Wednesday, March 11, 2015

Ciri-ciri Aqidah dan Karakteristik Pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah

Ciri-Ciri Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki ciri-ciri khusus. Adapun ciri-ciri itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
[1] Sumber pengambilannya bersih dan akurat. Hal ini karena aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berdasarkan Kitab dan Sunnah serta Ijma’ para Salafush Shalih, yang jauh dari keruhnya hawa nafsu dan syubhat.
[2] Ia adalah aqidah yang berlandaskan penyerahan total kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab aqidah ini adalah iman kepada sesuatu yang ghaib. Karena itu, beriman kepada yang ghaib merupakan sifat orang-orang mukmin yang paling agung, sehingga Allah memuji mereka :“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya ; petunjuk bagi orang yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib”. [Al-Baqarah : 2-3]. Hal itu karena akal tidak mampu mengetahui hal yang ghaib, juga tidak dapat berdiri sendiri dalam memahami syari’at, karena akal itu lemah dan terbatas. Sebagaimana pendengaran, penglihatan dan kekuatan manusia itu terbatas, demikian pula dengan akalnya. Maka beriman kepada yang ghaib dan menyerah sepenuhnya kepada Allah adalah sesuatu yang niscaya.
[3] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah aqidah yang sejalan dengan fithrah dan logika yang benar, bebas dari syahwat dan syubhat.
[4] Sanadnya bersambung kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabat, tabi’in dan para imam, baik dalam ucapan, perbuatan maupun keyakinan. Ciri ini banyak diakui oleh para penentangnya. Dan memang -Alhamdulillah- tidak ada suatu prinsip pun dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tidak memiliki dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah atau dari Salafus Shalih. Ini tentu berbeda dengan aqidah-aqidah bid’ah lainnya.
[5] Ia adalah aqidah yang mudah dan terang, seterang matahari di siang bolong. Tidak ada yang rancu, masih samar-samar maupun yang sulit. Semua lafazh-lafazh dan maknanya jelas, bisa dipahami oleh orang alim maupun awam, anak kecil maupun dewasa. Ia adalah aqidah yang berdasar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah laksana makanan yang bermanfaat bagi segenap manusia. Bahkan seperti air yang bermanfaat bagi bayi yang menyusu, anak-anak, orang kuat maupun lemah.
[6] Selamat dari kekacauan, kontradiksi dan kerancuan. Betapa tidak, ia adalah bersumber kepada wahyu yang tak mungkin datang kepadanya kebatilan, dari manapun datangnya. Dan kebenaran tidak mungkin kacau, rancu dan mengandung kontradiksi. Sebaliknya, sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Allah berfirman : “Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya” [An-Nisaa : 82]
[7] Mungkin di dalamnya terdapat sesuatu yang mengandung perdebatan, tetapi tidak mungkin mengandung sesuatu yang mustahil. Dalam aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ada hal-hal yang di luar jangkauan akal, atau tidak mampu dipahami. Seperti seluruh masalah ghaib, adzab dan nikmat kubur, shirath, haudh (telaga), surga dan neraka, serta kaifiyah (penggambaran) sifat-sifat Allah. Akal manusia tidak mampu memahami atau mencapai berbagai persoalan di atas, tetapi tidak menganggapnya mustahil. Sebaliknya ia menyerah, patuh dan tunduk kepadanya. Sebab semuanya datang dari wahyu, yang tidak mungkin berdasarkan hawa nafsu.
[8] Ia adalah aqidah yang universal, lengkap dan sesuai dengan setiap zaman, tempat, keadaan dan umat. Bahkan kehidupan ini tidak akan lurus kecuali dengannya.
[9] Ia adalah aqidah yang stabil, tetap dan kekal. Ia tetap teguh menghadapi berbagai benturan yang terus menerus dilancarkan musuh-musuh Islam, baik dari Yahudi, Nashrani, Majusi maupun yang lainnya. Ia adalah akidah yang kekal hingga hari kiamat. Ia akan dijaga oleh Allah sepanjang generasi. Tak akan terjadi penyimpangan, penambahan, pengurangan atau penggantian. Betapa tidak, karena Allah-lah yang menjamin penjagaan dan kekalannya. Ia tidak menyerahkan penjagaan itu kepada seorangpun dari mahluk-Nya, Alah berfirman : “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan Kamilah yang akan menjaganya”. [Al-Hijr : 9]
[10] Ia adalah sebab adanya pertolongan, kemenangan dan keteguhan. Hal itu karena ia adalah aqidah yang benar. Maka orang yang berpegang teguh kepadanya akan menang, berhasil dan ditolong. Hal itu sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang membela kebenaran, yang tidak akan membahayakan mereka orang yang merendahkan mereka sampai datangnya keputusan Allah, dan mereka dalam keadaan demikian”. [Hadits Riwayat Muslim 3/1524]. Maka barangsiapa mengambil aqidah tersebut, niscaya Allah akan memuliakannya dan barangsiapa meninggalkannya, niscaya Allah akan menghinakannya. Hal itu telah diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah. Sehingga, ketika umat Islam menjauhi agamanya, terjadilah apa yang terjadi, sebagaimana yang menimpa Andalusia (Spanyol) dan yang lain.
[11] Ia mengangkat derajat para pengikutnya. Barangsiapa memegang teguh aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, semakin mendalami ilmu tentangnya, mengamalkan segala konsekwensinya, serta mendakwahkannya kepada manusia, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya, meluaskan kemasyhuranya serta keutamaannya akan tersebar, baik sebagai pribadi maupun jama’ah. Hal itu karena akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah akidah terbaik yang sesuai dengan segenap hati dan sebaik-baik yang diketahui akal. Ia menghasilkan berbagai pengetahuan yang bermanfaat dan akhlak yang tinggi.
[12] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kapal keselamatan. Maka barangsiapa berpegang teguh dengannya, niscaya akan selamat. Sebaliknya barangsiapa meninggalkannya, niscaya tenggelam dan binasa.
[13] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah aqidah kasih sayang dan persatuan. Karena, tidaklah umat Islam itu bersatu dalam kalimat yang sama di berbagai masa dan tempat kecuali karena mereka berpegang teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebaliknya, mereka akan berpecah belah dan saling berselisih pendapat jika menjauh darinya.
[14] Aqidah Ahlus Suannah wal Jama’ah adalah aqidah istimewa. Para pengikutnya adalah orang-orang istimewa, jalan mereka lurus dan tujuan-tujuannya jelas.
[15] Ia menjaga para pengikutnya dari bertindak tanpa petunjuk, mengacau dan sikap sia-sia. Manhaj mereka satu, prinsip mereka jelas, tetap dan tidak berubah. Karena itu para pengikutnya selamat dari mengikuti hawa nafsu, selamat dari bertindak tanpa petunjuk dalam soal wala’ wal bara’ (setia dan berlepas diri dari orang lain), kecintaan dan kebencian kepada orang lain. Sebaliknya, ia memberikan ukuran yang jelas, sehingga tidak akan keliru selamanya. Dengan demikian ia akan selamat dari perpecahan, bercerai berai dan kesia-siaan. Ia akan tahu kepada siapa harus membenci, dan mengetahui pula hak serta kewajibannya.
[16] Ia akan memberikan ketenangan jiwa dan pikiran kepada pengikutnya. Jiwa tidak akan gelisah, tidak akan ada kekacauan dalam pikirannya. Sebab akidah ini menghubungkan antara orang mukmin dengan Tuhannya. Ia akan rela Allah sebagai Tuhan, Pencipta, Hakim dan Pembuat Syari’at. Maka hatinya akan merasa aman dengan takdir-Nya, dadanya akan lapang atas ketentuan-ketentuan hukum-Nya, dan pikirannya akan jernih dengan mengetahui-Nya.
[17] Tujuan dan amal pengikut aqidah ini mejadi selamat. Yakni selamat dari penyimpangan dalam beribadah. Ia tidak akan menyembah selain Allah dan akan mengharapkan kepada selain-Nya.
[18] Ia akan mempengaruhi prilaku, akhlak dan mua’malah. Aqidah ini memerintahkan pengikutnya melakukan setiap kebaikan dan mencegah mereka melakukan setiap kejahatan. Ia memerintahkan keadilan dan berlaku lurus serta mencegah mereka dari kezhaliman dan penyimpangan.
[19] Ia mendorong setiap pengikutnya bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam segala sesuatu.
[20] Ia membangkitkan jiwa mukmin agar mengagungkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab ia mengetahui bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah haq, petunjuk dan rahmat, karena itu mereka mengagungkan dan berpegang teguh pada keduanya.
[21] Ia menjamin kehidupan yang mulia bagi pengikutnya. Di bawah naungan aqidah ini akan terwujud keamanan dan hidup mulia. Sebab ia tegak atas dasar iman kepada Allah dan kewajiban beribadah kepada-Nya, dan tidak kepada yang lain. Dan hal itu -dengan tidak diragukan lagi- menjadi sebab keamanan, kebaikan dan kebahagiaan dunia-akhirat. Keamanan adalah sesuatu yang mengiringi iman. Maka, barangsiapa kehilangan iman, ia akan kehilangan keamanan. Allah berfirman : “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. [Al-An’am : 82]. Jadi orang-orang yang bertakwa dan beriman adalah mereka yang memiliki kemanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna pula, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, orang-orang musyrik dan pelaku maksiat adalah orang-orang yang selalu ketakutan. Mereka senantiasa diancam dengan berbagai siksaan di setiap saat.
[22] Aqidah ini menghimpun semua kebutuhan ruh, hati dan jasmani.
[23] Mengakui akal, tetapi membatasi perannya. Ia adalah aqidah yang menghormati akal yang lurus dan tidak mengingkari perannya. Jadi, Islam justru tidak rela jika seorang muslim memadamkan cahaya akalnya, lalu hanya bertaklid buta dalam persoalan aqidah dan lainnya. Meskipun begitu, peran akal tetaplah terbatas.
[24] Mengakui perasaan manusia dan membimbingnya pada jalan yang benar. Perasaan adalah sesuatu yang alami pada diri manusia dan tak seorangpun manusia yang tidak memilikinya. Aqidah ini adalah aqidah yang dinamis, tidak kaku dan beku, ia mengaku adanya perasaan manusia serta menghormatinya, tetapi bukan berarti ia mengumbarnya. Sebaliknya ia meluruskan dan membimbingnya sehingga menjadi sarana perbaikan dan pembangunan, tidak sebagai alat perusak dan penghancur.
[25] Ia menjamin untuk memberi jalan keluar setiap persoalan, baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan atau persoalan lainnya.
Dengan aqidah ini, Allah telah menyatukan hati umat Islam yang berpecah belah, hawa nafsu yang bercerai berai, mencukupkan setelah kemiskinan, mengajari ilmu setelah kebodohan, memberi penglihatan setelah buta, memberi makan dari kelaparan dan memberi mereka keamanan dari ketakutan.
[Tasharrufan (saduran) dari Mukhtasar Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Buletin AN NUR Thn. IV/No. 139/Jum’at I/R.Awal 1419H]
Karakteristik Pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah
[1]. Hanya bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka senantiasa menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber pengambilan, baik dalam ibadah, akidah, mu’amalah, sikap maupun akhlak. Setiap yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka menerima dan menetapkannya. Sebaliknya, setiap yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka menolaknya, tak peduli siapa pun yang berpendapat dengannya.
[2]. Menyerah kepada nash-nash syara’, serta memahaminya sesuai dengan pemahaman As-Salafus Shalih. Mereka menyerah kepada nash-nash syara, baik mereka memahami hikmahnya maupun tidak. Mereka tidak menghakimi nash-nash tersebut dengan akal mereka, tetapi mereka menghakimi akal mereka dengan nash-nash syara’.
[3]. Itiba’ dan meningglakan ibtida’. Mereka tidak mendahului perkataan Allah dan Rasul-Nya, tidak meninggikan suara di atas suara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka juga tida rela jika seseorang meninggikan suara di atas suara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[4]. Mereka memperhatikan Al-Qur’an, baik dalam hal hafalan, bacaan maupun penafsiran. Juga perhatian dengan Al-Hadits, baik dalam hal dirayah (matan, isi hadits) maupun riwayah (pembawa hadits).
[5]. Mereka senantiasa berdalil dengan sunnah shahihah dan meninggalkan pembedaan antara hadits mutawatir dengan ahad, baik dalam hukum maupun aqidah.
[6]. Mereka tidak memiliki imam yang diagungkan, yang mereka ambil seluruh ucapannya kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mereka menimbangnya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, jika ia sesuai dengan keduanya maka diterima, dan jika tida maka di tolak.
[7]. Mereka adalah orang yang paling mengerti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengetahui petunjuk, amal, ucapan dan ketetapan-ketetapannya. Karena itu, mereka adalah orang yang paling mencintai beliau dan paling setia mengikuti sunnahnya.
[8]. Mereka masuk ke dalam Islam secara keseluruhan dan beriman kepada Al-Qur’an secara keseluruhan pula [Al-Baqarah : 208].
[9]. Para pengikut Ahlus Sunnah mengagungkan para As-Salafush Shalih, meneladani dan menjadikan mereka sebagai teladan. Mereka melihat bahwa jalan para As-Salafus Shalih adalah jalan yang paling selamat, paling mengetahui dan paling bijaksana.
[10]. Mereka memadukan antara nash-nash tentang suatu persoalan dan mengembalikan al-mustasyabih (nash yang belum jelas) kepada al-muhkam (yang telah jelas ketentuannya), yang dengan demikian mereka bisa mencapai kebenaran dalam masalah tersebut.
[11]. Mereka memadukan antara ilmu dan ibadah. Ini berbeda dengan selain mereka yang terkadang sibuk beribadah dengan meninggalkan ilmu, atau sebaliknya.
[12]. Mereka memadukan antara tawwakal kepada Allah dengan ikhtiar, mereka tidak mengingkari perlunya ikhtiar, sehingga tetap berusaha, tapi pada saat yang sama mereka tidak menggantungkan kepadanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ” Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kegagalan, maka janganlah kamu berkata, ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah, ‘Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki’. Karena ucapan ‘seandainya’ akan membuka (pintu) perbuatan setan”. [Hadits Riwayat Muslim 8/56 No. 2664 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].
[13]. Memadukan antara kekayaan harta dengan sikap zuhud terhadapnya. Para pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengingkari orang yang memiliki kekayaan harta yang melimpah. Sebaliknya mereka memandang, setiap orang harus memenuhi kebutuhan dirinya dan orang yang ada di bawah tanggung jawabnya, dan tidak menggantungkan kepada orang lain. Tetapi, hendaknya tidak menjadikan dunia sebagai puncak harapan dan keinginannya. Mereka juga tidak boleh membenci orang yang lebih menerima dan rela terhadap yang sedikit dari kesenangan dunia. Sebab mereka berpendapat, zuhud letaknya di hati, yakni meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi akhiratnya. Sedangkan orang yang lapang kekayaannya, tetapi ia meletakkannya di tangan dan tidak di hati, dan menyedekahkannya kepada fakir miskin, maka itu adalah karunia Allah yang diberikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Dan itulah keadaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf dan para sahabat lainnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar radiyallahu ‘anhum.
[14]. Mereka memadukan antara khauf (takut), raja’ (harap) dan hubb (cinta), bahkan mereka berpendapat bahwa antara ketiganya tidaklah bertentangan. [As-Sajdah : 16]. Dalam hal ini terdapat ucapan yang mashur dari para salaf : “Siapa yang menyembah Allah hanya dengan cinta maka dia adalah zindiq, dan siapa yang menyembah Allah hanya dengan perasaan takut maka dia adalah haruri (Khawarij), dan siapa yang menyembah Allah hanya dengan harapan dia adalah Murji’. Sedang yang menyembah Allah dengan takut, cinta daan harapan maka dia adalah mukmin sejati”.
[15]. Mereka memadukan antara kasih sayang dan lemah lembut dengan sikap keras dan kasar. Ini berbeda dengan selain golongan mereka yang berlaku keras atau lemah lembut dalam setiap kesempatan. Ahlus Sunnah wal Jama’ah senantiasa menempatkan sesuatu pada tempatnya, menurut maslahat dan tuntutan kondisi.
[16]. Mereka memadukan antara akal dengan perasaan. Akal mereka jernih, perasaan mereka jujur dan ukuran yang mereka gunakan tepat. Mereka tidak mengalahkan akal atas perasaan atau sebaliknya, tetapi mereka memadukan antara keduanya dengan sesempurna mungkin. Perasaan mereka kuat, tetapi dikendalikan oleh akal, dan akal dikendalikan oleh syari’at : “Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki”. [An-Nur : 35]
[17]. Keadilan merupakan keistimewaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang paling agung. Mereka adalah orang yang paling adil, dan orang-orang yang paling berhak menta’ati firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah”. [An-Nisaa’ : 135]. Bahkan jika kelompok-kelompok lain bertikai maka mereka akan meminta keputusan hukum kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[18]. Amanah ilmiah. Di antara bentuk amanah ilmiah yaitu ketika menukil sesuatu, mereka tidak memalsukan atau memutarbalikkan fakta. Jika mereka menukil dari orang yang berbeda pendapat dengan mereka, maka mereka menukilnya dengan sempurna, tidak mengambil apa yang sesui dengan pendapatnya dan meninggalkan yang lain. Dan mereka tidak berfatwa atau memutuskan hukum kecuali berdasarkan apa yang mereka ketahui.
[19]. Mereka adalah kelompok moderat dan pilihan. Allah berfirman : “Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu, umat yang moderat dan pilihan”. [Al-Baqarah : 143]. Sikap moderat Ahlus Sunnah wal Jama’ah tampak dalam banyak hal, baik dalam hal aqidah, hukum, perilaku, akhlak maupun lainnya. Mereka adalah kelompok pertengahan, antara yang berlebih-lebihan dan yang meremehkan.
[20]. Tidak berselisih dalam masalah-masalah prinsip aqidah. Para As-Salafush Shalih tidak berselisih dalam suatu persoalan prinsip-pun dalam agama, juga tidak dalam prinsip-prinsip aqidah. Dalam masalah Asma’ dan Sifat-sifat Allah misalnya, pendapat mereka adalah satu. Pendapat mereka juga sama dalam masalah iman, defenisi dan berbagai persoalannya, dalam masalah takdir juga dalam masalah-masalah prinsip lainnya.
[21]. Mereka meninggalkan perseteruan dalam masalah agama, serta menjauhi orang-orang yang suka berseteru. Sebab perseteruan akan mengakibatkan fitnah, perpecahan, fanatisme buta dan hawa nafsu.
[22]. Perhatian untuk menyatukan kalimat umat Islam pada kebenaran. Mereka sangat peduli bagi kesatuan umat Islam, menghilangkan sebab-sebab pertikaian dan perpecahan. Sebab mereka mengetahui, persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab. Dan karena Allah memerintahkan persatuan dan melarang perselisihan. Allah berfirman : “Dan berpegang lah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai”. [Ali-Imran : 103].
[23]. Mereka adalah orang-orang yang memiliki wawasan yang luas, pandangan yang jauh ke depan, paling lapang dada dalam soal perselisihan dan paling teguh memegang berbagai peringatan. Mereka tidak risih menerima kebenaran dari siapapun, juga tidak malu untuk kembali kepadanya. Selanjutnya, mereka tidak memaksakan orang lain mengikuti ijtihad mereka, tidak mengatakan sesat orang-orang yang menyelisihinya, dan tidak menjadi sesak dada mereka karena persoalan ijtihadiyah, yang di situ banyak orang berbeda paham. Termasuk tanda keluasan wawasan mereka yaitu mereka jauh dari fanatik, taklid buta dan hizbiyah.
[24]. Mereka adalah orang-orang yang memiliki akhlak terpuji, rendah hati, penuh kasih sayang dan toleran. Dan mereka selalu mengajak kepada akhlak baik dan perbuatan terpuji.
[25]. Mereka senantiasa berdakwah kepada Allah dengan hikmah, pelajaran yang baik dan perbedaan dengan cara yang baik pula.
[26]. Mereka adalah ghuraba, orang-orang yang memperbaiki apa yang dirusak menusia dan selalu berbuat baik saat manusia lain rusak.
[27]. Mereka adalah Firqatun Najiyah, yang selamat dari berbagai bid’ah dan kesesatan di dunia ini dan selamat pula dari siksa Allah kelak di akhirat.
[28]. Mereka adalah Thaifah Manshurah (kelompok yang menang), karena Allah senantiasa bersama mereka menolong dan meneguhkan mereka.
[29]. Mereka tidak setia atau memusuhi kecuali berdasarkan agama. Mereka tidak memenangkan hawa nafsunya, juga tidak marah karenanya. Semua kesetiaan dan kebenciannya hanyalah semata-mata karena Allah.
[30]. Selamat dari sikap saling mengkafirkan satu sama lain. Ahlus Sunnah hanya membantah dan menjelaskan kebenaran kepada orang yang berselisih dengan mereka. Ini berbeda dengan kelompok lain seperti Khawarij yang senang berselisih, menyesatkan dan mengkafirkan.
[31]. Hati dan lisan mereka selamat dari mencerca shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebaliknya, hati mereka dipenuhi kecintaan kepada para sahabat, lisan mereka senantiasa basah memuji, karena Ahlus Sunnah berpendapat bahwa para shahabat adalah sebaik-baik generasi sebagaimana dinyatakan Allah dan Rasul-Nya.
[32]. Mereka selamat dari keragu-raguan, keguncangan dan kontradiksi. Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang awam di antara mereka. Berbeda dengan ahli kalam atau kelompok lainnya. Ar Razi, misalnya, salah seorang pembesar ilmu kalam yang karena kebingungan dan keguncangannya, dalam salah satu syairnya mengatakan : ” Dan akhir dari usaha para ilmuwan adalah kesesatan”. Bandingkanlah hal itu dengan ucapan Umar bin Abdul Aziz : “Di pagi hari aku tidak merasakan kegembiraan kecuali dalam qadha’ dan qadar”.
[33]. Selalu mengecek ulang berita-berita yang datang dan tidak gampang men-genalisir hukum. Mereka tidak mudah menghukumi fasik, kafir atau tuduhan-tuduhan lain tanpa bukti dan asalan-alasan nyata.
[34]. Mereka mendapatkan berita gembira saat datangnya kematian, karena keimanan dan istiqamah mereka dalam keimanan tersebut. [Fush-shilat : 30].
[35]. Kebaikan mereka di lipat gandakan dan derajat mereka ditingkatkan, hal itu karena aqidah mereka benar dan iman mereka kuat.
Karena semua hal di atas tidak berarti Ahlus Sunnah adalah orang-orang maksum. Tetapi manhaj (jalan) dan jama’ah mereka adalah yang maksum. Jika Ahlus Sunnah memiliki kesalahan kelompok lain lebih banyak, dan jika kelompok lain memiliki keutamaan dan ilmu maka keutamaan dan ilmu Ahlus Sunnah lebih sempurna dan lengkap.
Karena itulah, menjadi sesuatu yang niscaya agar kita meniti manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[Saduran dari Mukhtashar Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Buletin Dakwah An Nur Thn IV/No.140/ Jum’at II/R.Awal 1419H]
Sumber :
Maret 16, 2011


Siapakah Ahlussunnah Wal Jama’ah?

                                                                                                         ahlussunnah wal jama'ah
                                                                                                                                                          
Dewasa ini marak pengakuan dari berbagai pihak yang mengklaim dirinya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sehingga menyebabkan adanya kerancuan dan kebingungan dalam persepsi banyak orang tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah itu ?
Jawab :
Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap muslim yang menghendaki kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus dalam menyembah Allah Subhaanahu wa Ta’aala sesuai dengan tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam empat belas abad yang lalu.
Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya ketika beliau berkata kepada mereka :  
افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah ”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain -rahimahumullahu-.
Demikianlah umat ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah kita saksikan pada zaman ini yang mana hal tersebut merupakan suatu ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala Yang Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana dan Allah Subhaanahu wa Ta’aala Maha Mempunyai Hikmah dibelakang hal tersebut.
Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan -hafidzahullahu-menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut dalam kitab Lumhatun ‘Anil Firaqcet. Darus Salaf hal.23-24 beliau berkata : “(Perpecahan dan perselisihan-ed.) merupakan hikmah dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala guna menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran dan siapa yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.
Allah berfirman :
الم  أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ   وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankab ut : 29 / 1-3).
Dan Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman :
وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ  إِلاَّ مَن رَّحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لأَمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya ” . (QS. H ud : 10 / 118-119)
وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“ Dan kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. Al-‘An’ am : 6 / 35).”
Dan Allah ’Azza wa Jalla Maha Bijaksana dan Maha Merahmati hambaNya. Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam :
قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul Jannah.
Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- :
خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ ] وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ [
“Pada suatu hari Rasulullah r menggaris di depan kami satu garisan lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada syaithon menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya ini adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari jalanNya”. (QS. Al ‘An’am : 6 / 153 )” .
Diriwayatkan oleh : Abu Daud Ath-Thoy alisy dalamMusnadnya no. 244, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 8/88, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam As-Sunnahno.11, Sa’id bin Manshur dalam Tafsirnya 5/113 no 935, Ahmad 1/435, Ad Darimy 1/78 no 202, An-Nasai dalamAl-Kubro 5/94 no.8364 dan 6/343 no.11174, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 1/180-181 no.6-7dan dalam Al-Mawarid no 1741, Al-Hakim dalamMustadraknya 2/348, Asy-Syasyi dalam Musnadya 2/48-51 no.535-537, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/263 dan Al-Lalaka’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/80-81. Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain.
Adapun penamaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini akan diuraikan dari beberapa sisi :
Pertama : Definisi Sunnah.
Sunnah secara lughoh (bahasa) : berarti jalan, baik maupun jelek, lurus maupun sesat, demikianlah dijelaskan oleh Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab 17/89 dan Ibnu An-Nahhas.
Makna secara lughoh itu terlihat dalam hadits Jarir bin ‘Abdullah. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ سْنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ
“Siapa yang membuat sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya dan siapa yang membuat sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa orang yang melakukannya setelahnya”. Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shohih nya no.1017.
Lihat Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Bid’ah Wal Ahwa`i 1/29-33 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jam a’ah Wa Manhajul Asya’irah Fi Tauhidillah I/19.
Adapun secara istilah : Sunnah mempunyai makna khusus dan makna umum. Dan yang diinginkan di sini tentunya adalah makna umum.
Adapun makna sunnah secara khusus yaitu makna menurut istilah para ulama dalam suatu bidang ilmu yang mereka tekuni :
Para ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam baik itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan-pen.) maupun sifat lahir dan akhlak.
Para ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau, pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan.
Para ulama fiqh memberikan definisi sunnah sebagai hukum yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam di bawah hukum wajib.
Adapun makna umum sunnah adalah Islam itu sendiri secara sempurna yang meliputi aqidah, hukum, ibadah dan seluruh bagian syariat.
Berkata Imam Al-Barbahary : “Ketahuilah sesungguhnya Islam itu adalah sunnah dan sunnah adalah Islam dan tidaklah tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya” (lihat : Syarh As-Sunnah hal.65 point 1).
Berkata Imam Asy-Sy athiby dalam Al-Muwafaq ot 4/4 : “(Kata sunnah) digunakan sebagai kebalikan/lawan dari bid’ah maka dikatakan : “Si fulan di atas sunnah” apabila ia beramal sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang sebelumnya hal tersebut mempunyai nash dari Al-Qur’an, dan dikatakan “Si Fulan di atas bid’ah” apabila ia beramal menyelisihi hal tersebut (sunnah)”.
Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fat aw a 4/180 menukil dari Imam Abul Hasan Muhammad bin ‘Abdul Malik Al-Karkhy beliau berkata : “Ketahuilah… bahwa sunnah adalah jalan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mengupayakan untuk menempuh jalannya dan ia (sunnah) ada 3 bagian : perkataan, perbuatan dan aqidah”.
Berkata Imam Ibnu Rajab -rahimahullahu ta’ala- dalamJami’ Al-‘Ulum Wal Hikam hal. 249 : “Sunnah adalah jalan yang ditempuh, maka hal itu akan meliputi berpegang teguh terhadap apa-apa yang beliau r berada di atasnya dan para khalifahnya yang mendapat petunjuk berupa keyakinan, amalan dan perkataan. Dan inilah sunnah yang sempurna, karena itulah para ulama salaf dahulu tidak menggunakan kalimat sunnah kecuali apa-apa yang meliputi seluruh hal yang tersebut di atas”. Hal ini diriwayatkan dari Hasan, Al-Auza’iy dan Fudhail bin ‘Iyadh”.
Demikianlah makna sunnah secara umum dalam istilah para ‘ulama -rahimahumullah- dan hal itu adalah jelas bagi siapa yang melihat karya-karya para ulama yang menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnahdimana akan terlihat bahwa mereka menginginkan makna sunnah secara umum seperti :
Kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim.
Kitab As-Sunnah karya Imam Ahmad.
Kitab As-Sunnah karya Ibnu Nashr Al-Marwazy.
Kitab As-Sunnah karya Al-Khallal.
Kitab As-Sunnah karya Abu Ja’far At-Thobary.
Kitab Syarh As-Sunnah karya Imam Al-Barbahary.
Kitab Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawy.
dan lain-lainnya.
Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah 1/29-35, Haqiqatul Bid’ah1/63-66 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhajul Asya’irah 1/19-23.
Kedua : Makna Ahlus Sunnah.
Penjelasan makna sunnah di atas secara umum akan memberikan gambaran tentang makna Ahlus Sunnah (pengikut sunnah-ed.).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 3 hal.375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan apa-apa yang disepakati oleh orang-orang terdahulu yang pertama dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.
Berkata Ibnu Hazm dalam Al-Fishal jilid 2 hal. 281 : “Dan Ahlus Sunnah -yang kami sebutkan- adalah ahlul haq (pengikut kebenaran) dan selain mereka adalah ahlul bid’ah (pengikut perkara-perkara baru dalam agama), maka mereka (ahlus sunnah) adalah para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- dan siapa saja yang menempuh jalan mereka dari orang-orang pilihan di kalangan tabi’in kemudian Ashhabul Hadits dan siapa yang mengikuti mereka dari para ahli fiqh zaman demi zaman sampai hari kita ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dari orang awam di Timur maupun di Barat bumi -rahmatullahi ’alaihim- ”.
Dan Ibnul Jauzy berkata dalam Talb is Iblis hal.21 : “Tidak ada keraguan bahwa ahli riwayat dan hadits yang mengikuti jejak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan jejak para sahabatnya mereka itulah Ahlus Sunnah karena mereka di atas jalan yang belum terjadi perkara baru padanya. Perkara baru dan bid’ah hanyalah terjadi setelah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya”.
Berkata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fataw a 3/157 :” Termasuk jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengikuti jejak-jejak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam secara zhohir dan batin dan mengikuti jalan orang-orang terdahulu yang pertama dari para (sahabat) Muhajirin dan Anshar dan mengikuti wasiat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam tatkala berkata : “Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah setelahku berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.”
Dan beliau berkata dalam Majmu’ Fataw a 3/375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan kitab Allah dan sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan apa-apa yang disepakati oleh generasi dahulu yang pertama dari kaum Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik”.
Dan di dalam Majmu’ Fatawa 3/346 beliau berkata : “Siapa yang berkata dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma’ maka ia termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah“.
Berkata Abu Nashr As-Sijzy : “Ahlus Sunnah adalah mereka yang kokoh di atas keyakinan yang dinukil kepada mereka olah para ulama Salafus Sholeh -mudah-mudahan Allah Subhaanahu wa Ta’aala merahmati mereka – dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam atau dari para sahabatnya -radhiyallahu ‘anhum- pada apa-apa yang tidak ada nash dari Al-Qur’an dan dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam , karena mereka itu -radhiyallahu ‘anhum- para Imam dan kita telah diperintahkan mengikuti jejak-jejak mereka dan sunnah mereka, dan ini sangat jelas sehingga tidak butuh ditegakkannya keterangan tentangnya”.
(Lihat : Ar-Raddu ‘ Ala Man Ankaral Harf hal.99)
Maka jelaslah dari keterangan-keterangan di atas dari para Imam tentang makna penamaan Ahlus Sunnah bahwa Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang menerapkan Islam secara keseluruhan sesuai dengan petunjuk Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya berdasarkan pemahaman para ulama salaf dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik .
Dan tentunya merupakan suatu hal yang sangat jelas bagi orang yang memperhatikan hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam akan disyariatkannya penamaan Ahlus Sunnah terhadap orang-orang yang memenuhi kriteria-kriteria di atas.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menyatakan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah -radhiyallahu ’anhu- :
 صَلَّى لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُ مُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Rasulullah sholat bersama kami sholat Shubuh, kemudian beliau menghadap kepada kami kemudian menasehati kami dengan suatu nasehat yang hati bergetar karenanya dan air mata bercucuran, maka kami berkata : “Yaa Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka berwasiatlah kepada kami”. Maka beliau bersabda : “Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun yang menjadi pemimpin atas kalian seorang budak dari Habasyah (sekarang Ethopia) karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan yang sangat banyak maka berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan kepada sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah .”. Hadits shohih dari seluruh jalan-jalannya.
Dan masih banyak lagi dalil yang menunjukkan hal di atas. Wallahu a’lam.
Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/36-37, 47-49, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66, 268-269 dan Manhaj Ahlus Sunnah 1/19-20, 24-27.
Ketiga : Definisi Jama’ah.
Jama’ah secara lughoh : Dari kata Al-Jama’ bermakna menyatukan sesuatu yang terpecah, maka jama’ah adalah lawan kata dari perpecahan.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 2/157 : “Dan mereka dinamakan Ahlul Jama’ah karena Al-Jama’ah adalah persatuan dan lawannya adalah perpecahan.”
Adapun secara istilah para ulama berbeda penafsiran tentang makna jama’ah yang tersebut di dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam , di antara hadits-hadits itu adalah :
Satu : Hadits perpecahan ummat yang telah disebutkan di atas
Dua : Wasiat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah dalam hadits riwayat Bukhory-Muslim , beliau berkata:
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ
“Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan Imamnya .”
Tiga : Hadits Ibnu ‘Abbas riwayat Bukhory-Muslim Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
 فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شَيْئًا فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Karena sesungguhnya siapa yang berpisah dengan Al-Jama’ah sedikitpun kemudian ia mati maka matinya adalah mati jahiliyah” .
Empat : Hadits Ibnu ‘Abbas Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
 يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
“Tangan Allah di atas Al-Jama’ah” .
Dari hadits-hadits di atas dan yang semisalnya para ulama berbeda di dalam menafsirkan kalimat Al-Jama’ah yang terdapat di dalam hadits-hadits tersebut sehingga ditemukan ada enam penafsiran :
Pertama : Jama’ah adalah Assawadul A’zhom(kelompok yang paling besar dari umat Islam). Ini adalah pendapat Abu Mas’ud Al-Anshory, ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Ghalib.
Kedua : Al-Jama’ah adalah jama’ah ulama ahli ijtihad atau para ulama hadits, dikatakan bahwa mereka ini adalah jama’ah karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala menjadikan mereka hujjah terhadap makhluk dan manusia ikut pada mereka pada perkara agama.
Berkata Imam Al-Bukhory menafsirkan jama’ah : ”Mereka adalah ahlul ‘ilmi (para ulama)”.
Dan Imam Ahmad berkata tentang jama’ah : ”Apabila mereka bukan Ashhabul Hadits (ulama hadits) maka saya tidak tahu lagi siapa mereka”.
Dan Imam Tirmidzi berkata : ”Dan penafsiran jama’ah di kalangan para ulama bahwa mereka adalah ahli fiqh, (ahli) ilmu dan (ahli) hadits”.
Dan ini merupakan pendapat ‘Abdullah bin Mubarak, Ishaq bin Rahaway, ‘Ali bin Al-Madiny, ‘Amr bin Qais dan sekelompok dari para ulama salaf dan juga merupakan pendapat ulama ushul fiqh.
Ketiga : Al-Jama’ah adalah para sahabat. Hal ini berdasarkan hadits perpecahan umat yang di sebahagian jalannya disebutkan bahwa yang selamat adalah Al-Jama’ah dan dalam riwayat yang lain : “Apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. Dan ini adalah pendapat “Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan Imam Al-Barbahary.
Keempat : Al-Jama’ah adalah jama’ah umat Islam apabila mereka bersepakat atas satu perkara dari perkara-perkara agama. Pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syathiby.
Kelima : Al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin apabila mereka bersepakat di bawah seorang pemimpin. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary dan Ibnul Atsir.
Keenam : Al-Jama’ah adalah jama’ah kebenaran dan pengikutnya. Ini adalah pendapat Imam Al Barbahary dan Ibnu Katsir.
Demikianlah penafsiran-penafsiran para ulama tentang makna Al-Jama’ah, yang semuanya itu akan membawa kepada kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
Penafsiran-penafsiran tersebut walaupun saling berbeda lafadz dan konteksnya akan tetapi tidak saling bertentangan bahkan saling melengkapi makna maupun kriteria Al-Jama’ah.
Maka jelaslah bahwa makna Al-Jama’ah yang dikatakan sebagai golongan yang selamat dan pengikut kebenaran adalah Islam yang hakiki yang belum dihinggapi oleh noda yang mengotorinya.
Mungkin bisa disimpulkan dari penafsiran-penafsiran Al-Jama’ah di atas bahwa makna Al-Jama’ah kembali kepada dua perkara :
Satu : Jama’ah yang berarti bersatu di bawah kepemimpinan seorang pemerintah sesuai dengan ketentuan syariat maka wajib untuk komitmen terhadap jama’ah ini dan diharamkan untuk keluar darinya dan mengadakan kudeta terhadap pemimpinnya .
Dua : Jama’ah yang berarti mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian diikuti oleh para sahabatnya, para ulama ahli ijtihad dan ahlul hadits yang mereka itulah Assawadul A’zhom dan pengikut kebenaran.
Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud tentang Al-Jama’ah :
الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَك
 “Al-Jama’ah adalah apa yang mencocoki kebenaran walaupun engkau sendiri”.
Berkata Abu Sy amah dalam Al-Ba’its hal.22 : “Dan apabila datang perintah untuk komitmen terhadap Al-Jama’ah, maka yang diinginkan adalah komitmen terhadap kebenaran dan pengikut kebenaran tersebut walaupun yang komitmen terhadapnya sedikit dan yang menyelisihinya banyak orang. Karena kebenaran adalah apa-apa yang jama’ah pertama r dan para sahabatnya berada di atasnya dan tidaklah dilihat kepada banyaknya ahlul bathil setelah mereka.”
Lihat : Al-I’tishom 2/767-776 tahqiq Salim Al-Hilaly,Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhaj Al-Asy’ariyah Fi Tauhidillah 1/20-23, Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/49-54, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah 1/26-32.
Kesimpulan :
Bisa disimpulkan dari seluruh penjelasan di atas bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para ulama Ahli Ijtihad dan Ahli Hadits yang berjalan di atas Al-Qur’an dan Sunnah dan siapa saja yang mengikuti mereka dalam hal tersebut sampai hari kiamat.Wal Ilmu ‘Indallah .
Maret 31, 2012



Sebagian Pokok-Pokok 'Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah - Komparasi Antara Klaim dan Realitas

Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 10.18 
Label: 'Aqidah
Beberapa kalangan menyebut komunitas muslim Indonesia terbangun di atas madzhab ”Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah”. Sama halnya dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, Singapura, atau Thailand Selatan. Bersamaan dengan itu, terjadilah friksi dimana sebagian kelompok dikeluarkan oleh yang lainnya dari lingkup madzhab Ahlus-Sunnah. Tentu saja, urusan keluar-mengeluarkan itu tidak akan banyak berarti karena Ahlus-Sunnah bukanlah perusahaan yang dipimpin oleh seorang direktur sehingga berhak mengeluarkan karyawan sekehendak dirinya. Madzhab Ahlus-Sunnah punya kaidah dan aturan yang telah dikenal semenjak jaman generasi awal Islam. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengajak Pembaca untuk membandingkan antara pengakuan dan hakekat yang ada dalam madzhab Ahlus-Sunnah. Tapi,.... sebelum menginjak pada inti tulisan, ada baiknya kita ketahui apa itu makna Ahlus-Sunnah.



Tentang Ahlus-Sunnah
Penamaan Ahlus-Sunnah telah ada sejak generasi pertama Islam. Ketika menafsirkan firman Allah ta’ala :
يَوْمَ تَبْيَضّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدّ وُجُوهٌ فَأَمّا الّذِينَ اسْوَدّتْ وُجُوهُهُمْ أَكْفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu." (QS. Ali ‘Imran : 106); Ibnu ‘Abbas berkata :
حين تبيض وجوه أهل السنة والجماعة, وتسود وجوه أهل البدعة والفرقة
“Adapun orang yang putih wajahnya, mereka adalah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah; adapun orang yang hitam wajahnya, mereka adalah Ahlul-Bid’ah dan sesat”  [lihat Tafsir Ibnu Katsir  3/139; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1421].
Kemudian istilah ini menjadi sangat masyhur di era selanjutnya akibat munculnya berbagai penyimpangan dalam agama. Di antara ulama terdahulu yang menyebut istilah Ahlus-Sunnah di antaranya :
1.    Al-Hasan (Al-Bashri) rahimahullah berkata :
يا أهل السنة ترفقوا رحمكم الله فإنكم من أقل الناس
“Wahai Ahlus-Sunnah, berlaku baik/lembutlah ! Semoga Allah memberikan rahmat kepada kalian. Karena sesungguhnya kalian adalah golongan yang paling sedikit dari kalangan manusia” [Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalikai 1/57, tahqiq : Ahmad bin Mas’ud bin Hamdan, Cet. 2/1411].
2.    Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah berkata :
إني أخبر بموت الرجل من أهل السنة وكأني أفقد بعض أعضائي
“Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus-Sunnah, seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku” [idem, hal. 60].
3.    Malik bin Anas rahimahullah berkata :
أهل السنة الذين ليس لهم لقب يعرفون به، لا جهمي ولا قدري ولا رافضي
Ahlus-Sunnah adalah orang-orang yang tidak mempunyai laqab/gelar tertentu yang mereka dikenal dengannya. (Mereka) bukanlah Jahmiy, bukan Qadariy, dan bukan pula Rafidliy” [Al-Intiqaa’ oleh Ibnu ‘Abdil-Barr, hal. 35].
4.    Al-Waki’ (guru Al-Imam Asy-Syafi’i) rahimahullah berkata :
أهل السنة يقولون : الإيمان : قول وعمل ، والمرجئة يقولون : الإيمان قول ، والجهمية يقولون : الإيمان : المعرفة
Ahlus-Sunnah mengatakan : Iman itu perkataan dan perbuatan. Murji’ah mengatakan : Iman itu perkataan saja. Adapun Jahmiyyah, mereka mengatakan : Iman itu hanya ma’rifat saja” [Asy-Syari’ah oleh Al-Imam Al-Ajurri 1/288, tahqiq : Al-Walid bin Muhammad An-Nashr; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1417].
5.    Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata ketika menjelaskan beberapa prinsip aqidah dalam masalah taqdir:
مثل حديث: «الصادق المصدوق» ومثل ما كان مثله في القدر والرؤية والقرآن وغيرها من السنن مكروه، ومنهي عنه، لا يكون صاحبه، وإن كان بكلامه سنة من أهل السنة حتى يدع الجدال ويسلم. ويؤمن بالآثار
“…..(Tidak boleh baginya untuk berbicara tanpa ilmu) sebagaimana hadits Ash-Shadiqul-Mashduq (yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) dan hadits-hadits yang semisal dalam masalah taqdir, ru’yah (yaitu melihat Allah di surga kelak bagi kaum mukminin  Abu Al-Jauzaa’), Al-Qur’an, dan yang lainnya dari sunnah-sunnah. Hal ini adalah dibenci dan dilarang. Pelakunya tidak termasuk Ahlus-Sunnah – walaupun perkataan (kadang) mencocoki sunnah – sampai ia meninggalkan perdebatan dalam masalah-masalah tersebut dan mengimani atsar” [Ushulus-Sunnah lil-Imam Ahmad bin Hanbal dari riwayat ‘Abdus bin Malik Al-‘Athaar, point ke-12; Maktabah Al-Misykah].
6.    Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata :
وأما الصواب من القول في رؤية المؤمنين ربهم عز وجل يوم القيامة ، وهو ديننا الذي ندين الله به ، وأدركنا عليه أهل السنة والجماعة فهو : أن أهل الجنة يرونه على ما صحت به الأخبار عن رسول الله
“Adapun yang benar dari permasalahan melihatnya kaum mukminin kepada Rabbnya‘azza wa jalla di hari kiamat, maka hal itu merupakan agama kami yang kami beragama dengannya. Dan kami mengetahui bahwa Ahlus-Sunnah wal-Jama’ahberpendapat bahwa Ahlul-Jannah akan melihat Allah sesuai dengan khabar yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” [Sharihus-Sunnah oleh Ath-Thabari hal. 4 – Maktabah Al-Misykah : www.almeskhat.net/books].
7.    Dan lain-lain
Adapun pengertian/definisi dari Ahlus-Sunnah (wal-Jama’ah), maka Ibnul-Jauzirahimahullah menjelaskan :
ولا ريب في أن أهل النقل والأثر المتبعين آثار رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وآثار أصحابه هم أهل السنة لأنهم على تلك الطريق التي لم يحدث فيها حادث : وإنما وقعت الحوادث والبدع بعد رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأصحابه .
“Tidak dapat diragukan lagi bahwa Ahlun-Naql wal-Atsar adalah orang-orang yang mengikuti jejak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam beserta para shahabatnya. Mereka adalah Ahlus-Sunnah, karena mereka berada di atas jalan tersebut yang di sana tidak ada hal-hal yang baru diada-adakan. Sebab, hal-hal yang baru dan bid’ah itu baru muncul sepeninggal Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya” [Talbis-Iblis oleh Ibnul-Jauzi 1/24, tahqiq : Dr. As-Sayyid Al-Jumailiy; Daarul-Kitaab Al-‘Arabiy, Cet. 1/1405].
Abu Muhamad bin Hazm (Ibnu Hazm) rahimahullah berkata :
وأهل السنة الذين نذكرهم أهل الحق ومن عداهم فأهل البدعة فإنهم - إي أهل السنة - الصحابة رضي الله عنهم وكل من سلك نهجهم من خيار التابعين رحمة الله عليهم، ثم أصحاب الحديث ومن اتبعهم من الفقهاء جيلا فجيلا إلى يومنا هذا ومن اقتدى بهم من العوام في شرق الأرض وغربها رحمة الله عليهم
“Ahlus-Sunnah yang kami sebutkan adalah Ahlul-Haq, sedangkan selain mereka adalah ahlul-bid’ah. Sesungguhnya mereka (Ahlus-Sunnah) adalah para shahabat radliyallaahu ‘anhum dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka dari kalangan tabi’in – semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka, kemudian Ashhaabul-Hadits dan orang yang mengikuti mereka dari kalangan fuqahaa, generasi demi generasi, sampai sekarang ini. Demikian pula orang-orang yang mencontoh mereka dari orang-orang awam di bagian Timur dan Barat bumi ini. Semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka semua” [Al-Fashlu fil-Milal wal-Ahwaa’ wan-Nihaal oleh Ibnu Hazm 2/113 – melalui perantaraan ’Aqiidatu Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah fish-Shahaabatil-Kiraam oleh Dr. Naashir bin ’Ali Alusy-Syaikh 1/29; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1413]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
لأنهم متمسكون بكتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم، وما اتفق عليه السابقون الأولون من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان
“Karena mereka (Ahlus-Sunnah) adalah orang-orang yang berpegang-teguh kepada Kitabullh (Al-Qur’an) dan Sunah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan apa-apa yang disepakati oleh As-Saabiquunal-Awwaluun dari kalangan Muhajirin, Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” [Majmu’ Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah 3/375, takhrij : ’Aamir Al-Jazzaar & Anwar Baaz; Daarul-Wafaa’, Cet. 3/1426].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
وهم أهل السنة والجماعة : المتمسكون بكتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم وبما كان عليه الصدر الأول من الصحابة والتابعين وأئمة المسلمين في قديم الدهر وحديثه
“Mereka adalah Ahlus-Sunnah : (Yaitu) orang-orang yang berpegang-teguh pada Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan pada apa-apa yang ada pada generasi awal dari kalangan shahabat, tabi’in, dan imam-imam kaum muslimin, baik pada masa dahulu dan sekarang” [Tafsir Ibnu Katsir 3/434 – melalui perantaraan Ilmut-Tauhid ‘inda Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Dr. Muhammad Yusriy hal. 23, Cet. Th. 1425].
Al-Alusiy rahimahullah berkata :
(اعلم) أن أهل السنة والجماعة هم أهل السلام والتوحيد، المتمسكون بالسنن الثابتة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في العقائد والنحل والعبادات الباطنة والظاهرة......فإن السنة في الأصل تقع على ما كان عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم، وما سنه أو أمر به من أصول الدين وفروعه،......وتطلق أيضا على ما كان عليه السلف الصالح في مسائل الامامة والتفضيل، والكف عما شجر بين أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم
“(Ketahuilah) bahwasannya Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, mereka adalah Ahlul-Islam wat-Tauhid, orang-orang yang berpegang-teguh pada sunah-sunnah yang telah tetap dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hal aqidah, madzhab, dan ibadah baik secara bathin ataupun dhahir….. . Kata As-Sunnah itu pada asalnya adalah setiap perkara yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berada di atasnya dan apa yang telah sunnahkan atau perintahkan dengannya, baik dalam permasalahan ushuluddin maupun permasalahan furu’….. (Kata ini) juga dimutlakkan pada setiap perkara yang mana as-salafush-shalih berada di atasnya, baik dalam masalah imamah, pengutamaan (di antara shahabat), maupun menahan diri dari setiap perkara yang para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berselisih padanya” [Ghayaatul-Amaaniy fir-Radd ‘alan-Nabhaaniy oleh Mahmud Syukri Al-Alusi 1/428].
Dari penjelasan beberapa imam di atas, maka dengan bahasa ringkas pengertian Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah adalah orang-orang yang mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya, serta menjauhi perkara baru dan bid’ah dalam agama.
Selanjutnya akan saya berikan beberapa contoh perkara dalam agama beserta cara pandang Ahlus-Sunnah dalam memahami dan mengamalkannya. Harapan saya, kita semua dapat ‘membandingkan’ realitas klaim sebagian orang yang menganggap dirinya bagian dari Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, apakah mereka memang merupakan bagian darinya atau bukan……
Dalam masalah pemahaman ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terutama yang berkaitan dengan al-asma’ wa sifat Allah.
Ahlus-Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah ta’ala dan Rasul-Nya telah tetapkan atas diri-Nya, baik itu nama-nama maupun sifat-sifat Allah ta’ala dan mensucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan-kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Wajib untuk menetapkan sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah tanpa adanya tahrif (menyimpangan maknanya), ta’thil (meniadakannya), takyif (menanyakan bagaimananya), dantamtsil/tasybih (menyerupakan dengan makhluk-Nya).
وقال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
Al-Walid bin Muslim berkata : Aku pernah bertanya kepada Al-Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauriy, dan Al-Laits bin Sa’d tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan sifat, maka setiap dari mereka menjawab : “Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat Allah) sebagaimana datangnya tanpa tafsir (yaitu : jangan kamu tanya tentang bagaimana sifat itu)”  [Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, bersertaMukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 142 no. 134 dengan sanad shahih; Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401].
Mereka semua adalah para ulama dari kalangan kibaaru atbaa’ut-tabi’in dimana Al-Auza’iy adalah imam penduduk Dimasyq, Malik bin Anas adalah imam penduduk Madinah, Sufyan Ats-Tsauriy adalah imam penduduk Kufah, dan Al-Laits bin Sa’d adalah imam penduduk Mesir. Telah dihikayatkan ijma’ atas hal tersebut setelah era mereka dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang faqih dari ‘Iraq.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata ketika menjelaskan prinsip-prinsip aqidah :
الإيمان بما جاء عن الله تعالى في كتابه المبين على ما أراده الله من غير زيادة، ولا نقص، ولا تحريف. الإيمان بما جاء عن رسول الله، صلى الله عليه وسلم ، في سنة رسول الله، صلى الله عليه وسلم ، على ما أراده رسول الله، صلى الله عليه وسلم ، من غير زيادة ولا نقص ولا تحريف.
“Beriman kepada Allah ta’ala yang terdapat dalam Al-Qur’an sebagaimana yang dikehendaki-Nya tanpa adanya penambahan, pengurangan, dan tahrif (= ta’wil; yaitu mengubah lafadh nama dan sifat Allah atau mengubah maknanya atau menyelewengkan dari makna sebenarnya). Beriman kepada apa-apa yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam sunnahnya sebagaimana yang dikehendaki oleh beliau tanpa adanya penambahan, pengurangan, dan tahrif [Lihat Lum’atul-I’tiqad oleh Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi; syarah oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 14; download dari www.almeskhat.net/books].
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata :
كل ما وصف الله من نفسه في كتابه فتفسيره تلاوته والسكوت عليه
“Segala sifat yang Allah sifatkan bagi diri-Nya di dalam Al-Qur’an, penafsirannya adalah (dhahir) bacaannya dan diam terhadapnya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-I’tiqaad hal. 118 no. 296, tahqiq : Ahmad ’Ishaam Al-Kaatib, Daarul-Aafaaq, Cet. 1/1401; dan Al-Asmaa’ wa Shifat  2/307 no. 869, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Hasyidi; Maktabah As-Suwadiy. Atsar ini shahih].
Ahlus-Sunnah tidak mengenal tahrif-tahrif  bathil seperti sifat dua tangan Allah dibawa kepada makna ”dua nikmat” atau ”dua kekuatan” seperti kaum Asy’ariyyah. Mereka tidak mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut hanya karena khawatir menyamakan dengan makhluk sebagaimana kekhawatiran yang dialami oleh ahlul-bida’, karena mereka (Ahlus-Sunnah) tahu bahwa tidak ada sesuatupun dari makhluq yang serupa dengan-Nya. Ahlus-Sunnah bukanlah musyabbihah. Mereka juga tidak menanyakan bagaimana sifat Allah itu, karena pertanyaan-pertanyaan semacam ini hakekatnya merupakan sikap takalluf  terhadap apa-apa yang Allah tidak berikan ilmu-Nya kepada manusia. Mempertanyakan dan memikirkan kaifiyah sifat Allah merupakan bid’ah yang menyesatkan. Allah telah berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].
Ahlus-Sunnah tidaklah mengenal Tafwidl (menyerahkan maknanya kepada Allah), karena mereka telah mengetahui sifat-sifat Allah. Sungguh mustahil bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diturunkan melalui bahasa Arab, melalui lisan Rasulullahshallallaahu ’alaihi wasallam, yang diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia; namun tidak diketahui maknanya oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallambeserta para shahabatnya. Mengenai Tafwidl, maka Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan :
وأما الصنف الثالث ـ وهم ‏[‏أهل التجهيل‏]‏ ـ فهم كثير من المنتسبين إلى السنة، واتباع السلف، يقولون‏:‏ إن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يعرف معاني ما أنزل اللّه إليه من آيات الصفات، ولا جبريل يعرف معاني الآيات، ولا السابقون الأولون عرفوا ذلك‏. وكذلك قولهم في أحاديث الصفات‏:‏ إن معناها لا يعلمه إلا اللّه، مع أن الرسول تكلم بها ابتداءً
”Adapun kelompok yang ketiga adalah Ahlut-Tajhiil. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang berintisab kepada Sunnah yang mengaku mengikuti kaum Salaf dan mengatakan : ”Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak mengetahui makna-makna ayat-ayat sifat yang diturunkan kepada beliau. Demikian juga Jibril’alaihis-salaam, ia tidak mengetahui makna-makna ayat tersebut, tidak juga orang-orang yang pertama masuk Islam itu mengetahui maknanya. Demikian juga dengan pendapat mereka mengenai hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah, sebab makna-makna yang terkandung di dalamnya tidak ada yang tahu kecuali hanya Allah semata, padahal Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah menyinggung masalah ini sejak semula” [Majmu’ul-Fataawaa 5/31-34].
’Aqidah tafwidl  ini jelas bathil. Oleh karena itu Syaikhul-Islam rahimahullah pun berkata :
وأما التفويض : فإن من المعلوم أن الله – تعالى – أمرنا أن نتدبر القرآن، وحضنا على عقله وفهمه؛ فكيف يجوز مع ذلك أن يُراد منا الإعراض عن فهمه، ومعرفته، وعقله
”Adapun Tafwidl (menyerahkan makna kepada Allah), sesungguhnya telah diketahui bahwa Allah ta’ala memerintahkan untuk memahami Al-Qur’an dan mendorong kita untuk memikirkan dan memahaminya. Maka bagaimana kita dibolehkan berpaling dari mengenal, memahami dan memikirkan ?”.
Hingga beliau berkata dengan tegas dalam permasalahan ini :
فتبين أن قول أهل التفويض الذين يزعمون أنهم متبعون للسنة والسلف من شر أقوال أهل البدع والإلحاد
”Maka jelas bahwa Ahlut-Tafwidl yang menyangka dirinya mengikuti As-Sunnah dan As-Salaf adalah seburuk-buruk perkataan Ahlul-Bid’ah dan ilhad” [lihat selengkapnya dalamDar’ut-Ta’arudl Al-’Aql wan-Naql juz 1 bagian 16 hal. 201-205 – dinukil melalui perantaraan Al-Ajwibatul-Mufiidah Cet. 3, catatan kaki atas pertanyaan nomor 40].
Dalam masalah : “Apakah Allah beristiwaa’ di atas ‘Arsy ?”.
Ahlus-Sunnah  beriman bahwa Allah berada di atas langit dan bersemayam di ‘Arsy-Nya berdasarkan nash Al-Qur’an, As-Sunnah Ash-Shahiihah, dan ijma’. Mereka tidak men-tahrif-kan maknanya dengan makna bathil seperti ”menguasai” (istilaa’).
Dari Ja’far bin ’Abdillah, bahwasannya seseorang pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas rahimahullah tentang firman Allah : [الرّحْمَـَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىَ] “Ar-Rahman (Allah) beristiwaa’ di atas ‘Arsy” (QS. Thaha : 5);  (yaitu dengan pertanyaan : ) “Bagaimana istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy ?”. Maka Imam Malik berkata :
الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة، فإني أخاف أن تكون ضالاً
“Kaifiyahnya (bagaimananya) tidak diketahui (di luar akal manusia untuk mengetahuinya), namun istiwaa’ Allah itu tidaklah majhul (= maksudnya : maknanya telah jelas). Mengimaninya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah. Aku khawatir bahwa dirimu menjadi sesat (atas pertanyaan itu)” [Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalika’i 2/398; tahqiq : Ahmad bin Mas’ud bin Hamdan, Cet. 2/1411].[1]
وروى أبو إسحاق الثعلبي المفسر قال سئل الأوزاعي عن قوله تعالى ثم استوى على العرش قال هو على عرشه كما وصف نفسه
Diriwayatkan Abu Ishaq Ats-Tsa’labi Al-Mufassir ia berkata : Al-Auza’i pernah ditanya tentang firman Allah : Tsummas-tawaa ‘alal-‘Arsy, ia menjawab : “Dia (Allah) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang telah Dia sifatkan bagi diri-Nya” [Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, berserta Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 138 no. 122; Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401].
Dari Muhammad bin Ahmad bin Nadlr bin Binti Mu’awiyyah bin ’Amru ia berkata :
كان أبو عبد الله الأعرابي جارنا وكان ليلة أحسن ليل وذكر لنا أن ابن أبي دؤاد سأله أتعرف في اللغة استوى بمعنى إستولى فقال لا أعرفه
“Abu ‘Abdillah Al-A’rabiy [2] adalah tetangga kami. Malam-malamnya adalah malam paling indah. Diceritakan kepada kami bahwa Ibnu Abi Du’ad bertanya kepadanya :’Apakah engkau mengetahui dalam bahasa Arab bahwa makna istawaa (bersemayam) itu adalah istaulaa’ (menguasai) ?”. Maka beliau menjawab : “Aku tidak mengetahuinya”[Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, berserta Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 194 no. 240; Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401. Sanad riwayat ini adalahjayyid].
Abdullah bin Mubarak rahimahullah (salah seorang ulama tabi’in mulia lagi masyhur) berkata :
نعرف ربنا فوق سبع سماوات على العرش إستوى بائنا منه خلقه ولا نقول كما قالت الجهمية أنه ها هنا وأشار إلى الأرض
“Kami mengetahui Rabb kami berada di atas tujuh lapis langit, bersemayam (istiwaa’ ) di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya. Dan kami tidak mengatakan seperti yang dikatakan oleh Al-Jahmiyyah bahwasannya Allah ada di sini”. Beliau menunjuk ke arah bumi. [Dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah hal. 111, 175, dan 307; Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah hal. 67, 162; dan Al-Baihaqi dalamAl-Asma’ wash-Sifat hal. 2/335 – takhrij melalui perantaraan ‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadits oleh Abu ’Utsman Isma’il Ash-Shabuniy hal. 40 no. 28, tahqiq dan takhrij : Badr bin ’Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415. Sanad riwayat ini adalah hasan].
عن أبي مطيع البلخي : أنه سأل أبا حنيفة عمن قال : لا أعرف ربي في السماء أم في الأرض ؟ فقال : قد كفر ، لأن الله يقول : الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سبع سماواته، قلت : فإن قال : إنه على العرش ، ولكن يقول : لا أدري العرش في السماء أم في الأرض ؟ قال : هو كافر، لأنه أنكر أنه في السماء ، فمن أنكر أنه في السماء فقد كفر
Abu Muthi’ Al-Balkhi bahwasannya ia bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang mengatakan : ’Aku tidak mengetahui bahwa Rabbku di langit atau di bumi’. Beliau menjawab : “Sungguh dia telah kafir, karena Allah ta’ala telah berfirman : {الرّحْمَـَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىَ} “Ar-Rahman (Allah) beristiwaa’ di atas ‘Arsy” (QS. Thaha : 5); sedang ‘Arsy-Nya berada di atas langit”. Kemudian aku (Abu Muthi’) berkata : ”(Jika dia mengatakan) bahwasannya Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, akan tetapi dia mengatakan tidak tahu apakah ‘Arsy-Nya berada di langit atau di bumi?”. Maka beliau (Abu Hanifah) menjawab : ”Ia telah kafir karena ia telah mengingkari keberadaan Allah di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari keberadaan keberadaan Allah di langit, maka dia telah kafir” [lihat Al-‘Ulluw oleh Adz-Dzahabi dengan Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 136 no. 118, Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401; dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil-’Izz Al-Hanafy hal. 386-387, tahqiq : Dr. ’Abdullah bin ’Abdil-Muhsin At-Turkiy, takhrij : Syu’aib Al-Arna’uth, Muassasah Ar-Risalah, Cet. 9/1417].
Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (Ibnu Khuzaimah) rahimahullahberkata :
من لم يقر بأن الله تعالى على عرشه قد استوى فوق سبع سماواته فهو كافر بربه
“Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah ta’ala di atas ‘Arsy-Nya dan Dia beristiwaa’ (bersemayam) di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir terhadap Rabb-Nya…. [Shahih; lihat Ma’rifatu ‘Ulumil-Hadiits hal. 54 oleh Al-Hakim An-Naisabury – Maktabah Al-Misykah : www.almeskhat.net/books].
Al-Baihaqi rahimahullah berkata ketika menjelaskan madzhab Al-Imam Asy-Syafi’irahimahullah dalam menetapkan sifat istiwaa’  Allah ta’ala :
والاثار عن السلف في مثل هذا كثيرة. وعلى هذه الطريق يدل مذهب الشافعي رضي الله عنه. وإليها ذهب أحمد بن حنبل والحسين بن الفضل البجلي......
”Atsar-atsar yang berasal dari kalangan salaf yang memiliki pengertian seperti ini (yaitu Allah beristiwaa’ di atas ’Arsy) banyak jumlahnya. Dan jalan ini menunjukkan kepada madzhab Asy-Syafi’i. Dan begitu pula pendapat Ahmad bin Hanbal, Al-Husain bin Al-Fadhl,…..” [Al-Asmaa’ wash-Shifaat oleh Al-Baihaqi 2/308 no. 870, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Hasyidi; Maktabah As-Suwadiy].
 ‘Aqidah ini sesuai dengan firman Allah :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
”Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”  [QS. Al-Hadiid : 4].
Juga hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau bertanya kepada budak Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulami radliyallaahu ‘anhu :
أين الله قالت في السماء قال من أنا قالت أنت رسول الله قال أعتقها فإنها مؤمنة
“Dimanakah Allah ?”. Ia menjawab : “Allah di atas langit”. Beliau kembali bertanya :“Siapakah aku ?”. Ia menjawab : “Engkau adalah Rasulullah”. Kemudian beliau bersabda : “Bebaskanlah/ medekakanlah dia, karena sesungguhnya ia seorang mukminah”. [HR. Muslim no. 537, Abu Dawud no. 930, An-Nasai 3/14-16, dan lain-lain].
Juga sabdanya shallallaahu ‘alaihi wasallam yang lain :
الراحمون يرحمهم الرحمن ارحموا أهل الأرض يرحمكم من في السماء
“Orang-orang yang penyayang, mereka itu akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah penduduk bumi, niscaya kalian akan disayang Dzat yang berada di atas langit (yaitu Allah)”  [HR. Abu Dawud no. 4941, Ahmad 2/160, dan yang lainnya; shahih].
Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu berkata :
والعرش على الماء والله على العرش يعلم ما أنتم عليه
“‘Arsy itu di atas air dan Allah di atas ‘Arsy. Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Mu’jamul-Kabiir no. 8987. Al-Haitsami berkata : “Rijalnya adalah rijal shahih”].
Dalam masalah : “Apakah Allah turun ke langit dunia setiap sepertiga malam terakhir ?”.
Ahlus-Sunnah mengimani sifat Nuzul (turun) sebagaimana adanya. Dengannya Ahlus-Sunnah tidak pernah menyamakan turunnya Allah dengan turunnya makhluk. Cara pemahaman dalam hal ini adalah sebagaimana telah dituliskan di atas, yaitu tanpatahrif, takyif, ta’thil, dan tamtsil/tasybih.
عن محمد بن سلام قال : سألت عبد الله بن مبارك في نزول الرب ليلة نصف من شعبان. فقال عبد الله : يا ضعيف ليلة النصف، ينزل في كل ليلة. فقال الرجل : يا أبا عبد الرحمن، كيف ينزل ؟ أليس يخلو ذلك المكان منه ؟. فقال : ينزل كيف يشاء
Dari Muhammad bin Sallam ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abdullah bin Mubarak (seorang ulama tabi’i yang mulia) tentang turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban. Beliau menjawab : “O, riwayat Nishfu Sya’ban itu lemah. Justru Allah turun setiap malam”. Seorang laki-laki menyela : “Bagaimana Dia turun ? Berarti tempat bersemayam-Nya kosong ?”. Beliau menjawab : “Dia turun dengan cara yang Dia kehendaki” [‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadits oleh Abu ‘Utsman Isma’il Ash-Shabuni hal. 48 no. 42, tahqiq dan takhrij : Badr bin ’Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415].
Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah pernah ditanya berkenaan dengan hadits An-Nuzul.Maka beliau menjawab :
ينزل بلا كيف
“Dia (Allah) turun tanpa ada pertanyaan : ‘bagaimana’ (yaitu : dengan cara yang tidak kita ketahui)”  [‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadits oleh Abu ‘Utsman Isma’il Ash-Shabuni hal. 48 no. 73, tahqiq dan takhrij : Badr bin ’Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415].
Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata :
رواها علماء الحجاز والعراق، عن النبي صلى الله عليه وسلم في نزول الرب (جل وعلا) إلى السماء الدنيا، كل ليلة نشهد شهادة مقر بلسانه، مصدق بقلبه مستيقن بما في هذه الأخبار من ذكر نزول الرب، من غير أن نصف الكيفية، لأن نبينا المصطفى لم يصف لنا كيفيه نزول خالقنا إلى سماء الدنيا، وأعلمنا أنه ينزل. والله (جل وعلا) لم يترك، ولا نبيه صلى الله عليه وسلم بيان ما بالمسلمين الحاجة إليه، من أمر دينهم.
فنحن قائلون مصدقون بما في هذه الاخبار من ذكر النزول غير متكلفين القول بصفته أو بصفة الكيفية، إذ النبي صلى الله عليه وسلم لم يصف لنا كيفيه النزول.
“Telah diriwayatkan oleh ulama Hijaz dan ‘Iraq dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallamtentang turunnya Rabb ‘azza wa jalla ke langit dunia (langit terendah) pada setiap malam, yang kami akui dengan pengakuan seorang yang mengaku dengan lidahnya, membenarkan dengan hatinya, serta meyakini keterangan yang tercantum di dalam khabar-khabar tentang turunnya Allah ‘azza wa jalla tanpa menggambarkan kaifiyah-nya (bagaimananya), karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memang tidak menjelaskan kepada kita tentang kaifiyah (cara) turunnya Khaliq kita ke langit dunia dan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam hanya memberitahukan kepada kita bahwa Rabb kita turun. Sementara itu, Allah ‘azza wa jalla dan juga Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallamtidaklah meninggalkan satu penjelasan pun (untuk disampaikan) bagi kaum muslimin yang dibutuhkan dari perkara agama mereka. Oleh karena itu, kita mengatakan dan membenarkan apa-apa yang terdapat di dalam khabar-khabar ini perihal turunnya Rabb, tanpa memaksakan diri membicarakan sifat dan kaifiyahnya, sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memang tidak mensifatkan kepada kita tentang kaifiyah turun-Nya” [Kitabut-Tauhid oleh Al-Imam Ibnu Khuzaimah 1/289-290, tahqiq : Dr. ‘Abdul-‘Aziz bin Ibrahim Syahwan; Daarur-Rusyd, Cet. 1/1408].
قال الإمام ابن الإمام عبد الرحمن بن أبي حاتم الرازي حدثنا أبو شعيب وأبو ثور عن أبي عبد الله محمد بن إدريس الشافعي رحمه الله تعالى قال القول في السنة التي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها أهل الحديث الذين رأيتهم وأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الاقرار بشهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وأن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وأن الله تعالى ينزل إلى سماء الدنيا كيف شاء
Telah berkata Al-Imam ibnul-Imam ‘Abdirrahman bin Abi Hatim Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah ta’ala, ia berkata : “Perkataan yang masuk dalam perkara Sunnah dimana aku berada di atasnya, dan aku melihat para shahabat kami juga berada di atasnya dari kalangan Ahlul-Hadits yang aku saksikan dan aku mengambil ilmunya seperti Sufyan, Malik, dan selainnya : (Yaitu) Penegaskan atas kesaksian bahwasannya tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasannya Muhammad itu utusan Allah. Sesungguhnya Allah ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya di atas langit-Nya, mendekat kepada makhluk-Nya sebagaimana yang Ia kehendaki. Dan sesungguhnya Allah ta’ala turun ke langit dunia menurut bagaimana yang Ia kehendaki” [Ijtimaa’ul-Juyuusy hal. 118 oleh Ibnul-Qayyim; Maktabah Al-Misykah].
Hal itu sesuai dengan apa disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر فيقول من يدعوني فأستجيب له ومن يسألني فأعطيه ومن يستغفرني فأغفر له
“Rabb kami tabaraka wa ta’ala turun setiap malamnya ke langit dunia pada saat tinggal sepertiga malam yang terakhir. Maka Allah berfirman : ‘Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya akan Aku beri. Dan barangsiapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni”  [HR. Al-Bukhari no. 7494 dan Muslim no. 758].
Hadits-hadits tentang nuzul ini mncapai derajat mutawatir.
Dalam masalah : “Larangan Mendirikan Bangunan atau Masjid di Atas Kubur”
Ahlus-Sunnah mengimani bahwa tidak boleh membangun bangunan atau masjid di atas kubur. Membangun masjid di atas kubur menjadi salah satu wasilah kesyirikan dengan pengagungan orang-orang shalih yang telah mati (yang di kubur di tempat itu) dan bahkan meminta hajat kepada mereka untuk dikabulkan.
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda ketika sakit menjelang wafat :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مسجدا قالت ولولا ذلك لأبرزوا قبره غير أني أخشى أن يتخذ مسجدا
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kubur nabi mereka sebagai masjid. (Aisyah berkata) : “Kalau bukan karena hal itu, niscaya kubur beliau akan dinampakkan, hanya saja aku takut kubur beliau akan dijadikan masjid” [HR. Al-Bukhari no. 1330].
‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum berkata,”Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjelang wafat, beliau menutupkan bajunya ke wajah. Ketika merasa gerah beliau membukanya dan bersabda :
لعنة الله على اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد يحذر ما صنعوا
“Semoga Allah melaknat Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid.” Aisyah berkata : “Nabi memperingatkan semisal perbuatan mereka” [HR. Al-Bukhari No. 435, Muslim No. 531, dan yang lainnya; dan ini adalah lafadh Al-Bukhari].
Ummu Habibah dan Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhuma menceritakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang gereja yang mereka lihat di Habasyah (Ethiopia), dan banyak gambar (patung) di dalamnya, beliau lantas bersabda :
إن أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح فمات بنوا على قبره مسجدا وصوروا فيه تلك الصور أولئك شرار الخلق عند الله يوم القيامة
“Mereka itu (orang Nashrani) jika ada seorang shalih meninggal, mereka membangun masjid di atas kuburannya, dan membuat gambar (patung)nya. Mereka itu sejelek-jelek makhluk di sisi Allah pada hari kiamat” [HR. Al-Bukhari no. 427 dan Muslim no. 528].
Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata :
هذا الحديث يدل على تحريم بناء المساجد على قبور الصالحين ، وتصوير صورهم فيها كما يفعله النصارى ، ولا ريب أن كل واحد منهما محرم على انفراده ، فتصوير صور الآدميين محرم ، وبناء القبور على المساجد بانفراده محرم .....
“Hadits ini  menunjukkan haramnya membangun masjid di atas kubur orang-orang shalih dan menggambar mereka seperti dilakukan oleh orang Nashrani. Tidak diragukan lagi bahwa masing-masing perbuatan itu diharamkan. Melukis manusia diharamkan dan membangun qubur di masjid juga diharamkan………” [Fathul-Baariy Syarh Shahih Al-Bukhari oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy 3/202, tahqiq : Mahmud bin Sya’ban bin ‘Abdil-Maqshud dll.; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 1/1417].
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan :
وكل ذلك لقطع الذريعة المؤدية إلى عبادة من فيها كما كان السبب في عبادة الأصنام . انتهى .
“Semua (larangan) itu bertujuan memutus jalan menuju peribadatan kepada penghuni kubur. Sebab larangan ini sama halnya dengan sebab dilarangnya ibadah terhadap patung-patung (yang semula tujuan dari pembuatan patung-patung tersebut adalah untuk mengingat orang-orang shalih, namun akhirnya akhirnya patung itu juga diibadahi – Abu Al-Jauzaa’)” [Lihat Fathul Majiid  oleh ’Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin ’Abdil-Wahhab hal. 220, ta’liq : Ibnu Baaz; Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, Tanpa Tahun].
Ahlus-Sunnah adalah orang yang komitmen terhadap Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Termasuk pengamalan hadits shahih di atas. Tentu saja ini banyak bertolak belakang dengan sebagian pengamalan orang-orang yang mengaku berintisab pada madzhab Ahlus-Sunnah di masyakarak. Justru mereka lah pihak-pihak yang menyemarakkan kubur dan masjid sebagai tempayt peribadahan yang tak terpisahkan.
Al-Imam Al-Faqih  Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata dalam kitab Az-Zawajir ‘an Iqtiraafil-Kabaair (1/120) :
" الكبيرة الثالثة والرابعة والخامسة والسادسة والسابعة والثامنة والتسعون اتخاذ القبور مساجد ، وإيقاد السرج عليها واتخاذها أوثاناً ، والطواف بها ، واستلامها ، والصلاة إليها ".
“Dosa besar ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, dan kesembilanpuluh adalah menjadikan kuburan sebagai masjid, menyalakan obor di atasnya, menjadikannya sebagai berhala, berjalan berputar-putar mengelilinginya, dan shalat menghadapnya”  [selesai].
*****
Itulah sedikit ringkasan tentang Ahlus-Sunnah dalam beberapa pokok aqidah dan amalan. Tentu saja, masih banyak hal lain yang tidak tersinggung di sini. Saya persilakan ikhwah penuntut ilmu lainnya yang melengkapi. Semoga bermanfaat dan mohon maaf atas segala kesalahan…………..
 Abu Al-Jauzaa’ 1429


 [1]     Sekaligus ini membuktikan madzhab salaf yang berlaku di era Imam Malik dimana beliau tidak men-ta’wil sifat Allah (yaitu istiwaa’), dan tidak pula men-tafwidl-nya (menyerahkan maknanya kepada Allah).
[2]     Seorang pakar bahasa dijamannya (151-231 H).

COMMENTS
Aqil mengatakan...
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مسجدا قالت ولولا ذلك لأبرزوا قبره غير أني أخشى أن يتخذ مسجدا

tolong saya di beritahukan asbabun nuzulnya sepeintas ayat itu masalah yahudi dan nashoro tapi kok tiba2 dimaknai untuk kaum muslimin yg tak sepaham dengan salafy
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Mas, itu bukan ayat, tapi hadits. Gak hapal ya ?. Berhubung itu hadits, tentu saja tidak ada sababun-nuzuul nya.

Ummu Habibah dan Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhuma menceritakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang gereja yang mereka lihat di Habasyah (Ethiopia), dan banyak gambar (patung) di dalamnya, beliau lantas bersabda :

إن أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح فمات بنوا على قبره مسجدا وصوروا فيه تلك الصور أولئك شرار الخلق عند الله يوم القيامة

“Mereka itu (orang Nashrani) jika ada seorang shalih meninggal, mereka membangun masjid di atas kuburannya, dan membuat gambar (patung)nya. Mereka itu sejelek-jelek makhluk di sisi Allah pada hari kiamat” [HR. Al-Bukhari no. 427 dan Muslim no. 528].

Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata :

هذا الحديث يدل على تحريم بناء المساجد على قبور الصالحين ، وتصوير صورهم فيها كما يفعله النصارى ، ولا ريب أن كل واحد منهما محرم على انفراده ، فتصوير صور الآدميين محرم ، وبناء القبور على المساجد بانفراده محرم .....

“Hadits ini menunjukkan haramnya membangun masjid di atas kubur orang-orang shalih dan menggambar mereka seperti dilakukan oleh orang Nashrani. Tidak diragukan lagi bahwa masing-masing perbuatan itu diharamkan. Melukis manusia diharamkan dan membangun qubur di masjid juga diharamkan………” [Fathul-Baariy Syarh Shahih Al-Bukhari oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy 3/202, tahqiq : Mahmud bin Sya’ban bin ‘Abdil-Maqshud dll.; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 1/1417].

Sekedar mengikuti jalan logika Anda yang - maaf - lucu, itu Al-Haafidh Ibnu Rajab kok sentimen sekali sama orang non Salafiy....
Aqil mengatakan...
disamping itu ayat tersebut pada dasarnya sebelum ayat itu ada ayat yg lain yg tidak boleh diabaikan kalau tidak salah 

ما كان للمشركين أن يعمروا مساجد الله شاهدين على أنفسهم بالكفر أولئك حبطت أعمالهم وفي النار هم خالدون ( 17 ) إنما يعمر مساجد الله من آمن بالله واليوم الآخر وأقام الصلاة وآتى الزكاة ولم يخش إلا الله فعسى أولئك أن يكونوا من المهتدين ( 18 ) )
Aqil mengatakan...
ya baik saya ralat dan maaf saya salah faham saya juga mohon disampaikan asbabul wurudnya, tetapi saya kok menemukan demikian 
Sekarang mari kita coba untuk mengungkap ada apa sebenarnya di balik ayat itu, ada pesan dan pelajaran apa sesungguhnya, kita mulai dari Tafsir Ibnu Katsir:
يقول تعالى : ما ينبغي للمشركين بالله أن يعمروا مساجد الله التي بنيت على اسمه وحده لا شريك له
 
Allah Ta’ala Berfirman: tidaklah di perkenankan/ tidak di himbau Orang Musyrikin itu untuk memakmurkan Masjid yg di bangun atas Nama Allah.
Senada dg Tafsir Thobari sebagai berikut:
قال أبو جعفر: يقول تعالى ذكره: ما ينبغي للمشركين أن يعمروا مساجد الله وهم شاهدون على أنفسهم بالكفر. يقول: إن المساجد إنما تعمر لعبادة الله فيها، لا للكفر به، فمن كان بالله كافرًا، فليس من شأنه أن يعمُرَ مساجد الله.
Berkata Abu Ja’far: Allah Ta’ala berFirman : Tidak di perkenankan kepada Musyrikin untuk memakmurkan Masjid2 Allah, sedangkan mereka terang2an dg kekufurannya. Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya Masjid itu di dirikan untuk beribadah kepada Allah, bukan untuk mrngkufuriNya. Maka Barang siapa yg Kafir terhadap Allah, tiadalah bagian dirinya untuk memakmurkan MasjidNya Allah.
Jadi jelas konteks Ayat ini adalah pelarangan Bagi Orang2 Musyrik untuk tidak ikut serta dalam membangun/memakmurkan Masjid, ini sesuai dg kelanjutan Ayat tersebut yg jelas menjadi bahan pembicaraan adalah Masjidil haram, yg mana pada waktu itu telah terjadi pemindahan Kekuasaan dari Orang2 Musyrik Arab ke Tangan Rosulullah setelah Fathu Makkah.
Hal ini di pertegas dg Ayat إِنَّمَا المشركون نَجَسٌ “Sesungguhnya Orang2 Musyrik itu Najis” jadi mendekat saja ke Masjidil Haram gak boleh.
Aqil mengatakan...
عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم قَالَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ : لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا. قَالَتْ وَلَوْلاَ ذَلِكَ لَأَبْرَزُوْا قَبْرَهُ غَيْرَ أَنِّي أَخْشَى أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا

Berikut penjelasan dalam Kitab Fathul Bari:

[] قوله : ( باب ما يكره من اتخاذ المساجد على القبور ) ترجم بعد ثمانية أبواب : ” باب بناء المسجد على القبر ” . قال ابن رشيد : الاتخاذ أعم من البناء ، فلذلك أفرده بالترجمة ، ولفظها يقتضي أن بعض الاتخاذ لا يكره ، فكأنه يفصل بين ما إذا ترتبت على الاتخاذ مفسدة أو لا .
Kemudian dalam baris berikut di jelaskan sebagai berikut:

قوله : ( لأبرز قبره ) أي لكشف قبر النبي صلى الله عليه وسلم ، ولم يتخذ عليه الحائل ، والمراد الدفن خارج بيته ، وهذا قالته عائشة قبل أن يوسع المسجد النبوي ، ولهذا لما وسع المسجد جعلت حجرتها مثلثة الشكل محددة ، حتى لا يتأتى لأحد أن يصلي إلى جهة القبر مع استقبال القبلة .


Mari kita bandingkan dg komentar dari yg lain agar dapat kita ketahui apa maksud dari Ittakhodla itu, di bawah ini terdapat dalam Kitab TuhfatulAkhwadzi Syarah Sunan Al Turmudzi Juz 2 Hal 236 cet Darul Fikri
تنبيه: قال في مجمع البحاري: وحديث لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد كانوا يجعلونها قبلة يسجدون إليها في الصلاة كالوثن، وأما من اتخذ مسجداً في جوار صالح أو صلى في مقبرة قاصداً به الاستظهار بروحه أو وصول أثر من اثار عبادته إليه لا التوجه نحوه والتعظيم له فلا حرج فيه، ألا يرى أن مرقد إسماعيل في الحجر في المسجد الحرام والصلاة فيه أفضل انتهى

Lebih detail dan jelasnya ksimak Al Syaih dahlawi dalam menjelaskan hal ini dalam Kitab Al Luma’at sebagai berikut:
قال التوربشتي هو مخرج على الوجهين: أحدهما كانوا يسجدون لقبور الأنبياء تعظيماً لهم وقصد العبادة في ذلك وثانيهما أنهم كانوا يتحرون الصلاة في مدافن الأنبياء والتوجه إلى قبورهم في حالة الصلاة والعبادة لله نظراً منهم أن ذلك الصنيع أعظم موقعاً عند الله لاشتماله على الأمرين: عبادة والمبالغة في تعظيم الأنبياء، وكلا الطريقين غير مرضية، وأما الأول فشرك جلي، وأما الثانية فلما فيها من معنى الاشراك بالله عز وجل وإن كان خفياً. والدليل على ذم الوجهين قوله صلى الله عليه وسلّم: اللهم لا تجعل قبري وثناً، اشتد غضب الله على قوم اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. والوجه الأول أظهر وأشبه، كذا قال التوربشتي
..
وفي شرح الشيخ: فعلم منه أنه يحرم الصلاة إلى قبر نبي أو صالح تبركاً وإعظاماً، قال وبذلك صرح النووي وقال التوربشتي وأما إذا وجد بقربها موضع بنى للصلاة أو مكان يسلم فيه المصلى عن التوجه إلى القبور فإنه في مدحة من الأمر، وكذلك إذا صلى في موضع قد اشتهر بأن فيه مدفن بنى لم ير للقبر فيه علماً ولم يكن تهده ما ذكرناه من العمل الملتبس بالشرك الخفي.
“Masih dalam penjelasan Al Turbasty, maka sudah maklum jika sholat ke Kuburan Nabi atau Orang Sholeh itu Haram baik dalam rangka bertabarruk atau dalam Rangka Ta’dlim (Penghormatan). Kemudian Al Syaikh mengatakan demikian ini adalah penjelasan Imam Nawawi. Al Turbasty mengatakan lagi: jika ada terdapat tempat yg di situ terdapat Kuburan yg dekat dg tempat di mana di dirikan Sholat, dan terjamin untuk tidak Tawajjuh (Lihat Arti Tawajjuh di atas) kepada Kuburan, yg seperti itu adalah hal yg terpuji. . Demikian pula jika orang melakukan sholat di tempat yang sudah terkenal sebagai tempat memakamkan nabi tapi tidak melihat tanda kuburan disitu dan tidak menjerumuskannya hal-hal yang telah kami sebut dari amal yang bercampur dengan syirik khofi (maka itu termasuk perkara yang terpuji)”.
وفي شرح الشيخ مثله حيث قال: وخرج بذلك اتخاذ مسجد بجوار نبي أو صالح والصلاة عند قبره لا لتعظيمه والتوجه نحوه بل لحصول مدد منه حتى يكمل عبادته ببركة مجاورته لتلك الروح الطاهرة فلا حرج في ذلك لما ورد أن قبر إسماعيل عليه السلام في الحجر تحت الميزاب، وأن في الحطم بين الحجر الأسود وزمزم قبر سبعين نبياً، ولم ينه أحد عن الصلاة فيه انتهى. وكلام الشارحين مطابق في ذلك انتهى ما في اللمعات
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ya, ndak apa-apa, karena salah paham Anda didasari oleh pemahaman yang salah. Ayat yang Anda sebutkan itu tidak pas kalau dihubungkan dengan larangan membangun masjid di atas kubur. Alias, tidak ada korelasinya.

Komputer Anda tersedia maktabah Syamilah kan ?. Coba deh, baca syarah hadits اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد . Insya Allah Anda akan menemukan jawabannya.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Terima kasih atas copi pastenya. Nah, sekarang, yang Anda simpulkan apa ? atau ringkasnya, Anda mau ngomong apa berdasarkan nukilan Anda itu ?.
Anonim mengatakan...
Barokallohu fik ya ustadz. teruslah menulis untuk membantah syubhat2. saya sebenarnya sudah beberapa tahun yang lalu memilih aqidah salaf ini, namun beberapa bulan terkhir ini saya terkena syubhat dari asya'iroh sampai akhirnya saya ragu bahkan ingin meninggalkan aqidah salaf, alhamdulillah setelah membaca tulisan2 ustadz dan sebuah artikel di http://kangaswad.wordpress.com saya kembali yakin dengan aqidah salaf ini, jazakallohu khoiron ustadz. semoga Alloh memberi kemudahan kepada ustadz untuk terus menulis kebenaran
Abu Aisyah mengatakan...
Assalamualaikum.
bagaimana pendapat antum ustadz terkait artikel berikut

Benarkah Istiwa` di Atas Arsy Diterjemahkan Bersemayam?

Disebutkan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia):
se•ma•yam, ber•se•ma•yam v 1 hor duduk: baginda pun – di atas singgasana dikelilingi oleh para menteri dan hulubalang; 2 hor berkediaman; tinggal: Sultan Iskandar Muda pernah – di Kotaraja; 3 ki tersimpan; terpatri (dl hati): sudah lama cita-cita itu – dl hatinya; keyakinan yg – dl hati;
me•nye•ma•yam•kan v 1 mendudukkan (di atas takhta, singgasana); 2 membaringkan; menginapkan (jenazah): pihak keluarga akan membawa jenazah almarhum setelah -nya di rumah duka;
per•se•ma•yam•an n 1 tempat duduk; 2 tempat kediaman.
[sumber: http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php]

Dari sini kita bisa melihat bahwa arti semayam dalam bahasa Indonesia meliputi: Duduk, berdiam, berbaring. Sementara istiwa maknanya tinggi dan berada diatas, dan ini ini adalah ijma’ para ulama bahasa sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Taimiah rahimahullah dan selainnya.
Telah dimaklumi dalam kaidah-kaidah tauhid asma` wa ash-shifat bahwa semua sifat yang tidak ditetapkan dan tidak juga ditolak oleh Allah Ta’ala dari dirinya dan tidak pula Ar-Rasul -alaihishshalatu wassalam- dari Allah, maka kita juga tidak boleh menetapkan dan tidak boleh juga menolaknya. Kecuali jika sifat itu mengandung kekurangan bagi Allah maka wajib untuk ditolak dari-Nya.
Maka sifat duduk dan berdiam merupakan sifat yang tidak pernah Allah tetapkan untuk diri-Nya dan tidak pula menolaknya dari diri-Nya, baik dalam Al-Qur`an maupun dalam As-Sunnah, karenanya kita tidak boleh menetapkan kedua sifat ini untuk-Nya dan tidak pula menolaknya dari-Nya. Sementara sifat baring -wallahu a’lam- zhahirnya mengharuskan sifat kurang bagi Allah karenanya harus ditolak dari Allah.
Kesimpulannya: Menerjemahkan istiwa bermakna bersemayam adalah kurang tepat bahkan salah, karena mengharuskan kita menetapkan sifat yang Allah tidak tetapkan bagi dirinya dan itu bentuk berkata atas nama Allah tanpa ilmu, wallahu a’lam bishshawab.
Sumber: http://al-atsariyyah.com/benarkah-istiwa-berarti-bersemayam.html