Yusuf Burhanudin
“Kaum Wahabi adalah
orang-orang yang berbuat keji dan termasuk ulah setan.
Kami akan membalas
orang-orang Wahabi. Kejahatan ini jangan dibiarkan
berlalu begitu saja tanpa
pembalasan!”
Ungkapan di atas
lugas tertulis di beberapa dinding gedung di Libanon selatan saat pecah perang
saudara tahun 1975-1990. Kecaman itu ditulis secara sadar oleh gerakan
perlawanan Hizbullah, faksi syi’ah yang kelak berkuasa permanen di Libanon
selatan tahun 1982.
Sekalipun hanya tulisan dinding atau teriakan sporadis
dalam demonstrasi, betapa itu menggambarkan pernyataan tulus dan lugu tanpa
tekanan. Ketulusan yang muncul dari hati terdalam kepada Muslim Arab Teluk yang
mayoritas bermadzhab Hanbali. Demikian tulis Abdul Mun’im Syafiq, pengamat
Timur Tengah, dalam Haqiqah Al-Muqawamah; Qira`ah fi Awraq
Al-Harakah As-Siyasiyyah Asy-Syi’iyyah fi Lubnan (Hakikat Perlawanan; Menebak Gerakan
Politik Syi’ah di Lebanon).
Mengkaji misi
ideologis Iran di Timur Tengah, memang tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari
faksi Hizbullah, organisasi paramiliter syi’ah yang disebut-sebut sebagai
sekutu sekaligus satelit Iran di Timur Tengah. Sebagai pergerakan multi
identitas; organisasi bersenjata, sosial, dan juga politik, Hizbullah tidak
saja memiliki sayap militer tangguh, tapi juga bergerak dalam sosial. Hizbullah
membangun 50 rumah sakit, 100 sekolah, dan perpustakaan. Yang mengherankan,
mayoritas dokter dan guru yang bekerja di pusat sosial Hizbullah adalah Kristen
dan Druze.
Hizbullah sendiri
awalnya merupakan sempalan dari gerakan Amal syi’ah Libanon. Gerakan Amal yang
sekuler membuat sebagian pengikut syi’ah di Libanon yang religius keluar dan
membentuk gerakan sendiri. Dalam perkembangan berikutnya, kebesaran Hizbullah
ternyata jauh melampaui gerakan Amal. Hizbullah, selain didirikan sebagai
respon atas invasi Israel ke Libanon pada 6 Juni 1982, juga bertujuan menguasai
kawasan Libanon selatan dengan mengusir seluruh warga sunnah termasuk pengungsi
Palestina dari pengungsian.
Hizbullah mendapat
nama harum di seantero dunia Arab karena berhasil mengusir Israel yang telah
menduduki Libanon selatan selama 22 tahun pada 2000. Dengan korban tentara
sekitar 900 orang, Israel menarik mundur pasukannya pada 24 Mei 2000 dengan
dalih menaati Resolusi DK PBB 425 (tertanggal 19 Maret 1978) dan melanjutkan
proses gencatan senjata Libanon-Israel yang ditandatangi 26 April 1996. Masih
di bawah pemimpin kharismatik Hassan Nasrallah, yang menggantikan Abbas
Al-Musawi tahun 1992 karena tewas dibunuh tentara Israel, juga berhasil
memenangkan peperangan 32 hari dengan Israel tahun 2006 silam. Sengitnya
perlawanan faksi Hizbullah terhadap hegemoni AS dan Israel di Palestina, jelas
kian melambungkan popularitas gerakan ini di dunia internasional dan
negara-negara Arab Muslim khususnya.
Benarkah perlawanan
Hizbullah dan Gerakan Amal (Amal
Movement), sayap politik Hizbullah dan warga syi’ah di parlemen
Libanon, berjuang untuk Palestina demi membebaskan warganya dari penjajahan
Israel? Mungkinkah kaum mullah yang membenci shahabat Rasulullah saw itu, tulus
membela mati-matian warga Ahlussunnah dari cengekraman kaum penjajah zionis
Israel? Adakah bukti Hizbullah dikendalikan sepenuhnya bukan oleh kepentingan
bersama negara Arab tapi hanya ‘didompleng’ Iran dan Suriah?
Inilah beberapa
pertanyaan penting yang menggelayut seiring benang kusut konflik abadi
Israel-Palestina yang telah berlangsung kurang lebih dari 30 abad itu.
Pertanyaan tersebut tentu saja bukan semata sentimen ideologis (sunnah-syi’ah),
lebih dari itu ingin menunjukkan fakta konflik tentang siapa yang mengobarkan
api dan siapa yang benar-benar memadamkannya. Siapa menebar kebencian, siapa
juga memperjuangkan perdamaian. Pendekatan ideologis, walau bagaimanapun,
merupakan solusi jitu mengungkap misi sebenarnya di balik sebuah perlawanan.
Apalagi ketika salah seorang pemimpin Hizbullah ditanya wartawan tahun 1987,
“Apakah kalian bagian dari Iran?” Ia menjawab, “Bahkan kami adalah Iran di
Libanon dan Libanon di Iran!”
Sejarah Hizbullah
syi’ah di Libanon tidak bisa terlepas dari peristiwa perang saudara di Libanon,
yang melibatkan lebih dari satu kelompok di antaranya rezim syi’ah Suriah
Nashiriyah, syi’ah Imamiyah dalam milisi Amal (harakah amal), dan tentara Libanon. Organisasi yang
lahir dari konflik di negara miskin, tidak bisa dipungkiri ada pengaruh besar
negara lain, terutama Iran dan Suriah. Dalam setiap tahunnya, Hizbullah selalu
ditopang Iran hampir 100 juta dolar terutama setelah penarikan mundur Israel
tahun 2000. Karena itu, dukungan besar-besaran Iran dan Suriah kepada Hizbullah
memang patut dipertanyakan (Daniel Byman, Should Hezbollah Be Next? Foreign
Affairs, Nov-Des 2003, hlm. 54-63).
Melihat fakta
demikian, apa sebenarnya misi Iran di Timur Tengah? Benarkah mereka memiliki
agenda terselubung (hidden
curriculum) dan misi ideologis yang melampaui kepentingan politik
dan ekonomi regional mereka di kawasan terutama dalam menancapkan pengaruh
syi’ah di Timur Tengah?
Berawal dari
revolusi 1979 yang menjadi simbol perlawanan arogansi pemerintah AS dan Inggris
di Iran (rushan fekran),
justru mereka yakini bukan sebatas perubahan struktur kekuasaan nasional
belaka, tapi menebar misi suci ideologis jauh melampaui wilayah regional di
Timur Tengah bahkan internasional. Melalui embrio Hizbullah di selatan Libanon
pasca revolusi 1979, Iran ingin mengirimkan pesan bagi warga Arab teluk, rezim
syi’ah hendaknya tidak dipandang sebelah mata. Mereka akan muncul sebagai
petangguh dan mesias dalam menyelesaikan konflik Israel Palestina.
Demikian misi politik
dan ideologis Iran berjalan saling beriringan. Logika misionaris ini pula yang
kelak mengungkap di balik kecerdikan Iran yang selalu berhasil mencuri start kampanye meraih simpati dunia dari
negara-negara Arab lain khususnya menyoroti konflik Timur Tengah. Di tengah
konflik panjang zionis Israel dan Palestina, Iran selalu muncul di garda
perlawanan terdepan. Syi’ah Imamiyah, madzhab mayoritas Iran, memang termasuk
aliran keagamaan yang memiliki watak revolusioner sepanjang sejarah. Sikap
revolusioner menjadi tabiat dasar gerakan mereka dalam melawan segala macam
tirani dan penindasan.
Ini karena
psikologi keagamaan syi’ah yang memang tertekan akibat sejarah kelam
terbunuhnya Al-Hussain ibn Ali ibn Abu Thalib oleh Yazid ibn Mu’awiyah II,
penguasa Dinasti Umayyah, di Karbala. Tragedi Karbala, berikutnya mewariskan
perasaan bersalah secara turun-temurun (‘uqdah
dzanbin muta`ashshilah) bagi pengikut syi’ah hingga generasi kini.
Dalam konteks inilah, menebar kebencian dan permusuhan pada pendukung Mu’awiyah
di tanah muslim sunnah Arab, termasuk salah satu bentuk revolusi yang mesti
terus dikobarkan sebagai penebus rasa bersalah mereka tidak ikut serta membela
sang Imam dalam pertempuran sengit antartokoh terkemuka Islam yang selalu
mereka peringati setiap tanggal 10 Muharram (‘Asyura)
tersebut.
Mereka mesti
mewujudkan dan menegakkan revolusi hingga puncak tujuan. Mereka seolah hendak
membebaskan diri dari rasa bersalah sekaligus mengekspresikan dendam terpendam
kepada puak pengikut ‘pembunuh’ Al-Hussain di Karbala. Demi menggencarkan
revolusi Iran di mana-mana, penganut syi’ah imamiyah bersekutu dengan siapapun
termasuk AS dan zionis Israel seperti yang mereka lakukan di Irak beberapa
tahun lalu dan saat perang saudara berkecamuk tahun 1975-1990 di Libanon. Mereka
aktif melakukan pembantaian etnis; mengejar, membunuh, dan menyembelih tokoh
serta ulama Ahlussunnah. Tidak akan pernah terlupakan, pada malam Senin
(20/5/1985 M), milisi Amal menyerbu perkemahan Shabra dan Syatila yang dihuni
warga Palestina dan membunuh secara membabi buta laki-laki, wanita, dan
anak-anak. Tujuan mereka adalah menduduki Libanon selatan dengan mengusir warga
Palestina sunnah dari tanah Libanon.
Mereka kemudian
gencar mengkampanyekan revolusi Karbala kapan pun dan di mana pun. Bagi mereka,
“Setiap hari adalah ‘Asyura, dan seluruh bumi adalah
Karbala.” Darah para pemimpin mereka kadung bercucuran dalam peristiwa Karbala
guna membela Al-Hussain, maka alirkanlah sungai-sungai guna mencuci kejahatan
itu dari muka bumi dan menggantinya dengan kemuliaan yang hilang (al-syaraf al-dha`i’). Apalagi kalau
bukan untuk mengembalikan kejayaan Dinasti Fatimiyyah (361-567 H/971-1171 M)
dan Dinasti Shafawiyyah (Dinasti yang mensyi’ahkan Iran pasca kegemilangan
Islam tahun 1501-1979 M) yang berkuasa dari Timur Persia ke Semenanjung Arabia
hingga Afrika Selatan.
Agresi
Israel Ke Gaza
Dalam agresi Israel
terhadap Gaza baru-baru ini, yang dalam waktu tiga pekan menggugurkan kurang
lebih sekira 1300 syuhada, misalnya, Iran begitu getol dan ‘ngotot’
mempertaruhkan bahkan mengeksploitasi segala kekuatan mulai dari ekonomi dan
politik dalam penyelesaian konflik di Timur Tengah utamanya untuk ‘membela’
warga Palestina dan ‘melawan’ zonis Israel. Di saat mayoritas pemimpin Arab
diam membisu, Iran tanpa henti muncul di media internasional. Tak
tanggung-tanggung, Presiden Ahmadinejad bahkan berani melontarkan pernyataan
agar membawa seluruh pemimpin Israel diadili di mahkamah internasional karena
kejahatan perang. Sungguh pernyataan berani dan spektakuler di tengah sunyinya
perlawanan negara-negara Arab terhadap saudara mereka di Palestina.
Sedikit demi
sedikit tujuan Iran dalam menancapkan pengaruh syi’ah di Timur Tengah, mulai
terlihat. Betapa Presiden Ahmadinejad selalu sukses membetot perhatian media
internasional. Sekalipun semua kecaman Ahmadinejad tersebut –yang pernah
menebar omong kosong agar dunia mau menghapuskan Israel dari peta dunia—hanya
koar-koar belaka atau sebatas retorika politik saja. Namun demikian, dalam
sorotan media, Iran tetap berhasil memikat perhatian dunia dalam memainkan
peran politik regionalnya dalam pembebasan Timur Tengah ketimbang negara-negara
Arab Teluk lainnya. Politik ‘setengah hati’ dunia Arab tersebut tentu saja
memberikan peran besar kepada Iran yang berada di Timur Persia untuk berperan
banyak untuk menuntaskan konflik Israel Palestina dalam kancah dunia
internasional.
Seperti yang
sudah-sudah, negara Arab hanya mampu menyelesaikan konflik bersenjata Israel
dan Palestina berakhir pada meja perundingan, sekadar menggelar konferensi tingkat
tinggi atau konferensi darurat (qimah
al-thari`ah) seperti diselenggarakan di Qatar waktu lalu. Tidakkah
mereka memetik pelajaran kalau konferensi semacam itu hanya berhasil
mengeluarkan resolusi berupa kecaman seperti halnya dilakukan para demonstran
anti zionis di seluruh dunia? Sungguh sangat disayangkan jika konferensi
berbiaya mahal itu keputusannya tak lebih suara moral yang sama nilainya dengan
‘konferensi jalanan’ para demonstran di seluruh dunia.
Akhirnya kebekuan
politik negara Arab tersebut tidak saja menjadikan para pemimpinnya kehilangan
harga diri di mata dunia internasional tapi juga memberi kesempatan lebih luas
pada Iran berikut sekutunya di Suriah, Libanon, maupun beberapa negara di
Amerika Latin untuk mencuri simpati dunia.
Dalam konteks lain,
kesunyian perlawanan dunia Arab dengan cerdik dijadikan momentum oleh negara
para mullah untuk mengadu domba bangsa Arab satu sama lainnya. Iran tidak hanya
mengutuk agresi Israel ke Gaza, para pemangku kekuasaan resmi dan tokoh
kultural syi’ah Iran (Pemimpin Agung) melontarkan tuduhan dan menebar kebencian
kepada para pemimpin Arab yang terkesan berdiam diri atas agresi ini. Seruan
para tokoh syi’ah Iran tersebut berhasil menyulut kebencian Iran kepada para
pemimpin Arab. Mereka bukan saja mengutuk Arab Saudi dan Mesir, sebagai sekutu
AS dan Israel di Timur Tengah yang saat agresi Israel kemarin tidak mau membuka
perbatasan di jalur Gaza dan Rafah, mereka juga begitu berani membakar
gambar-gambar pemimpin Arab seperti Raja Abdullah, Hosni Mubarak, dan
menggandengkan Syekh Al-Azhar, Sayid Thanthawi, dengan tokoh-tokoh zionis
Israel.
Wajar saja mereka
mengutuk Mesir karena ada dendam sejarah di mana kaum sunnah dianggap telah
merebut kekuasaan Dinasti Fatimiyah yang berkuasa di utara Afrika tahun 361-567
H (971-1171 M). Masjid Al-Azhar yang kelak menjadi universitas Islam tertua di
dunia, termasuk salah satu peninggalan mereka. Dinasti ini menisbatkan nama
mereka kepada puteri Rasulullah saw. Mereka adalah keturunan syi’ah Alawiyyah
yang menganut madzhab syi’ah Ismailiyyah. Dinasti ini kemudian di-sunni-kan
oleh Dinasti Ayyubiyyah (567-648 H./1171-1250 M.) pimpinan Shalahuddin
Al-Ayyubi, saat merebut Yerusalem ke tangan umat Islam pada perang Salib.
Demikian kebencian
syi’ah terhadap Saudi Arabia yang notabene Hanbalian, memiliki latar sejarah
dalam memori kolektif mereka. Madzhab berhaluan salafi ini merupakan gerakan
yang paling getol mempropagandakan ancaman syi’ah Rafidhah di kawasan serta
berhasil membongkar kebusukan mereka terhadap umat Islam sepanjang sejarah.
Terbukti, sekalipun Al-Qaidah dan Hizbullah sama-sama merupakan gerakan
perlawanan militan terhadap ancaman AS dan Israel, namun keduanya menolak untuk
saling bekerja sama bahkan cenderung saling menuding biang kekacauan di Timur
Tengah karena memang keduanya berbeda haluan ideologis.
Di Balik
Kemesraan Hamas dan Hizbullah
Ada fakta tidak
mengenakkan dari Majalah Rouz El-Youssef (22/6/2007), yang mengungkap
kedekatan Hamas dengan Hizbullah, adalah karena faktor politis-ideologis. Sudah
sejak lama syi’ah berperan dalam berbagai gerakan perlawanan di Palestina. Ini
dikarenakan pengaruh Iran tadi yang memang ingin menancapkan hegemoni
ideologisnya di Timur Tengah beberapa tahun belakangan. Abdullah Kamal,
wartawan Rouz El-Youssef, menyebut dua
alasan kenapa syi’ah berkembang luas di Palestina. Pertama,
terpengaruh oleh pidato revolusionernya Khomeini seputar revolusi syi’ah Iran
1979. Kedua, karena dukungan Iran kepada beberapa faksi
perlawanan di bawah komando Harakah Al-Jihad yang memang berhaluan syi’ah.
Gerakan perlawanan
pimpinan Fathi Asy-Syaqaqi, pendiri sekaligus sekjen pertama organisasi
paramiliter Al-Jihad, sudah lama terpengaruh
revolusi Islam Iran apalagi ia pernah tinggal lama di Teheran. Selain
Asy-Syaqaqi, nama lain yang berperan mensyi’ahkan gerakan perlawanan Palestina
adalah Nafidz Azzam (jubir Al-Jihad di jalur Gaza yang pernah ditahan
pemerintah Mesir), Muhammad Syahadah (petinggi Harakah
Al-Jihad asal
Betlehem), dan Muhammad Abdul Fattah Khawatimah (Ketua Majlis Syi’ah Tertinggi
yang urung didirikan dan mencetuskan pendirian masjid syi’ah di Ramallah).
Begitu pula
hubungan Iran dengan Hamas. Hamas yang berhaluan sunnah memang khawatir akan
misionaris syi’ah, namun kedekatan mereka dengan Iran begitu ‘mesra’. Hamas
dipilih Suriah dan Iran karena Hamas memang lemah menindak misionaris syi’ah di
Palestina. Ini keuntungan bagi dua negara tersebut. Apalagi Hamas, yang
merupakan Ikhwanul Muslimin-nya Palestina,
memang dinilai terlalu toleran (tasahul)
terhadap ajaran syi’ah. Hal ini bisa jadi terjadi karena terinspirasi oleh
Hassan Al-Banna, tokoh pendiri Ikhwanul Muslimin, yang juga pernah
mendirikan Komisi Kesepahaman Sunnah dan Syi’ah (Lajnah At-Taqrib Baina As-Sunnah wa Asy-Syi’ah).
Kemesraan Hamas
dengan faksi Hizbullah memang sudah terjalin lama. Beberapa pimpinan Hamas
seringkali bersekongkol dan berkoalisi secara strategis dengan Iran. Pujian
Ismail Haniyah, PM Palestina yang juga petinggi Hamas akhir Desember 2006,
terhadap dukungan Hizbullah bisa dijadikan salah satu indikasi. Penempatan Imad
Al-Ilmi, seorang anggota Biro Politik yang juga mantan delegasi Hamas di
Teheran, tentu bukan tanpa alasan bilateral. Bahkan tak sungkan beberapa
pengurus Biro Politik Hamas pernah menghadiri perayaan ritus‘Asyura atas undangan Hizbullah di Libanon.
Begitu pula Usamah Hamdan, delegasi Hamas di Libanon dan Teheran, yang banyak
terpengaruh ajaran syi’ah dan pernah menyebut Khalid Meshaal –tokoh paling
berpengaruh Hamas yang tinggal di Damaskus—sebagai anak spiritual (al-ibn ar-ruhi) Imam Khomeini (Rouz El-Youssef, 22/6/2007, hlm. 15-16).
Syi’ah sudah begitu
mengganas dengan begitu mulus bahkan di jantung konflik. Sudah sepatutnya ini
menjadi alarm merah bagi kaum sunnah di kawasan teluk. Terlebih, dengan lugas,
Dr Muhammad Bassam, anggota Dewan Pendiri Rabithah Al-Udaba` Al-Syam(Ikatan
Sastrawan Syam), menegaskan tujuan utama dari proyek kaum Shafawi Persia ini
adalah menguasai dunia Arab dan Islam, dimulai dengan menundukkan wilayah bulan
sabit (negeri-negeri Syam dan Irak). Shafawi adalah dinasti yang merubah Parsi
Islam menjadi Islam syi’ah yang berlangsung sejak 1501 hingga terbentuknya Iran
modern pasca revolusi Iran tahun 1979. Proyek Shafawisasi ini setidaknya
dibangun di atas 5 pijakan.Pertama,
bekerja sama dengan kekuatan Barat di bawah komando AS guna menguasai
negeri-negeri kaum muslimin serta melakukan peran-peran keji yang tidak kalah
sengit dengan apa yang dilakukan Ibnu Al-Alqamy saat bekerja sama dengan Holako
Khan untuk menjatuhkan Khilafah Islamiyah.
Kedua, menyalakan konflik antarkelompok, melakukan upaya
pembersihan etnis, dan bekerja keras membagi-bagi wilayah kaum muslimin
Ahlussunnah seperti terjadi di Irak beberapa waktu lalu. Ketiga,
membunuh tokoh-tokoh potensial Ahlussunnah mulai kalangan ilmuwan, militer, dan
agamawan. Keempat, melakukan kamuflase
demografis seperti terjadi di Suriah, Libanon, Yordania, dan Irak. Kelima,
menciptakan benturan-benturan fiktif dengan kaum zionis Israel guna memancing
Israel mengamuk lalu menghancurkan negeri-negeri Muslim Arab. Beberapa agenda
inilah yang mendorong Bassam sampai pada kesimpulan, bahaya ‘mimpi-mimpi’ kaum
Persianis yang didukung Suriah, Hizbullah, dan kelompok syi’ah Irak, merupakan
persekutuan gelap yang telah berubah menjadi gejala ‘kanker’ keji bagi umat
Islam di kawasan Arab di mana bahayanya melebihi bahaya zionis Israel itu
sendiri (Al-Khaleej, 11/7/2006).
Sejarah memang tak
pernah berbohong dan selalu jujur pada fakta kebenaran. Serapih-rapihnya
menyimpan bangkai, busuknya akan tercium juga. Tanpa dasar apologis yang juga
tidak sepakat sikap mayoritas pemimpin Arab yang memang berdiam diri, tapi hendak
menghadirkan renungan lain seputar pembelaan ‘saudara’ yang selalu menjadi
musuh di balik selimut sepanjang sejarah. Kehadiran kaum mullah di
tengah-tengah warga sunni Timur Tengah, menjadi begitu signifikan manakala
antarnegara teluk saling beradu pengaruh dan berselisih karena perbedaan
kepentingan ekonomi dan politik. Begitu pula dalam jantung terdalam konflik, di
mana kelompok Hamas dan Fatah, tak kunjung akur dalam misi perlawanan menentang
pendudukan Israel.
Lengkaplah sudah
kerontokkan solidaritas dunia Arab. Lantas bagaimana bisa meluluh-lantakkan
kekuatan zionis yang begitu tangguh dengan persenjataan canggih itu? Perilaku
kaum zionis selama ini memang dikecam seluruh umat manusia di seluruh penjuru
dunia, namun upaya mengail di air keruh dan menggunakan kesempatan di atas
kesempitan kaum mullah Iran, adalah tindakan kurang fair sehingga perlu
mendapatkan tanggapan strategis yang serius.
Sungguh tidak ada
senjata paling canggih yang diwariskan Rasulullah saw kepada umatnya selain
bersatu melawan dua musuh utama sekaligus; kebiadaban AS dan zionis di Barat
serta menghadang ancaman militer syi’ah Rafidhah yang keji dari Timur. Maka
kita tak perlu terpukau ketika Hasan Nasrallah pada saat melawan agresi Israel
tahun 2006 mengatakan, “Sebenarnya saya tak ingin menyatakan Hizbullah bukan
berperang mewakili Hizbullah, tapi mewakili umat Islam. Namun ke mana umat itu
kini dalam perang ini?”
Banyak kaum
muslimin terkagum-kagum dan tertipu dengan pernyataan ini. Nasrallah
seakan-akan ingin mengatakan, hanya dirinya dan Hizbullah saja yang berani
melawan dan memerangi Israel. Pada saat yang sama, Nasrallah menihilkan
perjuangan kaum muslimin lain yang juga berjuang keras di Palestina. Gaya
seperti ini mirip yang dilakukan tokoh idola Hasan Nasrallah sendiri, Khomeini,
yang dulu menyatakan revolusi Iran adalah revolusi Islam namun kemudian
menggantung Syeikh Ahmad Mufti Zadah tahun 1993 (tokoh Ahlussunnah Iran yang
juga pendukung revolusinya) dan mengirimkan tentara-tentara untuk membunuh
gurunya sendiri yaitu Ayatullah Syariat Madari yang menentangnya dalam konsep vilayatul
faqih. Wallahu A’lam.***