Pada tanggal
27/11/2012, Harian Republika memuat artikel Haidar Bagir dengan tema
“Proporsional Menyikapi Fatwa”. Pada intinya Haidar menganggap bahwa tulisan
KH. Dr. Ma’ruf Amin yang memperkuat fatwa MUI Sampang dan MUI Jatim kurang
tepat. Anggapan Haidar ini didasarkan karena fatwa MUI Jatim menyatakan Syiah sebagai
aliran sesat seharusnya dibatasi pada kasus Sampang, bukan semua Syiah.
Haidar menyebutkan
bahwa mainstream Syiah
mengharuskan bersikap hormat terhadap Sahabat Nabi. Bahkan untuk meyakinkan
klaimnya ini, ia menyatakan: “Sekadar ilustrasi, dalam buku-buku yang ditulis
para ulama Syiah, kita tak dapat menemui periwayatan “peristiwa al-ifk” yang
melibatkan dakwaan perselingkuhan kepada Siti Aisyah”. Benarkah demikian?
Artikel ini bermaksud menguraikan pandangan beberapa ulama Syiah terkemuka
tentang istri-istri dan Sahabat Nabi yang terabadikan dalam kitab-kitab Syiah.
Dengan demikian diharapkan artikel ini bisa membantu memahami ajaran Syiah dari
sisi yang lebih lengkap, tanpa harus memutuskan hal-hal yang bersifat
mu’amalah.
Pandangan terhadap Istri Nabi.
Berkenaan dengan
“Hadits al-Ifk” atau peristiwa dusta yang dituduhkan kaum munafik terhadap
Aisyah ra., tidak sedikit kitab-kitab ulama Syiah mu’tabar yang membenarkan
tuduhan tersebut. Di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Ali bin Ibrahim
al-Qummi dalam karyanya, “Tafsir al-Qummi”, menyebutkan bahwa maksud kata
“khiyanat” dalam QS. 66:10 adalah perbuatan zina dan keharusan ditegakkan
hukuman kepada Fulanah (Aisyah) yang berselingkuh dengan Fulan dalam suatu
perjalanan. [Darul Kutub, Qum Iran, vol. II, 1387H, hal. 377]. 2) Syeikh ‘Ali
al-‘Amili al-Bayadhi penulis kitab “Shirat al-Mustaqim ila Mustaqqi l-Taqdim”,
melabeli istri Nabi dalam satu fasal dengan sebutan Ummu l-Syurur (ibu
kejahatan) terkait dengan peristiwa “Jamal”. Ia menyesalkan kenapa kaum
muslimin masih mengambil periwayatan hadits darinya, padahal seperti disebut
dalam QS. 33:33 Aisyah telah mengingkari perintah Tuhan dan Nabinya untuk
berdiam di rumah. (vol. III, hal. 161). Syeikh ‘Ali al-‘Amili juga menjelaskan
bahwa maksud orang-orang yang dibersihkan dari tuduhan zina dalam QS. 24: 26
adalah untuk Rasulullah saja, bukan untuk Aisyah.
3) Dalam “Kitab
al-Thaharah”, pemimpin revolusi Iran, Imam al-Khumaini menyatakan bahwa
‘Aisyah, Thalhah, Zubair, Mu’awiyah dan orang-orang sejenisnya meskipun secara
lahiriyah tidak najis, tapi mereka lebih buruk dan menjijikkan daripada anjing
dan babi. (vol. III, hal. 457). 4) al-Tabarsi, al-Ihtijaj menjelaskan bahwa
kemuliaan istri-istri nabi tetap terjaga selama mereka mentaati Allah, namun
kemuliaan itu gugur dan tidak layak disebut ummul mukminin ketika salah seorang
dari mereka melawan kepemimpinan Ali dalam peristiwa Jamal (1421H, hal. 463).
4) Muhammad al-‘Iyasyi dalam karyanya, “Tafsir al-‘Iyasyi” menukil periwayatan
‘Abdu l-Shamad ibn Basyir bahwa penyebab kematian Rasulullah karena diracun
oleh Abu Bakar, Umar dan kedua putrinya. maka empat tokoh itu disebut sebagai
makhluk Allah yang paling buruk. (vol I, hal. 342). Berkenaan dengan QS. 16:92,
Al-‘Iyasyi mengatakan bahwa yang maksud ayat itu adalah Aisyah telah mengurai
keimanannya. [vol. III, hal 22].
Pandangan terhadap Sahabat
Nabi.
Banyak di kalangan
ulama Syiah terkemuka yang berpendapat bahwa melaknat dan menista para Sahabat
Nabi diyakini sebagai ibadah dan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Pelaknatan ini sering dibaca setiap selesai shalat wajib (lihat: Imam
al-Kulaini, al-Kafi, vol. III, hal. 194, Muhammad al-Tuursiirkani, Kitab La-aliul Akhbar, vol.
IV, hal. 92). Bahkan Doa dan wirid yang berisikan laknat terhadap Sahabat
diyakini lebih utama daripada bersalawat atas Nabi, mengucapkan dan menjawab
salam. (Kitab Majma’ al-Nuraini wa Multaqa l-Bahraini, vol. II, hal. 292)
Maka tidak aneh jika
di antara mereka menulis satu kitab khusus untuk menista Umar, mertua Nabi dan
menantu Ali dengan tema: ‘Iqdu l-Durari fi Idkhal al-surur ‘ala binti sayyidil Basyar.Namun
penulisnya seperti dikatakan dalam mukaddimah kitab, lebih suka menyebut
kitabnya dengan ‘Iqdu l-Durari fi Baqri Bathni
‘Umar (=Kalung
Permata tentang Mutilasi Perut Umar).
Sebagai bentuk taqarrub, tidak
sedikit kitab-kitab Syiah yang mengemas pelaknatan Sahabat dalam bentuk doa.
Salah satunya adalah “Doa Dua Berhala Quraisy” dalam kitab al-Misbahyang
ditulis oleh Syeikh al-Kaf’ami. Doa yang ditujukan melaknat Abu Bakar dan Umar
ini diyakini memiliki derajat yang tinggi dan merupakan zikir yang mulia. Bagi
kaum Syiah bahwa siapa yang membaca doa ini akan dicukupi kebutuhannya dan
dikabulkan cita-citanya. Bahkan disebutkan pahalanya seperti para pemanah yang
menyertai Nabi pada perang Badar dan Hunain dengan satu juta anak panah.
Sebelum melantunkan doa, dianjurkan memukul paha kanan tiga kali dan
mengucapkan: “Ya Maulaya, Ya Sahibazzaman”, kemudian melafalkan doa Dua Berhala
Quraisy. (Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, al-Najaf al-Asyraf, cet. II, 1349H: 552).
Hal senada juga diamini oleh Syeikh Muhammad Baqir al-Majlisi dalam karyanya
Bihar al-Anwar (vol. 50, cet. III, 1983:316)
Penistaan terhadap
Sahabat juga dilakukan oleh Ni’matullah Jazairi dalam “al-Anwar al-Nu’maniyah”.
Dia menuduh Abu Bakar ra., berbuat syirik dengan memakai kalung berhala saat
shalat di belakang Nabi dan bersujud untuknya. (vol. I, hal. 53). Sementara itu
dalam kitab “Ilzaam al-Naashib Fii Itsbaatil-Hujjah Al-Ghaaib” Abu Bakr dan
‘Umar disebut sebagai Fir’aun dan Haman. (vol. II hal. 231). Dan masih banyak
lagi kitab-kitab Syiah yang menjadi saksi atas ritual menista para Sahabat ini.
Dengan perkembangan teknologi informasi semuanya bisa diperoleh melalui
internet, termasuk kitab-kitab versi PDF yang ditulis oleh ulama Syiah atau
berbagai buku yang berkenaan dengannya semisal ‘Ulama l-Syi’ah Yaqulun.
Memang diperlukan
kehati-hatian dalam menyikapi aliran Syiah yang telah eksis berabad-abad ini.
Terlebih lagi aliran Syiah tidak tunggal, tetapi terpecah dalam sekte-sekte,
salah satunya adalah Rafidhah yang
jelas penyimpangannya. Menurut Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah,
sekte Syiah yang tergolong rafidhah adalah Syiah Itsna ‘Asyriyah dan Isma
’iliyyah. Penyebutan rafidhah karena mereka menolak pernyataan Imam Zaid bin
Ali yang tetap memuliakan Abu Bakar dan Umar ketika beliau diminta untuk
menista keduanya. Maka berdasarkan peristiwa itu, Ahlussunnah, Syiah Zaidiyyah
dan Ibadhiyah menyematkan lebel ini untuk Syiah Itsna ‘Asyriyah dan Isma ’iliyyah.
(vol. I, hal. 35). Maka jika demikian halnya, fatwa MUI Jatim ini bisa disebut on the right track. Wallahu
A’lam wa Ahkam bi l-Sawab.
http://www.miumipusat.org/index.php?option=com_content&view=article&id=154%3Afatwa-amanah-diniyah-atau-kompromi-politis&catid=41%3Aartikel-umum&Itemid=71&lang=en