Oleh: Yusuf Utsman Baisa*
Miris
hati ini membaca tulisan yang isinya adalah ajakan untuk menusantarakan ajaran
Islam, sesungguhnya tulisan tersebut tidak lebih hanya sekedar ajakan untuk
meliberalkannya dan membungkusnya dengan kerudung “Islam”.
Sebuah
tulisan yang kesan awalnya adalah mengajak kepada Islam yang damai, toleran dan
bisa menerima pendapat orang lain, namun sebaliknya yang didapati justru sikap
agitatif dengan penyebutan ungkapan semodel “di tengah kesejukan Islam
Nusantara, ajaran wahabisme muncul untuk menghancurkannya”.
Juga
peluru panas dan tajam berupa tuduhan “kaum fundamentalis dan radikal”
disiapkan mengarah kepada komunitas yang juga punya sejarah dakwah yang panjang
di Negeri ini, dikarenakan mereka sangat berpegang-teguh kepada Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
Disebutnya
“Islam berkembang pesat di Indonesia karena pengaruh para sufi yang menyebarkan
ajaran Islam yang inklusif dan akomodatif terhadap kehidupan sosial budaya
setempat”, dilupakannya jasa para pendakwah yang bukan sufi, seperti Ar-Raniry,
Imam Bonjol, Panglima Diponegoro, Syeikh Ahmad Surkaty, kemudian terus
berlanjut hingga lahirnya Muhammadiyah, Al-Irsyad dan Persis dan seterusnya,
dimana terbukti bahwa dakwah mereka berhasil menembus seluruh wilayah Indonesia
tanpa harus mengorbankan Aqidah dan prinsip-prinsip Islam lainnya.
Saat
ini kita menyaksikan di negara-negara barat bagaimana proses liberalisasi yang
mereka lakukan justru mengakibatkan penguatan sikap mereka yang sangat permisif
dan membuka pintu kebebasan tanpa batas yang akhirnya berakibat hilangnya
nilai-nilai inti dari agama dan hanya menyisakan ritual-ritual kosong dari
prinsip agama mereka.
Dikatakannya
pula : “Secara umum, hampir semua ibadah di Islam terbagi dua varian utama :
simbol (madzhar) dan substansi (jauhar)…….Meskipun Islam mengenalkan simbol,
tetapi tujuan beragama adalah substansi, bukan simbol…….bahwa beragama bukanlah
menghadapkan jasad ke timur dan barat, tetapi melahirkan praktik sosial yang
mendalam”.
Pembahasan
agama model seperti ini sangatlah naïf dan sempit, karena mengosongkan ibadah
dan akhlak dari tujuan yang sesungguhnya yaitu iman kepada Allah.
Sehingga
disaat seseorang sedang beribadah dia mesti menghadirkan tiga hal didalam
jiwanya : cinta, harap dan takut kepada Alloh, seperti termaktub didalam banyak
ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Sementara
didalam ajaran Islam antara akhlak dengan Iman tidak bisa dipisahkan, sebagai
contohnya adalah sifat malu dan kebersihan adalah amalan akhlak yang merupakan
bagian dari iman.
Istilah
“fundamentalisme” dan “radikalisme” pada tulisan tersebut menjadi stigma yang
moncongnya diarahkan kepada setiap orang yang menolak konsep liberal yang
mereka usung, tanpa harus mengerti apa yang dimaksud pada kedua istilah itu.
Dikatakannya
pula: “Budaya kafir-mengkafirkan tidak dikenal di pesantren”, dilupakannya
bahwa negeri ini dijajah oleh orang kafir tidak kurang dari tiga ratus lima
puluh tahun, dan yang terdepan dalam melawan mereka justru pesantren-pesantren
itu. Pertanyaanya: apakah pada saat para kyai mengobarkan api semangat berjuang
melawan penjajah tidak dengan mengkafirkan mereka?.
Menganggap
kafir orang yang memang kafir dan mewaspadai bahaya kekafirannya adalah sesuatu
yang benar secara ilmiah, adapun bertoleransi terhadap orang kafir yang tidak
berbahaya merupakan bagian dari sikap kemanusiaan yang telah menjadi tuntutan
dan keniscayaan.
Muslimin
di Indonesia hampir seluruhnya Ahlus-Sunnah wal-Jamaah, baik dari kalangan NU
ataupun komunitas Islam lainnya, mereka semua meyakini akan kebenaran
Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas sebagai sandaran dan dalil dalam
menegakkan ajaran Islam dan mengamalkannya.
Mereka
semua meyakini pentingnya ilmu-ilmu alat dalam memahami dan melindungi keutuhan
ajaran Islam seperti ulumul-Qur’an, ulumul-Hadits, Ushulul-fiqih, Qowaid
Fiqhiyah dan masih banyak ilmu alat lainnya, sehingga di pesantren dan madrosah
mereka mengajarkannya dengan teliti, tekun dan cermat.
Sementara
kalangan liberal justru ingin membuang ilmu-ilmu alat ini, karena mereka
terhalang oleh ilmu-ilmu ini dalam meliberalkan ajaran Islam, dimana justru
sebab ilmu-ilmu inilah terbitnya keyakinan akan adanya kebenaran mutlak pada
Alloh Taala dan RosulNya SAW.
Disaat
seseorang berpegang kepada suatu keyakinan yang didapatnya dari sumber-sumber
kebenaran tersebut, maka orang seperti ini disebut “Fundamentalis” dan “Radikalis”,
sungguh miris.
Padahal
pada saat kalangan liberalis mempersalahkan orang seperti ini pun ternyata
menghadapinya dengan sikap fanatik kepada konsep yang dipeganginya dan radikal
dalam menyerang dan menyudutkannya, tanpa kesiapan dada yang lapang dalam
menerima perbedaan pendapat dan toleran terhadapnya.
Sejarah
yang panjang telah membuktikan bahwa muslimin di Indonesia sebagai mayoritas
pemeluk agama di negeri ini telah mampu menghargai dan toleran kepada para
pemeluk agama non Islam, selagi mereka bersikap baik dan tidak mengganggu
muslimin.
Padahal
di belahan lainnya dari dunia ini kita menyaksikan bagaimana orang diluar Islam
menghina Islam dan menistakan muslimin, semestinya kalangan liberalis bisa
bersikap bijak dan adil dalam hal ini, dengan menuntut kalangan non Islam agar
bersikap baik terhadap muslimin agar muslimin tidak jadi radikal, jangan cuma
muslimin yang terus dituntut.
Di
posisi yang lain dia berkata: “Mayoritas pesantren di Indonesia menganut
ideologi ahlussunnah waljamaah (aswaja). Ideologi aswaja mengusung ajaran
moderat (tawasuth), seimbang (tawazun), toleran (tasamuh), dan adil (I’tidal)
sebagai etika sosial”.
Sikap
moderat (tawasuth), seimbang (tawazun), toleran (tasamuh), dan adil (I’tidal)
merupakan ciri khas Ahlus-Sunnah wal-Jamaah dari semenjak zaman Rosululloh SAW,
karena hal itulah yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukan merupakan
monopoli komunitas tertentu dari kalangan muslimin, sehingga pelanggaran
terhadap sikap-sikap ini merupakan sikap dari oknum atau kelompok yang tidak
mengerti dan tidak mengamalkan ajaran Islam yang baik dan benar.
Ahlus-Sunnah
wal-Jamaah merupakan payung besar yang bisa mempersatukan seluruh umat Islam
sedunia, bukan hanya Nusantara. Maka jika umat Islam sedunia bisa menerapkan
prinsip-prinsip Ahlus-Sunnah wal-Jamaah dengan baik dan benar sudah tentu
mereka dengan sendirinya akan bersatu dan mampu menjadi kekuatan adidaya yang
akan kembali menguasai dunia seperti di zaman keemasannya dulu.
Sudah
tentu hal ini tidak mudah karena akan mendapat halangan dari hawa nafsu pada
setiap individu, setan dari kalangan jin dan manusia, serta para penjajah yang
telah mengikat negara-negara jajahannya dengan perjanjian meja bundar dan
perjanjian sejenisnya di seluruh dunia.
Oleh
karena itu jika benar ajakannya adalah penerapan “Islam” sesuai prinsip-prinsip
Ahlus-Sunnah wal-Jamaah, maka yang akan dilahirkan bukan sekadar “Islam
Nusantara” akan tetapi “Islam Dunia”, karena prinsip-prinsip ini bukanlah milik
khas orang Indonesia dan terbit dari budaya mereka, tapi bersumber kepada Alloh
dan Rosul-Nya dan menjadi milik umat Islam sedunia.
Pada
akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa penggunaan istilah “Islam” dan
“Ahlussunnah wal-Jamaah” hanyalah kata-kata indah yang dijadikan pintu masuk
ketengah muslimin, bukan perwujudan nyata yang sesungguhnya menjadi harapan dan
cita-cita.
Penulis
adalah Ketua Umum DPP Perhimpunan Al Irsyad
http://opini.gemaislam.com/menanggapi-tulisan-ali-masykur-musa-etika-sosial-islam-nusantara-yang-dimuat-di-harian-republika-kamis-9-juli-2015/
“ISLAM
NUSANTARA” MENIRU “ISLAM ALA PERSIA”
Ide “Islam Nusantara” yang
digelontorkan oleh kalangan liberalis pada saat ini, tidak lebih dari sekedar
meniru jejak kalangan Syiah yang telah berhasil membuat “Islam ala Persia”,
dimana mereka telah berhasil menjejalkan budaya Persia kedalam ajaran Islam.
Kita
mendapati Islam yang ditampilkan oleh kalangan Syiah tidak jauh berbeda dengan
agama majusi yang di kombinasikan dengan budaya bangsa Persia kemudian
disesuaikan dengan ajaran Islam.
Sehingga
kita mendapati perbedaan yang sangat jauh antara ajaran Syiah dengan ajaran
Islam, mulai dari perbedaan yang prinsipil seperti Arkanul-Islam dan
Arkanul-Iman, berikutnya perbedaan ritual dan gaya mereka berbudaya dalam
menumpahkan emosi mereka saat meratapi Al-Husain RA dan membenci pembunuhnya,
sampai kepada cara mereka dalam menyelenggarakan hari-hari perayaan pun tidak
lain hanyalah melanggengkan budaya dan ritual bangsa Persia.
Maka
disaat kalangan liberalis Indonesia merancang “Islam Nusantara” maka
konsepsinya tidak akan jauh dari pola saudara mereka kalangan “Syiah” yang
sama-sama tergabung dalam AKBB.
Bahan
dasar yang mereka jadikan sebagai kerangka acuan agama baru yang mereka namai
“Islam Nusantara” pun tidak akan jauh berbeda pula, karena bersumber dari
aliran-aliran sesat yang menjadi anggotanya.
Mereka
memulai launchingnya dengan meletupkan atraksi-atraksi sebagai test on the
water, mulai dari menampilkan bacaan Al-Qur’an dengan langgam jawa, memunculkan
buku yang meragukan kesucian Al-Qur’an, mengadukan hadits dengan logika dan
yang paling terakhir kitapun menyaksikan bagaimana orang melakukan Sholat
Tarawih dengan super cepat dengan meringkaskan bacaannya dan membuang
Thuma’ninahnya.
Budaya
Nusantara yang paling kuat dan berakar pada saat ini adalah budaya jawa, yang
berasal dari pola sinkretisme yang berasal dari agama Budha, pola ini yang akan
mereka kombinasikan dengan keyakinan “Manunggaling Kawula Gusti” yang telah
mengakar di Negeri ini dan biasa disebut aliran “Kejawen”, berikutnya tinggal
disesuaikan dengan ajaran “Islam”.
Pada
saat ini pula tokoh mereka yang terdepan dan paling vokal adalah Said Agil
Sirodj yang telah memaparkan dengan sangat jelas bagaimana pembelaannya
terhadap ajaran “Wihdatul-Wujud” yang substansi ajarannya tidak jauh berbeda
dari keyakinan “Manunggaling Kawula Gusti” yang ada dalam aliran “Kejawen”.
Tokoh
ini pula dengan lantangnya menunjukkan pembelaannya kepada Syeikh Siti Jenar
yang telah dihukum mati karena menyebarkan ajaran “Wihdatul-Wujud” di negeri ini.
Situasi
dan kondisi Negeri kita pada saat ini sangat kondusif untuk pemunculan ide
“Islam Nusantara”, karena akan mendapat dukungan yang sangat kuat dari Rezim
Penguasa periode ini, jika dilihat dari dukungannya yang sangat kentara kepada
budaya jawa yang sedang membahana saat ini.
Sungguh
sangat berbahaya ide gila ini, karena akan mencerabut Islam sampai
keakar-akarnya, sehingga jika dibiarkan merebak dan semakin menguat serta mampu
mendominasi Muslimin, maka berikutnya kita tidak perlu keheranan jika nanti
ajaran Islam hanya ada pada ritual-ritual kosong yang telah dikombinasikan
dengan budaya-budaya lokal yang berasal dari luar ajaran Islam.
Sungguh
tidak jujur mereka itu, dimana mereka menamakan “Islam” untuk suatu agama yang
berbeda secara substansial dan prinsipil dengan ajaran Islam.
Jika
kita bijaksana dan beradab, maka sikap yang kita ambil adalah membiarkan setiap
agama pada keaslian dan ciri khasnya masing-masing, bukan malah mencampur
adukkan ajaran Islam dengan ajaran agama lainnya, namun dipaksakan namanya
masih tetap “Islam”.
Jika
ide ini dibiarkan maka agama Islam akan terbelah menjadi beberapa agama : Islam
Arab, Islam Jawa dan Islam Nusantara, mengapa?
Kalangan
muslimin yang tetap mempertahankan bahasa arab dan pola penerapannya dalam beragama
dan meyakininya sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari ajaran Islam
akan disebut “Islam Arab”.
Kalangan
yang ingin mengkombinasikannya dengan aliran “Kejawen” dan membuang bahasa arab
dari penerapan ajaran Islam, akan disebut “Islam Jawa”.
Kalangan
yang ingin mengkombinasikannya dengan berbagai macam budaya lokal yang telah
mengakar di Negeri ini, akan disebut “Islam Nusantara”.
Kalau
hal ini bisa benar-benar terjadi di Negeri ini maka tertawalah kalangan
liberalis menyaksikan keberhasilan mereka dalam melemahkan ajaran Islam dan
memporak porandakan muslimin.
OLEH
: Ustadz Yusuf Utsman Baisa
Selain Bertentangan, Islam Nusantara
Dianggap Akomodir Syiah & Islam Liberal
Ternyata banyak kiai Nahdlatul Ulama (NU) yang
tak setuju dengan istilah Islam Nusantara menjadi tema utama Muktamar NU ke-33
di alun-alun Jombang. Menurut mereka, istilah Islam Nusantara mempersempit
ruang lingkup Islam dan cenderung eksklusif. Alasannya karena NU tidak hanya
untuk dan berkembang di Indonesia saja, melainkan juga di luar.
”Padahal NU sendiri tidak hanya di Indonesia
tapi juga berkembang di luar negeri. Bagaimana dengan teman teman NU yang berada
di Singapura, Malaysia dan sebagainya,” kata KH Misbahussalam, Wakil Ketua
Pengurus
Cabang Nahdjatul Ulama (PCNU) Kabupaten Jember, beberapa waktu lalu seperti
yang dikutip NUGarisLurus.com.
Bahkan, menurut Misbah, ada dugaan
disosialisasikannya Islam Nusantara untuk mengakomodasi ajaran Syiah, Islam
Liberal, Wahabi dan idelogi lain yang bertentangan dengan Ahlussunnah Wal
Jamaah (Aswaja).
Apalagi mulai muncul pendapat bahwa Syiah di Indonesia ada lebih dulu
ketimbang Sunni. Artinya, Syiah harus diakomodasi oleh Islam Nusantara karena
bagian dari khazanah atau kekayaan agama Nusantara.
Panitia
Muktamar harus mengganti istilah Islam Nusantara dengan istilah yang tidak
bertentangan dengan ideologi NU,” katanya.
Istilah Islam Nusantara juga tak punya sumber,
baik dalam al Quran, hadits, ijma’ maupun qiyas. ”Justru banyak pihak baik di
internal maupun eksternal NU menyerang NU karena persoalan istilah Islam
Nusantara,” kata Kiai Muhyiddin.
KH. A Muhith Muzadi juga mengaku tak setuju
dengan islah Islam Nusantara. Alasannya, Islam itu satu. Yaitu Islam yang sudah
jelas ajarannya.
“Rumusan khittah itu sudah jelas dan itu adalah
ideologi NU. Kalau Islam Nusantara pasti ada mafhum mukholafah. Berarti Islam
non Nusantara,” kata kiai penggagas khittah NU 26 yang diratifikasi KH Ahmad
Siddiq itu. (Robigusta Suryanto/voa-islam.com)