Dokumentasi Mantan Presiden
Iran Ahmadinejad saat bertemu ulama Al Azhar, di mana Al Azar melarang Syiah
mengembangkan diri di negeri Sunni
Taqrib Sunni – Syiah Gagasan
Usang Yang Diulang
Selasa, 10 November 2015 -
10:00 WIB
Lembaga taqrib al-Azhar telah lama mati, karena
terbukti terkuak taqiyahnya Al-Qummi
Oleh: Fahmi
Salim
BELUM lama ini, Koran Republika, hari Ahad 8
November 2015 hal. 18 di rubrik Islam Digest, mengangkat kembali soal Taqrib (penyatuan)
antara Sunni dan Syiah dengan judul Sunni dan Syiah Bersatu, Mungkinkah?
Sebenarnya, ide ini adalah gagasan usang yang terus
diulang-ulang. Di bawah ini adalah empat hal yang membuktikan gagasan itu sangat
usang dan penulisnya tidak melihat perkembangan terbaru.
Pertama, tulisan itu hanya mengulang lagu lama Dr
Quraish Shihab, cuma sedikit diupgrademenggunakan
buku terbitan Libanon karya Prof Dr Musthafa ar-Rifa’i lewat kitab bertajukIslamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa
asy-Syi’ah, sebab kalau
mengacu ke buku Quraish Shihab maka para pembaca sudah paham gagasan yang
sesungguhnya basi.
Apalagi tim penulis Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan
Jawa Timur sudah pernah membantahnya secara ilmiah dengan judul, ”Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah?
Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan!
Mungkinkah?)”. [baca:
”Persatuan Sunnah-Syiah: Mungkinkah”]
Kesalahan
kedua, tulisan itu memposisikan Imam Ja’far Shadiq sebagai
tokoh Syiah dan juga Imam Zaid bin Ali, padahal keduanya adalah imam Ahlus
Sunnah wal jamaah.
Untuk lebih jauh membuktikan ke-sunnian Imam Ja’far
dan jauhnya akidah beliau dari klaim Syiah silakan baca buku biografi Imam
Ja’far yang ditulis oleh sarjana ahli tafsir jebolan Universitas al-Azhar, Dr.
Muchlis M Hanafi yang diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati.
Ketiga, informasi
yang tidak update, bahwa lembaga taqrib di Al-Azhar sudah lama non aktif karena
banyak ditentang oleh para ulama besar Al-Azhar sendiri seperti Syeikh Muhammad
Arafah (anggota Hai’ah Kibar Ulama Azhar), Syeikh Hasanain Makhluf (mantan
Mufti Agung Mesir), Syeikh Gad elHaq Ali Gad elHaq, mantan Grand Syeikh
al-Azhar, Dr. Abdul Mun’im Annimr (mantan Wakil Grand Syeikh al-Azhar dan
Menteri Wakaf Mesir), serta Syeikh Athiyyah Shaqr (Ketua Komisi Fatwa al-Azhar)
dll karena terbukti terkuak taqiyahnya Al-Qummi dan tak sesuai harapan karena
Abdul Husain al-Musawi salah satu penggerak motor taqrib ternyata menerbitkan
Kitab al-Muraja’at yang isinya surat menyurat fiktif dia dengan yang diklaim
sebagai Syeikh al-Azhar yaitu Fadhilatu Syeikh Salim al-Bisyri, sehingga Syeikh
Gad elHaq memerintahkan ulama Azhar untuk mentahqiq dan membantah buku fiktif
tersebut.
Syeikh Prof. Dr. Yusuf Qardhawi yang hendak menghidupkan
lembaga taqrib itu pun pada akhirnya menyerah tidak mau lagi berdialog dengan
kaum Syiah karena 3 permintaannya kepada mereka untuk mengakui status
kesempurnaan Quran, tidak mencaci sahabat Nabi, mencegah penyebaran Syiah di
negeri-negeri Sunni atau sebaliknya, tidak diindahkan bahkan kerap dilanggar
oleh Syiah dengan dalih taqrib untuk menyebarkan paham Syiah di tengah
masyarakat Sunni. (Lebih jauh baca Kitab Fatawa Muashirah jilid 4,
hal. 251 dst).
Dalam Kitab Fatawa itu, Syeikh
Qardhawi menyatakan; “Perbedaan yang sebenarnya antara Madzhab Ahlus Sunnah
dengan Syiah Imamiyah adalah dalam ushul (dalam masalah pokok) bukan dalam
furu’ (masalah cabang).
Oleh karena itu pernyataan paling jelas bagi perbedaan
ini ialah perbedaan dua firqah aqidah, Ahlus Sunnah dan Syiah Imamiyah, bukan
antara dua madzhab fiqih.” (hal. 254)
Keempat, sampai hari
ini sejak diwacanakan pengajaran fikih Ja’fari Syiah di Al-Azhar tahun 60 an
tidak pernah terwujud karena juga banyak ditentang para ulama guru besar
Syariah di Al-Azhar.
Yang terealisir adalah proyek Mausu’ah Fiqih 8 Madzhab di masa orde
Presiden Gamal Abd Nasser.
Selebihnya tidak pernah diajarkan fiqih Syiah baik
Ja’fari dan Zaidi di lingkungan al-Azhar.
Sebab Al-Azhar hanya mengakui keabsahan 4 Madzhab
Ahlus Sunnah saja yang berhak diikuti.
Ini bisa dibuktikan oleh banyak alumni al-Azhar yang
sejak awal masuk mendaftar harus mengisi pilihan madzhab fiqih apa yang hendak
diajarkan, dan tak pernah dijumpai pilihan madzhab Ja’fari dan Zaidi di
formulir pendaftaran kuliah Al-Azhar. Wallahu waliyyu attaufiq.*
Penulis
adalah Sekertaris Komisi Dakwah MUI Pusat
Pengakuan Syeikh Al-Qaradhawi:
‘Iran Menipu Saya’
Kamis, 6 Juni 2013 - 06:18
WIB
Syeikh al Qaradhawi: “Saya dulu membela Hasan Nasrallah
(pemimpin Hizbullah) dan partainya"
oleh: Abdulrahman Al-Rashed
UCAPAN koreksi dari ulama besar Sunni, Syeikh Yusuf
Al-Qaradhawi merupakan sebuah perkembangan penting. Pekan lalu, Syeikh
Al-Qaradhawi berdiri dan berkata, “Selama bertahun-tahun saya menyerukan agar
doktrin-doktrin Islam bisa bersatu. Saya pergi ke Iran saat masa pemerintahan
mantan Presiden Iran, Mohammad Khatami. Namun mereka ternyata menipu saya dan
banyak orang lainnya seperti saya. Mereka selalu mengatakan bahwa mereka juga ingin
menyatukan doktrin-doktrin yang berbeda.”
Syeikh Al-Qaradhawi mengakui kesalahannya dengan
mengatakan, “Saya dulu membela Hasan Nasrallah (pemimpin Hizbullah) dan
partainya, partai tirani di depan para ulama Arab Saudi. Tampaknya para ulama
Arab Saudi ini lebih dewasa dibandingkan saya.”
Akui Kesalahan
Pengakuan publik dan jujur Qaradawi adalah momentum
penting. Ia mengakui dirinya keliru atas semua yang pernah diasumsikannya dan
membela Hizbullah serta mengkritik orang lain. Syeikh Al-Qaradhawi berasumsi
perjuangan yang telah berlangsung selama 20 tahun terakhir ini didasarkan pada
konsep membangun sebuah pemerintahan Islam, partai dan tokoh. Rencana ini
dibangun di atas kebohongan besar dan mitos.
Keberanian Syeikh Qaradhawi ini layak diapresiasi
karena ia mungkin hanya satu-satunya orang yang mengakui kesalahannya. Padahal
dia bisa saja membenarkan sikapnya, namun ia memilih untuk berbicara di depan
para pengikutnya dan mengakui kesalahannya.
Syeikh Qaradhawi sebenarnya tidak salah ketika
menyerukan penyatuan semua doktrin Islam juga ketika ia berseru tentang kerja
sama Islam. Ini merupakan ide yang mulia. Kesalahannya ada pada pemahaman
politiknya terkait rencana desain di Teheran, Beirut dan Damaskus.
Rencana Khomeini Teheran adalah sebuah proyek yang tidak
ada hubungannya dengan Islam. Itu adalah skema Iran untuk mendominasi wilayah
tersebut. Skema tersebut didasarkan pada kebohongan atas revolusi Islam dan
merupakan satu-satunya cara untuk menyatu dengan jutaan umat Muslim di seluruh
dunia. Ini adalah cara mereka untuk memperluas wilayah geografis dan
mendapatkan pengaruh.
Sejarah Qaradhawi
Kami sudah melewati pertempuran dialektika dengan
semua sekutu Iran, Hizbullah dan rezim Suriah. Kami berjuang melawan para
intelektual dan pengkhotbah mereka karena kami memahami maksud dari rezim ini,
tujuannya dan segala aktivitas mereka.
Kami tahu sebagian besar orang yang mengikuti kelompok
jahat ini telah ditipu. Syeikh Al-Qaradhawi sendiri sempat menyakini
ilusi-ilusi mereka, seperti halnya banyak ulama lain yang terlibat dalam
politik yang memiliki antusiasme besar tapi hanya sedikit mempunyai pemahaman
politik.
Syeikh Qaradhawi meninggalkan Mesir lalu pergi ke
Qatar sebagai bentuk protesnya atas sikap mantan Presiden Mesir Anwar al-Sadat
yang menandatangani perjanjian perdamaian dengan ‘israel’. Iran adalah sebuah
tempat berlabuh bagi orang-orang yang marah dan sangat berantusias mengubah
dunia Islam.
Orang-orang yang frustrasi dan merasa terkesan
kemudian banyak menulis buku yang memuliakan revolusi Iran. Mereka menyampaikan
pidato berisi pujian terhadap pemimpin Iran meskipun politik kotor Iran sudah
banyak diketahui sejak Abu al-Hassan Bani Sadr—presiden Iran terpilih pertama
yang dekat dengan pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khomeini, melarikan diri.
Rezim baru Iran kemudian mengejar mitra-mitra revolusi
mereka dan membunuh banyak dari mereka. Setelah semua ini, bagaimana bisa orang
percaya bahwa rezim yang membunuh rakyatnya sendiri di Teheran bisa benar-benar
memimpin mereka, membebaskan Palestina dan mengakhiri rezim tirani?
Tidak benar kalau Iran dianggap sebagai misteri yang
belum terungkap. Sejak awal Iran adalah sebuah rezim sekte yang jelek. Ketika
Salam Rushdie menulis bukunya yang berjudul “The Satanic Verses”, Iran
meluncurkan sebuah kampanye melawan Inggris dan mengutuknya dalam sebuah
konferensi Islam di Jeddah.
Paradoksnya adalah pewakilan Palestina yang mengetahui
kebohongan rezim Khomeini merespons permintaan Iran tersebut dengan mengatakan
kalau Inggris bukanlah negara Muslim. Delegasi Iran marah mendengarnya lalu
meninggalkan ruangan.
Sayangnya, masih ada rekan Syeikh Qaradhawi yang
tertipu, yang masih mendukung Iran. Apakah tidak ada salah satu dari mereka
yang berpikir dan membayangkan bagaimana nasib dunia ini di bawah kepemimpinan
orang-orang seperti Khomeini atau Qassem Suleimani atau Hassan Nasrallah?
Satu hal yang pasti adalah, suatu hari nanti Iran akan
bersekutu dengan Amerika—setan yang paling besar, bekerja sama dengan ‘israel’
dan memaksakan semua rencana-rencananya.*
Penulis general manager stasiun televisi Al Arabiya,
wartawan senior. Artikel diambil Al Arabiya|Sahabat Al-Aqsha
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar