Tapi yang jelas
Allah sudah pasti mengampuni sahabat yang ikut perang Tabuk.
[ Komentar Para Pengkritik
Muawiyah R.A ] Artinya, meski Muawiyah ikut perang Tabuk, maka belum tentu Muawiyah beriman. Kan Muawiyah termasuk sahabat
"baru" yang masuk Islam saat Fathu Makkah, yang menurut pengkritik .
ibaratnya sudah paling nyaman, Islam sudah menang, mau tetap mempertahankan kemusyrikannya juga
percuma karena sudah tidak punya teman lagi,
semuanya sudah
berbondong-bondong masuk Islam.
Artinya, menurut
Pengkritik, sahabat yang masuk Islam saat Fathu Makkah itu. Bisa jadi ada yang menjawab bahwa tidak semua
yang ikut perang Tabuk adalah beriman, ada orang-orang munafik yang ikut.
Artinya meski Muawiyah ikut perang Tabuk, bukan jaminan bahwa Muawiyah benar-benar
beriman.
Jawabnya, orang
munafik memiliki hukum yang berbeda, dan yang harus kita perhatikan, ada
perbedaan antara sahabat dan kaum
munafik. Sahabat bukan munafik, dan munafik bukan sahabat. Di mana bedanya?
Jelas AI Qur'an membedakan antara sahabat dan munafik. Sahabat mendapat ridho
Allah, dan munafik mendapat laknat. Jika kita gambarkan menurut diagram Venn,
maka gambarnya adalah dua lingkaran yang tidak bersambungan sama sekali.
Jika ingin
menuduh Muawiyah adalah munafik, maka harus mendatangkan bukti sejarah yang
valid. Dan bukti-bukti itu tidak akan
bisa melemahkan hadits tentang doa Rasulullah pada Muawiyah. Adanya ampunan
menunjukkan adanya kesalahan juga. Artinya, bukan tidak mungkin sahabat
Rasulullah melakukan kesalahan. Mengapa? Karena sahabat Rasulullah adalah
manusia biasa. Dan yang harus diketahui, bahwa untuk masuk sorga, untuk
mendapatkan ridho Allah, manusia tidak harus bersih dari kesalahan. Orang yang pernah melakukan kesalahan, dia tidak
harus masuk neraka selama-Iamanya.
Allah memberi
banyak kesempatan bagi orang yang bersalah utnuk menebus kesalahannya, di antaranya dengan membuka pintu taubat.
Dan orang yang
sudah bertaubat, seperti tidak memiliki dosa, karena dosanya sudah terhapus.
Dan Allah menjanjikan lebih dari sekedar
menghapus dosa, tapi kesalahan-kesalahannya akan diganti dengan kebaikan.
Kecuali
orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh, maka
kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. AI Furqan 70.
Tuhanmu telah menetapkan alas diri-Nya kasih sayang,
(yaitu) bahwasanya
barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian
ia bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. AI An'am 54.
Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang, mengampuni dosa, dan memberikan kebaikan-kebaikan sebagai gantinya.
Juga di akherat
nanti ada yang disebut mizan, yaitu timbangan amaI manusia. Jika timbangan
amalan baiknya lebih berat, maka dia akan selamat. Jika timbangan amal baiknya
lebih ringan daripada amal buruknya, dia terancam neraka.
Tapi masih ada
peluang untuk selamat, yaitu syafaat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ,
yang diriwayatkan bersabda:
Syafaatku untuk
umatku yang melakukan dosa-dosa besar. Sunan Abu Dawud
Orang yang
dosanya tidak diampuni Allah, serta amalan buruknya lebih berat dari amalan
baiknya, dan mendapatkan syafaat Nabi, maka dia bisa masuk ke dalam sorga.
Muawiyah juga melakukan amalan~amalan baik, juga melakukan
kesalahan, sebagaimana kita juga.
Tapi bedanya Muawiyah dengan
kita, Muawiyah pernah bertemu Nabi, sedangkan kita tidak. Muawiyah mendapatkan
doa Nabi, sedangkan kita tidak.
Muawiyah sudah jelas mendapat
ampunan Allah, berdasarkan dalil-dalil di atas, sedangkan kita tidak. Muawiyah melakukan kebaikan-kebaikan yang
nilainya luar biasa besar, sedangkan kita tidak.
Kebaikan kita sangat kecil
nilainya, kita tidak pernah melakukan amal~amal
besar seperti sahabat Nabi.
Itupun kita tidak tahu amalan kita akan diterima atau tldak.
Setiap hari jum'at, biasanya
khatib tak lupa membaca doa:
"Ya Tuhan kami, beri
ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu
dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun
lagi Maha Penyayang". Surat Al-Ĥashr 10
Jutaan kaum muslimin membaca doa ini
setiap jum'at. Maka kemungkinan terkabulnya sangat besar. Sedangkan sahabat
Rasulullah termasuk kaum beriman, bahkan sahabat Rasulullah adalah orang~orang beriman yang paling
tinggi derajatnya, bahkan disebut oleh Rasulullah sebagai generasi yang terbaik.
Jutaan kaum muslimin
mendoakan sesama muslim, wujud ukhuwah persaudaraan dan cinta kasih pada sesama
muslim, baik yang maslh hidup maupun yang sudah mati. Begitulah seorang muslim,
meski sudah mati masih banyak yang mendoakan,jutaan orangmendoakan.
Dan Allah Maha Mengabulkan
doa.
Sesungguhnya Tuhanku, benar~benar Maha Mengabulkan doa.
Ibrahim 39
Tak ketinggalan Malaikat juga
mendoakan ampunan bagi orang beriman: Begitu juga
Malaikat mendoakan orang-orang beriman:
40:7. (Malaikat-malaikat) yang memikul Arasy dan malaikat yang berada di
sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya
mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala
sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti
jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala,
Hampir saja
langit itu pecah dan sebelah atasnya (karena kebesaran Tuhan) dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhannya dan memohonkan ampun
bagi orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah Dia-Iah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. As Syura 5.
Juga ada
pertanyaan penting:
Apakah kita berani memastikan bahwa Allah tidak mengampuni
Muawiyah?
Dari mana kita tahu Allah tidak mengampuni Muawiyah? Apakah kita
berani memastikan bahwa amalan kita diterima? Apakah kita berani memastikan
bahwa dosa kita diampuni?
Jika kita berpendapat bahwa orang yang melakukan
kesalahan membuat dirinya tercela, dan tidak bisa memiliki keutamaan lagi, tidak diampuni Allah,
dan masuk neraka selama-Iamanya, maka orang itu adalah kita sendiri. Apakah
kita merasa tidak memiliki dosa? Dosa-dosa kita sudah banyak. Bahkan karena
banyaknya, kita sendiri tidak mampu menghitungnya.
Apakah kita
tidak ingin ampunan Allah?
Jika kita ingin agar diampuni Allah, kenapa kita
tidak ingin orang lain diampuni? Allah Maha Pengampun, mengampuni dosa-dosa
hambaNya yang mau bertobat.
Sahabat
Rasulullah tidak suci dari kesalahan, begitu juga
kita, dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Tapi amalan mereka lebih
besar dari kesalahan-kesalahan.
Pada perang
Shiffin, Ali bin Abi Thalib dan dan pasukannya memerangi Muawiyah bin Abi
Sufyan, karena Muawiyah dan penduduk Syam menolak berbaiat pada Ali.
Mengapa
Muawiyah menolak berbaiat? Karena ingin menuntut balas pembunuh Usman sebelum
berbaiat pada Ali. Bukan ingin
merebut kekhafifahan. Ini saja, tidak kurang dan tidak lebih. Karena keluarga
korban pembunuhan boleh menuntut balas akan kematlan keluarganya. Ini
berdasarkan ayat:
Dan barang
siapa dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan
kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam
membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
Allsra 33
Ibnu Katsir
menafsirkan ayat ini:
Yaitu kekuasaan
untuk membalas, dia boleh memilih untuk mengqishash, memaafkan dan meminta
diyat, atau memaafkan tanpa meminta diyat, seperti dijelaskan dalam sunnah.
Ibnu Abbas menyimpulkan dari ayat ini bahwa Muawiyah akan menjadi penguasa,
karena dia adalah wali Utsman, sedangkan Utsman terbunuh dalam keadaan terzhalimi. Dan Muawiyah menuntut darah Utsman, dan meminta Ali agar menyerahkan pembunuh Utsman untuk diqishash, karena
Muawiyah adalah termasuk Bani Umayyah, dan Ali menunda qishash hingga kondisi
tenang, dan dia akan melakukannya ...
Abu Muslim AI
Khaulani bertanya
kepada Muawiyah: Engkau menentang Ali atau engkau anggap dirimu sama dengan
Ali? Muawiyah menjawab: tidak, demi Allah, sungguh aku tahu Ali lebih baik
dariku, dan lebih berhak menjadi khalifah daripada diriku, tetapi bukankah
engkau tahu bahwa Utsman terbunuh dalam keadaan zhalim, dan saya adalah anak
pamannya, yang meminla agar pembunuhnya dihukum qishah, datanglah kepada Ali,
katakan padanya agar menyerahkan pembunuh Utsman, dan aku akan tunduk padanya.
Mereka datang pada Ali dan menyampaikan keinginan Muawiyah, tapi Ali tidak
menyerahkan pembunuh Utsman.
Siyar A'iam
Nubala jilid 3 hal 140,
Dr Ali As
Shalabi mengatakan: perawinya tsiqah.
Inilah yang
juga tercantum dalam AI Bidayah wan Nihayah, bahwa Muawiyah ingin melaksanakan
qishash terlebih dahulu sebelum berbaiat. Dan Ali menolak.
Ibnul Arabi
dalam AI Awashim minal Qawashim
mengatakan: sebab peperangan antara penduduk Syam dan Irak adalah karena
perbedaan sikap, mereka -penduduk Irak-mengajak berbaiat pada Ali dan bersatu
dl bawah pimpinan seorang imam, dan mereka -penduduk Syam mengajak untuk melakukan qishahs bagi
para pembuuh Utsman, dan mengatakan: kita tidak berbaiat pada mereka yang
melindungi para pembunuh.
Abu AI Ma'ali
AI Juwaini, yang dijuluki Imam AI Haramain, mengatakan dalam kitab
"Luma'ul Adillah" : meskipun Muawiyah memerangi Ali, tapi tidak
mengingkari kepemimpinannya, dan tidak mengklaim dirinya sebagai khalifah,
Muawiyah hanya ingin menuntut balas atas kematian Utsman, dan mengira sikapnya
adalah benar, padahal keliru.
Sementara Ibnu
Hajar AI Haitsami mengtaka masalah satu
keyakinan Ahlussunnah wal jamaah, bahwa peperangan yang terjadi antara Ali dan
Muawiyah, bukan karena Muawiyah ingin merebut jabatan khalifah dari Ali, karena
telah terjadi ijma' -kesepakatan-bahwa Ali adalah berhak. Fitnah tidak berkobar
karena hal itu, tetapi berkobar karena Muawiyah adalah anak paman Utsman, dan AIi menolak.
As Shawaiq AI
Muhriqah, jilid 2 hal 622.
Dr Ali As
Shallabi mengomenrari pada footnote bukunya Ad Daulah AI Umawiyyah jilid 1 hal
108
Ini adalah
ijtihad Muawiyah, meskipun sikap yang benar adalah berbaiat pada Ali, kemudian
menuntut hukuman qishash.
Kemudian pada
hal 109, Dr Ali As Shallabi menjelaskan lebih jauh tentang kekeliruan Muawiyah
dalam ijtihadnya:
Kesalahan sikap
Muawiyah dalam mensikapi pembunuhan Utsman, adalah ketika Muawiyah menolak
berbaiat pada Ali sebelum menuntut qishash bagi para pembunuh Utsman. Ditambah
lagi bahwa Muawiyah mengkhawatirkan keselamatan dirinya, karena sikap-sikapnya
dahulu terhadap para pengacau, dan karena khawatir mereka berhasrat ingin
membunuh Usman, bahkan mencari jalan agar bisa menghabisi mereka. Orang yang
menuntut balas tidak boleh menghukum sendiri, melainkan harus masuk ke dalam
ketaatan imam, dan membuat gugatan di depan pemerintah, dan mencari kebenaran
dari pemerintah.
Tahqiq Mawaqif
Shahabah jilid 2 hal 151.
Dan para imam
pemberi fatwa sepakat bahwa tidak ada yang boleh membalas pembunuhan dan
mengambil hak selain pemerintah, atau pihak yang ditunjuk oleh pemerintah untuk
menangani urusan ini, karena hal itu bisa menimbulkan fitnah dan kekacauan
Tafsir AI
Qurthubi jilid 2 hal 256.
Inilah yang
menjadi sebab utama
Banyak orang
memandang perselislhan antara sahabat Rasulullah dengan mengadopsi pandangan
orientalis. Mereka menganalisa kejadian-kejadian di masa sahabat Rasulullah dengan
analisa teori politik masa kini. Para sahabat Rasulullah disamakan dengan
orang-orang hari inl. Ali dan Muawiyah
disamakan dengan pimpinan partai politik yang berebut kekuasaan dengan
menghalalkan segala cara.
Para sahabat
yang telah mendapat pujian Allah, disamakan dengan politikus hari ini yang
menempuh tujuan dengan segala cara.
Perang Shiffin
sudah diberitakan oleh Rasulullah sejak jauh-jauh hari. Sama seperti pemberitaan
tentang pasukan muslim pertama yang berperang di laut.
Rasulullah
menyatakan bahwa Ammar akan dibunuh oleh kelompok pembangkang:
Kasihan Ammar,
dia dibunuh oleh kelompok pembangkang. Bukhari Ibnu Hajar mengatakan;
Hadits ini
memuat salah satu tanda kenabian, dan keutamaan yang jelas bagi Ali bin Abi Thalib dan Ammar bin Yasir. Hadits ini mengandung bantahan pada kaum nawasib -pembenci
keluarga Nabi-yang menyatakan bahwa Ali bukan pihak yang benar dalam perangnya.
Ibnu Hajar
mengatakan lagi:
Dalam sabdanya
: Kelompok pembangkang akan membunuh Ammar, petunjuk yang jelas bahwa Ali dan
orang-orang yang berada di belakangnya, dan orang-orang yang memerangi Ali
bersalah atas ta'wil mereka.
Ibnu Hajar
berkata lagi:
Hadits :
Kelompok pembangkang akan membunuh Ammar mengandung petunjuk bahwa Ali adalah
yang benar dalam peperangan itu, karena tentara Muawiyah yang membunuh Ammar.
Sementara
Nawawi mengomentari hadits Ammar di alas:
Hadits ini
mengandung mukjizat yang nyata bagi Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam dari beberapa sisi, salah satunya bahwa Ammar akan
mati dibunuh, dan dia dibunuh oleh kaum muslimin, dan yang membunuh Ammar
adalah kelompok pembangkang, dan para sahabat akan saling berperang, dan mereka
akan terbagi menjadi dua kelompok, yang satu
pembangkang dan lainnya tidak, dan semua ini telah terjadi seperti fajar terbit
di pagi hari,
Maksudnya
seperti fajar di pagi
hari, yaitu terjadl dengan Jelas, sebagaimana jelasnya fajar yang menyingsing di pagi hari.
Dari Abu Said
AI Khudri berkata: Rasulullah shallaliahu alaihi wasallam bersabda: akan muncul
kelompok pemberontak di saat perpecahan terjadi di kaum muslimin, akan
diperangi oleh kelompok yang paling layak terhadap kebenaran.
Muslim. Nawawi
mengatakan:
Hadits ini
mengandung hujah bagi ahlussunnah bahwa Ali adalah berada ke pihak yang benar
dalam peperangannya, dan kelompok lainnya adalah pembangkang, apalagi ditambah
dengan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : mereka akan diperangi
oleh kelompok yang lebih dekat kepada kebenaran, dan Ali serta pasukannya yang
membunuh kelompok itu Kelompok yang keluar saat perpecahan kaum muslimin adalah
kelompok khawarij.
Jadi peristiwa
perang Shiffin sudah dlramalkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
dan sekaligus Rasulullah membentahukan tentang mana pihak yang benar, dan mana
pihak yang keliru dalam perang ini.
Perhatikan
sekali lagi sabda Nabi: Aulat Tha'ifatain, yaitu kelompok yang paling layak
dalam kebenaran. Ini mengarah pada kelompok Ali. Tapi sabda Rasulullah juga
menunjukkan bahwa kelompok lainnya juga memiliki kebenaran juga. Jadi
dua-duanya berada dalam kebenaran, tapi kelompok Ali lebih benar. Ini sabda
Rasulullah shallalla hu alaihi wasallam.
Pengkritik mengatakan:
Karena saking hati-hatinya pora ulama
Ahlus-Sunnah enggan berkomentar terhadap peperangan ini.
Mereka merasa lebih
selamat
'no-comment' terhadap tragedi
besar ini;' karena baik Ali
maupun Muawiyah sama-sama beratribut
shahabat Nabi.
Saya katakan:
yang berkomentar terhadap masalah ini adalah Rasulullah sendiri, yang
mengherankan, seolah-olah Pengkritik ingin menafikan hadits Rasulullah di
atas. Keinginan ini nampak jelas pada
beberapa baris berikutnya:
Hamplr seluruh ulama Ahlus-Sunnoh sepakat bahwa pihak
Khalifah Ali itu
yang benar; ada juga yang berpendapat biar tidak dianggap menyinggung kelompok Muawiyah, dikatakannya Ali lebih dekat ke kebenran dibanding Muawiyah.
Yang perlu
dicermati disini, pernyataan ini membantah pernyataan Pengkritik sendiri sebelumnya, karena dia mengatakan
bahwa para ulama Ahlussunnah enggan berkomentar terhadap peperangan ini. Tapi ternyata Pengkritik menyatakan bahwa hampir seluruh ulama Ahlus
Sunnah sepakat bahwa pihak Khalifah Ali iw yang benar.
Pengkritik juga
menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa Ali lebih dekat ke kebenaran
dibanding Muawiyah adalah karena takut menyinggung kelompok Muawiyah.
Ternyata yang
disindir oleh Pengkritik di sini adalah hadits Nabi. Tapi Pengkritik tidak
berani mengatakannya terus terang. Ini yang terlintas
dalam pikiran ketika membaca pernyataan Pengkritik.
Tapi saya
mengenal Pengkritik secara pribadi sebagai orang yang mencintai kebenaran dan sunnah Nabi, dan membenci
penyimpangan-penyimpangan. Saya berhusnuzhan pada Pengkritik bahwa dia memang
tidak pernah membaca referensi-referensi secara luas, ini karena kesibukannya.
Pengkritik juga
mengatakan
Ada pula ulama lain yang menilai bahwa kedua pihak (Ali
dan Muawiyah)
sama-sama benar dan sedang berijtihad, kalau ijtihadnya benar dapat dua
pahala, kalau
ijtihadnya salah cuma dapat satu
pahala, dst. Jadi yang
memerangi dan menumpahkan darah serta yang diperangi sama-sama dapat
pahala ijtihod. Persoalannya kita 'risih' kalau harus menyalahkan salah satunya, karena yang akan kena kritik
juga shahabat Nabi.
Di sini Pengkritik lebih jelas lagi mengungkapkan
sikapnya terhadap Muawiyah. Dia mengkritik para ulama yang menilai bahwa Ali
dan Muawiyah sama-sama berijtihad. Pengkritik juga mengkritisi mereka yang risih ketika menyalahkan salah satunya.
Sampai disini, saya jadi lebih yakin lagi bahwa Pengkritik memang belum
membaca banyak referensi. Karena Rasulullah sendiri sudah menyatakan bahwa Ali
yang benar, dan Muawiyah yang keliru. Tapi mengapa Pengkritik masih menyatakan
bahwa kebanyakan ahlussunnah masih takut
menyalahkan Muawiyah? Itu karena Pengkritik tidak pernah membaca penjelasan
Rasulullah.
Selanjutnya Pengkritik
menyatakan:
Kelompok yang paling hati-hati menghadapi kemelut ini diwakili kelompok Salafi, karena mereka enggan menyalahkan semuanya, alias semua shahabat boik dan adil, jangan sampai kena
kritik apalagi disalah-salahkan.
Pertanyaannya,
siapa yang dimaksud dengan kelompok salafi tersebut? Tidak ada referensi jelas,
baik berupa nama, atau mungkin pendapat itu diambil dari referensi kelompok
yang dimaksud.
Pertanyaan
berikutnya , apakah Pengkritik sudah bertabayyun dengan kelompok salafi yang
dimaksudnya?
Karena di sini Pengkritik
tidak menyebutkan bukti apa pun tentang pendapat mereka yang disebutnya sebagai
kelompok salafi, hanya sebatas klaim, tidak lebih dari klaim.
Apakah kelompok
salafi tidak memiliki ustad yang bisa menjadi sarana tabayyun?
Pengkritik
beranggapan bahwa kelompok salafi enggan menyalahkan semuanya, alias semua
sahabat baik dan adil, jangan sampai kena kritik apalagi disalah-salahkan.
Disini Pengkritik
mengungkapkan sikap yang seharusnya terhadap sahabat Nabi, yaitu tidak semua
sahabat baik dan adil, karena mereka memiliki kesalahan. Menurut Pengkritik,
ketika seseorang berbuat kesalahan, maka dia tidak bisa disebut baik. Ketika
sahabat Rasulullah berbuat kesalahan, maka tidak lagi bisa disebut baik. TIdak
boleh dimuliakan:
Semestinya kita harus berani
bersikap kritis terhadap fakta
sejarah ini. Yang sudah "terjerat" dengon dagma hitam-putih pasti repot untuk bersikap fair dan terbuka. Yang satu terjerat karena harus memuliakon shahabat tanpa terkecuali.
Pengkritik
mengajak kita untuk menghina sahabat yang tidak mulia, yaitu yang melakukan
kesalahan.
Menurut Pengkritik,
Muawiyah tidak boleh dimuliakan, alias harus dihinakan.
Saya bisa
memaklumi sikap Pengkritik ini,
karena berangkat dari kurangnya telaah atas referensi-referensi, barangkali karena kesibukannya. Dia belum membaca hadits-hadits tentang doa Rasululiah terhadap
Muawiyah, belum membaca hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan Muawiyah.
Mengapa Pengkritik
mengambil sikap ini pada Muawiyah?
Pengkritik
mengungkapkan alasannya:
Menurut Pengkritik,
karena Muawiyah membangkang dan menabuh genderang perang pada Ali, juga ikut
merongrong pemerintahan Usman:
Kenapa lidah
kita berat untuk menyatakan bohwa kubu
Muawiyah telah melakukan pembangkangan dan melawan Khalifah Ali,
memulai menabuh genderang perang dan
menyulut api permusuhan
kepada pemimpinnya sendiri dengan judul Nenuntut darah Utsman",
padahal Khalifah Utsman di akhir masa jabatannya dirongrong akibat ulah anak
buahnya sendiri ( terutama aleh perilaku
Muawiyah selaku gubernur Syam).
Menurut Pengkritik,
Muawiyah yang bikin repot Utsman, dan tidak pantas menjadi pihak yang paling
berduka. Menurut Pengkritik, orang yang bikin
repot Utsman tidak pantas menjadi pihak yang paling kehilangan nyawa Utsman.
Namun maaf, justru pihak Gubernur Muawiyah yang
selama itu 'bikin repot'
Khalifah
Utsman tahu-tahu merasa
sebagai pihak yang paling kehilangan nyawa khalifahnya, merasa sebagai pihak yang paling berduka dan Ingin menuntut darah Utsman, anehnya tuntutannya justru ditimpakan ke Khalifah Ali.
Padahal Menurut
Pengkritik, Muawiyah dengan cerdik mengemas issu menuntut darah Utsman sebagai
senjata untuk merebut kekhalifahan dari Ali.
Namun karena
'kecerdikan' Gubernur Muawiyah, issue "menuntut darah Utsman" dapat
menjadi senjata yang efektif dan dlpakai dalih
untuk melawan Khalifah Ali. Dalam ilmu politik modern, siapa yang paling cerdas mengemas issue untuk kepentingan
politiknya bisa 'sukses' meraih kekuasaannya. Dalam Perang Shlffin, Khalifah Ali yang seharusnya menang dan
unggul bisa diperdaya oleh kecanggihan ilmu politik Gubernur Muawiyah, sehingga yang benar, yang sah sebagai Khalijah bisa dlpecundanga oleh
gubernurnya, bahkan terakhir, kekuasaanya dapat diambil alih oleh Muawiyah, kemudian diwariskan kepada anaknya Yazid dan keturunannya.
Muawiyah
mengibuli sahabat-sahabat Rasulullah yang ikut-ikutan membela Muawiyah.
Anehnya, setelah Muawiyah berkuasa, isu
'menuntut darah Utsman' sudah tidak dilanjutkan laga, sistim khulafa-urasyidin diakhiri dan diganti dengon
kerajaan, ibukota Islam
dipindah dari Madinah
menuju Syam, beberapa shahabat
lain yang waktu itu ikut-ikutan membela Muawiyah ternyata dikibulinya.
Kata Pengkritik,
peristiwa pertempuran Ali dan Muawiyah adalah peristiwa yang harus ditangisi.
Inilah peristlwa paling kelam pertama yang
harus ditangisi
oleh ummat Islam.
Pengkritik juga
menyatakan alasannya untuk mencaci Muawiyah, yaitu banyak sahabat yang mualaf ,
yaitu yang masuk Islam saat fathu Makkah, yang tidak putih betul, dan
menyalahkan apa yang disebutnya sebagai "kaum salafi" yang menganggap
seluruh sahabat itu putih semua:
Mereka
menganggop seluruh shahabat itu putih semua, padahal untuk
kategori shahobat yang mualaf tadi banyak yang tidak putih betul, banyak yang sudah Jadi abu-abu.
Yang perlu
menjadi perhatian, di sini Pengkritik
tidak menyebutkan referensi apa pun. Lalu dari mana?
Kecuali klaim
pertama, yaitu membangkang. Muawiyah memang menolak berbaiat sampai ada qishash
atas pembunuh Utsman. Dan Muawiyah memiliki alasan yang kuat, yang membuatnya
yakin bahwa dirinya dalam kebenaran, meski keyakinannya keliru. Karena inilah
para ulama menyebutkan bahwa sikap Muawiyah ini diambil atas dasar ijtihadnya.
Pertanyaannya,
menghakimi Muawiyah
dengan klaim-klaim tanpa bukti, apakah bisa disebut bersikap adiI?
Maka
pernyataan-pernyataan Pengkritik ini hanya bisa disebut klaim, yang untuk bisa
diterima perlu dibuktikan kebenarannya. Ketika tidak ada bukti kebenaran, maka
hanya bisa diperlakukan
sebagai klaim, dan tidak bisa diterima begitu saja. Setiap klaim harus
dibuktikan, karena jika sekedar membuat klaim, maka semua orang bisa. Tapi
persoalannya, klaim harus dibuktikan.
Kemudian Pengkritik
mengutip ucapan Sayyid Quthb dan Muhammad al Ghazall, yang menurut Pengkritik
bisa berpikir lebih fair dan terbuka, alias menurut Pengkritik, tidak
berpikiran sempit dan tertutup:
Terapi banyak ulama Ahlus-$unnah lain yang non-Salafi mencoba berfikir
lebih fair dan terbuka untuk
mengkritisi persoalan in!.
Sebagai contoh
adalah pernyataan
Sayyid Qurhub dalam
bukunya, AI-'Adalah Al·ljtima'iyyah fi AI-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam), beliau mengatakan, "Kita sangat menyayangkan
Utsman karena khilafah datang
kepadanya dengan terlambat, yaitu
pada saat keluarga Umayyah ada di sekeilingnya ketika beliau
berusia hampir delapan puluh tahun. Sehingga mereka (kaum kerabatnya
dari bani Umayyah) memperlakukan Khallfah Utsman seenak hatinya." Atau
seperti yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Ghazali ketika mengomentari kepemimpinan
Muawiyah dolam bukunya, Al-Islam wa AI·lstibdad As·Siyasi (Islam
dan Penindasan Politik). Dalam buku tersebut beliau menulis , "Hilanglah kendali dari tangan orang·orang mukmin
yang shaleh. Setelah tiga puluh tahun, akhimya Khulafa-urrasyidln pun binasa. Pemimpin Islam yang mengetahui,
memahami dan mencintai rakyatpun diganti
oleh pemimpin
yang buruk. Pemimpin tersebut berbuat kemudharatan, bukan kebaikan, kerusakan dan bukan
kebenaran." Syaikh Ghazali secara provokatif melanjutkan, "Yazid (anak Muawiyah) adalah
pemuda yang fasik. Orang
yang tidak layak jadi
ketua kelas Sekolah Dasar malah
berdiri di atas mimbar Nabi, Abubokar dan para shahabat."dst. TIdak
terkecuali juga Abul 'Ala Maududi juga mengkritik episode sejarah Islam era
Muawiyah dalam bukunya,
Khilajah dan Kerajaan.
Kita tidak bisa
menerima begitu saja perkataan Sayyid Quthb dan Muhammad AI Ghazali. Bisa jadi
Sayyid Quthb dan Muhammad AI Ghazali mengambil dari kitab-kitab yang harus
diteliti lagi validitasnya. Dan bisa jadi pendapatnya keliru. Jika pendapatnya keliru, dan sangat masuk akal jika manusia biasa bisa keliru, dan kekeliruan ini harus dimaklumi, tapi tidak untuk
diikuti.
Yang perlu kita
perhatikan lagi, di sini Pengkritik tidak menukil hadits-hadits dari Nabi, yang mana hadits-hadits itu merupakan wahyu
dari Allah, berisi tentang keutamaan Muawiyah. Tapi menukil dari Sayyid Quthb,
Muhammad AI Ghazali dan AI Maududi, yang merupakan manusia biasa, yang tidak
dibimbing langsung oleh wahyu ilahi.
Apakah Pengkritik
menganggap hadits-hadits keutamaan Muawiyah sebagai tidak fair dan berpikiran tertutup? Saya yakin tidak. Tapi karena dia belum banyak
membaca referensi ..
Begitu juga Pengkritik
sama sekali tidak menukil ucapan ulama
salaf tentang Muawiyah. Apakah ini yang disebut bersikap adil pada Muawiyah?
Yaitu hanya menyebutkan klaim-klaim tanpa bukti, dan hanya menukil ucapan
ulama-ulama yang hidup jauh setelah era kenabian dan khilafah.
Sebelum
melanjutkan, ada baiknya kita menyimak pendapat ulama tentang konflik yang
terjadi antara Ali dan Muawiyah:
Imam Ahmad
ditanya tentang pendapatnya tentang peristiwa yang terjadi antara Ali dan
Muawiyah, dia menjawab: saya tidak mengatakan tentang mereka kecuali yang
baik-baik . Manaqib Imam Ahmad hal 146.
Ibnu Abi Zaid
AI Qalrawani menjelaskan keyakinan yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan
yang harus dlkatakan oleh seorang muslim tentang sahabat Nabi:
Jangan
mengatakan tentang sahabat Rasulullah kecuali dengan ucapan yang terbaik, dan
diam terhadap perselisihan yang terjadi antara mereka, dan para sahabat adalah
orang yang paling berhak untuk dicarikan alasan yang paling baik, dan
mendapatkan prasangka yang paling
baik.
Risalah AI
Qairawani, beserta syarhnya, yaitu At Tsamar Ad Dani, fi Taqrib AI Ma'ani, hal 23.
Abu Abdullah
ibnu Baththah menjelaskan akidah Ahlussunnah wal Jamaah:
Setelah itu
kami menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara sahabat Nabi, dimana
mereka telah ikut berperang bersama beliau, dan mendahului manusia dengan
keutamaan-keutamaan, dan
Allah telah mengampuni mereka, dan memerintahkan kita untuk memohonkan ampunan
bagi mereka, dan mendekatkan diri pada Allah dengan mencintai mereka, Allah
mewajibkan hal ini melalui lisan
NabiNya, dan Allah tahu bahwa mereka akan saling beperang. Para sahabat
memiliki kelebihan dibanding seluruh manusia, karena mereka telah terbebas dari berbuat salah dengan sengaja. dan mereka telah diampuni dalam
perselisihan yang terjadi di antara mereka.
Syarah
wallbanah Ala ushul As Sunnah wad Diyanah, hal 268
Abu Utsman As
Shabuni dalam Aqidah Salaf Ashabul Hadits mengatakan: dan mereka diam akan
perselisihan yang terjadi antara sahabat Nabi, dan membersihkan lisan dari
mengucapkan kata yang mengandung aib dan kekurangan bagi mereka, dan mereka
mendoakan bagi seluruh mereka agar mendapat rahmat, dan mencintai seluruh
mereka. Aqidah Salaf Ashabul hadits, As Shabuni.
Ibnu Taimiyah
menjelaskan keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah tentang perselisihan yang terjadi
di antara sahabat: mereka diam akan perselisihan yang terjadi di antara
sahabat, dan mengatakan: riwayat-riwayat yang menceritakan keburukan mereka ada
yang merupakan riwayat dusta, ada yang sudah ditambah atau dikurangi, ada yang
sudah diselewengkan, dan yang benar, mereka adalah dimaafkan, ada yang
berijtihad dan mendapatkan kebenaran, dan ada yang berijtihad, tapi menyelisihi
kebenaran.
Aqidah
Wasithiyah.
Di sini Ibnu
Taimiyah menjelaskan satu hal penting, yaitu riwayat-riwayat tentang keburukan
sahabat Rasulullah banyak berupa dusta, atau riwayat-riwayat yang sudah
ditambah dan dikurangi, hingga tidak valid lagi untuk dijadikan argumentasi. Sementara disisl lain, banyak ayat dan hadits yang memuji
sahabat Nabi.
Yang menjadi
pertanyaan, mengapa ayat-ayat dan hadits-hadits itu disingkirkan, sementara
riwayat-riwayat yang tidak jelas itu malah digunakan?
Sementara Ibnu
Utsaimin menjelaskan dengan lebih gamblang, meskipun dengan bahasa yang
berbeda:
Atas semua yang
terjadi (perselisihan di antara sahabat) kita memiliki sikap dari dua sisi,
sisi pertama, yaitu mengenal si pelaku, dan sisi satu lagi: sikap kita terhadap
si pelaku.
Mengenai hukum
si pelaku, telah kami jelaskan sebelumnya, yaitu sikap yang kami tempuh dalam
rangka berbakti pada Allah, apa yang terjadi di kalangan mereka adalah karena
ijtihad, jika orang berijtihad dan keliru, maka dia dimaafkan dan diampuni.
Sedangkan sikap kita terhadap si pelaku, yang wajib dilakukan adalah diam.
Mengapa kita jadikan perbuatan mereka sebagai ajang untuk caci maki dan mencela mereka, dan menjadi ajang kebencian di antara kita? Jika kita melakukan ini, maka tidak keluar dari dua
hal: kita berdosa, atau kita seiamat, tapi kita tidak mendapat pahala sama
sekali. Syarah Aqidah Wasithiyah, 617·618
Apakah Pengkritik
menganggap para ulama di atas berpikiran sempit dan tertutup, karena tidak
berani mencaci maki Muawiyah dan para sahabat yang bersalah? Saya yakin Pengkritik
tidak menganggap demikian.
Apakah para
ulama dituduh berpikiran sempit dan tertutup, karena mereka bersikap diam, dan
malu untuk membicarakan para sahabat dengan ucapan buruk?
Apakah para
ulama malu dituduh berpikiran sempit ketika menolak berbicara buruk tentang
sahabat yang sudah melakukan amlan-amalan besar?
Sikap para ulama
di atas adalah keyakinan ahlussunnah wal
jamaah.
Saya jadi
teringat tuduhan kaum sekuler bagi mereka yang menolak menjelek-jelekkan Islam,
orang yang menolak mengkritisi AI Qur'an. Kaum muslimin yang berpegang teguh
pada agamanya dibilang fundamentalis, berpandangan sempit, kolot, jumud dan
sebagainya. Sementara orang-orang yang berani menghujat ajaran Islam, berani
mengkritisi hukum Islam, dibilang fair dan berpikiran terbuka.
Para ulama
menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah, Ali yang benar dan Muawiyah
yang salah. Pengkritik menuduh para ulama itu tidak berani menentukan mana yang
benar dan mana yang salah, malah hadits Rasulullah dituduhnya sebagai menjaga
perasaan pengikut Muawiyah agar tidak tersinggung.
Ini
konsekuensinya, tapi saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa Pengkritik tidak akan pernah menuduh hadits Rasulullah yang bukan-bukan.
Tapi disisi
lain, para ulama menyadari, bahwa mereka membicarakan sahabat Nabi, orangorang
yang mulia, yang telah melakukan amalan-amalan besar. Orang-orang yang didoakan
oleh Nabi, seperti Muawiyah, yang juga telah mendapatkan janji ampunan, yang
dilihat oleh Rasulullah dalam mimpinya, ketika melihat pasukan muslim pertama
yang berperang di laut. Dan pasukan itu dipimpin langsung oleh Muawiyah.
Para ulama
menghormati hadits-hadits itu, berbeda dengan orang-orang yang bukan ulama, yang sama sekali tidak mengindahkan
hadits-hadits tentang keutamaan Muawiyah. Inilah bedanya ulama dengan orang
biasa.
Para ulama
mencontohkan sikap adil pada para sahabat Nabi, yaitu menimbang kebaikan dan
keburukan, menimbang kelebihan dan kekurangan, bukan hanya menyebutkan.
Ternyata kebaikan sahabat Rasulullah lebih banyak dari kesalahan mereka. Kelebihan sahabat Rasulullah lebih banyak dari
kekurangannya.
Para ulama
risih membicarakan konflik antara sahabat Rasulullah , karena konflik itu
terjadi di antara orang-orang yang mulia, terjadi
diantara mereka
yang mendapat doa Nabi, terjadi di antara orang yang telah melakukan
amalan-amalan besar. Tapi ulama jelas bersikap mengikuti Nabi, yaitu menganggap Ali sebagai pihak yang benar.
Sikap para
ulama ini sekaligus menjelaskan bahwa sahabat tidak maksum, Ada yang berbuat salah, dan ada yang berbuat benar.
Persoalannya, orang-orang jahil hari ini menginginkan agar setiap orang yang
berbuat salah adalah hina. Mereka ingin
menggunakan logika : karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena Muawiyah
pernah berbuat salah, maka harus terus dicaci maki. Ini yang mereka inginkan.
Mari kita simak
lagi pernyataan Ibnu Taimiyah tentang sahabat:
Mereka
(ahlussunnah) tidak meyakin bahwa seluruh sahabat adalah maksum dari dosa besar
dan dosa kecil, mereka
mungkin melakukan dosa.
Ibnu Utsaimin
menjelaskan kalimat ini:
Yaitu, sama
seperti manusia biasa.
Maksudnya,
sahabat Rasulullah juga manusia biasa, yang mungkin salah dan lupa.
Ibnu Taimiyah melanjutkan:
dan mereka
memiliki keutamaan dan amalan-amalan yang membuat dosa-dosa mereka diampuni,
jika mereka melakukan dosa. Bahkan keburukan-keburukan mereka diampuni, yang
mana tidak diampuni bagi orang yang hidup setelah mereka, karena mereka memiliki
kebaikan-kebaikan yang
menghapus dosa, yang tidak dimiliki oleh orang setelah mereka. Telah terbukti
Rasulullah mengatakan bahwa para sahabat adalah era terbaik,
dan sedekah satu mudd bagi mereka, nilainya lebih besar daripada sedekah emas
sebesar gunung Uhud yang dilakukan orang setelah mereka.
lalu jika salah
salu sahabat melakukan dosa, maka bisa jadi dia sudah bertobat, atau melakukan
kebaikan-kebaikan yang menghapus dosa mereka, atau telah diampuni oleh Allah
karena keutamaan mereka yang beriman lebih dahulu, atau karena syafaat
Rasulullah Muhammad, yang
mana para sahabat adalah orang yang paling berhak mendapatkannya, atau bisa
jadi mendapatkan ujian di dunia, yang membuat dosanya terampuni.
Ini jika mereka
benar-benar melakukan dosa, bagaimana dengan perbuatan para sahabat yang
dilakukan karena ijtihad mereka? Jika mereka benar, maka mendapat dua pahala,
jika mereka keliru, mereka mendapatkan satu
pahala. Dan kekeliruan adalah diampuni. lalu perbuatan-perbuatan yang
dicela dari mereka jauh lebih kecil dibandingkan
keutamaan-keutamaan mereka berupa iman pada Allah dan RasulNya, jihad fi
sabilillah, hijrah, menolong RasulNya, ilmu bermanfaat dan amal shaleh. Aqidah
Wasithiyah.
Salah satu dari
sahabat itu adalah Muawiyah, yang pernah berjihad bersama Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam.
Mari kita
berpikir sejenak, jika sedekah satu mudd dari sahabat, atau setara volume 700
ml air saja tidak bisa ditandingi oleh sedekah emas sebesar gunung uhud,
bagaimana dengan fadhilah berjihad?
Sedangkan sudah jelas jihad jauh lebih baik
daripada sedekah. Sedangkan kita, apa yang sudah kita lakukan?
Apa yang sudah
kita perbuat untuk Islam?
Apakah kita
pernah berjihad bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ?
Miswar bin
Makhramah, seorang sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasaliam , berkunjung
ke Muawiyah bin Abi Sufyan, lalu Muawiyah memberikan apa yang menjadi keperluan
Miswar, lalu menyelesaikan keperluannya, lalu Muawiyah memanggilnya berbicara
empat mata, lalu Muawiyah berkata: wahai Miswar, mengapa engkau menjelekkan
khalifah? Lalu Miswar menjawab:
tak usahlah bicara masalah ini, dan berbuat baiklah terhadap apa yang kami
lakukan. Muawiyah berkata: tidak, demi Allah, engkau harus berbicara apa yang
engkau anggap jelek pada diriku. Miswar berkata: lalu aku ceritakan semua hal
buruk tentang Muawiyah. Muawiyah berkata: aku tidak terbebas dari dosa. Apakah
engkau tidak menganggap kebijakanku dalam pemerintahan sebagai kebaikan, dan
pahala kebaikan adalah sepuluh kalinya? Atau engkau hanya menceritakan dosa dan
meninggalkan perbuatan baik yang telah kulakukan? Miswar berkata: tidak, demi
Allah, saya hanya menyebutkan dosa-dosa. Muawiyah berkata: aku mengakui di
hadapan Allah seluruh dosa yang telah kulakukan, apakah engkau memiliki dosa
yang engkau takut akan membinasakanmu jika Allah tidak mengampuninya? Miswar
menjawab: Ya, Muawiyah
berkata: Mengapa engkau merasa lebih berhak untuk mengharapkan ampunan
daripadaku? Demi Allah, perbaikan yang kulakukan saat memerintah, yaitu
mendamaikan manusia, melaksanakan hukuman hudud, dan jihad Ii sabilillah, dan
amalan besar yang engkau tahu, lebih banyak dari ya ng engkau lakukan saat
engkau menjadi gubernur, dan kita semua berada dalam agama di mana Allah
menerima amal, dan membalas
dengan kebaikan, dan membalas dosa, tetapi demi Allah, jika ada dua pilihan, yaitu
Allah atau lainnya, melainkan aku pasti memilih Allah daripada yang lain, Miswar
berkata: aku berpikir saat dia mengatakan itu, lalu aku sadar bahwa dia telah
mengalahkanku. Setelah itu, setiap kali mengingat Muawiyah, Miswar selalu
mendoakan kebaikan
Riwayat ini
tercantum dalam Jami' Ma'mar bin Rasyid dan Mushannaf Abdurrazzaq.
Ibnu Abdil Barr
berkata dalam AI Isti'ab: kisah ini adalah salah satu riwayat yang tershahih
dari hadits riwayat Ibnu Syihab, yang
diriwayatkan oleh Ma'mar dan murid·murid Ibnu Syihab lainnya.
Juga
diriwayatkan dalam Tarikh Baghdad dan Tarikh Ibnu Asakir.
Bukannya
mengindahkan hadits keutamaan Muawiyah dan penjelasan ulama, Pengkritik malah
menggunakan teori politik modern:
Namun karena
'kecerdikan' Gubernur Muawiyah, issue "menuntut darah Utsman" dapat menjadi senjata yang
ejektif dan dipakai dalih untuk meJawan Khalifah Ali. Daiam ilmu politik moderm, siapa yang paling cerdas mengemas issue untuk kepentingan politiknya
bisa 'sukses' meraih kekuasaannya.
Lagi-Iagi Pengkritik
tidak menunjukkan referensi. Pertanyaannya, dari mana Pengkritik
tahu? Lagipula Pengkritik di sini menunjukkan su'uzhan yang tinggi pada
Muawiyah. Su'uzhan pada muslim biasa saja tidak boleh, apalagi pada sahabat
Rasulullah .
Tak ketinggalan
Pengkritik menganggap perdamaian yang terjadi antara Ali dan Muawiyah sebagai
hasil tipu daya Muawiyah, Tapi di sini Pengkritik menggunakan istilah
"kecanggihan ilmu politik":
Dalam
Perang Shiffin, Khalifah Ali yang
seharusnya menang dan unggul bisa diperdaya oleh kecanggihan ilmu
politik Gubernur Muawiyah, sehingga yang benar, yang
sah sebagai Khalifah
bisa dipecundangi aleh gubernurnya, bahkan terakhir, kekuasaannya dapat diambil alih oleh Muawiyah kemudian diwariskan kepada anknya Yazid dan keturunannya.
Tapi lagi-Iagi Pengkritik
tidak menunjukkan referensi. Meskipun tak memiliki referensi, Pengkritik tetap
ingin mengesankan bahwa Muawiyah berhasil
merebut kekhilafahan dari Ali bin Abi Thalib seusai perang Shifin.
Padahal yang
rerjadi adalah perang perang Shifin diakhiri
dengan perjanjian damai, Ali mengutus Abu Musa AI Asy'ari, sedangkan Muawiyah
mengutus Amr bin Ash.
Memang banyak
riwayat-riwayat rentang perjanjian damai anrara kelompok Ali dan Muawiyah,
dalam riwayat-riwayat 'Itu dikesankan bahwa Abu Musa adalah
seorang yang pandir dan bodoh, sementara Amr bin Ash dikesankan sebagai seorang
licik. Tapi, Dr Ali As Shallabi telah meneliti riwayat-riwayat itu, dan mengatakan bahwa
seluruh sanadnya tidak valid. lihar Ad Daulah
AI Umawiyyah, Ali As Shallabi, jilid 1 hal 138-139.
Salah satunya,
dan yang sering kita dengar dan kita percaya, adalah kisah bahwa pasukan
Muawiyah mengangkat mushaf AI Qur'an, kisah itu lemah karena perawinya ada yang
bernama Abu Bakar bin Abi Saburah, Imam Ahmad berkata tentangnya : dia memalsu
hadits. Juga salah satu perawinya
adalah AI Waqidi, dia adalah seorang yang matruk, tertuduh berdusta.
Penjelasannya bisa dilihat dalam Lihat Ad Daulah
AI Umawiyyah, Ali As Shallabi, jilid 1 hal 140.
At Thabari
mengatakan: pada tahun ini -40 H-terjadi
perdamaian antara Ali dan Muawiyah, setelah korespondensi yang terjadi di antara mereka berdua, yang jika disebutkan akan
memperpanjang kitab ini, mereka berdua sepakat untuk menghentlkan perang, dan
Ali memimpin Irak, sementara Muawiyah memimpin Syam, masing-masing tidak akan
menyerbu, mengirim tentara ke
wilayah lainnya. Tarikh Thabarl, jilid 6 hal 56. Lihat Ad Daulah AI Umawiyyah, Ali As Shallabi, jilid 1 hal 153.
Ada yang
ketinggalan tentang berita Rasulullah mengenai peperangan antara Ali dan
Muawiyah, yaitu berita bahwa pertikaian ini akan selesai, dan yang
menyelesaikan adalah Hasan bin Ali, putra Ali bin Abi Thalib. Jauh-jauh hari,
Rasulullah sudah memberitakan bahwa Hasan bin Ali adalah sayyid, tuan,
pembesar, dan akan menjadi juru damai bagi kaum Muslimin:
Sahabat Abu Bakrah melihat Rasulullah berdiri di atas mimbar, dan Hasan bin
Ali di sampingnya, Rasulullah bergantian menghadap ke arah jamaah, dan
menghadap ke arah Hasan, dan berkata:
Sesungguhnya
anakku ini adalah pembesar, semoga dia mendamaikan dua kelompok besar kaum
Muslimin. Shahih Bukhari.
Saat Ali wafat,
Hasan bersama pasukan Irak ingin menyerang Muawiyah. Tapi Hasan kemudian
berubah pikiran, dan ketika Muawiyah mengajak berdamai, Hasan pun berdamai dan
menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawlyah. Maka Muawiyah dl sini menjadi
khalifah karena Hasan menyerahkan jabatan
khalifah padanya, bukan karena mengibuli, seperti kata Pengkritik, yang nampak
sekali belum pernah membaca riwayat ini.
Dalam hadits
ini, Rasulullah memuji perbuatan Hasan, yang menyerahkan jabatan khalifah pada
Muawiyah. Ini menjadi bukti bahwa tindakan Hasan adalah tindakan yang tepat,
dan menyerahkan jabatan khalifah pada orang yang tepat. Jika Hasan
menyerahkannya pada orang yang tidak tepat, maka perbuatannya ini tidak tepat
untuk dipuji Rasulullah .
Hasan jelas
mengenal Muawiyah daripada kita-kita hari ini.
Atau kita ingin mengatakan bahwa Hasan telah berbuat keliru karena menyerahkan
jabatan khalifah pada seorang "licik dan
suka mengibuli" ?
Hadits inl
merupakan salah satu pertanda kenabian, karena peristiwa ini benar-benar
terjadi, dan Hasan berhasil mengakhiri pertumpahan darah yang terjadi di
kalangan kaum Muslimin.
Namun ada yang
tidak senang dengan peristiwa ini, yaitu kaum syiah. Mengapa syiah benci dengan perdamaian ini? Karena perdamaian ini menyingkap cacat besar dalam dogma yang menjadi inti ajaran syiah, yaitu dogma
imamah,
Syiah meyakini
sebuah dogma yang menyatakan bahwa sepeninggal Rasulullah , ada 12 imam yang
ditunjuk langsung oleh Allah melalui Rasulullah , untuk meneruskan fungsi
kenabian, dan yang menjadi imam setelah Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib. Sayangnya, seluruh penganut syiah -selama
puluhan abad belum pernah bisa membuktikan adanya "penunjukan
langsung" dari Allah pada 12 imam tersebut. Tidak ada riwayat shahih dari
Rasulullah , yang memuat nama-nama 12 imam yang diyakini oleh syiah,
Dan peristiwa-peristlwa
sejarah banyak membuktikan cacatnya dogma
syiah itu. Kita tidak bicara panjang lebar tentang, tapi salah satunya adalah
perdamaian Hasan dan Muawiyah. Mengapa? Karena menurut dogma imamah, yang
menjadi khalifah adalah 12 imam itu, dimulai dari Ali,
Hasan, Husein sampai imam terakhir yang bersembunyi dan tak muncul lagi.
Tapi Hasan malah menyerahkannya
pada Muawiyah.
Anda memilih
gembira atas perisriwa ini, seperti Rasulullah , atau anda tidak setuju dengan
Muawiyah menjadi khalifah?
Satu lagi yang
perlu kila perhatikan, Rasulullah menyebut kedua kelompok yang bertikai itu dengan kata: dua kelompok besar kaum muslimin. Artinya,
kelompok Muawiyah dan Ali adalah sama-sama muslim.
Banyak sisi
putih pada Muawiyah, tapi jarang disebut ketika orang membahas Muawiyah. Yang
disebut nanyalah sisi buruknya saja. Tapi yang mengherankan, mereka yang
menzhalimi Muawiyah dengan menyebut sisi buruknya, selalu mengatakan bahwa
mereka adalah objektif dan bersikap adil, bahkan bukunya pun diberi judul
"Bersikap Adil terhadap Sahabat", tapi seluruh keutamaan Muawiyah
sengaja diabaikan.
Apakah
menyebutkan keburukan dan mengabaikan kebaikan adalah bersikap adil? Atau
mereka belum tahu apa itu definisi
adil?
Para ulama
menganggap keutamaan Muawiyah tidak bisa ditandingi oleh siapa pun, karena
Muawiyah adalah sahabat Nabi, yang pernah
berguru dari Nabi, pernah berjihad bersama Nabi. Barangkali banyak orang
membandingkan Muawiyah dengan Umar bin Abdul Aliz, atau bahkan menganggap Umar
bin Abdul Aziz lebih utama dari Muawiyah.
Ibnul Mubarak pernah ditanya tentang hal ini,
yaitu mana yang lebih utama, Muawiyah
atau Umar bin Abdul Aziz? Mari kita simak jawabannya:
Debu yang masuk kehidung Muawiyah saat berperang bersama Rasulullah , lebih
baik dari Umar (bin Abdul Aziz) seribu kali. Muawiyah pernah shalat di belakang
Rasulullah , dan Rasulullah berkata: Sami'allahu liman hamidah, lalu Muawiyah
berkata: Rabbana walakal Hamd. Apa yang lebih utama dari ini?
Lihat Wafayat AI
A'yan, jilid 3 hal 33.
Mengapa shalat
Muawiyah di belakang Rasulullah menjadi keutamaan? Karena makna Sami'allahu
liman Hamidah adalah doa agar Allah rnengijabahi setiap yang memujiNya. Dan doa Rasulullah tidaklah tertolak, dan Muawiyah mengucap: Rabbana walakal Hamd, memuji Allah dengan menyatakan
semua pujian hanyalah milikNya. Dan
Allah mengijabahi pujian Muawiyah.
Dari AI Jarrah
Al Mushili berkata: aku mendengar seorang bertanya pada AI Mu'afa bin Imran:
wahai Abu Mas'ud, Bagaimana Umar bin
Abdul Aziz bila
dibandingkan dengan Muawiyah? Lalu aku melihat dia sangat marah, dan berkata:
Sahabat Rasulullah tidak bisa dibandingkan dengan seorang pun, Muawiyah
adalah juru tulis Nabi, sahabatnya, iparnya, dan
orang yang dipercaya menulis wahyu Allah. Lihat As
Syari'ah, AI Ajurri, jilid 5, riwayat no
2466, 2467.
Dari AI A'masy,
orang bercerita didepan AI A'masy tentang keadilan Umar bin Abdul Aziz, lalu A'masy berkata: bagaimana jika kalian
hidup di masa Muawiyah? Mereka berkata: wahai Abu Muhammad, tentang sifat
pemaaf Muawiyah? A'masy menjawab: bukan, tapi keadilannya. As Sunnah, AI
Khallal jilidl hal 437.
Ibnu Katsir
mengatakan: sebagian ulama berkata tentang Muawiyah: Sehari Muawiyah bersama
Rasulullah , lebih baik daripada Umar bin Abdul
Aziz dan keluarganya.
Ibrahim bin
Maysarah berkata: aku tidak pernah melihat Umar bin Abdul Aziz mencambuk orang,
kecuali orang yang mencaci Muawiyah, dia mencambuknya berkali-kali.
As Sunnah AI
Khallal, jilid 1 hal 437.
AI A'masy,
orang yang hidup di masa khilafah Muawiyah, bersaksi tentang keadilan Muawiyah,
yang lebih adil dibandingkan Umar bin Abdul Aziz.
Tapi para penulis dan penceramah yang mengaku "objektif dan adil"
tidak pernah membahasnya. Mereka hanya mengutip keburukan Muawiyah, dan
mengabaikan seluruh kebaikan-kebaikannya. Seolah Muawiyah tidak memilikl
kebaikan.
Abu Darda'
berkata: saya tidak pernah melihat orang yang shalatnya mirip seperti shalat
Rasulullah melebihi pimpinan kalian ini -maksudnya adalah Muawiyah-lalu Qais ditanya: bagaimana shalatnya dibanding shalat Umar bin
Khattab: saya kira sama.
Hilyatul
Auliya' jilid 8 hal 275. AI Hairsami berkata dalam Majma' Az Zawaid, jilid 9
hal 357: Thabrani juga meriwayatkan hadits ini dengan perawi shahih, kecuali Qais bin Harits AI Madzhaji, dia adalah seorang tsiqah.
Bagaimana dengan shalat kita? Sudahkah shalat kita melebihi shalat
Muawiyah?
Rafi' bin Nafi'
AI Halabi mengatakan: Muawiyah bagaikan tabir bagi sahabat Muhammad shallallahu
alaihi wasallam , jika orang membuka tabir itu, maka akan berani terhadap apa
yang di belakangnya. AI Bidayah wan Nihayah
Maksudnya,
ketika orang berani mencaci Muawiyah karena kesalahan-kesalahannya, maka semua
sahabat Rasulullah Juga memiliki kesalahan, disamping keutamaan mereka. Karena
mereka adalah manusia biasa. Ketika sanabat Rasulullah dicaci maki, dan
dianggap tidak lagi memiliki keutamaan, maka ajaran Islam pun akan hancur,
mengapa? Karena yang menyampaikan AI Qur'an dan sunnah adalah sahabat Nabi.
Ketika sahabat
Rasulullah dituduh, maka ini adalah tuduhan terhadap apa yang mereka bawa,
yaitu AI Qur'an dan sunnah Nabi, yang merupakan sumber ajaran Islam. Artinya,
ketika ajaran Islam dibawa oleh orang-orang yang tidak terpercaya lagi, maka
ini merupakan tuduhan atas ajaran Islam.
Maka para ulama
bersikap tegas pada mereka yang mencaci maki Muawiyah. Salah satunya adalah
Umar bin Abdul Aziz. Biasanya para penulis dan penceramah yang "objektif
dan adil" memuji·muji Umar bin Abdul Aziz untuk menjatuhkan Muawiyah. Mari
kita IIhat bagaimana sikap Umar
bin Abdul Aziz pada mereka yang mencaci Muawiyah:
Ibrahim bin
Maysarah berkata: aku tidak pernah melihat Umar bin Abdul Aziz mencambuk orang,
kecuali orang yang mencaci Muawiyah, dia mencambuknya berkali·kali.
AI Lalika'l,
Syarah Ushull'tiqad Ahlussunnah wal jamaah, 7/1340.
Tampaknya
penulis dan penceramah yang "objektif dan adil" merasa lebih baik
daripada Umar bin Abdul Aziz.
Begitu juga Imam
Ahmad bin Hambal, bersikap tegas pada mereka yang mencaci Muawiyah:
Harun AI Hammal
berkata: Aku mendengar Ahmad bin Hambal, seorang datang kepadanya dan bertanya:
di sini ada orang yang meyakini bahwa Umar
bin Abdul Aziz lebih utama dari Muawiyah. Radhiyallahu Anhuma. Ahmad bin Hambal
berkata: jangan kamu duduk bersamanya, jangan kamu makan dan minum bersamanya.
Jika dia sakit, jangan dijenguk.
Ini karena
mereka yang mencoba-coba mencaci Muawiyah akan mencaci sahabat lainnya, karena
sahabat lainnya juga memiliki kesalahan,
Apa beda
mencaci dan mengkritisi?
Yang dimaksud Pengkritik
dalam mengkritisi adalah apa yang ditulisnya dalam makalah " Sahabat
Rasulullah di mata gerakan Islam" yang kemudian ditulis menjadi buku yang
diberi judul "bersikap adil terhadap sahabat Nabi"
Pengkritik
menghujat ahlussunnah dan kalangan salafi yang tidak berani menganggap Muawiyah
telah bersalah.
Tapi kita lihat
para ulama telah menjelaskan dengan begitu gamblang, bahwa Ali lebih benar dari
Muawiyah, dan Muawiyah telah bersalah. Tapi para ulama menyebutkan keutamaan
Muawiyah, dan menjelaskan bahwa Muawiyah telah berijtihad, meskipun Ijtihadnya
keliru.
Dan para ulama
tidak menyebutkan Muawiyah dengan perkataan buruk seperti : mengibuli, bikin
repot dirongrong, dan kata-kata buruk lainnya, karena para ulama sadar, bahwa
mereka sedang membicarakan sahabat
Nabi Shallallahu alaihi wasallam, yang sudah memiliki amalan-amalan besar.
Tapi Pengkritik
tidak meniru para ulama dalam hal ini, dan sama sekali tidak menyebutkan
keutamaan Muawiyah. Orang yang mengkritisi secara
objektif, akan menyebutkan kelebihan dan kekurangan, bukan meniadakan kelebihan
sama sekali. Malah menyebutkan Muawiyah dengan kata-kata yang buruk.
Dan orang yang
objektif akan melihat keutamaan dan amalan Muawiyah lebih dari kesalahannya.
Seperti Umar bin Abdul Aliz, yang menghukum orang mencaci Muawiyah dengan cambuk.
Mengapa mencaci Muawiyah
dianggap mencaci sahabat Nabi? Karena Muawiyah memiliki keutamaan sebagai
sahabat Nabi, begitu pula sahabat-sahabat lainnya. Ketika orang mencaci Muawiyah, maka hakekatnya dia mencaci
orang yang pernah menjadi sahabat Nabi, mencaci orang yang memiliki keutamaan
lebih banyak dari kekurangan dan dosa-dosanya.
Mencaci Muawiyah berarti mencaci sahabat Nabi.
Dan ini jauh sekali
dari sikap adil dan objektif. Bagaimana
orang yang adil dan objektif bisa mencaci
orang-orang yang mendapatkan keridhoan Allah?
Kecuali orang yang "adil dan
objektif' tadi tidak menganggap keridhoan Allah sebagai sebuah keutamaan.
Kecuali orang yang "adil dan objektif' tadi tidak menganggap
berjihad bersama Rasulullah adalah keutamaan.
Kecuali orang
yang "adil dan objektif" tadi tidak menganggap doa Rasulullah adalah
sebuah keutamaan.
Allah meridhoi
para sahabat, tapi kita malah mencacinya. Apa yang
akan kita katakan di hadapan Allah nanti?