بـسم الله الرحمٰن الرحيم
Apa yang terjadi dalam ummat Islam akhir-akhir ini
merupakan sebuah gambaran betapa kiamat semakin dekat. Aqidah semakin rusak,
dan banyak sekali pertentangan-pertentangan dalam masalah syariat. Dengan dalih
berfikir yang logis dan sesuai akal itu yang diterima.
Contoh pada saat ini adalah adanya aliran-aliran yang
mengakui dirinya sebagai Ahlussunnah Wal Jama'ah yang dengan senang berbicara
Agama tanpa Ilmu, bahkan tak tanggung-tanggung berbicara TENTANG ALLAH TANPA
ILMU. Memang benar memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim
dan muslimah. Rasulullah Shallallohu ‘Alaihi wassallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim.
[HR. Ibnu Majah No: 224, dan lainnya dari Anas bin Malik]
Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh
di dalam kitabNya, Al Quranul Karim, dan disabdakan oleh RasulNya di dalam
Sunnahnya (Baik melalui Perkataan/Qoul, Perbuatan, ataupun Taqrir/Ketetapan
dari Rasulullah). Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat berbahaya
adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RasulNya.
Alloh Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا
ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن
تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى
اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan)
mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara
tentang Allah tanpa ilmu)” [Al-A’raf: 33]
- Ibnul Qayyim -Rahimahullah- ketika menjelaskan ayat
di atas mengatakan, “Allah mengurutkan keharaman menjadi empat tingkatan. Allah
memulai dengan menyebutkan tingkatan dosa yang lebih ringan yaitu al fawaahisy/
الْفَوَاحِشَ (perbuatan keji). Kemudian Allah menyebutkan
keharaman yang lebih dari itu, yaitu melanggar hak manusia tanpa jalan yang
benar. Kemudian Allah beralih lagi menyebutkan dosa yang lebih besar lagi yaitu
berbuat syirik kepada Allah. Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih
besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan
berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan
shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari’at-Nya.”
- Syaikh 'Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz
-Rahimahullah- berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara
terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi
daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan
perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling
tinggi.
Dan berbicara tentang Allah tanpa ilmu meliputi:
berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya.
Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih
besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.”
[Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah
Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit: Dar Ibnil
Qayyim]
Mengapa bisa dikatakan demikian? Karena berbicara
tentang Allah dan agama-Nya tanpa dasar ilmu akan membawa pada dosa-dosa yang
lainnya.
Sebagai Contoh, Berbicara Tentang Allah Tanpa Ilmu
bisa mengakibatkan kepada kesyirikan, hal ini sudah terbiasa terjadi di dalam
tubuh umat ISLAM itu sendiri. Dalam memaknai kalimat Syahadat Memahami makna لاَ إِلهَ إِلاَّ الله dengan makna "Tiada Tuhan Selain Allah"
yaitu menyelewengkan makna Uluhiyyah pada kata إِلهَ dengan makna Rububiyyah, sehingga menjadikan
manusia ada tuhan-tuhan lain selain Allah sehingga mereka berbuat syirik. Yang
seharusnya makna tersebut adalah seperti perkataan dari Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah Rahimahullah, اَلإلَهُ adalah Dzat yang diibadahi lagi ditaati. Al Imam Ibnul Qoyyim
Rahimahullah berkata : اَلإلَهُ adalah Dzat yang hati ini rela untuk beribadah kepada-Nya
dengan penuh kecintaan, pemujaan, kepasrahan, pemuliaan, pengagungan,
pengabdian, perendahan diri, ketakutan dan harapan serta penyerahan diri.
[lihat Taisirul ‘Azizil Hamid hal.75]
Adapun bila ditinjau dari rangkaian kata secara utuh,
maka maknanya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab dalam kitab Ats Tsalatsah Al Ushul yaitu :
لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله “Tiada sesembahan (Tuhan) yang berhak diibadahi
melainkan Allah semata. لاَإِلهَ sebagai nafyu (peniadaan) atas segala apa yang diibadahi selain
Allah, إِلاَّالله sebagai itsbat (penetapan) bahwa seluruh ibadah hanyalah milik
Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dalam hal ibadah ini sebagaimana tiada
sekutu bagi-Nya dalam hal kekuasaan.”
SEHINGGA PENOLAKAN (PENGINGKARAN) NYA DARI BEBERAPA
ASMA' DAN SIFAT ALLAH CARA DAN GAYA JAHMIYYAH TERSEBUT. [CARA DARI MU'ATTILAH].
Wal 'Iyyadzubillah....
Begitu juga tentang PENOLAKAN TENTANG AL-’ULUWW DAN
AL-ISTIWAA `DAN AL-’ARSY CARA JAHMIYYAH [A'udhubillaah!] yaitu jika Allah ada
di Atas 'Arsy maka Allah brsifat HULUL (Menyatu dengan Makhluknya) dan juga
Jabr (manusia tidak memiliki kehendak bebas - dipaksa untuk bertindak). [Cara
dari Jabariyyah].
Begitu pula perjuangan gigih para ulama’ salaf dalam
membela aqidah dari qoncangan faham-faham hitam Jahmiyyah sangatlah kuat,
sehingga begitu banyak kitab para ulama yang berjudul “Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah”
[Bantahan Terhadap Jahmiyyah] seperti yang ditulis oleh Imam Ahmad bin Hanbal,
Utsman bin Sa’id Ad-Darimi, Ibnu Mandah, Ibnu Baththah dan lain sebagainya.
Sungguh benar Imam Ibnu Qayyim rahimahullah yang telah
berkata,“Pertempuran antara ahli hadits dengan kelompok Jahmiyyah lebih dahsyat
daripada pertempuran antara pasukan kafir dengan pasukan Islam”.[Ijtima’
Al-Juyusy Al-Islamiyyah hal. 96]
Na'am, inilah mengapa Dosa "BERBICARA TENTANG
ALLAH TANPA ILMU" lebih besar daripada DOSA SYIRIK.. Yang dengannya yang
apabila ia berbicara tentang Allah tanpa ilmu mengakibatkan dosa-dosa besar
yang lainnya tertarik... Jadi tak heran apabila banyak sebagian kamu muslimin
yang penyembah kubur dan lain sebagainya. karena dari hal yang ushul saja sudah
menyimpang tentu cabang-cabangnya lebih menyimpang.
Bahayanya berbicara tentang Allah tanpa Ilmu:
1. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta
atas (nama) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ
الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ
إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. [QS. An-Nahl :
116]
2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan
kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا
يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ
حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً
فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari
hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para
ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun,
orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu
ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan
menyesatkan orang lain. [Bukhari No:100, Muslim, dan lainnya]
3. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap
mengikuti hawa-nafsu.
Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah
berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah
mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ
هُدًى مِّنَ اللهِ
Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun
[Al-Qashshash:50]” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah,
hal: 393)
4. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap
mendahului Allah dan RasulNya.
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ
يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [QS. Al-Hujuraat: 1]
5. Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu
menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah
orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia menanggung
dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wassallam:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ
مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ
تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia
mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu
tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada
kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang
mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. [Muslim no:2674,
dari Abu Hurairah]
7. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai
tanggung-jawab.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. [QS. Al-Isra’ : 36]
8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu
termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.
Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami Rahimahullah
menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan
haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”.
Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman
Allah di bawah ini:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ
فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. [QS. Al
Maidah: 4]
9. Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di
dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah
Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”.
[Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]
10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah
syaithan.
Allah berfirman:
إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن
تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat
jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui. [QS.
Al Baqoroh:169]
Semoga hal ini sebagai nasehat bagi kita semua, termasuk
juga diri saya. Begitu banyak kita lihat saudara-saudara kita memberi komentar
dalam masalah agama, padahal tidak ada satu pun dasar dari Al Qur’an dan Hadits
yang ia bawa, bahkan mereka jarang mempelajari agama tetapi sangat nekad dan
berani untuk memberi komentar. Semestinya setiap muslim selalu menjaga lisan
dan perkataan. Seharusnya setiap muslim yang tidak memiliki ilmu agama diam dan
tidak banyak bicara daripada banyak komentar sana-sini tanpa dasar ilmu sama
sekali.
Wallahu a’lam bish showwab. Semoga bermanfaat bagi
sesama.....
الحمدلله رب العٰلمين
2.Bahaya Bicara Agama
Tanpa Ilmu
Memahami ilmu agama merupakan kewajiban
atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam
bersabda: طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap
muslim. …
By Muslim Atsary
Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap
muslim dan muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim.
[HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh
Syeikh Al-Albani]
Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh
di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan disabdakan oleh RosulNya di dalam
Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat berbahaya adalah
berbicara masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RosulNya.
Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami
sampaikan di antara bahaya berbicara masalah agama tanpa ilmu:
1.Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan
oleh Allah.
Alloh Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا
ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن
تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى
اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan)
mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara
tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)
Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh
berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang
diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada
kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan
perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling
tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi:
berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya.
Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih
besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan
kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah
Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta
atas (nama) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ
الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ
إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16):
116)
3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan
kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا
يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ
حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً
فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari
hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para
ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun,
orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu
ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan
menyesatkan orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak
berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa ilmu, dan
mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Alloh halalkan
dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia
ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia sesat dan
menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu
Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul Asybal Az-Zuhairi)
4.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap
mengikuti hawa-nafsu.
Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh
berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah
mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ
هُدًى مِّنَ اللهِ
Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun
(Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah,
hal: 393)
5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap
mendahului Allah dan RasulNya.
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا
بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)
Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh
berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh dan RosulNya, juga pengagungan,
penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah memerintahkan kepada para
hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap Alloh dan RosulNya,
yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-laranganNya.
Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di
dalam seluruh perkara mereka. Dan agar mereka tidak mendahului Alloh dan
RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Alloh berkata, dan
janganlah mereka memerintah, sampai Alloh memerintah”. (Taisir Karimir Rahman,
surat Al-Hujurat:1)
6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu
menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah
orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia menanggung
dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi
wassallam:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ
مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ
تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia
mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu
tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada
kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang
mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim
no:2674, dari Abu Hurairah)
7.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai
tanggung-jawab.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat
ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka
sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu
(berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.”
(Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)
8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu
termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.
Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Fashal:
Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa
tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau
membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah
ini:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ
فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)
9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di
dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam
(Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi
kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]
10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah
syaithan.
Allah berfirman:
إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن
تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat
jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS.
2:169)
Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa
yang ingin bebicara masalah agama hendaklah dia belajar lebih dahulu. Kemudian
hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan ilmu. Wallohu a’lam bish showwab.
Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari
Artikel www.muslim.or.id