Kata “kekafiran” dapat dipahami dengan mudah
sebagai lawan kata dari “keimanan”. Baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, dan
keyakinan, sama dengan keimanan itu sendiri. Inilah yang disebutkan oleh Syaikh
Alawi bin Abdul Qadir Ats-Tsaqaf dalam Al-Mausu’ah Al-Aqdiyah.
Ibnul Hazm sendiri mengatakan bahwa kekafiran
dalam agama adalah mengingkari suatu hal yang telah diwajibkan Allah ta’ala
yang wajib untuk diimani, setelah hujjah dan kebenaran tersampaikan. Baik
dengan lisan, hati, ataupun dengan keduanya. Atau mengamalkan perbuatan yang
menurut nash syar’i sudah mengeluarkannya dari keimanan.” (Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam 1/49)
Sedangkan kata takfir sendiri adalah bentuk mashdar dari kaffara-yukaffaru yang bermakna
menisbatkan seseorang dari ahlu kiblat (kaum muslimin) kepada kekafiran. Makna
tersebut diungkapkan oleh Dr. Muhammad bin Abdul Ghaffar As-Sarif. Dari sini
dapat dipahami bahwa takfir adalah kata kerja yang digunakan untuk menyematkan kekafiran
pada diri seorang Muslim.
Telah diketahui bersama bahwa takfir adalah perkara
besar yang penting untuk diketahui seorang Muslim. Sehingga, seseorang dapat
adil dalam bersikap dan paham akan kebenaran. Karena jikatakfir ini diberlakukan sembarangan, akan membuat tertumpahnya darah
kaum muslimin lantaran tidak berpegang pada manhaj yang benar. Inilah yang
diamalkan oleh kaum Khawarij.
Sebaliknya jika terlalu meremehkan perkara ini –kekufuran dan
kemaksiatan— akan membawa seseorang terjerumus kepada golongan kaum Murji’ah.
Lebih jauh daripada itu adalah mereka yang lancang dengan hal ini,
sampai-sampai mengkafirkan orang-orang yang mulia. Padahal dengan
mengafirkannya, sesungguhnya dapat menghilangkan sebagaian besar syariat Islam.
Mereka itulah golongan kaum Syiah.
Takfir kepada Sahabat oleh Syiah
Kaum Syiah tidak main-main dalam masalah takfir. Tidak hanya mengafirkan umumnya para sahabat. Lebih dari itu,
kalangan sahabat yang utama pun telah berani dikafirkan. Salah seorang “ulama”
Syiah, Ni’matullah Al-Jazairi menyebutkan, “…. Sesungguhnya terdapat
riwayat khusus bahwa Abu Bakar shalat di belakang Rasulullah SAW dengan memakai
berhala yang diikat di lehernya, ia juga sujud kepadanya…” (Al-Anwar An-Nu’maniyah Juz 1, hal. 53, Cetakan Beirut
1404)
Al-Kulaini menyebutkan sebuah riwayat. Yaitu
dari Ahmad bin Muhammad, dari Wasya’, dari Dawud Al-Himar, dari Abu Ya’fur,
dari Abu Abdillah AS berkata, “Aku mendengarnya mengatakan: Tiga golongan yang
tidak diajak bicara Allah pada hari Kiamat, tidak disucikan dan bagi mereka
adzab yang pedih yaitu mereka yang mengklaim imamah (kepemimpinan) dari Allah
padahal tidak berhak atasnya, dan mereka yang mengingkari imamah dari Allah,
juga mereka yang mengaku bahwa dua orang (Abu Bakar dan Umar) itu termasuk
bagian dari Islam.” ( Al-Ushul
min Al-Kafi Juz 1 hal. 373)
Tak luput, seorang sahabiyah mulia, istri
Rasululllah SAW setelah Khadijah, yaitu Aisyah RA juga disebut sebagai wanita
yang telah melepaskan keimanannya. Sebuah riwayat dalam Tafsir Al-‘Iyasyi, salah satu dari kitab tafsir yang menjadi rujukan Syiah
menyebutkan tentang hal ini. Yaitu dari Abdurrahman bin Salim Al-Asyal AS
berkata tentang ayat “Seorang wanita yang menguraikan benang yang sudah kuat
menjadi cerai berai kembali (An-Nahl: 92)” bahwa wanita di dalam ayat itu
adalah Aisyah RA yang telah melepaskan ikatan imannya. (Tafsir Al-‘Iyasyi Juz 3 hal. 22)
Takfir Syiah kepada Umat Islam
Berbagai riwayat dari kalangan Syiah mengatakan tentang
kekafiran manusia selain golongan mereka. Ketika dikafirkan, maka hukum-hukum
orang kafir berlaku kepadanya. Baik itu terkait dengan harta, nyawa, ataupun
unsur-unsur penting lainnya.
Diantaranya adalah riwayat dari Imam Abu
Ja’far (Al-Baqir), Imam Kelima dalam silsilah para imam yang mereka akui yaitu,
“Manusia itu telah murtad kecuali tiga orang: Salman, Abu Dzar dan Miqdad. Dan
setelah itu banyak orang yang bertaubat. Mereka yang pertama kali adalah Abu Sasan,
Ammar, Abu Urwah, dan Syatirah. Merekalah tujuh orang. Tidak ada yang
mengetahui hak Amirul Mukminin kecuali tujuh orang itu.” (Al-Kafi 2/244, 2/441; Rijal Al-Kasyi oleh At-Thusyi
1/26; Biharul Anwar oleh Al-Majlisi 22/333).
Korban senjata kimia oleh pasukan
Syiah Assad.
Ya Allah Ya Rabb, Binasakanlah Syi'ah
Selain itu, Imam Abu Ja’far juga mengatakan, “Aku sampaikan kepadamu peristiwa paling menherankan dari pada itu, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar yang mereka telah pergi (kufur), kecuali 3 orang (Salman, Abu Dzar, dan Miqdad). (Al-Kafi 2/244)
Dalam kitab Biharul Anwar disebutkan, “Syiah
Imamiyah bersepakat bahwa mereka yang mengingkari salah satu dari para imam dan
menolak apa yang diwajibkan Allah kepadanya terkait ketaatan, maka ia kafir dan
sesat serta berhak atas neraka selama-lamanya.” (Al-Majlisi, Biharul Anwar juz 23 hal. 390)
Lebih jelas lagi, ulama-ulama kontemporer dari
kalangan Syiah turut mengafirkan orang-orang selain golongan mereka. Dalam hal
ini, orang-orang di luar Syiah dianggap sebagai “Nashibi”. Nashibiatau nashibah bentuk jamaknya adalah nawashib. Artinya adalah orang-orang yang membenci Ali radhiyallaallu ‘anhu dan menganggap
kebenciannya sebagai ibadah. Ini disebabkan mereka “nashabuu lahu” yakni memusuhi beliau (Ali). Inilah asal katanya. Jadi, setiap
orang yang membenci Ahlul Bait, maka ia tergolong sebagai nawashib. (Taajil ‘Arus min Jawaahiril
Qamus 4/277)
Sayyid Al-Khau’i dalam kitabnya mengatakan
bahwa yang tampak dari Nashib (orang di luar Syiah) dihukumi sebagai kafir, walaupun ia
bersyahadat dan yakin dengan tempat kembali). (Al-Masail Al-Muntakhabah hal. 56)
Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr yaitu kakek
moyang dari milisi Jaisyul Mahdi juga mengatakan bahwa Nashibi adalah Sunni. Mereka lebih buruk dari Yahudi, Nashrani dan
Majusi. Bahkan lebih najis dari ketiga golongan itu.
Lebih dari itu, bagi mereka kalangan Syiah,
golongan Nashibi dianggap najis yang lebih buruk dibandingkan anjing. Dari Abu
Abdillah, ia berkata, “Hati-hatilah kamu jangan sampai mandi dari air sisa di
kamar mandi. Karena itu sisa dari seorang Yahudi, Nashrani, Majusi dan
seorang An-Nashibah (ahlussunnah) dan (yang terakhir) ini adalah yang paling
jelek di antara semuanya. Sesungguhnya Allah tidaklah menciptakan suatu makhluk
yang lebih najis dibandingkan anjing dan seorang An-Nashibah (ahlussunnah)
sebab ia lebih najis darinya. ” (Al-Fatawa Al-Wadhihah hal 227).
Manhaj Ahlus Sunnah Berbeda dengan Syiah
Ibnu Hazm menyebutkan bahwa Ahlus Sunnah wal
Jamaah adalah ahlul haq. Mereka yang memusuhinya adalah ahlul bid’ah. Ahlus
Sunnah itu mereka para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang
mengikuti jalan mereka dari para tabi’in, para ahlul hadits, para fuqaha dari
generasi ke generasi hingga saat ini. Kemudian orang-orang yang mengikuti
mereka dari kalangan awam di belahan bumi manapun. (Al-Fashlu fi Al-Milal wa Al-Ahwa’ wa An-Nihal 2/113)
Terhadap para sahabat Rasul SAW mereka
bersikap tawashut(pertengahan) di
antara orang-orang yang ghuluw dalam mengagungkan Ali RA, mengakui kemaksuman imam-imam
sepeninggalnya, bahkan menganggapnya sebagai nabi ataupun tuhan. Kemudian lebih
mengutamakan mereka dari Abu Bakar dan Umar RA dan menganggap para sahabat
sebagai orang yang zhalim, fasik, juga mengafirkan umat setelahnya.
Ahlus Sunnah juga berbeda dengan orang-orang yang keras. Yaitu
mengafirkan Ali dan Utsman RA, menghalalkan darah keduanya dan orang-orang yang
mengikutinya. Juga membolehkan untuk mencela Ali, Utsman dan selain keduanya,
serta mencela kekhilafahan dan kepemimpinan Ali RA.
Dalam berbagai perkara pun, Ahlus Sunnah
bersikap pertengahan dengan berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah SAW serta kalangan pendahulu dari Muhajirin dan Anshar yang sepakat
dengan beliau, juga orang-orang yang senantiasa mengikuti jalan beliau dengan
baik. (Fatawa Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah 3/373-375)
Ahlus Sunnah bersikap pertengahan terhadap
para sahabat Rasulullah SAW. Mereka mengatakan bahwa seluruh sahabat Rasulullah
SAW adalah adil. Mereka tidak terlepas dari dosa, kecuali dosa kekafiran.
Mereka memiliki amalan-amalan baik yang dapat menutupi dosa-dosa tersebut.
Mereka menempatkan para sahabat sesuai dengan kedudukan yang ditetapkan Allah
dan Rasul-Nya. Mereka tidak berlebihan dalam menghormati Ali RA dan tidak
mengafirkan Abu Bakar dan Umar. Mereka mencintai para sahabat tanpa menurunkan
derajat Ali dan Muawiyah. Mereka juga menempatkan Abu Bakar, Umar, kemudian
Utsman dan Ali sebagai sebaik-baik umat. (Qadhiyah At-Takfir Baina Ahlus Sunnah wal Firaq
Adh-Dhalal fi Dhau’i Al-Kitab wa As-Sunnah, Sa’d bin Ali bin Wahf Al-Qahtani
hal. 56)
Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa kalangan
Syiah memiliki keyakinan takfir yang batil. Dengan berbagai riwayat dari para
ulama mereka, begitu mudahnya menganggap kafir para sahabat dan orang-orang
yang mulia. Ini berbeda dari takfir yang diterapkan oleh Ahlus Sunnah. Bahwa
mereka tidak mengafirkan seorang pun dari kaum muslimin kecuali setelah
ditegakkan hujjah kepadanya. Juga telah terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran
dan hilangnya penghalang-penghalangnya. Yaitu sebagaimana termuat dalam kitab Al-Wajiz Fi ‘Aqidatis Salaf Ash-Shalih karya Abdullah bin
Abdul Hamid Al-Atsariy.
Penulis: M. Basyir