BERKATA IBNUL QOYYIM: “SEMUA ‘HADITS’ YANG
MENCELANYA (MU’AWIYAH) ADALAH DUSTA”
Ketahuilah bahwa hadits-hadits yang mengandung celaan terhadap
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu bisa jadi itu shahih akan tetapi bermakna
pujian (sebagaimana yang telah kami jelaskan pada edisi yang lalu) atau dha’if.
Berkata Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ Fatawa
(4/431) ketika menjawab sebuah pertanyaan: “Abu Musa
Al Asy’ari, Amr bin Ash dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah shahabat rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka memiliki keutamaan- keutamaan dan
kebaikan, apa yang sering dinukilkan tentang kejelekan mereka adalah dusta, dan
yang benar dari penukilan itu, karena mereka adalah ahlul ijtihad. Maka seorang
mujtahid jika benar mendapatkan dua pahala, jika salah mendapatkan satu pahala
dan kelasahannya diampuni”.
Ibnul Qoyyim juga telah menyebutkan dalam
kitabnya “Al-Manarul Munif” (94) bahwa tidak shahih satu haditspun yang mencela
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu.
Begitu banyak ayat-ayat dan hadits-hadits tentang keutamaan
mereka para shahabat radhiallahu ‘anhum, ayat atau hadits tersebut terbagi
menjadi dua:
PERTAMA: Keutamaan para shahabat radhiallahu
‘anhum secara umum, tidak diragukan lagi bahwa Mu’awiyah juga masuk kedalamnya.
Bahkan Ibnu ‘Abbas sendiri mengakui bahwa Mu’awiyah adalah shahabat nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari dalam
kitab shahihnya (3764) melalui jalan Utsman bin Aswad dari Ibnu Abi Mulaikah,
dia berkata: “Mu’awiyah melakukan shalat witir satu raka’at setelah shalat
isya’. Ketika itu ada maula (bekas budak) Ibnu ‘Abbas. Maka dia mendatangi Ibnu
Abbas (dan melaporkan perbuatan Mu’awiyah). Ibnu ‘Abbas menjawab: “Biarkan
dia, karena dia adalah shahabat rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.”.
Al-Bukhari juga meriwayatkan dalam shahihnya (3766) melalui
jalan Humran bin Aban dari Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu: “Sesungguhnya
kalian melakukan shalat tersebut. Sungguh kami telah menemani nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam dan kami tidak pernah melihat beliau
melakukannya bahkan beliau melarangnya yakni shalat dua raka’at setelah shalat
ashr.”
Demikian pula Imam Muslim dalam shahihnya (4037), Mu’awiyah
berkata:“Ketahuilah, apa kepentingan mereka menyebutkan hadits-hadits
dari rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh kami hidup bersama
beliau dan menemaninyadan kami tidak pernah mendengar beliau mengatakan
demikian….”
Al-Khallal dalam kitab As-Sunnah (2/432)
(no.653) dari Mahna, dia berkata: “Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang
Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Maka beliau menjawab: “Dia seorang shahabat”. Aku bertanya lagi:
“dari mana dia?” “Dari Makkah tinggal di Syam”. Jawab beliau. Dan
sanadnya shahih
KEDUA: Hadits-hadits dan atsar-atsar tentang
keutamaan sebagian shahabat radhiallahu ‘anhum terkhusus Mu’awiyah radhiallahu
‘anhu.
Telah diriwayatkan sejumlah hadits-hadits shahih demikian pula perkataan salaf
tentang keutamaan Mu’awiyah, lebih rincinya Insya Allah akan kami sebutkan pada
edisi-edisi mendatang.
DIRIWAYATKAN DARI ISHAQ BIN RAHAWIH
RAHIMAHULLAH:
“Tidak sah satu hadits pun tentang keutamaan Mu’awiyah”.
Riwayat ini dikeluarkan Ibnul Jauzi dalam kitabnya “Al-Maudhu’at” (2/263) (832)
dia berkata: telah menceritakan kepada kami Zahir bin Thahir, telah
menceritakan kami Ahmad bin Husain Al-Baihaqi, memberikan hadits kepada kami
Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah Al-Hakim, dia berkata: Aku mendengar Abul
‘Abbas Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf berkata: Aku mendengar ayahku berkata: Aku
mendengar Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali berkata: “Tidak sah satu hadits pun
dari nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang keutamaan Mu’awiyah”.
Riwayat ini juga disebutkan Suyuthi dalam kitabnya “Al-Lail
Mashnu’ah” (1/388), Ibnu Arraq Al-Kinani dalam “Tanzihusy Syari’ah” (2/7),
Asy-Syaukani dalam “Al-Fawaidul Majmu’ah” (407).
Kita katakan bahwa riwayat ini tidak shahih, karena di dalam sanadnya terdapat
rowi yang bernama Ya’qub bin Yusuf Al-Asham ayahnya Muhammad bin Ya’qub bin
Yusuf dia Majhul (tidak diketahui keadaannya). Maka jika suatu riwayat atau
hadits yang didalam sanadnya terdapat rowi majhul, baik majhul ‘ain atau majhul
hal haditsnya tidak dapat diterima terlebih dijadikan sebagai sandaran.
Seandainya riwayat ini shahih –walaupun jelas tidak shahih-.
Maka kita katakan bahwa disana juga banyak ulama’-ulama’ besar yang
menshahihkan sebagian hadits tentang keutamaan Mu’awiyah. Maka tidak boleh kita
mengambil satu pendapat yang masih dibicarakan keshahihannya dan meninggalkan
pendapat yang kuat baik sanad ataupun jumlah, diantara mereka adalah:
1. Imam Al-Ajuri memberikan suatu judul dalam kitabnya “Asy-Syari’ah”: Bab
hadits-hadits yang diriwayatkan dari nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang
keutamaan-keutamaan Abu Abdirrahman Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu
‘anhuma.
2. Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya “Siyar
A’lam An-Nubala” menyebutkan hadits-hadits tentang keutamaan Mu’awiyah kemudian
mengatakan setelahnya: “Dan hadits-hadits ini saling mendekati”.
3. Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya
“Al-Bidayah wan Nihayah” mengatakan setelah menyebutkan beberapa hadits tentang
keutamaan Mu’awiyah: “Dan kami cukupkan terhadap apa yang telah kami sebutkan
berupa hadits-hadits shahih, hasan dan mustajadat dari hadits-hadits palsu dan
munkar”.
4. Al-Hafizh Ibnu Asakir dalam kitabnya “Tarikh
Dimasyq”
5. Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam kitabnya
“Tathirul Janan”.
6. dan…dan…masih banyak lagi
Seandainya kita katakan lagi bahwa semua ulama’ sepakat tidak
ada satu hadits pun yang menyebutkan keutamaan Mu’awiyah. Maka kita jawab:
Pertama: ini tidak terus dijadikan alasan untuk mencela beliau
radhiallahu ‘anhu.
Kedua: Para ulama sepakat bahwa Mu’awiyah masuk kedalam dalil-dalil
umum tentang keutamaan para shahabat radhiallahu ‘anhum. Berbeda dengan
orang-orang syi’ah dan yang sepaham dengan mereka yang menghabiskan puluhan
halaman hanya untuk menjelek-jelekkan, mencela beliau radhiallahu ‘anhu,
menguatkan hadits tentang kejelekannya dan mendha’ifkan hadits yang memujinya
serta mengeluarkannya dari golongan shahabat nabi. Nasalullah as-salamah.
Dan telah kita ketahui bahwa semua riwayat yang menyebutkan
tentang kejelekan Mu’awiyah tidak ada yang shahih, seandainya pun ada maka
maknanya adalah do’a baginya, sebagaimana telah kami bahas pada edisi yang
lalu. Dan juga telah kita sebutkan diatas bahwa beliau adalah shahabat nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam. Walillahil hamd.
Maka sekali lagi, yang dimaksud para ulama’ bahwa tidak ada satu
hadits pun tentang keutamaan Mu’awiyah–jika memang shahih- adalah hadits-hadits
khusus tentang beliau, adapun hadits-hadits umum demikian pula ayat Al-Qur’an
maka tidak ada yang meragukkan terlebih mengingkarinya.
Sebagai contoh: Ibnu Abdil Barr, telah dinukilkan darinya
–terlepas shahih atau tidak- bahwa ia termasuk ulama yang berpendapat tidak ada
satu hadits pun yang shahih tentang keutamaan Mu’awiyah, bersamaan dengan itu
beliau juga menukilkan kesepakatan Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa semua shahabat
radhiallahu ‘anhum adalah adil sebagaimana disebutkan dalam kitabnya “Al-Isti’ab
fi Ma’rifatil Ashab” (23), beliau mengatakan:
“Dan maklum bahwa yang ingin menghukumi hadits beliau shalallahu ‘alaihi
wasallam harus mengetahui nama (perowi), nasab dan ‘adalahnya (keadilan)
demikian pula mengatahui keadaannya. Adapun para shahabat,
kami telah mencukupkan pembahasan tentang keadaan mereka, dengan kesepakatan
Ahlul Haq dari ulama’ muslimin, Ahlussunnah wal Jama’ah bawa semua shahabat
adalah ‘udul (adil), maka wajib untuk mencukupkan diri mengetahui nama-nama
mereka saja, dan menelusuri biografi mereka dan keadaan mereka, agar dijadikan
teladan. Mereka adalah manusia terbaik yang menempuh jalannya beliau shalallahu
‘alaihi wasallam dan manusia terbaik yang mencontoh beliau shalallahu ‘alaihi
wasallam.
Demikian pula Ibnul Qoyyim dalam kitabnya “Al-Manarul Munif”
(94) setelah menyebutkan riwayat Ibnu Rahawih diatas, beliau mengatakan: “Aku
katakan: “Maksud Ibnu Rahawih dan ulama’ yang mengatakan tidak ada satu hadits
pun yang menyebutkan keutaman Mu’awiyah adalah keutamaan-keutamaan yang khusus tentang
beliau adapun secara umum tentang keutamaan para shahabat dan keutamaan Quraisy
(maka banyak sekali), dan Mu’awiyah masuk kedalamnya.”
Berkata Al-‘Allamah Al-Mu’allimi dalam “Anwarul
Kasyifah” (92): “Ini semua tidak meniadakan hadits-hadits shahih yang umum
(tentang keutamaan para shahabat) termasuk didalamnya Mu’awiyah atau selainnya. Dan
tidak mengharuskan bahwa setiap yang diriwayatkan tentang keutamaannya secara
khusus dipastikan sebagai hadits palsu.”
Berkata Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitabnya:
“Kitabut Tahdits bima Qila la Yashihu fiihi Hadits” (hal.142): “Catatan penting:
Jangan hilang darimu kata ini “yang menyebutkan keutamaannya secara khusus”.
Ibnul Qoyyim telah berkata dalam kitabnya “Al-Manarul Munif” (94) tentang
mu’awiyah: “Semua hadits yang mencela beliau adalah dusta”.
Maksud beliau bahwa jika memang tidak ada satu hadits pun tentang keutamaannya
secara khusus maka disana terdapat riwayat-riwayat umum keutamaan para shahabat
dan Mu’awiyah termasuk di dalamnya. Dan jangan
dijadikan ini sebagai celaan terhadap beliau.
Inilah para shahabat
nabi tanpa terkecuali, seandainya tidak ada dalil khusus yang memuji mereka,
maka mereka telah masuk dalam dalil-dalil umum. Mereka bukan pendusta ataupun
pengkhianat sebagaimana yang dituduhkan oleh musuh-musuh islam. Karena jika
kita menuduh mereka berdusta maka secara tidak langsung juga kita telah menuduh
rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai pendusta dan pengkhianat, karena
rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: “Seseorang itu akan bersama
agama/akhlak temannya”. Jika beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjadikan
‘para pengkhianat’ itu sebagai teman maka beliau juga pengkhianat.
Na’udzubillahi min dzalik.
Kami sebutkan ini, karena akhir-akhir ini sedang ramai
pembicaraan tentang shahabat rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang satu
ini. berbagai celaan dan hinaan datang dari beberapa pihak yang mengaku sebagai
‘pembela ahlul bait’, baik dari golongan syi’ah atapun yang sepaham dengan
mereka. Semoga apa yang kami sebutkan ini dapat membuka mata hati bagi setiap
pencari kebenaran. Allahumma sallim sallim
Tak lupa pula kami jelaskan, mungkin sebagian pembaca
bertanya-tanya mengapa kami tidak menyebutkan atau sangat sedikit menyebutkan
keutamaan ahlul bait? Yang dengan itu kami dituduh sebagai ahlu nashab atau
nawashib.
Kami katakan: Bahwa Ahlussunnah sangat cinta kepada Ahlu baitin nabi, akan
tetapi kecintaan mereka didasari ilmu, tidak ada unsur ifrath atau tafrith. Kecintaan mereka
kepada Ahlul bait tidak terus meniadakan kecintaan kepada para shahabat yang
lainnya. Kecintaan mereka kepada Ahlul bait tidak terus membuat hadits-hadits
palsu tentang mereka.
Hadits-hadits tentang keutamaan mereka bertebaran di kitab-kitab Ahlussunnah,
seperti: Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan selain keduanya.
oleh karena itu bagi siapasaja yang ingin mengetahui hakekat sebenarnya aqidah
ahlussunnah tentang Ahlul bait bisa membuka kitab-kitab tersebut. Dan kami
lebih memfokuskan diri untuk memuat artikel-artikel tentang shahabat atau para
ulama’ yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan kekurangannya. Wallahu ‘alam
PENUTUP
Kita tutup tulisan ini dengan perkataan Imam Al-Barbahari dalam kitabnya
“Syarhus Sunnah” (106)
“JIKA ENGKAU MENDENGAR SESEORANG MENCELA ATSAR ATAU MENOLAK ATSAR, ATAU MENGINGINKAN
SELAIN ATSAR. MAKA RAGUKANLAH KEISLAMANNYA, DAN JANGAN KAMU RAGU KALAU DIA
PENGIKUT HAWA NAFSU, AHLUL BID’AH”.
1. KAJIAN TUNTAS HADITS:
“Ya Allah, jadikanlah dia (Mu’awiyah) seorang yang bisa memberikan petunjuk dan
seorang yang diberi petunjuk dan berikanlah hidayah (kepada manusia)
melaluinya.”
Diriwayatkan Al-Bukhari dalam “At-Tarikhul Kabir” (5/240),
At-Tirmidzi dalam “Al-Jami'” (3843), Ibnu Sa’d dalam “Ath-Thabaqat” (7/417),
Ath-Thabarani dalam “Musnad Asy-Syamiyyin” (2198), Ibnu Abi ‘Ashim dalam
“Al-Ahad wal Matsani” (3129), Al-Ajuri dalam “Asy-Syari’ah” (1914, 1915),
Al-Khatib dalam “Tarikh Baghdad” (1/207) semuanya melalui jalan Abu
Mushir dari Sa’id bin Abdul ‘Aziz dari Rabi’ah
bin Yazid dari Abdurrahman bin Abi Umairah.
– Ahmad dalam “Al-Musnad” (17929), Abu Nu’aim dalam “Hilyah”
(8/358) keduanya melalui jalur Al-Walid bin Muslim dari Sa’id
bin Abdul Aziz….. (seterusnya sama dengan diatas).
– Al-Bukhari dalam “At-Tarikhul Kabir” (5/240), Abu Nu’aim dalam
“Akhbar Ashbahan” (1/180), Ibnu Abi ‘Ashim dalam “Al-Ahad wal Matsani” (3129)
semuanya melalui jalurMarwan bin Muhammad Ath-Thathari dari Sa’id
bin Abdul ‘Aziz… (seterusnya sama dengan diatas).
– Ath-Thabarani dalam “Al-Mu’jamul Ausath” (656), “Musnad Asy-Syamiyyin” (606),
Al-Khallal dalam “As-Sunnah” (1/451) no.699, semuanya melalui
jalur Al-Walid bin Muslimdari Sa’id bin
Abdul ‘Aziz dari Yunuus bin Maisarah bin Halbas dari Abdurrahman
bin Abi Umairah.
– At-Tirmidzi dalam “Al-Jami'” (3843) dan Abu Nu’aim, keduanya
melalui jalur Amr bin Waqid dari Yunuus bin
Maisarah dari Abu Idris Al-Khaulani dari Umair
bin Sa’d.
Berkata Abu ‘Isa (Tirmidzi): “hadits ini gharib dan Amr bin Waqid dilemahkan”.
JAWABAN ATAS PENYAKIT-PENYAKIT HADITS
Penyakit pertama:
Abdurrahman bin Abi Umairah tidak sah hadits-haditsnya dan dia bukan shahabat,
keadaannya sama dengan Majhul. Berkata Ibnu Abdil Barr: “Haditsny mudhtarrib
(goncang), bukan shahabat dan dia berasal dari Syam.”.
Jawab:
Pendapat tersebut tidaklah benar, ditinjau dari dua sisi:
PERTAMA: Di sebagian riwayat hadits ini disebutkan dengan jelas bahwa Abdurrahman
bin Abi Umairah mendengar langsung dari rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang shahabat. Diantaranya adalah riwayat:
– Al-Bukhari dalam “At-Tarikhul Kabir” (5/240), berkata Al-Bukhari: “tergolong Asy-Syamiyyin (perowi yang berasal
dari negeri Syam). Berkata Abu Mushir, berkata Abdullah bin Marwan dari
Sa’id dari Rabi’ah dia mendengar langsung Abdurrahman, dia mendengar langsung
nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
– Al-Ajuri dalam “Asy-Syari’ah” (1915) dari riwayat Abu Mushir
dari Sa’id bin Abdul Aziz… (sama dengan diatas).
– Ibnu Asakir dalam “Tarikhu Dimasyq” (59/83) dari riwayat
Muhammad bin Sulaiman Al-Harrani dari Sa’id bin Abdul Aziz … (sama dengan
diatas)
Maka tidak ada dalih untuk mengingkari bahwa
dia adalah seorang shahabat setelah jelas bahwa dia pernah mendengar langsung
dari nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam “Al-Ishabah” (4/342):”Jika
memang hadits ini, yang disebutkan Ibnu Abdil Barr tampak satu penyakit, yaitu
inqitha’ (sanadnya terputus), maka bagaimana dengan hadits-hadits yang lainnya
yang dengan jelas bahwa dia (Abdurrahman bin Abi ‘Umairah) mendengar langsung
dari nabi shalallahu ‘alaihi wasallam??! Adakah yang
lebih shahih yang menunjukkan suhbahnya lebih dari ini (mendengarnya langsung
dari nabi).”
Makna suhbah adalah: tergolong shahabat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
KEDUA: Para ulama berpendapat bahwa Abdurrahman bin Abi ‘Umairah
adalah shahabat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak diketahui yang
mengingkarinya kecuali Ibnu ‘Abdil Barr.
Diantara para ulama yang menetapkan suhbahnya adalah:
– Imam Ahmad rahimahullah. Karena beliau meriwayatkan hadits ini dalam kitab
Musnadnya (17929) dari jalur Abdurrahman bin Abi ‘Umairah. Ini
menunjukkan bahwa beliau memasukkan Abdurrahman bin Abi ‘Umairah kedalam
jajaran shahabat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, jika tidak mana mungkin
beliau meriwayatkan hadits ini dalam kitab MUSNADNYA, karena Musnad adalah
kumpulan hadits-hadits marfu’ muttashil (marfu’ dan bersambung) sampai ke Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallambukan hadits Mursal atau yang lainnya.
– Al-Bukhari dalam “At-tarikhul Kabir” (5/240) beliau berkata
tentangnya: “tergolong Asy-Syamiyyin (perowi yang berasal
dari negeri Syam). Berkata Abu Mushir, berkata Abdullah bin Marwan dari
Sa’id dari Rabi’ah dia mendengar langsung Abdurrahman, dia mendengar langsung
nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
– Sa’id bin Abdul ‘Aziz At-Tanukhi salah seorang perowi hadits
ini, sebagaimana dalam “Jami’ At-Tirmidzi” (3842), Ibnu Asakir “Tarikh Dimasyq”
(35/230) dari jalur Sa’id bin Abdul Aziz dari Rabi’ah bin Yazid dari Abdurrahman
bin Abi ‘Umairah dan dia adalah shahabat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
– Ibnu Sa’d dalam “At-Tabaqat” (7/417), dia berkata tentangnya:
“Al-Muzani dan dia termasuk shahabat rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam yang tinggal di Syam.”.
– Al-Mizzi dalam “Tahdzibul Kamal” (17/321) beliau berkata
tentangnya: “Abdurrahman bin Abi ‘Umairah Al-Muzani, ada yang mengatakan
Al-Azdi Al-Barqi ini adalah kekeliruan karena dia adalah Muzani bukan Azdi, dia
saudara Muhammad bin Abi ‘Umairah. Dia seorang
shahabat tinggal di Himsh dan pernah meriwayatkan langsung dari nabi shalallahu
‘alaihi wasallam.”
– Ibnu Asakir dalam “Tarikh Dimasyq” (35/229): “Abdurrahman bin
Abi ‘Umairah Al-Muzani ada mengatakan Al-Azdi saudara Muhammad bin Abi ‘Umairah dan
dia adalah seorang shahabat.
– Ibnu Hajar dalam “Al-Ishabah” (4/342): “dan hadits-hadits ini
walaupun tidak terlepas sanadnya dari pembicaraan akan tetapi dengan semua
jalur jalurnya menjadi sah, dan Abdurrahman adalah seorang shahabat.”
– Abu Hatim Ar-Razi, Ibnu Sakan, Ibnul Barqi, Ibnu Hibban,
Abdush Shamad bin Sa’id dan Abul Hasan bin Sami’ semuanya memasukkannya kedalam
jajaran para shahabat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana yang
disebutkan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam “Al-Ishabah” (4/342): “berkata Abu Hatim: dia
seorang shahabat, dan disebutkan pula oleh Al-Bukhari, dan Ibnu Sa’d, Ibnul
Barqi, Ibnu Hibban, Abdush Shamad bin Sa’id, Abul Hasan bin Sami’ mereka semua
memasukkannya kedalam jajaran para shahabat.”
– Dan selain mereka masih banyak lagi.
Inilah jawaban pertama dari syubuhat kaum
syi’ah dan yang sepaham dengan mereka, yang selalu gerah jika ada hadits yang
menyebutkan keutamaan shahabat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
2. KAJIAN TUNTAS HADITS:
“Ya Allah, jadikanlah dia (Mu’awiyah) seorang yang bisa memberikan petunjuk dan
seorang yang diberi petunjuk dan berikanlah hidayah (kepada manusia)
melaluinya.”
Penyakit kedua
Berkata Ibnu Jakfari: Hadis kedua yang juga disebutkan at-Turmudzi pada
sanadnya terdapat periwayat bernama Amr ibn Wâqid ad Dimasyqi, ia matrûkul
hadîts (hadisnya dibuang).
Penyebutan status seperti di atas hanya benar disematkan untuk seorang
periwayat yang banyak meriwayatkan hadis-hadis ngawur yang tidak benar di
kalangan para ahli hadis.
Jawab: Terlebih dahulu kita lihat komentar para ulama’ tentang Amr bin
Waqid.
Berkata Dahim: “Para masyayikh kami tidak pernah meriwayatkan darinya”, dia
juga Berkata: “Tidak diragukan lagi kalau dia berdusta”
Berkata Abdullah bin Ahmad: “Muhammad bin Mubarak Ash-Shuri tidak pernah
meriwayatkan darinya sampai meninggal”
Berkata Marwan Ah-Thathari: “Amr bin Waqid Pendusta”
Berkata Abu Hatim: “Lemah, munkarul hadits”
Berkata Bukhari dan Tirmidzi: “Munkarul hadits”
Berkata Nasa’I, Daraquthni dan Barqani: “matrukul hadits”
semuanya disebutkan Ibnu Hajar dalam “Tahdzibut Tahdzib” ketika menyebutkan
biografi Amr bin Waqid.
Perlu diketahui bahwa diantara cara yang biasa ditempuh ahlul
hadits (pakar hadits) sebelum menghukumi sebuah hadits adalah jam’ul
asanid (mengumpulkan seluruh sanad-sanad) dari berbagai sumber yang
bisa dijadikan rujukan. Akan tetapi berbeda dengan “Ahlul
hadits”
yang satu ini. Di dalam blog yang dikelolahnya dengan gaya yang cukup
meyakinkan dia melemahkan hadits ini hanya dengan melihat sanad yang
diriwayatkan Tirmidzi dan bersandar dengan perkataan Al-Mubarakfuri, tanpa
mengindahkan sanad-sanad lainnya dan komentar para ulama’ yang lebih berilmu
dan lebih banyak jumlahnya sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam edisi
yang lalu.
Dalam kesempatan ini kami akan menyebutkan beberapa sanad hadits
ini yang dengan itu baru kita dapat mengetahui apakah hadits ini sesuai dengan
yang disebutkan Ibnu Jakfari ataukah tidak:
Sanad pertama, diriwayatkan Tirmidzi dalam
sunannya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا أَبُو مُسْهِرٍ عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي عُمَيْرَةَ……
Sanad kedua, diriwayatkan Ahmad dalam
Musnadnya:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي عَمِيرَةَ الْأَزْدِيِّ …..
Sanad ketiga, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad
wal Matsani:
حدثنا محمد بن عوف ، نا مروان بن محمد ، وأبو مسهر قالا : نا سعيد بن عبد العزيز ، عن ربيعة بن يزيد ، عن عبد الرحمن بن أبي عميرة…..
Sanad keempat, diriwayatkan Thabarani dalam
Mu’jamul Ausath:
حدثنا أحمد قال : نا أبو الفتح نصر بن منصور ، عن بشر بن الحارث الحافي قال : حدثني زيد بن أبي الزرقاء قال : نا الوليد بن مسلم ، عن سعيد بن عبد العزيز ، عن يونس بن ميسرة بن حلبس ، عن عبد الرحمن بن أبي عميرة….
Sanad kelima, diriwayatkan Abu Nu’aim dalam
Ma’rifatush Shahabah:
حدثنا سليمان بن أحمد ، ثنا أبو زرعة الدمشقي ، ثنا أبو مسهر ، ثنا سعيد بن عبد العزيز ، عن ربيعة بن يزيد ، عن عبد الرحمن بن أبي عميرة…..
Sanad keenam, diriwayatkan Thabarani dalam
Musnad Syamiyyin:
حدثنا عبدان بن أحمد ، ثنا علي بن سهل الرملي ، ثنا الوليد بن مسلم ، عن سعيد بن عبد العزيز ، عن يونس بن ميسرة بن حلبس ، عن عبد الرحمن بن عمير المزني…
Mari coba kita lihat semua sanad-sanad diatas:
RIWAYAT TIRMIDZI, IBNU ABI ‘ASHIM DAN ABU NU’AIM MELALUI:
1. Abu Mushir, dari
2. Sa’id bin Abdil Aziz, dari
3. Rabi’ah bin Yazid, dari
4. Abdurrahman bin Umairah, shahabat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
RIWAYAT AHMAD DAN THABARANI DALAM MU’JAMUL AUSATH MELALUI:
1. Walid bin Muslim, dari
2. sama dengan diatas
RIWAYAT IBNU ABI ‘ASHIM MELALUI:
Riwayat Abu Mushir ditemani dengan Marwan bin Muhammad, selanjutnya sama
dengan riwayat diatas.
RIWAYAT THABARANI DALAM MUSNAD SYAMIYYIN disebutkan bahwa Sa’id
bin Abdil ‘Aziz meriwayatkan dari Yunus bin Maisarah bin Halbas dari Abdurrahman
bin Umair Al-Muzani.
Tidak satupun sanad-sanad diatas melalui jalur Amr
bin Waqid.
Maka selamatlah hadits ini dari cacat yang disebutkan Ibnu Jakfari. Dan dengan
ini pula kita tahu bahwa hadits ini shahih sebagaimana yang disebutkan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitabnya Silsilah Ahadits Shahihah.
Setelah keterangan singkat di atas, maka tidaklah heran apabila
kaum syi’ah tetap saja bersemangat mengkaburkan hadis-hadis keutamaan para
shahabat.. Na’udzubillahi min dzlik
Akhir kata, kami tutup tulisan ini dengan wasiat nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam yang mulia:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي
“Janganlah kalian mencela para shahabatku” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari sini juga kita ketahui bahwa kecintaan syi’ah terhadap nabi shalallahu
‘alaihi wasallam dan ahlul baitnya adalah kecintaan dusta karena mereka tidak
pernah mengamalkan wasiat-wasiat nabi yang tercantum dalam hadits-haditsnya.
12 Tanggapan
Assalamu’alaikum,
Namun ayyuhal ikhwah..!!bahwasanya Nabi saawketika diminta
meng-azankan anak Mu’awiyyah yang bernama Yazid rasulpun menolak. Dan akan
keluar dari sulbi Mu’awiyah sang penfitnah ummat, hingga Mu’awiyah enggan untuk
kawin karena takut melahirkan anak yang diramalkan rasul saaw . Dan benar kelak
dikemudian hari baik Mua’awiyah sendiri maupun anaknya jadi manusia-manusia
durjana. Anaknya si Yazid menjadi penjagal manusia suci sayyidina Husein r.a
sedang bapaknya si Mu’awiyah jadi pemberontak (to’ifah baghiyyah). Usaha
meluruskan barang bengkok sebagaimana kerjanya para pengacara yang membenarkan
para pelaku kriminal, naudzubillah min dzalik. Wa ana bari’un min hum..!!!
—haulasyiah—
dari mana anda mendapatkan dongeng diatas?
Mu’awiyah adalah salah satu sahabat Rasulullah. Beliau pun ikut
dalam peperangan bersama Rasulullah dalam menghadapi kaum kafir. Sahabat-sahabat
Rasulullah adalah pilihan Allah dan pilihan Allah adalah yg terbaik. Allah
tidak akan memberikan sahabat yang moralnya rusak, pendusta, penghianat, kepada
Rasulullah. Maka sesuailah Hadist diatas : “Janganlah kalian mencela para
shahabatku” (HR. Bukhari dan Muslim). barang siapa menyakiti sahabat Rasulullah
sama dengan menyakiti Rasulullah, Barang siapa memusuhi sahabat Rasulullah sama
dengan memusuhi Rasulullah, Barang siapa Menfitnah Sahabat Rasulullah sama
dengan menfitnah Rasulullah, Barang siapa keluar dari ajaran Rasulullah, Maka
dia telah kafir dengan Nyata. Seburuk-buruk tempat dimata Allah adalah Neraka
Jahanam. Allahu Akbar.
“Barang siapa menyakiti
sahabat Rasulullah sama dengan menyakiti Rasulullah, Barang siapa memusuhi
sahabat Rasulullah sama dengan memusuhi Rasulullah, Barang siapa Menfitnah
Sahabat Rasulullah sama dengan menfitnah Rasulullah, Barang siapa keluar dari
ajaran Rasulullah, Maka dia telah kafir dengan Nyata. Seburuk-buruk tempat
dimata Allah adalah Neraka Jahanam. Allahu Akbar.”
Lalu bagaimana dengan perbuatan Muawiyah terhadap Ali R.A ?
barakallahu fiikum, bukankah telah kami sebutkan bahwa
Ahlussunnah tidak pernah meyakini para shahabat Nabi makshum, semua mereka bisa
terjerumus kedalam kesalahan, akan tetapi jangan lupa bahwa mereka memiliki
sekian kebaikan yang jauh lebih banyak dari kesalahan yang mereka lakukan, baca
lagi pada point “shahabat tidak maksum“. oleh karena
itu, Ali bin Abi Thalib setelah kembalinya dari perang Shiffin berkata: “Jangan
kalian cela kepemimpinan Mua’wiyah”. Karena Ali paham, walaupun Mu’awiyah
dikatakan keliru dalam ijtihadnya akan tetapi ia masih shahabat nabi yang
memiliki keutamaan yang luar biasa.
Bahkan menurut jumhur riwayat Muawiyah mencaci Ali di setiap
Khutbah Jum’at.. Kata “Barangsiapa bisa berbalik lagi ke Muawiyah”.
tolong buktikan, tentunya dengan sanad yang shahih.
Saya setuju untuk tidak mencaci maki sahabat. Namun perbuatan
sahabat yang menyelisihi ahlak Nabi SAW tidak patut dibela.
baguslah kalau anda setuju, ahlusunnah tidak pernah membela
kesalahan yang diperbuat shahabat, yang salah kami katakan salah yang benar
kami katakan benar. akan tetapi, apakah hanya dengan kesalahan yang mereka
perbuat terus kita lupa dengan kebaikannya yang demikian banyak?? apakah
kesalahan tersebut dijadikan alasan untuk menghujatnya?? lupakah anda bagaimana
mereka dahulu memperjuangkan islam bersama nabi! lupakah anda bahwa Allah telah
ridha kepada mereka!
Lebih baik kita diam untuk masalah seperti ini.
apabila yang anda maksudkan untuk diam dan tidak membicarakan
apa yang terjadi diantara shahabat Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam maka
itu benar, dan itulah manhaj Ahlussunnah
akan tetapi jika diam dari para penghujat dan pencaci maki shahabat maka anda
telah keliru besar…..
orang yang memberontak terhadap Amirul Mukminin dalam Perang
Shiffin diberi gelar Radiallahu Anhu dan dijamin masuk surga??
hahaha, pakai otak kalian Salafy…
“ahlusunnah tidak pernah
membela kesalahan yang diperbuat shahabat, yang salah kami katakan salah yang
benar kami katakan benar. akan tetapi, apakah hanya dengan kesalahan yang
mereka perbuat terus kita lupa dengan kebaikannya yang demikian banyak?? apakah
kesalahan tersebut dijadikan alasan untuk menghujatnya?? lupakah anda bagaimana
mereka dahulu memperjuangkan islam bersama nabi! lupakah anda bahwa Allah telah
ridha kepada mereka!”
saya setuju. salah-benar atau surga-neraka itu urusan Allah, yg penting
kita juga tidak menutupi kenyataan sejarah. karena ada sahabat saya yang selalu
protes keras jika kita membahas sejarah antara Ali dan Muawiyah.
—haulasyiah—
yang perlu diperhatikan, sejarah yang dibahas adalah sejarah yang benar-benar
shahih.
buat yang anti.wahhabi, maaf yaa, seingat saya Muawiyah
Rhadiyallahu anhu tidak memberontak. Karena Imam Ali sendiri tidak mengatakan
mereka pemberontak, hanya ada perbedaan pendapat.
Makanya baca sejarah yang bener.
liat tingkah muawiyah tatkala dipanggil Nabi saw, sampai dua
kali, ia tidak menghiraukan dan memilih makanannya. baca di sahih muslim.
kemudian nabi mendoakan semoga perutnya tidak pernah kenyang!!!
—haulasyiah—
sepertinya anda belum baca bagian pertama dan keduanya.
ya nich, ana bantu sedikit buat zulfi
—haulasyiah—
jazakallahu khairan
Mau tahu makna surat Maryam ayat 1:
Disebutkan dalam Al-Ihtijaj bahwasanya Sa’ad bin Abdullah
bertanya kepada al-Qaim (Imam Mahdi as) tentang takwil Kaf Ha’ Ya’ ‘Ain Shad,
maka al-Qaim as menjawab :
Huruf-huruf ini sebagian berita-berita gaib, Allah melihat hamba-Nya berkenaan
dengan huruf-huruf itu, kemudian Dia menceritakannya kepada Muhammad saw.
Sebab, Zakariya as pernah memohon kepada Tuhannya agar mengajarkan kepadanya
nama-nama lima orang, maka Allah menurunkan Jibril as kepadanya dan mengajarkan
kepadanya nama-nama lima orang itu. Zakariya as jika mengingat Muhammad saw,
Ali, Fatimah dan al-Hasan alaihimus salam, lenyap darinya kesusahannya dan
hilanglah darinya kesedihannya. Akan tetapi, jika dia mengingat al-Husain as,
maka dia (terasa) tercekik oleh kesedihan dan mengeluarkan nafas yang panjang.
Pada suatu hari Zakariya as berkata, “Wahai Tuhanku, mengapa aku jika mengingat
empat orang dari mereka (Muhammad saw, Ali, Fatimah dan al-Hasan alaihimus
salam), hatiku menjadi lega dari kesusahan-kesusahanku dengan perantaraan
nama-nama tersebut, tetapi jika aku mengingat al-Husain as, maka air mataku
mengalir dan keluar nafas panjang (karena menahan kesedihan)?”
Maka Allah SWT memberitahukan kepada Zakariya as kisahnya. Allah berfirman
kepadanya, Kaf Ha’ Ya’ ‘ Ain Shad. Kaf adalah Karbala, Ha’ adalah halakul
‘itrah (kebinasaan keturunan Nabi saw), Ya’ adalah Yazid, dan dia adalah orang
yang melakukan kezaliman terhadap al-Husain as, ‘Ain adalah ‘athasyuhu
(dahaganya al-Husain as) dan Shad adalah shabruhu (kesabarannya al-Husain as).
Setelah mendengar kisah itu, Zakariya as tidak meninggalkan masjidnya selama
tiga hari dan melarang semua orang untuk menemuinya. Di dalam masjidnya itu,
dia terus-menerus menangis dan meratap keras. Di dalam ratapannya itu, Zakariya
as berdoa, “Tuhanku, apakah Engkau akan menjadikan hati sebaik-baik makhluk-Mu
itu (Muhammad saw) bersedih dengan anaknya (al-Husain as, yaitu dengan dibantai
di Karbala dalam keadaan yang sangat mengenaskan)? Tuhanku, apakah Engkau akan
menurunkan musibah ini dengan kematiannya? Tuhanku, apakah Engkau akan
mengenakan pada Ali dan Fatimah pakaian musibah ini? Tuhanku, apakah Engkau
akan menimpakan musibah ini pada mereka berdua?”
Zakariya as berdoa, “Tuhanku, karuniakan kepadaku seorang anak laki-laki yang
menyenangkan hatiku di masa tuaku. Kemudian jika Engkau telah mengaruniakan
kepadaku anak laki-laki itu, maka berilah aku ujian dengan kecintaan kepadanya,
kemudian jadikanlah hatiku bersedih dengan kematiannya.” Masa Yahya as dalam
kandungan adalah enam bulan dan demikian pula masa al-Husain as.
Perhatikan dalam huruf Ya’ , itu adalah Yazid bin Muawiyah yang
melakukan kezaliman terhadap Imam Husain as….
—haulasyiah—
waduh baru denger ni mas. ada sanadnya gak? jangan-jangan bohong
@Fatary
barang siapa menyakiti sahabat Rasulullah sama dengan menyakiti
Rasulullah, Barang siapa memusuhi sahabat Rasulullah sama dengan memusuhi
Rasulullah, Barang siapa Menfitnah Sahabat Rasulullah sama dengan menfitnah
Rasulullah
@Haulasyiah
Wah ada dongeng lain tuh mas
—haulasyiah—
hehehe, mau mulai lagi nih…
Siapapun yang memerangi kekhalifahan yang SAH adalah BATHIL.
Terlebih Muawiyah mengangkat anaknya sendiri menjadi khalifah yaitu Yazid.
Yazin Bin Muawiyyah adalah pembunuh cucu Nabi sayyidina Husain di-padang
Karbala.
—haulasyiah—
waduh, perlu diluruskan lagi ni….
Waduh kalau ujung-ujungnya “KULLU SHAHABAH UDUL”, justeru akan
membuat sejarah Islam, tidak lagi memiliki arti buat kita dong. Ini akan
merusak keadilan Allah SWT dengan sesuatu yang mengada-ngada/dibuat-buat.
Dimana keadilan Allah? Jika pembelajaran syariat-Nya seperti ini? Wong jelas
dalam peperangan Siffin sahabat saling bunuh-bunuhan ko’ dapat pahala.
Hikmah apa yang dapat kita ambil jika semua perbuatan dan tindakan Sahabat yang
SALAH dapat PAHALA satu dan Yang BENAR dapat PAHALA dua? Ini sama saja
mema’shumkan seluruh sahabat secara Umum. Memberontak pahala, saling membunuh
pahala, membangkang pahala, semua perbuatan salah yang ringan dan berat tetap
dapat pahala (kebanyakan discountnya neh), kebaikan seperti apa yang dapat
menutupi kesalahan seberat ini?
Bukannya dalam penerapan hukum Islam itu, tidak ada tebang pilih/ dispensasi
bagi para pelanggarnya? Bukankah Al-Qur’an sdh memberi contoh kepada kita
tentang Qobil (anak Nabi Adam AS), yang membunuh adiknya Habil, jelas ko’ dalam
Al-Qur’an tidak ada dispensasi buat Qobil meskipun anak seorang Nabi. Belum
lagi Hadist Rasul SAW “Seandainya Fathimah Binti Muhammad mencuri, akan aku
potong tangannya” (ini Hadist Shahih Lho).
Jika terhadap puterinya sendiri melanggar, syariat tetap Nabi tegakkan, apalagi
jika yang melanggar orang lain atau sahabat?
“Islam Yahkum Alad Dhahir”
—haulasyiah—
Ketika Allah telah ridha kepada mereka semua (para shahabat nabi) (QS. At
Taubah:100) demikian pula membangkan para shahabat kepada umat sebelum mereka
(QS. At Fath:29) dan Allah telah menjelaskan bahwa ibadah mereka tidak lain
hanya mengharapkan pahala dari Allah (QS. Al Hasyr: 8-9) serta Allah telah
mengampuni mereka (QS. At Taubah:117). apakah Allah tidak tahu kalau akan
terjadi perseteruan diantara mereka?? kalau saja Allah telah memuji dan ridha
kepada mereka tidak ada kata lain bagi kita kecuali ridha dengan keputusan
Allah dan tidak terlalu berdalam-dalam untuk masalah ini.