Written By Sinai Mesir
“Aku berpikir karena aku ada” demikian ucapan Dekar yang terkenal, jika prinsip ini kita tarik ke dalam dunia politik, atau kebijakan politik, maka ia berkaitan dan berbicara tentang kepentingan suatu negara, kemaslahatan nasional suatu negara.
Aktifitas apapun yang diambil, atau kebijakan apapun yang ditempuh suatu negara, baik ekonomi, sosial, maupun politik dalam kancah internasional, semua itu hanya untuk memperjuangkan kepentingan politik negara itu, untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Karena negara pada asasnya hanya sebuah alat untuk mencapai kemakmuran, dan keamanan sebuah bangsa, maka sebuah negara akan senantiasa bekerja, dan berpijak untuk mencapai kemakmuran bangsanya.
Dan terma kepentingan politik adalah terma yang nisbi, tiap negara memiliki kepentingan tersendiri, kalau kita mengambil perumpamaan Jalaluddin Rumi, ibaratnya, beberapa orang yang menyentuh seekor gajah di pekat malam, setiap orang akan berasumsi dan memberikan persepsi dan defenisi tentang gajah sesuai dengan apa yang ia sentuh.
Begitupun dengan setiap negara akan berjuang untuk mencapai kemaslahatannya dan kepentingannya, maka ketika kita mendapatkan beberapa negara yang berbeda kebijakan, kemudian membuat blok, atau bahkan sampai terlibat dalam perang militer, yakin bahwa hal itu hanya untuk memperjuangkan dan mengamankan kepentingan nasionalnya.
Sebuah contoh misalnya, kebijakan politik Amerika Serikat “meledakkan” gedung WTC, secara kasat mata Amerika rugi secara politik dan ekonomi, namun kerugian ini tidak berarti apa-apa, jika kemudian kita bandingkan dengan hasil yang telah dicapai Amerika Serikat. Karena peledakan gedung kembar WTC tersebut, kini amerika telah menguasai dua negara Islam yang kaya minyak, Afganistan dan Irak. Dan ini hanyalah pintu gerbang untuk menguasai Timur Tengah atau yang kita kenal dengan proyek Timur Tengah raya “As-Syarq Al-Ausyat Al-Akbar”.
Lain Iran, lain Amerika, ketika mengkaji politik Iran, maka kita tidak bisa lepas dari Syiah sebagai ideolog negara lembah kaspia tersebut. Untuk memahami politik Iran, penulis akan mencoba merunutkan permasalahan ini. Pertama kita akan berkenalan dengan sejarah perkembangan politik Syiah, dalam hal ini Syiah Imamiyah yang menjadi mayoritas Syiah yang menghegemoni Iran. Kedua kita akan membahas politik luar negeri Iran, batasan-batasan kerja kebijakan politik luar negeri Iran dan karakteristiknya, serta tujuan politik luar negeri Iran.
Perkembangan Pemikiran Politik Syiah Imamiyah
Syura telah menjadi konsep dalam Islam sebagai jalan untuk menentukan dan memilih seorang pemimpin, dan penerapan konsep ini dapat kita lihat masa pasca wafatnya Rasulullah SAW. Rasulullah tidak menentukan dan tidak mewasiatkan seseorang dari sehabat beliau untuk menjadi khalifah pengganti sepeninggalnya. Seluruh sahabat, tanpa terkecuali meyakini dan menjalankan prinsip syura ini, sebagai konsep dalam memilih seorang pemimpin. Begitupun dengan anak-anak keturunan para sahabat, dalam hal ini yang penulis maksud adalah keturunan Ahlu bait radiyallahu anhum, semisal Hasan ra., Husai ra., dan Jakfar As-shadiq ra.
Lain halnya dengan orang-orang Syiah, dalam keyakinan Syiah, seorang khalifah sepeninggal Rasulullah telah ditentukan oleh Allah, atau telah ada nash dan wasiat yang menentukan seseorang sebagai khalifah. Oleh karena itu dalam pemikiran Syiah, khususnya Syiah Imamiyah, hanya meyakini imam yang dua belas dari ahlu bait. Karena bagi mereka telah ada nash dan wasiat tentang kepemimpinan para imam itu.
Pasca sepeninggalnya Imam Hasan Al-Askari yang tanpa memiliki seorang anak atau penerus, disini terjadi keterputusan kepemimpinan. Namun bagi Syiah Imamiyah, imam Al-Askari memiliki keturunan yang bernama Abu Al-Qosim Muhammad ibnu Hasan, yang kemudian diberi gelar Al-Mahdi Al-Muntazar. Dalam keyakinan Syiah, Abu Al-Qosim Muhammad ibnu Hasan ini bersembunyi di daerah Sardab Irak. Dan Imam Mahdi tidak mati sampai ia muncul kembali untuk mengisi dunia dengan keadilan dan kebaikan.
1. Fase Kepemimpinan Para Imam
Yaitu fase dimana para imam dari keturunan Ali Bin Abi Thalib masih hidup, mulai dari kepemimpinan Abu Al-Hasan bin Abi Thalib (600-661 M) sampai Imam yang kedua belas yaitu Abu Al-Qosim Muhammad bin Al-Hasan yang bergelar Al-Mahdi (870-000) yang lenyap dan menghilang dan menurut keyakinan Syiah bahwa Imam yang kedua belas masih hidup dan belum mati, sampai kedatangannya yang akan mengisi dunia dengan keadilan menggantikan dunia yang penuh dengan kedzaliman dan kerusakan. Menghilangnya imam yang kedua belas ini yang kemudian dikenal dengan masa kegaiban, dan ini juga berarti dimulainya fase kedua.
2. Fase Kedua : Masa Kegaiban
Fase ini dimulai dengan menghilangnya Imam yang kedua belas sampai kemunculannya nanti, diantara ciri dari fase ini adalah :
dalam dunia politik, atau kebijakan politik, maka ia berkaitan dan berbicara tentang kepentingan suatu negara, kemaslahatan nasional suatu negara.
- Lahirnya fatwa-fatwa yang mengharamkan aktifitas politik dan tidak bolehnya mendirikan negara Islam tanpa keberadaan seorang Imam yang maksum dan sesuai dengan pilihan Allah.
- Fatwa ini juga berakibat pada tidak bolehnya segala jenis aktifitas yang berurusan dengan negera, seperti zakat, penegakan had, shalat jum’at, dll.
- Wajibnya taqiyah, yaitu paham yang menyerukan untuk menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinan. Dan hal ini menjadi tuntutan dan kewajiban saat ketiadaan Imam atau fase stagnan yaitu fase kepemimpinan orang yang dzalim dalam pandangan orang-orang Syiah. Dalam hal ini Syaikh As-Suduq (381 H), mengatakan perihal kewajiban taqiyah ini, taqiyah, kata beliau adalah kewajiban yang diwajibkan bagi kita di bawah kepemimpinan orang-orang dzalim, maka barang siapa yang meninggalkannya, maka ia telah menyalahi agama (paham Imamiyah).
Masa kegaiban ini, dalam buku Ahmad Al-Katib (Tatawwur Al-Fikr As-Siyasi As-Syi’i), penulis mendapatkan bahwa fase ini telah melahirkan beragam ijtihad sebagai solusi dari ketiadaan seorang imam yang memimpin orang-orang syiah, di antara ijtihad tersebut :
- Lahirnya ijtihad, niyabatul Imam atau pengganti ketiadaan seorang imam, ijtihad ini mengatakan perlunya pengganti imam dalam Khilafah, namun kekuasaan niyabatul imam ini masih terbatas pada penegakan hukum agama, semisal penegakan hukum had. Dan tidak mencampuri urusan negara.
- Wilayatulfakih atau kepemimpinan seorang fakih, sebagai wakil mutlak dari imam. Konsep ini telah merampah dunia politik atau negara.
Kedua ijtihad diatas juga menandai dibukanya pintu ijtihad sebagai fase baru di zaman kegaiban. Yang sebelumnya, segala bentuk ijtihad diharamkan pada masa kegaiban seorang imam. Dalam paham Syiah, penetapan hukum baru adalah hak dan hanya terbatas bagi para imam yang maksum. Dan kondisi ini, tertutupnya kerang ijtihad berlangsung lama. Dan kerang pintu ijtihad ini mulai terbuka pada abad ke empat, yang diprakarsai oleh Al-Hasan Bin Al-Uqail bersama muridnya Sayyid Murtadha.
Wilayatul Fakih Muncul dan Perkembanganya
Terjadi perbedaan pendapat mengenai awal munculnya ide tentang Wilayat Al-Faqih itu sendiri di kalangan pembesar Syiah. Syiah Libanon melihat bahwa founding father dari ide ini adalah Sheikh Muhammad Ibn Maki Al-Jaziny, wafat tahun 1366 M (768 H). Beliaulah yang mengarang sebuah buku berjudul “Allam’atu Ad-Dimasyqiyah” yang sampai sekarang masih dianggap sebagai rujukan pemikiran (tsaqafah) orang-orang Syiah.
Di dalam buku itu ia memperkenalkan dengan pertama kalinya istilah “Naib Al-Imam/Wilayatulfakih)sebagai solusi dari masa stagnan dari kepemimpInan (Imamiyah) selama empat abad. Ide ini kemudian mendapat respon penerimaan yang luar biasa di kalangan Syiah. Diantaranya raja Ali ibnu Al-Muayyid, raja Syia (Khurasan) menjadikan ide ini sebagai asas negaranya.
Sementara sumber-sumber di Iran sendiri tidak merujuk kepada Sheikh Muhammad Ibnu Maki, dan menerangkan bahwa Wilayah Al-Mutlak bagi seorang Fakih, kembali kepada orang lain bernama Sheikh Ahmad Narafi. tetapi bisa saja Sheikh Ahmad telah mengambil ide “Naib Al-Imam/ Wilayat Al-Faqih) dari buku “Allam’ah Ad-Dimasyqiyah” karangan Ibnu Maki, namun tidak bisa dipungkiri bahwa Sheikh Narafi, memilik keutamaan dalam mengutarakan ide dan menjelaskannya.
Sheikh Narafi dalam Bukunya “Awaid Al-Ayyam” memjadikan “Wilayatulfakih” satu judul. Ia menjelaskan idewilayatulfakih ini dengan mengatakan ; yang dimaksud dengan wilayatulfakih di sini adalah mereka para penguasa (hukkam) di jaman stagnan (kegaiban), dan dialah wakil ummat.
Dalam bukunya juga, ia memberikan dalil-dalil yang mendukung ide ini, diantaranya Hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw. : .... ( sumber tidak jelas, silahkan buka
Dan juga yang dinisbatkan kepada Imam Jakfar As-Shadiq, yang berbunyi :
(para raja adalah penguasa bagi manusia dan para ulama adalah penguasa bagi para raja).
Namun ide untuk menjadikan wilayatulfakih ini sebagai asas Negara tidaklah mutlak diterima oleh para fuqaha Syiah, salah satu di antara mereka yang menolak ide ini untuk dijadikan sebagai asas Negara secara mutlaq, adalah Dr. Muhammad Jawwad Magniyah, seorang faqih terkenal di kalangan Syiah Libanon. Dalam bukunya “Al-Khumaini wa Ad-Daulah Al-Islamiyah” yang disebarkan tahun pertama dari peristiwa Revolusi Iran 1979, ia mengkritik ide penerapan (tawassu’) Wilayatulfakih.1
Walaupun ada yang kontra dengan konsep ini (wilayatulfakih), namun hingga saat ini konsep ini tetap menjadi landasan hukum bagi negara Iran.
Politik Luar Negeri Iran
Politik luar negeri erat kaitannya dengan diplomasi yang ditempuh oleh sebuah negara, maka dari itu kita perlu mengetahui pengertian dari diplomasi Iran, dalam buku Madkhol Ila As-Siyasah Al-Khorijia Lijumhuriyati Al-Iran Al-Islam, yang dimaksud dengan politik luar negeri dan diplomasi adalah cara, seni, dan penggunaan seluruh kemampuan untuk mengamankan kemaslahatan nasional dalam ranah hubungan internasional.
Sementara pengertian politik luar negeri Iran adalah pekerjaan, seni dan pandayagunaan segala kemampuan yang sesuai dengan syar’i dan sah untuk menjaga kemaslahatan umat Islam yang satu dalam ranah internasional.
Stategi Politik Luar Negeri Iran
Diantara strategi politik Iran dalam menggapai ambisi dan tujuannya, selebihnya bisa merujuk kembali bukuMadkhol Ila As-Siyasah Al-Khorijia Lijumhuriyati Al-Iran Al-Islam,di antara strategi politik luar negeri Iran adalah sebagai berikut :
1. Menghegemoni Dunia Islam (Al-Amal Fi Ithari Al-Islam)
Hal ini berarti pentingnya mendayagunakan umat dengan seluruh kemampuannya demi kehidupan dan pertumbuhan dalam tataran masyarakat internasional, maka mereka menginginkan segalanya demi kepentingan dan kemaslahatan umat. Tujuan dari menjadikan Islam sebagai pegangan adalah untuk mendukung posisi Iran dan untuk mencapai keberhasilan segala aktifitasnya dalam dunia internasional.
Ketika Iran melakukan aktifitas internasional di dunia Islam, dan juga mendukung gerakan-gerakan Islam (perlawanan), hal ini akan manjadi kekuatan bagi Iran. Dan pengejewantahan dari ini semua, Iran telah memiliki basis ideologi di Libanon, memberikan bantuan ke Afganistan, Hamas dan memiliki hubungan erat dengan Suriah. Hal ini akan mendukung Iran untuk menancapkan pengaruhnya yang lebih luas.
Jika Iran telah memiliki basis dukungan di Libanon, maka hal ini akan manjadi pendukung kepentigan Iran di dunia internasional. Dan Iran akan menggunakannya kapan saja, jika Iran menghendaki, atau ketika suatu saat Iran menghendakai Hizbullah untuk menyerang kepentingan negera yang memiliki permusuhan dengan Iran.
Dengan kondisi seperti ini, Iran bukan hanya sebatas sebuah negara tapi telah menjadi kekuatan internasional yang menikmati hegemoni dan kekuatan dari luar Iran. Dari sini, maka tujuan dari menjadikan Islam sebagai jargon, membangun basis-basis keislaman (husainiayat) di setiap sudut negeri, memperbanyak pengikut Islam (Syiah), dan mengagum-agumkan pemerintahan Republik Iran, semuanya bertujuan untuk menguatkan hegemoni dan mendukung kepentingan Iran.
B. Iran Adalah Ummu Al-Qura
Prinsip Umul Qura adalah refleksi dari ambisi Iran untuk menghegemoni di dunia Islam. Dengan mencita-citakan Iran akan menjadi pemimpin dan pusat kekuasaan Umat Islam. Yang dimaksud Ummul Qura adalah Iran yang memimpin dunia Islam, dan hal ini bisa kita lihat dari prinsip dan tujuan dari politik luar negeri Iran, yaitu Tashdir As-Tsaurah atau ekspansi Revolusi Iran kelua negara Iran, yaitu dunia Islam.
Konsep Ummu Al-Qura dalam penjabaran Dr. Larijani, sebagai berikut :
- Â Ummu Al-Qura adalah pusat pemerintahan negara Islam dan inti dari ajaran Ummu Al-Qura adalah persatuan melaksanakan kewajiban Islam dibawah satu kepemimpinan.
- Dan bahwa Waliyulfakih tidak dibatas oleh sekat teritorial, karena dunia Islam adalah umat yang satu, dan kekuasaan wilayatulfakih tidak bisa dibagi-bagi kedalam negara.
- Dan bahwa wilayatulfakih adalah sumber dan inti dalam menegakkan pemerintahan Islam.
- Dan negara yang memiliki “Ummu Al-Qura” terhadap dunia Islam pantas untuk memimpin dunia tersebut (dunia Islam).
- Adapun jika terjadi persinggungan antara kemaslahatan umat Islam degan eksistensi Ummu Al-Qura,maka menjaga eksistensi Ummu Al-Qura adalah lebih utama.
Tujuan Politik Luar Negeri Iran
Salah satu tujuan dari politik luar negeri Iran adalah ekspansi nilai-nilai dan ajaran revolusi Iran dalam hal ini konsep wilayatulfakih (ajaran Syiah), diantaranya dengan Tasdir As-Tsaqafah, kerjasama pendidikan dengan negara-negara Islam.
Dan tujuan penting dari politik luar negeri Iran adalah ta’min lil Ihtiyajat ad-dakhili lil Ummul al-Qura atau menjaga kebutuhan internal Ummul Al-Quro yang tak lain adalah Iran.
Tulisan ini tidak lepas dari kontroversi, melihat Iran di media massa sering kali terlibat perang opini dengan Barat dan AS pada khususnya. Namun jika kita mau mengkaji sejarah maka kita akan mengambil kesimpulan bahwa di balik perang opini media massa, Iran dan AS memiliki hubungan gelap. Dan hal ini akan kita bahas di lain kesempatan.
Wallahualam bis shawab.
Muhammad Anas | Islamicgeo
sumber:http://www.sinaimesir.net/2013/06/politik-iran-dan-pengaruh-syiah.html