Penasehat pemimpin tertinggi
Iran, Ali Akbar Velayati bersaama Bashar al Assad
Sabtu, 19 Desember 2015 - 10:43 WIB
Eskalasi dramatis keterlibatan militer Rusia
di Suriah telah menggiring banyak pihak untuk menyimpulkan bahwa pemerintahan
Suriah tidak lagi dibawah ancaman kekalahan.
Teheran dapat merasakan bahwa kini adalah waktunya untuk
menghindari pertempuran di mana saja dan fokus kepada pertempuran pengaruh di
lingkungan rumah mereka.
Oleh: James Denselow
SEBUAH laporan dari lembaga penelitian AS,Institute for the Study of War, menjelaskan bahwa Iran adalah bagian
dari sebuah “rencana yang besar, mahal, dan terpadu untuk mempertahankan
Presiden Bashar al-Assad di kursinya.”
Akan tetapi, minggu lalu Bloomberg melaporkan bahwa menurut seorang
pejabat AS, mereka melihat adanya penurunan signifikan dalam hal jumlah serta
aktivitas angkatan bersenjata Iran di Suriah.
Washington menyatakan bahwa ini adalah momen
dimana Iran mundur dari Suriah, setelah kini mereka berdarah-darah kehilangan
pejabat militer senior – serta dana yang tidak sedikit – dalam mempertahankan
rezim Assad. Akan tetapi, dalam perang di Suriah yang masih terus berlangsung,
ini tidak menjadi satu-satunya alasan bagi Iran untuk merubah strateginya, dan
skenario-skenario lainnya patut untuk diinvestigasi.
Ini menunjukkan bahwa Iran memiliki cukup
posisi dan pengaruh untuk terlibat dalam diskusi mengenai masa depan Suriah,
namun tidak memerlukan terlalu banyak keterlibatan militer di negara tersebut.
Perjanjian nuklir pada bulan Juli adalah
momen signifikan bagi Iran keluar dari sarangnya dan ditambah dengan
diundangnya mereka pada diskusi perdamaian di Wina pada bulan Oktober.
Teheran telah menyatakan berulang kali bahwa
hal tersebut tidak terkait dengan Bashar al Assad secara pribadi dan dapat
merasakan bahwa pengaruhnya diantara para aktor politik yang akan membentuk
pemerintahan transisional, bahwa di masa depan dia tidak akan lebih penting
dari di masa lalu.
Sebagai tambahan, kita tidak boleh lupa
bahwa konflik regional yang lebih besar antara Riyadh dan Teheran telah
mempengaruhi banyak rencana tersembunyi Timur Tengah selama satu dekade
terakhir.
Fakta bahwa kedua negara duduk di meja yang
sama mendiskusikan Suriah dan bukannya menegosiasikan tentang konflik yang
terjadi di sana adalah sebuah sukses yang signifikan, dan tidak terlaporkan, di
Wina.
Eskalasi dramatis keterlibatan militer Rusia
di Suriah telah menggiring banyak pihak untuk menyimpulkan bahwa pemerintahan
Suriah tidak lagi dibawah ancaman kekalahan, meski banyak pertanyaan mengenai
bisa tidaknya Assad mengklaim kembali wilayah-wilayah yang hilang.
Dengan
masa depan rezim telah pasti dan koridor ke Syiah Hizbullah di Libanon tidak
lagi di bawah ancaman, dapat dikatakan bahwa Teheran telah mencapai salah satu
tujuan besar yang mendorong keterlibatan mereka sejak awal.
Lebih dari itu, Teheran dapat menemukan diri
mereka dalam sebuah proxy mirip Hizbullah di Suriah, di masa depan.
The Wall Street
Journal melaporkan
bahwa pada masa jayanya, terdapat 7000 anggota Korp Pengawal Revolusi Iran dan
sukarelawan milisi lainnya yang membantu rezim Suriah.
Yang masih tidak jelas adalah apa persisinya
peran Iran dalam Pasukan Pertahanan Nasional.
Pasukan tersebut adalah sebuah komponen
cadangan pada militer Suriah yang beranggotakan pasukan sukarelawan paruh-waktu
yang kabarnya dibentuk oleh Qassem Soleimani, komandan dari Pasukan Quds milik
Iran yang bergengsi.
Menurut sebuah laporan baru-baru ini yang
dikeluarkan oleh European
Council on Foreign Relations, terdapat
perbedaan pendapat antara Teheran dan Moskow mengenai pengaturan dan kekuasaan
Pasukan Pertahanan Nasional Suriah (NDF), dengan kini Rusia melibatkan diri
dengan tentara Suriah, namun Iran berencana untuk menjaga pasukan tersebut
sebagai kekuatan independen, dengan gaya yang mirip milisi Syiah Hizbullah di
Libanon.
Jadi lagi, dugaan mundurnya Iran dapat
dihubungkan dengan kepercayaan bahwa pasukan-pasukan yang tewas adalah orang
Suriah yang melakukan tugas bagi Iran, baik secara langsung maupun tidak, dan
bukannya warga negara mereka sendiri.
Skenario ini mendukung argumen Amerika
mengenai “mundurnya Teheran,” namun dilihatnya dari kacamata konflik dengan
negara tetangganya, Iraq.
Dengan Turki menyebarkan pasukan
bersenjatanya di utara Iraq dan sebuah pertanyaan tersisa tentang bagaimana dan
kapan kota-kota seperti Mosul akan direbut kembali dari kelompok Daulah Islamiyah Iraq wa Syam (ISIS/ISIL), Teheran dapat merasakan
bahwa kini adalah waktunya untuk menghindari pertempuran di mana saja dan fokus
kepada pertempuran pengaruh di lingkungan rumah mereka.
Dengan rumor tentang meningkatnya pengiriman
pasukan Amerika ke Iraq, ini dapat semakin mengkristalkan prioritas-prioritas
langsung Teheran.
Kesimpulannya, meski ada sedikit
keragu-raguan mengenai pengorbanan yang dikeluarkan oleh Teheran selama hampir
5 tahun mendukung Assad pada konflik ini, pengaruh mereka yang lebih luas di
seluruh wilayah – yang salah satunya dipicu oleh kolapsnya Iraq pada 2003 –
berarti bahwa prioritas yang bertubrukan, serta kepercayaan diri mengenai
efektivitas aliansi non-negara yang kuat, menjelaskan lebih baik mengenai
penugasan kembali ini.*
James Denselow
adalah penulis masalah-masalah politik dan keamanan Timur Tengah dan seorang
partner peneliti di Foreign Policy Centre. Tulisan dimuat di laman Al Jazeera
Rep: Tika Af'idah
Editor: Cholis Akbar