Saturday, May 28, 2016

Penindasan (Kekejaman) Penguasa Kristen (Dewan Inkuisisi Gereja Spanyol) Terhadap Umat Islam Di Andalusia Pasca Jatuhnya Granada (Kekejian Bashar Asaad Terhadap Ahlus Sunnah melebihi mereka)


Kisah Hidup Seorang Muslim Di BawahPenjajahan Penguasa Kristen Spanyol

Sebuah nostalgia. Andalusia, suatu daerah di Spanyol pernah cemerlang gemerlapan disinari oleh nur Islam. Pada saat itu benar-benar tumbuh nilai-nilai budaya dan peradaban dunia insani. Andalusia menjadi pusat sumber segala sumber ilmu pengetahuan. Filosof dan ilmuwan silih berganti bermunculan mewarnai kesegaran nafas Islami. Ilmu, budaya, dan iman tumbuh dalam simbiosa mutualistis (saling menghidupi dan saling mengisi). Semua itu tumbuh segar dari keaslian akar Islam yang menyinari Andalusia yang tercinta ini.
Akan tetapi apa lacur? Entah bagaimana ceritanya, umat Islam berangsur-angsur meninggalkan prinsip-prinsip yang digariskan oleh ketentuan Islam, dan mulai pudarlah sinar Islam sampai titik kulminasi yang paling kritis. Hari demi hari umat Islam mulai meninggalkan Andalusia dan tertinggal menjadi bulan-bulanan kebiadaban kaum kristiani yang ada di Spanyol.
Situasi kehidupan umat Islam yang tertinggal makin hari makin tragis, dikoyak-koyak oleh kekejaman kaum kristiani. Penguasa Kristen di Spanyol muncul dalalm kekejaman dan kebengisan sepeti kesetanan. Setiap muslim mulai orok sampai tua bangka dikejar, diteror, disiksa, dan dibunuh dengan semena-mena tiada taranya. Diantara umat Islam yang dikepung oleh kebengisan penguasa Kristen itu adalah satu rumah tangga yang terdiri dari ayah, ibu dan anaknya laki-laki yang masih kecil. Si anak itu, yang sekarang sudah menjadi ulama besar, sempat mengungkapkan tragedi yang dialami oleh keluarga sebagai berikut :
Saat itu aku masih kecil, dan masuk sekolah Kristen. Tanpa kusadari, apa yang kuperoleh dari sekolah kuceritakan kepada ayahku. Banyak ayat dari kitab Injil aku hafal. Dengan bangga hal itu pun aku laporkan kepada ayah. Setelah mendengar ini, tiba-tiba kulihat wajah ayahku menjadi pucat dan sekujur badannya gemetar. Secepatnya ia meninggalkan aku menuju sebuah kamar pribadinya yang terletak paling ujung. Ayah melarang keras siapa saja memasuki kamar pribadinya itu. Mendekati saja tidak boleh. Termasuk ibu dan aku sendiri. Jadi aku sendiri tidak tahu apa yang diperbuat ayah dikamarnya itu. Agak lama ia membenamkan dirinya di dalam kamar. Beberapa jam kemudian setelah keluar dari kamarnya, kulihat kedua matanya merah seperti menangis sedu. Terhadap pertanyaankau, ia selalu mengelak. Sejak saat itu, ia suka memandang aku agak lama dengan wajah sayu yang penuh duka, sambil menggerakkan bibirnya seperti membaca sesuatu dengan suara halus. Kalau aku mendekati untuk mendengar apa yang ia baca, secepatnya ia berpaling dan pergi tanpa mengucap sedikit pun. Aku membaca sesuatu yang aneh di raut wajah ayahku.
Setiap pagi saat aku hendak berangkat ke sekolah, ibuku seperti berat melepaskan aku. Wajahnya begitu murung, dan sambil mencucurkan air mata dipeluknya aku dan dicium berkali-kali.
Baru saja aku dilepas dan kakiku melangkah kecil, ditariknya kembali dan dihujani peluk-cium lagi, sampai cucuran air matanya yang hangat membasahi mukaku. Aneh bin ajaib. Aku heran tak habis-habisnya, dan tidak faham latar belakang semua itu. Kalau aku pulang dr sekolah, ibuku menyambutku dengan penuh mesra dan kerinduan, seolah-olah puluan tahun berpisah dengan anaknya. Setiap otakku dipenuhi oleh teka-teki yang sukar dijawab.
Ditengah-tengah kelesuan keluarga, sejak itu sering kali kulihat kedua orang tua suka duduk berduaan seperti menghindari aku. Mereka suka berbicara perlahan dan berbisik, tapi bukan dengan bahasa spanyol. Aku menjadi bingung dan resah. Bahasa mereka tak kukenal. Setiap kali aku mendekati, mereka alihkan pembicaraannya dengan bahasa Spanyol. Dalam hatiku timbul prasangka dan dugaan, jangan-jangan aku ini hanya anak angkat dan bukan anak mereka sendiri. Hatiku kesal, wajahku murung tak pernah cerah. Aku suka menyendiri di suatu pojok, dan sering pula mengangis sendirian memikirkan semua teka-teki yang menyelimuti keluargaku ini. Semua itu menimbulkan stigma (vlek) dalam hatiku. Mungkin itu disebut ‘stress’ ataukah neurosa? Entahlah yang jelas, sejak itu terasa ada kelainan dalam diriku, yang berbeda dari anak-anak sebaya denganku. Aku lebih suka menyendiri, tidak ikut main-main dengan anak lainnya. Aku suka duduk merenung sambil menutup wajahku dengan kedua tangan. Aku ingin rasanya segera bisa menjawab teka-teki yang menyelimuti keluargaku. Pernah kualami, tiba-tiba saja pak guru menegur dan menggiring aku ke gereja. Aku jadi bengong.
Pada suatu hari ibuku melahrkan seorang bayi. Aku lari-lari memberitakan kepada ayah. Ayahku tidak tampak gembira, walau yang lahir itu seorang bayi laki-laki. Bahkan wajahnya terlihat sedih. Ketika ia melangkah hendak mengabari rahib tentang kelahiran anaknya itu. Ia kembali membawa rahib ke rumah dengan wajah merunduk ke bawah. Wajahnya diliputi putus asa penyesalan.
Kian hari kulihat wajahnya makin muram dan sorot matanya makin redup melayu. Hatiku makin tersayat pilu memikirkan penderitaan ayah ini. Aku tidak tahu apa yang mesti kukerjakan. Begitu berjalan berhari-hari.
Datanglah malam hari paskah. Kota Granada tenggelam dalam kegemerlapan cahaya lampu yang beraneka warna, seperti Jannah dengan bau minyak wangi kasturinya. Gedung Alhambra gemerlapan memancarkan cahaya lampu warna-warni. Tiang-tiang salib terpancang megah di setiap halaman. Menara-menara nampak gemerlang mempesona oleh kedap-kedipnya lampu, dan terlihat gagah menjulang tinggi mencakar langit.
Di tengah pesta malam yang gemerlapan itu, ayah membangunkanku. Seisi rumah sedang tenggelam tidur nyenyak. Ayah menggiring aku ke kamar pribadinya yang ’suci’ itu. Hatiku berdebar-debar bercampur heran. Tapi aku bisa menahan menutupi perasaan getir itu. Setelah kita berdua masuk, ayah mengunci pintu rapat-rapat. Suasananya sangat gelap tanpa lampu, dan aku tertegun dalam kegelap-gulitaan. Kemudian ayah menyalakan lampu kecil dan kulihat sekeliling kamar itu kosong melompong. Tak ada satu pun benda yang menarik untuk dilihat, kecuali selembar permadani yang terhampar, deretan buku di atas rak dan sebuah pedang bergantung di dinding. Ayah menyuruh aku dengan isyarat supaya aku duduk di permadani. Ia terpaku diam memusatkan pandangannya yang tajam kepadaku. Ketajaman pandangannya menyebabkan suasana kamar yang sunyi itu bertambah angker. Bulu romaku berdiri dan angan-anganku itu terbang merana menembus kesunyian kamar itu tidak karuan kemana arahnya. Aku tidak bisa membayangkan lagi apa yang kurasakan pada saat itu. Tiba-tiba ayahku dengan penuh kasih sayang memegang tanganku. Sambil meremas-remas jari-jari tanganku, terlontar deratan kata-kata dengan suara yang lembut mengesankan:
”Wahai anakku, sekarang engkau sudah menginjak usia dewasa. Sudah 10 tahun lebih umurmu. Engkau sudah mejadi seorang remaja. Sudah saatnya aku mengungkap segala tabir rahasia yang kusimpan selama ini terhadapmu. hanya satu pintaku, sanggupkah engkau merahasiakan rapat-rapat pesanku ini. Engkau tidak boleh membocorkan pesanku ini, berarti engkau ekan melemparkan tubuh ayahmu ke tangan algojo-algojo yang berada di inkuisisi.”
Mendengar sebutan ’Inkuisisi’ itu, bulu romaku berdiri dan sekujur badanku gemetar ketakutan. Aku tahu benar praktek Inkuisisi itu, walau aku masih kecil. Setiap hari aku berangkat ke sekolah, kulihat dengan mata kepalaku sendiri sosok manusia yang bergantung di jalan-jalan raya, disalib, dibakar hidup-hidup. Kaum wanita di gantung rambutnya, di sayat kulitnya sampai berceceran semua isi perut, menyebarkan bau busuk menyengat di sekitar tempat gantungan. Aku terdiam dan tidak kuasa menahan rasa ngeri yang terbayang dalam benakku.
“Mengapa engkau diam tidak menjawab? Bisakah engkau menyimpan rahasia yang hendak aku sampaikan kepadamu?” desak ayah.
Aku menjawab setengah gemetar, ”bisa ayah.”
”Rahasiakan walau terhadap ibumu sendiri dan terhadap sahabatmu yang dekat sekalipun,” tandasnya dengan penuh kesungguhan.
”Baik ayah, aku sanggup,” jawabku meyakinkan.
Ayah terlihat bingar, dan sambil menarik tanganku ia berkata, ”baiklah, dekatkanlah dirimu kemari. Kau pasang telingamu lebar-lebar. Aku tidak berani bicara keras, karena dinding-dinding ini punya telinga dan bisa melaporkan aku ke Inkuisisi,” ayah menandaskan itu sambil menunjuk ke empat penjuru dinding.
Kemudian ia berdiri mengambil sebuah kitab dan disodorkan ke muka mataku. ”Tahukah engkau kitab ini, wahai anakku?” tanyannya.
”Tidak ayah,” jawabku.
”Ini adalah kitabullah,” ia menandaskan. “Kitabullah? maksud ayah kitab suci yang diajarkan Isa anak Tuhan?” selaku dengan terheran-heran.
”Bukan,” jawab ayah dengan gemetar, ”ini adalah Al-Quran yang diturunkan Allah Yang Maha Esa, Maha Perkasa dan Maha Kuat. Tiada Bandingannya, Tiada Beranak dan Tiada pula Diperanakan, Tidak ada sesuatupun setara dengan Dia. Kitab ini diturunkan kepada makhluknya termulia dan terunggul. Nabinya yaitu Muhammad bin Abdillah.”
Kubuka lebar-lebar mataku keheranan karena aku belum faham benar apa yang dimaksud ayahku itu.
”Ini kitabnya Islam,” jelasnya, ”yaitu agama yang haq yang dibawa oleh utusan Allah, Muhammad Rasulullah kepada seluruh umat manusia. Beliau dilahirkan nun jauh di sana, melintas lautan dan beberapa negara. Di padang pasir yang jauh, yang disebut kota Mekkah, di tengah umat yang tadinya terbelakang dan bodoh, yang kemudian mendapat hidayah dari Allah menjadi umat tauhid, dikaruniai Allah persatuan yang kokoh, ilmu pengetahuan yang cemerlang, peradaban yang tinggi, mereka berhasil keluar membuka pintu negara-negara di Timur dan Barat. Dan sampailah mereka ke negeri ini, negeri Spanyol yang rajanya dhalim, pemerintahannya kejam sedang rakyatnya teraniaya dan miskin, dalam kebodohan dan kemunduran. Akhirnya raja yang dhalim itu terbunuh dan runtuhlah pemerintahan yang kejam itu. Setelah Islam berkuasa di Spanyol, menyebarluaslah keadilan sosial, derajat, dan martabat rakyatnya terangkat. Negara pun menjadi kuat. Islam menetap disini 800 tahun lamanya. Selama itu negeri ini menjadi negeri yang paling unggul dan paling megah di dunia, dan kami ini wahai anakku adalah kaum muslimin yang tersisa dan bersembunyi disini.”
Mendengar uraian ayahku yang bersemangat itu, aku ternganga takjub bercampur takut dan juga benci. Aku mencoba hencak berteriak, ”apa ayah, kitab kaum muslimin?”
Ayah segera menutup mulutku sambil berseloroh, ”benar wahai anakku. Rahasia ini lah yang kubungkus rapat bertahun-tahun, untuk kubuka kepadamu apabila engkau sudah menginjak dewasa. Sesungguhnya kitalah pemilik negeri ini. Kitalah yang membangun semua gedung dan bangunan yang kini beralih menjadi milik lawan kita. Kitalah yang mendirikan menara-menata untuk mengumandangkan adzan, dan kini telah diganti dengan suara lonceng gereja. Masjid-masjid yang kita bangun sebagai tempat ibadah sholat yang dipimpin oleh para imam yang membacakan kalam ilahi sekarang diubah menjadi gereja yang dipimpin oleh para yang membaca Injil. Wahai anakku, kita kaum muslimin telah meletakkan pada setiap sudut negeri Spanyol ini kenangan indah yang mengesankan. Setiap jengkal tanahnya pernah dilalui para mujahidin dan syuhada kita. Kitalah yang membangun semua kota, semua jembatan, dan kita pula yang membuka jalan-jalan raya dan semua sarana jalan di negeri ini. Kita pula yang membenahi semua irigasi pertanian, menanam dan mengatur segala tanaman dan taman-tamannya. Dengarkan baik-baik anakku. Sejak 40 tahun lalu raja kita Abu Abdillah yang kasihan itu telah tertipu racun janji muluk dari Raja Spanyol. Raja Abu Abdillah sebagai raja terakhir kaum muslimin di negeri ini tertipu menyerahkan kunci kota Granada dengan perjanjian, bahwa raja yang sekarang ini akan memberi kebebasan kepada umat Islam melakukan ibadahnya, serta menjaga segala pusaka dan kuburan nenek moyang mereka. Raja Abu Abdillah mengasingkan diri ke Maroko dan wafat di sana. Mereka ini telah menjanjikan kita kemerdekaan beragama, keadilan, dan kebebasan. Akan tetapi setelah mereka berkasa, mereka injak-injak semua perjanjian bersama itu. Mereka mendirikan Inkuisisi untuk memaksa kita memeluk agama Kristen, melarang penggunaan bahasa kita, dan mengkristenkan semua anak keturunan kita dengan paksa.”
“Itulah sebabnya kita melakukan ibadah dengan sembunyi, membuat kita sedih karena penghinaan mereka terhadap agama kita dan memurtadkan anak cucu kita. Empat puluh tahun lamanya kita tersayat-sayat siksaan yang berat, sambil menantikan hari kebebasan dari Allah. Kita tidak berputus-asa, karena hal itu dilarang oleh agama kita, sebagai agama yang didasari kekuatan, kesabaran dan perjuagan. Rahasia inilah wahai anakku yang harus kau simpan. Ketahuilah, nasib ayahmu terletak di mulutmu. Jangan engkau menyangka aku takut mati. Atau benci bertemu Tuhanku. Tetapi aku ingin diberi kesempatan hidup sampai batas menyelesaikan tugasku. Mendidik engkau tentang bahasa dan agamamu, demi menyelamatkan engkau dari kekufuran. Sampai sekian dulu anakku, dan pergilah tidur.”
Sejak saat itu, setiap aku melihat gedung Alhambra dan menara-menara kota Granada, mataku terbelalak, tubuhku gemetar dan darahku mendidih. Lahir kerinduan dan kesedihan, benci bercampur cinta. Benci, karena semua itu sudah dikuasai oleh lawan agamaku. Cinta, karena semua itu dirintis, dibangun dan diukir oleh pejuang-pejuang yang telah meninggalkan negeri ini. Semua itu menggoncang-goncang nafsuku. Terkadang tanpa ku sadari aku sudah di hadapan gedung Alhambra, sambil mencemooh dan bergumam, ”Wahai Alhambra, kini kasih sayang ku telah sirna. Lupakah engkau kepada mereka yang membangun dan memperindah engkau?? Begitu juga kepada kawan seperjuanganmu yang rela memperjuangkan hidupnya, mengucurkan darah dan air matanya?? Masa bodokah engkau terhadap masa jaya dan kecintaan mereka kepadamu?? Sudah lupakah engkau terhadap manusia-manusia mulia yang berkeliaran di pelataranmu, suka bersandar di tiang-tiang bangunanmu dan menyayangi engkau?? Engkau dijadikan lambang kejayaan, kebanggaan, dan keindahan. Mereka adalah tokoh-tokoh terhormat, yang tiap ucapannya didengar oleh dunia, dan tiap jasanya disambut hangat sepanjang masa. Sudah jinakkah engkau kepada petualang-petualang jahanam itu?? Setelah sirna gema suara adzan, sudah relakah engkau mendengar suara lonceng dan dipeluk oleh para rahib yang menggantikan para imam??”
Setelah aku puas mencaci maki, Alhambra yang terkutuk itu, sadarlah aku, jangan-jangan gumamku itu terdengar mata-mata inkuisisi. Aku cepat-cepat pulang untuk menghafal bahasa Arab yang diajarkan ayahku. Aku sudah diajar menulis bahasa Arab. Dan ayahku menandaskan, bahwa tulisan ini adalah milik umat Islam. Setelah itu diajarkan aku mengenal Islam, cara berwudhu dan aku mulai ikut sholat di belakang ayah di kamarnya yang sunyi-senyap itu. Bagaimanapun rahasia ituku simpan rapat-rapat akhirnya terbongkar juga. Ibu ku suka menguji aku, ”Diajari apa engkau oleh ayahmu?”
”Aku tidak diajar apa-apa,” jawabku.
”Aku mendengar engkau dididik sesuatu. Jangan engkau merahasiakan itu kepadaku,” desak ibuku. ”Sungguh, ayah tidak mengajar apa-apa,” jawabku bohong. Pada akhirnya ibuku mengetahui juga.
Setelah aku menguasai bahasa Arab secukupnya, memahami al Quran dan dasar-dasar kaidah Islam. Maka ayah memperkenalkan aku dengan salah seorang sahabatnya seperjuangan. Kita bertiga sering mendirikan sholat bersama-sama dan mengkaji al Quran. Sementara itu di luar dinding-dinding rumah tindakan algojo Inkuisisi bertambah ganas terhadap sisa umat Islam di negeri itu. Hampir setiap hari kita menyaksikan minimal tiga puluh orang banyaknya yang disalib, dibakar hidup-hidup secara demonstratif di tempat-tempat terbuka. Jumlahya menanjak sampai ratusan orang. Yang dianiaya dengan kejam, dicabut kukunya hidup-hidup adapula yang dijejeli air lumpur sampi mati. Adapula yang dibakar kakinya, perutnya jari-jari tangannya dipotong-potong, kemudian dibakar dan dimasukkan ke mulut. Ada juga yang dicemeti sampai babak belur badannya, kemudian dikompres dengan air asam garam. Kekejaman yang memuncak, dan peristiwa itu berjalan sangat panjang pada suatu hari ayahku berpesan:
”Wahai anakku, aku merasa bahwa ajalku sudah semakin dekat. Aku rela mati syahid di tangan mereka, dan semoga Allah mengganjarku dengan jannah-Nya. Dengan demikian aku meninggalkan dunia ini sebagai pemenang. Aku bersyukur, bahwa bebanku yang berat melepaskan engkau dari kekufuran telah berhasil dengan baik. Tongkat estafet itu sekarang telah berada di tanganmu. Kalau aku tertimpa musibah, maka taatilah pamanmu ini. Jangan membantah sedikitpun, ikuti dia kemana saja.”
Beberapa hari telah berlalau sejak ayah menyampaikan pesannya itu. Pada suatu malam, paman kawan ayahku itu datang menjemputku untuk melarikan diri ke negeri Maroko. Aku bertanya kepadanya, ”bagaiman ayah dan ibuku?”
Paman bahkan menghardik keras, ”bukankah ayahmu sudah berpesan, supaya engkau mentaati segala perintahku?”
Aku bungkam dan tak berkutik dan mengikutinya. Sesampai ditempat yang aman, ia menepuk pundakku dengan penuh kasih sayang dan berkata, ”tabahkan hatimu, wahai anak sahabatku.. Kedua orang tuamu telah tercatat sebagai mukminin syuhada di hadapan Allah, meskipun harus lewat pintu gerbang Inkuisisi.”
Beberapa puluh tahun kemudian, anak seorang mujahid yang dilarikan ke Maroko itu tumbuh dan dibesarkan di Maroko. Dia kemudian menjadi seorang ulama besar dan pengarang tenar bernama SIDI MUHAMMAD BIN ABDURRAFI` AL ANDALUSI”.
Disusun oleh Tim Redaktur Muslimdaily.net  
Dikutip dari buku tulisan DR. Jalal ‘Alam, Syaikh Ali Thanthawy, dan Syaikh Muhammad Namer Alkhatib. Dendam Barat & Yahudi Terhadap Islam. Solo: Pustaka Mantiq

Penindasan Penguasa Kristen Terhadap Umat Islam di Andalusia Pasca Jatuhnya Granada

Jatuhnya Granada ke tangan Raja Ferdinand II dari Aragon dan Ratu Isabella I dari Castilla pada tanggal 2 Rabi’ul Awal tahun 897 H (2 Januari 1492 M) merupakan akhir dari kekuasaan Islam di wilayah Andalusia di Iberia. Sejak hari itu pula, umat Islam yang masih tinggal di wilayah Andalusia ditindas dan ditekan. (baca: Jatuhnya Granada & Awal Mula Penindasan Kristen Terhadap Umat Islam di Andalusia
Enam puluh tujuh (67) pasal dalam Perjanjian Granada yang diantaranya meliputi jaminan keselamatan jiwa, agama, dan harta benda, jaminan untuk kehormatan, pemikiran, dan kebebasan, serta jaminan-jaminan lain yang intinya adalah jaminan untuk menjalankan keyakinan dan agama Islam ternyata tak lama ditaati oleh kaum Kristen. Atas pengaruh gereja, penguasa Andalusia segera mengingkari perjanjian damai tak lama setelah menguasai negeri itu. Orang-orang Yahudi kemudian diusir keluar dari Spanyol. Kaum Muslimin dipaksa masuk Kristen, atau terpaksa hijrah keluar dari Spanyol. Mereka memberontak, tapi pada akhirnya dikalahkan. Banyak dari orang-orang Islam ini akhirnya setuju untuk dibaptis.
Sekira 10 tahun setelah Perjanjian Granada, penguasa Kristen di Andalusia (Ferdinand dan Isabella) mengeluarkan beberapa Dekrit yang menekan umat Islam. Diantara beberapa dekrit itu antara lain:
Pada hari Selasa, tanggal 20 Juli 1501 M (4 Muharram 907 H), Raja mengeluarkan Dekrit yang isinya melarang umat Islam berada di wilayah kerajaan Granada. Perintah dua Raja (Ferdinand II dan Isabella I) itu atas perintah tuhannya untuk mebersihkan daerah itu dari orang-orang ‘kafir’. Dengan catatan bahwa mereka yang mau merubah agamanya boleh menetap. Dan yang sudah Kristen dilarang melakukan hubungan apapun lagi dengan Islam. Bagi mereka yang menentang peraturan ini akan diganjar hukuman mati dan seluruh harta bendanya dirampas.
Pada hari Selasa, tanggal 12 Februari 1502 M (13 Ramadhan 908 H), Raja mengeluarkan peraturan bagi setiap muslim pria, minimal berusia 15 tahun dan wanita usia 12 tahun, untuk meninggalkan Granada sebelum awal Mei tahun itu juga. Bagi yang ingin keluar dari wilayah ini diizinkan bila dengan beaya sendiri. Asal tidak menuju Afrika Utara karena saat itu Afrika Utara masih terlibat perang dengan Spanyol. Barangsiapa yang menentang peraturan ini diganjar hukuman mati, penjara, atau dijadikan budak belian dengan dirantai kakinya. Keluarnya peraturan ini dimanfaatkan oleh kaum muslimin. Mereka, orang-orang yang pura-pura memeluk Kristen, menjual hartanya lalu melarikan diri ke Afrika. Melihat gejala ini, maka kemudian penguasa Kristen pun mengeluarkan peraturan baru, yaitu:
Pada tanggal 12 September 1502 M (19 Rabiul Awal 909 H), Raja mengeluarkan peraturan yang isinya melarang kaum muslimin menjual harta bendanya sebelum dua tahun. Mereka hanya diperbolehkan meninggalkan Castilla dan mengungsi ke Aragon atau Portugis.
Merasa masih belum cukup dengan dekrit-dekrit yang dibuat, penguasa Kristen kemudian mendirikan mahkamah-mahkamah di banyak tempat. Mahkamah-mahkamah ini memiliki wewenang yang sangat kejam. Diantara kewenangannya, mahkamah berhak merampas seluruh harta, menghancurkan kehormatan, dan menghina umat Islam. Dengan sewenang-wenang, mahkamah-mahkamah itu menjatuhkan vonis dengan memasukkan sejumlah kaum muslimin ke penjara bawah tanah yang di dalamnya dilangsungkan penyiksaan yang sangat kejam.
Untuk menegakkan aturan-aturan itu, dibentuklah semacam polisi khusus yang bertugas mencari-cari orang-orang yang bukan Katholik. Diantara contoh-contoh tindakan mereka antara lain:
Kardinal Kamnis atau Don Alfonso Manrique menasranikan secara paksa puluhan ribu umat Islam dan Yahudi. Setidaknya, lebih dari lima puluh ribu kaum muslimin berhasil dipaksanya untuk menjadi Katolik dalam sektenya. Kardinal itu menangkapi kaum muslimin (dan Yahudi) dan memasukkannya ke dalam mahkamah pengadilan yang selalu siap dengan siksaan-siksaan.
Karir keuskupan Alfonso Manrique dimulai saat ia menjadi Uskup Badajoz mulai September 1499 sampai sebelum 1516. Kemudian ia diangkat menjadi Uskup Cordoba mulai Agustus 1516-1523, dan selanjutnya menjadi Uskup Agung Sevilla (Agustus 1523). Pada tahun itu juga ia ditunjuk sebagai salah satu orang yang duduk dalam Dewan Inkuisisi. Kematian Alfonso Manrique berakhir dengan cara yang terhina. Ia meninggal pada tanggal 28 September 1538 di Sevilla akibat terjatuh dari kuda.
Bagi Alfonso, yang dimaksud orang-orang kafir adalah orang-orang yang tidak memeluk Katolik yaitu: umat Islam, Yahudi, Kristen aliran Marthin Luther, pemikir-pemikir bebas, dan lain-lain. Mereka inilah yag terus menerus dikejar-kejar, disiksa, dan dibakar. 
Setiap muslim yang sudah menjadi Katolik tidak boleh lagi memuji agama Muhammad SAW. Mereka tidak boleh menyebut Isa al Masih adalah utusan Allah. Tidak boleh menyebut bahwa Isa bukan Tuhan. Mahkamah juga mewajibkan tiap pemeluk Katolik itu untuk menyampaikan keberatan mereka terhadap semua adat istiadat Islam. Mereka harus menegur orang-orang Islam yang telah memeluk Katolik secara paksa itu untuk tidak lagi memakai tradisi Islam. Secara tegas, tidak boleh lagi memakai pakaian terbaiknya pada hari Jumat. Dilarang menghadap ke Timur (ke Ka’bah) untuk shalat. Diharamkan membaca atau mengucap bismillahirrahmanirrahim. Begitu pula tidak boleh mengucapkan basmalah ketika menyembelih ternak.
Orang-orang yang menolak makan daging yang tidak disembelih, akan diintai. Mereka harus makan mau makan daging sembelihan tangan wanita. Mengkhitankan anak juga tergolong sebagai pelanggaran berat. Intinya, semua pola hidup Islami tak boleh sedikitpun dipraktekkan lagi.
Akibatnya, orang-orang Islam yang secara dzahir beragama Katolik itu berusaha semaksimalnya untuk sangat berhati-hati dalam menjalankan ritual-ritual Islam mereka. Mereka sangat hati-hati dalam berwudhu dan menunaikan shalat. Ketika datang bulan Ramadhan, mereka juga tidak bisa menjalankan puasa kecuali beberapa hari saja karena mereka takut ketahuan mahkamah dan para Polisi Khusus. Bahkan sekedar melafalkan kalimat-kalimattayyibah saja mereka berusaha dengan sangat untuk tidak mengatakannya kecuali di tempat yang sembunyi.
Anak-anak kecil yang lelaki maupun perempuan diasramakan di sekolah-sekolah Katolik dan gereja. Tujuannya agar anak-anak tersebut jauh dan asing dari keislaman dan bahasa Arab.
Selanjutnya, Paus mencabut perjanjian yang semula isinya tidak boleh mengganggu umat Islam dan pada tanggal 12 Maret 1524 M, Paus mengeluarkan aturan yang isinya menghimbau Dewan Inkuisisi untuk memaksa umat Islam memeluk Katolik secara total. Bagi yang menolak akan dijadikan budak belian. Paus juga memerintahkan agar semua masjid dijadikan gereja.
Singkat kata, kaum muslimin di Andalusia saat itu benar-benar dipaksa hidup di bawah penindasan dan ancaman. Identitas keislaman dan ke-Arab-an mereka dihapus secara sistematis sampai benar-benar hilang tiada sisa. [mzf/md]
Disusun oleh Tim Redaktur Muslimdaily.net  
Sumber Referensi:
Muhammad Ali Quthub. 1993. Fakta Pembantaian Muslimin di Andalusia. Solo: Pustaka Mantiq
Wikipedia.org
*Keterangan gambar: Salah satu bentuk penyiksaan yang dilakukan oleh Dewan Inkuisisi di Spanyol


Kekejaman Dewan Inkuisisi Gereja Spanyol


Ada tujuh belas pengadilan Inkuisisi di Spanyol dan masing-masing membakar rata-rata 10 pelaku bid’ah (dalam Katolik) setahun serta menyiksa dan memotong kaki atau tangan ribuan orang lainnya yang hampir tidak bisa pulih dari luka-lukanya. Selama masa Inkuisisi di Spanyol diperkirakan ada sekitar 32.000 orang, yang kesalahannya tidak lebih dari tidak sepaham dengan doktrin Paus, atau yang telah dituduh melakukan kejahatan takhayul, yang disiksa di luar imajinasi kemudian dibakar hidup-hidup.
Sebagai tambahan, jumlah orang yang dibakar atau dihukum untuk menebus dosa, yang biasanya berarti pengasingan, penyitaan seluruh harta benda, hukuman fisik sampai pencucuran darah dan perusakan total segala sesuatu dalam hidup mereka, berjumlah total 339.000. Namun, tidak ada catatan tentang berapa banyak orang yang mati di tahanan bawah tanah karena disiksa; karena dikurung di lubang yang kotor, penuh penyakit, yang penuh tikus, dan kutu; karena tubuh yang hancur atau hati yang hancur. Jumlah mereka diperkirakan jauh lebih banyak.
Lembaga Dewan Inkuisisi mulai diperkenalkan di Spanyol pada tahun 1478. Ketika itu Alonso de Hojeda, seorang pendeta Dominican, berhasil meyakinkan Ratu Isabella bahwa di wilayah kekuasaannya ada sebagian conversos (orang-orang yang pindah agama) dari kalangan Yahudi yang diam-diam tetap memelihara keyakinan dan tradisi Yahudi mereka. Mereka ini belakangan dikenal sebagai cryptojewsatau marranos.
Pada tahun 1479 karena desakan penguasa Gereja Katolik di Spanyol, Ferdinand II dari Aragon, dan Isabella I dari Castile, Paus Sixtus IV membentuk Inkuisisi Spanyol yang independen yang dipimpin oleh dewan tinggi dan pelaksana Inkuisisi Agung.
Dewan inkuisisi kemudian dibentuk secara terbatas di Seville dan Cordova. Dan sebagai hasilnya, enam orang pelaku bid’ah dibakar hidup-hidup di Seville pada awal tahun 1981. Sejak itu, dewan-dewan inkuisisi semakin hidup dan berkembang di wilayah-wilayah Castile, walaupun masih harus menunggu beberapa tahun sebelum diterapkan juga di wilayah Aragon.
Pada 1487, Paus Innocentius VIII menunjuk pendeta Dominikan Spanyol, Tomas de Torquemada, sebagai pelaksana Inkuisisi Agung. Di bawah kekuasaannya, ribuan orang Protestan, Yahudi, Muslim, penyihir yang dicurigai, dan orang-orang lainnya terbunuh dan disiksa.
Nama Torquemada menjadi sinonim dengan kekejaman, kefanatikan, sikap tidak toleran, dan kebencian. Ia adalah orang yang paling ditakuti di Spanyol. Selama pemerintahan terornya dari tahun 1487 sampai tahun 149l, ia secara pribadi memerintahkan lebih dari 2.000 orang untuk dibakar di tiang. Ini berarti 181 orang setahun, sementara pengadilan Spanyol rata-rata hanya membakar 10 orang setahun.
Dengan dukungan penguasa Gereja Roma, pelaksana awal Inkuisisi Spanyol begitu sadis dalam cara penyiksaan dan teror mereka sehingga Paus Sixtus IV merasa ngeri mendengar laporan mereka, tetapi tidak mampu mengurangi kengerian yang telah dilepaskan di Spanyol. Ketika Torquemada dijadikan pe1aksana Inkuisisi Agung, akibatnya lebih parah dan ia melakukan Inkuisisi seolah-olah ia adalah dewa di Spanyol. Apa pun yang bisa ia kelompokkan sebagai pe1anggaran rohani diberi perhatian oleh pe1aksana Inkuisisi. Inkuisisi yang kejam di Spanyol belum mengenal kekejaman yang sebenarnya sampai Torquemada menjadi pemimpinnya.
Pada 1492, Dewan Inkuisisi digunakan untuk mengusir semua orang Yahudi dan Muslim dari Spanyol atau untuk memaksakan kaum Muslim dan Yahudi untuk di-kristen-kan. Dengan desakan Torquemada, Ferdinand dan Isabella mengusir lebih dari 160.000 orang Yahudi yang tidak mau menjadi Katolik.
Kaum Muslimin dipaksa masuk Kristen (Katolik), atau terpaksa hijrah keluar dari Spanyol. Mereka memberontak, tapi pada akhirnya dikalahkan. Banyak dari orang-orang Islam ini akhirnya setuju untuk dibaptis. Hanya saja mereka tetap mempertahankan tradisi Arab-Muslim mereka, dan sebagian lainnya tetap menjalankan ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi. Orang-orang ini dikenal sebagai Moriscos. Mereka inilah yang kemudian menjadi sasaran utama Dewan Inkuisisi Spanyol.
Kaum Moriscos terus mendapat tekanan dan siksaan. Mereka kembali memberontak, namun pada akhirnya tetap kalah. Pada tahun 1609 mereka dipaksa keluar secara masif dari Spanyol. Jumlah mereka mencapai 300.000 orang. Sejak saat itu, sejarah Moriscos di Spanyol boleh dikatakan sudah habis. Namun bagaimanapun, Inkuisisi masih terus berjalan hingga abad 19, bahkan abad 20, dengan orang-orang Kristen sendiri sebagai korbannya.
Dari tujuan politis, Dewan Inkuisisi juga melakukan penyelidikan yang kejam di antara penduduk baru dan orang-orang Indian di koloni Spanyol di Amerika.
Meskipun akhirnya ada penurunan dalam kekejamannya, Inkuisisi masih tetap bekerja dalam satu bentuk atau bentuk lainnya sampai awal abad ke-19 pada tahun 1834 di Spanyol, dan 1821 di Portugal – yaitu saat kelompok ini diganti namanya, tetapi tidak dihapuskan. Pada 1908, Dewan Inkuisisi direorganisir di bawah nama Congregation if the Holy Office dan didefinisikan ulang selama Konsili Vatikan II oleh Paus Paulus VI sebagai Congregation of the Doctrine if the Faith. Pada saat ini dikatakan, kelompok ini memiliki tugas yang lebih positif, yaitu memajukan doktrin yang benar daripada sekadar “menyensor” bid’ah.
Ketika pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lehmanowski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di Madrid. Ketika pasukan Lehmanowski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lehmanowski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa diantaranya gila.
Pasukan Prancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakkan biara tersebut (Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, hal. 239).
Henry Charles Lea, seorang sejarawan Amerika, menulis kejahatan Dewan Inkuisisi di Spanyol dalam empat volume bukunya: A History of The Inquisition of Spain (New York: AMS Press Inc., 1988). Dalam bukunya ini, Lea membantah bahwa Gereja tidak dapat dipersalahkan dalam kasus Inkuisisi, seperti yang dikatakan oleh seorang tokoh Kristen, Father Gam, yang menyatakan: “The inquisition is an institution for which the Church has no responsibility.” Ini adalah salah satu bentuk apologi di kalangan pemimpin Kristen Katolik Roma.
Lea menunjuk bukti sebagai contoh bahwa dalam kasus bentuk hukuman terhadap korban inkuisisi, otoritas gereja mengabaikan pendapat bahwa menghukum kaum “heretics” (kaum yang dicap menyimpang dari doktrin resmi gereja) dengan membakar hidup-hidup adalah bertentangan dengan semangat Kristus yang selama ini didengung-dengungkan sebagai penebar kasih. Tapi, sikap gereja ketika itu justru menyatakan sebaliknya, bahwa membakar hidup-hidup kaum heretics adalah suatu tindakan yang mulia.
Proses interogasi dan eksekusi hukuman pada inkuisisi sangat berbeda dengan proses pada pengadilan modern. Penyiksaan pada Inkusisi memang diizinkan dengan tujuan mendapatkan kebenaran dari si tertuduh.
Kekejaman yang terjadi pada Dewan Inkuisisi Spanyol ini menurut Alwi Alatas jelas berbeda dengan konsep Qishah di dalam Islam. Menurut kandidat Doktor bidang sejarah di Universitas Islam Antarabangsa, Malaysia itu setidaknya dalam tiga hal mendasar. Pertama, Dewan Inkuisisi secara aktif mencari dan menghukum pelaku penyimpangan, bahkan seringkali cenderung ’mencari-cari’ kesalahan. Sementara Qishah yang diterapkan Nabi SAW, beliau tidak mau mencari-cari kesalahan orang, bahkan cenderung enggan untuk langsung menghukum ketika ada yang mengakui kesalahannya (seperti pada kasus pezina yang datang pada Nabi dan melaporkan kesalahan dirinya). Kedua, pada Islam tidak ada proses penyiksaan untuk memaksa tertuduh mengaku. Ketiga, menurut Islam ketika seorang terbukti bersalah dan dihukum di depan umum, maka kebaikannya bukan hanya bagi masyarakat umum, tapi juga bagi si tersalah, karena itu merupakan bentuk taubatnya dan akan menghindarkannya dari hukuman di akhirat.
Inkuisisi Spanyol berlangsung selama empat abad lebih dan menelan banyak korban. Keinginan gereja dan masyarakat Katolik di sana untuk memurnikan darah (limpieza de sangre) masyarakatnya telah menyebabkan wajah peradabannya yang dulunya toleran dan damai menjadi berdarah-darah dan jauh dari kasih.  
Disusun oleh Tim Redaktur Muslimdaily.net  
Sumber Referensi:
Muhammad Ali Quthub. 1993. Fakta Pembantaian Muslimin di Andalusia. Solo: Pustaka Mantiq
John Foxe, Foxe’s Book of Martyrs, Kisah Para Martir tahun 35-2001, Andi, 2001.
Alwi Alatas, Gereja dan Inkuisisi Spanyol pada http://alwialatas.multiply.com/journal/item/83/Gereja-dan-Inkuisisi-Spanyol
http://www.hrionline.ac.uk/johnfoxe/intro.html 
http://www.ccel.org/f/foxe/martyrs/home.html 
Wikipedia.org
Keterangan Gambar:
#1. Ilustrasi penyiksaan dalam Dewan Inkuisisi Gereja di Spanyol
#2. Alat-alat Penyiksaan Dewan Inkuisisi Gereja

Related Articles :

Awal Mula Berdirinya Dewan Inkuisisi Gereja
Jatuhnya Granada & Awal Mula Penindasan Kristen Terhadap Umat Islam di Andalusia
Kesaksian Kolonel J. J. Lehmanowsky Atas Fakta Kekejaman Dewan Inkuisisi Gereja Spanyol (1)
Kesaksian Kolonel J. J. Lehmanowsky Atas Fakta Kekejaman Dewan Inkuisisi Gereja Spanyol (2)