Semua
hanya karena ketidak mampuan para pemimpin Arab memahami perubahan
'geostrategi' Barat di Timur Tengah, berakibat sangat fatal. Nampak, beberapa
waktu lalu ibukota Yaman jatuh dengan mudah ke tangan milisi Syiah Hutsi, sekaligus
mengubah peta kekuatan politik dan militer di negara tersebut, seharusnya
menjadi sebuah warning bagi
keberlangsungan entitas muslim Sunni, adanya potensi bagi Syiah mengambil alih
dominasi Sunni atas dunia Islam.
Pelan
tapi pasti, satu per satu negeri-negeri muslim Sunni beralih ke tangan Syiah.
Dimulai dari Iran, Suriah, Libanon, menyusul Irak pasca invasi AS, dan
dikuasainya pemerintahan Afghanistan oleh faksi yang pro Iran. Lebih luas lagi,
secara global peran dan posisi Syiah menguat signifikan, termasuk diuntungkan
oleh situasi di negara-negara yang mengalami Arab Spring. Bahkan termasuk di
Indonesia, mereka memainkan peran politik yang lebih besar, melampaui statusnya
sebagai minoritas.
Untuk
membangunkan kaum Sunni dari tidurnya, bahwasanya telah ada proses panjang di
balik pencapaian tersebut, yang benar-benar dipersiapkan dengan baik oleh kaum
Syiah, untuk mengukuhkan eksistensinya. Jadi tidak begitu saja tiba-tiba
menghentak muncul ke permukaan. Dan bahkan selama ini tidak disadari oleh kaum
Sunni sendiri.
Tulisan
ini tidak mengambil perspektif menguji kebenaran sebuah dogma, bukan untuk
menghakimi suatu keyakinan, tetapi dalam perspektif usaha-usaha yang dilakukan
dalam mengukuhkan hegemoni dan membangun sebuah peradaban. Di antara klaim
kebenaran antara Sunni dan Syiah, baiklah masing-masing di antara kita
menghargai upaya pencarian kebenaran yang hakiki, seobyektif mungkin dan tanpa
prasangka. Dan masing-masing dari kita kelak akan mempertanggungjawabkannya
kepada Allah.
Benturan Tanpa Henti, Memperebutkan Hegemoni Peradaban
Generasi
kita lahir dalam suasana dunia Islam telah sekian lama didominasi oleh paham
Sunni. Membekas dalam benak kita bahwa Sunni adalah mayoritas, sedang Syiah
hanyalah minoritas. Dalam perspektif sempit ini kita bisa lengah, dengan
mengasumsikan dominasi Sunni tidak mungkin tergantikan oleh Syiah, apalagi
dalam waktu dekat.
Tetapi
dalam perspektif yang lebih luas, di antara benturan berbagai ideologi dan
peradaban, silih berganti antara kemunculannya dan keruntuhannya, sesungguhnya
sejarah peradaban umat manusia tetaplah berada dalam situasi yang cair. Pintu
sejarah suatu peradaban tidak pernah terkunci, sehingga tidak ada tempat yang
aman bagi sebuah peradaban untuk beristirahat dan tidur dengan tenang, sekokoh
apapun mereka.
Pasca
dominasi Turki Utsmani, antara Syiah dengan Sunni memang bisa diibaratkan
seperti semut berhadapan dengan gajah. Bagaikan menyandang sebuah mission imposible, ketika segelintir
orang yang tak memiliki apa-apa berhadapan dengan sebuah peradaban besar.
Tetapi di antara mereka ada cita dan idealisme untuk menaklukkan peradaban
besar tersebut, meski mengawali dari sebuah langkah.
Bukan
sikap mental menyerah pada ketidakmungkinan, tetapi tidak juga terjebak pada
sebuah optimisme semu yang hanya akan berakhir sia-sia. Bukan hanya khayal dan
angan-angan panjang, tidak cukup hanya dengan retorika-retorika kosong, tetapi
membutuhkan usaha-usaha luar biasa, upaya-upaya taktis dan terukur untuk
merealisasikannya. Mencari celah-celah sempit untuk menembus kukuhnya benteng
dominasi Sunni, menaklukkan sebuah kemustahilan.
Bukan
sebuah upaya yang mudah, perjuangan yang membutuhkan kesabaran dan waktu,
bahkan lebih dari itu, ia membutuhkan strategi yang terarah pada target yang
ingin dicapai. Kemampuan membaca situasi dunia, memanfaatkan berbagai friksi
dan konflik kepentingan, serta bermain di antara berbagai benturan ideologi dan
peradaban besar.
Memainkan Keragaman Manhaj, antara Puritanisme dan
Tradisionalisme
Sebuah
retakan yang bisa menjadi jalan untuk membelah besarnya dominasi Sunni dalam
dua kubu yang konfrontatif. Minoritas Syiah tidak harus menghadapi mayoritas
Sunni secara utuh. Dengan menjadikannya terbelah, berarti hanya perlu
menghadapi sebagian saja dari keseluruhan lawan, beban menjadi lebih ringan,
bahkan akan masih terbantu oleh adanya friksi internal di dalam tubuh Sunni itu
sendiri. Sebuah upaya menyiasati ketidakseimbangan kekuatan.
Islam
pasca Rasulullah, adanya keragaman manhaj dan madzhab menjadi sesuatu yang tak
bisa diniscayakan. Melewati rentang masa yang panjang, situasi dan kultur yang
bermacam-macam, potensi keragaman juga akan semakin komplek. Antara menjaga
orisinalitas agama dengan mengakomodasi fleksibilitasnya akan terus memunculkan
dinamika.
Nabi
Muhammad berbeda dengan rasul-rasul sebelumnya, Islam yang dibawanya bukan
hanya untuk satu kurun dan kaum tertentu. Adanya jaminan tidak ada lagi nabi
sesudah Beliau, hanya akan ada pembaharu-pembaharu yang mengembalikan
orisinalitas Islam tiap kurun tertentu. Karena bukan nabi, para pembaharu
tersebut tak akan menyelesaikan sepenuhnya setiap permasalahan umat, tetapi
orisinalitas Islam tak akan sepenuhnya pudar sebagaimana agama-agama terdahulu.
Hal ini mengisyaratkan Islam ini didesain memadai untuk menjawab semua
problematika segenap umat manusia hingga akhir zaman.
Tidak
semua problematika tiap-tiap generasi diterangkan secara detail, tak mungkin
tiap-tiap generasinya menghandle problematika keseluruhan generasi, Islam tak
memberi beban di luar kemampuan mereka. Ada aspek-aspek yang dijelaskan secara
global, menjadikan fleksibilitas Islam diterima dalam beragam kondisi dan zaman
yang berbeda-beda, agar tiap-tiap generasi mampu mencerna Islam sesuai
kapasitas kemampuan mereka dalam menjalankannya. Generasi abad pertama Islam
tidak terbebani semua permasalahan generasi kita. Sebaliknya, bagi generasi
kita akan menghadapi persoalan-persoalan baru yang belum dirumuskan secara langsung
oleh generasi terdahulu.
Di
antara persoalan-persoalan baru yang timbul dalam perjalanan hidup umat Islam,
muncul keragaman pemahaman dan perbedaan sudut pandang dalam menyikapinya.
Bahkan kemudian mengkristal menjadi friksi dalam tubuh umat seiring perjalanan
panjang melewati rentang ruang dan waktu, baik dalam corak tradisionalis,
puritan, modernis, konservatif dan sebagainya.
Antara
menjaga kesatuan umat dan mempertahankan kemurnian agama, sering menjadi sebuah
persimpangan bagi perjalanan agama ini. Islam tidak bisa tegak di atas
penyimpangan, ia harus terjaga orisinalitasnya dari penyelewengan, tetapi
keragaman juga akan senantiasa timbul, dan hal tersebut membutuhkan sikap
obyektif dan proporsional ketika belum dapat dipertemukan. Jika tidak, hal ini
akan berujung pada friksi yang tak kunjung usai dan kontraproduktif bagi umat
ini sendiri.
Terlepas
dari beragam rumor yang beredar di balik berbagai friksi yang terjadi, dalam
catatan-catatan gelap seperti Memoar
of Hempher atau Lawrence
of Arabiya, yang kebenarannya sulit dipertanggungjawabkan,
tetapi kenyataannya memang dimanfaatkan pihak luar, dalam konteks kolonialisme,
persaingan politik, persaingan antara Sunni dengan Syiah dan sebagainya.
Friksi
antara Salafi dengan Asy’ariyah, atau dalam tataran lokal seperti polemik
tentang MTA, dimainkan secara piawai termasuk kepentingan meneguhkan eksistensi
Syiah dalam menghadapi Sunni. Tidak hanya memperkecil medan konfrontasi Syiah
dengan Sunni, bahkan bisa menarik kedekatan Asy’ariyah dengan Syiah, pada
sisi-sisi kesamaan di antara keduanya. Selangkah lebih jauh untuk
mengesampingkan perbedaan akar keagamaan di antara keduanya. Friksi dengan kaum
puritan membuat kalangan muslim tradisionalis memposisikan diri lebih dekat
dengan Syiah.
Antara
Salafi (Wahabi) dengan Asy’ariyah (Sufi), sebenarnya memiliki kesamaan akar
keberagamaannya dari sisi penerimaan mushaf Utsmani, hadis kutubussitah dan
madzhab empat, tetapi mengkristalkan sisi-sisi perbedaan di antara keduanya
mengakibatkan terciptanya gap yang sangat lebar, penampakan praktek keagamaan
di antara keduanya menjadi berbeda sama sekali, dan menjadi sulit untuk
dipertemukan.
Ketika
salah satu pihak didorong semakin jauh pada arus heretic beserta
penyimpangannya, sedang pihak lain didorong pada arah rigid dengan
keabsolutannya, tereliminasinya sisi-sisi kesamaan di antara keduanya,
sekaligus mengedepankan sisi-sisi perbedaan, maka semakin sulit untuk
mempertemukan keduanya, dan akhirnya menjadi dilema cukup berat yang dihadapi
oleh kalangan Sunni.
Sebaliknya,
antara Asyariyah dengan Syiah memiliki akar keagamaan yang berbeda sama sekali,
tetapi keduanya hidup dalam tradisi yang serupa, dan mengakomodirnya, sehingga
penampakannya memiliki banyak kesamaan, misalnya pada aspek tradisi ziarah kubur,
istighatsah, tawasul, tasawuf, wirid-wirid dan sebagainya, sehingga semakin
menarik kedekatan mereka dengan kalangan Syiah.
Menjaga
eksistensi muslim Sunni membutuhkan solusi untuk menyikapi friksi yang terjadi,
membutuhkan pandangan yang obyektif dan komprehensif mengenai perkara ushul dan furu’, serta berbagai ikhtilaf yang sulit
disepakati, tanpa mengesampingkan upaya mencari kebenaran hakiki. Jika tidak,
justru akan tersandera oleh permasalahan tersebut, sekaligus menjadi beban
internal yang cukup melemahkan.
Bermain di Antara Benturan Islam Vis Neo-Kolonialisme
Barat
Terlepas
dari benturan abadi antara al
haq dan al bathil, benturan kepentingan
dalam berbagai aspeknya telah banyak menghiasi sejarah, dan akan terus
berlangsung. Tidak ada kawan dan lawan abadi untuk memperebutkan supremasi
dunia.
Pada
era kolonialisme dan sesudahnya, kondisi dunia Islam memang didominasi oleh
Sunni. Tetapi keberadaan Sunni sebagai tulang punggung dunia Islam justru
menempatkannya sebagai target dari upaya kembalinya neo-kolonialisme. Ketika
penjajahan secara fisik berakhir, penjajahan dalam bentuk lain, secara
ideologi, politik, ekonomi, serta penguasaan SDA, terus berupaya mencengkeram
dunia ke tiga, termasuk dunia Islam.
Di
satu sisi, saat ini Syiah memang berada di bawah superioritas Sunni, tetapi di
sisi lain dunia Islam sebenarnya sedang berada jauh di bawah superioritas
kekuatan super power dunia. Barat dan Syiah sama-sama memiliki kepentingan
untuk menggeser dominasi Sunni. Berpotensi menjadi sebuah kolaborasi yang apik
untuk mengukuhkan eksistensi Syiah, sekaligus tantangan lebih berat yang harus
dihadapi Sunni.
Secara
kasat mata di permukaan, Syiah (terutama Iran dan Suriah) menjadi ikon
perlawanan dunia Islam terhadap Barat, dalam hal ini Amerika dan Zionis. Tetapi
dunia sedang tidak sesederhana itu, kita bukan hanya berada pada era kemajuan
teknologi canggih yang menakjubkan, tetapi juga kemajuan teknologi politik yang
sudah tidak sederhana, tak lagi bisa dimengerti oleh orang kebanyakan, dunia
yang penuh intrik, tipu daya dan konspirasi.
Jika
kita cermati dengan seksama, di balik konfrontasi antara Iran dan AS, mengapa
tercipta kolaborasi indah keduanya di Irak. Tidak ada kepentingan AS untuk
menjatuhkan Saddam Husain, kemudian pergi meninggalkan Irak begitu saja. Yang
pasti justru kepentingan menghadiahkan negara Irak kepada Syiah, sebuah
kolaborasi apik antara AS, Iran dan pemerintahan Irak yang didominasi Syiah.
Invasi
AS ke Afghanistan juga berakhir dengan terwujudnya pemerintahan Afghanistan
yang pro Iran. Terlalu naif jika AS hanya berkepentingan menjatuhkan Taliban
kemudian meninggalkannya begitu saja. Retorika Barat untuk mengakhiri rezim
Asad, di lapangan ternyata jauh panggang dari api, makin mengukuhkan keberadaan
rezim Asad. Kecurigaan adanya kolaborasi antara pemerintahan Syiah Irak dan AS
dalam melakukan pembiaran dan memfasilitasi kemunculan ISIS, berpotensi menjadi
jalan untuk menghancurkan eksistensi Sunni yang tersisa di wilayah tersebut.
Benturan
antara rezim-rezim boneka Barat dengan Islamis juga menjadi benang merah yang
menghubungkan kepentingan Syiah. Yaman adalah salah satu contoh, sebuah situasi
yang didesain untuk menggiring lawan-lawan politik Islamis untuk masuk dalam
satu kepentingan dengan Syiah.
Benturan
Islamis dengan Liberalis dan Sekuler, kemudian menempatkan salah satu kubu
dalam satu kepentingan dengan Syiah, bisa merubah konstelasi Sunni-Syiah secara
drastis. Apalagi jika kekuatan pro Barat, Liberalis, Sekuler, dan rezim-rezim
tiran meninggalkan identitas kesunniannya, hingga Sunni akan terbatas pada
Islamis saja.
Termasuk
dalam tataran lokal, menarik masuk kalangan nasionalis dan abangan dalam satu
kepentingan dengan Syiah menghadapi Sunni, berpotensi berubahnya konstelasi
Sunni-Syiah, hingga dominasi Sunni atas Syiah kemudian berbalik.
Pelajaran untuk Islamis dan Jihadis, Sebuah Jebakan
Sempat
terbawa dalam euforia sesaat kemenangan Islamis pasca Arab Spring, sebenarnya
ada hal-hal di balik itu yang perlu dicermati. Jika islamis sempat menduga
Barat (terpaksa) mendukung tuntutan rakyat yang menginginkan jatuhnya para
tiran yang notabene boneka mereka sendiri, atau membiarkan kolega-kolega mereka
jatuh, tak berdaya menghadapi gejolak arus revolusi, tentunya permasalahan tidak
akan sesederhana ini.
Sebagaimana
halnya ketika Jihadis menduga Barat meninggalkan medan-medan jihad karena tak
mampu lagi menghadapi perlawanan mereka, persoalan juga tak sesederhana ini.
Tidak mungkin Barat menyerahkan kekuasaan ke tangan Islamis begitu saja.
Tetapi
di antara intrik dan strategi yang sudah sedemikian rapi, segala sesuatunya
yang terjadi tentunya telah terencana, terukur dan diperhitungkan secara
matang. Bukannya Barat tak mampu mempertahankan kekuasaan Husni Mubarak
misalnya, tetapi memang telah ada agenda lain.
Reformasi
di Indonesia yang telah terjadi beberapa tahun sebelumnya bisa menjadi cermin,
bahwasanya hal tersebut bukan hanya kepentingan Islamis melawan diktator lokal,
tetapi ada pihak yang sebenarnya memfasilitasi dan akan memanfaatkannya.
Berbagai
revolusi dan pergolakan dijalani bersusah payah, sedang hasilnya dinikmati
pihak lain. Keluar dari sebuah tiran, masuk kepada tiran lain setelahnya,
bahkan lebih buruk. Sebenarnya perlu diperhatikan dengan seksama, ketika keterlibatan
Islamis di garda terdepan berbagai pergolakan, revolusi dan medan jihad,
ujung-ujungnya justru mengukuhkan dominasi Barat, termasuk menguatnya
eksistensi Syiah.
Kita
perlu melakukan evaluasi mendalam ketika Islamis hampir tidak mendapatkan apa-apa
dari keterlibatannya dalam Arab Spring, justru memunculkan kediktatoran dalam
bentuk lain. Mesir dan Yaman menjadi pelajaran berharga, revolusi yang bergulir
dimanfaatkan betul oleh pihak lain. Demikian pula terbentuknya
kelompok-kelompok Jihadis yang justru menjadi pintu masuk upaya penghancuran
dan pelemahan Islamis, sekaligus penguatan rezim-rezim yang berafiliasi kepada
Barat dan Syiah.
Demikian
pula ketika Barat meninggalkan medan-medan jihad dengan segala persoalannya.
Tentunya bukan semata kegagalan menghadapi perlawanan, tetapi ada agenda lain
yang telah dipersiapkannya. Agar jangan sampai energi dan keteguhan untuk
melakukan perjuangan justru dimainkan dan dimanfaatkan oleh pihak luar untuk
melemahkan dan berbalik menjadi beban bagi kekuatan Islam sendiri.
Di
antara tangan-tangan tak terlihat yang bermain di balik peristiwa-peristiwa
yang terjadi, di antara jebakan dan umpan, membutuhkan sebuah kewaspadaan,
sebuah upaya menghindarkan diri agar tidak menari di atas genderang yang
ditabuh orang lain.
Dunia Islam di Ambang Syiah
Ketika
di satu sisi, faksi-faksi yang beragam dalam tubuh Syiah bisa memadukan gerak
langkah untuk mewujudkan agenda bersama, baik Syiah Imamiyah, Zaidiyah,
Alawites, lebih luas lagi mencakup kemampuan bersinergi dengan kalangan sekuler,
liberal, termasuk juga dengan kekuatan luar Islam.
Di
sisi lain, dunia Sunni terpecah dalam beragam kepentingan yang sulit
dipertemukan, bahkan saling bertentangan, antara berbagai faksi Islamis,
konflik kepentingan dengan kalangan Sekuler dan liberal, serta dengan para
pemegang kekuasaan.
Arab
Saudi menjadi sebuah contoh, dalam posisinya yang terjepit meluasnya pengaruh
Syiah di kawasan regional, sementara mereka tidak memiliki kemampuan sumber
daya, kekuatan militer, bahkan tanpa spirit yang memadai, tidak punya pilihan
lain kecuali berlindung kepada Barat. Sebuah pilihan bersyarat yang membuat
mereka harus bermusuhan dengan Islamis dan Jihadis. Sedang Barat sendiri tidak
tulus menopang mereka, terbangun atas kepentingan yang sangat rapuh.
Menjadi
ujian kedewasaan bagi Islamis, benteng terakhir entitas muslim Sunni dalam
mempertahankan eksistensinya. Kedewasaan untuk memahami situasi agar tidak
terjebak pada permainan dan intrik yang disetting untuk makin melemahkan Sunni
itu sendiri. Baik dalam menyikapi friksi internal maupun benturannya dengan
kalangan eksternal.
Sejauh
mana kemampuan melakukan pendekatan dan komunikasi dengan kalangan nasionalis,
atau bahkan sekuler, agar tidak terjebak pada konflik kepentingan, yang bisa
menarik kalangan nasionalis, sekuler dan liberal untuk meninggalkan identitas
Sunninya dan terserap ke dalam lingkaran Syiah. Sehingga komunitas Sunni makin
terisolir dan terbatas pada kalangan tertentu yang makin sempit.
Demikian
pula dalam mengambil posisi yang tepat terhadap rezim dan penguasa lokal, yang
notabene masih muslim, dengan kebaikan dan keburukannya, agar terhindar dari
benturan yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan kepada penguasa yang lebih buruk.
Benturan antara Islamis dan penguasa lokal seperti yang terjadi di Libya, Sudan
atau Malaysia, bisa menjadi sebuah catatan agar tidak menjadi blunder di
belakang hari, yang akhirnya dimanfaatkan pihak luar untuk makin melemahkan
kekuatan muslim Sunni secara keseluruhan.
Pendekatan
sebaik-baiknya, di satu sisi berhadapan dengan realitas adanya
kekurangan-kekurangan mereka bagi eksistensi Sunni, tetapi di sisi lain mereka
adalah aset-aset kekuatan Sunni yang tersisa. Menempatkan diri menjadi solusi,
mengedepankan kebijaksanaan, untuk kepentingan jangka panjang. Daripada
kemudian menjadi berjarak yang semakin jauh, dan aset-aset tersebut jatuh
sepenuhnya ke pihak lain.
Sebuah Optimisme, Kebenaran Akhirnya Akan Menang
Di
suatu zaman yang penuh fitnah, tantangan mengepung umat ini dari segala
penjuru, permasalahan yang dihadapi sangat komplek, upaya-upaya untuk
memadamkan cahaya Islam akan semakin pelik, dan semua ini tidak cukup hanya
dihadapi secara emosional buta.
Kebenaran
memang akan menang, keadilan akan tegak, menjadi buah kebaikan bagi kehidupan,
tetapi harus melewati berbagai rintangan tersulit. Sedang takdir yang baik
senantiasa bersama upaya-upaya terbaik. Tidak dengan cara-cara curang,
menghalalkan segala macam cara, tetapi bukan pula sikap bodoh dan mudah
diperdaya.
Dalam
keterbatasannya, di tengah berbagai stigma buruk dan kesulitan yang menimpa,
nyatanya tetap terlahir manusia-manusia yang akal pikirnya memiliki kesadaran,
yang mengenali Islam sebagai sebuah mutiara, sebuah nilai unggul yang akan
menjadi solusi bagi permasalahan dunia. Bukan untuk menguasai dan menaklukkan
manusia-manusia lain, tetapi untuk membebaskan mereka untuk mendapatkan
kehidupan yang hakiki.
Menjadi
sebuah pertanyaan tersisa, apakah sebuah peradaban yang dibangun dengan aliansi
dengan kebatilan, akan bisa menjadi tujuan bagi para pencari kebenaran yang
hakiki?
Terlepas
dari benturan abadi antara al
haq dan al bathil, benturan kepentingan
dalam berbagai aspeknya telah banyak menghiasi sejarah, dan akan terus
berlangsung. Tidak ada kawan dan lawan abadi untuk memperebutkan supremasi
dunia.
Pada
era kolonialisme dan sesudahnya, kondisi dunia Islam memang didominasi oleh
Sunni. Tetapi keberadaan Sunni sebagai tulang punggung dunia Islam justru
menempatkannya sebagai target dari upaya kembalinya neo-kolonialisme. Ketika
penjajahan secara fisik berakhir, penjajahan dalam bentuk lain, secara
ideologi, politik, ekonomi, serta penguasaan SDA, terus berupaya mencengkeram
dunia ke tiga, termasuk dunia Islam.
Di
satu sisi, saat ini Syiah memang berada di bawah superioritas Sunni, tetapi di
sisi lain dunia Islam sebenarnya sedang berada jauh di bawah superioritas
kekuatan super power dunia. Barat dan Syiah sama-sama memiliki kepentingan
untuk menggeser dominasi Sunni. Berpotensi menjadi sebuah kolaborasi yang apik
untuk mengukuhkan eksistensi Syiah, sekaligus tantangan lebih berat yang harus
dihadapi Sunni.
Secara
kasat mata di permukaan, Syiah (terutama Iran dan Suriah) menjadi ikon
perlawanan dunia Islam terhadap Barat, dalam hal ini Amerika dan Zionis. Tetapi
dunia sedang tidak sesederhana itu, kita bukan hanya berada pada era kemajuan
teknologi canggih yang menakjubkan, tetapi juga kemajuan teknologi politik yang
sudah tidak sederhana, tak lagi bisa dimengerti oleh orang kebanyakan, dunia
yang penuh intrik, tipu daya dan konspirasi.
Jika
kita cermati dengan seksama, di balik konfrontasi antara Iran dan AS, mengapa
tercipta kolaborasi indah keduanya di Irak. Tidak ada kepentingan AS untuk
menjatuhkan Saddam Husain, kemudian pergi meninggalkan Irak begitu saja. Yang
pasti justru kepentingan menghadiahkan negara Irak kepada Syiah, sebuah
kolaborasi apik antara AS, Iran dan pemerintahan Irak yang didominasi Syiah.
Invasi
AS ke Afghanistan juga berakhir dengan terwujudnya pemerintahan Afghanistan
yang pro Iran. Terlalu naif jika AS hanya berkepentingan menjatuhkan Taliban
kemudian meninggalkannya begitu saja. Retorika Barat untuk mengakhiri rezim
Asad, di lapangan ternyata jauh panggang dari api, makin mengukuhkan keberadaan
rezim Asad.
Kecurigaan
adanya kolaborasi antara pemerintahan Syiah Irak dan AS dalam melakukan
pembiaran dan memfasilitasi kemunculan ISIS, berpotensi menjadi jalan untuk
menghancurkan eksistensi Sunni yang tersisa di wilayah tersebut.
Benturan
antara rezim-rezim boneka Barat dengan Islamis juga menjadi benang merah yang
menghubungkan kepentingan Syiah. Yaman adalah salah satu contoh, sebuah situasi
yang didesain untuk menggiring lawan-lawan politik Islamis untuk masuk dalam
satu kepentingan dengan Syiah.
Benturan
Islamis dengan Liberalis dan Sekuler, kemudian menempatkan salah satu kubu
dalam satu kepentingan dengan Syiah, bisa merubah konstelasi Sunni-Syiah secara
drastis. Apalagi jika kekuatan pro Barat, Liberalis, Sekuler, dan rezim-rezim
tiran meninggalkan identitas kesunniannya, hingga Sunni akan terbatas pada
Islamis saja.
Termasuk
dalam tataran lokal, menarik masuk kalangan nasionalis dan abangan dalam satu
kepentingan dengan Syiah menghadapi Sunni, berpotensi berubahnya konstelasi
Sunni-Syiah, hingga dominasi Sunni atas Syiah kemudian berbalik.
Pelajaran untuk Islamis dan Jihadis, Sebuah Jebakan
Sempat
terbawa dalam euforia sesaat kemenangan Islamis pasca Arab Spring, sebenarnya
ada hal-hal di balik itu yang perlu dicermati. Jika islamis sempat menduga
Barat (terpaksa) mendukung tuntutan rakyat yang menginginkan jatuhnya para
tiran yang notabene boneka mereka sendiri, atau membiarkan kolega-kolega mereka
jatuh, tak berdaya menghadapi gejolak arus revolusi, tentunya permasalahan
tidak akan sesederhana ini.
Sebagaimana
halnya ketika Jihadis menduga Barat meninggalkan medan-medan jihad karena tak
mampu lagi menghadapi perlawanan mereka, persoalan juga tak sesederhana ini.
Tidak mungkin Barat menyerahkan kekuasaan ke tangan Islamis begitu saja.
Tetapi
di antara intrik dan strategi yang sudah sedemikian rapi, segala sesuatunya
yang terjadi tentunya telah terencana, terukur dan diperhitungkan secara
matang. Bukannya Barat tak mampu mempertahankan kekuasaan Husni Mubarak
misalnya, tetapi memang telah ada agenda lain. Reformasi di Indonesia yang
telah terjadi beberapa tahun sebelumnya bisa menjadi cermin, bahwasanya hal
tersebut bukan hanya kepentingan Islamis melawan diktator lokal, tetapi ada
pihak yang sebenarnya memfasilitasi dan akan memanfaatkannya.
Berbagai
revolusi dan pergolakan dijalani bersusah payah, sedang hasilnya dinikmati
pihak lain. Keluar dari sebuah tiran, masuk kepada tiran lain setelahnya,
bahkan lebih buruk. Sebenarnya perlu diperhatikan dengan seksama, ketika
keterlibatan Islamis di garda terdepan berbagai pergolakan, revolusi dan medan
jihad, ujung-ujungnya justru mengukuhkan dominasi Barat, termasuk menguatnya
eksistensi Syiah.
Kita
perlu melakukan evaluasi mendalam ketika Islamis hampir tidak mendapatkan
apa-apa dari keterlibatannya dalam Arab Spring, justru memunculkan kediktatoran
dalam bentuk lain. Mesir dan Yaman menjadi pelajaran berharga, revolusi yang
bergulir dimanfaatkan betul oleh pihak lain. Demikian pula terbentuknya
kelompok-kelompok Jihadis yang justru menjadi pintu masuk upaya penghancuran
dan pelemahan Islamis, sekaligus penguatan rezim-rezim yang berafiliasi kepada
Barat dan Syiah.
Demikian
pula ketika Barat meninggalkan medan-medan jihad dengan segala persoalannya.
Tentunya bukan semata kegagalan menghadapi perlawanan, tetapi ada agenda lain
yang telah dipersiapkannya. Agar jangan sampai energi dan keteguhan untuk
melakukan perjuangan justru dimainkan dan dimanfaatkan oleh pihak luar untuk
melemahkan dan berbalik menjadi beban bagi kekuatan Islam sendiri.
Di
antara tangan-tangan tak terlihat yang bermain di balik peristiwa-peristiwa
yang terjadi, di antara jebakan dan umpan, membutuhkan sebuah kewaspadaan, sebuah
upaya menghindarkan diri agar tidak menari di atas genderang yang ditabuh orang
lain.
(abimantrono anwar/dbs/voa-islam.com)
Syaikh Ali Al Ammary: Amerika Meridhoi Penyebaran
Ajaran Syiah
Peneliti dan
Pengkaji ajaran Syi’ah dari Lajnah Pembela Sunnah, Syaikh Ali Al Ammary
menyatakan Amerika dan Barat meridhoi ajaran Syiah tersebar di seantero dunia.
Pasalnya, penyebaran Syiah yang kian pesat di negeri-negeri kaum Muslimin dan
negara-negara lainnya tidak mendapatkan hambatan berarti apapun meski selama
ini kaum Syiah menggembar-gemborkan anti terhadap Barat.
“Semenjak Revolusi Syiah di Iran, mereka mengaku anti Amerika dan Barat.
Khomeini pernah mewasiatkan agar pemerintah Iran membantu penyebaran Syiah.
Tetapi, saya heran mengapa ajaran mereka bisa berkembang tetapi Amerika diam
saja. Diamnya Amerika menandakan meridhoi perkembangan Syiah,” Kata Syaikh Ali
dalam kunjungannya di Kantor Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jl.Kramat Raya
No.35, Jakarta Pusat.
Fakta tersebut, menurutnya menjadi salah satu bukti dari sekian banyak
yang tidak terungkap dan terungkap di masyarakat dunia. Khomeini sendiri,
menurut Syaikh Ali menggulirkan revolusi Syiah melawan Syah Reza Iran dibantu
oleh barat. Khomeni yang sebelumnya berada di Najaf, Iraq dilobby pihak barat
untuk datang ke Perancis membicarakan sejumlah konspirasi.
“Ada deal-deal tertentu antara Khomeini dan Barat sebelum revolusi
berlangsung, hal itu mereka lakukan di Prancis. Barat sudah tidak suka dengan
Syah Reza maka didukunglah Khomeini. Anda bisa lihat Khomeini kembali ke Iran
dengan mengunakan pesawat Perancis dan dikawal oleh orang-orang Perancis
berkulit putih,” ungkapnya.
Untuk menguatkan argumentasinya, Syaikh Ali menceritakan bagaimana Khomeini
ketika berada di Perancis memberikan pidato agitatifnya mampu didengar oleh
seluruh rakyat Iran di penjuru negeri Mullah itu. Padahal, ketika itu teknologi
teleconference belum dikenal.
“Teknologi seperti itu hanya dimiliki oleh negara-negara tertentu. Jika
ini bukan dibantu oleh barat. Lantas oleh siapa?” tanya Syaikh Ali Retoris.
Dalam kesempatan dialog yang panjang tersebut, Syaikh Ali banyak mengulas
latar belakang sejarah munculnya kembali kekuatan Syiah yang dibelakangnya
dimainkan oleh tangan-tangan Barat untuk menghancurkan umat Islam dari dalam.
Amerika Serikat dan Iran
Bergandeng Tangan Menghancurkan Muslim Sunni
Wawancara
Presiden AS Barack Obama dengan New York Times, sekalipun bernilai propaganda
bagi kepentingan Amerika tentang hasil sepakatan awal dengan Iran.
Namun,
dampak wawancara Obama itu tidak dapat diabaikan. Pernyataan Obama
menimbulkan ketakutan dikalangan para pemimpin Arab, khususnya di kawasan
Teluk.
Thomas
Friedman, seorang kolumnis terkemuka yang menulis di Times, dan mempunyai
pengaruh yang sangat luas, melakukan wawancara dengan Barack Obama. Tentu,
wawancara Friedman dengan Obama menjadi perdebatan yagn luas.
Apa
isis wawancara Friedman dengan Obama yang yang menjadi perdebatan
dikalangan para pemimpin Arab? Obama memuji rezim Iran dan membenarkan tindakan
kebijakannya, dibagina lain Obama menyiratkan rasa bersalah atas kebijakan
Amerika terhadap Iran.
Ini
menggambarkan perubahan yang sangat mendasar ‘geostraregi’ Amerika atas Timur
Tengah dan kawasan Teluk, dan adanya pendekatan baru terhadap Iran, yang dahulu
disebut oleh Presiden George W.Bush sebagai ‘evil’ (setan).
Amerika
Serikat selama ini menempatkan Iran sebagai musuh dan ‘ancaman’ keamanan
global, dan bahkan posisi Iran disamakan denan Korera Utara yang sama-sama
disebut sebagai rezim ‘evil’. Iran terus melakukan ekspansi ke seluruh Timur
Tengah dan Telu, dan mempraktekan kekerasan dengan membangun kekuatan milisi
dan mempersenjatai mereka.
Iran
bertanggung jawab atas sebagian besar kekerasan di wilayah itu di bawah
bendera ‘Revolusi Islam’, yang sejatinya bentuk ekspansi ideology Syi’ah, yang
dibungkus dengan ‘Revolusi Islam’.
Dalam
waktu lebih dari 20 tahun, sejak Ayatullah Khomeini menggulingkan rezim Syah
Iran, terus dikkumandangkan ‘Revolusi Islam’, sembari mengumbar ancaman
terhadap Zionis-Israel.
Obama
meminta maaf kepada rezim Iran dan memuji negara 'mulah' itu telah bermurah
hati serta atas karunia Tuhan dengan tercapainya perjanjian nuklir.
Dibagina
lain, Obama bersikap lembek terhadap rezim Syi’ah Bashar al-Assad yang telah
menimbulkan bencana kemanusiaan. Ini fakta baru tentang perubahan
‘geostrategi’ Amerika Serikat, yang merangkul Syi’ah, dan menjadi Iran sebagai
alat baru menghancurkan kekuatan Islam Sunni di Timur Tengah dan Teluk.
Dibagian
lain, bagaimana Obama bisa memberikan pujian kepada Iran, dan melakukan
perubahan kebijakannya, dan memilih Iran sebagai ‘partner’ baru di Timur
Tengah? Padahal, Iran terlibat kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Suriah,
Irak, dan Yaman yang mempunyai dampak sangat luas bagi keamanan regional di
Timur Tengah?
Semua
perubahan ‘geostraregi’ Amerika Serikat dan Presiden Obama memiliki
tujuan yang sangat membahayakan, yaitu ingin melikwidasi memusnahkan kelompok
Sunni yang dipandang menjadi ancamanan lebih nyata di masa depan.
Terutama Arab Saudi.
Karena
itu para pengamat politik mengatakan, bahwa munculnya radikalisme,
fundamentalisme, dan termasuk kelompok-kelompok militan bersumber dari ajaran
Mohamad bin Abdul Wahab yang dikenal dengan faham : WAHABI.
Amerika
dan Iran bergandeng tangan ingin menghancurkan kelompok Sunni yang dinilai
menjadi sumber malapetaka dunia dengan ajaran WAHABI. Ini hakekat yang
sebenarnya peristiwa politik yang menyertai hubungan antara Amerika dengan
Iran, termasuk tercapainya perjanjian antara Barat, Amerika dengan Iran tentang
senjata nuklir.
Seperti
yang terjadi di Irak. Di mana Ayatullah Ali Khamenei dan Presiden Iran
Rouhani telah melakukan pembicaran rahasia, dan mengirim surat rahasia, yang
intinya soal Irak, di barter dengan dukungan Iran kepada Amerika membasmi ISIS,
sebaliknya Amerika mendukung program nuklir Iran. Ini terbukti dengan
tercapainya perjanjian nuklir antara Amerika - Iran. Wallahu’alam. *mashadi/dtta
2015, AS Hapus Iran dan
Syiah Hizbullah Lebanon dari Daftar Teroris
Badan Intelijen
Nasional AS, CIA, menghapus negara Iran dan milisi bentukannya Hizbullah
Lebanon dari daftar organisasi teroris yang mengancam Amerika Serikat selama
tahun 2015 ini, seperti dilansir arabi21.com, Selasa (17/03).
Hal tersebut
diketahui dalam konferensi pers yang digelar badan intelijen AS di Washington.
Para wartawan terkejut tidak ada nama Iran dan Syiah Hizbullah Lebanon ketika
badan intelijen AS membacakan daftar organisasi “teroris” yang mengancam AS.
Hal itu berbeda
dengan laporan sebelumnya, di mana CIA menyebutkan bahwa Iran adalah ancaman
serius bagi kepentingan AS karena mendukung Bashar Assad di Suriah, anti Israel
dan mengembangkan kemampuan militernya.
Menurut laporan CIA
tersebut, meski saat ini Iran berupaya memperluas pengaruhnya di Timur Tengah
dan mendukung milisi Syiah, mereka ingin mencapai ketenangan di kawasan Arab.
Iran, tambah CIA, juga ingin memperbaiki hubungan dengan Arab Saudi.
Sementara itu,
surat kabar Makor Rishon menyebutkan dalam laporannya bahwa pernyataan yang
dikeluarkan CIA itu menunjukkan bahwa hubungan AS dan Iran mulai membaik.
Dihapusnya Iran dan
Hizbullah dalam daftar negara dan organisasi yang mengancam AS menunjukkan
membaiknya hubungan Iran dengan AS. Sebagaimana diketahui, Iran selama ini
memosisikan diri seakan-akan anti AS. Namun, negara Syiah itu tidak terlihat
melakukan langkah-langkah untuk melemahkan negara tersebut.
Yang juga menjadi
perhatian dari laporan itu, CIA tidak memasukan milisi Syiah Iraq, Al-Hasd
Al-Syakbi, meski Amnesty Internasional telah menyatakan milisi itu melakukan
kejahatan terhadap warga sipil. CIA hanya mencukup Jabhah Nusrah dan ISIS serta
sejumlah gerakan jihad lainnya menjadi kelompok ‘teroris’.
Salman Al-Ouda: Hizbulah Kirim Pasukan ke Banyak Negara
Tapi Tidak Masuk Daftar Teroris
Ulama dan
dai asal Arab Saudi, Dr. Salman Al-Ouda, mengritik kelompok Syiah bersenjata di
Libanon, Hizbulah, yang melakukan intervensi militer di berbagai negara Arab,
seperti Suriah, Irak, dan Yaman.
Dalam wawancaranya dengan stasiun televisi
Aljazeera, Senin (30/3/2015) kemarin, Dr. Al-Ouda mengatakan, “Di seluruh
dunia, tidak ada hizb (partai) yang seperti Hizbulah. Jamaah ini mempunyai
pasukan militer yang sangat kuat. Lebih kuat dari pasukan militer negaranya
sendiri, Libanon. Anehnya, jamaah ini juga mempunyai pengaruh kuat di Suriah.”
Menurut Dr. Al-Ouda, Hizbulah bahkan sudah pernah
mengakui secara terang-terangan bahwa pihaknya melakukan intervensi dalam
krisis politik di Irak. Lalu sekarang, Hizbulah juga dinilai telah
mengintervensi politik dan militer di Yaman. Mereka benar-benar membantu
kelompok bersenjata Syaih Hutsi.
Dr. Al-Ouda juga menekankan bahwa Hizbulah juga
sebenarnya berperan kuat dalam mempengaruhi politik di beberapa negara Teluk.
“Anehnya, walaupun demikian, milisi ini tidak dimasukkan dalam daftar
organisasi teroris,” demikian Dr. Al-Ouda merasa heran.
Pemberitaan berbagai krisis di dunia Arab juga
dikritik Dr. Al-Ouda. Beliau mengatakan, “Banyak stasiun televisi di dunia Arab
dan Teluk yang menggambarkan bahwa ‘industri kematian’ berstempelkan Sunni.
Kenapa tidak ada media yang mengungkap bahwa Syiah dan Zionis juga kerap
melakukan aksi terorisme?”
Eropa dan Dunia Islam punya 'overlap' kepentingan terkait masalah Suriah
Eropa dan dunia Islam punya 'overlap' kepentingan terkait
masalah Suriah, yaitu:
1. Mengharapkan jatuhnya teroris Basyar al-Assad
secepat mungkin. Berbeda dengan Amerika, negara Eropa seperti Inggris
menganggap tidak ada solusi politik lain di Suriah selain hancurnya rezim
tersebut, kejahatannya sudah bisa dinegosiasi lagi. Sedangkan Amerika masih
pikir-pikir karena ini terkait maslahat bagi Israel, apalagi Basyar sudah
terbukti menjadi "anak baik" di "halaman belakang" negara
Zionis itu (lihat peta).
2. Bantuan kemanusiaan terhadap rakyat Suriah.
Harus diakui banyak LSM-LSM dari Eropa melakukan aktivitas kemanusiaan yang
sangat signifikan di Suriah (aktivisnya ada yang disembelih oleh Khawarij).
Negara mereka menjadi donatur yang sangat besar bagi Suriah, sebagaimana
negara-negara Arab dan negeri kaum Muslimin lainnya. Eropa juga memberikan
banyak jatah bagi para pengungsi dan pencari suaka, dimana hal itu justru bisa
meningkatkan jumlah umat Islam di sana.
Namun di luar adanya kesamaan kepentingan
tersebut, ada pula perbedaan sangat tajam. Yaitu Eropa tidak ingin Suriah di
masa depan menjadi negara Islam dan menerapkan syari'at Islam, atau apapun yang
bertentangan dengan nilai-nilai mereka.
(Risalah)