Prof. Dr. Kamaluddin Nurdin Marjuni, MA
Dari paparan sebelumnya, telah diuraikan tentang perbedaan pandangan Syiah dalam teori kemaksuman seorang imam, di mana Syiah Imamiah itsna asyariah dan Syiah Isma’iliyah bathiniah menetapkan akidah sifat ma’shum para imam. Sedangkan Syiah Zaidiyah secara umumnya menolak akidah ini, atau hanya segolongan kecil dari Syiah Zaidiyah yang mengklaim bahwa sifat ma’shum dimiliki oleh ahli al-Kisaa`, maka mereka akui sifat ma’shum terdapat pada diri Nabi saw, Ali bin Abi Thalib, Hasan, Husain, dan Fathimah. Pendapat mereka ini bersandarkan kepada firman Allah swt:
(إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً) الأحزاب: 33
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS. Al-Ahzaab: 33).
Pada hakikatnya -menurut pandangan ahlu sunnah- sesungguhnya iradah Allah (maksud Allah) yang ada dalam ayat tersebut memiliki dua makna, yaitu: iradah syar’iyyah yang mencakup kecintaan dan keridhaan Allah. Dan iradah kauniyyah qadariyyah yang mencakup ciptaanNya dan takdirNya. Maka iradah syar’iyyah adalah sebagaimana yang disebutkan di dalam firmanNya:
(يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ) البقرة: 185
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah: 185).
(وَاللّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُواْ مَيْلاً عَظِيماً) النساء: 27
Dan firmanNya: “Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)” (QS. An-Nisaa`: 27).
(مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ) المائدة: 6
Dan firmanNya: “Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Ma`idah: 6).
Maka iradah (kehendak) Allah taala pada ayat-ayat ini mencakup iradah syar’iyyah (keridhaan Allah). Sedangkan iradah kauniyyah qadariyyah adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala:
(فَمَن يُرِدِ اللّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقاً حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاء كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ) الأنعام: 125
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman” (QS. Al-An’aam: 125).
Dan firmanNya:
(وَلَوْ شَاء اللّهُ مَا اقْتَتَلُواْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ) البقرة: 253
“Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendakiNya” (QS. Al-Baqarah: 253).
Juga firmanNya:
(وَلاَ يَنفَعُكُمْ نُصْحِي إِنْ أَرَدتُّ أَنْ أَنصَحَ لَكُمْ إِن كَانَ اللّهُ يُرِيدُ أَن يُغْوِيَكُمْ هُوَ رَبُّكُمْ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ) هود: 34
“Dan tidaklah bermamfaat kepadamu nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Tuhanmu dan kepadaNya-lah kamu dikembalikan” (QS. Huud: 34).
Perkataan iradah (إِرَادَةْ) memiliki banyak sinonim seperti: (مَشِيْئَةْ), (إِخْتْيَارْ), (رَغْبَةْ), perkataan tersebut boleh diartikan sebagai: kehendak, kemauan, dan keinginan[1]. Dan mengenai maksud iradah, Ibnu Taimiyah menegaskan dalam kitabnya “Minhaj al-Sunnah” bahwa yang dimaksukan adalah sesuatu yang berkaitan dengan kejadian dan peristiwa yang ia kehendaki, dan apa saja yang dikehendaki oleh Allah pasti akan terjadi atau terlaksana[2].
Jadi, iradah yang terdapat dalam firmanNya swt:
(إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً) الأحزاب: 33
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS. Al-Ahzaab: 33), adalah masuk ke dalam iradah yang jenis pertama atau “iradah syari’iyyah” yang mencakup kecintaan dan keridhaan Allah Swt. Dan tidak seperti yang dibayangkan oleh kelompok Syiah bahwa iradah di sini adalah iradah kauniyyah qadariyyah atau yang bersifat kejadian dan peristiwa dan pasti terjadi apabila Allah berkehendak. Yang menguatkan lagi makna iradah yang pertama (iradah syar’iyah) adalah setelah ayat di atas diturunkan, Rasulullah saw panjatkan doa untuk para keluarganya:
(اَللَّهُمَّ هَؤُلاَءِ أَهْلُ بَيْتِيْ، فَاذْهَبْ عَنْهُم الرِّجْسَ، وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا )
“Ya Allah, mereka itu adalah keluargaku, maka hilangkan dosa dari mereka, dan sucikanlah mereka dengan sesuci-sucinya”[3]. Maka Rasulullah saw memohon hal ini kepada Allah. Jika sekiranya ayat di atas bermaksud “iradah kauniyyah” yang pasti akan terjadi dan terwujud, maka pasti tidak memerlukan lagi doa dari Rasulullah saw[4].
Perlu disebutkan di sini, bahwa iradah syar’iyyah yang berarti kecintaan dan keridadhaan Allah dalam menghilangkan dosa dari ahlul bait dengan cara menyucikan mereka, sebenarnya tidak memberikan dalil bagi adanya sifat ma’shum orang-orang yang dimaksud dengan ayat di atas. Sebab tidak akan dikatakan kepada orang yang suci “sesungguhnya aku ingin mensucikan orang yang suci”, karena orang yang sudah suci tidak perlu didoakan lagi kesuciannya, Jika ayat tersebut mengandung “kemaksuman” niscaya lafadz ayat akan berbunyi lain, yaitu: (أَذْهَبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ) ” Allah telah menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait”[5]. Jadi tanpa diiringi dengan afadz “iradah”, atau sebagaimana teks asal ayat, yaitu: (يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ) “Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait”.
Di samping itu, jika penyucian dan penghilangan dosa tersebut dijadikan sebuah dalil bagi pensifatan ma’shum terhadap seseorang, atau memberikan pemahaman kepada sifat ma’shum, maka seharusnya para sahabat Rasulullah Saw layak dianggap ma’shum, terutama mereka yang ikut serta berjihad dalam peperangan Badar. Karena Allah swt berfirman mengenai mereka:
(وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ) المائدة: 6
” Tetapi Dia (Allah) hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu” (QS. Al-Maa`idah: 6).
Dan firmanNya:
(لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ وَيُذْهِبَ عَنكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَى قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الأَقْدَامَ) الأنفال: 11
“Untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan” (QS. Al-Anfaal: 11).
Nampak jelas bahwa kesempurnaan nikmat Allah bagi para sahabat adalah suatu tambahan karamah[6]. Dan kesempurnaan nikmat merupakan dalil yang paling kuat bagi sifat ma’shum mereka. Karena penyempurnaan nikmat tidak dapat terjadi tanpa terpelihara dari berbagai kemaksiatan dan kejahatan setan. Jika begitu, maka ayat:
(إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً) الأحزاب: 33
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” ini tidak dapat memberikan makna sifat ma’shum kepada ahlul bait. Dengan demikian ayat di atas yang dijadikan dalil bagi sifat ma’shum para imam menjadi batal.
Pada sisih lain, imam al-Juwaini juga mengkritik propaganda Syiah mengenai sifat ma’shum imam mereka. Dia melihat bahwa Ali beserta Hasan, Husain, dan keturunan keduanya tidak pernah mengaku diri mereka memiliki sifat ma’shum dan suci dari perbuatan dosa. Bahkan mereka mengakui dosa-dosa yang mereka pernah lakukan secara rahasia dan terang-terangan. Dan mereka memohon keampunan kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan kerendahan hati, dan Jika Syiah mendakwah bahwa para nabi juga memohon ampunan kepada Allah –meskipun mereka memiliki sifat ma’shum-. Maka kami jawab: pendapat yang kami yakini dan percayai adalah, bahwa para nabi tidak memiliki sifat ma’shum dari dosa-dosa yang kecil, dan berbagai ayat Alquran yang menceritakan berbagai kisah para nabi penuh dengan teks mengenai kesalahan kecil atau dosa kecil yang mereka lakukan, yang mengakibatkan umur mereka dihabiskan untuk memohon ampun kepada Allah atas kesalahan mereka”[7].
Kemudian imam al-Juwaini memberikan dalil yang membuktikan bahwa para imam Syiah tidak memiliki sifat ma’shum. Di antaranya adalah:
– Pertama: sesungguhnya seorang imam tidak mampu menguruskan semua tugas yang berkaitan dengan semua kaum muslimin di penjuru dunia, baik yang berada di timur ataupun di barat. Jadi tidak ada jalan lain selain mengangkat para wali dan pemimpin untuk menguruskan berbagai perkara pajak dan sedekah, serta harta Allah yang lainnya. Sehingga tugas yang ditanggung oleh seorang imam untuk menguruskan perkara kaum muslimin menjadi sedikit. Dan para pemimpin yang dilantik imam menguruskan perkara kaum muslimin di penjuru dunia tidak wajib memiliki sifat ma’shum. Jadi menjadi batil apa yang mereka katakan. Maka seorang imam tidak memerlukan sifat ma’shum, dan pemimpin yang dia lantik juga tidak disyaratkan memiliki sifat ma’shum.
– Kedua: sesungguhnya orang yang menyerukan sifat ma’shum para imam berkata: “اَلتَّقِيَّةُ دِيْنُنُا وَدِيْنُ آبَائِنَا”, “taqiyah adalah agama kami, dan agama nenek moyang kami”. Taqiyyah adalah bentuk penyembunyian hakikat seseutu, sehingga mereka wajibkan para imam untuk mengucapkan kalimat dusta dalam bentuk taqiyyah, serta menampakkan perkara yang bertentangan dengan apa yang mereka yakini. Jika begitu keadaan mereka, bagaimana perkataan mereka dapat dipercaya, sedangkan mereka membolehkan menampakkan perkara yang bertentangan dengan apa yang mereka sembunyikan. Dan tujuan mereka dengan mensyaratkan sifat ma’shum imam adalah untuk mengikuti semua yang didatangkan dan dilarang oleh para imam. Jika perkataan mereka tidak dapat dipercaya, bagaimana sifat ma’shum boleh wujud dalam perbuatan mereka? Dan jika dibolehkan berdusta dalam ucapan sebagai taqiyah, maka boleh juga melakukan kesalahan dalam perbuatan sebagai suatu taqiyah juga.
– Ketiga: sesungguhnya para nabi wajib memiliki sifat ma’shum berdasarkan berbagai dalil mu’jizat mengenai kebenaran ucapan mereka. Jika orang yang mengaku sebagai nabi tidak memiliki keistimewaan yang berupa tanda yang memukau, serta hujjah yang luar biasa yang membedakannya dengan para pendusta, maka kenabian mereka pasti tidak akan dapat diterima. Jadi yang menjadi sandaran kenabian adalah mu’jizat. Sedangkan para imam, tidak disandarkan apa-apa kepadanya, sehingga kemungkinan melakukan berbagai tindakan kesalahan. Jika kita akui kebenaran pilihan, serta mustahil …jadi penyandaran imamah adalah kepada kenabian, dan penyandaran kenabian adalah kepada mu’jizat[8].
Ibnu Taimiyah mengkritik pendapat Syiah mengenai sifat ma’shum para imam. Dia melihat bahwa sebenarnya sifat kemaksuman imam yang diyakini oleh mereka sangat aneh, sebab menyamakan kemaksuman para Nabi yang dengan sifat ma’shumnya mewajibkan umat untuk ikut pada semua ucapannya, dan tidak boleh menyalahi ucapannya sedikitpun. Dan ini adalah keistimewaan yang khas diberikan hanya kepada para nabi. Oleh karena itu kita diperintahkan untuk meyakini apa yang diturunkan kepada para nabi. Allah taala berfirman:
(قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ) البقرة: 136
“Katakanlah (hai orang-orang mu’min): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’kub dan anak cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan ‘Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari TuhanNya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah: 136). Ayat ini menjelaskan tentang perintah beriman kepada ajaran yang dibawa oleh para nabi. dan hal ini telah disepakati oleh semua kaum muslimin. Oleh karena itu tiada keimanan yang diwajibkan setelah diutus Nabi Muhammad Saw[9].
Di tempat yang lain, Ibnu Taimiyah mengajukan beberapa dalil dari al-Qur`an al-Karim mengenai kebatilan akidah ‘ishamh dalam ideologi Syiah. Yaitu seperti firmanNya:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ) النساء: 59
“ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya)” (QS. An-Nisaa`: 59). Melalui ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengembalikan suatu perselisihan kepada Allah dan RasulNya. Dan jika ada manusia yang selain Rasulullah saw memiliki sifat ma’shum, maka Allah pasti memerintahkan manusia untuk mengembalikan perselisihan kepadanya; namun tidak wujud orang selain Rasulullah, maka ayat al-Qur`an ini memberikan dalil bahwa tidak ada orang yang ma’shum selain Rasulullah saw[10].
Juga firmanNya:
(وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَـئِكَ رَفِيقاً) النساء: 69
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (QS. An-Nisaa`: 69).
Juga firmanNya:
(وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَاراً خَالِداً فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ) النساء: 14
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasulnya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya” (QS. Al-Jin:23).
Menurut Ibnu Taimiyah beberapa ayat di atas dan banyak lagi ayat lain menunjukkan bahwa barang siapa yang mentaati Rasulullah saw berarti ia termasuk ke dalam golongan orang yang berbahagia dan mendapatkan nikmat. Dan untuk masuk ke dalam golongan orang yang berbahagia tidak disyaratkan menta’ati orang ma’shum selain Rasulullah Saw, dan orang yang membangkang terhadap Rasulullah saw termasuk ke dalam golongan orang yang diberikan ancaman. Para ulama telah sepakat bahwa ucapan semua orang boleh diterima dan tidak diterima, kecuali ucapan Rasulullah saw yang wajib dipercayai seutuhnya atas segala yang beliau beritahukan, dan wajib diikuti perintahnya, serta dijauhi segala larangannya. Dan dalam menyembah Allah wajib mengikuti cara yang diajarkan beliau. Sesungguhnya beliau adalah orang yang ma’shum yang tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu, tetapi beribicara sesuai dengan wahyu yang diturunkan kepada[11].
Perlu diperhatikan, bahwa kitab Nahju al-Balaghah[12] merangkum beberapa ucapan yang memberikan indikasi ketiadaan sifat ma’shum bagi imam. Yaitu ucapan imam Ali ra dalam do’anya:
“اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِي مَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي، فَإِنْ عُدْتُ فَعِدْ عَلَىَّ بِالْمَغْفِرَةِ، اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِي مَا وَأَيْتُ مِنْ نَفْسِيْ وَلَمْ تَجِدْ وَفَاءً عِنْدِيْ، اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِي مَا تَقَرَّبْتُ بِهِ إِلَيْكَ بِلِسَانِي ثُمَّ خَالَفَهُ قَلْبِيْ، اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِي رَمَزَاتِ الْأَلحْاَظِ، وَسَقَطَاتِ الْأَلْفَاظِ، وَسَهَوَاتِ الْجَنَانِ، وَهَفَوَاتِ اللِّسَانِ”
“Ya Allah, ampunilah aku pada perkara yang Engkau lebih mengetahuinya dibandingkan aku. Jika aku kembali maka kembalikanlah aku dengan keampunan. Ya Allah ampunilah aku pada apa yang aku simpan dalam diriku dan tidak dapat aku penuhi. Ya Allah ampunkanlah aku pada apa yang aku dekatkan Engkau dengan lisanku kemudian hatiku menyalahinya. Ya Allah ampunilah aku pada sekilas pandangan, kesalahan ucapan, kelalaian perbuatan, dan kekeliruan ucapan”[13].
Di tempat lain imam Ali mengatakan kepada para sahabatnya:
“فَلاَ تَكُفُّوا عَنْ مَقَالَةٍ بِحَقٍّ، أَوْ مَشُورَةٍ بِعَدْلٍ، فَإِنِّي لَسْتُ فِي نَفْسِي بِفَوْقِ أَنْ أُخْطِئَ، وَلاَ آمَنُ ذَلِكَ مِنْ فِعْلِي، إِلاَّ أَنْ يَكْفِيَ اَللَّهُ مِنْ نَفْسِي مَا هُوَ أَمْلَكُ بِهِ مِنِّي، فَإِنَّمَا أَنَا وَأَنْتُمْ عَبِيدٌ مَمْلُوكُونَ لِرَبٍّ لاَ رَبَّ غَيْرُهُ، يَمْلِكُ مِنَّا مَا لاَ نَمْلِكُ مِنْ أَنْفُسِنَا وَ أَخْرَجَنَا مِمَّا كُنَّا فِيهِ إِلَى مَا صَلَحْنَا عَلَيْهِ فَأَبْدَلَنَا بَعْدَ اَلضَّلاَلَةِ بِالْهُدَى وَ أَعْطَانَا اَلْبَصِيرَةَ بَعْدَ اَلْعَمَى”
“Jangan sampai kalian berhenti mengucapkan perkataan yang benar, atau melakukan musyawarat dengan adil. Sesungguhnya diriku tidak terlepas dari kesalahan, juga tidak terbebas dari perbuatan yang salah. Sesungguhnya aku dan kalian adalah hamba bagi Allah yang tiada tuhan yang selainNya. Dia miliki pada diri kita apa yang tidak kita miliki. Dan Dia keluarkan kita dari perkara yang tidak baik kepada perkara yang berguna untuk kita. Maka Dia gantikan kesesatan dengan petunjuk. Dan Dia berikan kita penglihatan setelah kita mengalami kebutaan”[14].
Dari kedua ucapan imam Ali di atas, dapat dipahami bahwa ia telah mengakui dosa dan kesalahan-kesalahan yang dilakukannya, dan dengan tegas ia meminta ampunan kepada Allah dari segala kekhilafannya.
Jika memang diandaikan terjadi kezaliman dan tindakan dosa yang dilakukan oleh para khalifah -Abu Bakar, Umar dan Utsman- maka bagaimanapun juga mereka lebih baik dibandingkan seorang imam yang “ghaib” tidak wujud, atau menghilang. Sesungguhnya ahli sunnah mengakui kejujuran para imam yang diakui oleh kelompok Syiah, seperti Ali bin Husein dan anaknya, Ja’far bin Muhammad dan yang lainnya, sebagaimana halnya pengakuan ahli sunnah kepada para ulama seperti Hasan al-Bashri, Sa’ad bin al-Musayyab, dan ulama dari kelompok tabi’in tabi’in yang lainnya. Karena mereka semua adalah para ulama yang terpercaya. Dan standar pengakuan terhadap keulamaan mereka adalah, karena mereka adalah ulama yang terpercaya, yang menyebarkan ilmu, dan mereka merupakan orang yang mulia dan baik[15].
Qadhi Abdul Jabbar menilai bahwa keyakinan terhadap ‘ishmah imam merupakan keyakinan yang lahir belakangan dan tidak memiliki asas yang kuat, akidah ini tidak ada pada zaman sahabat, melainkan didedahkan oleh Hisyam bin al-Hakam[16]. dan ia bukanlah dari Ahli kiblat[17].
Patut untuk diberikan perhatian, bahwa meskipun sebagian Syiah Zaidiyah memiliki pendapat bahwa imam memiliki sifat ma’shum, sebagaimana yang sering dipaparkan sebelumnya, namun hal ini tidak mengurangi upaya mereka untuk mengkritik pendapat Syiah Imamiyah dan Syiah Isma’iliyah bathiniah dalam masalah ini. Karena mayoriti ulama Syiah Zaidiyah sendiri telah menafikan sifat ma’shum tersebut, dan yang ma’shum hanyalah Ahli Kisa, yaitu: Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, Oleh karena itu, sejumlah ulama[18] memutuskan dan menegaskan bahwa semua Syiah Zaidiyah tidak mensyaratkan sifat ma’shum bagi imam dalam menjabat kepimpinan (imamah).
Ketegasan ini sebenarnya keliru, sebab telah dipaparkan secara mendalam bahwa terdapat sebagian dari kalangan ulama Syiah Zaidiyah menetapkan kemaksuman imam, dengan demikian menghukum Syiah Zaidiyah secara menyeluruh (general) bahwa mereka tidak mengakui adanya sifat ma’shum adalah tidak benar dan tidak ada landasannya.
Pada sisih lain, syaikh Ali Asfour menafikan Syiah Zaidiyah sebagai salah satu golongan atau puak Syiah, pendapat ini didasari, karena ia melihat Syiah Zaidiyah tidak mengakui kema’shuman imam. Baginya Syiah yang benar-benar mensyaratkan sifat ‘ishmah adalah Syiah Imamiah dan Syiah Isma’iliah[19].
Pada kesimpulannya, sikap fanatik Syiah Imamiah dan Syiah Isma’iliyah telah mendorong mereka untuk menciptakan idea mengenai sifat ‘ishman para imam mereka. Di samping itu, mereka serta merta menghilangkan segala sifat-sifat yang dapat memberikan imej yang buruk kepada para imam. Bahkan boleh dikatakan bahwa Syiah Imamiah dan Syiah Isma’iliyah telah menghilangkan sifat kemanusiaan dari para imam, dan mengangkat mereka kepada tingkatan yang suci, bersih dari segala noda dan dosa, kecil atau besar. Bagaimanapun juga, sesungguhnya pelabelan sifat ma’shum kepada para imam mereka bertujuan agar mereka dapat mengarahkan manusia tanpa mendapatkan penentangan atau perlawanan, karena mereka disejajarkan dengan Nabi saw. Jadi melanggar perintah imam sama dengan melanggar perintah Nabi saw, yang dapat menyebabkan orang yang melanggar perintah tersebut dianggap keluar dari agama islam.
[1] Lih: DR. Kamaluddin Nurdin, Syawarifiyyah –kamus sinonim Arab-Melayu-, hal 40, Ciputat Press, Jakarta-Indonesia, 2009.
[2] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 18/132.
[3] Ini adalah hadits gharib, yang diriwayatkan oleh ‘Atha bin Abi salmah, dan diriwayatkan oleh at-Tirmizi dalam kitab Sunan at-Tirmizi, kitab: Tafsir al-Qur`an ‘An Rasulillah, bab: Wa Min Surah al-Ahzaab, 5/251, no 3205.
[4] Lih, az-Zahabi, 1374H, al-Muntaqa Min Minhaj al-I’tidal, hal 428, Kairo, al-Mathba’ah as-Salafiyyah.
[5] As-Sayyid Mahmud Syukri al-Alusi, Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna Asyariyah, hal 152-153.
[6] Karamah dalam bahasa Melayu disebut “keramat”, ia adalah peristiwa dan kejadian di luar kebiasaan manusia yang Allah berikan kepada seorang hamba tanpa disertai pengakuan (pemiliknya) sebagai seorang nabi, keunikan keramat ini terjadi tanpa pendahuluan tertentu berupa doa, bacaan, ataupun dzikir khusus, yang terjadi pada seorang hamba yang shalih, baik dia mengetahui terjadinya (karamah tersebut) ataupun tidak, dalam rangka mengukuhkan hamba tersebut dan agamanya. Mengenai kepercayaan ini, Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Dan termasuk dari prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini adanya Keramat para wali dan apa-apa yang Allah perbuat dari keluar biasaan melalui tangan-tangan mereka baik yang berkaitan dengan ilmu, mukasyafat (mengetahui hal-hal yang tersembunyi), bermacam-macam keluar biasaan (kemampuan) atau pengaruh-pengaruh.”lihat: Ibnu Taimiah, Syarah Aqidah Al Wasithiyah hal.207.
[7] Al-Juwaini, 1300H, Ghiyyaats al-Umam Fit-Tayyaats azh-Zhulm, hal 91-94, tahqiq: Abdul Azhim ad-Dib, asy-Syu`un ad-Diniyyah, Doha-Qatar.
[8] Al-Juwayni, Ghiyats al-Umam Fit-Tayyats azh-Zhulm, hal 91-94.
[9] Ibnu Taimiyah, Minhaj as-Sunnah, 3/174.
[10] Ibnu Taimiyah, Minhaj as-Sunnah, 2/105.
[11] Ibnu Taimiyah, Minhaj as-Sunnah, 3/153.
[12] Kitab Nahjul al-Balagha adalah berisikan himpunan khutbah, surat dan berbagai ucapan yang disandarkan kepada imam Ali r.a. penghimpunnya bernama Sharif al-Radi yang meninggal pada tahun 406H. Kitab ini juga merupakan antara salah satu rujukan syiah yang popular.
[13] Nahju al-Balaghah, 1/127.
[14] Nahju al-Balaghah, 1/436-437.
[15] Lih, Ibnu Taimiyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, 2/134, dst, DR. Muhammad Abdul Qadir, 2003M, Malamih al-Fikr al-Islami, hal 270, Iskandariah-Mesir, Dar al-Ma’rifah al-Jami’ah.
[16] Hisyam al-Hakam adalah salah seorang perawi hadits-hadits Syiah, dan menyatakan bahwa Allah berjisim atau memiliki jasmani, di samping itu ia juga menghadkan sifat-sifat Allah yang maha sempurna itu dengan menyatakan ilmu Allah itu terhad, dalam kitab “Ushul al-Kafi” karangan al-Kulaini disebutkan dengan sanadnya dari Hasan bin Abdurrahman Al-Hammani berkata, “Aku berkata kepada Abul Hasan Musa bin Ja’far ‘alaihis salam, “Sesungguhnya Hisyam bin Al-Hakam menyangka bahwa Allah memiliki jasmani, tidak ada yang menyerupaiNya dengan sesuatu apapun, mendengar, melihat, mampu, berbicara, pembicaraan, kekuatan, ilmu, beredar, menyatu, tidak satupun dari makhluk.” Maka (Musa bin Ja’far) menjawab, “Semoga Allah memeranginya, apakah dia tidak tahu bahwa jasmani itu terbatas, dan pembicaraan bukan sang pembicara, aku berlindung kepada Allah. Aku berlindung kepada Allah dari perkataan ini…” Lihat Ushul al-Kafi: 1/105-106.
Dari kenyataan riwayat ini, seorang ulama teologi Syiah Imamiah bernama syekh al-Mufid membantah akidah tajsim yang dibawa oleh Hisyam al-Hakam dan dimasukkan dalam ajaran Syiah, ia berakta: “Hisyam bin al-Hakam adalah seorang Syiah walaupun dia menyalahi Syiah di dalam Nama-nama Allah dan makna-makna sifat Allah”, dan bagi syekh al-Mufid ini adalah akidah yang melampau (ekstrim), dan bagi pengikut ideologi ini digolongkan sesat bahkan kafir. Al-Mufid, Awail al-Maqalat, 238.
[17] Lih, al-Qadhi Abdul Jabbar, Tatsbiit Dalaa`il an-Nubuwwah, 22, Darul ‘Arabiah, Beirut-Lebanon.
[18] Di antara mereka adalah as-Sayyid Mahmud al-Alusi dalam kitabnya “Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna Asyariyah, dan Muhammad bin al-Hasan ath-Thusi dalam kitabnya “al-Iqtishad Fima Yata’allaq bil-I’tiqad-.
[19] Ali Asfour, Syubahat Hawla at-Tasyayyu’, hal 6, 57.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya