Sunday, January 17, 2016

Cendekiawan Mesir Dr Raghib As-Sirjani : Sejarah Membuktikan, Persatuan Sunni-Syiah Bahaya Dan Mustahil. Selesaikan Syiah Dulu, Baru Bebaskan Palestina ! Dalam Perang Arab-Israel, Syiah Menggunting Dalam Lipatan

Dr Raghib: Selesaikan Syiah Dulu, Baru Bebaskan Palestina

Published in Alam Islamy
Sejarah telah membuktikan jika penyatuan Sunni dan Syiah mustahil adanya. Jalinan kerjasama keduanya pun penuh resiko dan berbahaya. Sebab Syiah tidak dapat dapat dipercaya.
Demikian ditegaskan cendekiawan dan penulis buku-buku terkenal asal Mesir Dr Raghib As-Sirjani saat berkunjung ke Indonesia baru-baru ini. Sejarah, kata Raghib, mencatat jika Syiah telah melakukan pengelabuan terhadap umat Islam.
Di depan para wartawan, Raghib mengungkap sejarah pengelabuan itu. Dia membeberkan ketidakbenaran penisbatan nama Fathimiyyah kepada daulah Syiah di Mesir.
Sebab, menurutnya, Syiah ingin mengelabui umat Islam dengan mencatut nama  Fathimah, puteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Padahal sebenarnya, nama daulah Syiah tersebut adalah Daulah Ubaidiyyah, dinisbatkan kepada pendirinya, Ubaidillah Mahdi, seorang Yahudi.
“Jadi tidak ada yang namanya Daulah Fathimiyyah, yang ada Daulah Ubaidiyyah,” tegas Raghib usai mengisi acara 13th Islamic Book Fair di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu, (01/03/2014).
Raghib mengatakan, daulah tersebut kemudian mengklaim sebagai kekhalifahan. Pengelabuan-pengelabuan itu disebutnya sebagai pemanis agar mereka dihormati.
“Sebenarnya itu adalah negara (daulah. Red) yang sangat keji, sangat kotor,” tegas Raghib seperti dikatakan penerjemahnya.

Penulis buku ‘Kaifa Nabnil Ummah?’ ini mencontohkan kekejian Syiah yang terpampang di Suriah saat ini. Menurutnya, Suriah kini dijajah oleh Syiah Nushairiyyah -yang dinisbatkan kepada Muhammad bin Nusyair- dengan kedok Syiah Alawiyyah.

Adapun penggunaan nama Alawiyyah, jelasnya, adalah penisbatan palsu. Pengelabuan ini sama dengan kasus penisbatan Fathimiyyah di atas.
“Tapi sebenarnya (Syiah di Suriah) itu adalah Nushairiyyah dan itu adalah sekte Syiah yang paling keji, paling kotor, paling kriminal. Dan mereka sampai-sampai menuhankan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Jadi bukan hanya sekedar mensucikan (Ali),” ungkapnya.
Negosiasi Sunni-Syiah
Raghib mengatakan, hujjah Ahlus Sunnah sesungguhnya sangat kuat. Tidak bisa dibandingkan dengan hujjahlemah kaum Syiah. Sehingga, Syiah menempuh cara lain untuk menarik minat umat Islam.
“Jadi mereka menempuh cara lewat duit, lewat bantuan. Itu ditempuh di Mesir, di Sudan, dan di Indonesia juga, dan juga di negara-negara lainnya,” jelasnya.
Raghib meyakini, di Mesir saat ini tidak ada ulama Syiah, ataupun ulama Sunni yang mendukung Syiah. Yang ada ulama yang menyerukan pendekatan Sunni-Syiah.
“Para ulama ini dituduh seolah-olah dia condong pada Syiah,” imbuhnya.
Raghib berpandangan tersendiri terkait mustahilnya pendekatan Sunni dan Syiah. Menurutnya, yang mungkin dilakukan adalah dialog.
“Ataupun bernegosiasi di mana mereka kita berharap agar orang Syiah itu menghentikan kekejian mereka, kekerasan mereka terhadap Muslim,” tandasnya.
Kehadiran Raghib di Jakarta memenuhi undangan penerbit Pustaka Al-Kautsar sebagai pembicara dalam acara “Dialog Peradaban Islam”. Raghib mengupas buku karyanya yang diterjemahkan berjudul “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia”.*

Dr Raghib: Selesaikan Syiah Dulu, Baru Bebaskan Palestina

Untuk membebaskan Palestina, apakah harus membereskan Syiah terlebih dahulu? Jika menilik sejarah, panglima Islam Shalahuddin al-Ayyubi awalnya mengusir Syiah di Mesir. Lalu menyatukan kekuatan Muslimin Mesir dan Syam, kemudian membebaskan Palestina.
“Jadi itu kuncinya, setelah Syiah di Mesir diselesaikan, baru (bebaskan Palestina). Karena dia (Syiah. Red) merupakan tantangan,” jelas Dr Raghib As-Sirjani, seperti disampaikan penerjemah kepada hidayatullah.com dan para wartawan dalam kunjungannya ke Jakarta belum lama ini.
Pernyataan cendekiawan dan penulis buku-buku terkenal asal Mesir ini disampaikan setelah menjawab pertanyaan mana lebih dahulu membebaskan Palestina atau urusan Syiah oleh seorang penanya.
Menurutnya, Shalahuddin saat itu , meyakini jika tidak bisa mengalahkan Palestina tanpa menyelesaikan Syiah terlebih dahulu.
Lantas, apakah umat Islam saat ini harus seperti Shalahuddin? Pada realitasnya, menurut Raghib, tidak persis demikian. Tapi jika memang begitu pilihannya, “prosedur” ini harus dilalui.
“Dan apakah itu harus dilalui atau tidak? Jika ada pilihan tidak perlu dilalui, kita tidak perlu ‘membuka file-file begitu banyak supaya kemudian kita bersihin sana bersihin situ’, kemudian baru membebaskan Palestina,” jelasnya dengan kiasan.
Raghib mengatakan, hingga saat ini Mesir terus berupaya berkontribusi dalam pembebasan Palestina. Termasuk melalui pemberian bantuan dana untuk rakyat Palestina dan perjuangannya.
Diberitakan sebelumnya, Raghib meyakini Syiah dan Sunni mustahil bersatu. Hal ini disampaikan di sela-sela rangkaian acara 13th Islamic Book Fair, Istora Senayan, Jakarta, Sabtu, (01/03/2014) lalu.*

Sikap Ahlussunnah Terhadap Hizbullah

Written by  ash shidqi
Sikap kita terhadap Hizbullah
Setelah saya memaparan kisah yang panjang ini (baca: kisah hizbulloh lengkap), saya Hendak mengajak pembaca sekalian untuk merenung dan memberi catatan atas beberapa hal, yang nantinya akan menjawab sejumlah pertanyaan membingungkan yang terlintas di benak setiap muslim saat menyaksikan peristiwa-peristiwa tadi. Mungkin ada di antara pembaca yang sependapat dengan pandangan saya, dan mungkin juga tidak; akan tetapi saya sampaikan kepada semuanya bahwa saat kita memberikan catatan, hendaknya kita menyingkirkan perasaan kita, dan memutuskan dengan akal kita. Jika kita ingin memberi analisa yang tepat, kita harus menelusuri akar masalah, mempelajari sejarah baik yang dahulu maupun sekarang, mengaitkan hal-hal satu sama lain, membaca apa yang tertulis dalam buku-buku, dan meneliti tujuan masing-masing golongan serta latar belakang dan akidah mereka. Ketika itulah berbagai asumsi yang dahulu kita yakini kebenarannya akan berubah, dan boleh jadi kita menyerang apa yang dahulu kita bela, atau membela apa yang dahulu kita serang!!
Pertama: Berdirinya negara Syi’ah di Lebanon merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi bahkan mungkin segera terlaksana, mengingat fasilitas yang dimiliki Hizbullah bukanlah fasilitas suatu kelompok atau golongan kecil, akan tetapi fasilitas suatu negara. Apalagi dukungan Suriah dan Iran atas berdirinya negara Syi’ah yang loyal kepada keduanya sangatlah besar. Negara ini kelak meliputi Lebanon selatan, lembah Bikkaa yang berada di timur laut Lebanon. Wilayahnya bisa jadi meluas hingga mencakup Lebanon utara yang Sunni, termasuk menguasai Beirut barat dan selatan. Adapun wilayah-wilayah Nasrani, maka masih diperselisihkan, dan tidak menutup kemungkinan jika Hizbullah menerima berdirinya dua negara di bumi Lebanon, yaitunegara Syi’ah dan negara Nasrani.
Bahkan seribu tahun sebelumnya, Syi’ah Isma’iliyyah pernah menawarkan kepada salibis saat memasuki Syam, untuk membagi-bagi wilayah Ahlussunnah di antara mereka: salibis menguasai Suriah dan Lebanon, sementra Syi’ah menguasai Palestina dan Yordania; akan tetapi salibis menolak, sebab mereka ingin menguasai seluruh wilayah Syam!( Alhamdulillah gagal ! )
Berdirinya sebuah negara Syi’ah di Lebanon bukanlah masalah sepele bagi Ahlussunnah. Silakan baca kembali kisah Ahlussunnah di Iran dan Irak, dan telaah kembali sikap Harakah AMAL yang lalu berganti menjadi Hizbullah terhadap Ahlussunnah di Lebanon. Baca pula tarikh daulah Buwaihiyyah, Hamdaniyyah, dan Ubeidiyyah –yang menamakan dirinya dengan dusta sebagai Fathimiyyah-, serta Shafawiyyah… pelajarilah sejarah mereka agar Anda tahu bahwa berdirinya sebuah negara Syi’ah yang kuat, berarti penindasan terhadap Ahlussunnah di barisan yang pertama, sebab masalahnya adalah masalah akidah, dan semua fakta yang ada mengarah kesana.
Perang Demi Sejumlah Kepentingan
Kedua, perang Hizbullah melawan Yahudi adalah perang karena beberapa kepentingan, bukan perang atas dasar akidah. Sebab Yahudi memasuki wilayah Lebanon selatan tahun 1982 M, yaitu wilayah yang pada awalnya hendak dijadikan cikal bakal Negara Syi’ah Raya. Maka, ia harus melawan demi eksistensinya, sebagaimana peperangan pada umumnya yang terjadi di dunia. Perang ini bukanlah perang demi meninggikan kalimat Allah, sebab kalimat Allah yang diyakini kaum Syi’ah adalah kalimat yang batil dan menyimpang. Mereka menganggap bahwa para imam mereka ma’shum, bahkan kedudukan para imam lebih tinggi dari para rasul, lantas kebaikan apa yang diharapkan dibalik keyakinan semacam ini?!!
Coba kita asumsikan bahwa Syi’ah memiliki markas di Utara Lebanon, sedangkan Ahlussunnah di selatannya. Apakah Anda mengira bahwa Syi’ah akan berperang demi menyelamatkan wilayah Lebanon yang ditempati Ahlussunnah? Ini merupakan sesuatu yang sangat mustahil… bahkan boleh jadi akan terjadi kesepakatan untuk membagi bumi Lebanon secara damai dengan Yahudi, dan ini bukan sekedar omong kosong tanpa bukti; sebab Syi’ah telah mendiami Lebanon sejak puluhan tahun, adakah mereka tergerak untuk memerangi Yahudi di Palestina? Padahal dalam syair-syair mereka katakan bahwa Palestina adalah bumi yang dijajah Zionis.
Al ‘Allamah DR. Musthafa As Siba’I –rahimahullah-seorang pemerhati dari Ikhwanul Muslimin di Suriah pernah berusaha mengadakan pendekatan Sunnah-Syi’ah ketika meletus perang Arab-Israel tahun 1948 M. Beliau berupaya mendorong Syi’ah agar bersekutu dengan Ahlussunnah untuk membebaskan bumi Palestina, akan tetapi mereka menolak dan enggan, hingga DR. Musthafa sangat kecewa, sehingga beliau membuat tulisan yang berjudul “As Sunnah Wamakanatuha fii At Tasyri’ Al Islami” (Kedudukan Sunnah dalam Syariat Islam) bahwa pendekatan antara Sunnah dengan Syi’ah adalah sesuatu yang tidak akan terwujud, sebab mereka memahaminya sebagai pengalihan Ahlussunnah menjadi Syi’ah, bukan untuk bertemu di tanah yang dimiliki bersama.[1]
Ketika meletusnya perang tahun 1967 M, ternyata Syi’ah yang menduduki wilayah Palestina Utara tidak tergerak sedikit pun. Bahkan Musa Ash Shadr mengelu-elukan slogannya yang terkenal pada bulan Maret 1973 M bahwa: “Senjata adalah perhiasan kaum lelaki”, namun saat meletus perang di bulan Oktober 1973 M, yakni 6 bulan setelah Musa mengucapkan slogan tersebut, tidak ada seorag Syi’ah pun yang ikut serta dalam memerangi Yahudi di Palestina!...Kita semua menyaksikan perang Gaza pada tahun 2009 M lalu,bisa saja rudal-rudal Hizbullah ditembakkan untuk menahan gempuran Yahudi atas Gaza, akan tetapi kita tidak mendengar selain ucapan saja, dan tidak ada satu rudal pun yang ditembakkan untuk menyerang Zionis.
Dari sinilah kaum Zionis tahu bahwa bahaya Hizbullah hanya sebatas wilayah yang dikuasainya saja, dan untuk periode ini, baik Hizbullah maupun Iran tidak punya kepentingan dengan Palestina. Sebagaimana yang diketahui Amerika bahwa slogan-slogan anti-AS yang diserukan Iran tidak ada hakikatnya, namun sekedar mencari simpati kaum muslimin lewat media massa. Jika tidak percaya, silakan perhatikan bagaimana proyek Syi’ah di Irak yang berjalan mulus dengan dukungan murni Amerika… bahkan Amerika sesungguhnya tidak menentang rencana pendirian Negara Syi’ah Raya yang meliputi Iran, Irak, Lebanon dan Suriah, sebab negara ini akan mewujudkan keseimbangan bagi sejumlah kekuatan yang ada di wilayah Islam, dan otomatis akan menghadang kekuatan Islam Sunni yang berupa kebangkitan Islam di sejumlah negara kawasan itu, terutama Mesir, Arab Saudi, dan Yordania. Itulah negara-negara yang Amerika selalu berusaha menekan kekuatannya, baik secara politik, militer, maupun ekonomi.
Antara Kemenangan & Kebenaran Manhaj
Ketiga, kemenangan tidak berarti kebenaran suatu manhaj, dan pengorbanan besar tidak selalu menandakan keikhlasan! Berapa banyak pihak yang menang sedangkan mereka adalah pelaku bid’ah. Bahkan Syi’ah Qaramithah pernah berkuasa di muka bumi selama seabad atau lebih, padahal mereka telah membantai jama’ah haji, mencongkel Hajar Aswad dari tempatnya, dan berbuat kerusakan di muka bumi. Persia dan Romawi juga pernah berkuasa di muka bumi, demikian pula Tartar, Inggris, dan Amerika; padahal manhaj mereka semuanya rusak. Termasuk para penguasa muslim yang kejam dan bengis, yang menyimpang dari ajaran Islam yang lurus, mereka juga pernah menguasai rakyat mereka selama puluhan tahun.
Sesungguhnya setiap kemenangan dan berkuasanya suatu kaum, tidak harus menunjukkan bahwa yang bersangkutan berada diatas manhaj yang benar. Akan tetapi kaum muslimin harus melihat ucapan dan perbuatannya, apakah sesuai Al Qur’an dan Sunnah, atau sebaliknya. Sebab, berapa banyak orang yang terkorban dalam peperangan, tabah laksana pahlawan, akan tetapi mereka menjadi penghuni neraka? Karena ia melakukan semua itu tidak untuk Allah. Bahkan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kita mendengar ada seseorang yang berperang melawan kaum musyrikin bahkan sempat mengobrak-abrik barisan lawan, hingga orang-orang mengiranya sebagai orang Islam terhebat, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada mereka bahwa lelaki itu termasuk penghuni Neraka! Ketika para sahabat mengikutinya, mereka mendapatinya dalam keadaan naza’ (sakaratul maut)sembari mengatakan: “Sesungguhnya aku berperang demi kaumku”[2]Ia tidak berperang karena Allah, ia berperang demi kepentingan, sementara kemenangan serta ketabahannya di medan perang dibangun atas prinsip yang batil.
Bukannya kita sok tahu tentang niat Hizbullah, sebab tidak ada yang mengetahui isi hati seorang pun kecuali Allah. Akan tetapi kita berbicara tentang keyakinan yang mereka nyatakan, dan bid’ah yang mereka tampakkan. Silakan merujuk kembali makalah yang berjudul: “Saitharah As Syi’ah” (Kekuasaan Syi’ah), niscaya anda akan mendapatkan bagaimana Syi’ah menang dan berkuasa, akan tetapi kemenangannya sama sekali bukan diatas prinsip yang benar, namun semuanya berdasarkan penyimpangan dari jalan yang lurus.
Sikap Ahlussunnah
Keempat, Meskipun perang antara Hizbullah dan Zionis adalah perang demi kepentingan tertentu, bukan berarti kaum muslimin Ahlussunnah tidak perlu mengambil sikap dalam masalah ini. Bahkan dalam hal ini saya berbeda pendapat dengan banyak senior saya dalam masalah ilmu dan dakwah, yang memandang agar masalah ini dibiarkan saja tanpa campur tangan, sebab kedua belah pihak adalah kaum yang sesat. Seorang muslim hendaknya berperan positif dan dapat menilai antara maslahat dan mudharat. Perang ini terjadi antara Zionis yang benar-benar menjajah bumi Palestina, dan Hizbullah yang hidup di bumi yang sebagiannya dijajah oleh Zionis. Dari sini, melemahkan kaum Zionis pada dasarnya merupakan salah satu dari tujuannya, mengingat jelasnya permusuhan kaum Zionis, dan membebaskan bumi Lebanon dari cengkeraman Zionis adalah suatu keharusan.Setelah itu, kaum muslimin hendaknya mulai mengatur masalah mereka dengan strategi yang bisa menjaga hak-hak mereka tanpa terseret kepada Yahudi maupun Hizbullah.
Dulu saya pernah menganggap luar biasa sikap Ahlussunnah di Lebanon tahun 1997 M, saat mereka bergabung dalam jumlah besar ke pasukan perlawanan Lebanon yang berusaha mengusir Yahudi dari Lebanon. Padahal komandonya adalah Hizbullah, dan Hizbullah banyak memanfaatkan perjuangan Ahlussunnah setelah itu dan tidak mau mengakuinya; namun masih saja pandangan kaum muslimin dalam hal ini seperti itu.
Bahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah membantu seorang lelaki musyrik yang datang kepadanya untuk menuntut haknya yang dirampas Abu Jahal. Nabi saat itu tidak mengatakan: “Nantinya lelaki ini akan menggunakan harta yang dirampas Abu Jahal untuk bertaqarrub kepada Latta dan ‘Uzza”, namun beliau tetap membantunya dalam hal ini, kemudian di kesempatan lain beliau mendakwahinya ke jalan Allah.[3]
Kita tidak akan mencampur susu dengan nila, kita tahu bahwa proyek Syi’ah Hizbullah di Lebanon sangat berbahaya, namun di saat yang sama kita juga tahu akan bahaya proyek Zionis di wilayah tersebut.
Kelima, Hasan Nasrullah adalah tokoh kharismatik,artinya, ia adalah sosok yang punya karakter khusus yang dapat mempengaruhi orang-orang di sekitarnya, dapat memimpin massa, dan menggelorakan semangat. Dia termasuk politikus nomor wahid, sangat cerdas dan pandai berbicara… Menurut saya, boleh-boleh saja ia dikagumi sebagai politikus dan ahli strategi. Saya tidak mengkhawatirkan jika ada orang yang mengagumi cara berpidatonya, atau caranya mempermainkan neraca politik… ini semua tidak masalah untuk dirasakan oleh kaum muslimin. Bahkan kalau pun mereka (kaum muslimin) menirunya dalam sebagian hal tersebut, itu juga tidak mengapa.Tapi, yang tidak bisa diterima ialah bila kita mengaguminya sebagai pemimpin Islam yang mengobarkan jihad sesuai perintah Allah. Sebab untuk menjadi pemimpin model ini syaratnya harus memiliki akidah yang lurus dan ibadah yang benar. Ia harus mengikuti Sunnah Nabi dan tunduk pada ayat-ayat Allah, dan semua syarat ini tidak dimiliki oleh Hasan Nasrullah!
Akidah Hasan Nashrullah
Hasan Nashrullah adalah penganut madzhab Syi’ah Itsna ‘Asyriah. Artinya, ia mempercayai sepenuhnya keyakinan madzhab ini. Dia percaya bahwa para sahabat semuanya merebut khilafah dari ‘Ali bin Abi Thalib dan menyerahkannya kepada Abu Bakar, Umar, kemudian Utsman –semoga Allah meridhai mereka semua-. Dia juga meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberi wasiat kepada para imam mereka yang dua belas dengan menyebut nama-nama mereka secara langsung. Dia juga meyakini bahwa para imam semuanya ma’shum, dan imam yang kedua belas telah masuk gua Sirdab dan masih hidup hingga saat ini, dan akan keluar pada suatau hari nanti. Dia juga meyakini bahwa taqiyyah yaitu seseorang menampakkan ucapan/perbuatan yang berbeda dengan keyakinan, merupakan sembilan persepuluh (90%) agama Syi’ah.
Dia juga meyakini bahwa Ahlussunnah adalah golongan yang memusuhi Ahli Bait, padahal Ahlussunnah lah yang lebih menghargai Ahli Bait daripada Syi’ah, namun caranya sesuai ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia juga meyakini bahwa para tokoh imam berhak mengambil seperlima dari penghasilan pribadi setiap penganut Syi’ah. Dia juga meyakini bahwa nikah mut’ah adalah halal; artinya, boleh saja baginya bila seorang pemuda mendatangi pacarnya, atau gadis lain lalu menikahinya selama sehari atau satu jam, demi melampiaskan syahwatnya kepada wanita itu lalu mencerainya. Dia juga meyakini teori wilayatul faqih, dan berangkat dari sini, haram baginya untuk menyelisihi pemimpin revolusi Iran: Ali Khamenei dalam perintah apa pun, demikian dan demikian…
Semua yang saya sebutkan tadi merupakan sebagian dari akidah Hasan Nashrullah yang telah mendarah daging. Sekiranya ada yang mengatakan: “Kita tidak pernah mendengar dia mencaci-maki sahabat, atau menuduh Umahatul Mukminin dengan tuduhan keji?”, maka saya katakan kepada orang-orang tersebut: “Bukan suatu keharusan bagi kita untuk mendengar semua itu darinya agar kita yakin bahwa dia memang mengatakan seperti itu, sebab semua hal tadi merupakan konsekwensi dari ajaran Syi’ah Itsna ‘Asyriyah”. Mungkin anda sendiri tidak pernah mendengar tetangga anda yang muslim mengatakan “Laa ilaaha illallaah,Muhammadun Rasulullah,” akan tetapi anda tahu bahwa tetangga anda meyakini ucapan tersebut, karena dia seorang muslim. Demikian pula seorang Syi’ah Itsna ‘Asyriyah, ia mau tidak mau harus mengimani semua yang saya sebutkan tadi, sebab kalau tidak, dia akan berada di luar madzhab Syi’ah. Sekirnaya Hasan Nashrullah menghargai dan menghormati para sahabat, maka ia tidak mungkin bisa membenarkan pokok-pokok ajaran Syi’ah Itsna ‘Asyriyah, demikian pula dengan jabatan Khalifah yang dipegang oleh Ali, Hasan, Husein, dan imam-imam lainnya.
Jadi, seorang tokoh yang menganut berbagai kesesatan dan bid’ah tadi, sama sekali tidak layak untuk kita kagumi, maupun kita jadikan sebagai pemimpin Islam teladan. Kita hanya boleh mengambil sedikit hal darinya, sebagaimana kita ambil dari orang lain; bukan karena dia itu Islami, tapi karena dia adalah manusia yang memiliki potensi dan keahlian.
Sejarah Islam telah menyaksikan bagaimana kaum Salibis menjajah Palestina dan Syam sebelum ini, dan hal itu terjadi di depan mata daulah Syi’ah yang kuat, yaitu Daulah ‘Ubeidiyyah yang saat itu menguasai Mesir. Pun demikian, kaum muslimin yang sejati di zaman itu tidak menjadikan para pemimpin Daulah Ubeidiyyah sebagai teladan mereka, sebab para pemimpin tadi adalah orang yang rusak akidahnya, meskipun mereka adalah pakar-pakar politik, dan ahli strategi perang. Kaum muslimin hanya melahirkan teladan-teladan mereka yang sejati, hingga muncullah tokoh-tokoh seperti Imaduddien Zanky, Nuruddien Mahmud, dan Shalahuddien Al Ayyubi.
Inilah yang harus menyibukkan kita sekarang… jika kita telah menyaksikan megaproyek Syi’ah, dan telah matang dan berhasil di Iran, Irak serta Lebanon. Lantas di manakah megaproyek Sunni yang menyamai megaproyek Syi’ah, agar kemudian bisa mengunggulinya?!
Kita mengharap kepada salah satu dari sekian banyak pemimpin negara Islam agar merancang megaproyek Sunni tadi, yang berpijak kepada Al Qur’an dan Sunnah, dan berjalan di atas manhaj As Salafus Shalih. Mega proyek yang akan melindungi hak-hak kaum muslimin di muka bumi, dan mendukung Ahlussunnah yang tertindas di Iran, Irak, Lebanon, dan Suriah; dan yang akan tegar menghadapi program-program Zionis dan penjajahan mereka atas negari-negari Islam.
Toh kalau tidak ada seorang pemimpin pun yang mau memikul tanggung jawab ini, maka kita mengajak seluruh rakyat untuk merevisi kembali manhaj mereka dan mengintrospeksi diri agar kembali dengan pasrah dan taat kepada Allah. Sebab Allah tidak akan membiarkan umat tanpa seorang pemimpin yang mukhlis, kecuali jika umat itu sendiri yang menerlantarkan dan menyia-nyiakan agama Allah, sebagaimana mereka menguasai kalian, karena Allah tidakakan berbuat zhalim sedikit pun… maka bela lah agama Allah, agar Allah membela kalian, dan tolonglah ajaran-Nya agar Dia menolong kalian, serta kembalilah kepadaNya, agar Dia menerima kalian, mengampuni dosa kalian, dan membimbing kalian ke jalan yang lurus… (nisyi/syiahindonesia.com)
Sumber: As-Syiah Nidhol am Dholal oleh DR. Raghib As Sirjani.
 [1]Lihat, Musthafa As Siba’I “As Sunnah wa makanatuha fii At Tasyri’ Al Islami” hal; 24, Cet. Daar Al Waraaq, Al Maktab Al Islami.
 [2]Lihat Ibnu Hisyam, “Sirah An Nabawiyah” tahqiq; Mushtahafa As Saqa dan yang lain, Daar Al Ma’rifah Bairut, Juz pertama, hal; 524, 525. Laki-laki tersebut bernama Quzman, salah seorang sekutu Bani Zhafar.
[3]Ibid, Juz Pertama, hal; 389, 390