Sunday, May 24, 2015

Keutamaan Muawiyah, Kaum Anshar dan Siapa ( Dimana Posisi ) Kita ? ( Bagian Kedua )

Keutamaan Muawiyah
Syarif Baraja

Tapi yang jelas Allah sudah pasti mengampuni sahabat yang ikut perang Tabuk.
[ Komentar Para Pengkritik Muawiyah R.A ] Artinya, meski Muawiyah ikut perang Tabuk, maka belum tentu Muawiyah beriman. Kan Muawiyah termasuk sahabat "baru" yang masuk Islam saat Fathu Makkah, yang menurut pengkritik .

ibaratnya sudah paling nyaman, Islam sudah menang, mau tetap mempertahankan kemusyrikannya juga percuma karena sudah tidak punya teman lagi, semuanya sudah berbondong-bondong masuk Islam.
Artinya, menurut Pengkritik, sahabat yang masuk Islam saat Fathu Makkah itu. Bisa jadi ada yang menjawab bahwa tidak semua yang ikut perang Tabuk adalah beriman, ada orang-orang munafik yang ikut. Artinya meski Muawiyah ikut perang Tabuk, bukan jaminan bahwa Muawiyah benar-benar beriman.
Jawabnya, orang munafik memiliki hukum yang berbeda, dan yang harus kita perhatikan, ada perbedaan antara sahabat dan kaum munafik. Sahabat bukan munafik, dan munafik bukan sahabat. Di mana bedanya? Jelas AI Qur'an membedakan antara sahabat dan munafik. Sahabat mendapat ridho Allah, dan munafik mendapat laknat. Jika kita gambarkan menurut diagram Venn, maka gambarnya adalah dua lingkaran yang tidak bersambungan sama sekali.
Jika ingin menuduh Muawiyah adalah munafik, maka harus mendatangkan bukti sejarah yang valid. Dan bukti-bukti itu tidak akan bisa melemahkan hadits tentang doa Rasulullah pada Muawiyah. Adanya ampunan menunjukkan adanya kesalahan juga. Artinya, bukan tidak mungkin sahabat Rasulullah melakukan kesalahan. Mengapa? Karena sahabat Rasulullah adalah manusia biasa. Dan yang harus diketahui, bahwa untuk masuk sorga, untuk mendapatkan ridho Allah, manusia tidak harus bersih dari kesalahan. Orang yang pernah melakukan kesalahan, dia tidak harus masuk neraka selama-Iamanya.
Allah memberi banyak kesempatan bagi orang yang bersalah utnuk menebus kesalahannya, di antaranya dengan membuka pintu taubat.
Dan orang yang sudah bertaubat, seperti tidak memiliki dosa, karena dosanya sudah terhapus. Dan Allah menjanjikan lebih dari sekedar menghapus dosa, tapi kesalahan-kesalahannya akan diganti dengan kebaikan.
 25:70
Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. AI Furqan 70.
 6:54
Tuhanmu telah menetapkan alas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. AI An'am 54.
Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, mengampuni dosa, dan memberikan kebaikan-kebaikan sebagai gantinya.
Juga di akherat nanti ada yang disebut mizan, yaitu timbangan amaI manusia. Jika timbangan amalan baiknya lebih berat, maka dia akan selamat. Jika timbangan amal baiknya lebih ringan daripada amal buruknya, dia terancam neraka.
Tapi masih ada peluang untuk selamat, yaitu syafaat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam , yang diriwayatkan bersabda:
Syafaatku untuk umatku yang melakukan dosa-dosa besar. Sunan Abu Dawud
Orang yang dosanya tidak diampuni Allah, serta amalan buruknya lebih berat dari amalan baiknya, dan mendapatkan syafaat Nabi, maka dia bisa masuk ke dalam sorga.
Muawiyah juga melakukan amalan~amalan baik, juga melakukan kesalahan, sebagaimana kita juga.
Tapi bedanya Muawiyah dengan kita, Muawiyah pernah bertemu Nabi, sedangkan kita tidak. Muawiyah mendapatkan doa Nabi, sedangkan kita tidak.
Muawiyah sudah jelas mendapat ampunan Allah, berdasarkan dalil-dalil di atas, sedangkan kita tidak. Muawiyah melakukan kebaikan-kebaikan yang nilainya luar biasa besar, sedangkan kita tidak.
Kebaikan kita sangat kecil nilainya, kita tidak pernah melakukan amal~amal besar seperti sahabat Nabi. Itupun kita tidak tahu amalan kita akan diterima atau tldak.
Setiap hari jum'at, biasanya khatib tak lupa membaca doa:
 59:10
"Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". Surat Al-Ĥashr 10
Jutaan kaum muslimin membaca doa ini setiap jum'at. Maka kemungkinan terkabulnya sangat besar. Sedangkan sahabat Rasulullah termasuk kaum beriman, bahkan sahabat Rasulullah adalah orang~orang beriman yang paling tinggi derajatnya, bahkan disebut oleh Rasulullah sebagai generasi yang terbaik.
Jutaan kaum muslimin mendoakan sesama muslim, wujud ukhuwah persaudaraan dan cinta kasih pada sesama muslim, baik yang maslh hidup maupun yang sudah mati. Begitulah seorang muslim, meski sudah mati masih banyak yang mendoakan,jutaan orangmendoakan.
Dan Allah Maha Mengabulkan doa.
Sesungguhnya Tuhanku, benar~benar Maha Mengabulkan doa. Ibrahim 39
14:39
Tak ketinggalan Malaikat juga mendoakan ampunan bagi orang beriman: Begitu juga Malaikat mendoakan orang-orang beriman:
40:7
40:7. (Malaikat-malaikat) yang memikul Arasy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala,
42:5
Hampir saja langit itu pecah dan sebelah atasnya (karena kebesaran Tuhan) dan malaikat­-­malaikat bertasbih serta memuji Tuhannya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah Dia-Iah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. As Syura 5.
Juga ada pertanyaan penting: 
Apakah kita berani memastikan bahwa Allah tidak mengampuni Muawiyah? 
Dari mana kita tahu Allah tidak mengampuni Muawiyah? Apakah kita berani memastikan bahwa amalan kita diterima? Apakah kita berani memastikan bahwa dosa kita diampuni? 
Jika kita berpendapat bahwa orang yang melakukan kesalahan membuat dirinya tercela, dan tidak bisa memiliki keutamaan lagi, tidak diampuni Allah, dan masuk neraka selama-Iamanya, maka orang itu adalah kita sendiri. Apakah kita merasa tidak memiliki dosa? Dosa-dosa kita sudah banyak. Bahkan karena banyaknya, kita sendiri tidak mampu menghitungnya.
Apakah kita tidak ingin ampunan Allah? 
Jika kita ingin agar diampuni Allah, kenapa kita tidak ingin orang lain diampuni? Allah Maha Pengampun, mengampuni dosa-dosa hambaNya yang mau bertobat.
Sahabat Rasulullah tidak suci dari kesalahan, begitu juga kita, dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Tapi amalan mereka lebih besar dari kesalahan-kesalahan.
Pada perang Shiffin, Ali bin Abi Thalib dan dan pasukannya memerangi Muawiyah bin Abi Sufyan, karena Muawiyah dan penduduk Syam menolak berbaiat pada Ali.
Mengapa Muawiyah menolak berbaiat? Karena ingin menuntut balas pembunuh Usman sebelum berbaiat pada Ali. Bukan ingin merebut kekhafifahan. Ini saja, tidak kurang dan tidak lebih. Karena keluarga korban pembunuhan boleh menuntut balas akan kematlan keluarganya. Ini berdasarkan ayat:
17:33
Dan barang siapa dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
Allsra 33
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini:
Yaitu kekuasaan untuk membalas, dia boleh memilih untuk mengqishash, memaafkan dan meminta diyat, atau memaafkan tanpa meminta diyat, seperti dijelaskan dalam sunnah. Ibnu Abbas menyimpulkan dari ayat ini bahwa Muawiyah akan menjadi penguasa, karena dia adalah wali Utsman, sedangkan Utsman terbunuh dalam keadaan terzhalimi. Dan Muawiyah menuntut darah Utsman, dan meminta Ali agar menyerahkan pembunuh Utsman untuk diqishash, karena Muawiyah adalah termasuk Bani Umayyah, dan Ali menunda qishash hingga kondisi tenang, dan dia akan melakukannya ...
Abu Muslim AI Khaulani bertanya kepada Muawiyah: Engkau menentang Ali atau engkau anggap dirimu sama dengan Ali? Muawiyah menjawab: tidak, demi Allah, sungguh aku tahu Ali lebih baik dariku, dan lebih berhak menjadi khalifah daripada diriku, tetapi bukankah engkau tahu bahwa Utsman terbunuh dalam keadaan zhalim, dan saya adalah anak pamannya, yang meminla agar pembunuhnya dihukum qishah, datanglah kepada Ali, katakan padanya agar menyerahkan pembunuh Utsman, dan aku akan tunduk padanya. Mereka datang pada Ali dan menyampaikan keinginan Muawiyah, tapi Ali tidak menyerahkan pembunuh Utsman.
Siyar A'iam Nubala jilid 3 hal 140,
Dr Ali As Shalabi mengatakan: perawinya tsiqah.
Inilah yang juga tercantum dalam AI Bidayah wan Nihayah, bahwa Muawiyah ingin melaksanakan qishash terlebih dahulu sebelum berbaiat. Dan Ali menolak.
Ibnul Arabi dalam AI Awashim minal Qawashim mengatakan: sebab peperangan antara penduduk Syam dan Irak adalah karena perbedaan sikap, mereka -penduduk Irak-mengajak berbaiat pada Ali dan bersatu dl bawah pimpinan seorang imam, dan mereka -penduduk Syam­ mengajak untuk melakukan qishahs bagi para pembuuh Utsman, dan mengatakan: kita tidak berbaiat pada mereka yang melindungi para pembunuh.
Abu AI Ma'ali AI Juwaini, yang dijuluki Imam AI Haramain, mengatakan dalam kitab "Luma'ul Adillah" : meskipun Muawiyah memerangi Ali, tapi tidak mengingkari kepemimpinannya, dan tidak mengklaim dirinya sebagai khalifah, Muawiyah hanya ingin menuntut balas atas kematian Utsman, dan mengira sikapnya adalah benar, padahal keliru.
Sementara Ibnu Hajar AI Haitsami mengtaka masalah satu keyakinan Ahlussunnah wal jamaah, bahwa peperangan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah, bukan karena Muawiyah ingin merebut jabatan khalifah dari Ali, karena telah terjadi ijma' -kesepakatan-bahwa Ali adalah berhak. Fitnah tidak berkobar karena hal itu, tetapi berkobar karena Muawiyah adalah anak paman Utsman, dan AIi menolak.
As Shawaiq AI Muhriqah, jilid 2 hal 622.
Dr Ali As Shallabi mengomenrari pada footnote bukunya Ad Daulah AI Umawiyyah jilid 1 hal 108
Ini adalah ijtihad Muawiyah, meskipun sikap yang benar adalah berbaiat pada Ali, kemudian menuntut hukuman qishash.
Kemudian pada hal 109, Dr Ali As Shallabi menjelaskan lebih jauh tentang kekeliruan Muawiyah dalam ijtihadnya:
Kesalahan sikap Muawiyah dalam mensikapi pembunuhan Utsman, adalah ketika Muawiyah menolak berbaiat pada Ali sebelum menuntut qishash bagi para pembunuh Utsman. Ditambah lagi bahwa Muawiyah mengkhawatirkan keselamatan dirinya, karena sikap-sikapnya dahulu terhadap para pengacau, dan karena khawatir mereka berhasrat ingin membunuh Usman, bahkan mencari jalan agar bisa menghabisi mereka. Orang yang menuntut balas tidak boleh menghukum sendiri, melainkan harus masuk ke dalam ketaatan imam, dan membuat gugatan di depan pemerintah, dan mencari kebenaran dari pemerintah.
Tahqiq Mawaqif Shahabah jilid 2 hal 151.
Dan para imam pemberi fatwa sepakat bahwa tidak ada yang boleh membalas pembunuhan dan mengambil hak selain pemerintah, atau pihak yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menangani urusan ini, karena hal itu bisa menimbulkan fitnah dan kekacauan
Tafsir AI Qurthubi jilid 2 hal 256.
Inilah yang menjadi sebab utama
Banyak orang memandang perselislhan antara sahabat Rasulullah dengan mengadopsi pandangan orientalis. Mereka menganalisa kejadian-kejadian di masa sahabat Rasulullah dengan analisa teori politik masa kini. Para sahabat Rasulullah disamakan dengan orang-orang hari inl. Ali dan Muawiyah disamakan dengan pimpinan partai politik yang berebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Para sahabat yang telah mendapat pujian Allah, disamakan dengan politikus hari ini yang menempuh tujuan dengan segala cara.
Perang Shiffin sudah diberitakan oleh Rasulullah sejak jauh-jauh hari. Sama seperti pemberitaan tentang pasukan muslim pertama yang berperang di laut.
Rasulullah menyatakan bahwa Ammar akan dibunuh oleh kelompok pembangkang:
Kasihan Ammar, dia dibunuh oleh kelompok pembangkang. Bukhari Ibnu Hajar mengatakan;
Hadits ini memuat salah satu tanda kenabian, dan keutamaan yang jelas bagi Ali bin Abi Thalib dan Ammar bin Yasir. Hadits ini mengandung bantahan pada kaum nawasib -pembenci keluarga Nabi-yang menyatakan bahwa Ali bukan pihak yang benar dalam perangnya.
Ibnu Hajar mengatakan lagi:
Dalam sabdanya : Kelompok pembangkang akan membunuh Ammar, petunjuk yang jelas bahwa Ali dan orang-orang yang berada di belakangnya, dan orang-orang yang memerangi Ali bersalah atas ta'wil mereka.
Ibnu Hajar berkata lagi:
Hadits : Kelompok pembangkang akan membunuh Ammar mengandung petunjuk bahwa Ali adalah yang benar dalam peperangan itu, karena tentara Muawiyah yang membunuh Ammar.
Sementara Nawawi mengomentari hadits Ammar di alas:
Hadits ini mengandung mukjizat yang nyata bagi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari beberapa sisi, salah satunya bahwa Ammar akan mati dibunuh, dan dia dibunuh oleh kaum muslimin, dan yang membunuh Ammar adalah kelompok pembangkang, dan para sahabat akan saling berperang, dan mereka akan terbagi menjadi dua kelompok, yang satu pembangkang dan lainnya tidak, dan semua ini telah terjadi seperti fajar terbit di pagi hari,
Maksudnya seperti fajar di pagi hari, yaitu terjadl dengan Jelas, sebagaimana jelasnya fajar yang menyingsing di pagi hari.
Dari Abu Said AI Khudri berkata: Rasulullah shallaliahu alaihi wasallam bersabda: akan muncul kelompok pemberontak di saat perpecahan terjadi di kaum muslimin, akan diperangi oleh kelompok yang paling layak terhadap kebenaran.
Muslim. Nawawi mengatakan:
Hadits ini mengandung hujah bagi ahlussunnah bahwa Ali adalah berada ke pihak yang benar dalam peperangannya, dan kelompok lainnya adalah pembangkang, apalagi ditambah dengan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : mereka akan diperangi oleh kelompok yang lebih dekat kepada kebenaran, dan Ali serta pasukannya yang membunuh kelompok itu Kelompok yang keluar saat perpecahan kaum muslimin adalah kelompok khawarij.
Jadi peristiwa perang Shiffin sudah dlramalkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan sekaligus Rasulullah membentahukan tentang mana pihak yang benar, dan mana pihak yang keliru dalam perang ini.
Perhatikan sekali lagi sabda Nabi: Aulat Tha'ifatain, yaitu kelompok yang paling layak dalam kebenaran. Ini mengarah pada kelompok Ali. Tapi sabda Rasulullah juga menunjukkan bahwa kelompok lainnya juga memiliki kebenaran juga. Jadi dua-duanya berada dalam kebenaran, tapi kelompok Ali lebih benar. Ini sabda Rasulullah shallalla hu alaihi wasallam.
Pengkritik mengatakan:
Karena saking hati-hatinya pora ulama Ahlus-Sunnah enggan berkomentar terhadap peperangan ini. Mereka merasa lebih selamat 'no-comment' terhadap tragedi besar ini;' karena baik Ali maupun Muawiyah sama-sama beratribut shahabat Nabi.
Saya katakan: yang berkomentar terhadap masalah ini adalah Rasulullah sendiri, yang mengherankan, seolah-olah Pengkritik ingin menafikan hadits Rasulullah di atas. Keinginan ini nampak jelas pada beberapa baris berikutnya:
Hamplr seluruh ulama Ahlus-Sunnoh sepakat bahwa pihak Khalifah Ali  itu yang benar; ada juga yang berpendapat biar tidak dianggap menyinggung kelompok Muawiyah, dikatakannya Ali lebih dekat ke kebenran dibanding Muawiyah.
Yang perlu dicermati disini, pernyataan ini membantah pernyataan Pengkritik  sendiri sebelumnya, karena dia mengatakan bahwa para ulama Ahlussunnah enggan berkomentar terhadap peperangan ini. Tapi ternyata Pengkritik menyatakan bahwa hampir seluruh ulama Ahlus Sunnah sepakat bahwa pihak Khalifah Ali iw yang benar.
Pengkritik juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa Ali lebih dekat ke kebenaran dibanding Muawiyah adalah karena takut menyinggung kelompok Muawiyah.
Ternyata yang disindir oleh Pengkritik di sini adalah hadits Nabi. Tapi Pengkritik tidak berani mengatakannya terus terang. Ini yang terlintas dalam pikiran ketika membaca pernyataan Pengkritik.
Tapi saya mengenal Pengkritik secara pribadi sebagai orang yang mencintai kebenaran dan sunnah Nabi, dan membenci penyimpangan-penyimpangan. Saya berhusnuzhan pada Pengkritik bahwa dia memang tidak pernah membaca referensi-referensi secara luas, ini karena kesibukannya.
Pengkritik juga mengatakan
Ada pula ulama lain yang menilai bahwa kedua pihak (Ali dan Muawiyah) sama-sama benar dan sedang berijtihad, kalau ijtihadnya benar dapat dua pahala, kalau ijtihadnya salah cuma dapat satu pahala, dst. Jadi yang memerangi dan menumpahkan darah serta yang diperangi sama-sama dapat pahala ijtihod. Persoalannya kita 'risih' kalau harus menyalahkan salah satunya, karena yang akan kena kritik juga shahabat Nabi.
Di sini Pengkritik lebih jelas lagi mengungkapkan sikapnya terhadap Muawiyah. Dia mengkritik para ulama yang menilai bahwa Ali dan Muawiyah sama-sama berijtihad. Pengkritik juga mengkritisi mereka yang risih ketika menyalahkan salah satunya.
Sampai disini, saya jadi lebih yakin lagi bahwa Pengkritik memang belum membaca banyak referensi. Karena Rasulullah sendiri sudah menyatakan bahwa Ali yang benar, dan Muawiyah yang keliru. Tapi mengapa Pengkritik masih menyatakan bahwa kebanyakan ahlussunnah masih takut menyalahkan Muawiyah? Itu karena Pengkritik tidak pernah membaca penjelasan Rasulullah.
Selanjutnya Pengkritik menyatakan:
Kelompok yang paling hati-hati menghadapi kemelut ini diwakili kelompok Salafi, karena mereka enggan menyalahkan semuanya, alias semua shahabat boik dan adil, jangan sampai kena kritik apalagi disalah-salahkan.
Pertanyaannya, siapa yang dimaksud dengan kelompok salafi tersebut? Tidak ada referensi jelas, baik berupa nama, atau mungkin pendapat itu diambil dari referensi kelompok yang dimaksud.
Pertanyaan berikutnya , apakah Pengkritik sudah bertabayyun dengan kelompok salafi yang dimaksudnya?
Karena di sini Pengkritik tidak menyebutkan bukti apa pun tentang pendapat mereka yang disebutnya sebagai kelompok salafi, hanya sebatas klaim, tidak lebih dari klaim.
Apakah kelompok salafi tidak memiliki ustad yang bisa menjadi sarana tabayyun?
Pengkritik beranggapan bahwa kelompok salafi enggan menyalahkan semuanya, alias semua sahabat baik dan adil, jangan sampai kena kritik apalagi disalah-salahkan.
Disini Pengkritik mengungkapkan sikap yang seharusnya terhadap sahabat Nabi, yaitu tidak semua sahabat baik dan adil, karena mereka memiliki kesalahan. Menurut Pengkritik, ketika seseorang berbuat kesalahan, maka dia tidak bisa disebut baik. Ketika sahabat Rasulullah berbuat kesalahan, maka tidak lagi bisa disebut baik. TIdak boleh dimuliakan:
Semestinya kita harus berani bersikap kritis terhadap fakta sejarah ini. Yang sudah "terjerat" dengon dagma hitam-putih pasti repot untuk bersikap fair dan terbuka. Yang satu terjerat karena harus memuliakon shahabat tanpa terkecuali.
Pengkritik mengajak kita untuk menghina sahabat yang tidak mulia, yaitu yang melakukan kesalahan.
Menurut Pengkritik, Muawiyah tidak boleh dimuliakan, alias harus dihinakan.
Saya bisa memaklumi sikap Pengkritik ini, karena berangkat dari kurangnya telaah atas referensi-­referensi, barangkali karena kesibukannya. Dia belum membaca hadits-hadits tentang doa Rasululiah terhadap Muawiyah, belum membaca hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan Muawiyah.
Mengapa Pengkritik mengambil sikap ini pada Muawiyah?
Pengkritik mengungkapkan alasannya:
Menurut Pengkritik, karena Muawiyah membangkang dan menabuh genderang perang pada Ali, juga ikut merongrong pemerintahan Usman:
Kenapa lidah kita berat untuk menyatakan bohwa kubu Muawiyah telah melakukan pembangkangan dan melawan Khalifah Ali, memulai menabuh genderang perang dan menyulut api permusuhan kepada pemimpinnya sendiri dengan judul Nenuntut darah Utsman", padahal Khalifah Utsman di akhir masa jabatannya dirongrong akibat ulah anak buahnya sendiri ( terutama aleh perilaku Muawiyah selaku gubernur Syam).
Menurut Pengkritik, Muawiyah yang bikin repot Utsman, dan tidak pantas menjadi pihak yang paling berduka. Menurut Pengkritik, orang yang bikin repot Utsman tidak pantas menjadi pihak yang paling kehilangan nyawa Utsman.
Namun maaf, justru pihak Gubernur Muawiyah yang selama itu 'bikin repot' Khalifah Utsman tahu-tahu merasa sebagai pihak yang paling kehilangan nyawa khalifahnya, merasa sebagai pihak yang paling berduka dan Ingin menuntut darah Utsman, anehnya tuntutannya justru ditimpakan ke Khalifah Ali.
Padahal Menurut Pengkritik, Muawiyah dengan cerdik mengemas issu menuntut darah Utsman sebagai senjata untuk merebut kekhalifahan dari Ali.
Namun karena 'kecerdikan' Gubernur Muawiyah, issue "menuntut darah Utsman" dapat menjadi senjata yang efektif dan dlpakai dalih untuk melawan Khalifah Ali. Dalam ilmu politik modern, siapa yang paling cerdas mengemas issue untuk kepentingan politiknya bisa 'sukses' meraih kekuasaannya. Dalam Perang Shlffin, Khalifah Ali yang seharusnya menang dan unggul bisa diperdaya oleh kecanggihan ilmu politik Gubernur Muawiyah, sehingga yang benar, yang sah sebagai Khalijah bisa dlpecundanga oleh gubernurnya, bahkan terakhir, kekuasaanya dapat diambil alih oleh Muawiyah, kemudian diwariskan kepada anaknya Yazid dan keturunannya.
Muawiyah mengibuli sahabat-sahabat Rasulullah yang ikut-ikutan membela Muawiyah.
Anehnya, setelah Muawiyah berkuasa, isu 'menuntut darah Utsman' sudah tidak dilanjutkan laga, sistim khulafa-urasyidin diakhiri dan diganti dengon kerajaan, ibukota Islam dipindah dari Madinah menuju Syam, beberapa shahabat lain yang waktu itu ikut-ikutan membela Muawiyah ternyata dikibulinya.
Kata Pengkritik, peristiwa pertempuran Ali dan Muawiyah adalah peristiwa yang harus ditangisi.
Inilah peristlwa paling kelam pertama yang harus ditangisi oleh ummat Islam.
Pengkritik juga menyatakan alasannya untuk mencaci Muawiyah, yaitu banyak sahabat yang mualaf , yaitu yang masuk Islam saat fathu Makkah, yang tidak putih betul, dan menyalahkan apa yang disebutnya sebagai "kaum salafi" yang menganggap seluruh sahabat itu putih semua:
Mereka menganggop seluruh shahabat itu putih semua, padahal untuk kategori shahobat yang mualaf tadi banyak yang tidak putih betul, banyak yang sudah Jadi abu-abu.
Yang perlu menjadi perhatian, di sini Pengkritik tidak menyebutkan referensi apa pun. Lalu dari mana?
Kecuali klaim pertama, yaitu membangkang. Muawiyah memang menolak berbaiat sampai ada qishash atas pembunuh Utsman. Dan Muawiyah memiliki alasan yang kuat, yang membuatnya yakin bahwa dirinya dalam kebenaran, meski keyakinannya keliru. Karena inilah para ulama menyebutkan bahwa sikap Muawiyah ini diambil atas dasar ijtihadnya.
Pertanyaannya, menghakimi Muawiyah dengan klaim-klaim tanpa bukti, apakah bisa disebut bersikap adiI?
Maka pernyataan-pernyataan Pengkritik ini hanya bisa disebut klaim, yang untuk bisa diterima perlu dibuktikan kebenarannya. Ketika tidak ada bukti kebenaran, maka hanya bisa diperlakukan sebagai klaim, dan tidak bisa diterima begitu saja. Setiap klaim harus dibuktikan, karena jika sekedar membuat klaim, maka semua orang bisa. Tapi persoalannya, klaim harus dibuktikan.
Kemudian Pengkritik mengutip ucapan Sayyid Quthb dan Muhammad al Ghazall, yang menurut Pengkritik bisa berpikir lebih fair dan terbuka, alias menurut Pengkritik, tidak berpikiran sempit dan tertutup:
Terapi banyak ulama Ahlus-$unnah lain yang non-Salafi mencoba berfikir lebih fair dan terbuka untuk mengkritisi persoalan in!.
Sebagai contoh adalah pernyataan Sayyid Qurhub dalam bukunya, AI-'Adalah Al·ljtima'iyyah fi AI-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam), beliau mengatakan, "Kita sangat menyayangkan Utsman karena khilafah datang kepadanya dengan terlambat, yaitu pada saat keluarga Umayyah ada di sekeilingnya ketika beliau berusia hampir delapan puluh tahun. Sehingga mereka (kaum kerabatnya dari bani Umayyah) memperlakukan Khallfah Utsman seenak hatinya." Atau seperti yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Ghazali ketika mengomentari kepemimpinan Muawiyah dolam bukunya, Al-Islam wa AI·lstibdad As·Siyasi (Islam dan Penindasan Politik). Dalam buku tersebut beliau menulis , "Hilanglah kendali dari tangan orang·orang mukmin yang shaleh. Setelah tiga puluh tahun, akhimya Khulafa-urrasyidln pun binasa. Pemimpin Islam yang mengetahui, memahami dan mencintai rakyatpun diganti oleh pemimpin yang buruk. Pemimpin tersebut berbuat kemudharatan, bukan kebaikan, kerusakan dan bukan kebenaran." Syaikh Ghazali secara provokatif melanjutkan, "Yazid (anak Muawiyah) adalah pemuda yang fasik. Orang yang tidak layak jadi ketua kelas Sekolah Dasar malah berdiri di atas mimbar Nabi, Abubokar dan para shahabat."dst. TIdak terkecuali juga Abul 'Ala Maududi juga mengkritik episode sejarah Islam era Muawiyah dalam bukunya, Khilajah dan Kerajaan.
Kita tidak bisa menerima begitu saja perkataan Sayyid Quthb dan Muhammad AI Ghazali. Bisa jadi Sayyid Quthb dan Muhammad AI Ghazali mengambil dari kitab-kitab yang harus diteliti lagi validitasnya. Dan bisa jadi pendapatnya keliru. Jika pendapatnya keliru, dan sangat masuk akal jika manusia biasa bisa keliru, dan kekeliruan ini harus dimaklumi, tapi tidak untuk diikuti.
Yang perlu kita perhatikan lagi, di sini Pengkritik tidak menukil hadits-hadits dari Nabi, yang mana hadits-hadits itu merupakan wahyu dari Allah, berisi tentang keutamaan Muawiyah. Tapi menukil dari Sayyid Quthb, Muhammad AI Ghazali dan AI Maududi, yang merupakan manusia biasa, yang tidak dibimbing langsung oleh wahyu ilahi.
Apakah Pengkritik menganggap hadits-hadits keutamaan Muawiyah sebagai tidak fair dan berpikiran tertutup? Saya yakin tidak. Tapi karena dia belum banyak membaca referensi ..
Begitu juga Pengkritik sama sekali tidak menukil ucapan ulama salaf tentang Muawiyah. Apakah ini yang disebut bersikap adil pada Muawiyah? Yaitu hanya menyebutkan klaim-klaim tanpa bukti, dan hanya menukil ucapan ulama-ulama yang hidup jauh setelah era kenabian dan khilafah.
Sebelum melanjutkan, ada baiknya kita menyimak pendapat ulama tentang konflik yang terjadi antara Ali dan Muawiyah:
Imam Ahmad ditanya tentang pendapatnya tentang peristiwa yang terjadi antara Ali dan Muawiyah, dia menjawab: saya tidak mengatakan tentang mereka kecuali yang baik-baik . Manaqib Imam Ahmad hal 146.
Ibnu Abi Zaid AI Qalrawani menjelaskan keyakinan yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan yang harus dlkatakan oleh seorang muslim tentang sahabat Nabi:
Jangan mengatakan tentang sahabat Rasulullah kecuali dengan ucapan yang terbaik, dan diam terhadap perselisihan yang terjadi antara mereka, dan para sahabat adalah orang yang paling berhak untuk dicarikan alasan yang paling baik, dan mendapatkan prasangka yang paling baik.
Risalah AI Qairawani, beserta syarhnya, yaitu At Tsamar Ad Dani, fi Taqrib AI Ma'ani, hal 23.
Abu Abdullah ibnu Baththah menjelaskan akidah Ahlussunnah wal Jamaah:
Setelah itu kami menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara sahabat Nabi, dimana mereka telah ikut berperang bersama beliau, dan mendahului manusia dengan keutamaan­-keutamaan, dan Allah telah mengampuni mereka, dan memerintahkan kita untuk memohonkan ampunan bagi mereka, dan mendekatkan diri pada Allah dengan mencintai mereka, Allah mewajibkan hal ini melalui lisan NabiNya, dan Allah tahu bahwa mereka akan saling beperang. Para sahabat memiliki kelebihan dibanding seluruh manusia, karena mereka telah terbebas dari berbuat salah dengan sengaja. dan mereka telah diampuni dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka.
Syarah wallbanah Ala ushul As Sunnah wad Diyanah, hal 268
Abu Utsman As Shabuni dalam Aqidah Salaf Ashabul Hadits mengatakan: dan mereka diam akan perselisihan yang terjadi antara sahabat Nabi, dan membersihkan lisan dari mengucapkan kata yang mengandung aib dan kekurangan bagi mereka, dan mereka mendoakan bagi seluruh mereka agar mendapat rahmat, dan mencintai seluruh mereka. Aqidah Salaf Ashabul hadits, As Shabuni.
Ibnu Taimiyah menjelaskan keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah tentang perselisihan yang terjadi di antara sahabat: mereka diam akan perselisihan yang terjadi di antara sahabat, dan mengatakan: riwayat-riwayat yang menceritakan keburukan mereka ada yang merupakan riwayat dusta, ada yang sudah ditambah atau dikurangi, ada yang sudah diselewengkan, dan yang benar, mereka adalah dimaafkan, ada yang berijtihad dan mendapatkan kebenaran, dan ada yang berijtihad, tapi menyelisihi kebenaran.
Aqidah Wasithiyah.
Di sini Ibnu Taimiyah menjelaskan satu hal penting, yaitu riwayat-riwayat tentang keburukan sahabat Rasulullah banyak berupa dusta, atau riwayat-riwayat yang sudah ditambah dan dikurangi, hingga tidak valid lagi untuk dijadikan argumentasi. Sementara disisl lain, banyak ayat dan hadits yang memuji sahabat Nabi.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa ayat-ayat dan hadits-hadits itu disingkirkan, sementara riwayat-riwayat yang tidak jelas itu malah digunakan?
Sementara Ibnu Utsaimin menjelaskan dengan lebih gamblang, meskipun dengan bahasa yang berbeda:
Atas semua yang terjadi (perselisihan di antara sahabat) kita memiliki sikap dari dua sisi, sisi pertama, yaitu mengenal si pelaku, dan sisi satu lagi: sikap kita terhadap si pelaku.
Mengenai hukum si pelaku, telah kami jelaskan sebelumnya, yaitu sikap yang kami tempuh dalam rangka berbakti pada Allah, apa yang terjadi di kalangan mereka adalah karena ijtihad, jika orang berijtihad dan keliru, maka dia dimaafkan dan diampuni. Sedangkan sikap kita terhadap si pelaku, yang wajib dilakukan adalah diam. Mengapa kita jadikan perbuatan mereka sebagai ajang untuk caci maki dan mencela mereka, dan menjadi ajang kebencian di antara kita? Jika kita melakukan ini, maka tidak keluar dari dua hal: kita berdosa, atau kita seiamat, tapi kita tidak mendapat pahala sama sekali. Syarah Aqidah Wasithiyah, 617·618
Apakah Pengkritik menganggap para ulama di atas berpikiran sempit dan tertutup, karena tidak berani mencaci maki Muawiyah dan para sahabat yang bersalah? Saya yakin Pengkritik tidak menganggap demikian.
Apakah para ulama dituduh berpikiran sempit dan tertutup, karena mereka bersikap diam, dan malu untuk membicarakan para sahabat dengan ucapan buruk?
Apakah para ulama malu dituduh berpikiran sempit ketika menolak berbicara buruk tentang sahabat yang sudah melakukan amlan-amalan besar?
Sikap para ulama di atas adalah keyakinan ahlussunnah wal jamaah.
Saya jadi teringat tuduhan kaum sekuler bagi mereka yang menolak menjelek-jelekkan Islam, orang yang menolak mengkritisi AI Qur'an. Kaum muslimin yang berpegang teguh pada agamanya dibilang fundamentalis, berpandangan sempit, kolot, jumud dan sebagainya. Sementara orang-orang yang berani menghujat ajaran Islam, berani mengkritisi hukum Islam, dibilang fair dan berpikiran terbuka.
Para ulama menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah, Ali yang benar dan Muawiyah yang salah. Pengkritik menuduh para ulama itu tidak berani menentukan mana yang benar dan mana yang salah, malah hadits Rasulullah dituduhnya sebagai menjaga perasaan pengikut Muawiyah agar tidak tersinggung.
Ini konsekuensinya, tapi saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa Pengkritik tidak akan pernah menuduh hadits Rasulullah yang bukan-bukan.
Tapi disisi lain, para ulama menyadari, bahwa mereka membicarakan sahabat Nabi, orang­orang yang mulia, yang telah melakukan amalan-amalan besar. Orang-orang yang didoakan oleh Nabi, seperti Muawiyah, yang juga telah mendapatkan janji ampunan, yang dilihat oleh Rasulullah dalam mimpinya, ketika melihat pasukan muslim pertama yang berperang di laut. Dan pasukan itu dipimpin langsung oleh Muawiyah.
Para ulama menghormati hadits-hadits itu, berbeda dengan orang-orang yang bukan ulama, yang sama sekali tidak mengindahkan hadits-hadits tentang keutamaan Muawiyah. Inilah bedanya ulama dengan orang biasa.
Para ulama mencontohkan sikap adil pada para sahabat Nabi, yaitu menimbang kebaikan dan keburukan, menimbang kelebihan dan kekurangan, bukan hanya menyebutkan. Ternyata kebaikan sahabat Rasulullah lebih banyak dari kesalahan mereka. Kelebihan sahabat Rasulullah lebih banyak dari kekurangannya.
Para ulama risih membicarakan konflik antara sahabat Rasulullah , karena konflik itu terjadi di antara orang-orang yang mulia, terjadi
diantara mereka yang mendapat doa Nabi, terjadi di antara orang yang telah melakukan amalan-amalan besar. Tapi ulama jelas bersikap mengikuti Nabi, yaitu menganggap Ali sebagai pihak yang benar.
Sikap para ulama ini sekaligus menjelaskan bahwa sahabat tidak maksum, Ada yang berbuat salah, dan ada yang berbuat benar. Persoalannya, orang-orang jahil hari ini menginginkan agar setiap orang yang berbuat salah adalah hina. Mereka ingin menggunakan logika : karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena Muawiyah pernah berbuat salah, maka harus terus dicaci maki. Ini yang mereka inginkan.
Mari kita simak lagi pernyataan Ibnu Taimiyah tentang sahabat:
Mereka (ahlussunnah) tidak meyakin bahwa seluruh sahabat adalah maksum dari dosa besar dan dosa kecil, mereka mungkin melakukan dosa.
Ibnu Utsaimin menjelaskan kalimat ini:
Yaitu, sama seperti manusia biasa.
Maksudnya, sahabat Rasulullah juga manusia biasa, yang mungkin salah dan lupa.
Ibnu Taimiyah melanjutkan:
dan mereka memiliki keutamaan dan amalan-amalan yang membuat dosa-dosa mereka diampuni, jika mereka melakukan dosa. Bahkan keburukan-keburukan mereka diampuni, yang mana tidak diampuni bagi orang yang hidup setelah mereka, karena mereka memiliki kebaikan­-kebaikan yang menghapus dosa, yang tidak dimiliki oleh orang setelah mereka. Telah terbukti Rasulullah mengatakan bahwa para sahabat adalah era terbaik, dan sedekah satu mudd bagi mereka, nilainya lebih besar daripada sedekah emas sebesar gunung Uhud yang dilakukan orang setelah mereka.
lalu jika salah salu sahabat melakukan dosa, maka bisa jadi dia sudah bertobat, atau melakukan kebaikan-kebaikan yang menghapus dosa mereka, atau telah diampuni oleh Allah karena keutamaan mereka yang beriman lebih dahulu, atau karena syafaat Rasulullah Muhammad, yang mana para sahabat adalah orang yang paling berhak mendapatkannya, atau bisa jadi mendapatkan ujian di dunia, yang membuat dosanya terampuni.
Ini jika mereka benar-benar melakukan dosa, bagaimana dengan perbuatan para sahabat yang dilakukan karena ijtihad mereka? Jika mereka benar, maka mendapat dua pahala, jika mereka keliru, mereka mendapatkan satu pahala. Dan kekeliruan adalah diampuni. lalu perbuatan-­perbuatan yang dicela dari mereka jauh lebih kecil dibandingkan keutamaan-keutamaan mereka berupa iman pada Allah dan RasulNya, jihad fi sabilillah, hijrah, menolong RasulNya, ilmu bermanfaat dan amal shaleh. Aqidah Wasithiyah.
Salah satu dari sahabat itu adalah Muawiyah, yang pernah berjihad bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Mari kita berpikir sejenak, jika sedekah satu mudd dari sahabat, atau setara volume 700 ml air saja tidak bisa ditandingi oleh sedekah emas sebesar gunung uhud, bagaimana dengan fadhilah berjihad? 
Sedangkan sudah jelas jihad jauh lebih baik daripada sedekah. Sedangkan kita, apa yang sudah kita lakukan?
Apa yang sudah kita perbuat untuk Islam?
Apakah kita pernah berjihad bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ?
Miswar bin Makhramah, seorang sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasaliam , berkunjung ke Muawiyah bin Abi Sufyan, lalu Muawiyah memberikan apa yang menjadi keperluan Miswar, lalu menyelesaikan keperluannya, lalu Muawiyah memanggilnya berbicara empat mata, lalu Muawiyah berkata: wahai Miswar, mengapa engkau menjelekkan khalifah? Lalu Miswar menjawab: tak usahlah bicara masalah ini, dan berbuat baiklah terhadap apa yang kami lakukan. Muawiyah berkata: tidak, demi Allah, engkau harus berbicara apa yang engkau anggap jelek pada diriku. Miswar berkata: lalu aku ceritakan semua hal buruk tentang Muawiyah. Muawiyah berkata: aku tidak terbebas dari dosa. Apakah engkau tidak menganggap kebijakanku dalam pemerintahan sebagai kebaikan, dan pahala kebaikan adalah sepuluh kalinya? Atau engkau hanya menceritakan dosa dan meninggalkan perbuatan baik yang telah kulakukan? Miswar berkata: tidak, demi Allah, saya hanya menyebutkan dosa-dosa. Muawiyah berkata: aku mengakui di hadapan Allah seluruh dosa yang telah kulakukan, apakah engkau memiliki dosa yang engkau takut akan membinasakanmu jika Allah tidak mengampuninya? Miswar menjawab: Ya, Muawiyah berkata: Mengapa engkau merasa lebih berhak untuk mengharapkan ampunan daripadaku? Demi Allah, perbaikan yang kulakukan saat memerintah, yaitu mendamaikan manusia, melaksanakan hukuman hudud, dan jihad Ii sabilillah, dan amalan besar yang engkau tahu, lebih banyak dari ya ng engkau lakukan saat engkau menjadi gubernur, dan kita semua berada dalam agama di mana Allah menerima amal, dan membalas dengan kebaikan, dan membalas dosa,  tetapi demi Allah, jika ada dua pilihan, yaitu Allah atau lainnya, melainkan aku pasti memilih Allah daripada yang lain, Miswar berkata: aku berpikir saat dia mengatakan itu, lalu aku sadar bahwa dia telah mengalahkanku. Setelah itu, setiap kali mengingat Muawiyah, Miswar selalu mendoakan kebaikan
Riwayat ini tercantum dalam Jami' Ma'mar bin Rasyid dan Mushannaf Abdurrazzaq.
Ibnu Abdil Barr berkata dalam AI Isti'ab: kisah ini adalah salah satu riwayat yang tershahih dari hadits riwayat Ibnu Syihab, yang diriwayatkan oleh Ma'mar dan murid·murid Ibnu Syihab lainnya.
Juga diriwayatkan dalam Tarikh Baghdad dan Tarikh Ibnu Asakir.
Bukannya mengindahkan hadits keutamaan Muawiyah dan penjelasan ulama, Pengkritik malah menggunakan teori politik modern:
Namun karena 'kecerdikan' Gubernur Muawiyah, issue "menuntut darah Utsman" dapat menjadi senjata yang ejektif dan dipakai dalih untuk meJawan Khalifah Ali. Daiam ilmu politik moderm, siapa yang paling cerdas mengemas issue untuk kepentingan politiknya bisa 'sukses' meraih kekuasaannya.
Lagi-Iagi Pengkritik tidak menunjukkan referensi. Pertanyaannya, dari mana Pengkritik tahu? Lagipula Pengkritik di sini menunjukkan su'uzhan yang tinggi pada Muawiyah. Su'uzhan pada muslim biasa saja tidak boleh, apalagi pada sahabat Rasulullah .
Tak ketinggalan Pengkritik menganggap perdamaian yang terjadi antara Ali dan Muawiyah sebagai hasil tipu daya Muawiyah, Tapi di sini Pengkritik menggunakan istilah "kecanggihan ilmu politik":
Dalam Perang Shiffin, Khalifah Ali yang seharusnya menang dan unggul bisa diperdaya oleh kecanggihan ilmu politik Gubernur Muawiyah, sehingga yang benar, yang sah sebagai Khalifah bisa dipecundangi aleh gubernurnya, bahkan terakhir, kekuasaannya dapat diambil alih oleh Muawiyah kemudian diwariskan kepada anknya Yazid dan keturunannya.
Tapi lagi-Iagi Pengkritik tidak menunjukkan referensi. Meskipun tak memiliki referensi, Pengkritik tetap ingin mengesankan bahwa Muawiyah berhasil merebut kekhilafahan dari Ali bin Abi Thalib seusai perang Shifin.
Padahal yang rerjadi adalah perang perang Shifin diakhiri dengan perjanjian damai, Ali mengutus Abu Musa AI Asy'ari, sedangkan Muawiyah mengutus Amr bin Ash.
Memang banyak riwayat-riwayat rentang perjanjian damai anrara kelompok Ali dan Muawiyah, dalam riwayat-riwayat 'Itu dikesankan bahwa Abu Musa adalah seorang yang pandir dan bodoh, sementara Amr bin Ash dikesankan sebagai seorang licik. Tapi, Dr Ali As Shallabi telah meneliti riwayat-riwayat itu, dan mengatakan bahwa seluruh sanadnya tidak valid. lihar Ad Daulah AI Umawiyyah, Ali As Shallabi, jilid 1 hal 138-139.
Salah satunya, dan yang sering kita dengar dan kita percaya, adalah kisah bahwa pasukan Muawiyah mengangkat mushaf AI Qur'an, kisah itu lemah karena perawinya ada yang bernama Abu Bakar bin Abi Saburah, Imam Ahmad berkata tentangnya : dia memalsu hadits. Juga salah satu perawinya adalah AI Waqidi, dia adalah seorang yang matruk, tertuduh berdusta. Penjelasannya bisa dilihat dalam Lihat Ad Daulah AI Umawiyyah, Ali As Shallabi, jilid 1 hal 140.
At Thabari mengatakan: pada tahun ini -40 H-terjadi perdamaian antara Ali dan Muawiyah, setelah korespondensi yang terjadi di antara mereka berdua, yang jika disebutkan akan memperpanjang kitab ini, mereka berdua sepakat untuk menghentlkan perang, dan Ali memimpin Irak, sementara Muawiyah memimpin Syam, masing-masing tidak akan menyerbu, mengirim tentara ke wilayah lainnya. Tarikh Thabarl, jilid 6 hal 56. Lihat Ad Daulah AI Umawiyyah, Ali As Shallabi, jilid 1 hal 153.
Ada yang ketinggalan tentang berita Rasulullah mengenai peperangan antara Ali dan Muawiyah, yaitu berita bahwa pertikaian ini akan selesai, dan yang menyelesaikan adalah Hasan bin Ali, putra Ali bin Abi Thalib. Jauh-jauh hari, Rasulullah sudah memberitakan bahwa Hasan bin Ali adalah sayyid, tuan, pembesar, dan akan menjadi juru damai bagi kaum Muslimin:
Sahabat Abu Bakrah melihat Rasulullah berdiri di atas mimbar, dan Hasan bin Ali di sampingnya, Rasulullah bergantian menghadap ke arah jamaah, dan menghadap ke arah Hasan, dan berkata:
Sesungguhnya anakku ini adalah pembesar, semoga dia mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimin. Shahih Bukhari.
Saat Ali wafat, Hasan bersama pasukan Irak ingin menyerang Muawiyah. Tapi Hasan kemudian berubah pikiran, dan ketika Muawiyah mengajak berdamai, Hasan pun berdamai dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawlyah. Maka Muawiyah dl sini menjadi khalifah karena Hasan menyerahkan jabatan khalifah padanya, bukan karena mengibuli, seperti kata Pengkritik, yang nampak sekali belum pernah membaca riwayat ini.
Dalam hadits ini, Rasulullah memuji perbuatan Hasan, yang menyerahkan jabatan khalifah pada Muawiyah. Ini menjadi bukti bahwa tindakan Hasan adalah tindakan yang tepat, dan menyerahkan jabatan khalifah pada orang yang tepat. Jika Hasan menyerahkannya pada orang yang tidak tepat, maka perbuatannya ini tidak tepat untuk dipuji Rasulullah .
Hasan jelas mengenal Muawiyah daripada kita-kita hari ini. Atau kita ingin mengatakan bahwa Hasan telah berbuat keliru karena menyerahkan jabatan khalifah pada seorang "licik dan suka mengibuli" ?
Hadits inl merupakan salah satu pertanda kenabian, karena peristiwa ini benar-benar terjadi, dan Hasan berhasil mengakhiri pertumpahan darah yang terjadi di kalangan kaum Muslimin.
Namun ada yang tidak senang dengan peristiwa ini, yaitu kaum syiah. Mengapa syiah benci dengan perdamaian ini? Karena perdamaian ini menyingkap cacat besar dalam dogma yang menjadi inti ajaran syiah, yaitu dogma imamah,
Syiah meyakini sebuah dogma yang menyatakan bahwa sepeninggal Rasulullah , ada 12 imam yang ditunjuk langsung oleh Allah melalui Rasulullah , untuk meneruskan fungsi kenabian, dan yang menjadi imam setelah Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib. Sayangnya, seluruh penganut syiah -selama puluhan abad belum pernah bisa membuktikan adanya "penunjukan langsung" dari Allah pada 12 imam tersebut. Tidak ada riwayat shahih dari Rasulullah , yang memuat nama-nama 12 imam yang diyakini oleh syiah,
Dan peristiwa-peristlwa sejarah banyak membuktikan cacatnya dogma syiah itu. Kita tidak bicara panjang lebar tentang, tapi salah satunya adalah perdamaian Hasan dan Muawiyah. Mengapa? Karena menurut dogma imamah, yang menjadi khalifah adalah 12 imam itu, dimulai dari Ali, Hasan, Husein sampai imam terakhir yang bersembunyi dan tak muncul lagi. Tapi Hasan malah menyerahkannya pada Muawiyah.
Anda memilih gembira atas perisriwa ini, seperti Rasulullah , atau anda tidak setuju dengan Muawiyah menjadi khalifah?
Satu lagi yang perlu kila perhatikan, Rasulullah menyebut kedua kelompok yang bertikai itu dengan kata: dua kelompok besar kaum muslimin. Artinya, kelompok Muawiyah dan Ali adalah sama-sama muslim.
Banyak sisi putih pada Muawiyah, tapi jarang disebut ketika orang membahas Muawiyah. Yang disebut nanyalah sisi buruknya saja. Tapi yang mengherankan, mereka yang menzhalimi Muawiyah dengan menyebut sisi buruknya, selalu mengatakan bahwa mereka adalah objektif dan bersikap adil, bahkan bukunya pun diberi judul "Bersikap Adil terhadap Sahabat", tapi seluruh keutamaan Muawiyah sengaja diabaikan.
Apakah menyebutkan keburukan dan mengabaikan kebaikan adalah bersikap adil? Atau mereka belum tahu apa itu definisi adil?
Para ulama menganggap keutamaan Muawiyah tidak bisa ditandingi oleh siapa pun, karena Muawiyah adalah sahabat Nabi, yang pernah berguru dari Nabi, pernah berjihad bersama Nabi. Barangkali banyak orang membandingkan Muawiyah dengan Umar bin Abdul Aliz, atau bahkan menganggap Umar bin Abdul Aziz lebih utama dari Muawiyah. Ibnul Mubarak pernah ditanya tentang hal ini, yaitu mana yang lebih utama, Muawiyah atau Umar bin Abdul Aziz? Mari kita simak jawabannya:
Debu yang masuk kehidung Muawiyah saat berperang bersama Rasulullah , lebih baik dari Umar (bin Abdul Aziz) seribu kali. Muawiyah pernah shalat di belakang Rasulullah , dan Rasulullah berkata: Sami'allahu liman hamidah, lalu Muawiyah berkata: Rabbana walakal Hamd. Apa yang lebih utama dari ini?
Lihat Wafayat AI A'yan, jilid 3 hal 33.
Mengapa shalat Muawiyah di belakang Rasulullah menjadi keutamaan? Karena makna Sami'allahu liman Hamidah adalah doa agar Allah rnengijabahi setiap yang memujiNya. Dan doa Rasulullah tidaklah tertolak, dan Muawiyah mengucap: Rabbana walakal Hamd, memuji Allah dengan menyatakan semua pujian hanyalah milikNya. Dan Allah mengijabahi pujian Muawiyah.
Dari AI Jarrah Al Mushili berkata: aku mendengar seorang bertanya pada AI Mu'afa bin Imran: wahai Abu Mas'ud, Bagaimana Umar bin Abdul Aziz bila dibandingkan dengan Muawiyah? Lalu aku melihat dia sangat marah, dan berkata: Sahabat Rasulullah tidak bisa dibandingkan dengan seorang pun, Muawiyah adalah juru tulis Nabi, sahabatnya, iparnya, dan orang yang dipercaya menulis wahyu Allah. Lihat As Syari'ah, AI Ajurri, jilid 5, riwayat no 2466, 2467.
Dari AI A'masy, orang bercerita didepan AI A'masy tentang keadilan Umar bin Abdul Aziz, lalu A'masy berkata: bagaimana jika kalian hidup di masa Muawiyah? Mereka berkata: wahai Abu Muhammad, tentang sifat pemaaf Muawiyah? A'masy menjawab: bukan, tapi keadilannya. As Sunnah, AI Khallal jilidl hal 437.
Ibnu Katsir mengatakan: sebagian ulama berkata tentang Muawiyah: Sehari Muawiyah bersama Rasulullah , lebih baik daripada Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya.
Ibrahim bin Maysarah berkata: aku tidak pernah melihat Umar bin Abdul Aziz mencambuk orang, kecuali orang yang mencaci Muawiyah, dia mencambuknya berkali-kali.
As Sunnah AI Khallal, jilid 1 hal 437.
AI A'masy, orang yang hidup di masa khilafah Muawiyah, bersaksi tentang keadilan Muawiyah, yang lebih adil dibandingkan Umar bin Abdul Aziz. Tapi para penulis dan penceramah yang mengaku "objektif dan adil" tidak pernah membahasnya. Mereka hanya mengutip keburukan Muawiyah, dan mengabaikan seluruh kebaikan-kebaikannya. Seolah Muawiyah tidak memilikl kebaikan.
Abu Darda' berkata: saya tidak pernah melihat orang yang shalatnya mirip seperti shalat Rasulullah melebihi pimpinan kalian ini -maksudnya adalah Muawiyah-lalu Qais ditanya: bagaimana shalatnya dibanding shalat Umar bin Khattab: saya kira sama.
Hilyatul Auliya' jilid 8 hal 275. AI Hairsami berkata dalam Majma' Az Zawaid, jilid 9 hal 357: Thabrani juga meriwayatkan hadits ini dengan perawi shahih, kecuali Qais bin Harits AI Madzhaji, dia adalah seorang tsiqah.
Bagaimana dengan shalat kita? Sudahkah shalat kita melebihi shalat Muawiyah?
Rafi' bin Nafi' AI Halabi mengatakan: Muawiyah bagaikan tabir bagi sahabat Muhammad shallallahu alaihi wasallam , jika orang membuka tabir itu, maka akan berani terhadap apa yang di belakangnya. AI Bidayah wan Nihayah
Maksudnya, ketika orang berani mencaci Muawiyah karena kesalahan-kesalahannya, maka semua sahabat Rasulullah Juga memiliki kesalahan, disamping keutamaan mereka. Karena mereka adalah manusia biasa. Ketika sanabat Rasulullah dicaci maki, dan dianggap tidak lagi memiliki keutamaan, maka ajaran Islam pun akan hancur, mengapa? Karena yang menyampaikan AI Qur'an dan sunnah adalah sahabat Nabi.
Ketika sahabat Rasulullah dituduh, maka ini adalah tuduhan terhadap apa yang mereka bawa, yaitu AI Qur'an dan sunnah Nabi, yang merupakan sumber ajaran Islam. Artinya, ketika ajaran Islam dibawa oleh orang-orang yang tidak terpercaya lagi, maka ini merupakan tuduhan atas ajaran Islam.
Maka para ulama bersikap tegas pada mereka yang mencaci maki Muawiyah. Salah satunya adalah Umar bin Abdul Aziz. Biasanya para penulis dan penceramah yang "objektif dan adil" memuji·muji Umar bin Abdul Aziz untuk menjatuhkan Muawiyah. Mari kita IIhat bagaimana sikap Umar bin Abdul Aziz pada mereka yang mencaci Muawiyah:
Ibrahim bin Maysarah berkata: aku tidak pernah melihat Umar bin Abdul Aziz mencambuk orang, kecuali orang yang mencaci Muawiyah, dia mencambuknya berkali·kali.
AI Lalika'l, Syarah Ushull'tiqad Ahlussunnah wal jamaah, 7/1340.
Tampaknya penulis dan penceramah yang "objektif dan adil" merasa lebih baik daripada Umar bin Abdul Aziz.
Begitu juga Imam Ahmad bin Hambal, bersikap tegas pada mereka yang mencaci Muawiyah:
Harun AI Hammal berkata: Aku mendengar Ahmad bin Hambal, seorang datang kepadanya dan bertanya: di sini ada orang yang meyakini bahwa Umar bin Abdul Aziz lebih utama dari Muawiyah. Radhiyallahu Anhuma. Ahmad bin Hambal berkata: jangan kamu duduk bersamanya, jangan kamu makan dan minum bersamanya. Jika dia sakit, jangan dijenguk.
Ini karena mereka yang mencoba-coba mencaci Muawiyah akan mencaci sahabat lainnya, karena sahabat lainnya juga memiliki kesalahan,
Apa beda mencaci dan mengkritisi?
Yang dimaksud Pengkritik dalam mengkritisi adalah apa yang ditulisnya dalam makalah " Sahabat Rasulullah di mata gerakan Islam" yang kemudian ditulis menjadi buku yang diberi judul "bersikap adil terhadap sahabat Nabi"
Pengkritik menghujat ahlussunnah dan kalangan salafi yang tidak berani menganggap Muawiyah telah bersalah.
Tapi kita lihat para ulama telah menjelaskan dengan begitu gamblang, bahwa Ali lebih benar dari Muawiyah, dan Muawiyah telah bersalah. Tapi para ulama menyebutkan keutamaan Muawiyah, dan menjelaskan bahwa Muawiyah telah berijtihad, meskipun Ijtihadnya keliru.
Dan para ulama tidak menyebutkan Muawiyah dengan perkataan buruk seperti : mengibuli, bikin repot dirongrong, dan kata-kata buruk lainnya, karena para ulama sadar, bahwa mereka sedang membicarakan sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, yang sudah memiliki amalan­-amalan besar.
Tapi Pengkritik tidak meniru para ulama dalam hal ini, dan sama sekali tidak menyebutkan keutamaan Muawiyah. Orang yang mengkritisi secara objektif, akan menyebutkan kelebihan dan kekurangan, bukan meniadakan kelebihan sama sekali. Malah menyebutkan Muawiyah dengan kata-kata yang buruk.
Dan orang yang objektif akan melihat keutamaan dan amalan Muawiyah lebih dari kesalahannya. Seperti Umar bin Abdul Aliz, yang menghukum orang mencaci Muawiyah dengan cambuk.
Mengapa mencaci Muawiyah dianggap mencaci sahabat Nabi? Karena Muawiyah memiliki keutamaan sebagai sahabat Nabi, begitu pula sahabat-sahabat lainnya. Ketika orang mencaci Muawiyah, maka hakekatnya dia mencaci orang yang pernah menjadi sahabat Nabi, mencaci orang yang memiliki keutamaan lebih banyak dari kekurangan dan dosa-dosanya. Mencaci Muawiyah berarti mencaci sahabat Nabi.
Dan ini jauh sekali dari sikap adil dan objektif. Bagaimana orang yang adil dan objektif bisa mencaci orang-orang yang mendapatkan keridhoan Allah? Kecuali orang yang "adil dan objektif' tadi tidak menganggap keridhoan Allah sebagai sebuah keutamaan.
Kecuali orang yang "adil dan objektif' tadi tidak menganggap berjihad bersama Rasulullah adalah keutamaan.
Kecuali orang yang "adil dan objektif" tadi tidak menganggap doa Rasulullah adalah sebuah keutamaan.
Allah meridhoi para sahabat, tapi kita malah mencacinya. Apa yang akan kita katakan di hadapan Allah nanti?