Tauhid Asma’ wa Sifat
merupakan perkara urgen dalam wilayah tauhid, karena bagaimana mungkin seorang
beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya tanpa mengenal nama dan sifat
Dzat yang dia ibadahi. Pada zaman salaf dahulu, masalah ini tidak terlalu
rumit, lantaran mereka dapat menyikapinya secara proporsional. Namun, masalah
ini kini menjadi krusial, lantaran percikan syubhat para ahli bid’ah yang
kurang puas dengan manhaj salaf dalam Asma wa Sifat, sehingga mereka memplintir
dan merubah dalil yang shahih dari makna aslinya, padahal -kalau disadari-
sebenarnya mereka telah membeo kaum Yahudi yang terlaknat.
Contohnya terlalu banyak
kalau mau diuraikan satu persatu, tetapi cukuplah sebagai perwakilan, hadits
tentang nuzul (turunnya) Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir,
dimana hadits ini telah diobok-obok oleh tangan sebagian kalangan yang tersesat
jalan dan terombang-ambing dalam kebingungan nan kegelapan.
Nah, pada kesempatan kali ini
kita akan mencoba untuk mengkaji hadits tersebut dan menguraikan belitan
syubhat para pengekor hawa nafsu seputar hadits tersebut. Semoga Allah selalu
meneguhkan kita untuk meniti di atas jalanNya yang lurus. Amiin.
TEKS HADITS
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ
الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِيْ
فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ, مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ, مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ
فَأَغْفِرَ لَهُ
Dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu
ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku,
maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan,
dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”. [1]
HADITSNYA MUTAWATIR
Hadits tentang nuzulnya Allah
tidak diragukan lagi keabsahannya. Seluruh ulama ahli hadits menshahihkannya,
tidak ada satupun dari mereka yang melemahkannya. Bahkan, para ulama ahli
hadits menilai bahwa derajat haditsnya mutawatir. Diantaranya:
1. Imam Abu Zur’ah
berkata[2]: “Hadits-hadits tentang turunnya Allah ke langit dunia ini
derajatnya mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat
Rasulullah. Hadits tersebut menurut kami adalah shahih dan kuat”.
2. Utsman bin Sa’id Ad-Darimi
berkata: “Hadits nuzul diriwayatkan dari dua puluh tiga lebih sahabat dari
Nabi”.[3]
3. Abdul Ghani Al-Maqdisi: “Telah
mutawatir dan shahih hadits-hadits tentang turunnya Allah setiap hari ke langit
dunia. Maka wajib bagi kita untuk beriman dengannya, pasrah menerimanya, tidak
menentangnya, menjalankannya tanpa takyif (membagaimanakan) dan tamtsil
(menyerupakan dengan makhluk) serta takwil (menyelewengkan artinya) sehingga
meniadakan hakekat turunnya Allah”.[4]
4. Imam Ibnu Abdil Barr:
“Hadits ini adalah shahih sanadnya. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan
ahli hadits tentang keabsahannya”. Beliau juga berkata: “Hadits ini dinukil
dari jalan-jalan yang mutawatir dan jalur yang banyak sekali dari orang-orang
yang adil dari Nabi”.[5]
5. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah menegaskan bahwa hadits ini mutawatir dan dinukil dari generasi ke
generasi selanjutnya[6]. Beliau juga berkata: “Hadits masyhur yang diriwayatkan
oleh banyak sahabat”.[7]
6. Imam Ad-Dzahabi berkata
:“Saya telah menulis hadits-hadits tentang nuzul (turunnya Allah) dalam sebuah
kitab khusus, derajat hadits-haditsnya saya berani menetapkannya mutawatir”.[8]
7. Imam Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah berkata: “Sesungguhnya turunnya Allah ke langit dunia telah
dijelaskan dalam hadits-hadits mutawatir dari Rasulullah, yang diriwayatkan
oleh kurang lebih dua puluh delapan sahabat”. [9]
Demikian pula ditegaskan oleh
Imam Ibnu Abdil Hadi[10], Al-Kattani
[11]dan Al-Albani[12].
.
Daftar Sahabat Periwayat Haditz Nuzul
Hadits nuzul ini diriwayatkan
dari sejumlah sahabat Nabi, diantaranya
Abu Bakar Ash-Shiddiq,
Ali bin Abi Thalib,
Abu Hurairah,
Jubair bin Muth’im,
Jabir bin Abdullah,
Abdullah bin Mas’ud,
Abu Sa’id Al-Khudri,
Amr bin ‘Abasah,
Rifa’ah bin ‘Arabah
Al-Juhani,
Utsman bin Abi ‘Ash
Ats-Tsaqafi,
Abdul Hamid bin Salamah dari
ayahnya dari kakeknya,
Abu Darda’,
Mu’adz bin Jabal,
Abu Tsa’labah Al-Khusyani,
Aisyah,
Abu Musa Al-Asy’ari,
Ummu Salamah,
Anas bin Malik,
Hudzaifah bin Yaman,
Laqith bin Amir Al-‘Uqaili,
Abdullah bin Abbas,
Ubadah bin Shamith,
Asma’ binti Yazid,
Abul Khaththab,
‘Auf bin Malik,
Abu Umamah Al-Bahili,
Tsauban,
Abu Haritsah, dan
Khaulah binti Hakim. [13]
SYARH HADITS
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
mengatakan:
“Para salaf, para imam dan
para ahli ilmu dan hadits telah bersepakat membenarkan dan menerima hadits ini.
Barangsiapa yang berkata seperti perkataan rasul, maka dia benar. Tetapi
barangsiapa yang memahami hadits ini atau hadits-hadits sejenisnya dengan
pemahaman yang Allah suci darinya, seperti menyerupakanNya dengan sifat
makhluk, dan menyifatinya dengan kekurangan, maka dia telah salah. Oleh karena
itu madzhab salaf menyakini dalam sifat ini dengan menetapkan sifat-sifat bagi
Allah dan tidak menyerupakannya dengan makhluk. Karena Allah disifati dengan
sifat-sifat yang terpuji dan suci dari penyerupaan dengan makhlukNya”. [14]
Imam Al-Ajurri berkata:
“Iman dengan ini wajib,
tetapi tidak boleh bagi seorang muslim untuk bertanya: Bagaimana Allah turun?
Dan tidak ada yang mengingkari ini kecuali kelompok Mu’tazilah. Adapun ahli
haq, mereka mengatakan: Beriman dengannya adalah wajib tanpa takyif
(membagaimanakan), sebab telah shahih sejumlah hadits dari Rasulullah
bahwasanya Allah turun ke langit dunia setiap malam. Orang-orang yang meriwayatkan hadits ini
kepada kita, mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits tentang hukum halal
haram, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Maka, sebagaimana para ulama
menerima semua itu, maka mereka juga menerima hadits-hadits ini, bahkan mereka
menegaskan: “Barangsiapa yang menolaknya maka dia adalah sesat dan keji”.
Mereka waspada darinya dan memperingatkan umat dari penyimpangannya”. [15]
Imam Ibnu Khuzaimah berkata:
“Bab penyebutan hadits-hadits
yang shahih sanad dan matan-nya. Para ulama Hijaz dan ‘Iraq meriwayatkan dari
Nabi tentang turunnya Allah ke langit dunia setiap malam. Kita bersaksi dengan
persaksian seorang yang menetapkan dengan lisannya dan membenarkan dengan
hatinya penuh keyakinan terhadap hadits-hadits seputar turunnya Allah tanpa
membagaimanakan sifatnya, sebab Nabi kita tidak menyifatkan kepada kita tentang
sifat turunnya Allah ke langit dunia, tetapi hanya memberitakan kepada kita
bahwa Dia turun, sedangkan Allah dan NabiNya tidak mungkin lalai untuk
menjelaskan sesuatu yang dibutuhkan kaum muslimin dalam agama mereka. Maka kita
membenarkan hadits-hadits ini yang
berisi penetapan turunnya Allah tanpa menyulitkan diri untuk membagaimanakan
sifat turunNya, lantaran Nabi tidak menerangkan kepada kita tentang sifat
turunnya Allah”.[16]
Imam Ibnu Abdil Barr berkata:
“Mayoritas imam Ahli Sunnah
berpendapat bahwa Allah turun sebagaimana dikhabarkan oleh Rasulullah, mereka
membenarkan hadits ini dan tidak membagaimanakannya”. [17]
SYUBHAT DAN JAWABANNYA
Dari segi sanad, sepertinya
para ahli bid’ah tidak dapat berkutik apa-apa lagi lantaran sangat kuatnya.
Namun mereka tetap tidak putus asa untuk menaburkan debu dengan mengarahkan
bidikan pada matan (kandungan) hadits ini, seperti:
A. Tasybih
Mereka mengatakan[18]: Kalau
kita tetapkan bahwa Allah punya sifat turun itu berarti Allah serupa dengan
makhluk, padahal ini bertentangan dengan ayat:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ
Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Allah. [19](QS. Asy-Syura: 11).
Jawaban:
Kaidah kita dalam masalah
Asma wa Sifat adalah menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dalam
Al-Qur’an atau rasulullah dalam haditsnya yang shahih tanpa menyerupakannya dengan
sesuatupun dan mensucikanNya tapa mengingkari sifat-sifatNya sebagaimana firman
Allah:
Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Maha mendengar dan melihat. (QS. Asy-Syura: 11).
Firman Allah: لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَىْءُُ “Tidak ada sesuatupun yang serupa denganNya”
merupakan bantahan terhadap golongan musyabbihah (yang menyerupakan Allah
dengan makhluk).
Adapun firmanNya: وَهُوَ
السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ“Dan Dia Maha mendengar
lagi Maha melihat”. Merupakan bantahan
terhadap golongan yang merubah makna sifat dan mengingkarinya. Jadi, kewajiban
kita adalah menetapkna apa yang telah ditetapkan oleh Alloh dan menafikan apa
Dia nafikan tanpa tahrif (merubah makna) dan ta’til (mengingkarinya). Inilah
manhaj (metode) selamat yang harus ditempuh oleh setiap muslim, karena dibangun
di atas ilmu dan kelrusan dalam i’tiqad. [20]
Imam Syaukani berkata,
“ Barangsiapa yang memahami
dan merenungi ayat mulia ini dengan sebenar-benarnya niscaya dia akan meniti di
atas jalan yang putih dan jelas di persimpangan perselisihan manusia dalam
masalah sifat-sifat Alloh. Lebih mantap lagi apabila engkau merenungi makna
firman Allah: “Dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat”. karena penetapan ini
setelah peniadaan sesuatu yang serupa telah mengandung keyakinan yang mantap
dan obat penawar hati. Wahai pencari kebenaran, pegangilah hujjah yang jelas
dan kuat ini, niscaya engkau dapat memberantas berbagai corak kebid’ahan dan
meremukkan argumen para tokoh kesesatan dan ahli filsafat”. [21]
Jadi, kita menetapkan sifat
“turun” bagi Allah sebagaimana dikhabarkan oleh Nabi yang mulia tanpa
menyerupakannya dengan turunnya makhluk. Apabila ada yang mengingkarinya dengan
alasan “kalau kita tetapkan berarti kita menyerupakannya dengan makhluk”, maka
ini bathil. Kita tanyakan kepadanya: Apakah anda menetapkan sifat mendengar dan
melihat bagi Allah? Kalau dia tidak menetapkannya, maka dia telah mengingkari
ayat di atas. Dan apabila dia menetapkannya, maka dia telah kontradiksi karena
makhluk juga mempunyai sifat mendengar dan melihat. Kalau dia berkata: Kita
tetapkan sifat melihat dan mendengar bagi Allah tetapi sama seperti makhlukNya.
Kita jawab: Demikian pula kita tetapkan turunnya Allah tetapi tidak sama
seperti makhlukNya. Mengapa kalian menetapkan sebagian sifat, tetapi tidak
menetapkan sifat lainnya, padahal sama-sama berlandaskan dalil yang shahih?
Sungguh ini suatu kontradiksi yang sangat ajaib sekali!!!.
Jadi sekali lagi, menetapkan
sifat turun bagi Allah bukan berarti kita menyerupakannya dengan makhluk, tidak
ada seorang ulama salaf-pun yang berfaham demikian, bahkan kata Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 5/252: “Apabila seseorang menyerupakan
sifat-sifat Allah dengan sifat makhlukNya, seperti mengatakan istiwa’ Allah
serupa dengan istiwa’ makhlukNya, atau turunnya Allah serupa dengan turunnya
makhluk, maka dia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan, karena
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta akal menjelaskan bahwa Allah tidak serupa dengan
makhluk dalam segala segi”.[22]
Lucunya, mereka menuding kaum
salaf yang menetapkan sebagaimana manhaj yang benar sebagai kaum musyabbihah
atau mujassimah! Subhanallah, hanya kepada Allah kita mengadu!.
Imam Ibnu Abdil Barr
mengatakan:
“Seluruh Ahli Sunnah telah
bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah serta mengartikannya secara dhahirnya. Tetapi mereka tidak
menggambarkan bagaimananya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah, Mu’tazilah
dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah dan tidak mengartikannya
secara dhahirnya. Lucunya mereka meuding bahwa orang yang menetapkannya
termasuk Musyabbih[23] (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk)”. [24]
B. Tahrif
Banyak sekali takwil dan
tahrif yang menyelimuti hadits yang tegas ini. Mereka mengatakan: Bukan Allah
yang turun, tetapi perintah Allah!. Ada lagi yang mengatakan: Rahmat Allah!
Lain lagi mentakwilkan: Malaikat dari para malaikat Allah!. Adapun KH.
Sirajuddin Abbas, dia berpendapat lain lagi: “Maksud hadits ini -menurut Ahlus
Sunnah- bahwasanya pintu rahmat Tuhan terbuka malam hari seluas-luasnya, khusus
pada akhir-akhir malam. Sekalian do’a dan permohonan diterima ketika itu. Oleh
karena itu hendaklah mendo’a banyak-banyak setiap malam. Inilah maksudnya
hadits ini”. (I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah hal. 276).
Jawab:
Tahrif seperti ini adalah
bathil ditinjau dari dua segi:
Secara global: Asli dalam
ungkapan seseorang adalah hakekat (bukan majaz) sehingga ada dalil yang
memalingkannya kepada makna majaz. Sungguh amat mustahil sekali, bila Nabi
Muhammad seringkali dan berulangkali mengucapkan suatu ungkapan yang didengar
oleh banyak sahabatnya, namun kemudian beliau tidak menjelaskan makna
sesungguhnya!. Siapakah orang yang lebih sayang terhadap umat manusia?! Nabi
kita Muhammad ataukah kaum Mu’tazilah dan Asyairah?! Tidakkah mereka menyadari
bahwa merubah arti dari dhahirnya adalah perilaku kaum Yahudi yang dikecam oleh
Allah?!:
Yaitu orang-orang Yahudi,
mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.
(QS. An-Nisa’: 46)
Lalu orang-orang yang zhalim
mengganti ucapan yang tidak dierintahkan kepada mereka.
(QS. Al-Baqarah: 59)
Semoga Allah merahmati Imam
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah tatkala mengatakan dalam Nuniyahnya 1923-1930:
أَُمِرَ الْيَهُوْدُ بِأَنْ يَقُوْلُوْا :
حِطَّةٌ فَأَبَوْا
وَقَالُوْا: حِنْطَةٌ لِهَوَانِ
وَكَذَلِكَ الْجَهْمِيُّ قِيْلَ لَهُ :
اسْتَوَى فَأَبَى وَزَادَ الْحَرْفَ لِلنُّقْصَانِ
نُوْنُ الْيَهُوْدِ وَلاَمُ جَهْمِيٍّ هُمَا فِيْ وَحْيِ رَبِّ الْعَرْشِ
زَائِدَتَانِ
Orang Yahudi diperintahkan
untuk mengatakan Hithah (ampunilah).
Mereka enggan, bahkan
berkata: Hinthah (gandum) demi kehinaan.
Demikian pula Jahmi dikatakan
padanya: Istawa (tinggi)
Mereka enggan dan menambah
huruf (istaula/berkuasa)[25].
Tambahan huruf “Nun” Yahudi
dan “Lam” Jahmi
Keduanya dalam timbangan
syar’I adalah tambahan.
Adapun secara terperinci:
Urusan dan nikmat Allah
tidaklah turun pada saat khusus sepertiga malam terakhir saja, bahkan kapanpun
waktunya. Allah berfirman, yang artinya:
Dan apa saja nikmat yang ada
ada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).
(QS. An-Nahl: 53)
Kemudian apalah faedahnya
nikmat dan urusan Allah hanya turun ke langit dunia saja tetapi tidak turun ke
bumi?!
Adapun kalau diartikan
“malaikat” maka kita jawab: Apakah masuk akal kalau malaikat mengatakan: Siapa
yang berdo’a kepadaKu, maka akan Aku kabulkan…?! Maka jelaslah bahwa tahrif ini
adalah bathil, termentahkan oleh hadits fakta lapangan. [26]
Alangkah bagusnya ucapan
Syaikh Al-Allamah Imam Abdul Aziz bin Baz tatkala membantah perubahan makna
seperti ini:
“Ini merupakan kesalahan yang
nyata sekali, bertentangan dengan nash-nash yang shahih yang menetapkan nuzul
(turunnya) Allah. Pendapat yang benar adalah pendapat salaf shaleh, yaitu
menyakini turunnya Allah dan memahami riwayat ini sebagaimana datangnya, tanpa
takyif (membagaimanakan), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).
Inilah jalan yang paling benar, paling selamat, paling cocok, dan paling
bijaksana. Pegangilah keyakinan ini dan gigitlah dengan gigi gerahammu serta
waspadalah dari keyakinan-keyakinan yang menyelisihnya. Semoga engkau bahagia
dan selamat”. [27]
C. Akal-akalan
KH. Sirajuddin Abbas berkata
dalam buku hitamnya “Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” hal. 276: “Sebagaimana
dimaklumi dunia ini bundar, malam di suatu tempat, siang di tempat yang lain,
kalau di Indonesia matahari sudah terbenam dan sudah malam maka di Makkah baru
pukul dua belas siang. Kalau di Indonesia siang bolong umpamanya pukul sepuluh
pagi, maka di Belanda betul-betul pukul dua malam. Dan begitulah seterusnya.
Nah, kalau tuhan turun ke bawah pada sepetiga malam sebagaimana turunnya Ibnu
Taimiyah, maka pekerjaan tuhan hanya turun-turun saja setiap waktu bagi seluruh
penduduk dunia. Karena waktu malam sepertiga malam terakhir bergantian di
seluruh dunia, sedang tuhan hanya satu”.
Jawaban:
Penulis sudah pernah
membantah syubhat ini[28], saya katakan waktu itu: Demikianlah jika seorang
telah dimotori oleh akalnya! Mengapakah tuan menggambarkan Allah sedemikian
rupa? Mengapakah tuan tiak pasrah terhadap hadits Rasul yang shahih? Bukankah
Allah berfirman:
Maka demi Tuhanmu, mereka
(pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati
mereka sesuatu keberatan terhadapan keputusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.
(QS. An-Nisa’: 65: )
Imam Bukhari meriwayatkan
dari Imam az-Zuhri bahwasanya beliau mengatakan: “Wahyu itu dari Allah,
Rasulullah hanya menyampaikan, kewajiban kita hanyalaha pasrah dan tunduk”.
[29]
Imam ath-Thohawi berkata:
“Tidaklah selamat seorang hamba dalam agamanya kecuali apabila dia tunduk dan
pasrah terhadap Allah dan RasulNya dan mengembalikan segala kesamaran kepada
Dzat yang maha mengetahui”. [30]
Kewajiban kita dalam
hadits-hadits seperti ini adalah:
Beriman dengan nash-nash yang
shahih.
Tidak bertanya bagaimannya
serta menggambarkannya, baik dalam fikiran, terlebih lagi dalam ungkapan.
Karena hal itu termasuk berkata terhadap Allah tanpa dasar ilmu, sedangkan
Allah tak dapat dijangkau dengan akal fikiran.
Tidak menyerupakan sifatNya
dengan sifat makhluk. Allah berfirman, yang artinya:
Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Maha mendengar dan melihat.
(QS. Asy-Syura: 11)
Apabila kita memahami
kewajiban ini, maka tidak akan ada lagi kerancuan dalam hadits nuzul atau
lainnya yang menerangkan sifat-sifat Allah. Yang penting, jika tibasepertiga
malam terakhir maka Rabb turun ke langit dunia, sebagaimana diberitakan oleh
Nabi”. [31]
FIQIH HADITS
Hadits ini memiliki beberapa
faedah yang banyak sekali. Dalam kitabnya Al-Kawasyif Al-Jaliyyah hal. 451-454,
Syaikh Abdul Aziz Al-Muhammad As-Salman dapat menarik 38 faedah dari hadits di
atas, diantaranya:
1. Ketinggian Allah di atas
arsy-Nya.
Dalam hadits ini terdapat
faedah berharga tentang sebuah aqidah yang banyak dilupakan oleh mayoritas kaum
muslimin saat ini yaitu tentang ketinggian Allah di atas langit. Hal itu
diambil dari lafadz “Turun” karena makna “turun” dalam bahasa adalah dari atas
ke bawah bukan sebaliknya.
Imam Utsman bin Sa’id
ad-Darimi berkata: “Hadits ini sangat pahit bagi kelompok Jahmiyah dan
mematahkan faham mereka bahwa Allah tidak di atas arsy tetapi di bumi
sebagaimana Dia juga di langit. Lantas bagaimanakah Allah turun ke bumi kalau
memang Dia sendiri sudah di atas bumi? Sungguh lafazh hadits ini membantah
faham mereka dan mematahkan argumen mereka”.[32]
Imam Ibnu Abdil Barr berkata:
“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya Allah berada di atas langit, di
atas arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini termasuk salah satu
hujjah Ahli Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang berpendapat
bahwa Allah ada dimana-mana, bukan di atas arsy”. [33]
2. Menetapkan sifat “kalam”
(berbicara) bagi Allah
Faedah ini diambil dari
kandungan hadits: “Barangsiapa yang berdoa kepadaKu maka akan Aku kabulkan…”.
Sifat “kalam” merupakan salah satu sifat yang sempurna dan hakekat (bukan
majaz) bagi Allah. Banyak sekali dalil yang mendukungnya, salah satunya adalah
firman Allah, yang artinya:
Dan Allah telah berbicara
kepada Musa dengan langsung. (QS. An-Nisa’: 164)
Pernah dikisahkan bahwa
sebagian Mu’tazilah pernah datang kepada Abu ‘Amr bin Al-‘Alaa’, salah seorang
pakar ahli qira’ah: Saya ingin agar anda membaca:
وَكَلَّمَ اللهَ مُوْسَى تَكْلِيْمًا
Dengan menashabkan
(menfathah) lafadz Allah, agar supaya yang berbicara (subyek) adalah Musa,
bukan Allah. Abu ‘Amr lantas menjawab: Taruhlah aku membaca ayat ini seperti
itu, lantas apa yang akan kau perbuat dengan firman Allah:
Dan tatkala Musa datang untuk
(munajat kepada kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah
berfirman (langsung) kepadanya. (QS. Al-A’raf: 143)
Akhirnya, seorang Mu’tazilah
itu diam seribu bahasa!. [34]
3. Keutamaan sepertiga malam
terakhir
Malam hari adalah saat
keheningan hati, ketenangan, keikhlasan, dimana
saat itu manusia dalam kelelapan tidur. Oleh karenanya, doa pada saat
itu mustajab, terutama pada malam terakhir.
Allah berfirman, yang
artinya:
Mereka sedikit sekali tidur
di waktu malam. (QS. Adz-Dzariyat: 16-17)
Nabi juga bersabda:
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قَالَ : قِيْلَ لِرَسُوْلِ
اللهِ : أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ : جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرِ وَدُبُرُ
الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ
Dari Abu Umamah berkata:
Ditanyakan kepada Rasulullah: “Doa apakah yang paling mustajab? Beliau
menjawab: “Akhir malam dan penghujung shalat lima waktu”. [35]
Imam Abu Bakar Ath-Thurthusi
berkata dalam: “Sebagai penutup bab ini, tidak pantas bagi seorang yang butuh
kepada Allah kemudian dia tidur di waktu malam terakhir”.[36]
Maka pergunakanlah kesempatan
berharga ini -wahai saudaraku- untuk memperbanyak doa, istighfar dan taubat
sebelum maut menjemputmu.
اغْتَنِمْ فِيْ الْفَرَاغِ فَضْلَ رُكُوْعٍ فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ مَوْتُكَ
بَغْتَةْ
كَمْ صَحِيْحٍ رَأَيْتَ مِنْ غَيْرِ سُقْمٍ ذَهَبَتْ نَفْسُهُ
الْعَزِيْزَةُ فَلْتَةْ
Gunakanlah waktu luangmu
untuk memperbanyak shalat
Barangkali kematianmu datang
tiba-tiba secara cepat.
Betapa banyak orang yang
sehat wal afiat, tiada cacat.
Jiwanya yang sehat
melayang cepat[37].
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Abiubaidah.com
[1]HR. Bukhari: 1145 dan
Muslim: 758.
[2] Sebagaimana dinukil oleh
Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam Kitab As-Sunnah. (Lihat Umdatul Qary 7/199 oleh
Al-‘Ainiy).
[3] Naqdu Utsman bin Sa’id
‘ala Al-Marisi Al-Anid hal. 283
[4] Al-Iqtishad fil I’tiqad
hal. 100
[5] At-Tamhid 3/338
[6] Majmu Fatawa 5/372
[7] Majmu Fatawa 5/382 dan
16/421
[8] Al-Uluw hal. 116
-Mukhtashar Al-Albani-
[9] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah
2/221 -Mukhtashar Al-Mushiliy-
[10] Ash-Sharimul Munki hal.
229
[11] Nadhmul Mutanasir hal.
192
[12] Silsilah Ash-Shahihah
2/716-717 dan Adh-Dha’ifah 8/365
[13] Lihat Mukhtashar Shawaiq
Mursalah Ibnul Qayyim 2/230, Umdatul Qori Al-‘Aini 7/198, Kitab Nuzul
Ad-Daruqutni.
[14] Syarah Hadits Nuzul hal.
69-70.
[15] Asy-Syari’ah 2/93
-Tahqiq Walid bin Muhammad-.
[16] Kitab At-Tauhid wa
Itsbat Shifat Ar-Rabb hal. 125 -Tahqiq Muhammad Khalil Harras-.
[17] At-Tamhid 3/349
[18] Bandingkan dengan buku
“I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah” hal. 272-273 oleh KH. Sirajuddin Abbas,
Pustaka Tarbiyah, cet ke 19 Jakarta 1994. Ironisnya, tatkala penulis ke sebuah
toko buku di Surabaya, ternyata kitab sesat dan menyesatkan ini dicetak ulang
lagi oleh penerbit tersebut dengan cetakan yang baru dan mewah!!!
[19] Perhatikanlah -wahai
saudaraku- para ahli bid’ah memenggal dalil dan tidak menyempurnakannya, karena
lafadz berikutnya akan membungkam fahamnya!! Inikah amanah ilmiyah ataukah ini
perilaku keji kaum Yahudi yang beriman dengan sebagian dan mengkufuri sebagian
lainnya?!.
[20] Taqrib at-Tadmuriyyah
hal 12 oleh Syaih Muhammad bin Shalih Utsaimin.
[21] Fathul Qadir 4/528.
[22] Ucapan mantap ini
mendustakan cerita yang banyak beredar bahwa Ibnu Taimiyah menyerupakan
turunnya Allah dengan turunnya beliau dari mimbar, sebagaimana sering
didengungkan oleh kaum kuburiyyun dan ahli bid’ah, termasuk KH. Sirajuddin
Abbas dalam buku hitamnya I’tiqad Ahli bid’ah hal. 266-267 dan 40 Masalah Agama
2/215-217.
[23] Contoh mudah, tuduhan KH. Sirajuddin Abbas terhadap
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, katanya dalam buku yang sama hal. 262: “Akan tetapi
sangat disayangkan, bahwa beliau terpengaruh dengan faham-faham kaum
Musyabbihah dan Mujassimah, yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk”. Pada hal. 263: “Jadi beliau sebenarnya harus
dimasukkan dalam Bab kaum Mujassimah atau Musyabbihah, karena ada persamaannya
dalam I’tiqad”.
[24] At-Tamhid 3/351.
[25] Termasuk keajaiban
dunia, KH. Sirajuddin Abbas dalam buku hitamnya I’tiqad Ahli bid’ah hal.
271-273 termasuk pembela tahrif makna istawa dengan menguasai, bahkan membantah
para ulama yang mengartikannya secara lahirnya yaitu tinggi, tak cukup hanya
itu dia juga menggap bahwa mereka sesat lagi menyesatkan!!!.
[26] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu
Taimiyah 5/415-417, Mukhtashar Shawaiq Mursalah Ibnu Qayyim 2/221-224, Syarh
Aqidah Wasithiyah Ibnu Utsaimin 2/434-435).
[27] Ta’liq Fathul Bari 3/30.
[28] Dlam makalahnya berjudul
“Membongkar Kebohongan Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah” dimuat dalam
Majalah As-Sunnah edisi 12/Th V/1422 H/2001 M.
[29] Lihat Fathul Bari
13/512).
[30] Lihat Syarah Aqidah
Ath-Thohawiyah hal. 199).
[31] Majmu’ Fatawa wa Maqolat
Syaikh Ibnu Utsaimin 1/216.
[32] Naqdhu Utsman bin Sa’id
‘ala Al-Mirrisi Al-Jahmi Al-Anid hal. 285).
[33] At-Tamhid 3/338. Lihat
pula Kitab At-Tauhid hal. 126 oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Dar’u Ta’arudzil Aqli
wa Naqli 7/7 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
[34] Syarh Aqidah
Ath-Thohawiyah 1/177 oleh Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi, tahqiq Syu’aib
Al-Arnauth. Sebab kata “Rabbuhu” dalam
ayat di atas mesti dan wajib sebagai subyek, tidak mungkin dirubah sebagai
obyek sebagaimana tertera dalam kaidah nahwu. (Lihat Syarh Qathr Nada, Ibnu
Hisyam hal. 182-183).
[35] HR. Tirmidzi: 3499 dan
dihasankan Imam Tirmidzi dan Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 3/442.
[36] Ad-Du’a Al-Ma’tsur wa Adabuhu
hal. 68
[37] Bahjatul Majalis 3/260.