Rabu, 24 Jumadil Akhir 1436 H / 25 Februari 2015
08:39 wib
Bismillahirrahmanirrahim ..
“Apakah mereka (Syi’ah) lebih berbahaya dari
Yahudi?”…….
Sebab hakikat dari pertanyaan ini adalah untuk
membungkam lisan mereka yang sadar akan penderitaan umat, sekaligus membikin
kikuk mereka yang berusaha menjaga dan melindungi kaum muslimin.
Saya akan menyanggah mereka dan mengatakan kepada
mereka:
“Memang apa salahnya kalau umat Islam menghadapi
dua bahaya yang mengintai secara bersamaan? Apakah muslimin Ahlussunnah yang
mencari-cari alasan untuk menyerang Syi’ah, ataukah realita di lapangan
membuktikan berulang kali bahwa merekalah yang memulai serangan?”
Kita menyaksikan gencarnya serangan Syi’ah
terhadap umat Islam, dan saya rasa realita kita saat ini tak jauh berbeda
dengan masa lampau. Bahkan saya bersaksi bahwa sejarah akan mengulangi dirinya, dan
generasi muda akan mewarisi dendam kesumat nenek moyang mereka.
Tak ada kebaikan sedikit pun yang bisa diharapkan
dari kelompok yang menganggap bahwa 99% sahabat Nabi adalah bejat, mengingat hal
itu merupakan pengingkaran yang nyata akan sabda Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam :
“خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي”
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku.” (HR. Bukhari no 3451 dan
Muslim no 2533)
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim dan yang lainnya.
Realita Syi’ah –dari dulu sampai sekarang- adalah
amat sangat menyakitkan…( + an RRZ: menikam dalam selimut )
Mari kita tengok kembali beberapa masalah yang
akan menjadikan visi kita lebih jelas, sehingga dapat membantu kita untuk
menentukan sikap paling tepat yang mesti kita ambil terhadap Syi’ah; lalu kita
tahu: lebih baik bicara ataukah diam saja!
PERTAMA:
Semua orang tahu bahwa sikap Syi’ah terhadap para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mulai dari Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar Al Faruq, Utsman Dzin
Nuurain, lalu isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama Aisyah radhiallahu
‘anha hingga para sahabat secara umum.
Sebagaimana yang dinyatakan terang-terangan oleh
referensi dan nara sumber mereka yang telah mereka yakini; adalah bahwa para
sahabat tadi adalah orang-orang fasik dan murtad. Mayoritas mereka telah sesat
dan berusaha menyembunyikan serta menyelewengkan ajaran Islam.
Dari sini apakah kita harus mengawasi dan diam
saja ‘demi menghindari fitnah’?
Fitnah apakah yang lebih besar dari pada menuduh
generasi teladan sebagai masyarakat ‘bejat dan pendusta’?!?
Marilah kita merenungi sama-sama perkataan bijak
salah seorang sahabat yang bernama Jabir bin Abdillah radhiallahu
‘anhu:
“إذا لَعَنَ آخرُ هذه الأمَّة أوَّلها، فَمَنْ كان عنده علمٌ فليظْهره، فإنَّ كاتم ذلك ككاتم ما أُنزل على محمدٍ صلى الله عليه وسلم”.
“Bila umat Islam di akhir zaman mulai melaknat
pendahulunya, maka siapa saja yang berilmu hendaklah menunjukkan ilmunya. Bila
ia menyembunyikan, maka ia seperti yang menyembunyikan ajaran
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Nisbat riwayat ini
kepada Nabi sanadnya dha’if, namun riwayat ini adalah dari perkataan Jabir bin
Abdillah)
Bisakah Anda menangkap kedalaman makna ucapan
ini?
Hujatan terhadap generasi sahabat bukan sekedar
hujatan terhadap mereka yang telah tiada… tidak juga seperti ucapan sebagian
orang bahwa: “Hujatan tersebut tidak berbahaya bagi para sahabat, karena mereka
telah masuk Surga meski Syi’ah tidak suka.” Akan tetapi bahaya besar di balik
ucapan ini ialah karena hujatan terhadap para sahabat pada hakikatnya adalah
hujatan terhadap Islam secara langsung. Sebab kita tidak mendapatkan ajaran Islam
kecuali melalui para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Kalau berbagai hujatan yang menimbulkan keraguan
akan akhlak, niat, dan perbuatan para sahabat
dibiarkan; lantas agama model apa yang akan kita anut?
Hilanglah agama kita kalau kita terima semua itu…
hilanglah hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajaran beliau.
Justeru kita bertanya kepada Syi’ah: “Al
Qur’an apa yang kalian baca sekarang? Bukankah yang menyampaikannya adalah
mayoritas sahabat yang kalian hujat? Bukankah yang berjasa mengumpulkannya
adalah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu, yang kalian anggap berbuat
licik untuk menjadi khalifah? Lantas mengapa ia tidak merubah-rubah Al Qur’an
sebagaimana merubah-rubah Sunnah menurut tuduhan kalian?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah
hadits:
“عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المهديين مِنْ بَعْدِي”.
“Kalian wajib berpegang teguh pada Sunnahku dan
Sunnahnya Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat hidayah sepeninggalku.” (HR. Tirmidzi no 2676,
Ibnu Majah no 42 dan Ahmad no 17184)
Jadi, Sunnah Khulafa’ur Rasyidien adalah bagian
tak terpisahkan dari agama Islam. Hukum dan sikap yang diputuskan oleh Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali adalah hujjah (dalil) bagi setiap muslim, kapan, di
mana pun, dan sampai hari kiamat… lantas bagaimana mungkin hujatan terhadap
mereka kita biarkan?!
Sebab itulah, ulama-ulama kita yang mulia demikian berang bila mendengar ada
orang yang berani menghujat sahabat. Imam Ahmad bin Hambal misalnya, beliau
pernah mengatakan:
إذا رأيت أحدًا يذكر أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم بسوءٍ، فاتهمه على الإسلام
“Kalau engkau mendapati seseorang berani menyebut
para sahabat dengan tidak baik, maka tuduhlah dia sebagai musuh Islam.”(Ash
Sharimul Maslul ‘ala Syaatimir Rasul 3/1058 oleh Ibnu Taimiyyah)
Al Qadhi Abu Ya’la (salah seorang fuqaha mazhab
Hambali) mengatakan:
“Para fuqaha sepakat bahwa orang yang
mencaci-maki para sahabat tak lepas dari dua kondisi: kalau dia menghalalkan
hal tersebut maka dianggap kafir, namun jika tidak menghalalkannya maka
dianggap fasik (bejat)” (Ibid, 3/1061)
Abu Zur’ah Ar Razi (salah seorang pakar hadits yang
wafat th 264 H) mengatakan:
“إذا رأيتَ الرجلَ ينتقص من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، فاعلم أنّه زنديق”
“Kalau engkau mendapati seseorang mengkritik
sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, maka ketahuilah bahwa dia itu Zindiq
(munafik).” (Al Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal 49 oleh Al Khatib Al Baghdadi)
Sedangkan Ibnu Taimiyyah berkata:
“Barang siapa menganggap bahwa para sahabat telah
murtad sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali segelintir orang yang
jumlahnya tak sampai belasan orang, atau menganggap fasik (bejat) mayoritas
sahabat; maka orang ini kekafirannya tidak diragukan lagi.” (Ash
Sharimul Maslul 3/1110 oleh Ibnu Taimiyyah)
Sikap yang keras terhadap para penghujat sahabat
ini, tak lain adalah karena para sahabatlah yang menyampaikan agama ini kepada
kita. Kalau salah seorang dari sahabat dihujat, berarti Islam jadi meragukan.
Mengingat banyaknya pujian yang Allah berikan kepada mereka dalam Al Qur’an,
maupun dalam Sunnah Nabi-Nya, jelaslah bahwa orang
yang menghujat para sahabat berarti mendustakan ayat-ayat dan hadits yang
cukup banyak tadi.
Mungkin ada yang berkata:
“Lho, kami tidak pernah mendengar si Fulan dan si
Fulan yang Syi’ah itu menghujat para sahabat?”
Kepada mereka, kami ingin agar memperhatikan
poin-poin berikut:
Pertama: Kaum Syi’ah Itsna Asyariyah pada
dasarnya meyakini bahwa para sahabat telah bersekongkol melawan Ali bin Abi
Thalib, Ahlul Bait, dan Imam-imam yang diyakini oleh mereka. Intinya, tidak ada
seorang Syi’i pun (baik di Iran, Irak, maupun Lebanon) melainkan ia meyakini
kefasikan para sahabat.
Sebab jika mereka menganggap para sahabat adalah
orang shalih, hancurlah rukun iman mereka sebagai Syi’ah.
Jadi, telah menjadi suatu keniscayaan pabila setiap
orang Syi’ah baik
pejabat, ulama, maupun rakyat jelata untuk bersikap tidak hormat kepada para
sahabat, dan tidak menerima agama yang mereka bawa dalam bentuk apa pun.
Kedua: Tokoh-tokoh Syi’ah senantiasa mengelak
untuk menampakkan kebencian mereka kepada para sahabat, meski terkadang nampak
juga dalam sebagian statemen atau perilaku mereka, sebagaimana firman Allah:
لَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ
“Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari
kiasan-kiasan perkataan mereka.” (Qs Muhammad: 30)
Banyak di antara kita yang menyaksikan debat
antara DR. Yusuf Al Qardhawi dengan Rafsanjani (mantan presiden Iran) di TV Al
Jazeera. Kita sama-sama menyaksikan bagaiman Rafsanjani selalu mengelak dari
setiap usaha DR. Qardhawi agar ia menyebut sahabat dan ummahatul mukminin
(isteri-isteri Nabi) dengan baik.
Dan ketika Khamenei (pemimpin Revolusi Iran
sekarang) ditanya tentang hukum mencaci-maki para sahabat, dia tidak mengatakan
bahwa hal itu keliru atau haram. Namun ia menjawab secara dusta dengan berkata:
“Semua perkataan yang mengakibatkan perpecahan di antara kaum muslimin pasti
diharamkan dalam syari’at.” Intinya, haramnya mencaci-maki sahabat menurutnya
ialah karena hal itu menimbulkan perselisihan di antara kaum
muslimin, bukan karena haram menurut syari’at, sebagaimana yang dilansir
oleh koran Al Ahraam Mesir tanggal 23 November 2006.
Ketiga: Kita harus waspasa terhadap akidah ‘taqiyyah’
(bermuka dua) yang menurut syi’ah adalah sembilan persepuluh dari agama mereka.
Artinya, mereka biasa mengatakan perkataan yang bertentangan dengan keyakinan
mereka selama mereka belum berkuasa. Namun setelah berkuasa mereka akan
menampakkan jati dirinya terang-terangan.
Dalam sejarah Syi’ah, kita menyaksikan bahwa
tatkala mereka menguasai beberapa wilayah Daulah Abbasiyah yang Sunni di Irak,
Mesir, Afrika Utara (Maghrib) dan semisalnya; mereka langsung terang-terangan
menghujat para sahabat, dan menjadikan hal itu sebagai pokok agama mereka.
Jadi, jelaslah bagi kita dari sini akan
pentingnya menjelaskan hakikat Syi’ah terhadap para sahabat yang mulia. Kalau
tidak, maka orang yang menyembunyikan kebenaran ini ibarat Syaithan yang bisu,
dan sikap ini akan mengakibatkan kehancuran Islam…
KEDUA: Bahaya Doktrinasi Syi’ah di Dunia Islam…. tidak
diragukan lagi bahwa doktrinasi Syi’ah (tasyayyu’) demikian gencar dilakukan di berbagai negara
Islam. Ia tidak hanya marak di tempat asalnya seperti Iran, Irak dan Lebanon,
namun kini berlangsung sangat kuat di Bahrain, Emirat Arab, Suriah, Yordania,
Saudi Arabia, Mesir, Afghanistan, Pakistan dan negara-negara muslim lainnya…
(Termasuk Indonesia yang dalam lima tahun
terakhir meningkat secara drastis, lewat tokoh-tokoh mereka macam Jalaluddin Rakhmat, Quraish Shihab dan sebagainya.
Bahkan menurut pengamatan sebagian pihak, jumlah
murid Kang Jalal mencapai lebih dari 10 juta! –pent). +an dari RRZ: Belum lagi
nanti para pelajar Indonesia yg telah lulus dari universitas2 Qoom/Iran, negeri
Syiah, diperkirakan 10 ribu lebih. Maka semangkin berkobarlah Syiah di Republik
tercinta Indonbesia ini. Dan hal tsb harus diantisipasi sejak dini oleh seluruh
Komponent ummat Islam, khususnya Pemerintah Republik Indonesia dan MUI/para
Ulama dan seluruh Ormas Islam.
Parahnya lagi, banyak orang yang menganut
pemikiran-pemikiran Syi’ah tanpa mengira bahwa mereka adalah Syi’ah. Bahkan
setelah menulis beberapa artikel ini, kami –yaitu Dr. Raghib Sirjani- mendapat
banyak e-mail yang penulisnya mengaku Sunni, namun isinya penuh dengan
pemikiran dan gaya Syi’ah.
Kita juga tidak menutup mata akan perang global
yang ditujukan kepada para sahabat lewat media massa (Yakni media massa di
Mesir tempat penulis tinggal -pent) dan saluran-saluran televisi di negeri-negeri
Sunni. Yang paling masyhur ialah hujatan salah satu koran Mesir terhadap Siti
Aisyah radhiallahu ‘anha beberapa hari terakhir. Demikian pula perang yang dilancarkan
terhadap Shahih Bukhari, termasuk acara televisi yang dibawakan oleh wartawan terkenal dan
selalu mengkritik para sahabat dalam setiap episode.
Masalah semakin rumit dan tidak bisa didiamkan,
mengingat adanya perkawinan silang antara manhaj (metode) Syi’ah dengan
Tasawuf, dengan klaim bahwa keduanya mencintai Ahlul bait.
Dan kita semua tahu bahwa faham tasawuf demikian
merebak di banyak negara di dunia. Dan faham ini telah terjangkiti virus
bid’ah, khurafat dan kemunkaran yang demikian banyak, dan bertemu dengan Syi’ah
dalam hal mengultuskan Ahlul bait. Dari sini, penyebaran Syi’ah sangat mudah
ditebak seiring dengan menyebarnya tarekat-tarekat Sufi.
KETIGA: Kondisi di Irak demikian mencekam. Pembunuhan
muslimin Ahlussunnah tersebab identitas mereka adalah fenomena biasa yang
sering terjadi. Sekjen ulama Ahlussunnah di Irak yang bernama Harits Adh Dhaary
menyebutkan bahwa ada lebih dari 100 ribu muslim Sunni yang tewas di tangan
Syi’ah sejak th 2003 hingga 2006.
Ditambah proses deportasi yang terus menerus di
beberapa lokasi demi mempermudah kekuasaan Syi’ah di sana. Dan mayoritas mereka
yang dideportasi (diusir) keluar dari Irak adalah Ahlussunnah; dan ini
menyebabkan perubahan susunan masyarakat yang sangat berbahaya akibatnya nanti.
Pertanyaannya sekarang: “Apakah fitnah yang
timbul ketika membahas masalah Syi’ah lebih berbahaya dari fitnah terbunuhnya
sekian banyak warga Ahlussunnah tadi? Lantas sampai kapan masalah ini harus
didiamkan? Padahal semua orang tahu betapa solidnya dukungan Iran dalam
pembersihan mereka yang beridentitas Sunni?”
KEEMPAT: Ambisi Iran terhadap Irak demikian besar, bahkan
hal nampak nyata. Mengingat kedua negara sebelumnya pernah terlibat perang
sengit selama 8 tahun penuh, dan sekarang jalannya terbuka lebar bagi Iran.
Apalagi Irak memiliki nilai religius penting bagi kaum Syi’ah, mengingat adanya
wilayah-wilayah suci di sana, termasuk enam makam Imam Syi’ah.
Di Najaf terdapat makam Ali bin Abi Thalib, lalu
di Karbala’ terdapat kuburan Husein, dan di Baghdad terdapat makam Musa Al
Kadhim dan Muhammad Al Jawwad, tepatnya di wilayah Al Kadhimiyyah. Sedangkan di
Samarra terdapat makam Muhammad Al Hadi dan Hasan Al ‘Askari; dan masih banyak
kuburan-kuburan palsu lain yang diklaim sebagai kuburan para Nabi seperti Adam,
Nuh, Hud dan Shalih di Najaf; namun semuanya palsu.
Selain Ambisi Iran terhadap Irak yang sangat
berbahaya, Amerika juga mendukung terwujudnya ambisi tersebut. Kita semua
menyaksikan bagaimana pemerintahan Syi’ah bentukan Amerika di Irak.
Sandiwara saling tuduh antara Amerika dan Iran sudah
tidak mempan lagi sekarang, sebab tidak pernah terlintas dalam benak Amerika
untuk menyerang Iran sama sekali, akan tetapi yang sangat mencemaskan bukanlah
ambisi untuk menguasai minyak atau kekayaan Irak saja, bukan pula sekedar
memperluas kekuasaan Syi’ah;
Namun parahnya mereka menjadikan kebrutalan dan
sadisme tersebut sebagai bagian dari agama mereka.
Sebab Syi’ah menuduh para sahabat dan pengikut
mereka dari kalangan Ahlussunnah sebagai musuh-musuh Ahlulbait dan menjulukinya
dengan naashibah atau nawaashib. Padahal kita lebih menghargai Ahlulbait daripada mereka.
Mereka lalu mengeluarkan vonis-vonis mengerikan
atas tuduhan tersebut. Misalnya Khumaini yang mengatakan:
“Pendapat yang lebih kuat ialah memasukkan
nawashib sebagai ahlul harbi (lawan perang), yang hartanya halal di mana pun
didapati, dan dengan cara apa pun.” (Tahrirul Wasilah 1/352 oleh Al Khumaini)
Lalu tatkala imam mereka yang bernama Muhammad
Shadiq Ar Ruhani ditanya tentang hukum orang yang mengingkari keimaman dua
belas imam, dia mengatakan sesuatu yang sangat aneh:
“Sesungguhnya imamah (jabatan imam) lebih tinggi
dari nubuwah (kenabian) dan kesempurnaan agama ini ialah dengan menjadikan
Amirul mukminin alaihissalam sebagai imam;
Allah ta’ala berfirman: alyauma
akmaltu lakum dienakum (pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu). Maka siapa
yang tidak mempercayai keimaman dua belas imam niscaya ia akan mati dalam
kekafiran” (Lihat fatwa ini dalam link berikut: www.imamrohani.com/fatwa-ar/viewtopic.php)
Khumaini dalam bukunya Al
Hukumatul Islamiyyah mengatakan bahwa para imam akan mencapai kedudukan yang tidak
pernah dicapai oleh malaikat terdekat maupun rasul sekalipun.( sebenarnya ada
lanjutannya yi, bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sekalipun.
Dengan kata lain merendahkan kedudukan Rasul. )
Karenanya, tidak mengakui keimaman menurut mereka
lebih berat dari pada tidak mengakui kenabian, dan inilah tafsiran atas
pengkafiran Syi’ah atas Ahlussunnah, yang diikuti dengan penghalalan darah
mereka di Irak dan negeri-negeri lainnya. Oleh karena itu, Irak harus
dimasukkan dalam kekuasaan mereka karena banyaknya tempat-tempat ‘suci’ mereka
yang masih dikuasai oleh orang-orang yang mereka anggap kafir.
KELIMA: Ancaman langsung tak berhenti di Irak saja, namun
ambisi mereka terus meningkat untuk menguasai daerah sekitarnya. Mereka menganggap
Bahrain sebagai bagian dari Iran, sebagaimana pernyataan kepala pemeriksa umum
Ali Akbar Nathiq Nuri di kantor pemimpin revolusi saat peringatan 30 tahun
revolusi Iran. Ia mengatakan:
“Bahrain pada dasarnya adalah propinsi Iran yang
keempat belas, yang diwakili oleh seorang legislatif di majelis permusyawaratan
Iran.” (Lihat situs al jazirah berikut: www.aljazeera.net/NR/exeres/684338CB-837A-4879-8C7A-1A1B995DD286.htm)
Kita juga tahu bahwa Iran menduduki tiga pulau
milik Emirat Arab di teluk Arab, dan jumlah mereka makin bertambah di Emirat
hingga nisbahnya mencapai 15% dari total jumlah penduduk, dan menguasai
pusat-pusat perdagangan terutama di Dubai.
Demikian pula kondisinya di Arab Saudi yang tidak
statis; sebab sejak revolusi Iran tahun 1979, berbagai gangguan stabilitas
terjadi berulang kali di Arab Saudi. Bahkan itu terjadi langsung setelah
revolusi Iran, dengan munculnya demonstrasi Syi’ah di Qathif dan Saihat (dua
wilayah Saudi), yang paling gencar di antaranya adalah tanggal 19 November
1979.
Masalah pun kadang semakin parah hingga berubah
menjadi tindak anarkhis dan kejahatan di Baitullah Makkah. Sebagaimana yang
terjadi pada musim haji tahun 1987 dan 1989. Bahkan
pasca jatuhnya pemerintahan Saddam Husein, sekitar 450 tokoh Syi’ah di Saudi
mengajukan proposal kepada putera mahkota ketika itu, yaitu Pangeran Abdullah
dan meminta agar diberi jabatan-jabatan tinggi di dewan parlemen, jalur
diplomasi, badan militer dan keamanan, serta menambah jumlah mereka di majelis
syuro.
Bahkan Ali Syamkhani, yang merupakan penasehat
tertinggi masalah militer bagi pimpinan umum revolusi Iran mengatakan, bahwa
bila Amerika menyerang proyek nuklir Iran.
Iran tidak sekedar membalas dengan menyerang
fasilitas milik Amerika di teluk, namun akan menggunakan rudal-rudal
balistiknya untuk menyerang target-target strategisnya di teluk Arab.
Pernyataan ini dilansir oleh majalah Times Inggris pada hari Ahad 10 November
2007. (oleh fizaro)