Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 10.18
Beberapa
kalangan menyebut komunitas muslim Indonesia terbangun di atas madzhab
”Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah”. Sama halnya dengan beberapa negara tetangga seperti
Malaysia, Brunei, Singapura, atau Thailand Selatan. Bersamaan dengan itu,
terjadilah friksi dimana sebagian kelompok dikeluarkan oleh yang lainnya dari
lingkup madzhab Ahlus-Sunnah. Tentu saja, urusan keluar-mengeluarkan itu tidak
akan banyak berarti karena Ahlus-Sunnah bukanlah perusahaan yang dipimpin oleh
seorang direktur sehingga berhak mengeluarkan karyawan sekehendak dirinya.
Madzhab Ahlus-Sunnah punya kaidah dan aturan yang telah dikenal semenjak jaman
generasi awal Islam. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengajak Pembaca untuk
membandingkan antara pengakuan dan hakekat yang ada dalam madzhab Ahlus-Sunnah. Tapi,....
sebelum menginjak pada inti tulisan, ada baiknya kita ketahui apa itu makna
Ahlus-Sunnah.
Tentang Ahlus-Sunnah
Penamaan
Ahlus-Sunnah telah ada sejak generasi pertama Islam. Ketika
menafsirkan firman Allah ta’ala :
يَوْمَ تَبْيَضّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدّ وُجُوهٌ فَأَمّا
الّذِينَ اسْوَدّتْ وُجُوهُهُمْ أَكْفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُواْ
الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
“Pada hari
yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam
muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan):
"Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab
disebabkan kekafiranmu itu." (QS. Ali ‘Imran : 106); Ibnu ‘Abbas
berkata :
حين تبيض وجوه أهل السنة والجماعة, وتسود وجوه أهل
البدعة والفرقة
“Adapun orang yang putih
wajahnya, mereka adalah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah; adapun orang
yang hitam wajahnya, mereka adalah Ahlul-Bid’ah dan sesat” [lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/139; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1421].
Kemudian
istilah ini menjadi sangat masyhur di era selanjutnya akibat munculnya berbagai
penyimpangan dalam agama. Di antara ulama terdahulu yang menyebut istilah
Ahlus-Sunnah di antaranya :
1. Al-Hasan (Al-Bashri) rahimahullah berkata
:
يا أهل السنة ترفقوا رحمكم الله فإنكم من أقل الناس
“Wahai Ahlus-Sunnah, berlaku baik/lembutlah ! Semoga
Allah memberikan rahmat kepada kalian. Karena sesungguhnya kalian adalah
golongan yang paling sedikit dari kalangan manusia” [Syarh Ushuuli I’tiqaad
Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalikai 1/57, tahqiq : Ahmad
bin Mas’ud bin Hamdan, Cet. 2/1411].
2. Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah berkata
:
إني أخبر بموت الرجل من أهل السنة وكأني أفقد بعض
أعضائي
“Apabila aku
dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus-Sunnah, seolah-olah hilang salah satu
anggota tubuhku” [idem, hal. 60].
3. Malik bin Anas rahimahullah berkata
:
أهل السنة الذين ليس لهم لقب يعرفون به، لا جهمي ولا
قدري ولا رافضي
”Ahlus-Sunnah adalah orang-orang yang tidak
mempunyai laqab/gelar tertentu yang mereka dikenal dengannya. (Mereka) bukanlah
Jahmiy, bukan Qadariy, dan bukan pula Rafidliy” [Al-Intiqaa’ oleh Ibnu ‘Abdil-Barr, hal. 35].
4. Al-Waki’ (guru Al-Imam Asy-Syafi’i) rahimahullah berkata
:
أهل السنة يقولون : الإيمان : قول وعمل ، والمرجئة
يقولون : الإيمان قول ، والجهمية يقولون : الإيمان : المعرفة
“Ahlus-Sunnah mengatakan : Iman itu perkataan dan
perbuatan. Murji’ah mengatakan : Iman itu perkataan saja. Adapun Jahmiyyah,
mereka mengatakan : Iman itu hanya ma’rifat saja” [Asy-Syari’ah oleh
Al-Imam Al-Ajurri 1/288, tahqiq : Al-Walid bin Muhammad An-Nashr; Muassasah
Qurthubah, Cet. 1/1417].
5. Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata ketika menjelaskan
beberapa prinsip aqidah dalam masalah taqdir:
مثل حديث: «الصادق المصدوق» ومثل ما كان مثله في القدر
والرؤية والقرآن وغيرها من السنن مكروه، ومنهي عنه، لا يكون صاحبه، وإن كان بكلامه
سنة من أهل السنة حتى يدع الجدال ويسلم. ويؤمن بالآثار
“…..(Tidak boleh baginya untuk
berbicara tanpa ilmu) sebagaimana hadits Ash-Shadiqul-Mashduq (yaitu Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam) dan hadits-hadits yang semisal dalam masalah
taqdir, ru’yah (yaitu melihat Allah di surga kelak bagi kaum mukminin – Abu Al-Jauzaa’), Al-Qur’an, dan yang lainnya dari sunnah-sunnah. Hal ini adalah
dibenci dan dilarang. Pelakunya tidak termasuk Ahlus-Sunnah – walaupun perkataan (kadang) mencocoki sunnah – sampai ia
meninggalkan perdebatan dalam masalah-masalah tersebut dan mengimani atsar” [Ushulus-Sunnah lil-Imam Ahmad bin Hanbal dari riwayat
‘Abdus bin Malik Al-‘Athaar, point ke-12; Maktabah Al-Misykah].
6. Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata :
وأما الصواب من القول في رؤية المؤمنين ربهم عز وجل
يوم القيامة ، وهو ديننا الذي ندين الله به ، وأدركنا عليه أهل السنة والجماعة فهو
: أن أهل الجنة يرونه على ما صحت به الأخبار عن رسول الله
“Adapun yang benar dari
permasalahan melihatnya kaum mukminin kepada Rabbnya‘azza wa jalla di hari kiamat, maka hal itu
merupakan agama kami yang kami beragama dengannya. Dan kami mengetahui bahwa Ahlus-Sunnah wal-Jama’ahberpendapat bahwa Ahlul-Jannah akan melihat Allah sesuai dengan
khabar yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” [Sharihus-Sunnah oleh Ath-Thabari hal. 4 –
Maktabah Al-Misykah : www.almeskhat.net/books].
7. Dan lain-lain
Adapun pengertian/definisi dari
Ahlus-Sunnah (wal-Jama’ah), maka Ibnul-Jauzirahimahullah menjelaskan :
ولا ريب في أن أهل النقل والأثر المتبعين آثار رسول
الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وآثار أصحابه هم أهل السنة لأنهم على تلك
الطريق التي لم يحدث فيها حادث : وإنما وقعت الحوادث والبدع بعد رسول الله صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأصحابه .
“Tidak dapat diragukan lagi bahwa Ahlun-Naql wal-Atsar adalah orang-orang yang mengikuti
jejak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam beserta para shahabatnya. Mereka adalah Ahlus-Sunnah, karena mereka berada di atas jalan tersebut yang di sana tidak
ada hal-hal yang baru diada-adakan. Sebab, hal-hal yang baru dan bid’ah itu
baru muncul sepeninggal Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya” [Talbis-Iblis oleh Ibnul-Jauzi 1/24, tahqiq :
Dr. As-Sayyid Al-Jumailiy; Daarul-Kitaab Al-‘Arabiy, Cet. 1/1405].
Abu Muhamad bin Hazm (Ibnu Hazm) rahimahullah berkata :
وأهل السنة الذين نذكرهم أهل الحق ومن عداهم فأهل
البدعة فإنهم - إي أهل السنة - الصحابة رضي الله عنهم وكل من سلك نهجهم من خيار
التابعين رحمة الله عليهم، ثم أصحاب الحديث ومن اتبعهم من الفقهاء جيلا فجيلا إلى
يومنا هذا ومن اقتدى بهم من العوام في شرق الأرض وغربها رحمة الله عليهم
“Ahlus-Sunnah yang kami sebutkan
adalah Ahlul-Haq, sedangkan selain mereka adalah ahlul-bid’ah. Sesungguhnya
mereka (Ahlus-Sunnah) adalah para shahabat radliyallaahu ‘anhum dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka dari kalangan
tabi’in – semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka, kemudian
Ashhaabul-Hadits dan orang yang mengikuti mereka dari kalangan fuqahaa,
generasi demi generasi, sampai sekarang ini. Demikian pula orang-orang yang
mencontoh mereka dari orang-orang awam di bagian Timur dan Barat bumi ini.
Semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka semua” [Al-Fashlu fil-Milal
wal-Ahwaa’ wan-Nihaal oleh Ibnu Hazm 2/113 – melalui
perantaraan ’Aqiidatu Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah
fish-Shahaabatil-Kiraam oleh Dr. Naashir bin ’Ali Alusy-Syaikh
1/29; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1413]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
لأنهم متمسكون بكتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه
وسلم، وما اتفق عليه السابقون الأولون من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم
بإحسان
“Karena mereka (Ahlus-Sunnah)
adalah orang-orang yang berpegang-teguh kepada Kitabullh (Al-Qur’an) dan Sunah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan apa-apa yang
disepakati oleh As-Saabiquunal-Awwaluun dari kalangan Muhajirin, Anshar, dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik” [Majmu’ Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah 3/375,
takhrij : ’Aamir Al-Jazzaar & Anwar Baaz; Daarul-Wafaa’, Cet. 3/1426].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
وهم أهل السنة والجماعة : المتمسكون بكتاب الله وسنة
رسوله صلى الله عليه وسلم وبما كان عليه الصدر الأول من الصحابة والتابعين وأئمة
المسلمين في قديم الدهر وحديثه
“Mereka adalah Ahlus-Sunnah :
(Yaitu) orang-orang yang berpegang-teguh pada Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan pada apa-apa
yang ada pada generasi awal dari kalangan shahabat, tabi’in, dan imam-imam kaum
muslimin, baik pada masa dahulu dan sekarang” [Tafsir Ibnu Katsir 3/434 – melalui perantaraan Ilmut-Tauhid ‘inda Ahlis-Sunnah
wal-Jama’ah oleh Dr. Muhammad Yusriy hal. 23, Cet. Th. 1425].
Al-Alusiy rahimahullah berkata :
(اعلم) أن أهل السنة
والجماعة هم أهل السلام والتوحيد، المتمسكون بالسنن الثابتة عن رسول الله صلى الله
عليه وسلم في العقائد والنحل والعبادات الباطنة والظاهرة......فإن السنة في الأصل
تقع على ما كان عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم، وما سنه أو أمر به من أصول الدين
وفروعه،......وتطلق أيضا على ما كان عليه السلف الصالح في مسائل الامامة والتفضيل،
والكف عما شجر بين أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم
“(Ketahuilah) bahwasannya
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, mereka adalah Ahlul-Islam wat-Tauhid, orang-orang
yang berpegang-teguh pada sunah-sunnah yang telah tetap dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hal aqidah, madzhab, dan
ibadah baik secara bathin ataupun dhahir….. . Kata As-Sunnah itu pada asalnya adalah setiap
perkara yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berada di atasnya dan apa yang telah sunnahkan atau perintahkan
dengannya, baik dalam permasalahan ushuluddin maupun permasalahan furu’…..
(Kata ini) juga dimutlakkan pada setiap perkara yang mana as-salafush-shalih berada di atasnya, baik dalam masalah
imamah, pengutamaan (di antara shahabat), maupun menahan diri dari setiap
perkara yang para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berselisih padanya” [Ghayaatul-Amaaniy fir-Radd ‘alan-Nabhaaniy oleh Mahmud Syukri Al-Alusi
1/428].
Dari penjelasan beberapa imam di
atas, maka dengan bahasa ringkas pengertian Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah adalah
orang-orang yang mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya, serta
menjauhi perkara baru dan bid’ah dalam agama.
Selanjutnya akan saya berikan
beberapa contoh perkara dalam agama beserta cara pandang Ahlus-Sunnah dalam
memahami dan mengamalkannya. Harapan saya, kita semua dapat ‘membandingkan’
realitas klaim sebagian orang yang menganggap dirinya bagian dari Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah, apakah mereka memang merupakan bagian darinya atau bukan……
Dalam
masalah pemahaman ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terutama yang
berkaitan dengan al-asma’ wa sifat Allah.
Ahlus-Sunnah menetapkan apa-apa
yang Allah ta’ala dan Rasul-Nya telah tetapkan atas diri-Nya, baik itu nama-nama
maupun sifat-sifat Allah ta’ala dan mensucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan-kekurangan,
sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Wajib untuk
menetapkan sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
Ash-Shahihah tanpa adanya tahrif (menyimpangan maknanya), ta’thil (meniadakannya), takyif (menanyakan bagaimananya), dantamtsil/tasybih (menyerupakan dengan
makhluk-Nya).
وقال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس
وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها
كما جاءت بلا تفسير
Al-Walid bin Muslim berkata : Aku
pernah bertanya kepada Al-Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauriy, dan
Al-Laits bin Sa’d tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan sifat, maka
setiap dari mereka menjawab : “Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat Allah)
sebagaimana datangnya tanpa tafsir (yaitu : jangan kamu tanya tentang bagaimana
sifat itu)” [Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, bersertaMukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 142 no. 134
dengan sanad shahih; Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401].
Mereka semua adalah para ulama
dari kalangan kibaaru atbaa’ut-tabi’in dimana Al-Auza’iy adalah imam penduduk
Dimasyq, Malik bin Anas adalah imam penduduk Madinah, Sufyan Ats-Tsauriy adalah
imam penduduk Kufah, dan Al-Laits bin Sa’d adalah imam penduduk Mesir. Telah
dihikayatkan ijma’ atas hal tersebut setelah era mereka dari Muhammad bin
Al-Hasan, seorang faqih dari ‘Iraq.
Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata ketika menjelaskan
prinsip-prinsip aqidah :
الإيمان بما جاء عن الله تعالى في كتابه المبين على ما
أراده الله من غير زيادة، ولا نقص، ولا تحريف. الإيمان بما جاء عن رسول الله، صلى
الله عليه وسلم ، في سنة رسول الله، صلى الله عليه
وسلم ، على ما أراده رسول الله، صلى الله عليه وسلم ، من غير زيادة ولا نقص ولا
تحريف.
“Beriman
kepada Allah ta’ala yang terdapat dalam Al-Qur’an sebagaimana yang
dikehendaki-Nya tanpa adanya penambahan, pengurangan, dan tahrif (= ta’wil;
yaitu mengubah lafadh nama dan sifat Allah atau mengubah maknanya atau
menyelewengkan dari makna sebenarnya). Beriman kepada apa-apa yang datang dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam sunnahnya sebagaimana yang
dikehendaki oleh beliau tanpa adanya penambahan, pengurangan, dan tahrif [Lihat Lum’atul-I’tiqad oleh
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi; syarah oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 14;
download dari www.almeskhat.net/books].
Sufyan bin
‘Uyainah rahimahullah berkata :
كل ما وصف الله من نفسه في كتابه فتفسيره تلاوته
والسكوت عليه
“Segala
sifat yang Allah sifatkan bagi diri-Nya di dalam Al-Qur’an, penafsirannya
adalah (dhahir) bacaannya dan diam terhadapnya” [Diriwayatkan
oleh Al-Baihaqi dalam Al-I’tiqaad hal.
118 no. 296, tahqiq : Ahmad ’Ishaam Al-Kaatib, Daarul-Aafaaq, Cet. 1/1401; dan Al-Asmaa’
wa Shifat 2/307 no. 869, tahqiq
: ‘Abdullah bin Muhammad Al-Hasyidi; Maktabah As-Suwadiy. Atsar ini shahih].
Ahlus-Sunnah
tidak mengenal tahrif-tahrif bathil seperti sifat dua tangan Allah
dibawa kepada makna ”dua nikmat” atau ”dua kekuatan” seperti kaum Asy’ariyyah.
Mereka tidak mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut hanya karena khawatir
menyamakan dengan makhluk sebagaimana kekhawatiran yang dialami oleh
ahlul-bida’, karena mereka (Ahlus-Sunnah) tahu bahwa tidak ada sesuatupun dari
makhluq yang serupa dengan-Nya. Ahlus-Sunnah bukanlah musyabbihah. Mereka juga tidak menanyakan
bagaimana sifat Allah itu, karena pertanyaan-pertanyaan semacam ini hakekatnya
merupakan sikap takalluf terhadap apa-apa yang Allah
tidak berikan ilmu-Nya kepada manusia. Mempertanyakan dan memikirkan kaifiyah sifat
Allah merupakan bid’ah yang menyesatkan. Allah telah berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
”Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS.
Asy-Syuuraa : 11].
Ahlus-Sunnah
tidaklah mengenal Tafwidl (menyerahkan
maknanya kepada Allah), karena mereka telah mengetahui sifat-sifat Allah.
Sungguh mustahil bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diturunkan melalui bahasa
Arab, melalui lisan Rasulullahshallallaahu ’alaihi wasallam, yang
diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia; namun tidak diketahui
maknanya oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallambeserta para shahabatnya. Mengenai Tafwidl, maka Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah mengatakan :
وأما الصنف الثالث ـ وهم [أهل التجهيل] ـ فهم كثير
من المنتسبين إلى السنة، واتباع السلف، يقولون: إن الرسول صلى الله عليه وسلم لم
يعرف معاني ما أنزل اللّه إليه من آيات الصفات، ولا جبريل يعرف معاني الآيات، ولا
السابقون الأولون عرفوا ذلك. وكذلك قولهم في أحاديث الصفات: إن معناها لا يعلمه
إلا اللّه، مع أن الرسول تكلم بها ابتداءً
”Adapun
kelompok yang ketiga adalah Ahlut-Tajhiil. Kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang berintisab kepada Sunnah yang mengaku mengikuti kaum Salaf dan mengatakan
: ”Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak
mengetahui makna-makna ayat-ayat sifat yang diturunkan kepada beliau. Demikian
juga Jibril’alaihis-salaam, ia tidak mengetahui makna-makna ayat
tersebut, tidak juga orang-orang yang pertama masuk Islam itu mengetahui
maknanya. Demikian juga dengan pendapat mereka mengenai hadits-hadits tentang
sifat-sifat Allah, sebab makna-makna yang terkandung di dalamnya tidak ada yang
tahu kecuali hanya Allah semata, padahal Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam telah menyinggung masalah ini sejak semula” [Majmu’ul-Fataawaa 5/31-34].
’Aqidah tafwidl ini
jelas bathil. Oleh karena itu Syaikhul-Islam rahimahullah pun
berkata :
وأما التفويض : فإن من المعلوم أن الله – تعالى –
أمرنا أن نتدبر القرآن، وحضنا على عقله وفهمه؛ فكيف يجوز مع ذلك أن يُراد منا
الإعراض عن فهمه، ومعرفته، وعقله
”Adapun Tafwidl (menyerahkan makna kepada Allah),
sesungguhnya telah diketahui bahwa Allah ta’ala memerintahkan untuk memahami
Al-Qur’an dan mendorong kita untuk memikirkan dan memahaminya. Maka
bagaimana kita dibolehkan berpaling dari mengenal, memahami dan memikirkan ?”.
Hingga beliau berkata dengan
tegas dalam permasalahan ini :
فتبين أن قول أهل التفويض الذين يزعمون أنهم متبعون
للسنة والسلف من شر أقوال أهل البدع والإلحاد
”Maka jelas bahwa Ahlut-Tafwidl yang menyangka dirinya mengikuti
As-Sunnah dan As-Salaf adalah seburuk-buruk perkataan Ahlul-Bid’ah dan ilhad” [lihat selengkapnya dalamDar’ut-Ta’arudl Al-’Aql wan-Naql juz 1 bagian 16 hal. 201-205 –
dinukil melalui perantaraan Al-Ajwibatul-Mufiidah Cet. 3, catatan kaki atas pertanyaan nomor 40].
Dalam masalah : “Apakah Allah beristiwaa’ di
atas ‘Arsy ?”.
Ahlus-Sunnah
beriman bahwa Allah berada di atas langit dan bersemayam di ‘Arsy-Nya
berdasarkan nash Al-Qur’an, As-Sunnah Ash-Shahiihah, dan ijma’. Mereka tidak
men-tahrif-kan maknanya dengan makna bathil seperti ”menguasai” (istilaa’).
Dari Ja’far
bin ’Abdillah, bahwasannya seseorang pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas rahimahullah tentang
firman Allah : [الرّحْمَـَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىَ] “Ar-Rahman (Allah) beristiwaa’ di atas
‘Arsy” (QS. Thaha : 5); (yaitu dengan
pertanyaan : ) “Bagaimana istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy ?”. Maka Imam Malik
berkata :
الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به
واجب والسؤال عنه بدعة، فإني أخاف أن تكون ضالاً
“Kaifiyahnya
(bagaimananya) tidak diketahui (di luar akal manusia untuk mengetahuinya),
namun istiwaa’ Allah itu tidaklah majhul (=
maksudnya : maknanya telah jelas). Mengimaninya adalah wajib dan menanyakannya
adalah bid’ah. Aku khawatir bahwa dirimu menjadi sesat (atas pertanyaan itu)” [Syarh
Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalika’i 2/398; tahqiq :
Ahmad bin Mas’ud bin Hamdan, Cet. 2/1411].[1]
وروى أبو إسحاق الثعلبي المفسر قال سئل الأوزاعي عن
قوله تعالى ثم استوى على العرش قال هو على عرشه كما وصف نفسه
Diriwayatkan Abu Ishaq
Ats-Tsa’labi Al-Mufassir ia berkata : Al-Auza’i pernah ditanya tentang firman
Allah : Tsummas-tawaa
‘alal-‘Arsy, ia menjawab : “Dia (Allah) di
atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang telah Dia sifatkan bagi diri-Nya” [Diriwayatkan
oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, berserta Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 138 no. 122; Al-Maktab Al-Islamy, Cet.
1/1401].
Dari Muhammad bin Ahmad bin Nadlr
bin Binti Mu’awiyyah bin ’Amru ia berkata :
كان أبو عبد الله الأعرابي جارنا وكان ليلة أحسن ليل
وذكر لنا أن ابن أبي دؤاد سأله أتعرف في اللغة استوى بمعنى إستولى فقال لا أعرفه
“Abu ‘Abdillah Al-A’rabiy [2] adalah tetangga kami. Malam-malamnya adalah malam paling
indah. Diceritakan kepada kami bahwa Ibnu Abi Du’ad bertanya kepadanya :’Apakah
engkau mengetahui dalam bahasa Arab bahwa makna istawaa (bersemayam) itu adalah
istaulaa’ (menguasai) ?”. Maka beliau menjawab : “Aku
tidak mengetahuinya”[Diriwayatkan
oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, berserta Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 194 no. 240;
Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401. Sanad riwayat ini adalahjayyid].
Abdullah bin Mubarak rahimahullah (salah seorang ulama tabi’in
mulia lagi masyhur) berkata :
نعرف ربنا فوق سبع سماوات على العرش إستوى بائنا منه
خلقه ولا نقول كما قالت الجهمية أنه ها هنا وأشار إلى الأرض
“Kami mengetahui Rabb kami berada
di atas tujuh lapis langit, bersemayam (istiwaa’ ) di atas ‘Arsy, terpisah dari
makhluk-Nya. Dan kami tidak mengatakan seperti yang
dikatakan oleh Al-Jahmiyyah bahwasannya Allah ada di sini”. Beliau menunjuk ke arah bumi.
[Dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah hal.
111, 175, dan 307; Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah hal.
67, 162; dan Al-Baihaqi dalamAl-Asma’ wash-Sifat hal.
2/335 – takhrij melalui perantaraan ‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadits oleh
Abu ’Utsman Isma’il Ash-Shabuniy hal. 40 no. 28, tahqiq dan takhrij : Badr bin
’Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415. Sanad
riwayat ini adalah hasan].
عن أبي مطيع البلخي : أنه سأل أبا حنيفة عمن قال : لا
أعرف ربي في السماء أم في الأرض ؟ فقال : قد كفر ، لأن الله يقول : الرحمن على
العرش استوى وعرشه فوق سبع سماواته، قلت : فإن قال : إنه على العرش ، ولكن يقول :
لا أدري العرش في السماء أم في الأرض ؟ قال : هو كافر، لأنه أنكر أنه في السماء ،
فمن أنكر أنه في السماء فقد كفر
Abu Muthi’
Al-Balkhi bahwasannya ia bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang
mengatakan : ’Aku tidak mengetahui bahwa Rabbku di langit atau di bumi’. Beliau
menjawab : “Sungguh dia telah kafir, karena Allah ta’ala telah
berfirman : {الرّحْمَـَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىَ} “Ar-Rahman (Allah) beristiwaa’ di atas
‘Arsy” (QS. Thaha : 5); sedang ‘Arsy-Nya
berada di atas langit”. Kemudian aku (Abu Muthi’) berkata : ”(Jika dia
mengatakan) bahwasannya Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, akan tetapi dia
mengatakan tidak tahu apakah ‘Arsy-Nya berada di langit atau di bumi?”. Maka
beliau (Abu Hanifah) menjawab : ”Ia telah kafir karena ia telah mengingkari
keberadaan Allah di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari keberadaan
keberadaan Allah di langit, maka dia telah kafir” [lihat Al-‘Ulluw oleh
Adz-Dzahabi dengan Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 136 no. 118,
Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401; dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh
Ibnu Abil-’Izz Al-Hanafy hal. 386-387, tahqiq : Dr. ’Abdullah bin ’Abdil-Muhsin
At-Turkiy, takhrij : Syu’aib Al-Arna’uth, Muassasah Ar-Risalah, Cet. 9/1417].
Al-Imam Abu
Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (Ibnu Khuzaimah) rahimahullahberkata
:
من لم يقر بأن الله تعالى على عرشه قد استوى فوق سبع
سماواته فهو كافر بربه
“Barangsiapa
yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah ta’ala di atas ‘Arsy-Nya dan Dia
beristiwaa’ (bersemayam) di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir terhadap
Rabb-Nya…. [Shahih; lihat Ma’rifatu ‘Ulumil-Hadiits hal.
54 oleh Al-Hakim An-Naisabury – Maktabah Al-Misykah : www.almeskhat.net/books].
Al-Baihaqi rahimahullah berkata
ketika menjelaskan madzhab Al-Imam Asy-Syafi’irahimahullah dalam
menetapkan sifat istiwaa’ Allah ta’ala :
والاثار عن السلف في مثل هذا كثيرة. وعلى هذه الطريق
يدل مذهب الشافعي رضي الله عنه. وإليها ذهب أحمد بن حنبل والحسين بن الفضل
البجلي......
”Atsar-atsar
yang berasal dari kalangan salaf yang memiliki pengertian seperti ini (yaitu
Allah beristiwaa’ di atas ’Arsy) banyak jumlahnya. Dan jalan ini menunjukkan
kepada madzhab Asy-Syafi’i. Dan begitu pula pendapat Ahmad bin Hanbal,
Al-Husain bin Al-Fadhl,…..” [Al-Asmaa’ wash-Shifaat oleh
Al-Baihaqi 2/308 no. 870, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Hasyidi; Maktabah
As-Suwadiy].
‘Aqidah
ini sesuai dengan firman Allah :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي
سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ
وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
”Dialah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas
'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar
daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia
bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan” [QS.
Al-Hadiid : 4].
Juga hadits
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau bertanya kepada budak
Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulami radliyallaahu ‘anhu :
أين الله قالت في السماء قال من أنا قالت أنت رسول
الله قال أعتقها فإنها مؤمنة
“Dimanakah
Allah ?”. Ia menjawab : “Allah di atas langit”. Beliau kembali bertanya :“Siapakah
aku ?”. Ia menjawab : “Engkau adalah Rasulullah”. Kemudian beliau bersabda : “Bebaskanlah/
medekakanlah dia, karena sesungguhnya ia seorang mukminah”. [HR. Muslim no. 537, Abu Dawud no. 930, An-Nasai 3/14-16, dan
lain-lain].
Juga sabdanya shallallaahu ‘alaihi wasallam yang lain :
الراحمون يرحمهم الرحمن ارحموا أهل الأرض يرحمكم من في
السماء
“Orang-orang yang penyayang,
mereka itu akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah penduduk bumi,
niscaya kalian akan disayang Dzat yang berada di atas langit (yaitu Allah)” [HR. Abu Dawud no. 4941, Ahmad 2/160, dan yang lainnya;
shahih].
Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu berkata :
والعرش على الماء والله على العرش يعلم ما أنتم عليه
“‘Arsy itu di atas air dan Allah
di atas ‘Arsy. Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan” [Diriwayatkan oleh
Ath-Thabarani dalam Mu’jamul-Kabiir no. 8987. Al-Haitsami berkata : “Rijalnya adalah rijal shahih”].
Dalam
masalah : “Apakah Allah turun ke langit dunia setiap sepertiga malam terakhir
?”.
Ahlus-Sunnah
mengimani sifat Nuzul (turun) sebagaimana adanya. Dengannya
Ahlus-Sunnah tidak pernah menyamakan turunnya Allah dengan turunnya makhluk.
Cara pemahaman dalam hal ini adalah sebagaimana telah dituliskan di atas, yaitu
tanpatahrif, takyif, ta’thil, dan tamtsil/tasybih.
عن محمد بن سلام قال : سألت عبد الله بن مبارك في نزول
الرب ليلة نصف من شعبان. فقال عبد الله : يا ضعيف ليلة النصف، ينزل في كل ليلة.
فقال الرجل : يا أبا عبد الرحمن، كيف ينزل ؟ أليس يخلو ذلك المكان منه ؟. فقال :
ينزل كيف يشاء
Dari Muhammad bin Sallam ia
berkata : Aku pernah bertanya kepada Abdullah bin Mubarak (seorang ulama tabi’i
yang mulia) tentang turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban. Beliau menjawab :
“O, riwayat Nishfu Sya’ban itu lemah. Justru Allah turun setiap malam”. Seorang
laki-laki menyela : “Bagaimana Dia turun ? Berarti tempat bersemayam-Nya kosong
?”. Beliau menjawab : “Dia turun dengan cara yang Dia
kehendaki” [‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadits oleh
Abu ‘Utsman Isma’il Ash-Shabuni hal. 48 no. 42, tahqiq dan takhrij : Badr bin
’Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415].
Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah pernah ditanya berkenaan dengan
hadits An-Nuzul.Maka beliau
menjawab :
ينزل بلا كيف
“Dia (Allah) turun tanpa ada
pertanyaan : ‘bagaimana’ (yaitu : dengan cara yang tidak kita ketahui)” [‘Aqidatus-Salaf
Ashhaabil-Hadits oleh Abu ‘Utsman Isma’il Ash-Shabuni hal. 48 no. 73, tahqiq dan
takhrij : Badr bin ’Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet.
2/1415].
Al-Imam Ibnu
Khuzaimah rahimahullah berkata :
رواها علماء الحجاز والعراق، عن النبي صلى الله عليه
وسلم في نزول الرب (جل وعلا) إلى السماء الدنيا، كل ليلة نشهد شهادة مقر بلسانه،
مصدق بقلبه مستيقن بما في هذه الأخبار من ذكر نزول الرب، من غير أن نصف الكيفية،
لأن نبينا المصطفى لم يصف لنا كيفيه نزول خالقنا إلى سماء الدنيا، وأعلمنا أنه
ينزل. والله (جل وعلا) لم يترك، ولا نبيه صلى الله عليه وسلم بيان ما بالمسلمين
الحاجة إليه، من أمر دينهم.
فنحن قائلون مصدقون بما في هذه الاخبار من ذكر النزول
غير متكلفين القول بصفته أو بصفة الكيفية، إذ النبي صلى الله عليه وسلم لم يصف لنا
كيفيه النزول.
“Telah diriwayatkan oleh ulama
Hijaz dan ‘Iraq dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallamtentang turunnya
Rabb ‘azza wa jalla ke langit dunia (langit terendah) pada setiap malam, yang
kami akui dengan pengakuan seorang yang mengaku dengan lidahnya, membenarkan
dengan hatinya, serta meyakini keterangan yang tercantum di dalam khabar-khabar
tentang turunnya Allah ‘azza wa jalla tanpa menggambarkan kaifiyah-nya (bagaimananya), karena Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam memang tidak menjelaskan kepada kita tentang kaifiyah (cara) turunnya Khaliq kita ke
langit dunia dan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam hanya memberitahukan kepada kita bahwa Rabb kita turun. Sementara
itu, Allah ‘azza wa jalla dan juga Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallamtidaklah
meninggalkan satu penjelasan pun (untuk disampaikan) bagi kaum muslimin yang
dibutuhkan dari perkara agama mereka. Oleh karena itu, kita mengatakan dan
membenarkan apa-apa yang terdapat di dalam khabar-khabar ini perihal turunnya
Rabb, tanpa memaksakan diri membicarakan sifat dan kaifiyahnya, sebab
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memang tidak mensifatkan kepada kita
tentang kaifiyah turun-Nya” [Kitabut-Tauhid oleh Al-Imam Ibnu Khuzaimah
1/289-290, tahqiq : Dr. ‘Abdul-‘Aziz bin Ibrahim Syahwan; Daarur-Rusyd, Cet.
1/1408].
قال الإمام ابن الإمام عبد الرحمن بن أبي حاتم الرازي
حدثنا أبو شعيب وأبو ثور عن أبي عبد الله محمد بن إدريس الشافعي رحمه الله تعالى
قال القول في السنة التي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها أهل الحديث الذين رأيتهم
وأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الاقرار بشهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا
رسول الله وأن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وأن الله تعالى
ينزل إلى سماء الدنيا كيف شاء
Telah berkata Al-Imam ibnul-Imam
‘Abdirrahman bin Abi Hatim Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Abu Syu’aib
dan Abu Tsaur, dari Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah
ta’ala, ia berkata : “Perkataan yang masuk dalam perkara Sunnah dimana aku
berada di atasnya, dan aku melihat para shahabat kami juga berada di atasnya
dari kalangan Ahlul-Hadits yang aku saksikan dan aku mengambil ilmunya seperti
Sufyan, Malik, dan selainnya : (Yaitu) Penegaskan atas kesaksian bahwasannya
tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasannya Muhammad itu
utusan Allah. Sesungguhnya Allah ta’ala berada di
atas ‘Arsy-Nya di atas langit-Nya, mendekat kepada makhluk-Nya sebagaimana yang
Ia kehendaki. Dan sesungguhnya Allah ta’ala turun ke langit dunia menurut
bagaimana yang Ia kehendaki” [Ijtimaa’ul-Juyuusy hal.
118 oleh Ibnul-Qayyim; Maktabah Al-Misykah].
Hal itu
sesuai dengan apa disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا حين
يبقى ثلث الليل الآخر فيقول من يدعوني فأستجيب له ومن يسألني فأعطيه ومن يستغفرني
فأغفر له
“Rabb kami tabaraka wa ta’ala
turun setiap malamnya ke langit dunia pada saat tinggal sepertiga malam yang
terakhir. Maka Allah berfirman : ‘Barangsiapa
yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta
kepada-Ku, niscaya akan Aku beri. Dan barangsiapa yang meminta ampun kepada-Ku,
niscaya Aku ampuni”
[HR. Al-Bukhari no. 7494 dan Muslim no. 758].
Hadits-hadits
tentang nuzul ini mncapai derajat mutawatir.
Dalam masalah : “Larangan Mendirikan Bangunan
atau Masjid di Atas Kubur”.
Ahlus-Sunnah
mengimani bahwa tidak boleh membangun bangunan atau masjid di atas kubur.
Membangun masjid di atas kubur menjadi salah satu wasilah kesyirikan dengan
pengagungan orang-orang shalih yang telah mati (yang di kubur di tempat itu)
dan bahkan meminta hajat kepada mereka untuk dikabulkan.
Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam pernah bersabda ketika sakit menjelang
wafat :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مسجدا قالت
ولولا ذلك لأبرزوا قبره غير أني أخشى أن يتخذ مسجدا
“Allah melaknat orang-orang
Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kubur nabi mereka sebagai masjid. (Aisyah
berkata) : “Kalau bukan karena hal itu, niscaya kubur beliau akan dinampakkan,
hanya saja aku takut kubur beliau akan dijadikan masjid” [HR. Al-Bukhari no.
1330].
‘Aisyah dan
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum berkata,”Ketika Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam menjelang wafat, beliau menutupkan
bajunya ke wajah. Ketika merasa gerah beliau membukanya dan bersabda :
لعنة الله على اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم
مساجد يحذر ما صنعوا
“Semoga
Allah melaknat Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kubur para nabi
mereka sebagai masjid.” Aisyah berkata : “Nabi memperingatkan
semisal perbuatan mereka” [HR. Al-Bukhari No. 435, Muslim No. 531,
dan yang lainnya; dan ini adalah lafadh Al-Bukhari].
Ummu Habibah
dan Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhuma menceritakan
kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang gereja yang mereka
lihat di Habasyah (Ethiopia), dan banyak gambar (patung) di dalamnya, beliau
lantas bersabda :
إن أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح فمات بنوا على
قبره مسجدا وصوروا فيه تلك الصور أولئك شرار الخلق عند الله يوم القيامة
“Mereka itu
(orang Nashrani) jika ada seorang shalih meninggal, mereka membangun masjid di
atas kuburannya, dan membuat gambar (patung)nya. Mereka itu sejelek-jelek
makhluk di sisi Allah pada hari kiamat” [HR. Al-Bukhari no. 427 dan Muslim no.
528].
Al-Hafidh
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata
:
هذا الحديث يدل على تحريم بناء المساجد على قبور
الصالحين ، وتصوير صورهم فيها كما يفعله النصارى ، ولا ريب أن كل واحد منهما محرم
على انفراده ، فتصوير صور الآدميين محرم ، وبناء القبور على المساجد بانفراده محرم
.....
“Hadits
ini menunjukkan haramnya membangun masjid di atas kubur orang-orang
shalih dan menggambar mereka seperti dilakukan oleh orang Nashrani. Tidak diragukan lagi bahwa
masing-masing perbuatan itu diharamkan. Melukis manusia diharamkan dan
membangun qubur di masjid juga diharamkan………” [Fathul-Baariy Syarh Shahih
Al-Bukhari oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy 3/202, tahqiq : Mahmud bin Sya’ban bin ‘Abdil-Maqshud dll.;
Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 1/1417].
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan :
وكل ذلك لقطع الذريعة المؤدية إلى عبادة من فيها كما
كان السبب في عبادة الأصنام . انتهى .
“Semua (larangan)
itu bertujuan memutus jalan menuju peribadatan kepada penghuni kubur. Sebab
larangan ini sama halnya dengan sebab dilarangnya ibadah terhadap patung-patung
(yang semula tujuan dari pembuatan patung-patung tersebut adalah untuk
mengingat orang-orang shalih, namun akhirnya akhirnya patung itu juga diibadahi
– Abu Al-Jauzaa’)” [Lihat Fathul Majiid oleh
’Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin ’Abdil-Wahhab hal. 220, ta’liq : Ibnu
Baaz; Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, Tanpa Tahun].
Ahlus-Sunnah
adalah orang yang komitmen terhadap Sunnah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam.
Termasuk pengamalan hadits shahih di atas. Tentu saja ini banyak bertolak
belakang dengan sebagian pengamalan orang-orang yang mengaku berintisab pada
madzhab Ahlus-Sunnah di masyakarak. Justru mereka lah pihak-pihak yang
menyemarakkan kubur dan masjid sebagai tempayt peribadahan yang tak
terpisahkan.
Al-Imam
Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata dalam kitab Az-Zawajir
‘an Iqtiraafil-Kabaair (1/120) :
" الكبيرة
الثالثة والرابعة والخامسة والسادسة والسابعة والثامنة والتسعون اتخاذ القبور
مساجد ، وإيقاد السرج عليها واتخاذها أوثاناً ، والطواف بها ، واستلامها ، والصلاة
إليها ".
“Dosa besar
ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, dan kesembilanpuluh adalah
menjadikan kuburan sebagai masjid, menyalakan obor di atasnya, menjadikannya
sebagai berhala, berjalan berputar-putar mengelilinginya, dan shalat
menghadapnya” [selesai].
*****
Itulah
sedikit ringkasan tentang Ahlus-Sunnah dalam beberapa pokok aqidah dan amalan.
Tentu saja, masih banyak hal lain yang tidak tersinggung di sini. Saya
persilakan ikhwah penuntut ilmu lainnya yang melengkapi. Semoga bermanfaat dan mohon maaf atas segala
kesalahan…………..
Abu Al-Jauzaa’ 1429
[1]
Sekaligus ini membuktikan madzhab salaf yang berlaku di era Imam Malik dimana
beliau tidak men-ta’wil sifat Allah (yaitu istiwaa’), dan tidak pula men-tafwidl-nya (menyerahkan
maknanya kepada Allah).
[2]
Seorang pakar bahasa dijamannya (151-231 H).
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مسجدا قالت ولولا ذلك
لأبرزوا قبره غير أني أخشى أن يتخذ مسجدا
tolong saya di beritahukan asbabun nuzulnya sepeintas ayat itu masalah yahudi
dan nashoro tapi kok tiba2 dimaknai untuk kaum muslimin yg tak sepaham dengan
salafy
Mas, itu bukan ayat, tapi hadits. Gak hapal ya ?. Berhubung itu
hadits, tentu saja tidak ada sababun-nuzuul nya.
Ummu Habibah dan Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhuma menceritakan kepada Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang gereja yang mereka lihat di Habasyah
(Ethiopia), dan banyak gambar (patung) di dalamnya, beliau lantas bersabda :
إن أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح فمات بنوا على قبره مسجدا وصوروا فيه تلك الصور
أولئك شرار الخلق عند الله يوم القيامة
“Mereka itu (orang Nashrani) jika ada seorang shalih meninggal, mereka
membangun masjid di atas kuburannya, dan membuat gambar (patung)nya. Mereka itu
sejelek-jelek makhluk di sisi Allah pada hari kiamat” [HR. Al-Bukhari no. 427
dan Muslim no. 528].
Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata :
هذا الحديث يدل على تحريم بناء المساجد على قبور الصالحين ، وتصوير صورهم فيها كما
يفعله النصارى ، ولا ريب أن كل واحد منهما محرم على انفراده ، فتصوير صور الآدميين
محرم ، وبناء القبور على المساجد بانفراده محرم .....
“Hadits ini menunjukkan haramnya membangun masjid di atas kubur orang-orang
shalih dan menggambar mereka seperti dilakukan oleh orang Nashrani. Tidak
diragukan lagi bahwa masing-masing perbuatan itu diharamkan. Melukis manusia
diharamkan dan membangun qubur di masjid juga diharamkan………” [Fathul-Baariy
Syarh Shahih Al-Bukhari oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy 3/202, tahqiq : Mahmud bin
Sya’ban bin ‘Abdil-Maqshud dll.; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet.
1/1417].
Sekedar mengikuti jalan logika Anda yang - maaf - lucu, itu Al-Haafidh Ibnu
Rajab kok sentimen sekali sama orang non Salafiy....
disamping itu ayat tersebut pada dasarnya sebelum ayat itu ada
ayat yg lain yg tidak boleh diabaikan kalau tidak salah
ما كان للمشركين أن يعمروا مساجد الله شاهدين على أنفسهم بالكفر أولئك حبطت أعمالهم
وفي النار هم خالدون ( 17 ) إنما يعمر مساجد الله من آمن بالله واليوم الآخر وأقام
الصلاة وآتى الزكاة ولم يخش إلا الله فعسى أولئك أن يكونوا من المهتدين ( 18 ) )
ya baik saya ralat dan maaf saya salah faham saya juga mohon
disampaikan asbabul wurudnya, tetapi saya kok menemukan demikian
Sekarang mari kita coba untuk mengungkap ada apa sebenarnya di balik ayat itu,
ada pesan dan pelajaran apa sesungguhnya, kita mulai dari Tafsir Ibnu Katsir:
يقول تعالى : ما ينبغي للمشركين بالله أن يعمروا مساجد الله التي بنيت على اسمه وحده
لا شريك له
Allah Ta’ala Berfirman: tidaklah di perkenankan/ tidak di himbau Orang
Musyrikin itu untuk memakmurkan Masjid yg di bangun atas Nama Allah.
Senada dg Tafsir Thobari sebagai berikut:
قال أبو جعفر: يقول تعالى ذكره: ما ينبغي للمشركين أن يعمروا مساجد الله وهم شاهدون
على أنفسهم بالكفر. يقول: إن المساجد إنما تعمر لعبادة الله فيها، لا للكفر به، فمن
كان بالله كافرًا، فليس من شأنه أن يعمُرَ مساجد الله.
Berkata Abu Ja’far: Allah Ta’ala berFirman : Tidak di perkenankan kepada
Musyrikin untuk memakmurkan Masjid2 Allah, sedangkan mereka terang2an dg
kekufurannya. Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya Masjid itu di dirikan untuk
beribadah kepada Allah, bukan untuk mrngkufuriNya. Maka Barang siapa yg Kafir
terhadap Allah, tiadalah bagian dirinya untuk memakmurkan MasjidNya Allah.
Jadi jelas konteks Ayat ini adalah pelarangan Bagi Orang2 Musyrik untuk tidak
ikut serta dalam membangun/memakmurkan Masjid, ini sesuai dg kelanjutan Ayat
tersebut yg jelas menjadi bahan pembicaraan adalah Masjidil haram, yg mana pada
waktu itu telah terjadi pemindahan Kekuasaan dari Orang2 Musyrik Arab ke Tangan
Rosulullah setelah Fathu Makkah.
Hal ini di pertegas dg Ayat إِنَّمَا المشركون نَجَسٌ “Sesungguhnya Orang2
Musyrik itu Najis” jadi mendekat saja ke Masjidil Haram gak boleh.
عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم قَالَ فِي مَرَضِهِ
الَّذِي مَاتَ فِيْهِ : لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ
أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا. قَالَتْ وَلَوْلاَ ذَلِكَ لَأَبْرَزُوْا قَبْرَهُ غَيْرَ
أَنِّي أَخْشَى أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا
Berikut penjelasan dalam Kitab Fathul Bari:
[] قوله : ( باب ما يكره من اتخاذ المساجد على القبور ) ترجم بعد ثمانية أبواب : ”
باب بناء المسجد على القبر ” . قال ابن رشيد : الاتخاذ أعم من البناء ، فلذلك أفرده
بالترجمة ، ولفظها يقتضي أن بعض الاتخاذ لا يكره ، فكأنه يفصل بين ما إذا ترتبت على
الاتخاذ مفسدة أو لا .
Kemudian dalam baris berikut di jelaskan sebagai berikut:
قوله : ( لأبرز قبره ) أي لكشف قبر النبي صلى الله عليه وسلم ، ولم يتخذ عليه الحائل
، والمراد الدفن خارج بيته ، وهذا قالته عائشة قبل أن يوسع المسجد النبوي ، ولهذا لما
وسع المسجد جعلت حجرتها مثلثة الشكل محددة ، حتى لا يتأتى لأحد أن يصلي إلى جهة القبر
مع استقبال القبلة .
Mari kita bandingkan dg komentar dari yg lain agar dapat kita ketahui apa
maksud dari Ittakhodla itu, di bawah ini terdapat dalam Kitab TuhfatulAkhwadzi
Syarah Sunan Al Turmudzi Juz 2 Hal 236 cet Darul Fikri
تنبيه: قال في مجمع البحاري: وحديث لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم
مساجد كانوا يجعلونها قبلة يسجدون إليها في الصلاة كالوثن، وأما من اتخذ مسجداً في
جوار صالح أو صلى في مقبرة قاصداً به الاستظهار بروحه أو وصول أثر من اثار عبادته إليه
لا التوجه نحوه والتعظيم له فلا حرج فيه، ألا يرى أن مرقد إسماعيل في الحجر في المسجد
الحرام والصلاة فيه أفضل انتهى
Lebih detail dan jelasnya ksimak Al Syaih dahlawi dalam menjelaskan hal ini
dalam Kitab Al Luma’at sebagai berikut:
قال التوربشتي هو مخرج على الوجهين: أحدهما كانوا يسجدون لقبور الأنبياء تعظيماً لهم
وقصد العبادة في ذلك وثانيهما أنهم كانوا يتحرون الصلاة في مدافن الأنبياء والتوجه
إلى قبورهم في حالة الصلاة والعبادة لله نظراً منهم أن ذلك الصنيع أعظم موقعاً عند
الله لاشتماله على الأمرين: عبادة والمبالغة في تعظيم الأنبياء، وكلا الطريقين غير
مرضية، وأما الأول فشرك جلي، وأما الثانية فلما فيها من معنى الاشراك بالله عز وجل
وإن كان خفياً. والدليل على ذم الوجهين قوله صلى الله عليه وسلّم: اللهم لا تجعل قبري
وثناً، اشتد غضب الله على قوم اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. والوجه الأول أظهر وأشبه،
كذا قال التوربشتي
..
وفي شرح الشيخ: فعلم منه أنه يحرم الصلاة إلى قبر نبي أو صالح تبركاً وإعظاماً، قال
وبذلك صرح النووي وقال التوربشتي وأما إذا وجد بقربها موضع بنى للصلاة أو مكان يسلم
فيه المصلى عن التوجه إلى القبور فإنه في مدحة من الأمر، وكذلك إذا صلى في موضع قد
اشتهر بأن فيه مدفن بنى لم ير للقبر فيه علماً ولم يكن تهده ما ذكرناه من العمل الملتبس
بالشرك الخفي.
“Masih dalam penjelasan Al Turbasty, maka sudah maklum jika sholat ke Kuburan
Nabi atau Orang Sholeh itu Haram baik dalam rangka bertabarruk atau dalam
Rangka Ta’dlim (Penghormatan). Kemudian Al Syaikh mengatakan demikian ini
adalah penjelasan Imam Nawawi. Al Turbasty mengatakan lagi: jika ada terdapat
tempat yg di situ terdapat Kuburan yg dekat dg tempat di mana di dirikan
Sholat, dan terjamin untuk tidak Tawajjuh (Lihat Arti Tawajjuh di atas) kepada
Kuburan, yg seperti itu adalah hal yg terpuji. . Demikian pula jika orang
melakukan sholat di tempat yang sudah terkenal sebagai tempat memakamkan nabi
tapi tidak melihat tanda kuburan disitu dan tidak menjerumuskannya hal-hal yang
telah kami sebut dari amal yang bercampur dengan syirik khofi (maka itu
termasuk perkara yang terpuji)”.
وفي شرح الشيخ مثله حيث قال: وخرج بذلك اتخاذ مسجد بجوار نبي أو صالح والصلاة عند قبره
لا لتعظيمه والتوجه نحوه بل لحصول مدد منه حتى يكمل عبادته ببركة مجاورته لتلك الروح
الطاهرة فلا حرج في ذلك لما ورد أن قبر إسماعيل عليه السلام في الحجر تحت الميزاب،
وأن في الحطم بين الحجر الأسود وزمزم قبر سبعين نبياً، ولم ينه أحد عن الصلاة فيه انتهى.
وكلام الشارحين مطابق في ذلك انتهى ما في اللمعات
Ya, ndak apa-apa, karena salah paham Anda didasari oleh pemahaman
yang salah. Ayat yang Anda sebutkan itu tidak pas kalau dihubungkan dengan
larangan membangun masjid di atas kubur. Alias, tidak ada korelasinya.
Komputer Anda tersedia maktabah Syamilah kan ?. Coba deh, baca syarah hadits اتخذوا
قبور أنبيائهم مساجد . Insya Allah Anda akan menemukan jawabannya.
Terima kasih atas copi pastenya. Nah, sekarang, yang Anda
simpulkan apa ? atau ringkasnya, Anda mau ngomong apa berdasarkan nukilan Anda
itu ?.
Barokallohu fik ya ustadz. teruslah menulis untuk membantah
syubhat2. saya sebenarnya sudah beberapa tahun yang lalu memilih aqidah salaf
ini, namun beberapa bulan terkhir ini saya terkena syubhat dari asya'iroh
sampai akhirnya saya ragu bahkan ingin meninggalkan aqidah salaf, alhamdulillah
setelah membaca tulisan2 ustadz dan sebuah artikel di
http://kangaswad.wordpress.com saya kembali yakin dengan aqidah salaf ini,
jazakallohu khoiron ustadz. semoga Alloh memberi kemudahan kepada ustadz untuk
terus menulis kebenaran
Assalamualaikum.
bagaimana pendapat antum ustadz terkait artikel berikut
Benarkah Istiwa` di Atas Arsy Diterjemahkan Bersemayam?
Disebutkan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia):
se•ma•yam, ber•se•ma•yam v 1 hor duduk: baginda pun – di atas singgasana
dikelilingi oleh para menteri dan hulubalang; 2 hor berkediaman; tinggal:
Sultan Iskandar Muda pernah – di Kotaraja; 3 ki tersimpan; terpatri (dl hati):
sudah lama cita-cita itu – dl hatinya; keyakinan yg – dl hati;
me•nye•ma•yam•kan v 1 mendudukkan (di atas takhta, singgasana); 2 membaringkan;
menginapkan (jenazah): pihak keluarga akan membawa jenazah almarhum setelah
-nya di rumah duka;
per•se•ma•yam•an n 1 tempat duduk; 2 tempat kediaman.
[sumber: http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php]
Dari sini kita bisa melihat bahwa arti semayam dalam bahasa Indonesia meliputi:
Duduk, berdiam, berbaring. Sementara istiwa maknanya tinggi dan berada diatas,
dan ini ini adalah ijma’ para ulama bahasa sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Taimiah
rahimahullah dan selainnya.
Telah dimaklumi dalam kaidah-kaidah tauhid asma` wa ash-shifat bahwa semua
sifat yang tidak ditetapkan dan tidak juga ditolak oleh Allah Ta’ala dari
dirinya dan tidak pula Ar-Rasul -alaihishshalatu wassalam- dari Allah, maka
kita juga tidak boleh menetapkan dan tidak boleh juga menolaknya. Kecuali jika
sifat itu mengandung kekurangan bagi Allah maka wajib untuk ditolak dari-Nya.
Maka sifat duduk dan berdiam merupakan sifat yang tidak pernah Allah tetapkan
untuk diri-Nya dan tidak pula menolaknya dari diri-Nya, baik dalam Al-Qur`an
maupun dalam As-Sunnah, karenanya kita tidak boleh menetapkan kedua sifat ini
untuk-Nya dan tidak pula menolaknya dari-Nya. Sementara sifat baring -wallahu
a’lam- zhahirnya mengharuskan sifat kurang bagi Allah karenanya harus ditolak
dari Allah.
Kesimpulannya: Menerjemahkan istiwa bermakna bersemayam adalah kurang tepat
bahkan salah, karena mengharuskan kita menetapkan sifat yang Allah tidak
tetapkan bagi dirinya dan itu bentuk berkata atas nama Allah tanpa ilmu,
wallahu a’lam bishshawab.
Sumber: http://al-atsariyyah.com/benarkah-istiwa-berarti-bersemayam.html