan shalat, lalu datanglah seorang pengemis yang meminta-minta
pada orang orang yang hadir di tempat itu, namun tidak seorang pun juga yang
sudi memberinya. Setelah itu sang pengemis menghampiri Ali yang sedang
melakukan rukuk. Kendati dalam keadaan demikian, Ali mengulurkan tangannya yang
bercincin dan sang peminta-minta itu tanpa ragu mengambil cincin tersebut. Atas
peristiwa ini, Allah menurunkan ayat, “Sesungguhnya yang berhak menjadi wali
(penolong/pemimpin) bagi kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka rukuk
(tunduk kepada Allah).” (Al-Maidah [ 55). Kaum Syiah mengatakan, “Orang
memberikan zakat dalam keadaan rukuk hanya seorang saja, yakni Ali bin Abu
Thalib
Ayat ini, atau yang
lebih dikenal di kalangan mereka sebagai ayat wilâyah, sejauh yang saya baca
dan karya-karya ulama mereka, merupakan dalil terkuat mereka dalam permasalahan
kepemimpinan Ali mendahului para sahabat lainnya. Sekarang, mari kita lihat
kenyataan sebenarnya, apakah ayat ini menunjukkan seperti yang mereka maksud
ataukah tidak.
Ayat ini pernah
dilontarkan dalam forum perdebatan yang saya ikuti. Dan telah juga disampaikan
jawaban atas beberapa syubhat mereka terkait ayat ini. Namun demikian,
sebagaimana telah saya sampaikan, kita perlu lebih memperjelas maksud ayat ini
dan menerangkan seberapa jauh unsur penunjukannya terhadap kepemimpinan Ali.
Hal yang layak
mendapat kritikan adalah anggapan yang mereka jadikan sebagai sebab turunnya
ayat ini seperti yang sudah diterangkan tadi. Kritik ini bisa kita sampaikan
melalui beberapa titik.
Pertama, terkait keharusan khusyuk dalam shalat. Pada
tempat lain di dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang
yang beriman itu, (yakni) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.”
(Al-Mu’minun: 1-2). Dalam hadits, Rasulullah juga bersabda, “Sesungguhnya di
dalam shalat ada kesibukan.” (Shahih Al-Bukhâri, no. 1199; Shahih Muslim, no.
34). Maksud hadits ini, bahwa shalat itu sendiri merupakan kesibukan pelakunya
dalam menghadapkan dien sepenuhnya kepada Allah, istilahnya adalah khusyuk.
Sehingga, pelaku shalat tidak diperkenankan melakukan kegiatan atau kesibukan
lain di luar gerakan-gerakan shalat.
Imam Ali -dalam
pandangan kita yang mengikuti pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah- termasuk salah
satu di antara para pemimpin umat Muslim, kaum beriman, dan orang-orang yang
khusyuk. Sehingga sangatlah tidak pantas apa yang digambarkan oleh kaum Syiah,
bahwa Ali tersibukkan melakukan gerakan lain ketika shalat dalam rangka
membayar zakat. Berkebalikan dengan mereka, kita justru berpendapat bahwa Au
termasuk orang yang memegang kuat firman Allah, “Sungguh beruntung orang orang
yang beriman itu, (yakni) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya,” sekaligus
pribadi yang konsekuen mengaplikasikan sabda Nabi, “Sesungguhnya di dalam
shalat ada kesibukan.”
Kedua, adalah tentang prinsip berzakat, di mana seorang
muzakky-lah yang harusnya memiliki inisiatif untuk menyerahkannya tanpa
menunggu si fakir atau miskin datang lalu meminta zakat darinya. Perbuatan
menunggu si miskin datang dan meminta itu bukanlah sesuatu yang terpuji, karena
yang terpuji hanyalah bila si muzakky berinisiatif memberikannya secara sadar
tanpa permintaan dari pihak si miskin. Dengan demikian, kita melihat bahwa
mustahil Imam Ali melakukan hal tersebut, yakni menunggu orang fakir
menghampirinya kemudian barulah dia memberikan zakat harta pada orang itu.
Ketiga, bahwa Ali belum terkena beban kewajiban membayar
zakat di zaman Nabi, sebab dia sendiri hidup dalam keadaan perekonomian yang
pas-pasan —`bahkan seringkali kekurangan. Mari kita mengingat kembali apa yang
sudah pernah kita ketahui, berapa mas kawin yang diberikan oleh Ali untuk
menikahi Fathimah? Ia memaharinya sebuah baju besi. Itu karena Ali bukan orang
yang berharta. Ia tergolong fakir, tidak mampu membeli satu pun budak atau
mengupah satu pun pembantu untuk meringankan pekerjaan rumah Fathimah. Lantaran
itu pula ketika Ali dan Fathimah mendengar berita didatangkannya para tawanan
perang yang pasukan mereka telah dikalahkan oleh Nabi dan kaum Muslim, keduanya
menemui beliau untuk meminta salah seorang dan tawanan itu guna dijadikan
pembantu —tanpa upah— di rumah. Lihatlah, faktanya keduanya tidak memiliki
harta walau hanya untuk membeli budak. Apakah dalam kondisi seperti ini Ali
bisa membayar zakat harta di zaman Nabi? Jelas tidak mungkin. Zakat belum wajib
ditunaikan Ali pada masa kehidupan Nabi .
Keempat, ayat ini tidak menunjukkan pujian terhadap orang
yang memberikan harta dalam keadaan rukuk, sebab kalau memang maksudnya seperti
itu tentulah memberikan zakat di tengah-tengah rukuk lebih baik dibanding
waktu-waktu yang lain. Karenanya, kita tidak pernah mungkin mengatakan kepada
manusia, “Bayarlah zakat harta Anda saat Anda sedang rukuk dalam shalat, sebab
Allah menyanjung orang-orang yang membayarkan zakat hartanya saat sedang
rukuk!” Kita juga tidak bisa mengatakan kepada kaum fakir, “Carilah orang-orang
yang sedang rukuk, lalu mintalah zakat dan mereka!” Saya yakin, tidak ada
seorang pun ahlul ilmi yang akan mengatakan demikian.
Kelima, sesungguhnya yang Allah sebutkan dalam surah Al
Maidah ayat 55 itu adalah iqâmah shalat (penegakannya) dan bukan ada’ shalat
(pelaksanaannya). ini merupakan petunjuk bahwa kewajiban shalat bukan hanya
asal telah dilaksanakan saja, tetapi harus betul-betul ditegakkan melalui
kekhusyukan dengan tidak melakukan hal-hal yang di luar dan rangkaian tata cara
shalat itu. Menegakkan shalat amat jelas berbeda dengan menunaikannya.
Menegakkan shalat berarti mengerjakannya secara sempurna, lengkap dengan
syarat-syarat, rukun-rukun, dan kewajiban-kewajibannya bahkan juga hal- hal
yang dianjurkan menyertai dalam shalat seperti berwudhu dengan sempurna serta
bersikap khusyuk dan tuma’ninah.
Keenam, ketika ada yang mempermasalahkan pemisahan
antara shalat dengan rukuk dalam surah Al-Maidah ayat 55 yang di tengah-tengah
kedua hal itu disisipi dengan mengeluarkan zakat, kita yakin bahwa pemiihan
kata dan kalimat di dalam Al-Qur’an adalah bentuk bahasa yang paling fasih dan
tidak mungkin seorang pun menemukan ada yang cacat padanya walau hanya satu
bentuk kesalahan saja, baik dalam hal kaidah bahasanya (nahwu), retorikanya
(balaghah), derivasinya (sharaf), serta aspek-aspek kebahasaan lainnya. Tidak
mungkin ada yang salah, karena Al-Qur’an adalah sebaik baik kalam.
Karena demikian
kenyataannya, maka saya kira masih akan ada pertanyaan, mengapakah zakat
disisipkan di antara shalat dan rukuk. Maka jawabnya, firman Allah “seraya
mereka rukuk” sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan shalat yang telah
disebutkan terlebih dahulu. Tiada lain maksud rukuk di sini adalah tunduk
merendah diri kepada Allah, sebagaimana firman Allah tentang Nabi Daud, “… Dan
Daud menduga bahwa Kami mengujinya, maka dia memohon ampun kepada Rabbnya lalu
menyungkur rukuk (tunduk) dan bertaubat.” (Shad: 24). Kiranya telah sama-sama
diketahui bahwa Nabi Daud pada kenyataannya menyungkur sujud —yang pada nash
ayat disebutkan rukuk—, di mana sujud dalam momen-momen tertentu—sujud tilawah
misalnya— tidak musti berkaitan dengan shalat, yang oleh karenanya tidak bisa
dikaitkan antara menegakkan shalat dengan rukuk (sujud) pada surah Al-Maidah
ayat 55.
Tetapi jika masih
ada yang mempermasalahkan hal mi, bah wa yang diketahui adalah Nabi Daud
bersujud namun mengapa surah Shad ayat 24 menyatakan dengan lafal rukuk? Maka
maksud rukuk dalam ayat ini adalah “tunduk kepada Allah” Ayat lain yang memuat
kata rukuk dengan arti seperti ini adalah firman Allah tentang Maryam, “Hai
Maryam, taatilah Rabbmu! Sujud dan rukuklah kamu bersama orang-orang yang
rukuk!” (Ali: Imran: 43). Para mufassir memaknai ayat ini dengan “tunduklah
kamu bersama orang-orang yang tunduk”. Konon Maryam hidup seorang diri di dalam
bilik Baitul Maqdis, lantaran dia telah menjadi obyek nadzar ibunya untuk
diperabdikan agar fokus beribadah di Baitul Maqdis. Ditambah lagi bahwa wanita
tidak wajib mengerjakan shalat berjamaah bersama orang-orang yang rukuk, maka
jadilah bahwa tiada lain maksud ayat tersebut adalah “tunduklah kamu ke pada
Allah bersama orang-orang yang tunduk”
Jadi, kembali
kepada surah Al-Maidah ayat 55, bahwa maksud firman Allah “seraya mereka rukuk”
adalah mereka —dalam segala kondisi— tunduk kepada Allah. Otomatis, tidak ada
keharusan hubungan antara tunduk kepada Allah dengan tata cara penegakan
shalat, dan berarti pula bahwa disisipkannya dua hal ini dengan pembayaran
zakat bukanlah suatu kesalahan.
Ketujuh, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak sependapat bila
surah Al-Maidah ayat 55 turun berkenaan dengan Ali, sebab kami yakin secara
pasti bahwa kisah tersebut tidak benar. Tidak pernah ada pengemis yang datang
meminta-minta pada Ali saat dia sedang rukuk, tidak benar pula bahwa Ali
menyerahkan zakat saat tengah rukuk. Apa yang diceritakan itu sedikit pun tidak
pernah terjadi.
Bagi yang mau
membaca ayat tersebut dengan seksama disertai beberapa ayat sebelum dan
sesudahnya, dengan pasti akan tahu bahwa ayat itu memiliki sebab turun yang
tidak seperti dikemukakan oleh kalangan Syiah. Itu pertama kali dapat dilacak
pada ayat yang ke 51 di surah yang sama, “Wahai orang-orang beriman,
janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin
pemimpin (kalian)! Sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.
Barangsiapa di antara kalian menjadikan mereka pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang dzalim.” (Al-Maidah [51]). Dalam ayat ini terlihat jelas
bahwa Allah melarang kaum Mukmin menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani
sebagai wali (pemimpin, penolong, sahabat setia, dan semisalnya).
Diriwayatkan dalam
sebuah hadits yang bersanad hasan bahwa sebab turun ayat ini adalah kejadian
yang dialami oleh Ubaidah bin shamit. Di dalamnya menyatakan bahwa Abdullah bin
Ubay bin Salul minta kepada Rasulullah syafaat (pemaafan) bagi Bani Qainuqa’ ketika beliau hendak membunuh mereka.
Ia merayu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk
mewujudkan syafaat itu, hingga akhirnya beliau membiarkan Bani Qainuqà’ tetap hidup atas permintaannya tadi.
Karena hal itu, orang-orang Yahudi Bani Nadhir juga menginginkan hal serupa,
yakni agar Ubaidah bin Shamit mengajukan syafaat untuk mereka -seperti yang
diperbuat Abdullah bin Ubay ibn Salul bagi Bani Qainuqa’. Namun, secara mentah-mentah, Ubadah bin Shamit menolak
untuk melakukan itu. Ada pancaran iman yang benderang dalam jiwa Ubadah bin
Shamit, yang mana ia juga termasuk peserta Baiat Aqabah, berbeda dengan
Abdullah bin Ubay bin Salul yang menyembunyikan kemunafikan di dalam dirinya
dan bahkan merupakan pentolan kaum munafik. Dengan keimanannya, tidak mungkin
Ubadah bin Shamit melakukan apa yang diperbuat oleh Abdullah bin Ubay bin
Salul. Oleh karena itu, dia enggan meluluskan keinginan Bani Nadhir bahkan menolak mereka dengan
mentah-mentah. Maka, diturunkanlah firman Allah surah Al-Maidah ayat ke-51
tadi, yang berlanjut hingga ayat ke-56.
Jika kita
perhatikan dengan seksama, ayat-ayat tersebut (51 sampai 56) bertemakan
kepemimpinan kaum beriman dalam skala umum, dan bukan berbicara tentang
seseorang yang bersedekah (atau berzakat) dalam shalat. Setiap orang mungkin
saja membuat klaim sebab turunnya ayat seperti yang dibuat kaum Syiah itu,
dengan menyandarkannya pada figur-figur lain. Sebagai misal, bisa saja
seseorang mengarang hadits palsu yang disandarkan kepada Thalhah bin Ubaidilah,
dan berkata bahwa Thalhah bersedekah dalam keadaan rukuk, sehingga dia
menjustiflkasi bahwa ayat ke-55 dan surah Al Maidah itu berkenaan dengan
Thalhah. Lalu ada orang lain yang mengatakan bahwa ayat itu berkenaan dengan
Zubair, dengan melakukan hal serupa. Dan selanjutnya, ada orang lagi yang
menisbatkan ayat itu kepada Khalid bin Walid. Bahkan ada lagi yang
menyatakannya berkenaan dengan Abbas, paman Nabi. Begitu seterusnya sehingga
klaim-klaim yang tidak berdasar seperti ini terus menggelinding tak ada
habisnya.
Tindakan memalsukan
hadits dan membuat kedustaan atas nama Nabi seperti itu bukanlah hal yang
sulit, tetapi dosanya teramat besar di hadapan Allah. Sebab, telah disebutkan
dalam hadits bahwa siapa saja yang berdusta atas nama Nabi maka ia harus
bersiap-siap menempati jatahnya di neraka. Semoga Allah melindungi kita semua
dan neraka.
Andaipun kita
mengalah dan mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan Ali -padahal
kenyataannya ayat ini tidak turun berkaitan dengannya-, pertanyaannya adalah,
adakah isinya yang menyinggung tentang masalah kekhilafahan atau kewilâyahan?
Manakah lafal yang menyebutkan khilafah? Sama sekali di situ tidak disebutkan
tentang kekhilafahan. Jika lafal “Innamâ
waliyyukum” diartikan sebagai “hâkimukum” (pemimpin kalian), maka pertanyaannya, pantaskah dikatakan
bahwa Allah merupakan pemimpin kita yang menjadi khalifah di bumi? Keyakinan
kita mengatakan bahwa Allah adalah Pencipta semua makhluk, Pemilik dan Pengatur
seluruh jagad raya. Maka tidak pantas kita menyandarkan kekhalifahan kepada
Allah (karena kekhalifahan adalah peran yang diberikan oleh Allah untuk
dikelola makhluk-Nya yaitu manusia). Lagipula, jika kita mengatakan bahwa ayat
ini (ke-55) bertutur mengenai khilafah, maka itu mengacaukan korelasi
(keterkaitan) ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya —seperti
yang telah disinggung tadi. Kita tidak akan bisa nenemukan korelasi itu jika
kita masih saja mengatakan bahwa ayat ke-55 ini berbicara tentang khilafah.
Demikianlah
pembahasan tujuh titik yang bisa meruntuhkan klaim kaum Syiah yang mengatakan
bahwa surah Al-Maidah ayat 55 turun berkenaan dengan Ali. Selain itu, masih ada
klaim-klaim lain yang dilontarkan sebagian ulama mereka terkait ayat ini, di
mana melalui klaim-klaim tersebut mereka berupaya mengelabui orang banyak. Di
antaranya, perkataan Abdul Husain Syarafuddin Musawi dalam bukunya berjudul Murâja’ah; pada pembahasan Murajaah XII di halaman 137, dia
mengatakan, “Para mufassir bersepakat bahwa ayat ini tiada lain turun berkaitan
dengan Ali manakala dia bersedekah di saat sedang rukuk dalam shalat” Kalangan
Syiah Itsna Asyariyah mengklaim bahwa murajaah (peninjauan
ulang secara seksama) persoalan tersebut telah dilakukan secara sempurna oleh
Abdul Husain Syarafuddin Musawi bersama Syaikh Salim Basyari, Guru Besar Universitas
Al-Azhar. Dengan klaim itu mereka ingin mempertontonkan bahwa disandarkannya
sebab turunnya ayat ke-55 surah Al-Maidah itu kepada hak kekhalifahan Ali telah
direstui oleh umat Islam yang diwakili Guru Besar Universitas Al-Azhar.
Sungguh, ini
merupakan klaim yang tidak diragukan lagi kedustaannya. Sayangnya, sekarang
bukanlah waktu yang tepat kita membahas kitab Murâja’ah ini. Namun, bagi yang
ingin mengetahui lebih banyak tentang kitab itu, sudah ada empat kaset yang
dirilis untuk membantah dan mengungkap kedustaan dan murajaah-murajaah ini,
serta menjelaskan bahwa Abdul Husain Syarafuddin hanya mengarang-ngarang saja
dengan memasukkan nama Syaikh Salim Basyari dalam permasalahan ini, padahal
beliau sama sekali tidak tahu-menahu akan hal ini.
Selanjutnya, kita
perlu juga menyimak bagaimana sebenarnya pendapat para mufassir terkait ayat
ini (surah Al-Maidah ayat 55). Di antara yang telah berhasil saya rangkum
pendapatnya adalah:
o
Ibnu Katsir
Beliau berkata,
“Adapun firman-Nya ‘seraya mereka rukuk’ lelah dipahami secara keliru oleh
sebagian orang bahwa kalimat ini berkedudukan sebagai hal (kata keterangan yang
menunjukkan keadaan) dan kalimat ‘dan membayarkan zakat sehingga dimaknai
sebagai mereka membayarkan zakat sedang keadaan mereka tengah rukuk Rahkan
tidak tanggung-tanggung, sebagian dan mereka membawakan riwayat —yang
dinisbatkan kepada Ali— bahwa ayat ini turun herkenaan dengan Ali, yang dalam
riwayat itu diceritakan ada Seorang pengemis mendapati Ali yang sedang rukuk
lalu Ali memberikan cincinnya kepada pengemis tersebut.
Selanjutnya Ibnu
Katsir menyebutkan atsar-atsar yang konon diriwayatkan dari Ali bahwa ayat ini
turun mengenai dirinya, kemudian beliau memperlihatkan kelemahan atsar-atsar
itu semuanya. Reliau berkata, “Secara umum tidak ada satu atsar pun dan
atsar-atsar yang shahih akibat dan lemahnya sanad dan majhul (tidak
dikenal)nya para perawi yang meriwayatkannya.
o
Ibnu Athiyyah
Dalam Al-Muharrar Al- Wajiz, beliau berkata, “Mujahid mengatakan bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib yang bersedekah di saat rukuk. Pendapat ini
lemah, sehingga perlu dikaji kembali. Yang benar adalah penjelasan mayoritas
ulama sebagaimana ielah kami sebutkan.”
o
An-Naisaburi
Dalam catatan
kakinya terhadap kitab tafsir Ath-Thabari, beliau mengatakan, “Ada dua pendapat
tentang ayat ini Pertama, bahwa maksudnya adalah seluruh umat Muslim karena
ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa yang dialami Ubadah bin Shamit.
kedua, bahwa ayat ini berkaitan dengan seseorang tertentu; ada yang
meriwayatkan bahwa maksud seseorang itu adalah Abu Bakar, dan ada lain yang
meriwayatkan bahwa itu adalah Ali’ Kemudian Naisaburi mengukuhkan pendapat
pertama, dan membantah pendapat yang kedua.
o Al-Qurthubi
Dalam Al-Jâmi’ ii Ahkâm Al-Qur’ân, beliau berkata, “Firman Allah tersebut mencakup seluruh
orang beriman. Pernah ditanyakan kepada Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain
bin Ali, alias Al-Baqir, tentang apakah maksud firman Allah ‘Sesungguhnya wali
kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman…’ adalah khusus untuk
Ali bin Abi Thalib? Ia menjawab, ‘Ali termasuk salah satu dan
orang-orang beriman.’ Artinya, ia berpendapat bahwa ayat tersebut berlaku pada
semua kaum beriman. Nuhas menilai, ‘Ini pendapat yang bagus.”
o Ar-Razi
Dalam kitab
tafsirnya, setelah berpanjang lebar menerangkan kesalahan pendapat yang
mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Ali, beliau menulis, “Ali
bin Abi Thalib lebih mengetahui tafsir Al-Qur’an dibanding orang-orang Rafidhah
itu. Seandainya ayat ini mengindikasikan perihal kepemimpinannya, pastilah dia
menggunakannya sebagai hujjah dalam satu dan seki an banyak kesempatan. Mereka
tidak bisa berkata bahwa Ali tidak melakukannya karena taqiyyah, sebab mereka
meriwayatkan darinya bahwa di hari Syura ia berpegang dengan hadits yaum
al-ghadIr dan hadits mubâhalah untuk menunjukkan seluruh keutamaan dan
kebaikannya, namun ia sama sekali tidak berdalil dengan ayat ini (Al-Maidah
ayat 55) untuk menegaskan kepemimpinannya. Demikian itu membuahkan kepastian
gugurnya pendapat kaum Rafidhah—semoga kemurkaan Allah menyertai mereka.’’
Beliau juga berkata, “Adapun dalih mereka bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
Ali, maka itu tidak bisa diterima. Telah kami jelaskan bahwa mayoritas mufassir
meyakini ayat ini berkenaan dengan umat.” Artinya, bukan hanya Ali seorang.
o Al-Alusi
Dalam Ar-Rah Al-Ma’âni, beliau berkata, “Firman-Nya ‘seraya mereka rukuk’ merupakan
hal (kata keterangan keadaan) bagi dua pekerjaan sebelumnya, tentu dengan makna
‘tunduk kepada Allah Sehingga jelasnya, mereka melakukan apa yang disebutkan
berupa shalat dan zakat dalam keadaan tunduk dan merendah diri kepada Allah.”
o Ibnu Jarir
Ath-Thabari
Beliau mengatakan,
“Maksud Allah dalam firman-Nya ‘Sesungguhnya wali kalian hanyalah
Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman…,’ bahwa kalian wahai orang-orang
beriman tidak memiliki penolong selain Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
beriman yang sifat mereka seperti yang disebutkan Allah. Dikatakan, bahwa ayat
ini turun berkenaan dengan Ubadah bin Shamit terkait keputusannya menolak untuk
menolong kaum Yahudi dan Bani Qainuqa’ dan sekutu-sekutu mereka, kemudian
memastikan loyalitasnya bersama barisan Rasulullah dan kaum beriman. Adapun
firman-Nya ‘…dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan membayarkan
zakat seraya mereka rukuk’, . “mereka rukuk” ulama-ulama tafsir berbeda
pendapat tentang maknanya; sebagian berkata bahwa maksudnya adalah Ali,
sedangkan sebagian lain memaksudkannya untuk seluruh kaum beriman. ”Kemudian
beliau menyebutkan siapa saja yang memegang masing-masing dari dua pendapat
tersebut.
o
Abdurrahman As-Sa’di
Beliau berkata,
“Wilâyah (pertolongan) Allah direngkuh dengan keimanan dan ketakwaan. Sehingga,
setiap orang yang beriman lagi bertakwa maka ia menjadi wali Allah, sedang
siapa yang menjadi wali Allah maka ia juga menjadi wali Rasulullah. Firman Nya
‘seraya mereka rukuk’ bermakna ‘mereka tunduk dan merendah diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.”
Komentar-komentar
serupa juga disampaikan oleh Asy Syaukani dalam Fat Al-QadIr dan Ibnul Jauzi
dalam Zâd Al-Masir.
Semua buku tafsir
tersebut di atas dan masih banyak lagi lainnya tidak berpendapat bahwa ayat ini
turun berkenaan dengan Ali. Lantas bagaimana bisa kaum Syiah mengklaim para
mufassir berijmak bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Ali? Selain itu, surah
Al-Maidah ayat 55, sebagaimana Anda lihat, menggunakan lafal jamak ketika
menyebutkan orang-orang beriman, sehingga merupakan kesimpulan yang terlalu
terburu-buru bila di maksudkan khusus untuk Ali. Andaikata maksudnya Ali,
setidaknya ada penyebutan namanya atau sesuatu indikasi yang bisa menunjuk pada
dirinya. Misalnya saja, “ orang (dalam bentuk tunggal) yang menegakkan shalat
dan membayarkan zakat seraya ia rukuk”; yang seperti ini tentu lebih jelas
mengindikasikan kepada Ali.
Karena kenyataannya
demikian, masihkah kita nekat mengatakan bahwa maksudnya kepada Ali? Sungguh,
hal ini tidak pantas terjadi, sebab tidak boleh sembarangan menyandarkan sebuah
makna terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang paling akurat dan
paling indah kalam-Nya. Mahasuci Allah Subhanahu wa Ta’ala, lagi Maha Tinggi.
Semestinya kita tidak akan mengatakan seperti yang mereka sampaikan, karena
Allah berfirman, “Allah hendak menerangkan
(syariat-Nya) kepadamu, dan menunjukimu jalan-jalan orang yang sebelum kamu
(para nabi dan shalihin), serta (hendak) menerima taubatmu…” (An-Nisa’ [ 26]). Mari kita
menghormati ayat ini, dengan meyakini secara teguh kejelasan yang telah Allah
berikan kepada kita. Sehingga, pada intinya, klaim kaum Syiah bahwa surah
Al-Maidah ayat 55 berkenaan dengan Ali, hanyalah dusta belaka.
Ada satu masalah
furu’iyah yang disebutkan ahlul ilmi, yang menarik dan berguna untuk memahami
hal ini Sebagian mereka berpendapat bahwa berzakat dengan cincin itu tidak sah.
Zakat hanya bisa dibayarkan dengan dirham atau dinar. Bila ada orang yang
berzakat dengan cincin, maka itu tidak mencukupi.
Bagaimanapun
kesimpulannya, itulah ayat pertama yang mereka jadikan hujjah. Dan inti
dalilnya menurut mereka -sepanjang yang saya baca dalam karya sebagian ulama
mereka- adalah kata “innamâ” yang berguna untuk menunjukkan hashr (bentuk
pembatasan), seperti yang terjadi pada hadits Nabi , “Innamâ al-a’mâl bin niyyât
(Sesungguhnya amal-amal itu hanya bergantung pada niat-niat).” (Shahih Al-BukhârI, no. 1).
Maknanya, beliau
membatasi bahwa amal-amal perbuatan tidak diterima kecuali bila dibarengi
dengan niat. Karena inilah mereka menyatakan bahwa surah Al Maidah ayat 55 itu
dibatasi maksudnya hanya untuk Ali.
Apa yang mereka
nyatakan ini rupanya juga tidak konsisten. Taruhlah jika ternyatakan bahwa hak
kekhalifahan hanya terbatas untuk Ali, lalu mengapa mereka juga menuntut
kekhalifahan untuk Hasan dan Husain, serta Ali bin Husain? Bukankah ini
memperlihatkan bahwa mereka melanggar sendiri pendapat pembatasan itu? Sebab,
jika mereka konsisten, tentu mereka hanya mengkhususkan hak kepemimpinan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Ali
bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu; yang itu berarti bahwa mereka harus
menggugurkan tuntutan kekhalifahan Hasan, Husain, dan tujuh keturunan Husain.
Ditulis dari buku
Membantah Argumentasi Syi’ah oleh: Utsman bin Ahmad al-Khumais