Sunday, July 19, 2015

‘Asyura Membuka Kedok Syi’ah

Segala puji bagi Allah, Shalawat dan salam mudah-mudahan tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad , keluarganya yang suci dan para sahabat beliau yang terbaik. Waba’du:
Kita Ahlussunnah mengenal Asyura adalah hari puasa pada tanggal 10 Muharram yang keutamaannya bisa menghapus dosa setahun yang lalu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Dua bid’ah di hari Asyura

Namun qaddarallahu, Asyura’ juga bertepatan dengan mati syahidnya Husain radhiallahu’anhu. Ini tentu musibah besar, meski kalah besar dengan terbunuhnya Ali, Utsman, Umar radhiyallahu’anhum. Maka dalam hal ini, ada dua kelompok dari umat Islam yang menyimpang dari sunnah:
Kelompok pertama menjadikan Asyura’ sebagai hari meratap dan menyiksa diri, dengan cara memukul-mukul kepala dan dada dengan tangan sambil menyanyi dengan nyanyian ratapan. Atau dengan memukul punggung dengan rantai dan pedang, dan melukai kepala dengan pisau atau pedang sampai berdarah lalu dipukul-pukul biar darah banyak mengalir dan biar pahala pun mengalir. Kelompok ini adalah kelompok Syiah yang di Indonesia menamakan diri sebagai Syiah Ahlul Bait lalu disingkat Ahlul Bait atau Jamaah Ahlul Bait. Tentu penamaan ini salah dan melecehkan istilah Ahlul Bait yang sangat dicintai oleh Ahlussunnah.
Kedua adalah kelompok Nawashib yaitu musuh-musuh keluarga Nabi yang senang dengan wafatnya Husain sehingga mereka menjadikannya sebagai hari pesta dan kenduri.

Artikel ini khusus mengupas tentang Syiah yang mengaku sebagai pengikut Ahlul Bait, namun ternyata mereka justru merusak nama Ahlul Bait. Mengapa demikian? Sebab mereka menjadikan nama Ahlul Bait sebagai topeng untuk menjajakan kebid’ahan dan kesesatan mereka. Mereka sejatinya tidak mengikuti Ahlul Bait tapi mengikuti imam-imam yang sesat, yang kebanyakan berasal dari Persia. Setelah sebelumnya mengikuti ajaran al-wala’ wal bara’ buatan Abdullah bin Saba’ al-Yahudi.
Para imam Ahlul Bait Menegaskan soal Asyura

Berikut adalah Kalimat-kalimat dari para Imam Ahlul Bait yang sesungguhnya tentang masalah ‘Asyura’. Ucapan-ucapan tersebut bersesuaian satu sama lain, dan bersesuaian dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan perbuatan para Sahabat Nabi radhiallahu’anhum. Nukilan-nukilan tersebut sangat banyak. Anda bisa melihatnya pada kitab Man Qatala al-Husain (Siapakah Yang Membunuh al-Husain?)
Secara ringkas bisa saya sebutkan sebagai berikut:
Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain yang diberi gelar dengan as-Shaduq (Ibnu Babawaih al-Qummiy, Syaikhul Muhadditsin (306-381), penulis Kitab Man La Yahdhuruhul Faqih, dan kitab ‘Ilalus Syarayi’, ia berkata, “Diantara lafazh-lafazh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang tidak mungkin diterjang adalah:
« النِّيَاحَةُ مِنْ عَمَلِ الْجَاهِلِيَّةِ »
“Niyahah (meratapi mayit) adalah termasuk perbuatan jahiliyah.” (Ibnu Babawaih al-Qummii, Man La Yahdhuruhul Faqih (4/271-272)).
Ja’far as-Shadiq (Abu Abdillah, imam mereka yang ke-6, 83-148 H) dari bapak-bapaknya berkata,
« نَهَىٰ رَسُوْلُ اللهِ عَنِ الرَّنَّةِ عِنْدَ الْمُصِيْبَةِ، وَنَهَىٰ عَنِ النِّيَاحَةِ وَاْلاِسْتِمَاعِ إِلَيْهَا »
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang tangisan pada saat musibah dan melarang niyahah serta mendengarnya.” (Al-Huri al-‘Amili, Wasailus Syi’ah (2/915)).
Ali bin Abu Thalib (imam pertama, abul Hasan al-Murtadha, 23 SH-40 H) radhiallahu’anhu, berkata:
« ثَلاَثٌ مِنْ أَعْمَالِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَزَالُ فِيْهَا النَّاسُ حَتىَّ تَقُوْمَ السَّاعَةُ: الاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ وَالطَّعْنُ فِيْ الأَنْسَابِ وَالنِّيَاحَةُ عَلىَ الْمَوْتىَ »
“Ada tiga perkara termasuk perbuatan jahiliyah, tidak henti-hentinya manusia berada di dalamnya hingga terjadinya hari kiamat; meminta hujan dengan bintang, mencela nasab, dan niyahah atas mayit.” (Al-Majlisi, Biharul Anwar, (82/101))
Ali ibn Abi Thalib berkata: “Siapa yang memukulkan tangannya pada pahanya ketika musibah maka amal shalihnya menjadi lebur.” (Nahjul Balaghah)].
Ali Ibn Abi Thalib telah berwasiat kepada istrinya Fatimah binti Rasulillah : “Jika aku mati maka kamu jangan mencakar wajah, jangan meneriakkan kata-kata celaka, dan jangan menunggui orang yang meretap.” (Man La Yahdhuruhul Faqih, 51).

Imam Husain bin Ali sendiri telah berwasiat kepada Zainab saudari perempuannya: “Hai saudariku, aku bersumpah demi Allah, wajib atas kamu memelihara sumpah ini, jika aku terbunuh maka janganlah kamu merobek bajumu dan jangan mencakar wajahmu dengan kuku-kukumu, dan jangan meneriakkan kata celaka dan binasa atas kesyahidanku.” (Abbas al-Qummi, Muntaha al-Amal, 1/248)]
Ja’far as-Shadiq rahimahullah berkata,
« لاَ يَصْلُحُ الصِّيَاحُ عَلىَ الْمَيِّتِ وَلاَ يَنْبَغِيْ، وَلَكِنَّ النَّاسُ لاَ يَعْرِفُوْنَ »
“Tidak benar berteriak atas mayit, dan tidak layak, akan tetapi manusia tidak mengetahui.” (al-Kulaini, al-Kafi (2/226)
Dia juga berkata,

« لاَ يَنْبَغِيْ الصِّيَاحُ عَلىَ الْمَيِّتِ وَلاَ بِشَقِّ الثِّيَابِ »
“Tidak layak berteriak (histeris) atas mayit, dan tidak layak pula merobek-robek baju.” (al-Kafi, 3/225)
Dari Fadhl bin Muyassir, dia berkata, ‘Dulu kami berada di sisi Abu ‘Abdillah (Ja’far as-Shadiq), kemudian datang seorang laki-laki yang mengeluhkan musibah yang menimpanya, maka Abu ‘Abdillah berkata kepadanya:

« أَمَّا إِنَّكَ إِنْ تَصْبِرْ تُؤْجَرْ، وَإِلاَّ تَصْبِرْ يُمْضِى عَلَيْكَ قَدَرُ اللهِ الَّذِيْ قُدِّرَ عَلَيْكَ وَأَنْتَ مَأْزُوْرٌ »
“Adapun kamu, jika kamu bersabar, kamu akan diberi pahala, dan jika tidak bersabar maka taqdir Allah yang telah ditaqdirkan atasmu tetap berlaku atasmu sedang kamu diberi dosa.” (al-Kafi, (3225))
Perhatikanlah wahai para pembaca bahwa kewajiban yang dilakukan saat tertimpa musibah adalah bersabar dan berharap pahala, tidak dengan berkeluh kesah dan berkeberatan. Karena tidak mungkin merubah musibah sedikitpun, karena telah terjadi, selesai dan telah berlalu padanya putusan Allah Ta’ala. Sabar atau tidak sabar, orang yang diuji tersebut tidak akan bisa merubah sesuatu. Akan tetapi jika dia bersabar dia akan diberi pahala dan berhasil meraih pahala, namun jika dia tidak bersabar dan marah, maka dia berdosa dan kehilangan pahala serta tidak bisa merubah sesuatu.
Selama 14 abad, manfaat apa yang kita peroleh dari tangisan, memukul-mukul kepala dan dada, dan menyakiti diri sendiri, dan bahkan kadang membunuhnya?! Yang kemudian musibah tersebut berubah menjadi dua musibah; terbunuhnya al-Husain radhiallahu’anhu, menyakiti diri sendiri, dan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah dan juga dilarang oleh para Imam.
Jadi, larangan tersebut telah valid dari para imam Syi’ah, juga telah shahih dari para Imam Ahlussunnah. Di antara ulama Ahlussunnah yang menyatakan masalah ini adalah:
Hari Asyura Menurut Syaikhul Islam

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang apa yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ‘Asyura'(10 Muharram) yang berupa bercelak, mandi, memakai hina’ (pewarna tangan, pacar), saling berjabat-tangan, menampakkan kegembiraan, apakah ini ada asal yang shahih di dalam agama ini? Ataukah itu adalah sebuah bid’ah? Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian manusia dalam perkumpulan kesedihan, kerinduan, nadb (penyebutan kebaikan-kebaikan orang yang sudah mati di hadapan umum), niyahah (meratap), dan merobek-robek baju, apakah itu semua memiliki asal?!
Maka beliau rahimahullah menjawab, “Alhamdulillâh rabbil ‘âlamîn, tidak ada satu hadits shahihpun dari semua itu yang diriwayatkan dari Nabi , tidak juga dari para sahabat beliau, dan tidak ada satupun di antara para imam kaum muslimin yang menganggapnya baik, tidak imam empat tidak juga yang lain. Para pemilik kita-kitab yang menjadi pegangan tidak pernah meriwayatkan hal tersebut, tidak dari Nabi , tidak dari para sahabat, tidak juga dari para tabi’in, tidak yang shahih, maupun yang dha’if, tidak pada kitab-kitab shahih, tidak pada kitab-kitab sunan, tidak juga pada kitab-kitab musnad. Hadits-hadits tersebut tidak ada satupun yang dikenal pada masa-masa yang paling diutamakan.” (al-Fatawa al-Kubra (1/194)).
Karena inilah maka kita ahlussunnah wal jama’ah menolak dengan keras bentuk perayaan atau pesta apapun pada hari-hari di bulan Muharram, terutama pada hari kesepuluh (hari Asyura`), karena hal itu bukanlah hari raya, tidak dirayakan, dan bahkan kami berkeyakinan bahwa merayakannya adalah menyalahi sunnah Nabi dan sunnah Khulafaurrasyidin. Inilah yang disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam pertanyaan terdahulu.
Berkaitan dengan terbunuhnya Husain radhiallahu’anhu, maka kita berkeyakinan bahwa al-Husain radhiallahu’anhu telah terbunuh dalam keadaan terzhalimi, dan sebagai syahid, dan tidak ada keragu-raguan dalam hal itu. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun orang yang telah membunuh al-Husain radhiallahu’anhu atau yang membantu pembunuhannya, atau ridha dengan hal itu, maka wajib atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (Ibnu Taimiyah, Majum’ al-Fatawa (4/487))
Inilah sikap beliau terhadap al-Husain radhiallahu’anhu dan terhadap orang-orang yang membunuhnya.
Puasa Asyura dan Keutamaannya

Mengenai puasa Asyura` ahlussunnah waljama’ah berpandangan bahwa itu adalah sunnah.Telah shahih dari Nabi , juga telah shahih dari pihak syi’ah dengan periwayatan para Imam.
Telah shahih bahwa Nabi mendapati orang-orang Yahudi Madinah menjadikan hari Asyura sebagai hari puasa dan hari raya (pesta). Orang-orang Khaibar merayakan dengan memakaikan perhiasan-perhiasan kepada para wanitanya, maka Rasulullah memerintahkan kaum muslimin agar puasa saja tanpa hari raya pada tanggal 10, dan ditambah dengan hari sebelumnya yaitu tanggal 9 (HR. Bukhari: 1980, 1981; Muslim: 2613, 2614, 2619, 2620).
Nabi mengabarkan bahwa puasa hari Asyura akan menghapuskan dosa satu tahun yang lalu. (HR. Muslim: 2700)]
5 hal yang menyedihkan

Pertama; bahwa riwayat-riwayat tentang puasa tersebut tidak pernah disebut oleh ulama-ulama syiah.
Kedua: mereka juga tidak pernah menyebut kapan dimulainya acara ratapan Husainiyyah yang tidak pernah dilakukan oleh para Imam tersebut.
Ketiga: saat mereka menyebut tragedi Karbala, kisah mati syahidnya al-Husain radhiallahu’anhu dan ahlul Bait yang lain mereka banyak melakukan pemutar balikan fakta, melalui riwayat-riwayat yang lemah dan atau palsu!!
Sebenarnya pembunuh al-Husain radhiallahu’anhu adalah orang-orang Kufah sendiri –semoga Allah memperlakukan merek dengan keadilan-Nya – bukan selain mereka, tidak ada seorangpun menyertai mereka selain mereka sendiri. Merekalah yang berdusta terhadap al-Husain radhiallahu’anhu, menipunya, mengkhianatinya, membiarkannya sendirian, sebagaimana mereka membiarkan bapaknya (Ali radhiallahu’anhu), dan saudaranya sebelumnya.
Keempat: mereka tidak pernah menyebut saudara-saudara al-Husain radhiallahu’anhu yang mati syahid bersamanya di padang Karbala`. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, putra-putra ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, [juga Abu Bakar putranya sendiri dan Abu Bakar putra Hasan bin Ali ra] Mengapa…? Bahkan tidak pernah ditemui untuk mereka sekedar penyebutan atau belas kasihan,
Mengapa mereka bersikap demikian?
Jawabnya adalah, bahwa tidak disebutnya nama mereka hanyalah kekhawatiran terhadap pertanyaan orang-orang awam syi’ah, “Mengapa Imam ‘Ali menamai putra-putranya dengan nama-nama tersebut (Abu Bakar, Umar dan Usman)? Mengapa Imam Husain dan Imam Hasan menamai putranya dengan Abu Bakar? Bukankah penamaan menunjukkan akan kecintaan dan keridhaan?”
Kelima: bahwa umat di zaman sekarang hidup dalam ujian, musibah, perpecahan, dan kelemahan. Bersamaan dengan itu Anda akan mendapati bahwa para khatib di mimbar al-Husaini tidak memiliki apapun untuk disampaikan kecuali mengoyak sejarah, menghidupkan fitnah, dan membuat-buatnya, serta mengobarkannya, padahal tidak memiliki landasan yang shahih.
Kita Menolak Acara Asyura ala Syiah

Sikap kita, Ahlussunnah terhadap acara ratapan tersebut adalah sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang orang-orang yang menjadikan ‘Asyura` sebagai acara ratapan nestapa dan nista, “Yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya terhadap musibah –jika musibah itu baru terjadi- adalah hanya bersabar, ihtisab (berharap pahala) dan istirjâ’ (mengucapkan innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn)… maka, jika Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk bersabar dan ihtisab saat musibah baru terjadi, maka bagaimana pula jika musibah itu telah berlalu sekian lama. Maka menjadikan hari ‘Asyura` sebagai acara kesedihan termasuk perkara yang dihias-hiasi syetan untuk orang-orang sesat lagi membangkang. Demikian pula nadb (penyebutan kebaikan-kebaikan, dalam bentuk ratapan), dan pelantunan sya’ir-sya’ir sedih. Kedua kelompok tersebut telah melakukan kesalahan, keluar dari sunnah. Rasulullah , dan Khulafaur Rasyidin tidak pernah menyunnahkan satu perbuatan dari perbuatan tersebut pada hari ‘Asyura`, tidak syi’ar-syi’ar kesedihan, tidak juga syi’ar-syi’ar kegembiraan.” (Majmû’ul Fatawa (25/308-309))
Setelah ini kita katakan, “Telah banyak para Nabi yang terbunuh, tetapi Rasulullah tidak pernah melakukan yang seperti itu sama sekali. Demikian pula terbunuh sejumlah keluarga Nabi , seperti Hamzah, dan Ja’far di zaman Nabi , dan beliau tidak pernah melakukan sesuatupun untuk keduanya. Beliau juga tidak membangun kuburan untuk keduanya, tidak juga membuat musim-musim untuk menziarahinya, tidak juga yang lainnya, padahal keduanya adalah orang yang sangat utama, dan beliau al-Mushtafa sangat mencintai keduanya, demikian pula keadaannya terhadap Khadijah radhiallahu’anha.”
Demikian pula waktu terbunuhnya ‘Ali radhiallahu’anhu, putra-putranya tidak pernah melakukan sesuatupun, termasuk yang paling utama di antara mereka adalah al-Hasan dan al-Husain radhiallahu’anhuma. Maka apakah Rasulullah dan putra-putra ‘Ali radhiallahu’anhu berada di atas kesalahan..?!
Maka lihatlah wahai para pembaca yang budiman, dengan pandangan tafakkur (perenungan), i’tibar (pengambilan pelajaran), tidak dengan pandangan kesombongan dan penentangan!! Ketahuilah bahwa tidak ada bagi anda di akhirat kecuali apa yang telah anda perbuat di dunia yang berupa amal shalih setelah rahmat Allah Ta’ala.
Aku memohon kepada Allah agar dengan kalimat-kalimatku ini, Allah Ta’ala membuka hati-hati yang lalai, serta mata-mata yang buta dan telinga-telinga yang tuli. Allâhumma âmîn.
Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan kami termasuk orang-orang yang sesat mengikuti perbuatan mereka di kehidupan dunia, sementara mereka menganggap bahwa mereka telah berbuat bagus dalam perbuatan mereka.*
Penulis: Ustadz Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag. (Anggota Dewan Syura ANNAS, Aliansi Nasional Anti Syiah, Penulis buku-buku Islam)