Menurut ayat di atas,
yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah, hatinya akan
condong kepada kesesatan.
Di antara contoh
keyakinan yang dibangun di atas ayat-ayat yang muhkam adalah dalam hal
menetapkan kerasulan Nabi Muhammad. Muhammadun
rasulullah walladzina ma’ahu….. Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersamanya…. (QS.
Al-Fath: 29). Siapa saja yang membaca ayat ini dengan mudah ia pahami bahwa
Muhammad adalah utusan Allah.
Untuk menetapkan
kewajiban shalat dan zakat misalnya, Wa
aqiimushshalata wa aatuz zakah. Dan tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat (QS. Al-Baqarah: 43)
Untuk menetapkan kewajiban
puasa misalnya pada ayat 183 surat Al-Baqarah, Kutiba ‘alaikumushshiyam.
Diwajibkan atas kamu puasa.
Dan seterusnya, semua
pokok-pokok dalam agama Islam sangat mudah kita pahami dari ayat-ayat Al-Qur’an
tanpa harus membuka tafsir, hadis atau menelusuri penjelasan para ulama.
Sementara itu, Sunnah atau Hadis Nabi saw. Merupakan penjelasan terhadap Al
Quran. Ayat-ayat Muhkam dalam Al Quran maknanya jelas, hanya satu, tidak
menimbulkan multi tafsir/ pemahaman.
Al Quran terjamin dan
terjaga keasliannya, sementara as sunnah atau hadis Nabi saw dapat dipalsukan.
Sejarah pun membuktikan betapa para ulama bekerja keras dalam menyaring hadis
dan mengkategorikannya dalam hadis shahih, palsu ataupun lemah.
Al Quran inilah yang
menjadi rujukan utama dalam memahami agama Islam. Seluruh pokok-pokok agama
telah termuat dengan jelas dalam Al Quran. Sebuah pemisalan untuk memahaminya
ialah seperti KTP dan Pusat data kementerian dalam negeri. Seluruh data KTP ada
dalam pusat informasi tersebut. Jika seseorang memperlihatkan KTP, maka
keabsahannya dapat kita ketahui dengan merujuk kepada pusat data tadi. Jika
data KTP itu tidak ada dalam data base, maka dapat disimpulkan, KTP orang
tersebut adalah palsu. Demikian halnya, jika terdapat ajaran yang dinilai
berasal dari Islam namun tidak sesuai dengan Al Quran (sebagai data base) maka
ajaran tersebut adalah ‘Palsu’
Imamah
dalam (Ayat Mutasyabihaat) Al Quran
Imamah merupakan
pokok terpenting dari akidah Syiah yang diyakini oleh penganutnya. Mereka
berdalil dengan ayat Al-Qur’an untuk menetapkan Imamah ini, yaitu firman Allah yang
berbunyi,
Wahai
orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan jadilah kalian bersama
orang-orang yang jujur/ benar. (QS. At-Taubah: 119) menurut tafsiran ulama Syiah yang dimaksud
dengan Ash-Shadiqin di sini adalah Ali dan imam-imam
sesudahnya.
Masyarakat luas yang
membaca ayat ini tidak akan faham bahwa yang dimaksud di sini adalah kewajiban
menjadikan Ali sebagai Imam. Kita pun mungkin tidak akan menyangka seperti itu.
Ayat ini perlu riwayat, hadis atau penafsiran ulama untuk memahaminya
sebagaimana kehendak orang-orang Syiah. Dan ketika suatu ayat butuh
interpretasi, penafsiran, hadis atau riwayat dalam memahami maknanya secara
benar maka ia termasuk ayat-ayat yang mutasyabihat. Syiah menjadikan pokok
keyakinannya –Imamah- bersandar pada ayat-ayat mutasyabihat itu.
Bagi Syiah, Al-Qur’an
itu ibarat teka-teki, rumus-rumus dan sandi-sandi. Siapa yang bisa
memecahkannya maka ia selamat. Dan siapa yang tidak bisa memecahkannya maka ia
celaka, tersesat dan kekal di neraka. Padahal fungsi utama Al-Qur’an adalah
untuk memberikan hidayah kepada manusia dan Allah swt melalui Al Quran tidak
menjadikan pokok dalam agama ini tersamar oleh pemeluknya.
Kita akan sebutkan
satu contoh/ pemisalan tentang masalah ini. Sebutlah seseorang yang tinggal
kutub utara atau di hutan belantara amerika. Suatu ketika ia menemukan
Al-Qur’an disertai terjemahan bahasanya. Setelah ia baca, Allah berkehendak
memberinya hidayah. Ia pun masuk Islam. Kita akan bertanya. Apakah dari hasil
bacaannya tersebut ia bisa memahami bahwa Imam setelah Rasulullah adalah Ali?
Atau setelah membaca Al-Qur’an tersebut apakah ia akan meyakini bahwa melaknat
Aisyah itu termasuk bagian dari agama? Apakah dengan begitu ia bisa memahami
bahwa para sahabat itu murtad setelah ditinggal oleh Nabi? Tentunya tidak.
Karena tidak ada satupun ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan demikian. Maka
menurut Syiah, orang tersebut akan celaka, tersesat dan kekal di neraka, karena
ia tidak meyakini wajibnyaImamah, melaknat sahabat Nabi dan sebagainya,
yang merupakan akidah yang menyimpang.
Ayat
Mutasyabihat Bisa Membenarkan Semua Agama
Memakai ayat-ayat
mutasyabihat untuk membangun pondasi agama sangatlah rapuh. Karena dengan
ayat-ayat mutasyabihat kita juga bisa membenarkan semua agama; seperti Majusi,
Nasrani maupun Yahudi.
Untuk membenarkan
agama dan keyakinan Majusi kita bisa pakai beberapa ayat dalam Al-Qur’an.
Misalnya ayat 24 dalam surat Al-Baqarah, , Takutlah
kalian kepada Api. Dalam ayat lain disebutkan, Dan takutlah kalian kepada Allah.
Dengan kedua ayat tadi dapat diambil kesimpulan (keliru) bahwa Api adalah Allah
itu sendiri. Atau pada ayat lain disebutkan tentang keagungan api.
Dan
tidaklah kami jadikan para penjaga api itu melainkan para malaikat (QS.
Al-Mudatstsir: 31). Ayat ini menunjukkan keagungan api karena dijaga oleh para
malaikat. Sehingga dengan bermodalkan ayat yang sepotong-sepotong ini kita bisa
saja membenarkan keyakinan Majusi yang menyembah api. Padahal kita tahu bahwa
api yang dimaksud pada ayat-ayat di atas adalah neraka.
Untuk membenarkan
keyakinan Yahudi kita bisa pakai ayat 47 dari surat Al-Baqarah, “Wahai Bani
Israil ingatlah nikmat-nikmat-Ku yang telah kuberikan pada kalian dan Aku
lebihkan kalian di atas seluruh alam.” Umat
Yahudi –melalui ayat ini- adalah umat terbaik yang ada saat ini, karena telah
dilebihkan oleh Allah atas seluruh umat.
Sekitar 20 tahun yang
lalu, gereja Mesir menuntut Al-Azhar dan dunia Islam secara umum untuk taubat
dan kembali ke agama Nasrani. Pasalnya ada ayat di dalam Al-Qur’an yang
menyebutkan kebenaran agama Nasrani, ayat itu berbunyi,
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, yahudi, nasrani dan sabi’in yang beriman kepada Allah
dan hari akhir serta beramal shaleh, bagi mereka pahal dari Tuhan mereka, tidak
ada ketakutan bagi mereka dan tiada mereka bersedih. (QS.
Al-Baqarah: 62). Dalam ayat ini –kata gereja Mesir- tidak ada syarat beriman
pada kenabian Muhammad. Selain itu, gereja Mesir menuntut agar kaum Muslimin
menjadikan Gereja sebagai rujukan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an,
Jikalau
kamu (Muhammad) ragu terhadap apa yang kami turunkan kepadamu maka bertanyalah
kepada orang-orang yang membaca Al-Kitab sebelum kamu (QS.
Yunus: 94).
Oleh karena itu, jika
kita memakai metode Syiah dalam membangun pondasi akidah, justru semua agama
bisa kita benarkan. Wallahu
musta’an.
Dari ini semua kita
bisa nyatakan bahwa tidak selamanya orang yang berdalil dengan Al-Qur’an
bermanhaj dan beragama sesuai petunjuk Al-Qur’an.
Dalil Lain
tentang Imamah
Dalil lain tentang Imamah adalah ayat ke 55 dalam surat
Al-Maidah,
Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Syiah menafsirkan
bahwa waliy/pemimpin yang dimaksud dalam ayat ini
adalah Ali bin Abi Thalib. Karena menurut dalam salah satu riwayat, Ali
mengeluarkan zakat berupa cincin kepada fakir miskin dalam keadaan rukuk. Suatu
ayat yang butuh kepada penafsiran dan riwayat hadis, maka itu bukanlah ayat
muhkam dan pokok agama.
Di samping riwayat di
atas palsu, hadis itu juga merupakan pelecehan terhadap Ali. Kita meyakini
bahwa Ali adalah seorang sahabat yang khusyu’ dalam shalat. Sungguh telah beruntung orang-orang
beriman. (yaitu) orang yang khusyu’ dalam shalat.(Al-Mukminun: 1-2). Kekeliruan pertama, mengeluarkan zakat
pada saat rukuk akan berimplikasi pada shalat yang kurang khusyu’, maka secara
tidak langsung kaum Syiah menganggap Ali kurang khusyu’ dalam Shalatnya. Kekeliruan kedua,munculnya anggapan bahwa
Ali r.a. adalah orang kaya hingga memakai cincin emas. Sebenarnya, cincin emas
itupun telah ada larangannya dari Rasulullah dipakai oleh kaum pria. Bahkan
sebaliknya, Ali tidak berhak mengeluarkan zakat. Sebagai contoh mahar Ali
kepada Fathimah dibantu oleh Utsman bin Affan karena kebersahajaan beliau dalam
kehidupannya.
Satu pertanyaan tegas,
manakah dalam ayat itu yang menunjukkan bahwa Ali bin Abi Thalib harus
Imam/Khalifah setelah Rasulullah dan beliau maksum? Jika seandainya, kita menerima
Imam Ali berzakat ketika rukuk, maka Imam-imam setelah Ali tidak sah sebagai
Imam karena tidak ada riwayat bahwa kesebelas Imam yang lain menunaikan zakat
pada waktu rukuk, sebagaimana Ali r.a. Kekeliruan ketiga, Secara tidak langsung
akan muncul anggapan Ali shalat di shaf akhir, dan ini adalah pendapat pribadi
saya, karena jika Ali shalat di shaf pertama tentulah seorang fakir itu
memecah shaf, mencari Ali dan kemudian menerima zakat cincin tersebut.
Imamah atau Haidh
Menurut Syiah, Imamah adalah manshib ilahiy (jabatan yang
ditunjuk langsung oleh Allah). Padahal dalam Al-Qur’an tidak satupun ayat
yang menyebutkan bahwa Ali dan keturunannya adalah Imam kaum Muslimin setelah
wafatnya Rasulullah.
Jika perkara Imamah itu penting tentunya Allah
menyebutnya dalam Al-Qur’an. Namun yang kita dapati justru Allah menyebut dalam
Al-Qur’an banyak hal yang tidak terlalu penting ketimbangImamah. Nama
sahabat Nabi, Zaid, disebutkan dalam perkara fiqh mu’amalah (QS. Al-Ahzab: 37).
Bahkan nama yang menjadi musuh orang beriman juga disebutkan secara jelas dalam
Al-Qur’an, yaitu Iblis (QS. Al-A’raf: 11). Dan justru yang lebih remeh dari hal
itu adalah perkara haidh disebutkan dalam Al-Qur’an, bertanya kepadamu (Muhammad)
tentang Haidh, katakanlah ‘itu adalah penyakit’ (QS. Al-Baqarah: 222).
Jika Imamah adalah akidah yang wajib kita
imani dan terapkan, mengapa Allah tidak menyebut , Mereka bertanya kepadamu tentang
Imam (sepeninggalmu), katakanlah ‘Dialah Ali’.
Tidak adanya teks/
nash dalam Al-Qur’an tentang Imamah Ahlul Bait menunjukkan bahwa itu
bukanlah pokok agama dan olehnya agama Syiah tidak memiliki ayat yang jelas
(muhkam) untuk membangun pondasi keyakinan mereka.
Sebagai penutup kita
ingin mengatakan kepada kaum syiah. Pertama, Datangkan ayat Al Quran yang
muhkam mengenai akidah Imamah.
Niscaya mereka tidak akan mampu mendatangkannya. Kedua, jika kalian memiliki Al-Qur’an lain,
maka lakum dinukum wa liya
diin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Ketiga, jika Anda berkeyakinan bahwa
Al-Qur’an telah dirubah, maka keyakinan kalian itu adalah kekufuran yang nyata. (Sulfandy/Muh Istiqamah/lppimakassar.com)
Materi ini
kami sarikan dari pemaparan Syeikh Mamduh Farhan Al-Buhairi dalam Seminar Islam
dan Ideologi “Menata Aqidah Membangun Masyarakat Berperadaban” di Baruga AP.
Pettarani Universitas Hasanuddin, 17 Februari 2013