Baca Artikel sebelumnya :
Hinaan Al-Khomainiy terhadap Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam
Pandangan Imam Khomeini Dalam Kitab Al-Hukumah
Al-Islamiah Dan Kasyfu Al-Asrar
Hakekat Imam Khomeini
Syiah dan Kitab-Kitab Perusak Kehormatan Rasulullah
Menguak kesesatan syiah
Nasarudin Umar: “Semua Kitab Suci Bias Gender!”
Dalam
studi Al-Qur’an kontemporer, Al-Qur’an
diasumsikan sebagai produk sebuah budaya tertentu (muntâj tsaqâfi).
Artinya, beberapa kandungan Al-Qur’an ditegaskan sebagai refleksi atas persentuhannya dengan kondisi
sosial-budaya di mana Al-Quran diturunkan. Untuk itu, selain diyakini
mengandung ajaran-ajaran universal dari Allah, Al-Qur’an juga dianggap berhasil
berdamai dengan beberapa tradisi setempat dan ketika itu (tradisi Arab).
Persoalan kemudian muncul ketika tradisi tersebut sudah
tak sesuai lagi dengan semangat zaman sekarang. Misalnya kita lihat dalam
persoalan-persoalan perempuan. Padahal kitab suci sudah berkompromi,
bahkan dalam beberapa hal mengakomodasinya. Bagaimana mengurai persoalan keterkaitan antara kitab suci
dan unsur budaya ini?
Pakar ilmu
Al-Qur’an, Prof Dr Nasaruddin Umar,
yang menjabat Guru Besar Tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah persoalan-persoalan itu kepada Nong Darol Mahmada dan Novriantoni
dari Jaringan Islam Liberal (JIL). Berikut paparan lengkapnya:
Pak
Nasar, Anda sangat serius melakukan kajian tentang perempuan dalam teks-teks
suci agama, khususnya teks Islam. Baru-baru ini, Anda juga melakukan riset
pustaka selama setahun lebih di perpustakaan Universitas di Amerika dan
Inggris. Apa temuan terbaru Anda dari riset tersebut?
Pertama, saya ini belum ada apa-apanya. Kajian saya mungkin juga tidak terlalu
serius, hanya saja tetap konsisten. Artinya apa yang saya katakan tentang perempuan dan kitab suci, dari
dulu sampai sekarang tetap pada pendirian yang semula. Tapi saya akan
terus meneliti dan meneliti lagi untuk mengetahui apakah temuan saya –yang akan
diperkenalkan kepada masyarakat– mengandung kelemahan, perlu direvisi, dan
sebagainya.
Di Inggris kemarin,
saya mencoba meneliti kitab Talmud, dan kitab-kitab sumber Yahudi lainnya. Di
SOAS University of London, literatur-literatur, khususnya tentang Yahudi sangat
bagus. Menurut saya kajian literatur Yahudi ini penting untuk menunjang kajian
saya tentang perempuan.
Saya tidak tahu
mengapa di negara-negara Islam, kepustakaan atau literatur Yahudi seperti
barang yang haram masuk perpustakaan. Padahal menurut saya, banyak sekali unsur
penting yang perlu kita ketahui dari literatur Yahudi.
Bagaimanapun juga,
persoalan Yahudi ini mendapatkan pengakuan Al-Qur’an sehingga merangsang kita
untuk menelitinya. Kata yahûdiyyan berapa kali muncul dalam Al-Qur’an.
Makanya, kalau saya ingin mendapat konfirmasi langsung dari teks asli Yahudi,
saya harus bekerja keras karena harus belajar bahasa Hebro. Sebab, teks Yahudi
pada umumnya menggunakan bahasa Hebro.
Itu
spesifik untuk meneliti topik perempun?
Ya. Saya konsisten pada bidang itu. Saya mencoba memahami pelbagai kitab suci
untuk mengetahui bagaimana pandangan kitab suci-kitab suci terhadap perempuan. Ironisnya, yang saya temukan,
bukan hanya di dalam Al-Qur’an yang tidak memberikan tempat yang layak terhadap
perempuan, tapi
juga Bible dan kitab-kitab suci agama lainnya, seperti kitab Konghucu dan Budha,
bahkan kitab klasik seperti Talmud. Makanya, saya berpikir pasti ada yang salah di sini.
Saya mencoba melihat akar permasalahannya ada di mana.
Dalam buku terakhir
saya, Teologi
Perempuan: Antara Mitos dan Kitab Suci, saya menemukan dua unsur
penting yang berkontribusi dalam pembangunan wacana keagamaan yang bias gender
tentang perempuan, yakni faktor
teologi dan mitos.
Jadi terkadang dasarnya mitos, tapi dianggap kitab suci. Dari sinilah saya mencoba mengklarifikasi yang mana
kitab suci dan yang mana mitos; yang mana budaya Arab dan yang mana doktrin
Islam. Poin ini kan perlu kita clear-kan.
Dalam
proses pemilahan itu, apakah juga ditemukan kombinasi antara teologi dan mitos
yang saling berkaitan dalam kitab suci?
Betul. Memang problem kita selama ini, bukan hanya pemikir Islam tapi juga
para schoolars Kristen
dan Yahudi, selalu tentang bagaimana memahami kitab suci, dan bagaimana
membersihkan tafsirnya yang telah sekian menyimpang, misalnya.
Nah, ini merupakan
suatu persoalan tersendiri. Dalam Islam, ada satu hal lagi yang sangat penting
untuk kita kenal, yaitu persoalan pergolakan politik.
Persoalan politik
itu misalnya tentang kenapa Islam yang turun di pusatnya di Mekah dan Madinah,
karena persaingan politik antara Ali dan Mu’awiyah justru dipindahkan ke
Damaskus? Pada waktu itu, Ali menguasai basis massanya di Mekah dan Madinah,
sementara Mu’awiyah yang tidak mendapat basis yang kuat di tempat itu, akhirnya
memindahkan ibu kota politik Islam ke Damaskus.
Kita tahu peta
Damaskus (Syiria sekarang) sangat dipengaruhi kekuatan-kekuatan kultur
Yunani-Yahudi, karena daerah ini pernah menjadi wilayah jajahan
Romawi-Bizantium. Nah, di sinilah kita mengenal kitab-kitab kuning itu disusun.
Jadi kontaminasi local culture (kultur lokal), Hellenisme, budaya
Yunani yang termasuk misoginis sangat kuat dalam masyarakat Damaskus ketika
itu.
Apa Anda ingin menegaskan bahwa dalam
kitab suci, sebetulnya pandangan yang misoginis atas perempuan itu kurang kuat,
tapi karena perbauran dengan budaya tertentu, akhirnya pandangan keagamaan
tentang perempuan jadi bertambah buruk?
Saya kira persis seperti itu.
Karena memang tidak ada kita suci yang diturunkan dalam masyarakat yang hampa
budaya. Tidak ada kitab suci yang diturunkan di sebuah wilayah geografis tanpa
manusia. Semua kitab suci, termasuk Al-Qur’an, diturunkan dalam masyarakat yang
sudah syarat dengan ikatan-ikatan primordial dan norma kearabannya.
Karena itu, ada pola dialektik tersendiri bagaimana kitab
suci menyesuaikan dirinya dengan nilai lokal. Nah,
dalam Islam sendiri kita mengenal proses tasyri’ dan tadrîj, yaitu
berangusur-angsurnya Tuhan dalam memperkenalkan konsep normatifnya. Ada juga
prinsip‘adamul haraj,
atau menghindari ketegangan dan kesulitan; al-taqlîlut taqlîfî,sedikit demi
sedikit bukan langsung dibom.
Dari sini kita sadar bahwa Allah sadar betul kalau Dia menurunkan
Islam dalam masyarakat yang syarat dengan budaya. Maka ada proses sosialisasi yang bertahap. Contohnya,
masyarakat Arab adalah masyarakat rentenir.
Rentenir itu kan kegiatan
yang mengeksploitasi keringat orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Maka
selama 23 tahun, Tuhan menurunkan lebih dari delapan ayat yang melarangnya
untuk sampai pada ayat pemungkas: wa ahallalLâhul bai’ waharramar ribâ.
Pengharaman terhadap
riba itu dilakukan secara bertahap. Ini berlaku sama dengan pengharaman minuman
keras. Tuhan tahu betul bahwa minuman keras adalah bagian dari budaya
masyarakat Arab, makanya setelah melalui penahapan larangan, (ayat) yang
keempat baru sampai ke situ (pengharaman). Jadi tidak langsung membongkar
nilai-nilai yang ada sebelumnya; tidak ada semacam revolusi di situ. Yang ada
merupakan proses evolusi.
Kalau
dalam Al-Qur’an ada proses evolusi, apakah di Talmud juga ada proses seperti
itu?
Pertama-tama, saya ingin jelaskan apa yang dimaksud dengan Talmud. Sebetulnya,
Talmud itu bukanlah kitab suci, tapi tafsiran atas Perjanjian Lama. Jadi
semacam tafsiran atas Taurat sebagaimana kita mengenal Tafsir Al-Marâghî,
Al-Manâr, dan lain sebagainya. Talmud terbagi dua. Pertama Talmud Babilonia
yang sangat tebal. Versi yang saya punya berjumlah 20 jilid. Kedua Talmud
Palestina yang agak tipis.
Nah, beberapa pendapat dalam Talmud, menurut pengamatan
saya banyak sekali kemiripannya dengan pendapat beberapa ulama kita dalam kitab
fikih. Sebagaimana yang saya katakan dari awal, seandainya literatur-literatur
Yahudi ini diperkenankan dalam perpustakaan Islam, mungkin kita akan dapat
melihat kedekatan antara literatur Yahudi dan Islam.
Tapi sayangnya
sampai sekarang kita masih anti-Yahudi, meskipun kita tidak sadar sesungguhnya ada unsur-unsur
kitab Yahudi yang ikut dalam alam bawah sadar kita. Misalnya tentang bagaimana
perlakuan kita terhadap perempuan.
Sejauh ini saya dapat melihat bagimana kosmologi Yahudi
terhadap urusan perempuan masuk dalam kosmologi Islam melalui akomodasi budaya
seperti di Damaskus tadi; tempat kitab kuning ditulis, kitab-kitab hadis
dibukukan, dan kitab tafsir dikompilasi.
Mungkin soal politik
juga ikut memengaruhi pandangan agama tentang perempuan. Kita tahu, ketika
tejadi persaingan politik antara Mu’awiyah dan Ali, ibu kota politik Islam
kemudian dipindahkan dari Madinah ke Damaskus. Tapi dalam sejarah berikutnya,
Mu’awiyah kalah dari Abbasiyyah. Dan Abbasiyyah juga tidak mengembalikan ibu kota
politik ke Mekah atau Madinah, malah menariknya jauh ke timur, tepatnya di
Baghdad.
Kita tahu, di Baghdad sudah berkembang suatu kekuatan
budaya yang tinggi, yaitu Sasania atau Persia. Tradisi Persian ini juga dikenal
sangat misoginis, alias anti perempuan. Di situ juga kegiatan penulisan
kitab-kitab kuning tetap dilanjutkan. Jadi, pengaruh lokal terhadap wawasan
keagamaan, terutama perumusan kitab-kitab kuning memang besar sekali.
Tadi
diandaikan kitab suci selalu mengakomodasi kondisi sosial budaya yang ada. Tapi
masalahnya, kalau sebuah budaya sudah diakomodasi dalam pandangan kitab suci,
tentu wawasannya akan susah sekali untuk diubah. Misalnya dalam soal akomodasi
kitab suci atas budaya poligami.
Saya kira, kalau agama ingin hidup di suatu masyarakat, maka dia tidak boleh
melakukan pengguntingan tradisi secara radikal dalam masyarakat itu sendiri.
Kalau itu yang terjadi, agama itu pasti tidak akan laris dalam masyarakat. Saya
ingin mencontohkan bagaimana dialektika Islam menghampiri masyarakatnya.
Pertama, yang dihampiri Al-Qur’an selalu adalah kaum elite,
karena masyarakat Arab bersifat sangat paternalistik. Asumsinya, kalau
merangkul golongan elite, otomatis rakyatnya terangkul di situ. Masyarakat di
sana juga patriarkis. Asumsinya, jika merangkul kaum laki-laki, otomatis
perempuannya tunduk di situ.
Inilah siasat
sosialisasi Al-Qur’an. Makanya kita jangan menganggap Al-Qur’an itu patriarkis
dan paternalistis, melainkan ia hanya mengakomodir kondisi objektif dari kultur
masyarakat yang sedemikian. Mungkin ada contoh terbaik juga bagaimana Al-Qur’an
memberikan pembebasan terhadap perempuan.
Sebelum Al-Qur’an
turun, perempuan tidak boleh mendapat warisan sama sekali, bahkan tidak semua
laki-laki mendapt warisan. Yang boleh mendapat warisan hanya laki-laki yang
kuat mengangkat pedang. Sekalipun laki-laki, tapi masih kanak-kanak atau uzur,
maka dia tidak boleh mendapat warisan.
Islam datang dengan
ajaran, jangankan laki-laki sepun dan kanak-kanak, perempuan pun boleh mewarisi
mekipun satu berbanding dua jatah laki-laki. Dulu perempuan jangan bermimpi
akan menjadi saksi dalam suatu perkara, karena saksi itu bagian dari dunia
publik. Yang bisa menjadi saksi adalah laki-laki saja. Tapi Islam datang
membenarkan perempuan menjadi saksi.
Tapi
kesadaran akan historisitas Al-Qur’an itu sangat lemah. Bagaimana kita bisa
melakukan penasiran ulang atas Al-Qur’an pada zaman kini?
Itu hanya persoalan metodologi. Artinya, sosulisnya juga adalah metodologi.
Misalnya, Islam datang untuk membebaskan kelompok yang tertindas. Dulu anak
perempuan tidak pernah diakikahkah, sekarang jadi boleh. Dulu kalau perempuan
dibunuh, tidak ada aturan tebusannya. Kalau yang dibunuh laki-laki, tebusannya
tergantung stratifikasi sosialnya; kalau golongan bangsawan 100 unta, bukan bangsawan
50 unta. Kemudian Islam datang dengan ketentuan tebusan 50 unta untuk
(pembunuhan) perempuan, dan 100 unta untuk laki-laki.
Jadi ada masa transisi yang digagas Islam sebagaimana juga
persoalan poligami tadi. Yaitu transisi bagaimana Islam membebaskan umatnya
dari masyarakat poligami. Dulu ada orang Arab yang punya
istri sepuluh, lalu nabi mensyaratkan untuk memilih empat di antara mereka
kalau mau masuk Islam. Kalau nabi mengatakan untuk memilih satu saja, tentu
terlalu drastis. Kalau Islam langsung mengharamkan riba begitu ayat pertama
turun, maka akan banyak yang berpaling dan Islam akan ditinggalkan.
Tapi
tafsiran yang ortodoks atas ayat-ayat Al-Qur’an itu bisa saja mengatakan,
“Inilah kadar terjauh yang bisa diberikan Al-Qur’an untuk perempuan. Dan inilah
perkataan Tuhan tentang pokok soal ini!” Bagaimana bisa mengubah pandangan
sedemikian?
Sebetulnya semua ayat-ayat hukum tentang perempuan, sejauh yang saya kenal
punya sebab nuzul. Artinya semua punya historical background. Dalam hal ini berlaku
pertanyaan: mana yang harus dijadikan pegangan, apakah sebuah teks atau historical background-nya?
Ada yang
mengatakan al-‘ibrah
bi ‘umumil lafadz lâ bi khusûsis sabab, yang dipegang adalah
universalitas teks, bukan partikulariltas sebab. Tapi ada juga pendapat lain.
Al-Syâtibî mengatakan, al-‘ibrah bi maqâshidis syarî’ah, yang harus
dijadikan pegangan adalah apa yang menjadi tujuan dari syari’ah. Ini kan pembahasannya
sangat ushul fiqh, tapi sangat penting.
Menurut saya, dalam Al-Qur’an itu ada persoalan yang
dituntaskan, dan ada yang belum tuntas.
Misalnya soal riba dan minuman keras. Bahasannya tuntas sampai titik zero:
haram bagi riba dan minuman keras. Tapi juga ada persoalan yang bertahap, belum sampai pada titik zero,
misalnya soal perbudakan.
Sampai nabi
meninggal dunia, soal perbudakan masih saja ada. Untungnya sekarang tidak ada
lagi sistim itu. Nah, coba bayangkan bagaimana dialektika Al-Qur’an dalam
menghapuskan soal perbudakan. Setiap orang yang melakukan pidana tertentu harus
membebaskan seorang budak. Sekian banyak tindak kriminal harus ditebus dengan
membebaskan budak; sumpah palsu, bersetubuh pada siang hari bulan Ramadan, dan
lain-lain.
Tapi ironisnya mengapa tidak ada
ulama Islam yang memelopori perngharaman perbudakan, tapi justru UU Amerika
yang pertama kali melarangnya di bawah Lincoln.
Itulah persoalannya. Kalau
kita tarik seperti garis lurus, persoalan ini seperti piramida terbalik. Belum
sampai pada ujung persoalan, Al-Qur’an sudah terhenti dengan wafatnya nabi.
Tapi kalau logikanya kita
tarik ke bawah, kita akan tiba pada sebuah titik di mana sesungguhnya
perbudakan itu akan
dihapuskan oleh konsep Al-Qur’an. Bisa dibayangkan, tidak mungkin akan
ada budak lagi, kalau setiap pelaku kriminal tertentu dalam agama harus
membebaskan budak.
Itu tadi soal perbudakan yang evolusinya positif. Tapi
dalam soal perempuan nampaknya berbeda. Pada periode akhir hidupnya, Nabi malah
terlihat sangat protektif terhadap perempuan. Misalnya dengan turunnya
ayat-ayat hijab.
Kenapa pada masa
akhir hidupnya Nabi malah menampilkan proteksi terhadap perempuan? Kita jangan
lupa tentang peristiwa yang sangat penting untuk kita kaji dalam konteks ini,
yaitu apa yang biasa disebut haditsul ifk, tuduhan bohong. Yaitu tentang tuduhan
Aisyah berselingkuh oleh seorang munafik.
Jadi, apa yang
disebut “skandal Aisyah” menurut versi Barat itu, menyebabkan nabi berindak
protektif terhadap perempuan. Sesungguhnya kalau kita lihat di surat Al-Ahzab, proteksinya juga
bukan pada semua perempuan, tapi khusus pada keluarga nabi sendiri. Jadi kepada
istri dan keluarga dekatnya, ahlul bait, tidak universal berlaku untuk seluruh
perempuan.
Tapi memang kita perlu akui bahwa kondisis politik
setelah nabi wafat dan Islam berada di tangan penguasa Dinasti Umawiyyah maupun
Abbasiyyah, membuat kedudukan perempuan kembali ke zaman jahiliyah. Waktu masa nabi sudah tidak populer apa yang disebut
dunia pergundikan.
Tapi Muawiyah
mengintroduser kembali adat lokal yang tidak mengharamkan pergundikan. Malah
kalau kita membaca masa Abbasiyyah lebih parah lagi. Menurut penelitian Fatimah
Mernissi, hanya empat khalifah Abbasiyyah yang lahir dari istri yang sah
sebagai istri pertama khalifah, selebihnya adalah dari gundik-gundik.
Intinya misi pembebasan Islam
terhadap perempuan belum tuntas dan mungkin tidak akan pernah tuntas?
Tergantung apa pengertian kita tentang tuntas. Kalau kita lihat dari dimensi
Islam sebagai sistem yang kâffah, sebagai prinsip-prinsip dasar, maka Al-Qur’an
sendiri mengatakan “mâ farrathnâ fil kitâb min syai” tak ada yang Kami abaikan
dalam AL-Kitab. Semua tercakup dalam Al-Qur’an, dalam pengertian garis-garis
dasarnya. Sementara pendetailan hukum kemanusiaan itu merupakan tugas manusia
yang punya rasio.
Manusia punya
kemampuan melakukan sinergi dan berdemokrasi satu sama lain. Nah, dari sini apa
yang disepakati oleh mayoritas, dengan standar ayat yang sudah ada tadi, pasti
akan bermuara pada sebuah tujuan kemanusiaan yang ideal. Saya optimis, kalau
kita mau membaca ulang Al-Qur’an, dengan mengambil pesan umumnya, pasti yang
terjadi adalah dunia kemanusiaan yang sangat ideal.
Artinya di sini nalar publik bisa
saja menganulir beberapa teks yang misoginis terhadap perempuan?
Terutama penafsirannya. Jadi bukan teks kitab sucinya, karena teks kitab suci yang sangat rill
sebetulnya sangat sedikit. Banyak sekali yang kita sangka kitab suci, padahal sesungguhnya bukan
kitab suci. Lain kitab fikih, lain kitab suci. Bahkan lain tafsir, lain
pula Al-Qur’an; lain terjemah, lain pula Al-Qurannya. Sebab, potensi reduksi
akan selalu ada ketika kita menerjemahkan Al-Qur’an; apakah terjemahan ke dalam
bahasa Indonesia, ataupun bahasa lainnya.
Demi
melihat studi-studi Al-Qur’an kontemporer tantang perempuan, bagaimana Anda
melihat prospek keadilan gender?
Sejauh yang saya pelajari, Al-Qur’an memberikan kebebasan luar biasa terhadap
perempuan. Makanya dalam beberapa penelitian tentang kitab suci ditegaskan,
tidak ada sistem nilai yang memberi pengakuan luar biasa terhadap perempuan
selain sistim nilai yang dikandung Al-Qur’an.
Itu dikatakan juga oleh
teman saya yang sekular dan non-Islam yang bukunya tersohor dimana-mana. Jadi
dengan objekitf kalau kita melihat konteksnya, Al-Qur’anlah satu-satunya sistem
nilai yang paling pertama memberi pengakuan terhadap hak-hak perempuan.
Dibandingkan
dengan kitab-kitab suci lainnya?
Ya. Mungkin persoalannya
karena kita sekarang langsung mengonfirmasikannya dengan persaolan-persoalan
seperti warisan perempuan yang satu berbanding dua laki-laki, persaksiannya
juga satu banding dua, akikahnya juga satu kambing (untuk perempuan) berbanding
dua (untuk laki-laki), ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin, dan soal hak
talak yang lebih rumit. Mungkin juga karena kalau kita baca kitab-kitab fikih, perempuan
adalah subordinasi laki-laki. Jadi seolah-olah Islam menempatkan perempuan itu
di kelas dua.
Mana
perbandingannya dengan kitab lain?
Saya pernah membaca teks suci
yang paling tua, yaitu teks hukum Hammurabi
(Hammurabi code). Teks ini luar biasa
berumur, sejak sekitar 3500 SM. Teks aslinya lalu saya foto copy. Dalam sebuah
pasalnya disebutkan, kalau seorang suami meninggal, maka ia harus disusul istrinya.
Perempuan juga tidak berhak melangsungkan akad perjanjian. Hak akad perjanjian
hanya ada pada laki-laki, perempuan tidak boleh. Bayangkan saja!
Nasr Hamid Abu Zaid dalam karyanya Mafhum
An-Nash belum terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran posmodern
sebagaimana Arkoun. Dia belum terjerumus jauh ke dalam pemikiran-pemikiran
seperti Foucault, Nietzchze, Diedro dan lainnya. Nasr Hamid sebetulnya merujuk
kepada Descartes dan gagasan skeptismenya dan lebih terpengaruh lagi secara
langsung oleh pemikiran guru besar sastra Arab, Thaha Husein. Abu Zaid kemudian
meletakkan metodologi berupa pendekatan teks Al-Quran dengan mengasumsikannya
sebagai produk kebudayaan (muntaj tsaqafi). Dia tidak membuat
perkecualian atas Al-Quran sebagai teks Ilahi yang bersumber dari Tuhan. Yang
penting bagi Abu Zaid, teks itu telah membahasa, sementara bahasa bukanlah
wadah yang hampa, tapi merupakan perangkat kebudayaan dan pengetahuan. Dengan
asumsi demikian, Al-Quran mungkin untuk didekati melalui pintu masuk
kebudayaan, karena dia produk kebudayaan.
Dan berikut ini kutipan-kutipan dari buku
Mafhum Nash yang kami anggap penting sebab mewakili metodologi dan
gagasan-gagasannya.
Pembahasan tentang teks sebenarnya tak lain
adalah pembahasan tentang substansi Al-Quran, dan watak dasarnya sebagai teks
bahasa. (hal. 12)
Sesungguhnya studi sastra, yang porosnya
adalah konsep tentang teks (mafhum nash), cukup memadai untuk mewujudkan
kesadaran ilmiah yang melampaui doktrin ideologis yang berkembang secara kuat
dalam kebudayaan dan pemikiran kita. (hal. 13)
Teks pada hakikat dan esensinya adalah produk
kebudayaan (muntaj tsaqafi). Maksudnya, dia terbentuk dalam dunia
realitas dan dunia kebudayaan, dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun.
Kalau sekiranya kenyataan ini sudah menjadi aksioma yang disepakati, maka
praasumsi yang berkeyakinan akan adanya semacam metafisika yang mendahului
teks, tak lain hanya berkepentingan untuk mengubur kenyataan aksiomatik itu,
dan berikutnya menghadang pemahaman ilmiah atas fenomena teks. (hal. 27)
Sesungguhnya Al-Quran mensifati dirinya
sebagai pesan (risalah) yang melambangkan hubungan komunikatif antara
pengirim (almursil, Allah) dengan penerima pertama (almustaqbilul
awwal, Nabi) melalui suatu kode tertentu (syafrah). Ketika pengirim
tidak mungkin untuk dijadikan kajian ilmiah, maka sudah sewajarnya kalau
realitas dan kebudayaan menjadi pintu masuk yang empirik untuk kajian teks
Al-Quran. Realitas di sini adalah realitas yang mengatur dinamika
manusia-manusia yang menjadi audiens (al-mukhatabin) teks tersebut, dan
mengatur penerima pertama teks tersebut, yaitu Rasul. Adapun yang dimaksud
dengan kebudayaan di sini adalah keebudayaan yang dipersonifikasikan di dalam
bahasa. Dengan penjelasan demikian, maka studi teks melalui medium budaya dan
realitas, sama artinya dengan memulainya dengan fakta-fakta empirik. (hal. 28)
Teks (maksudnya Al-Quran), sejak pertama kali
turun dengan pembacaan Nabi pertama kali atasnya dalam peristiwa pewahyuan,
sudah mengalami perubahan dari teks ilahi menjadi wujud pemahaman manusia. Dia
sudah mengakami perubahan dari proses tanzil (turun) kepada
proses takwil (penakwilan). Sesungguhnya, pemahaman Nabi
terhadap teks merupakan fase pertama dinamika sebuah teks berinteraksi dengan
nalar manusia. Makanya tidak penting untuk melirik anggapan-anggapan wacana
keagamaan tentang persis-tepatnya pemahaman Nabi terhadap makna subjektif teks.
(hal. 27)
Realitaslah yang menjadi dasar (pemahaman
Al-Quran), dan dia tidak mungkin untuk diabaikan. Dari realitaslah teks menjadi
dan dari bahasa dan budayanya lah metodologinya dibentuk. Makanya, yang pertama
adalah realitas, kedua realitas dan terakhir realitas. Menabaikan realitas demi
teks beku dan stagnan makna dan penunjuknya akan menjadikan keduanya mitos.
(hal. 105)
Sesungguhnya krisis pemikiran yang dialami
Nasr Abi Zaid dan sebelumnya Thaha Husein, terletak pada keterpesonaan mereka
akan pemikiran kalangan orientalis yang secara metodologis selalu menjauhkan
diri dari penghargaan terhadap gagasan tentang Tuhan. Dengan begitu, mereka
terjebak mempeerlakukan Al-Quran sebagaimana kitab lainnya sebagai produk
kebudayaan. Dan kalau bukan karena ambisi popularitas yang kuat, mungkin tidak
sulit bagi Nasr Abu Zaid untuk menjadi lebih brilian dari para orientalis
sendiri. Sebab, ia beriman kepada Allah. Dan dengan unsur keimanan ini
memungkinkan ia untuk sampai pada pencapaian yang belum dapat dilakukan oleh
kalangan orientalis.
Sejarah kalangan Muntazilah yang terpesona
dengan filsafat Ynani berulang lagi pada figur seperti Nasr Abu Zaid ini.
Dulunya Muktazilah menggunakan filsafat Yunani untuk menguatkan bukti keesaan
dan kesucian Tuhan, tanpa menempuh jalan yang digariskan oleh Al-Quran. Tidak
ada perbedaan antara ungkapan-ungkapan Nasr Abu Zaid yang mengatakan “kalau dia
(Al-Quran) itu betul-betul kalam Ilahi, maka dia tetaplah fenomena sejarah.
Sebab setiap perilaku Tuhan merupakan sebuah aksi di dalam dunia ciptaan-Nya
yang baharu dan historis. Demikian juga halnya dengan Al-Quran. Dia merupakan
fenomena sejarah kalau dilihat dari sisinya sebagai manifestasi kalam Ilahi,
sekalupun merupakan manifestasi yang paling utuh, sebab dia adalah yang paling
akhir”. Ungkapan demikian sama dengan pemikiran Muktazilah tentang kemanusiaan
Al-Quran (basyariyyatuk quran); bahwa Al-Quran ditinjau dari sisi
kalimat, huruf, suara, tinta yang tertulis dalam sebuah lembaran, merupakan
makhluk baharu. Bahkan dengan sifat-sifat demikian dia bisa menjadi aksi
manusia yang bercakap-cakap dengannya, yang membacanya atau pun menulis
ayat-ayatnya. Mayoitas mereka juga mengatakan bahwa Al-Quran sebagaimana yang
kita ceritakan sekarang ini, tidak sama dengan yang diceritakan dari Allah. Dan
cerita tentang Al-Quran itu tidak terceritakan, sementara yang kita ceritakan
tak lebih hanya pembicaraan, suara, huruf dan tulisan. Sementara yang
diungkapkan dari Allah adalah makna, dan Rasulullah mengekspresikan makna tersebut
dengan bahasa Arab, sebagai bahasa diturunkannya Al-Quran.
Atas asumsi itu, Muktazilah menegaskan bahwa
ungkapan Al-Quran sebagai makhluk, berarti sama dengan ungkapan tentang
kemanusiaan kitab tersebut dari segi bahasa, suara, huruf dan dialek. Kesemua
itu merupakan upaya manusia yang kemudian membuahkan kaidah-kaidah yang
disepakati dan ditaati. Itu semua pada akhirnya akan memberikan akal manusia
ruang yang lebih lapang untuk melakukan penalaran atas kitab tersebut melalui
medium tafsir dan takwil.
Persoalan pada Muktazilah yang terpengaruh
oleh filsafat Yunani dan pemikir Islam modern yang terpengaruh filsafat Eropa,
sesungguhnya terletak pada usaha untuk menghimpun antara keyakinan mereka
sebagai kaum muslim yang beriman kepada Allah, dengan filsafat-filsafat Eropa
modern yang selalu menjauhkan gagasan tentang Tuhan; sebuah upaya setan yang
naif dan gagal. Selagi Al-Quran adalah kalam Allah sebagaimana diyakini kaum
muslim, maka setiap usaha untuk menetapkan tatacara terjadinya atau tabiatnya
telah keluar dari kerangka ilmu pengetahuan materialistik, filsafat duniawi,
empiirik, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari alam gaib; dimana
hanya Allah yang tahhu.
Al-Quran sendiri sudah menyelesaikan
perdebatan seperti ini ketika dia menantang skeptisisme kalangan yang
menentangnya. Mereka mengatakan misalnya, “Apa yang dikehendaki Tuhan
dengan permisalan demikian?”; atau “Kita tidak membuat persiapan
itu kecuali sebagai fitnah bagi orang-orang yang kufur”. Dalam
menghadapi tantangan-tantangan kaum yang ingkar itu, orang yang dalam
pengetahuannya hanya akan mengatakan, “Kami beriman kepadanya. Semua
betul-betul dari Tuhan kami”.
Sebetulnya Nasr Abu Zaid dan orang-orang
seperti dia bisa saja mendapatkan solusi yang memuaskan dalam kajian Al-Quran.
Karena Al-Quran mesti turun dalam bahasa tertentu, maka sudah sewajarnya akan
terjadi proses interaksi antara teks suci dengan bahasa dan
perangkat-perangkatnya. Hal baru dalam tema ini adalah: Al-Quran diturunkan
Allah sebagai mukjizat Islam. Kemukjizatannya sekalipun turun dalam bahasa
tertentu dan dalam lingkungan tertentu, tetap saja tidak membuatnya tunduk pada
keadaan sebagaimana teks-teks lainnya tunduk. Sebab, keilahian mukjizatnya
telah mengangkat, membebaskan dan menjadikannya datang secara berbeda dan
bertentangan dengn kebudayaan Arab.
Kenyataan di atas dapat dicermati dari
beberapa perubahan konsep yang ditawarkan Al-Quran, dari tauhid sebagai lawan
dari paganisme, pengharaman minuman keras dan perjudian yang ketika itu
merupakan kesenangan dan bagian dari budaya Arab. Dalam soal struktur
bahasanya, dia datang dengan bahasa Arab yang baru dan berbeda kosa katanya
dari kosa kata syair jahili. Dalam soal tema, materi dan ungkapannya, pun dia
tidak pernah menjelma sebagai produk peradaban sama sekali. Dan dia juga tidak
pernah menjadi fenomena sosial sebagaimana fenomena sosial yang berlangsung.
Ini betul-betul terjadi secara praksis dan realistik, sehingga tidak mungkin
diingkari lagi. Dan solusi satu-satunya untuk fenomena yang unik dan menyalahi
sesuati yang biasa ini, tak lain dikarenakan Al-Quran bersumber dari Allah
untuk menaklukkan manusia.
Dalam kaidah metodologis dan konsep nalar
dikatakan bahwa, setiap teks akan dipengaruhi oleh masa, lingkungan dan
kebudayaan yang melingkupinya. Sampai pun seorang yang jenius, dia tidak akan
mungkin bisa terlepas dari kerangkeng ruang waktu dan kelemahan manusiawi.
Hanya saja dibalik semua itu kita juga menyaksikan bahwa ada saja kitab yang
bertolak belakang sama sekali dengan metodologi dan nalar yang biasa. Dia hadir
melampaui ruang waktu dan menantang fase-fase yang ditetapkan untuknya dalam
bentuk mukjizat yang membuat pusing kalangan sastrawan.
Kita katakan kepada penulis seperti ini;
apakah kalian tidak berfikir dan mengapa harus berkeras hati mempertahankan
pemikiran sedemikian? mengapa mereka tidak membedakan antara sajak penyair,
teks drama atau sejarah yang ditulis sejarawan dengan kitab yang betul-betul
telah memberikan pengaruh yang begitu besar terhadap peradaban dunia sepanjang
kurun waktu 1400 tahun; telah meruntuhkan dinasti aristokrat Romawi dan Persia
dan turut serta dalam membangun peradaban manusia yang mengandung unsur
legislasi hukum, politik dan ekonomi.
Mengapa pula mereka mengasumsikan lafaz-lafaz
yang suci dan mengandung ibadah ketika dibaca itu, sebagaimana lafaz-lafaz yang
dibuat oleh penulis seperti fulan atau fulan? sifat unik Al-Quran ini tidak
dipunyai oleh kitab-kitab selain Al-Quran. Maka dari itu, dia berhak untuk
mendapatkan perlakuan yang khusus. Mendekatinya melalui pendekatan biasa
sebagaimana pendekatan kita atas teks-teks biasa merupakan kedhaliman atas
kebenara.
Mengenang (Kafirnya) Nasr Hamid Abu Zayd
Namanya Nasr Hamid Abu Zayd, lahir 10 Juli 1943 di
Quhafa, Tanta Mesir. Pendidikannya dari mulai SI sampai S3 diambil dalam
Jurusan Bahasa Arab Cairo University dengan predikat highest honors. Di tahun
1992 karyanya yang berjudul Naqd Khitab al-Diniy berhasil menspektakulerkan
namanya. Karyanya ditengarai fenomenal karena melecehkan ajaran Islam,
menghujat Rasulullah SAW, menodai al-Qur’an, bahkan menghina Ulama salaf.
Ceritanya, ketika di Mei 1992, Nasr Hamid Abu Zayd mengajukan promosi guru
besar di Fakultas Sastra Cairo University. Namun bukannya terkabul, enam bulan
kemudian, tepatnya pada 3 Desember 1992 promosinya ditolak. Dia tidak layak
menjadi profesor. Konflik yang berasal dari karyanya itu berujung pada Nasr
Hamid Abu Zayd dihukum kafir oleh Mahkamah kalau tidak bertaubat dengan
dukungan lebih 2000 Ulama Azhar. Pada 10 Juni 1993, sejumlah pengacara
dipimpin oleh M. Samida Abdushamad memperkarakan Abu Zayd di pengadilan Giza.
Meskipun tuntutan itu sempat dibatalkan oleh pengadilan di 27 Januari 1994,
namun di tingkat banding akhirnya tuntutan itu dikabulkan. Pada 14 Juni 1995,
keputusan Mahkamah al-Isti’naf Mahkamah Cairo menyatakan Abu Zayd telah murtad
dan wajib mentalaq istrinya. Dengan catatan –jika yang bersangkutan tidak mau-
maka harus dihukum mati. Ditekan dengan sederetan tuntutan, pada 23 Juli
1995 Nasr Hamid melarikan diri ke Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leidin
Belanda dan hidup di sana sejak 2 Oktober 1995 hingga akhir hayatnya, 5 Juli
2010. Saya tidak bicara banyak soal bagaimana beliau secara
kronologis-historis, namun ada beberapa poin yang ingin saya kedepankan di
sini. Berhubung, ada beberapa pihak yang secara khusus di sini saya
katakan ‘menolak’ pengkafiran Abu Zayd, karena disinyalir politis. Bahkan,
paham Nasr Hamid Azu Zayd termasuk ‘dimuliakan’ di beb erapa ranah intelektual
perguruan tinggi di Indonesia. Berbicara pengkafiran Abu Zayd, fatwa Ulama yang
terhimpun itu di mata mereka dinilai tidak otoritatif, terbawa nafsu, dan
terkesan menghakimi. Entah apa dalih yang dikemukakan, namun pada intinya
pemujaan terhadap Abu Zayd dan penolakan fatwa Ulama itu berkaitan secara
sinergis. Catatan penting di sini, ada urgensitas berbentuk dekonstruksi
Syari’ah di sini. Harus diingat bahwa keputusan Ulama itu adalah hasil Ijtihad,
bukan lagi perspektif perorangan maupun keputusan personal. Jadi aneh kalau
lantas suara-suara penolakan terdengar, berkaitan dengan kasus Abu Zayd. Coba
kita sedikit mereview, mengutip Syamsuddin Arif dalam Orientalisme dan
Diabolisme Pemikiran (2008), ada sepuluh poin kesalahan-kesalahan Abu Zayd yang
ditetapkan Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1995. Pertama, Nasr Hamid Abu
Zayd berpendapat bahwa perkara-perkara gaib yang disebut dalam Al-Qur’an
seperti ‘arsy malaikat, setan, jin dan neraka dalah mitos belaka. Kedua,
berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produik budaya (muntaj
tsaqafiy), dan karenanya mengingkati status azali al-Qur’an sebagai Kalamullah
yang telah ada di Lawh al-Mahfudz. Ketiga, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur;an
adalah teks linguistik (nash lughawi). Ini sama dengan mengatakan bahwa
Rasulullah SAW telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Qur’an adalah
karangan Beliau. Keempat, berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Qur’an
adalah tradisi reaksioner serta berpendapat bahwa Syariah adalah faktor
penyebab kemunduran umat Islam. Kelima, berpendapat dan mengatakan bahwa iman
kepada perkara-perkara ghaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos.
Keenam, berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya
mengingkari statusnya sebagai agma universal bagi seluruh umat manusia.
Ketujuh, berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Qur’an yang ada merupakan
teks Quraisy dan karena itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy.
Kedelapan, menginkari otensitas Sunnah Rasulullah SAW. Kesembilan, mengingkari
dan mengajak orang keluar dari otoritas teks-teks agama (al-Qur’an dan Hadith).
Dan Kesepuluh, berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada
teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan. Maka sekedar basic akal
sehat pun jelas akan menolak. Bagaimana mungkin faham yang semacam itu boleh
dilestarikan, apalagi disebarluaskan. Tak perlu kuliah tinggi-tinggi,
orang Muslim pedalaman juga tahu itu. Menghina Allah dan Rasul-Nya adalah
perkara besar. Posisi Abu Zayd yang juga dosen dipertanyakan, bagaimana jika
murid-muridnya teracuni? Sebelum bahaya meluas Abu Zayd pun ditindak. Dia kabur
melarikan diri ke Belanda. Namun di Belanda, dia justru dielu-elukan.
Rijkusuniversiteit Leiden mengangkatnya sebagai dosen, Institute of Advance
Studies (Wissenchaftskollleg) Berlin mengangkatnya sebagai ZEIT Fellow untuk
proyek Hermeneutika Yahudi dan Islam. Dari Amerika ikut-ikutan, di 8 Juni 2002
the Franklin and Eleanor Institute menganugerahkan ‘The Freedom of Worshop
Medal’ sebagai penghargaan atas kebebasan wacana berpikirnya yang ‘berani’,
serta sikapnya yang apresiatif terhadap tradisi dan falsafah Kristen.
Jadi ketika di Islam dia menjadi terdakwa, di Leiden justru malah tertawa.
Sebuah perbedaan paradigma yang menarik. Dan itulah yang kemudian di Indonesia
berkembang kembali menjadi wacana. Padahal sebenarnya sudah jelas, namun
kembali diotak-atik. Wacana hermeneutika Abu Zayd yang sebetulnya cerita lama
‘dirubah’ kembali menjadi sebuah wacana baku. Pandangan tekstual al-Qur’annya
itu dianggap mampu menjadi alternatif tafsir yang konon tidak lagi relevan. Di
tengah-tengah itu ada kalimat-kalimat yang mendekonstruksi fatwa atas Abu Zayd.
Apakah itu lucu? Padahal, keputusan hukum yang dijatuhkan kepada Abu Zayd
itu diambil berdasarkan fakta-fakta dan hasil kesimpulan penelitian tim dan
saksi ahli yang pakar di bidangnya. Seperti yang sudah saya cuplik sedikit di
atas, maka keputusan tersebut sah dan mengikat (valid and binding) baik secara
hukum maupun akademis. Selain berdasarkan ijma’ keputusan
Pemerintah Mesir juga didukung oleh Majelis Ulama Azhar. Sebenarnya Abu Zayd
masih bisa memilih, untuk menarik hasil pikirannya atau tetap getol dengan
kerancuannya. Namun dia lebih memilih yang kedua. Dan dengan
eksistensinya di Leiden pemikirannya pun menyebar luas, bahkan diadopsi di
Indonesia. Ini lebih lucu lagi. Padahal Josef Van Ess yang Profesor Studi
Islam di Jerman itu saja tahu, kalau hermeneutika itu bukan untuk Studi Islam.
Namun kenapa para penggiat dirasat islamiyah di Indonesia tidak banyak yang
mengaminkan? Ada apa gerangan? Semoga kita tidak menjadi pengikut Abu Zayd,
yang bagaikan orang yang menukar kangkung segar dengan beras beracun.
Wallahu A’lam.
http://www.kompasiana.com/alparslan/mengenang-kafirnya-nasr-hamid-abu-zayd_552ff7896ea8343d748b45fc
Saya mengajak anda
untuk menengok kepada idiologi agama Syi’ah. Dengan demikian, kita dapat
mengenal jati diri agama Syi’ah yang sebenarnya:
Ayatullah Al
Khumainy dalam kitabnya Kasyful Asraar berkata:
لقد أثبتنا في بداية هذا الحديث بأن النبي أحجم عن التطرق إلى الإمامة في القرآن،
لخشيته أن يصاب القرآن بالتحريف، أو أن تشتد الخلافات بين المسلمين، فيؤثر ذلك على
الإسلام.
“Telah kami buktikan
pada awal pembahasan ini, bahwa Nabi menahan diri dari membicarakan masalah al
imaamah (kepemimpinan) dalam Al Qur’an;([3])
karena beliau khawatir Al Qur’an akan diselewengkan, atau timbul
perselisihan yang sengit di tengah-tengah kaum muslimin, sehingga hal itu berakibat
buruk bagi masa depan agama Islam.”([4])
Al Khumainy belum merasa cukup dengan menuduh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa gentar untuk menyampaikan ayat-ayat
imaamah kepada umatnya. Ia dengan tanpa merasa bersalah menuduh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penyebab terjadinya seluruh perpecahan
dan peperangan yang terjadi sepeninggal beliau:
وواضح بأن النبي لو
كان قد بلغ بأمر الإمامة طبقا لما أمر به الله، وبذل المساعي في هذا المجال، لما
نشبت في البلدان الإسلامية كل هذه الاختلافات والمشاحنات والمعارك، ولما ظهرت ثمة
خلافات في أصول الدين وفروعه.
“Sangat jelas bahwa
andai Nabi telah menyampaikan perihal imaamah (kepemimpinan), sebagaimana yang
diperintahkan Allah kepadanya, dan ia benar-benar mengerahkan segala upayanya
dalam urusan ini, niscaya tidak akan pernah terjadi berbagai perselisihan,
persengketaan dan peperangan ini di seluruh belahan negri islam. Sebagaimana di
sana tidak akan muncul perselisihan dalam hal ushul (prinsip) dan juga cabang
furu’ (cabang) agama.”([5])
Tokoh agama Syi’ah
lain pada zaman sekarang, yang diberi julukan Ayatullah Syihabuddin An Najafy
juga menekankan ucapan Al Khumainy di atas, ia berkata:
إن النبي r ضاقت عليه الفرصة، ولم يسعه المجال لتعليم جميع أحكام
الدين …. وقد قدم الاشتغال بالحروب على التمحص ببيان تفاصيل الأحكام …. لا سيما مع
عدم كفاية استعداد الناس في زمنه لتلقي جميع ما يحتاج إليه طول قرون.
“Sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kekurangan waktu, dan kesempatan yang beliau
miliki tidak cukup untuk menjelaskan seluruh hukum-hukum agama. …..Beliau lebih
mendahulukan urusan peperangan dibanding menjalankan tugas menyampaikan
perincian hukum….Terlebih-lebih kesiapan masyarakat yang hidup pada masa beliau
tidak cukup untuk menerima segala perincian hukum yang dibutuhkan manusia
sepanjang masa.”([6])
Demikianlah pandangan
dan keyakinan agama Syi’ah tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Apa yang diungkapkan
oleh pemuka-pemuka agama Syi’ah ini sebenarnya hanyalah modernisasi bahasa
semata dari berbagai riwayat dari para imam mereka. Berikut saya sebutkan
beberapa riwayat dari imam-imam agama Syi’ah, yang mendukung statemen Ayatullah
Al Khumainy di atas:
Al Kulaini
meriwayatkan bahwa Imam Abu Abdillah Ja’far As Shaadiq, menyatakan:
لو لا نحن ما عبد
الله
“Andai bukan karena
kami, niscaya Allah tidak akan pernah diibadahi.” ([7])
Tidak cukup hanya
sampai di situ, mufti mereka pada zaman dinasti As Shafawiyyah menambahkan
riwayat di atas menjadi:
لو لا هم، ما عرف
الله ولا يدرى كيف يعبد الرحمن
“Andai bukan karena
para imam, niscaya Allah tidak akan dikenal, dan tidak akan ada yang tahu
bagaimana beribadah kepada Ar Rahmaan (Allah).”([8])
Karena mungkin belum puas dengan kedudukan yang
sudah sedemikian luar biasa ini, Al Majlisy yang wafat pada tahun 1111 H
meriwayatkan dari Abu Abdillah Ja’far As Shadiq riwayat berikut:
ما من نبي نبئ ولا
رسول أرسل إلا بولايتنا وتفضيلنا على من سوانا
“Tidaklah ada seorang
nabipun yang menjadi nabi dan tidak pula seorang rasul yang diutus melainkan
dengan mengemban tugas menyampaikan kedudukan kami sebagai wali dan keutamaan
kami diatas selain kami.”([9])
Dan karena mungkin Al
Kulainy merasa belum puas dengan kedudukan yang demikian spektakuler, sehingga
ia masih perlu untuk meriwayatkan dari Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain,
riwayat berikut:
نحن حجة الله ونحن
باب الله ونحن لسان الله ونحن وجه الله ونحن عين الله في خلقه ونحن ولاة أمر الله
في عباده
“Kami adalah hujjah
Allah ditengah-tengah makhluq-Nya, kami adalah pintu Allah, kami adalah lisan
Allah, kami adalah wajah Allah, kami adalah mata Allah di tengah-tengah
makhluq-Nya dan kami adalah penanggung jawab terhadap Allah atas segala urusan
makhluq-Nya.”([10])
Mungkin belum juga puas dengan kedudukan di
atas, mereka masih perlu untuk merekayasa riwayat dari Abu Abdillah Ja’far As
Shadiq, bahwa ia menafsirkan ayat berikut:
وَمَا ظَلَمُونَا
وَلَـكِن كَانُواْ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ [ البقرة 57]
“Dan tidaklah mereka
menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri sendiri.” dengan
berkata:
إن الله تعالى أعظم
وأعز وأجل وأمنع من أن يظلم، ولكنه خلطنا بنفسه فجعل ظلمنا ظلمه وولايتنا ولايته
Sesungguhnya Allah
Ta’ala Lebih Agung, Lebih Perkasa, Lebih Besar, dan Lebih Kuasa untuk bisa
dianiaya, akan tetapi Allah menyatu dengan kami, makanya, Dia menjadikan
perbuatan aniaya terhadap kami sebagai perbuatan aniaya terhadap-Nya,dan
pembelaan terhadap kami sebagai pembelaan terhadap-Nya.” ([11])
Mungkin karena
Muhammad Baqir Al Majlisy merasa belum cukup tinggi kedudukan para imamnya,
sehingga ia berusaha meninggikan lagi kedudukan mereka. Simaklah salah satu bab
yang ia tuliskan dalam kitabnya Bihaarul Anwaar:
باب: تفضيلهم عليهم
السلام على الأنبياء وعلى جميع الخلق وأخذ ميثاقهم عنهم وعن الملائكة وعن سائر
الخلق وأن أولي العزم إنما صاروا أولى العزم بحبهم صلوات الله عليهم
“Bab: Penjelasan
tentang keunggulan para imam ‘alaihimussalaam dibanding seluruh para nabi dan
seluruh umat manusia. Telah diambil janji mereka, juga dari para malaikat dan
seluruh makhluq. Dan bahwasannya para ulul ‘azmy mendapatkan kedudukan mulia
ini hanya karena kecintaan mereka kepada para imam, shalawaatullah
‘alaihim.([12])
Selanjutnya, Al
Majlisy di bawah bab ini menyebutkan 88 riwayat dari para imamnya. Berikut
salah satu contoh riwayat yang ia sebutkan:
عن أبي عبد الله
عليه السلام: ما من نبي نبئ ولا رسول أرسل، إلا بولايتنا وتفضيلنا على من سوانا .
Dari Abu ABdillah
‘alaihissalam: tiada seorang nabi yang dinobatkan sebagai nabi, tidak pula
seorang rasul yang menjadi rasul melainkan dengan membawa misi menyampaikan
kewalian kami, dan keutamaan kami atas
selain kami.
Saudaraku, apa
perasaan anda setelah membaca riwayat-riwayat ini?
Sebagai orang yang
beriman, mungkinkah kiranya anda mempercayai doktrin Syi’ah bahwa nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam gagal mengemban risalah dan yang berhasil
mengembannya adalah para imam-imam Syi’ah?
[1] ) Riwayat Ibnu
Abi Syaibah 6/163 & Ibnu Batthah
3/120.
[2] ) Tafsir Ibnu jarir
At Thobary 20/405 & Tafsir Al baghawi 6/399.
[3] ) Subhanallah, Al
Khumainy menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kebebasan
untuk tidak menyampaikan masalah al Imaamah , seakan-akan ia beranggapan bahwa
Al Qur’an adalah hasil karya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[4] ) Kasyful Asraar
oleh Al Khumainy 149.
[5] ) Idem 155.
[6] ) Syihabuddin An
Najafy wa ta’liqaatuhu ‘Ala Ihqaaqi Al Haq 2/288-289.
[7] ) Al Kafy oleh Al
Kulainy 1/144.
[8] ) Bihaarul Anwaar
35/29.
[9] ) idem 26/281.
[10] ) Idem 1/145.
[11] ) Al Kaafy oleh
AL Kulainy 1/146, Bihaarul Anwar oleh Al Majlisy 24/222 dan Al Anwar Allaami’ah
Fi Syarah Az Ziyarah Al Jaami’ah oleh Abdullah As Syiber Al Khu’i 144.
[12] ) Bihaarul
Anwaar oleh Al Kulainy 26/267.
By: arifinbadri.com/ Feb 01, 2016,Aqidah,
Firqoh
(nahimunkar.com)
Islam
adalah Agama dan Sumber Hukum yang Sempurna
(ditulis oleh: Al-Ustadz Luqman
Baabduh)
Wajib diimani oleh setiap muslim
bahwa Islam dan syariatnya adalah agama dan sumber hukum yang sempurna,
lengkap, dan abadi. Tidak ada satu amalan atau aturan yang mendatangkan
kebaikan bagi umat manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat melainkan telah
dijelaskan di dalamnya. Tidak pula ada satu amalan pun yang membahayakan
kehidupan mereka melainkan telah diperingatkan untuk ditinggalkan dan dijauhi,
sebagaimana firman Allah l dalam surat al-Maidah ayat 3 di atas.
Ayat ini mengandung berita
tentang nikmat Allah l yang terbesar untuk umat Islam, yaitu ketika Allah l
menjadikan agama yang mereka yakini sebagai agama yang sempurna, lengkap, dan
menyeluruh sehingga umat Islam tidak lagi membutuhkan syariat dan sumber hukum
selain yang telah diturunkan oleh Allah l untuk mengatur kehidupan mereka.
Syariat Islam yang diturunkan oleh Allah l adalah syariat yang penuh dengan
kebenaran pada seluruh berita yang dikandungnya. Syariat Islam juga merupakan
syariat yang adil, universal, jujur, dan jauh dari kezaliman serta kepentingan
tertentu pada seluruh hukum dan aturan yang diberlakukannya.
Tidak ada satu pihak pun yang
mampu menciptakan atau membuat aturan dan perundangan-undangan selengkap,
sesempurna, seadil, dan sejujur syariat Islam yang diturunkan oleh Allah l. Hal
ini sebagaimana firman-Nya:
“Telah sempurnalah syariat Rabbmu
(Al-Qur’an) sebagai syariat yang benar dan adil. Tidak ada satu pihak pun yang
mampu mengubah syariat-syariat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (al-An’am: 115)
“Yang tidak datang kepadanya
(Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan
dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42)
“Sementara Dialah yang telah
menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepada kalian dengan terperinci” (al-An’am: 114)
Asy-Syaikh al-’Allamah
‘Abdurrahman as-Sa’di t berkata, “Maksudnya, (Al-Qur’an berfungsi) sebagai penjelas
tentang hukum halal dan haram, serta berbagai hukum syariat. Demikian pula
berbagai hukum agama ini, baik yang bersifat pokok maupun cabang. Tidak ada
satu syariat dan hujjah pun yang lebih jelas dibandingkan dengannya. Tidak ada
pula satu hukum pun yang lebih baik serta lebih lurus dibandingkan dengannya
karena berbagai hukum dalam syariat Islam mengandung hikmah dan kasih sayang.”
(Lihat kitab Taisirul Karimir Rahman, hlm. 270)
Begitu pula firman Allah l:
“Dan telah Kami turunkan kepadamu
Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl:
89)
Sahabat Abdullah bin Mas’ud z
berkata, “Segala ilmu dan segala sesuatu telah dijelaskan kepada kita di dalam
Al-Qur’an.”
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata,
“Penjelasan Abdullah bin Mas’ud di atas bersifat lebih umum dan lebih
universal, karena Al-Qur’an mencakup segala bentuk ilmu yang bermanfaat, baik
dalam bentuk berita tentang berbagai kejadian yang telah lalu maupun ilmu
tentang segala sesuatu yang akan datang. Al-Qur’an juga mengandung penjelasan
tentang seluruh hukum yang halal dan haram serta penjelasan tentang segala
sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, baik dalam urusan dunia maupun agama
mereka.” (Tafsir Ibni Katsir)
Rasulullah n pun bersabda:
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ
يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا
يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Sesungguhnya tidak
ada seorang nabi pun yang diutus sebelumku melainkan wajib atasnya untuk
menunjukkan umatnya kepada segala kebaikan yang dia ketahui untuk umat mereka.
Wajib pula atasnya untuk memperingatkan umatnya dari segala kejelekan yang dia
ketahui yang dapat membahayakan umatnya.” (HR. Muslim, dari sahabat Abdullah
bin ‘Amr bin al-’Ash c)
Dikatakan kepada
sahabat Salman al-Farisi z:
قَدْ عَلَّمَكُمْ
نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ؟
“Apakah benar bahwa
Nabi kalian n telah mengajarkan segala sesuatu, sampai pun permasalahan buang
hajat?”
Beliau z pun
mengatakan:
أَجَلْ، لَقَدْ
نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ
نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ
أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
“Tentu. Sungguh Nabi
kami telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar dan buang air
kecil. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan tangan kanan, melarang
beristinja’ menggunakan batu kurang dari tiga buah, dan melarang kami
beristinja’ menggunakan kotoran hewan atau tulang.” (HR. Muslim, dari sahabat
Salman al-Farisi z)
Dari penjelasan
singkat di atas, sudah barang tentu seorang muslim—yang benar-benar mencintai
Islam sebagai agamanya, berserah diri kepada Sang Khaliq dan mengakui Islam
sebagai satu-satunya agama yang benar, sempurna, abadi dan diridhai oleh
Allah—hanya akan berhukum dengan hukum Islam dan tidak akan rela selain hukum
Islam sebagai dasar hukum bagi diri dan negaranya.
Mengamalkan Syariat
Islam adalah Salah Satu Kewajiban Setiap Muslim yang Paling Mendasar
Syariat Islam adalah
syariat yang diturunkan oleh Allah l, Dzat Yang Mahaadil, Mahabijak, Maha
Mengetahui semua makhluk ciptaan-Nya dan karakter mereka, serta Maha Mengetahui
semua kepentingan dan kebutuhan mereka yang banyak dan beragam, baik pada masa
lampau, sekarang, maupun yang akan datang, di bumi manapun mereka berada.
Oleh karena itu,
hukum yang diturunkan oleh Allah l berbeda dengan berbagai hukum dan
perundang-undangan yang dibuat oleh manusia. Manusia adalah makhluk yang sangat
lemah. Ia membuat hukum dalam rangka melindungi kelemahannya. Ia juga sangat
zalim sehingga dia membuat hukum dalam rangka mengambil hak dan menzalimi orang
lain. Ditambah lagi, ia sangat jahil sehingga tidak mengetahui kemaslahatan dan
kemadaratan yang hakiki untuk dirinya serta orang lain. Dalam Al-Qur’an, Allah
l menyebutkan beberapa sifat asli manusia, antara lain:
“Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
Karena itu, sudah
barang tentu sikap dan kebijakan yang diambil oleh manusia lebih didominasi
oleh kebodohan dan kecenderungan untuk menzalimi. Allah l juga berfirman:
“Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya
serba cukup.” (al-’Alaq: 6—7)
“Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya kalianlah yang sangat butuh kepada Allah, dan Dialah
Allah yang Maha tidak butuh (kepada segala sesuatu) lagi Maha Terpuji.”
(Fathir: 15)
“Dan manusia
diciptakan dalam keadaan bersifat lemah.” (an-Nisa’: 28)
Kedua ayat di atas
menegaskan bahwa manusia itu sangat lemah, miskin, dan sangat membutuhkan
pertolongan Allah l dalam mengatasi kelemahan dirinya. Termasuk dalam hal ini
adalah kelemahan mereka dalam menentukan hukum yang mengatur kehidupan mereka.
Maka dari itu, adalah suatu kepastian bahwa mereka sangat membutuhkan hukum dan
aturan hidup dari Penciptanya Yang Maha Sempurna.
Dalam ayat lain,
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya manusia
diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, apabila ia ditimpa kesusahan ia
berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (al-Ma’arij:
19—21)
Pada ayat di atas,
dengan tegas Allah l menyebutkan bahwa manusia itu tidak pernah puas. Ia
cenderung mengeluh ketika tertimpa musibah atau kekurangan. Di saat itu, dia
akan meneriakkan kepentingannya. Namun, di saat mendapatkan keberuntungan, dia
akan kikir dan enggan menolong pihak yang lemah. Dengan demikian, sudah tentu
berbagai peraturan dan perundang-undangan yang dibuatnya akan diwarnai oleh
sifat-sifat asli tersebut.
Manusia juga tidak
mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan datang sehingga berbagai
hukum dan perundang-undangan yang dibuatnya harus mengalami peninjauan ulang
dan berbagai pembenahan.
Setelah kita
mengetahui secara singkat sifat dasar dan karakter asli manusia, seseorang yang
berakal jernih dan beriman dengan sebenar-benar iman tentu tidak akan pernah
mau berhukum kepada hukum buatan manusia yang maha kurang dan maha lemah,
kemudian ia meninggalkan hukum yang diturunkan oleh Allah l sebagai sumber
hukum yang jauh dari segala kekurangan. Allah l berfirman:
“Maka apakah mereka
tidak memperhatikan Al-Qur’an dengan seksama? Sekiranya Al-Qur’an itu (turun)
dari selain Allah, tentulah mereka akan mendapati pertentangan yang banyak
padanya.” (an-Nisa’: 82)
Dari ayat di atas,
kita mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum dan syariat yang lengkap,
sesuai, dan tidak ada pertentangan sedikit pun antara satu ketentuan dengan
ketentuan yang lainnya. Adapun hukum-hukum dan perundang-undangan yang dibuat
oleh selain Allah l penuh dengan kekurangan, ketidaksesuaian, dan pertentangan.
Apakah dengan itu,
kita masih akan berhukum kepada perundang-undangan buatan manusia, dan
berpaling dari hukum yang diturunkan oleh Rabb semesta alam?
Allah l berfirman:
“Yaa siin. Demi
Al-Qur’an yang penuh hikmah. Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari
rasul-rasul (yang diutus oleh Allah). (Yang berada) di atas jalan yang lurus.
(Sebagai syariat) yang diturunkan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha
Penyayang.” (Yasin: 1—5)
“Kitab (Al-Qur’an
ini) diturunkan oleh Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (az-Zumar: 1)
“Haa miim. Diturunkan
kitab ini (Al-Qur’an) dari Allah yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.”
(Ghafir: 1—2)
“Haa Miim. Diturunkan
dari Rabb yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Adalah sebuah kitab yang telah
dijelaskan ayat-ayatnya secara rinci.” (Fushshilat: 1—3)
Dari beberapa
penjelasan di atas, menjadi sebuah kepastian bagi setiap pribadi muslim bahwa
kewajiban beramal dan menegakkan syariat Islam, baik pada kehidupan pribadi
maupun rumah tangga, bahkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, adalah salah
satu pokok dasar Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Dalil-dalil Penegas
Kewajiban Menjadikan Hukum Allah l Sebagai Sumber Hukum
Agar kita semakin
mengenal kedudukan syariat Islam serta kewajiban kita sebagai pemeluknya untuk
memuliakan syariat Islam dan mengamalkannya, kali ini kami sajikan beberapa
dalil syar’i yang menegaskan kewajiban berhukum kepada syariat Islam bagi pemeluknya.
Kami harap tulisan ini semakin menggugah kemauan dan keinginan kita untuk
menegakkannya pada diri, masyarakat, dan negara kita. Allah l berfirman:
“Dan Kami telah
turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab
yang diturunkan sebelumnya, dan sebagai tolok ukur kebenaran kitab-kitab
sebelumnya, maka putuskanlah perkara mereka menurut ketentuan hukum yang
diturunkan oleh Allah l dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran (syariat) yang telah datang kepadamu.” (al-Maidah: 48)
“Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian syariat yang telah
diturunkan Allah kepadamu, jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki untuk
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka, dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada
hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 49—50)
Ayat-ayat di atas
mengandung perintah tegas terhadap hamba-hamba Allah l untuk berhukum dengan
hukum yang telah diturunkan oleh Allah l dan mengamalkan syariat yang telah
digariskan-Nya, sekaligus meninggalkan hawa nafsu dan ambisi mayoritas manusia
yang dapat memalingkan diri kita dari upaya berhukum kepada hukum Allah l.
Seorang mukmin yang
mau memerhatikan ayat-ayat di atas dan bertafakkur dengan saksama, dia akan
mengetahui bahwasanya Allah l menekankan kewajiban berhukum kepada syariat-Nya
dengan beberapa bentuk penekanan. Di antaranya adalah:
1. Kalimat perintah
pada ayat:
“Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum yang diturunkan oleh Allah.”
(al-Maidah: 49)
Kalimat perintah ini
menunjukkan bahwa amalan tersebut wajib hukumnya. Apabila ditinggalkan,
pelakunya berdosa.
Ayat-ayat Al-Qur’an
yang berisi perintah untuk berhukum kepada hukum yang diturunkan oleh Allah l
banyak sekali, antara lain:
“Ikutilah syariat
yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti
pemimpin-pemimpin selainnya. Sungguh sangat sedikit kalian mengambil pelajaran
(darinya).” (al-A’raf: 3)
Ketika menafsirkan
ayat di atas, al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, janganlah kalian keluar
meninggalkan hukum-hukum yang dibawa oleh Rasulullah n menuju sumber hukum yang
lain. Dengan begitu, kalian telah keluar dari hukum Allah l kepada hukum
selainnya.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Allah l juga
berfirman:
“Kemudian Kami
jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama ini),
maka ikutilah syariat tersebut dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui.” (al-Jatsiyah: 18)
2. Larangan Allah l
menjadikan hawa nafsu mayoritas manusia serta ambisi mereka dalam semua kondisi
sebagai penghalang untuk kita berhukum kepada hukum Allah.
Hal ini sebagaimana
ayat ke-48 surat al-Maidah di atas:
“Dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (syariat) yang telah
datang kepadamu.”
Kemudian pada ayat
ke-49, kembali Allah l menegaskan:
“Dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka.”
Larangan mengikuti
hawa nafsu orang-orang yang berhukum kepada selain hukum Allah l sengaja
diulangi oleh Allah l dua kali karena sikap tersebut memang sangat berbahaya
dan banyak memalingkan kaum mukminin dari berhukum dengan syariat Allah l
kepada hukum-hukum jahiliah. (Lihat Taisirul Karimirrahman)
3. Peringatan keras
dari Allah l agar berhati-hati dari sikap enggan berhukum kepada syariat-Nya,
baik dalam urusan yang sedikit maupun banyak, dalam perkara yang kecil maupun
besar.
Hal ini sebagaimana
firman-Nya:
“Dan berhati-hatilah
kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian
syariat yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (al-Maidah: 49)
4. Sikap tidak mau
berhukum dengan hukum Allah l serta kecenderungan menolaknya adalah dosa yang
sangat besar, yang dapat mengundang azab yang pedih.
Hal ini sebagaimana
ditegaskan oleh ayat ke-49 surat al-Maidah di atas:
“Jika mereka
berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah menghendaki untuk menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan sebagian dosa-dosa mereka.”
Dalam ayat-Nya yang
lain, Allah l juga mengancam:
“Maka hendaklah
waspada orang-orang yang menyelisihi perintahnya (syariat Rasulullah), akan
menimpa kepada mereka fitnah atau azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
Ketika menjelaskan
ayat di atas, al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Yakni orang-orang yang menyelisihi
jalan, sistem, sunnah, dan syariat beliau n. Maka dari itu, seluruh perkataan
dan perbuatan (manusia) ditimbang dengan perkataan dan perbuatan beliau. Segala
sesuatu yang sesuai dengannya, diterima. Adapun segala sesuatu yang
menyelisihinya, ditolak, siapapun pengucap dan pelakunya. Hal ini sebagaimana
hadits sahih yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain dan selain keduanya,
bahwasanya Rasulullah n berkata:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa
mengamalkan suatu amalan yang bukan atas perintahku, amalan tersebut tertolak.”
Oleh sebab itu,
hendaklah waspada dan takut orang-orang yang menyelisihi syariat (hukum)
Rasulullah n—baik penyelisihan secara batin maupun secara zahir— bahwa mereka
akan tertimpa fitnah. Kalbu-kalbu mereka tertimpa fitnah kekufuran,
kemunafikan, dan kebid’ahan, atau mereka aka tertimpa azab yang pedih di dunia
ini, baik dalam bentuk pembunuhan, tindakan hukum pidana, atau penjara, dan
yang semisalnya.” (Tafsir Ibnu Katsir)
5. Per-ingatan keras
dari Allah l untuk tidak terpesona dengan mayoritas manusia yang berpaling dari
hukum Allah l.
Pada ayat ke-49 surat
al-Maidah di atas, Allah l berfirman:
“Dan sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”
Mereka digolongkan
oleh Allah l sebagai orang-orang yang fasik karena enggan untuk berhukum dengan
syariat dan perundang-undangan yang diturunkan oleh Allah l.
Di zaman ini pun kita
menyaksikan realitas yang disebutkan oleh Allah l itu, yaitu kebanyakan
manusia—bahkan kaum muslimin sendiri—baik sebagai pribadi, masyarakat, ataupun
pemerintah, enggan berhukum kepada syariat Allah l. Maka dari itu, janganlah
kita tertipu dengan jumlah mayoritas sehingga kita ikut meninggalkan dan
menanggalkan hukum Allah l.
Allah l juga
menyebutkan ayat semisal di atas, yaitu firman-Nya:
“Dan jika kamu
menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”
(al-An’am: 116)
6. Allah l menjuluki
berbagai hukum selain hukum yang diturunkan oleh Allah l sebagai hukum
jahiliah.
Allah l berfirman:
“Apakah hukum
Jahiliah yang mereka kehendaki.” (al-Maidah: 50)
Al-Imam Abdurrahman
bin Nashir as-Sa’di t—ketika menjelaskan tentang hukum jahiliah—berkata, “Yaitu
semua jenis hukum yang menyelisihi syariat yang diturunkan oleh Allah l kepada
Rasul-Nya. Oleh karena itu, tidak ada jenis hukum selain hukum Allah melainkan
hukum jahiliah. Barang siapa yang berpaling dari jenis yang pertama (hukum
Allah), pasti dia akan berhukum kepada jenis yang kedua (yaitu hukum jahiliah)
yang ditegakkan di atas kejahilan, kezaliman, dan kesesatan. Oleh karena itu,
Allah menisbatkan jenis hukum yang kedua ini sebagai hukum jahiliah, sedangkan
hukum Allah adalah hukum yang ditegakkan di atas ilmu, keadilan, serta cahaya,
dan petunjuk.” (Taisirul Karimirrahman)
7. Penegasan Allah l
bahwa hukum yang diturunkan-Nya adalah hukum yang terbaik dan
perundang-undangan yang paling adil serta paling sempurna.
Hal ini sebagaimana
firman-Nya pada ayat ke-50 surat al-Maidah di atas :
“Dan hukum siapakah
yang lebih baik daripada hukum Allah.”
Maka dari itu, adalah
suatu kepastian bahwa tidak ada satu hukum pun di muka bumi ini yang lebih baik
dan lebih sempurna dibandingkan dengan hukum yang diturunkan Allah l. Jika
demikian, sungguh tidak pantas apabila hamba-hamba Allah l yang mengklaim
dirinya beriman kepada-Nya tidak mau dan enggan menjadikan hukum Allah l dan
Rasul-Nya n sebagai rujukan dan sumber hukum yang dianut dalam kehidupannya.
Tentu dia tidak akan pernah rela menjadikan hukum-hukum jahiliah sebagai sumber
hukum yang mengatur kehidupan pribadi, masyarakat, dan negaranya.
8. Seorang mukmin
yang memiliki sifat yakin atas kebenaran Allah l dan Islam sebagai agama pasti
akan mengetahui dan meyakini bahwasanya hukum perundang-undangan yang
diturunkan oleh Allah l adalah hukum yang paling sempurna dan adil serta abadi.
Bersamaan dengan itu, ia akan meyakini bahwa sikap tunduk dan patuh, rela dan
berserah diri kepada hukum Allah l adalah suatu kewajiban yang pasti atas
setiap muslim yang tidak boleh ditawar-tawar lagi.
Hal ini karena pada
akhir ayat ke-50 surat al-Maidah di atas, Allah l menyatakan:
“Dan hukum siapakah
yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Maksudnya, seseorang
yang telah memiliki keyakinan sebenar-benarnya atas syariat Islam, pasti akan
meyakini bahwa tidak ada hukum yang lebih baik, sempurna, dan adil dibandingkan
dengan hukum Allah. Sebaliknya, orang yang masih meyakini adanya hukum buatan
manusia yang lebih baik atau setara dengan syariat Islam yang diturunkan oleh
Allah l kepada Nabi-Nya, sungguh dia tergolong orang yang kalbunya memiliki
penyakit keraguan terhadap kebenaran Islam itu sendiri sebagai agama.
Oleh sebab itu, Allah
l mengulang berkali-kali perintah kepada seluruh hamba-Nya untuk berhukum
kepada hukum dan syariat yang diturunkan-Nya, dan melarang mereka untuk
berhukum kepada hukum dan perundang-undangan buatan manusia. Bahkan, Allah l
menekankan dan menegaskan perintah tersebut dengan berbagai bentuk penegasan
selain yang telah kami sebutkan di atas, antara lain:
“Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada hukum yang
diturunkan kepadamu dan kepada hukum yang diturunkan sebelum kamu? Mereka
hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari
thaghut tersebut, dan sesungguhnya syaithan sangat berambisi menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (an-Nisa’: 60)
Asy-Syaikh
‘Abdurrahman as-Sa’di t mendefinisikan thaghut dengan, “Semua pihak yang
berhukum kepada selain syariat Allah l, itu adalah thaghut.”
Al-Imam Ibnu Katsir t
ketika menjelaskan tentang ayat ini berkata, “Ini adalah pengingkaran Allah l
terhadap pihak-pihak yang mengklaim keimanan terhadap syariat yang diturunkan
oleh Allah l kepada Rasul-Nya dan para nabi terdahulu, namun bersama itu dia
masih berkeinginan untuk berhukum kepada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya
dalam menyelesaikan berbagai perselisihan.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Pelajaran yang bisa
kita ambil dari ayat di atas adalah jangan sampai kita menjadi orang-orang yang
mengklaim keimanan kepada syariat Allah l dan Rasul-Nya, namun dia masih
berhukum kepada hukum-hukum jahiliah, baik hukum adat, hukum pidana dan
perdata, maupun yang lainnya. Masih saja kita mengedepankan logika dan hawa
nafsu untuk menjadikan hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh manusia
sebagai tandingan bagi hukum Allah l dan Rasul-Nya. Sungguh dengan itu, kita
akan tergolong ke dalam orang-orang yang disesatkan oleh setan dengan kesesatan
yang sejauh-jauhnya.
Perhatikan dengan
saksama ayat-ayat berikut ini dan mohonlah petunjuk kepada Allah l untuk bisa
mengamalkannya.
“Maka demi Rabbmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
mendapati dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan hukum yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa’: 65)
Dalam ayat di atas:
1. Allah l memulai
perkataan-Nya dengan sumpah atas nama Dzat-Nya Yang Mahamulia. Ini menunjukkan
bahwa permasalahan yang akan disebutkan-Nya adalah permasalahan besar.
2. Allah l meniadakan
keimanan seorang hamba kalau dia tidak mau berhukum kepada hukum Rasulullah n
dalam semua urusannya.
3. Allah l tidak
menerima sikap tunduk kepada hukum Rasulullah n secara zahir saja. Bahkan,
Allah l menuntut kepada hamba tersebut untuk menerimanya secara batin dengan
penuh keikhlasan dan ketulusan hati.
Demikian pula firman
Allah l:
“Dan tidaklah patut
bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, masih akan ada bagi
mereka pilihan hukum (yang lain) tentang urusan mereka, dan barang siapa
mendurhakai (hukum) Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan
kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
Al-Imam Ibnu Katsir
berkata, “Ayat ini bersifat umum meliputi semua urusan, yaitu jika Allah dan
Rasul-Nya telah memutuskan sebuah hukum, tak seorang pun yang boleh
menyelisihinya. Tidak pula ada pilihan apapun baginya (selain hukum Allah).
Tidak ada juga logika atau pendapat (lain yang boleh diikuti).” (Tafsir Ibnu
Katsir)
Untuk memperjelas
beberapa keterangan di atas, berikut ini kita akan mengikuti dengan saksama
fatwa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t, salah seorang ulama besar umat ini yang
mengikuti jejak generasi as-salafush shalih.
Dalam fatwanya beliau
t berkata, “Wajib atas seluruh kaum muslimin untuk berhukum kepada Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya, Muhammad, dalam semua urusan, dan agar mereka tidak
berhukum kepada berbagai ketetapan adat istiadat dan ketentuan-ketentuan suku
(kabilah). Tidak pula kepada perundang-undangan yang dibuat oleh manusia. Allah
l berfirman:
“Tentang sesuatu
apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (yang
mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Rabbku, kepada-Nya lah aku
bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (asy-Syura: 10)
Kemudian beliau juga
menyebutkan ayat ke-60 dalam surat an-Nisa’ di atas.
Beliau melanjutkan,
“Allah l juga berfirman:
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59)
Berdasarkan hal itu,
wajib atas setiap muslim untuk tunduk dan patuh kepada hukum Allah l dan
Rasul-Nya n serta tidak mengedepankan selain hukum Allah l dan Rasul-Nya.
Sebagaimana seluruh peribadatan hanya milik Allah l satu-satunya, demikian pula
berhukum, wajib hanya kepada hukum Allah l satu-satunya. Ini sebagaimana firman
l Allah:
“Tidaklah (hak
penentuan) hukum kecuali hanya milik Allah.” (Yusuf: 40)
Dengan demikian,
berhukum kepada selain Kitabullah dan selain Sunnah Rasulullah n termasuk jenis
kemungkaran yang terbesar dan kemaksiatan yang terjelek. Bahkan, seseorang yang
berhukum kepada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya n bisa menjadi kafir
jika ia meyakini perbuatan berhukum kepada selain hukum Allah adalah halal (boleh),
atau ia meyakini bahwasanya hukum selain hukum Allah l dan Rasul-Nya n adalah
lebih baik. Allah l berfirman (kemudian beliau menyebutkan ayat ke-65 surat
an-Nisa’1).
Maka dari itu, tidak
ada iman bagi siapa saja yang tidak berhukum kepada Allah l dan Rasul-Nya, baik
dalam berbagai permasalahan pokok dalam agama ini maupun permasalahan cabang
dan dalam berbagai jenis hak. Dengan demikian, barang siapa yang berhukum
kepada selain hukum Allah l dan Rasul-Nya n sungguh dia telah berhukum kepada
thaghut.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah li Samahatisy Syaikh Abdil
‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, 8/272)
Pada kesempatan lain,
ketika beliau ditanya tentang hadits:
لَتُنْقَضَنَّ عُرَى
اْلإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوًةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ
بِالَّتِيْ تَلِيْهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضاً الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ
“Sungguh pasti akan
terlepas tali-tali pengikat Islam, ikatan demi ikatan. Pada saat terlepas satu
ikatan, manusia pun bersegera untuk berpegang dengan ikatan yang berikutnya.
Tali ikatan yang pertama kali terlepas adalah hukum, dan yang paling terakhir
adalah shalat.”2
Beliau t berkata,
“Makna hadits ini sangatlah jelas, yaitu tentang sikap tidak berhukum pada
syariat Allah l. Inilah realitas masa kini yang terjadi pada mayoritas negara
yang menisbatkan dirinya kepada Islam. Sudah menjadi suatu hal yang telah
diketahui bahwasanya wajib atas semua pihak untuk berhukum kepada syariat Allah
l pada semua urusan. Hendaknya setiap pribadi juga waspada dari sikap berhukum
kepada perundang-undangan yang dibuat oleh manusia atau hukum-hukum adat yang
menyelisihi syariat yang suci ini, dengan dalil firman Allah l (kemudian beliau
menyebutkan ayat ke-65 surat an-Nisa’3 dan ayat ke-49 serta ke-50 surat
al-Maidah4).”
Kemudian beliau melanjutkan,
“Juga ayat-ayat dalam surat al-Maidah berikut:
“Barang siapa yang
tidak memutuskan hukum menurut hukum syariat yang diturunkan oleh Allah l, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 44)
“Barang siapa yang
tidak memutuskan hukum menurut hukum syariat yang diturunkan oleh Allah l, maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 45)
“Barang siapa yang
tidak memutuskan hukum menurut hukum syariat yang diturunkan oleh Allah l, maka
mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (al-Maidah: 47)
Para ulama pun telah
menjelaskan tentang kewajiban atas seluruh pemerintah kaum muslimin untuk
berhukum kepada syariat Allah l dalam semua urusan kaum muslimin dan semua
masalah yang mereka perselisihkan dalam rangka mengamalkan ayat-ayat yang mulia
di atas.
Para ulama tersebut
juga menjelaskan bahwa seorang hakim yang memutuskan hukum dengan selain
syariat yang diturunkan oleh Allah l, ia telah kafir dengan bentuk kekufuran
yang mengeluarkannya dari agama Islam, jika ia meyakini bahwa perbuatan itu
halal (boleh). Namun, apabila ia tidak meyakini hal itu sebagai perbuatan yang
halal, dan ia berhukum kepada selain syariat Allah l hanya sebatas disebabkan
oleh adanya suap atau kepentingan tertentu lainnya, ia juga tetap beriman bahwa
berhukum kepada selain syariat Allah l adalah tidak boleh dan bahwa berhukum
kepada syariat Allah l adalah wajib, dalam kondisi seperti ini dia menjadi
kafir dengan jenis kufran ashghar (kekafiran kecil)5 dan menjadi zalim dengan
jenis zhulman ashghar (kezaliman kecil) dan menjadi fasik dengan jenis fisqan
ashghar (kefasikan kecil).
Kami memohon kepada
Allah l agar memberikan bimbingan kepada seluruh pemerintah muslimin untuk mau
berhukum kepada syariat-Nya dan mengembalikan seluruh keputusan hukum
kepada-Nya, sekaligus mengharuskan kepada masyarakatnya untuk berhukum kepada
syariat Allah, dan agar mereka waspada dari sikap menyelisihi hukum Allah.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah li Samahatisy Syaikh ‘Abdil ‘Aziz bin
‘Abdillah bin Baz 9/205)
Catatan Kaki:
1 Lihat beserta
penjelasannya pada hlm. 22.
2 HR. Ahmad, Ibnu
Hibban, al-Hakim, dari shahabat Abu Umamah al-Bahili z.
3 Lihat beserta
penjelasannya pada hlm. 22.
4 Lihat beserta
penjelasannya pada hlm. 20—21
5 Kufur ashghar
adalah jenis kekafiran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keislaman. Namun,
jangan ada seorang pun yang menganggap dosa ini sebagai dosa kecil, karena pada
hakekatnya kufrun ashghar adalah salah satu jenis dosa besar yang paling besar.
Ia lebih besar daripada dosa zina, judi, mencuri, korupsi, dan yang semisalnya.
1]. SEMPURNA KARENA
TIDAK ADA KERAGUAN SEDIKIT PUN DI DALAMNYA.
Turunnya Al Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta
alam. ( QS 32 : 2 )
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa. ( QS 2 : 2 )
Tidaklah mungkin Al Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Qur'an
itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang
telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan
semesta alam. ( QS 10 : 37 )
2].SEMPURNA KARENA TIDAK ADA KEBENGKOKAN DI DALAMNYA.
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al
Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; ( QS 18 : 1 )
(Ialah) Al Qur'an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya)
supaya mereka bertakwa. ( QS 39 : 28 )
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya. ( QS 4 : 82 )
3]. SEMPURNA KARENA BERISI PETUNJUK HIDUP YANG DAPAT MENJELASKAN SEGALA
PERSOALAN HIDUP DARI YANG PALING KECIL HINGGA PALING BESAR.
Ramadan, ialah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil). ( 2 : 185 )
(Al Qur'an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka
diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah
Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. ( QS
14 : 52 )
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan
tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ( QS 12 : 111
)
4]. SEMPURNA KARENA MERANGKUM (MENYEMPURNAKAN) KITAB-KITAB SUCI TERDAHULU.
Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Qur'an) yang
membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang
pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan
harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa. ( QS 2 : 41 )
Dan sebelum Al Qur'an itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan
ini (Al Qur'an) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk
memberi peringatan kepada orang-orang yang lalim dan memberi kabar gembira
kepada orang-orang yang berbuat baik. ( QS 46 : 12 )
Mereka berkata: "Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab
(Al Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab
yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. (
QS 46 : 30 )
Dan setelah datang kepada mereka Al Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang
ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi)
untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada
mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat
Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. ( QS 2 : 89 )
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kepada Al Qur'an yang
diturunkan Allah", mereka berkata: "Kami hanya beriman kepada apa
yang diturunkan kepada kami". Dan mereka kafir kepada Al Qur'an yang
diturunkan sesudahnya, sedang Al Qur'an itu adalah (Kitab) yang hak; yang
membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: "Mengapa kamu dahulu
membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman?" ( QS 2
: 91 )
Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan
apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi Kitab
(Taurat) melemparkan Kitab Allah ke belakang (punggung) nya seolah-olah mereka
tidak mengetahui (bahwa itu adalah Kitab Allah). ( QS 2 : 101 )
Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan
kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. ( QS 3
: 3 )
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. ( QS 5 : 48 )
Dan ini (Al Qur'an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi;
membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi
peringatan kepada (penduduk) Umulkura (Mekah) dan orang-orang yang di luar
lingkungannya. ( QS 6 : 92 )
Tidaklah mungkin Al Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Qur'an
itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang
telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan
semesta alam. ( QS 10 : 37 )
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan
tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ( QS 12 : 111
)
Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an) itulah
yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Mengetahui lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. ( QS
35 : 31 )
5]. SEMPURNA KARENA TAK ADA SATU PUN MAKHLUK YANG DAPAT MEMBUAT KITAB SEPERTI
AL-QUR'AN.
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an
itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang
benar. ( QS 2 : 23 )
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat
yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang
lain". ( QS 17 : 88 )
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Qur'an itu jika
mereka orang-orang yang benar. ( QS 52 : 34 )
6]. SEMPURNA KARENA SELAMA HAMPIR 1500 TAHUN, TAK ADA SATU PUN MAKHLUK YANG
SANGGUP MEROBAH AL-QUR'AN WALAU HANYA SATU HURUF.
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur'an), sebagai kalimat yang benar dan
adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ( QS 6 : 115 )
Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhan-mu (Al Qur'an).
Tidak ada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak
akan dapat menemukan tempat berlindung selain daripada-Nya. ( QS 18 : 27 )
Diposkan oleh Riez Noegh di 17.21
http://2agama.blogspot.co.id/2011/08/al-quran-adalah-kitab-suci-yang.html
Diposkan oleh Riez Noegh di 17.21
http://2agama.blogspot.co.id/2011/08/al-quran-adalah-kitab-suci-yang.html
ISLAM ADALAH AGAMA YANG SEMPURNA
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas