Berikut
adalah lanjutan dari dua tulisan sebelumnya :
Tulisan ini diterjemahkan secara ringkas dan bebas, serta diambil
dari artikel yang dituliskan oleh Syaikh Muhammad Umar Bazmul (untuk yang
mengerti bahasa arab, silahkan baca artikel lengkapnya disini)
6. Bermadzhab Dzohiri
Tuduhan ini juga perlu bukti. Adapun sifat
yang disandarkan kepada ahli hadits bahwa mereka termasuk ahli dzahir, ini
merupakan kata-kata yang terdengar setiap masa. Oleh karena itu disandarkannya
sifat tersebut kepada Syaikh Al-Albany bukanlah suatu yang aneh, sebab beliau
termasuk ahli hadits.
Untuk menghilangkan kesamaran yang telah
merasuki otak sebagian orang, perlu dipaparkan beberapa pertanyaan berikut.
Apakah Syaikh Al-Albany pernah berkata terus
terang di kitab-kitabnya bahwa ia bermadzhab dzahiri?
Apakah Syaikh Al-Albany yang hanya sekedar
menukil perkataan dari kitab Ibnu Hazm bisa dikatakan bermadzhab dzahiri?
Perlu diketahui bahwa Syaikh Al-Albani di beberapa tempat dari
kitabnya menyampaikan kritik keras terhadap Ibnu Hazm Adz-Dzahiri. Di kitab
Tamamul Minnah, halaman 160 beliau berkomentar : “Untuk menyelisihi pendapat yang
dipegang oleh Ibnu Hazm”.
Pada kitab yang sama, halaman 162 beliau berkata : “Saya merasa heran dengan Ibnu
Hazm seperti kebiasaannya berpegang teguh dengan madzhab Dzahiri”.
Diantara karangan Syaikh, ada sebuah kitab
yang membantah Ibnu Hazm dalam masalah alat musik. Oleh karenanya, maka ahli
hadits –termasuk Al-Albani- termasuk orang yang paling jauh dari
kesalahan-kesalahan yang ulama catat dari madzhab Dzahiriyah.
Bahkan Syaikh Al-Albany berbicara dengan
terus-terang tidak hanya pada satu tempat, dan yang paling popular adalah di
muqaddimah kitab Sifat Shalat Nabi bahwasanya dalam manhajnya, beliau bersandar
kepada hadits-hadits dan atsar, tidak keluar dari keduanya, menghargai para
imam dan mengambil manfaat dari fikih mereka.
7. Mutasahil (Terlalu Mudah) Menshahihkan
Hadits
Hal ini bersifat relatif, berbeda sesuai
dengan masing-masing orang. Ulama yang mutasyaddid (terlalu keras/mempersulit,
maka) ia melihat orang lain sebagai mutasahil. Begitu juga dengan ulama yang
mutasahil, maka ia melihat orang lain sebagai mutasyaddid. Dan yang menjadi
pegangan dalam mengetahui yang benar dalam masalah ini adalah dengan banyak
membaca, berusaha mengetahui keadaan, dan saling membandingkan satu sama lain.
Sejumlah permasalahan yang disandarkan kepada
Syaikh Al-Albany bahwa ia terlalu mudah menshahihkan hadits diantaranya.
a). Menghasankan hadits dha’if dengan
banyaknya jalan.
b). Menerima hadits seorang perawi yang tidak
diketahui keadaannya, dan bersandar pada tautsiq Ibnu Hibban (rekomendasi
beliau untuk perawi hadits)
c). Beliau menerima dan memberikan
rekomendasi kepada beberapa perawi yang lemah.
Semua jenis hadits lemah dapat menerima
penguat dan pendukung, hadits tersebut akan naik derajatnya dengan banyaknya
jalan, kecuali hadits yang pada sanadnya terdapat perawi yang pendusta dan
pemalsu hadits, perawi hadits yang tertuduh berdusta, dan perawi hadits yang
berada pada derajat ditinggalkan (seperti perawi yang sangat buruk hafalannya),
hadits syadz (ganjil, menyelisihi hadit lainnya), dan hadits munkar.
Adapun menerima hadits dari seorang perawi
yang tidak diketahui keadaannya dan bersandar kepada tautsiq Ibnu Hibban, ini
merupakan permasalahan yang disandarkan kepada Syaikh Al-Albani tanpa dalil
shahih yang mendukungnya. Dan yang benar, bahwa tidak hanya pada satu tempat
Syaikh Al-Albany membantah orang yang bersandar kepada tautsiq Ibnu Hibban dan
beliau mensifatinya dengan kata-kata mutasahil
Beliau juga telah menulis pada muqaddimah kitab Tamamul Minnah,
halaman 20-26, kaedah yang kelima dengan judul “Tidak dibolehkannya bersandar
dengan Tautsiq Ibnu Hibban”.
Permasalahan rekomendasi beliau kepada
beberapa perawi yang lemah merupakan tuduhan semata, dimana mereka (yang
melontarkan tuduhan tersebut) tidak mampu mendatangkan seorang perawi yang
disepakati bersama kelemahannya, lalu datanglah Syaikh Al-Albany yang kemudian
memberikan rekomendasi terhadap perawi tersebut.
Oleh : Aziz Rachman