Buka juga ( menyeramkan ) :
Derita Muslim
Ahwaz dari penjajahan Syi'ah Iran [ Ya Allah Ya Rabb, Binasakanlah Syiah Majusi
(Iran) Laknatullah Seperti “Kaum-kaum Terdahulu” Yang Telah Engkau Binasakan ]
SUDAH sejak lama Kaum
Syiah begitu memusuhi kaum Sunni. Dan pastinya, di negara ‘kiblat’ Syi’ah
sendiri yakni Iran, kaum Sunni benar-benar mengalami diskriminasi yang amat
berat. Beberapa kondisi yang dialami kaum Sunni dewasa ini di Iran dapat
dituturkan sebagai berikut:
1. Kaum Sunni dilarang
membangun masjid di kota-kota besar, sekalipun di wilayah yang mayoritas Sunni.
Untuk membangun masjid, kaum Sunni begitu dipersulit sedemikian rupa, bahkan
untuk mendapat izin pembangunan.
2. Setelah revolusi Iran, Khomeini yang merupakan pemimpin
spiritual Iran mengizinkan kaum Sunni membangun sebuah masjid di Teheran yang
dipersiapkan dananya dan tanahnya. Namun, rezim Syiah Iran ternyata
mengulur-ulur waktu hingga akhirnya Syiah melarang berdirinya masjid Sunni di
Teheran.
3. UUD Iran menerapkan adanya kewajiban memelajari ajaran Sunni
bagi anak-anak Sunni yang tinggal di provinsi-provinsi dengan mayoritas Sunni.
Sayangnya, hal ini hanya tertulis di atas kertas. Karena pada kenyataannya,
guru-guru agama semuanya dari Syi’ah dan melarang tenaga pengajar dari
golongan Sunni.
4. UUD Iran juga menetapkan bahwa di provinsi-provinsi dengan
mayoritas Sunnidilaksanakan pendidikan menurut mazhab Sunni. Ternyata semua ini
bohong. Dan ketika perwakilan kaum Sunni mendatangi Pengadilan Tinggi Iran
(Musawy Ardebily) untuk menanyakan masalah tersebut, pengadilan menjawab dengan
enteng “Kami golongan Syi’ah dahulu masih lemah sehingga kami menggunakan
siasat taqiyyah.”
5. Golongan Sunni dilarang menjadi pegawai pemerintah, sekalipun
telah meraih gelar doktor. Sebelum revolusi memang masih sedikit tersisa kaum
Sunni yang mengemban tugas penting. Dan pasca revolusi, terjadilah pembersihan
luas terhadap pegawai Sunni.
6. Melarang penerbitan buku-buku Ahlu-Sunnah dalam bahasa
persia, terutama yang berkaitan dengan akidah.
7. Sekolah-sekolah agama Sunni yang telah berdiri sejak sebelum
masa revolusi begitu banyak. Namun, pemerintah Syiah samasekali tidak mau
mengakuinya. Anak-anak yang tengah dalam masa studinya dipaksa ikut wajib
militer, padahal anak-anak di sekolah Syiah tidak wajib ikut wajib militer.
8. Ulama-ulama Sunni yang berani menjelaskan kemurnian akidah
Islam dan penyimpangan akidah Syiah diperketat ancamannya, diperberat
hukumannya bahkan diusir.
9. Para pelajar dari kalangan Sunni amat dipersulit untuk
memasuki universitas-universitas yang ada di Iran. Sedikit sekali mereka yang
bisa masuk dengan berbagai hambatan dan kesulitan begitu besar, padahal jumlah
kaum pelajar di Sunni di Iran berjumlah 10 persen dari seluruh penduduk Iran.
10. Di bidang ekonomi dan pembangunan terjadi diskriminasi yang
mencolok di wilayah-wilayah yang berpenduduk Sunni dan Syiah. Dana pembangunan
dilimpahkan secara tak terbatas ke wilayah-wilayah Syiah. Sebaliknya,
wilayah-wilayah Sunni justru dihancurkan, warga negaranya banyak yang dibunuh
dan dituduh dengan berbagai macam tuduhan yang keji.
Selain itu, dalam urusan politik dan diplomatik Iran dengan
negara-negara Islam lainnya yang cenderung ‘pilih-pilih.’ Jika negara-negara
tersebut dekat hubungannya dengan kaum Sunni, Iran segera menjauhkan diri.
Bukti kuatnya adalah hubungan Iran dan Arab Saudi, Pakistan dan beberapa negara
teluk lainnya. Hubungan tingkat diplomatik Iran dan Saudi sebatas pada taraf
kuasa usaha (konsul), sehingga kedua negara tersebut tidak ada duta besar
masing-masing negara.
Demikian pula dengan Pakistan, Iran memiliki hubungan yang tidak
baik dengan negara ini. Iran menyebut Pakistan adalah pengikut AS. Karena
dianggap dekat dengan AS itulah Iran menjauhkan diri dari Pakistan maupun
negara teluk lainnya.
Selesai
Artikel terkait :
http://www.gensyiah.com/bukti-ke-9-iran-melarang-pendirian-masjid-sunni-di-teheran.html
Iran adalah Mayoritas Syiah, Bagaimanakah Islam Sunni
di Iran?
Penduduk Iran
terdiri dari banyak etnis dan golongan mulai dari Kristen, Yahudi, Zoroastrian,
Baha’is, Sunni, dan Syiah sebagai golongan penguasa. Namun, di antara
golongan-golongan tersebut, kaum Sunni lah yang paling banyak ditindas oleh
pemerintah Iran, dikarenakan perbedaan masalah aqidah antara Syiah dan Sunni.
Penghinaan Iran Terhadap Kaum Sunni
Dalam kekuasaan Iran, tak pernah ada ceritanya, orang Sunni
duduk dalam kursi pemerintahan. Baik itu untuk menterinya ataupun sekadar calon
presiden belaka. Ini terjadi sejak Revolusi Iran yang mengintegrasikan golongan
Sunni ke dalam kaum minoritas. Dalam konstitusi Iran, sudah disepakai, presiden
Iran haruslah seorang penganut Syiah. Syiah, tak pelak, telah membuat kaum
Sunni menjadi sangat inferior.
Penghinaan kaum Syiah terhadap jamaah Sunni bisa dilihat jelas
pada ritual Syiah setiap pekannya, misalnya saja dalam acara doa bersama yang
memang kerap dilaksanakan berbarengan. Di Iran, kaum Sunni mencapai 20% dari
populasi penduduk Iran yang berjumlah 70 juta orang.
Sunni Iran mengalami penekanan yang sistematik selama
bertahun-tahun. Pemimpin mereka, seperti Ahmed Mufti Zadeh dan Syeikh Ali
Dahwary, dipenjarakan kemudian dibunuh. Pemerintah Iran juga menghancurkan
masjid-masjid kaum Sunni, dan melarang adanya pendirian masjid Sunni lainnya
sekarang ini. Bandingkan dengan Sinagog Yahudi yang banyak bertebaran di
seantero Iran. Bahkan, azdan oleh kaum Sunni pun dilarang oleh pemerintah Iran.
Pengaruh Kaum Sunni Dalam Pemilu
Ada dua faktor yang mendasari analisis terhadap kaum Sunni Iran
dalam pemilu. Pertama, kesatuan para pemilih Sunni dibawah pemimpin dan ulama
Sunni. Kedua, tekanan internasional yang terus dialamatkan kepada Iran.
Sudah diketahui secara umum, jika bertahun-tahun sudah, kaum
Sunni di Iran memilih menjadi golongan putih alias abstain setiap kali pemilu
Iran dilaksanakan. Namun tahun 1997, para pemilih Sunni tiba-tiba saja muncul
ke permukaan mendukung Khatami, dan menjadi fenomena tersendiri ketika itu.
Di zaman Khatami, yang beraliran liberal cukup dominan, kaum
Sunni mulai dapat bersikap lega. Mereka membentuk kekuatan sendiri, dan baru
zaman Khatami ini mereka mempunyai radio dan surat kabar sendiri. Kaum Sunni
juga mulai bisa menyekolahkan anak-anaknya di universitas-universitas Iran.
Namun, seperti yang sudah terjadi, siapapun presidennya , yang
ditampilkan seorang presiden Syiah yang digambarkan sangat sederhana,
namun ternyata sangat menekan kaum Sunni. Dan siapapun pemimpin Iran, selalu
sering kali mendapat sambutan luar biasa dari dunia internasional karena
keberaniannya dalam menentang AS dan Israel, namun anehnya, sampai saat ini,
Iran-yang tak lebih besar daripada Iraq yang sudah digempur habis-habisan oleh
AS dan sekutu, masih baik-baik saja. Dalam artian, AS tidak pernah melakukan
suatu tindakan yang nyata terhadap Iran.
Perkembangan Kaum Sunni
Kaum Sunni Iran hidup di pinggiran dan perbatasan. Sementara
kaum Syiah, Kristen dan Yahudi menghuni kawasan kota-kota besar di Iran.
Karroubi-sebelum pemilu-berjanji akan merevisi semua konstitusi Iran yang telah
bertahun-tahun dilaksanakan, di antaranya adalah dengan melindungi kaum Sunni.
Menurut Karoubi, kaum Sunni di Iran tak lebih berharga daripada orang asing di
negara itu sendiri. Mousavi-jika terpilih-akan kembali membangun masjid pertama
untuk kaum Sunni. Asal tahu saja, kaum Sunni Iran sekarang ini, jika melakukan
shalat Jumat, harus di kedutaan besar asing!
Kemarahan
kaum Sunni Iran terhadap pemerintahnya tak lepas dari kebijakan Iran sendiri
selama ini. Selain itu juga karena perbedaan aqidah yang sangat besar, yaitu
kaum Syiah tak mengakui keberadaan sahabat Rasul (kecuali Ali). Kaum Syiah
menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama daripada seluruh shahabat dan
lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula
anak cucu sepeninggal beliau. Sesuatu yang oleh Ali bin Abu Thalib sendiri
pernah disanggahnya semasa beliau hidup.
Pencetus pertama paham Syi’ah ini adalah seorang Yahudi dari
negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’ Al-Himyari, yang
menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah berkata: “Asal Ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah
(orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran).
Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrem di
dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah)
dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa,).” (Majmu’
Fatawa, 4/435).
Tak pelak, ajaran Syiah sudah dianggap sebagai ajaran sesat
dalam Islam dan ulama-ulama besar internasional pun sudah mengharamkannya. Dan
hingga dibawah kekuasaahingga sekarang ini, tampaknya nasib kaum Sunni di Iran
akan tetap terus tertindas dan tertekan.
Testimoni Imam Masjid Istiqlal tentang Syiah dan Iran
Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. KH. Ali
Mustofa Yaqub menulis testimoni kepada saya:
Pada bulan Agustus 2005, kami berada di Iran. Selama satu pekan
di sana, kami mengunjungi Kota Teheran dan Kota Qum. Suatu malam, ketika kami
diundang untuk makan malam oleh Duta Besar Republik Indonesia di Teheran, kami
berbincang-bincang dengan beliau tentang Iran. Kami katakan kepada beliau bahwa
warga Iran pada masa dahulu adalah penganut Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah dan
bermazhab Syafi’i.
Kitab-kitab karya
para ulama Iran bahkan sampai sekarang masih menjadi rujukan utama para ulama
di Indonesia. Sebut saja misalnya, Kitab al-Muhadzdzab tentang Fikih Syafi’i
karya Imam al-Syirazi (w 476 H) dari Syiraz, Iran, yang disyarahi (diperluas)
oleh Imam al-Nawawi (w 676 H) dalam Kitab al-Majmu’, kitab Hilyah al-Auliya’ wa
Thabaqat al-Ashfiya’ , sebuah kitab Hadis karya Imam Abu Nu’aim al-Ishfahani (w
430 H) seorang ulama dari Ishfahan, dan juga Kitab Ihya’Ulum al-Din karya Imam
al-Ghazali yang lahir di Kota Thus pada tahun 450 H dan wafat di kota yang sama
pada tahun 505 H. Kota Thus berada di kawasan Khurasan, wilayah timur laut
Iran, yang sekarang disebut Masyhad.
Ketika dinasti
Shafawiyah, nisbah kepada pendirinya, Ismail al-Shafawi (1587-1629 M), yang
berhaluan Syi’ah meraih kekuasaan politik di Iran, eksistensi Ahlus Sunnah wal
Jamaah di Iran redup. Dan setelah revolusi Syi’ah di Iran pada tahun 1979 M,
eksistensi Ahlus Sunnah wal Jamaah di Iran padam.
Kepada Duta Besar
Republik Indonesia di Teheran waktu itu, kami mengatakan bahwa apa yang terjadi
di Iran dapat pula terjadi di Indonesia. Ketika itu, pada tahun 2005, jumlah
mahasiswa Indonesia di Iran ada 150 orang. Mereka belajar Syiah di Kota Teheran
dan Kota Qum. Sementara saat ini, konon mahasiswa Indonesia yang belajar di
Iran sebanyak 7000 orang. Seorang Diplomat Irak pernah mengatakan kepada kami
bahwa persentase muslim Sunni di Iran mencapai 35 %. Namun, mereka sudah
kehilangan hak politiknya, tidak ada satu pun muslim Sunni yang menjadi anggota
parlemen. Di Iran juga tidak ada satu pun masjid milik kaum Sunni. Sementara di
negeri Komunis seperti Rusia terdapat ratusan masjid milik muslim Sunni.
Awal Desember 2013
M, ketika diadakan Konferensi Imam Masjid se-dunia di Pekanbaru, Riau, kami
bertemu dengan delegasi dari Irak. Ia seorang imam dan anggota Majelis Ulama
Irak. Beliau mengatakan kepada kami bahwa ketika Dinasti Shafawiyah meraih
kekuasaan politik di Iran, mereka mengatakan, “Hari ini di Iran, besok di Irak,
lusa di Suriah, esoknya lagi di Bahrain dan seterusnya di negara-negara muslim
yang lain.” Beliau juga mengatakan bahwa saat ini aset-aset wakaf milik Ahlus
Sunnah wal Jamaah di Irak telah dirampas oleh Syi’ah.
Apa yang dikatakan
oleh orang-orang dari Dinasti Shafawiyah di Iran saat itu, mungkin merupakan
sebuah obsesi, bahkan mungkin disebut isapan jempol. Namun kenyataan
membuktikan bahwa Irak telah dikuasai oleh Syi’ah, sementara Suriah sedang
dalam pergulatan dan perang saudara.
Ketika Irak masih
dikuasai oleh rezim partai sosialis Arab, Ba’ats, yang berhaluan komunis dan
dikomandoi oleh Presiden Saddam Husein, warga Ahlus Sunnah wal Jamaah dapat
hidup berdampingan dengan kelompok lain secara damai dan tenteram. Namun
setelah rezim Partai Ba’ats yang komunis itu ditumbangkan, konflik berdarah
antar kelompok selalu terjadi di Irak.
Ada orang berkata bahwa perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jamaah
dari Syi’ah adalah perbedaan dalam penafsiran saja. Menurutnya, perbedaan
penafsiran seperti itu juga terdapat di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah
sendiri. Pendapat ini tampaknya ingin memberikan lampu hijau dan legalitas
kepada Syi’ah. Masalahnya apakah semua penafsiran itu dibenarkan menurut ajaran
Islam? Apabila hal itu dibenarkan, maka tidak ada satu pun pendapat di dunia
yang salah menurut ajaran Islam. Seperti kita ketahui, kelompok Ahmadiyah
(Qadianiyah) menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata Khatam an-Nabiyyin
dalam Surat Al-Ahzab ayat 40 adalah nabi yang terbaik. Penafsiran Ahmadiyah ini
untuk menjustifikasi bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi, padahal
Hadis-hadis sahih menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi pamungkas dan
tidak ada nabi setelah beliau. Konsensus (ijma’) ulama juga menetapkan
demikian.
Ustadz Fahmi Salim, Lc. MA.
Para Ulama Sunni di Iran menuntut pemerintahan Presiden Hassan
Rouhani untuk mengakhiri "diskriminasi dan perlakuan tidak adil"
dengan isu-isu etnis minoritas dan agama minoritas seperti dilansir Alarabiya,
hari Selasa 02/09/14 .
Mereka juga mengkritik, dalam laporan terpisah, pihak berwenang
yang berurusan dengan siswa sekolah agama Islam Sunni, di provinsi Balochistan,
Iran timur.
Menurut situs, "Sunni online", yang mengekspos
berita-berita mengenai Sunni di Iran, Syaikh Abdul Hamid Ismail Zahi, Imam
Sunni di kota Zahedan, ibukota provinsi Balochistan, menuntut pemerintah untuk
"mengakhiri diskriminasi dan untuk memenuhi janji-janjinya terhadap
hak-hak kelompok minoritas."
Kata Syaikh Abdul Hamid, ketika khotbah Jumat kemarin, mengatakan
bahwa "keterlibatan kelompok minoritas dari etnis dan agama di dalam
mengelola negara akan meningkatkan persatuan nasional, keamanan dan stabilitas
di negara itu," seperti dikutip situs Sunni Online.
Dalam konteks yang sama, Syaikh Mohammad Hussein Gargij, Imam
Sunni di kota Azad Shahr menuntut pemerintah Iran dengan mengatakan bahwa
"orang-orang bodoh yang berlaku diskriminatif terhadap isu-isu minoritas
agama harus dihukum." Dia menyebutkan bahwa kampanye penangkapan massal, yang dilakukan
oleh pemerintah Iran, terhadap siswa dari pusat-pusat keagamaan Sunni,
khususnya di provinsi Balochistan, yang mayoritas penduduknya Sunni.
Penangkapan ditargetkan kepada seluruh siswa berpakaian seragam
sekolah Sunni di perbatasan provinsi dan pos pemeriksaan di pintu masuk ke kota
Zahedan.
Tuntunan ini adalah yang
kesekian kalinya terhadap perlakuan diskriminatif pemerintah Persia Iran
terhadap Sunni yang mayoritasnya beretnis Arab.