Apa hukum memberikan
nasehat disela shalat tarawih, atau kadang dilakukan di tengah-tengah
pelaksanaan shalat tarawih secara rutin?
Jawaban Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin:
Tidak terlarang. Jika
setelah salam lalu imam berdiri untuk shalat berikutnya, kemudian ia
melihat shaf agak kurang lurus, atau ma’mum terpisah-pisah hingga
terdapat rongga, maka hendaknya imam memberi nasihat: “Luruskan dan rapatkan!”.
Hal ini tidak terlarang. Sedangkan nasihat yang berbentuk ceramah, sebaiknya tidak dilakukan. Jika ada
sesuatu yang perlu disampaikan atau suatu keperluan, sebaiknya setelah tarawih
selesai. Jika melaksanakan ceramah tarawih tersebut dimaksudkan sebagai ibadah,
maka ini bid’ah. Dan salah satu pertanda, ceramah tersebut dimaksudkan sebagai
ibadah adalah dengan melaksanakannya secara rutin setiap malam.
Namun aku ingin bertanya:
Saudaraku, mengapa engkau mengadakan ceramah disela tarawih? Bukankah sebagian
orang memiliki kesibukan sehingga ia ingin segera menyelesaikan shalat tarawih
karena mengaharapkan pahala yang dikabarkan oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
من قام مع الإمام حتى
ينصرف كتب له قيام ليلة
“Orang yang shalat tarawih
bersama imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk”
Apabila anda senang mendengarkan
atau memberikan ceramah, atau juga misalnya setengah dari jamaah pun suka
mendengarkan ceramah, atau bahkan tiga per empat jamaah menyukainya, maka
janganlah membuat jamaah yang seperempat lagi merasa ‘terpenjara di masjid’,
karena mengedepankan kesenangan dari tiga perempat jamaah lainnya. Bukankah
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda, yang kurang lebih
lafazhnya:
إذا أمّ أحدكم الناس
فليخفف فإن من ورائه ضعيف والمريض وذي الحاجة
“Jika seseorang menjadi
imam, hendaknya ia ringankan shalatnya. Karena di barisan ma’mum terdapat orang
lemah, orang sakit dan orang yang memiliki keperluan”
Maksudnya, janganlah
samakan keadaan orang lain dengan keadaanmu atau keadaan orang yang lainnya yang
senang mendengarkan ceramah. Hendaknya terapkan standar yang membuat semuanya
merasa lega. Maka imamilah tarawih sampai selesai, jika anda selesai dan ma’mum
pun sudah selesai, silakan sampaikan apa yang hendak anda sampaikan.
Kita memohon kepada Allah
agar Ia menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat serta amal
shalih.Ajaklah mereka dengan bahasa yang menyenangkan untuk menghadiri majelis
ilmu
من سلك طريقاً يلتمس
فيه علماً سهل الله له به طريقاً إلى الجنة
“Orang yang menempuh jalan
untuk mendapatkan ilmu,maka Allah akan permudah jalannya menuju surga”
والحمد لله رب
العالمين، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Kaset Liqaa Bab
Al-Maftuh No.118
Jawaban Syaikh Abdur Rahman bin Nashir Al Barraak:
Alhamdulillah. Mengajarkan
perkara agama kepada manusia, disyariatkan di setiap waktu. Karena hal tersebut
adalah da’wah ilallah dan merupakan usaha penyebaran ajaran agama.
Namun sebaiknya anda melihat masing-masing kondisi manusia, atau memilih waktu
yang tepat sehingga umumnya mereka siap menerima materi. Sebagaimana yang
dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta para
sahabat. Dan Rasulullah Shallalalhu’alaihi Wasallam biasa
memperhatikan kesiapan orang yang diberi ceramah karena khawatir mereka
jengkel. Ini para sahabat, dan guru mereka adalah
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Demikian juga, terdapat riwayat
tentang Ibnu Mas’ud bahwa beliau juga memperhatikan kesiapan orang yang diberi
ceramah. Demikian teladan dari RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam. Dan tidak
ada contoh dari para sahabat dan tabi’in dalam mengkhususkan ceramah tertentu
di bulan Ramadhan. Mereka bersepakat untuk memperbanyak membaca Al Qur’an dan
menunda kesibukan lain seperti belajar agama atau banyak mengobrol sampai bulan
Ramadhan selesai.
Berkaitan dengan hal
tersebut, yaitu masalah ceramah tarawih yang dilakukan disela-sela atau
setelahnya secara rutin, ini menyebabkan sebagian makmum merasa jengkel. Maka
sebaiknya tidak terlalu banyak melakukannya. Yang baik, hendaknya
menyampaikannya sebelum shalat fadhu atau setelah selesai tarawih, namun jangan
dilakukan secara rutin, juga jangan terlalu lama.
Namun menurutku, tidak perlu diadakan ceramah
tarawih sedikitpun, agar meringankan orang yang berharap agar shalat tarawih
segera selesai karena memiliki keperluan. Selain itu juga, adanya
ceramah tarawih ini juga dapat menghambat orang untuk melakukan aktivitas
membaca Al Qur’an, yang mereka prioritaskan untuk mendapatkan keutamaan bulan
Ramadhan. Karena mereka sudah memprogramkan untuk meng-khatam-kan Al Qur’an
dalam waktu tertentu.
Dan perlu diketahui, ada
imam-imam masjid yang berlomba-lomba memperbanyak acara pengajian dengan
berbagai macam tema, ada juga yang menguranginya. Kita
memohon kebaikan kepada Allah atas niat dan usaha mereka.
وأن ينفعنا بما
علمنا، وأن يلهمنا هدي نبينه الكريم صلى الله عليه وسلم
Bagi yang membaca dengan
seksama, penjelasan beliau berdua ini bukanlah membid’ahkan ceramah
tarawih. Mereka menganjurkan sebaiknya tidak perlu diadakan dengan alasan:
1.Shalat tarawih itu
rakaatnya banyak dan dilakukan berjamaah, bagi sebagian orang ini sudah berat.
Apalagi ditambah dengan adanya ceramah. Dan ini kita lihat sendiri pada
realita, kebanyakan orang terkantuk-kantuk ketika mendengarkan ceramah tarawih.
Selain itu untk meringankan makmum yang memiliki keperluan. Karena
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallammenganjurkan para imam untuk
meringankan makmumnya.
2.Adanya ceramah ditengah
tarawih membuat jengkel sebagian orang dan ia keluar dari jamaah sebelum shalat
selesai semua, misalnya keluar setelah 8 rakaat dan mengerjaan witirnya di
rumah. Padahal jika tidak ada ceramah mungkin ia akan ikut sampai selesai dan
mendapatkan keutamaan pahala shalat semalam suntuk.
3.Tidak ada teladan dari para
sahabat dan ulama terdahulu
4.Agar umat muslim bisa
menyibukkan diri membaca Al Qur’an
Saya juga berprasangka,
bisa jadi berkurangnya jamaah shalat tarawih dari hari-ke-hari dikarenakan
adanya ceramah ini. Andaikan shalat tarawih dilakukan tanpa ceramah tentu lebih
cepat dan ringan sehingga orang-orang semangat melakukannya.
Kemudian beliau berdua
membolehkan ceramah tarawih dengan syarat:
1.Tidak dimaksudkan sebagai
ibadah. Dengan kata lain, tidak boleh berkeyakinan bahwa ada ceramah itu
lebih afdhal, dan jika tidak ada merasa ada yang kurang.
2.Ceramahnya tidak lama
3.Sebaiknya dilakukan setelah
shalat selesai
semua
4.Tidak dilakukan secara
rutin setiap hari
Ceramah tarawih bisa
terjerumus ke dalam bid’ah jika diniatkan dalam rangka ibadah tersendiri. Walau
niat adalah masalah hati, namun ada indikasi yang dapat dikenali misalnya
berkeyakinan bahwa ada ceramah itu lebih afdhal, dan jika tidak ada merasa ada
yang kurang, tanda yang lain adalah melaksanakannya secara rutin setiap hari.
Imbauan ini sejatinya bagi
para pengurus masjid atau orang yang berkewenangan terhadap kegiatan masjid.
Jadi, jika anda pengurus masjid, sebaiknya dipertimbangkan lagi dalam
menyelenggarakan ceramah tarawih. Atau jika anda jamaah masjid, anda bisa
memberikan masukan kepada pengurus masjid tentang hal ini.
Wallahu’alam.
Syeikh Al-Albani
rahimahullah pernah ditanya:
Apakah imam masjid dalam shalat Tarawih boleh
menyampaikan tausiah diantara rakaat shalat?
Beliau menjawab: boleh dan tidak boleh, apabila peringatan, perintah dan larangan disebabkan adanya perkara penting yang tiba-tiba maka ini perkara wajib, adapun apabila itu dijadikan sebagai aturan kebiasaan...maka ini menyelisihi sunah.(Silsilah Huda wan Nur: 656).
Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata:
Beliau menjawab: boleh dan tidak boleh, apabila peringatan, perintah dan larangan disebabkan adanya perkara penting yang tiba-tiba maka ini perkara wajib, adapun apabila itu dijadikan sebagai aturan kebiasaan...maka ini menyelisihi sunah.(Silsilah Huda wan Nur: 656).
Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata:
”Qiyam Ramadhan disyariatkan semata untuk meningkatkan taqarrub
kita kepada Allah Ta’ala dengan shalat Tarawih, oleh karena itu maka
kami tidak berpendapat untuk mencampuradukkan antara shalat tarawih dengan hal
yang berkaitan dengan ilmu dan taklim dan semacamnya, seharusnya hanya diisi
dengan shalat Tarawih yang merupakan ibadah murni, adapun ilmu maka ada
waktunya, tidak dibatasi dengan waktu, hanya perlu diperhatikan maslahat orang
yang belajar, ini aslinya dan saya inginkan dari sini bahwa siapa yang membuat
kebiasaan mengajarkan manusia diantara setiap raka’at seperti dalam shalat
Tarawih dan itu dijadikan kebiasaan, maka itu termasuk perkara baru yang
menyelisihi sunah”. Disarikan dari kaset Silsilah Huda wan Nur nomer: 693 menit
ke28 oleh Syeikh Al-Albani rahimahullah.
Syeikh Jibrin rahimahullah pernah ditanya:
Apa hikmahnya Qiyam Ramadhan disebut dengan Tarawih?
Dan apa pendapat anda bahwa yang lebih utama memanfaatkan waktu istirahat dalam
shalat Tarawih dengan menyampaikan kalimat atau tausiah ?
Beliau menjawab: disebutkan dalam kitab
Al-Manahilul Al-Hassan (dari Al-A’raj) berkata: kami tidak mendapati manusia
melainkan mereka mengutuk orang-orang kafir di Ramadhan, dia berkata: dahulu
imam membaca surat Al-Baqarah dalam empat rakaat, dan apabila dia bangkit
kerakaat dua belas manusia melihatnya telah meringankan, (dari Abdullah bin Abu
Bakar) berkata: aku mendengar ayahku berkata: ”dahulu kami dalam ramadhan
keluar dari Qiyamul Lail lalu bergegas menyiapkan makanan, karena kuatir
ketinggalan sahur”... dimana manusia dizaman sekarang meringankan shalat, yaitu
mengerjakannya dalam satu jam atau kurang, maka tidak perlu lagi untuk duduk
istirahat, karena mereka tidak merasakan capek atau berat, akan tetapi yang lebih
utama jika sebagian imam memisahkan antara rakaat Tarawih dengan duduk
istirahat, atau berhenti sebentar untuk istirahat, maka yang lebih utama
duduk ini diisi dengan nasihat atau peringatan, atau membaca kitab yang
bermanfaat, atau tafsir ayat yang dibaca oleh imam, atau tausiah, atau
mengingatkan salah satu hukum syar’ie, sehingga mereka tidak keluar atau bosan. Wallahu
A’lam.
Syeikh Al-Munajjid hafidhahullah pernah ditanya dalah situs Al-Islam Sual
wal Jawab:
Soal no: 38025 mengenai penyampaian ceramah setelah empat rakaat dari shalat Tarawih yaitu apa hukum syar’ie ceramah yang disampaikan setelah empat rakaat dalam shalat Tarawih?
Beliau menjawab: Alhamdulillah, pelajaran yang disampaikan sebagian imam atau ustadz diantara rakaat shalat Tarawih tidak mengapa Insya Allah, yang lebih baik tidak dirutinkan, kuatir manusia meyakini bahwa itu sebagian dari shalat Tarawih, dan kuatir mereka menyakini kewajibannya sehingga barangkali mereka mengingkari orang yang meninggalkannya. Imam atau ustadz boleh saja menyampaikan tausiah kepada manusia sesuai yang mudah dari hukum syar’ie terutama masalah yang mereka perlukan dalam bulan ini dengan catatan untuk meninggalkannya sekali-kali sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Kesimpulan:
Sebagaimana kita lihat sebagian ulama membolehkan tausiah seperti ini dan sebagian melarangnya meski tidak secara mutlak, maka sebagai jalan tengahnya sebaiknya tausiah tersebut tidak dilakukan secara rutin supaya orang tidak menyangka sebagai bagian dari Qiyam Ramadhan atau supaya tidak membosankan karena sebagian ustadz jika sudah menyampaikan kalimat atau tausiahnya tidak menyampaikan poin yang penting tetapi ngalor ngidul sehingga memakan banyak waktu, dengan demikian orang yang hanya ingin shalat bersama imam hingga selesai supaya mendapat fadhilah shalat sepanjang malam jadi dirugikan.
Yang lebih utama lagi menjadikannya setelah shalat Isya’ sebelum tarawih sehingga bagi yang hanya ingin ikut shalat bisa keluar dan pulang terlebih dulu, atau menjadikannya setelah shalat Tarawih sempurna walaupun kebanyakan orang sudah keluar, tidak mengapa karena memang hal ini tidak wajib, bagi yang memang ingin mendapatkan ilmu dia tentu akan tetap duduk mendengarkan.
Namun untuk melarangnya secara keseluruhani dengan alasan termasuk perkara bid’ah maka barangkali ini kurang bijaksana karena perbedaan pendapat ulama diatas, apalagi momen seperti Ramadhan ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan tausiah karena kebanyakan manusia bersungguh dalam beribadah di masjid.
Mudah-mudahan amalan kita di bulan Ramadhan ini sesuai
dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Wallahu A’lam bishowab.
Bagaimana hukum ceramah
seiring pelaksanaan shalat Tarawih? Apakah hal tersebut dianjurkan ataukah
justru termasuk perbuatan yang diada-adakan (bid`ah)?
Jawab:
Ditinjau secara prinsip
asal, hukum ceramah dimaksud adalah boleh, bahkan dianjurkan, karena termasuk
bab tolong menolong dalam ketaqwaan, saling menasehati dalam kebaikan, dan
menuntut ilmu. Pada umumnya, pelaksanaan ceramah seiring shalat Tarawih
dimaksudkan untuk memanfaatkan momen berkumpulnya manusia.
Hanya saja, apabila ceramah
tersebut diyakini kesunnahannya sebagai bagian dari ritual shalat Tarawih,
seperti halnya ceramah dalam shalat Jum’at, atau diyakini bahwa ceramah pada
waktu tersebut diyakini memiliki kekhususan dan keutamaan, maka anggapan dan
keyakinan semacam ini adalah termasuk bid’ah. Sebab, tidak didapati dalil yang
menyebutkan anjuran pelaksanaan ceramah seiring shalat Tarawih, baik secara
eksplisit (zhāhir) maupun implisit
(mustanbath).
Karena itu, dalam
rangka mengindari terjadinya anggapan dan bid’ah dimaksud, sehingga kalaupun
diadakan ceramah, maka sebaiknya tidak dilakukan pada setiap shalat Tarawih,
sehingga tidak diyakini bahwa ceramah tersebut merupakan bagian dari ritual
shalat Tarawih, atau bahwa ceramah pada waktu tersebut diyakini memiliki
kekhususan dan keutamaan.WaLlāhu a’lam bish shawāb.
Di samping
itu, kalaupun ceramah tersebut diadakan, maka sebaiknya setelah
pelaksanaan shalat Tarawih, sehingga barangsiapa yang ingin mendengar ceramah tersebut
hendaklah ia mendengarkannya, namun barangsiapa yang tidak ingin mendengarnya
maka ia dapat berpaling.
Jika ada yang bertanya
lebih lanjut: jika ceramah tersebut memang tidak pernah dilakukan oleh
Nabi—shalaLlāhu ‘alaihi wa sallam—dan para Sahabat maka
bukankah hal tersebut tidak boleh dilakukan secara mutlak?
Jawabnya: jika ucapan di
atas diimplementasikan secara mutlak, maka sebagai konsekuensinya adalah
pelarangan terhadap hampir seluruh ceramah, pengajian dan kegiatan pembelajaran
agama di muka bumi. Bukankah tidak ada dalilnya menuntut ilmu agama melalui
universitas, daurah(pesantren kilat) dan semisalnya? Bukankah juga tidak
ada dalilnya melakukan pengajian rutin mingguan pada hari Ahad, Sabtu, malam
Rabu, dan waktu-waktu yang semisalnya? Apakah hal-hal tersebut juga akan
dianggap sebagai bid’ah yang terlarang karena Nabi—shalaLlāhu ‘alaihi wa sallam—dan Sahabat tidak
melakukannya? Jawabnya tentu saja tidak. Jika demikian, hal yang sama juga
berlaku dalam pembahasan kali ini. Hanyalah menjadi bid’ah apabila dikhususkan
dan diutamakan pelaksanaan ceramah pada suatu waktu tertentu, padahal tidak ada
dalil yang menyebutkan kekhususan dan keutamaan tersebut, atau ceramah tersebut
dijadikan bagian dari ritual shalat Tarawih. Wallāhu a’lam bish shawāb.
Bagaimana halnya dengan
larangan ceramah secara mutlak dalam rangka implementasi prinsip saddu’d
dzarī’ah? Yakni, agar tidak terjatuh ke dalam bid’ah
meyakini bahwa ceramah merupakan bagian dari ritual shalat Tarawih, atau
meyakini bahwa pemberian ceramah seiring waktu pelaksanaan shalat Tarawih
memiliki keutamaan dan kekhususan dari sisi dzatnya. Jawabnya, pertanyaan
tersebut memiliki wijhatu’n nazhar yang kuat untuk dibenarkan dan
diimplementasikan. Artinya, apabila pelaksanaan ceramah tersebut dapat menyebabkan
masyarakat terjatuh ke dalam bid’ah di kemudian hari, maka sebaiknya hal itu
tidak dilaksanakan dan dicegah. Hanya saja, sependek pengamatan dan pengetahuan
kami, hampir tidak ada kaum muslimin yang meyakini bahwa ceramah merupakan
bagian dari ritual shalat Tarawih, berbeda dengan keyakinan mereka terhadap
khuthbah Jum’at.
Sebagai tambahan faidah dan
pembanding, di bawah ini akan kami posting fatwa al-’Allāmah Ibn ‘Utsaimīn—rahimahuLlāh—terkait permasalahan
dimaksud, yang merupakan salah satu acuan dan sandaran kami dalam pembahasan
ini.
Sumber fatwa tersebut
adalah kaset Liqā` al-Bāb al-Maftūh, No.118, yang dapat
diunduh di sini:
http://www.ibnothaimeen.com/cgi-bin/art-sound/exec/search.cgi?cat=226&start=201&perpage=200&template=index/Sound.html (akses
Sept 2007)
Transkrip fatwa dimaksud dapat
diperoleh di sini:
Berikut adalah teks fatwa
tersebut:
السؤال: ما حكم
الموعظة بين صلاة التراويح أو في وسطها ويكون هذا دائماً؟
الشيخ: لا مانع، إذا
قام إلى التسليمة الثانية ورأى أن الصف قد اعوج، أو أن المصلين قد تمايزوا وتفرقوا
وصار فيهم فرجة، فليقل: استووا أو تراصوا، ولا حرج. أما الموعظة فلا، لأن هذا ليس
من هدي السلف، لكن يعظهم إذا دعت الحاجة أو شاء بعد التراويح، وإذا قصد بهذا
التعبد فهو بدعة، وعلامة قصد التعبد أن يداوم عليها كل ليلة، ثم نقول: لماذا يا
أخي تعظ الناس؟ قد يكون لبعض الناس شغل يحب أن ينتهي من التراويح وينصرف ليدرك قول
الرسول عليه الصلاة والسلام: (من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة) وإذا
كنت أنت تحب الموعظة ويحبها أيضاً نصف الناس بل يحبها ثلاثة أرباع الناس فلا تسجن
الربع الأخير من أجل محبة ثلاثة أرباع، أليس الرسول صلى الله عليه وسلم قال: (إذا
أمّ أحدكم الناس فليخفف فإن من ورائه ضعيف والمريض وذي الحاجة) أو كما عليه الصلاة
والسلام، يعني: لا تقس الناس بنفسك أو بنفس الآخرين الذين يحبون الكلام والموعظة،
قس الناس بما يريحهم، صلِّ بهم التراويح وإذا انتهيت من ذلك وانصرفت من صلاتك
وانصرف الناس فقل ما شئت من القول. نسأل الله أن يرزقنا وإياكم العلم النافع
والعمل الصالح، وأبشروا بالخير بالحضور إلى هذا المكان لأن: (من سلك طريقاً يلتمس
فيه علماً سهل الله له به طريقاً إلى الجنة). والحمد لله رب العالمين، وصلى الله
وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.
Terjemah:
Pertanyaan: Bagaimana hukum
ceramah atau nasehat yang disampaikan di antara atau di tengah-tengah shalat
Tarawih secara kontinu?
Al-’Allāmah Ibn ‘Utsaimīn—rahimahuLlāh—menjawab: Tidaklah mengapa
sekiranya (imam) berdiri untuk dua raka’at selanjutnya lantas melihat
ketidaklurusan atau celah dan kerenggangan pada shaf para makmum, kemudian ia
berkata: “Luruskan dan rapatkan (shaf)!” Yang semacam ini tidak mengapa.
Adapun ceramah atau nasehat
(seiring atau di antara shalat Tarawih), maka jangan. Sebab yang demikian
bukanlah petunjuk Salaf. Akan tetapi, nasehat dapat disampaikan sekiranya
memang ada kebutuhan untuk itu, atau selepas shalat Tarawih jika diinginkan.
Namun, apabila diniatkan sebagai ta’abbud(ritual ibadah) maka terjatuh
pada bid’ah. Dan, tanda hal tersebut dilakukan dengan
niat ta’abbud adalah dengan melakukannya secara kontinu setiap malam.
Selanjutnya, kami katakan:
Wahai Saudaraku, mengapa Anda memberi ceramah kepada manusia? Bukankah bisa
jadi sebagian orang memiliki kesibukan dan ingin segera menyelesaikan shalat
Tarawih, dan berpaling (bersama imam sampai akhir selesai sholat) untuk
mendapatkan ucapan Nabi—shalaLlāhu ‘alaihi wa sallam: “Man
qāma ma’al imām hatta yansharifa kutiba lahu qiyāmu lailah“ (Barangsiapa yang
melakukan shalat [Tarawih] bersama imam sampai imam selesai dan berpaling maka
dicatat baginya shalat semalam penuh).
Kalaupun Anda senang
(memberi) ceramah dan setengah—bahkan 3/4—dari jama’ah pun senang dengan
ceramah tersebut, maka janganlah ‘memenjarakan’ seperempat sisanya karena
kecintaan 3/4 jama’ah tadi. Bukankah Rasulullah—shalaLlāhu ‘alaihi wa sallam—berkata, yang kurang
lebihnya: “Idzā amma ahadukumun nās falyukhāffif fa inna min warā-ihi dhā`īf wal marīdh wa dzil hājah” (Jika seseorang dari
kalian mengimami manusia, maka ringankanlah, sebab di belakangnya terdapat
orang yang lemah, sakit atau memiliki keperluan).
Maksudnya, janganlah
menyamakan kondisi manusia dengan kondisi dirimu atau mereka yang menyukai
ceramah tersebut. Namun samakanlah manusia dengan hal-hal yang melegakan
mereka. Shalatlah Tarawih bersama mereka. Selepas shalat, setelah
Anda dan orang-orang berpaling dari shalat, maka silahkan Anda menyampaikan apa
yang Anda sukai dari ceramah. Kita memohon kepada Allah agar menganugerahkan
kepada kita ilmu yang bermanfaat serta amal shalih. Berikan kabar gembira
kepada mereka untuk menghadiri majelis tersebut. Sebab: “Siapa yang menempuh
jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan permudah jalannya menuju
surga.” Al-Hamdu liLlāhi Rabbil ‘ālamīn. Shalawat serta salam
semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan seluruh sahabat
beliau.
Demikian fatwa
beliau, rahimahuLlāh rahmatan wāsi’ah.
NB: Bahan tulisan ini
adalah dari www.salafyitb.wordpress.com dan dengan bantuan
al-Akh al-Fādhil Abū ‘Umair—hafizhahuLlāh.
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin,
Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Jujur saja bahwa ceramah tarawih yang seperti sekarang banyak dilakukan
sebagaimana yang anda sebutkan tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun para
shahabat.
Yang kita dapati dari hadits-hadits yang menyebutkan tentang shalat tarawih
Rasulullah SAW maupun para shahabat memang tidak menyebutkan adanya ceramah
atau khutbah baik sebelum, diantara atau sesudahnya. Paling-paling disebutkan
tentang bagaimana kualitas shalatnya, atau ayat apa saja yang dibaca. Kita
tidak mendapatkan dalil yang sharih bahwa shalat tarawih yang mereka lakukan
itu diselingi dengan ceramah.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah : apakah bila kita menyisipkan ceramah
agama di sebuah jamaah shalat tarawih, hukumnya menjadi bid'ah ? Kalau bid'ah,
bagaimana kedudukan bid'ahnya ? Bid'ah hasanahkah atau bid'ah dhalalah ?
Bahkan lebih luas dari masalah ini, di masa kita ini selalu kita dapati dalam
shalat jumat adanya pembawa acara yang naik podium untuk memberikan semacam
pengumuman baik tentang keuangan masjid atau membacakan siapa yang menjadi
khatib dan imam. Padahal di masa Rasulullah SAW, kita tidak pernah mendapati
keterangan adanya pembawa acara yang membaca pengumuman sebelum khatib naik
mimbar.
Bagaimanakah hukumnya ? Dan bid'ahkah ? Untuk menjawab masalah ini, marilah
kita teliti dan cermati bersama bagaimana para ulama menanggapi masalah
ini.
Kalangan ulama yang ketat dalam mengikuti zahir nash umunya tidak menambahkan
ceramah dalam shalat tarawih. Sebagiannya malah mengatakan bahwa hal itu
bid'ah. Karena tidak punya dasar dari nash yang shahih.
Namun kalangan yang lebih moderat melihat bahwa adanya ceramah di dalam tarawih
itu tidak bisa dimasukkan dalam kategori bid'ah, meski memang tidak ada contoh
langsung. Karena sebenarnya ceramah itu bukan bagian dari seremoni shalat
tarawih, namun merupakan sebuah kesempatan untuk menyebarkan ilmu agama.
Mumpung orang-orang sedang berkumpul di masjdi untuk shalat tarawih, maka
diadakanlah acara ceramah yang sejak awal diyakini oleh semua pihak bahwa
ceramah itu bukan bagian dari ritual ibadah tarawih. Sehingga keberadaannya
tidak menjadi mutlak harus ada.
Lagi pula melihat bagaimana praktek yang berjalan di kalangan umat Islam, tidak
ada keseragaman tentang pelaksanaannya. Apakah akan diletakkan sebelum atau
sesudah shalat tarawih atau di tengahnya. Ini menunjukkan bahwa adanya cermah
ini bukanlah bagian dari shalat tarawih. Dan untuk itu, banyak pula masjid
tertentu yang memanfaatkan momentum shalat jamaah untuk mengadakan pengajaran
ilmu agama, seperti ba'da shalat zhuhur atau ba'da ashar dan ba'da shubuh. Di
masjid al-Haram Mekkah dan Madinah biasanya dilakukan 'pengajian' setelah waktu
shalat tertentu. Tidak ada yang mengatakan bahwa hal itu bid'ah atau menambahi urusan
agama. Karena semua tahu bahwa ceramah agama itu bukan bagian dari ritual
shalat tarawih.
Kebiasaan yang kerap dilakukan pengurus/DKM Masjid :
Tidak perlu adanya pembawa acara yang naik kepodium
memberikan semacam pengumuman baik tentang keuangan masjid ( tetek bengek
terkait kegiatan pengurus masjid, RUPS ) atau siapa yang akan menjadi
penceramah/Imam/Khatib baik pada waktu shalat taraweh maupun shalat jum’at. Yang
utama ( sunnah muaqadnya ) waktu malam ramadhan adalah shalat taraweh, juga yang wajib pada waktu
shalat jum’at adalah khatib di mimbar. Siapa yang bertanggung jawab kepada
Allah jika ada sebagian jamaah pulang setelah shalat Isya ( karena ada ceramah ), tidak mengikuti slat
taraweh berjamaah ? bukankah pengurus Masjid sebaiknya tidak mengunci/memaksa
jamaah untuk mendengarkan ceramah/pembawa acara/seremoni seperti tersebut
diatas ? lebih utama segera setelah selesai shalat taraweh, masing-masing jamaah
membaca/mentadaburri Al-Qur’an. Jangan berdalih memerintahkan pihak yang tidak
berkenan mendengarkan ceramah taraweh supaya mencari masjid lain. Terkait ceramah
taraweh ( saran ) mungkin bisa dilakukan sebelum shalat Isya atau setelah
selesai shalat taraweh dan ditentukan waktu/lamanya dan tidak rutin setiap hari
selama bulan ramadhan. Dengan demikian memberi kesempatan para jamaah yang
berniat “ hanya “ shalat taraweh saja dan mereka sudah punya jadwal kapan harus
berangkat ke Masjid. Terkait pembawa acara mengumumkan tetek bengek keuangan
masjid/aktivitas masjid ( RUPS ), sebaiknya di buat pengumuman tertulis dan
ditempel di papan pengumuman /area informasi masjid secara detail disertai
alamat ( nomor hand phone atau e-mail ) yang dituju jika ada jamaah yang
complain atau protes atau keberatan terhadap masalah tersebut. Toh, selama ini
tidak pernah ada jamaah yang protes/komentari langsung didalam masjid sewaktu pembawa acara
di Mimbar. Jadi perbuatan sia-sia.Hal tersebut juga berlaku pada waktu I’tikaf sepuluh
malam terakhir bulan ramadhan, Imam tuntaskan sampai shalat witir selesai, jika
mau ceramah dilakukan setelah selesai shalat malam ( shalatul lail ). Jangan dibiarkan
makmum tidak di Imami shalat witirnya ( karena Imam rawatid telah witir malam
sebelumnya waktu shalat taraweh ). Jangam sampai jamaah kehilangan induk
semangnya.
Wallahu’alam
21 Kesalahan
di Bulan
Ramadhan
Tanya:
“Sebagai orang yang ingin beribadah kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendapatkan pahala serta ridha-Nya, maka tentunya
sebagaimana yang kami ketahui haruslah ibadah tersebut benar, sesuai dengan
tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah, dan bebas dari adanya kesalahan pada ibadah
tersebut. Sehubungan dengan makinatnya bulan Ramadhan dan untuk menjaga agar
ibadah (khususnya puasa) pada bulan tersebut lepas dari kesalahan, maka kami
memohon penjelasan tentang bentuk-bentuk kesalahan yang ada dan dilakukan orang
di bulan Ramadhan ini. Terima kasih.”
Jawab:
Ustadz Shabaruddin
(Redaktur Majalah An-Nashihah dan Pengasuh Ma’had As-Sunnah, Makassar)
hafidzahullah menjawab,
“Orang sering
menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai dengan tuntunan
syariat Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak disadarinya bahwa apa
yang dilakukannya atau diyakininya ternyata merupakan kesalahan yang dapat
mengurangi nilai puasanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena itu, kami
akan mencoba menjelaskan beberapa kesalahan yang terjadi di kalangan kaum muslimin
dalam berpuasa Ramadhan agar dapat menjadi nasihat dan bekal menyambut bulan
Ramadhan. Berikut beberapa kesalahan tersebut.
1. Menentukan
Masuknya Bulan Ramadhan dengan Menggunakan Ilmu Falaq atau Ilmu Hisab
Hal ini merupakan
suatu kesalahan besar dan sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan
As-Sunnah.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala menegaskan,
“Maka barang siapa
dari kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya ia berpuasa.” [Al-Baqarah:
185 ]
Dan juga dalam
hadits ‘Abdullah bin ‘Umar dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhumriwayat
Bukhary -Muslim,
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُ الِهلاَلَ
فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا
“Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit) maka
berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah.”
Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan
bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak
dikaitkan dengan menghitung, menjumlah dan cara-cara yang lainnya. Kemudian
perintah untuk berpuasa dikaitkan dengan syarat melihat hilal. Hal ini
menunjukkan wajibnya penentuan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal
tersebut.
Berkata Al-Bajy ketika membantah orang yang
membolehkan menggunakan ilmu Falaq dan ilmu Hisab, “Sesungguhnya kesepakatan
para salaf sudah merupakan hujjah (bantahan) atas mereka.” Lihat Subulus Salam
2/242.
Berkata pula Ibnu Bazîzah menyikapi pendapat orang
yang membolehkan menggunakan ilmu falaq dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan,
“Ini adalah madzhab yang bathil. Syariat telah melarang menggunakan ilmu Falaq
karena sesungguhnya ilmu Falaq penuh dengan dugaan dan sangkaan yang tidak
jelas.” Lihat Subulus Salam2/242.
Berkata Imam Ash-Shan’any dalam Subulus Salam 2/243,
“Jawaban terhadap mereka ini jelas, sebagaimana yang dikeluarkan oleh
Bukhary-Muslim hadits dari Ibnu ‘Umarradhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallambersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ
نَحْسِبُ الْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإِبْهَامَ فِي
الثَّالِثَةِ يَعْنِيْ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ وَالْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
وَهَكَذَا يَعْنِيْ تَمَامَ ثَلاَثِيْنَ
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi (yaitu) tak
dapat menulis dan tak dapat menghitung. Bulan itu begini, begini dan begini,
beliau menekukkan ibu jarinya pada yang ketiga yakni dua puluh sembilan (hari),
dan bulan itu, begini, begini dan begini yakni sempurna tiga puluh (hari).”.”
2. Kebiasaan Berpuasa Sehari atau Dua Hari Sebelum
Ramadhan dengan Maksud Ihtiyath (kehati-hatian)
Hal ini menyelisihi hadits dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقَدَمُّوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa
sehari atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seorang yang biasa berpuasa
dengan suatu puasa sunnah maka hendaknyalah ia berpuasa.”
Berkata Imam Ash-Shan’any dalam Subulus Salam 2/239,
“Ini menunjukkan haramnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam
rangka untuk ikhtiyath(berjaga-jaga).”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary
(4/160), “… karena menentukan puasa haruslah dengan hilal, tidak sebaliknya
-yakni dengan dugaan- ….”
Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits
di atas 3/364 ( Tuhfatul Ahwadzy), “ Para ulama menganggap makruh (haram-ed.)
seseorang mempercepat puasa sebelum masuknya bulan Ramadhan ….”
Berkata Imam An-Nawawy, “Hukum berpuasa sehari atau
dua hari sebelum Ramadhan adalah haram apabila bukan karena kebiasaan puasa
sunnah.” Lihat Syarh Shahîh Muslim 7/158.
Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua
hari sebelum Ramadhan dalam rangka ihtiyath. Adapun kalau ia mempunyai
kebiasaan berpuasa, seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud, lalu bertepatan
dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan, maka itu tidak apa-apa. Wallahu
A’lam.
3. Meninggalkan Makan Sahur
Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan serta
menyelisihi sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan
kesepakatan para ulama tentang disunnahkannya makan sahur.
Kesepakatan para ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir,
Imam Nawawy, Ibnul Mulaqqin dan lain-lainnya. Lihat Syarh Muslim 7/206, Al
I’lam 5/188 dan Fathul Bary 4/139.
Dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak
sekali, di antaranya hadits Anas bin Malik riwayat Bukhary-Muslim bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu
ada berkah.”
Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum
mencakup berkah dalam perkara-perkara dunia maupun perkara-perkara akhirat, dan
berkah tersebut bermacam-macam, di antaranya:
Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah.
Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab,
sebagaimana dalam Shahîh Muslim , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam bersabda,
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ
الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحُوْرِ
“Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang
Ahlul Kitab adalah makan sahur.”
Menambah kekuatan dan semangat, khusunya bagi
anak-anak kecil yang ingin dilatih berpuasa. Bisa menjadi sebab dzikir kepada
Allah, berdoa dan meminta rahmat, sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga
malam terakhir yang merupakan salah satu tempat doa yang makbul. Menghadirkan
niatnya apabila dia lupa sebelumnya.
Lihat Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140.
4. Mempercepat Makan Sahur
Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwa selang waktu antara selesainya
beliau makan sahur dengan permulaan shalat subuh adalah (selama bacaan) 50 ayat
yang sedang (tidak panjang dan tidak pendek). Hal ini dapat dipahami dalam
hadits Zaid bin Tsabit riwayat Bukhary-Muslim,
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ
قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةٍ
“Kami bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat. Saya (Anas bin Malik) berkata,
‘ Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan) ?’ Ia (Zaid bin Tsabit)
menjawab, ‘ Lima puluh ayat. ’ .”
Berkata Imam An-Nawawy dalam Syarh Shahîh Muslim
(7/169), “Hadits ini menunjukkan sunnahnya mengakhirkan sahur.”
Lihat Ihkamul Ahkam 3/334 karya Ibnu Daqiqil ‘Ied,
Al-I’lam 5/192-193 karya Ibnul Mulaqqin dan Fathul Bary 4/128 karya Ibnu Hajar.
5. Menjadikan Imsak Sebagai Batasan Sahur
Sering kita mendengar tanda-tanda imsak, seperti suara
sirine, ayam berkokok, beduk, yang terdengar sekitar seperempat jam sebelum
adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah
(perkara baru) sesat yang sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam yang mulia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam”. [ Al-Baqarah: 187 ]
Dan juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu
‘anhum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا
وَاشْرَبُوْا حَتَّى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam
hari maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi
Maktum.”
Maksud hadits ini bahwa adzan itu dalam syariat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ada dua kali: adzan pertama
dan adzan kedua. Pada adzan pertama, seseorang masih boleh makan sahur dan
batasan terakhir untuk sahur adalah adzan kedua yaitu adzan yang dikumandangkan
untuk shalat subuh.
Jadi jelaslah bahwa batas akhir makan sahur sebenarnya
adalah pada adzan kedua yaitu adzan untuk shalat subuh, dan dari hal ini pula
dapat dipetik/diambil hukum terlarangnya melanjutkan makanan yang sisa ketika
sudah masuk adzan subuh, karena kata hatta (sampai) dalam ayat Al-Qur`an
bermakna ghayah, yakni akhir batasan waktu.
6. Melafadzkan Niat Puasa
Perkara melafazhkan niat merupakan bid’ah (hal baru)
yang sesat dalam agama dan tidak disyariatkan karena beberapa hal:
Tidak ada sama sekali contohnya dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan para shahabatnya.
Bertentangan dengan makna niat secara bahasa yaitu
bermakna maksud dan keinginan. Dan maksud dan keinginan ini letaknya di dalam
hati. Menyelisihi kesepakatan seluruh ulama bahwa niat letaknya di dalam hati.
Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya tuntunan agama karena melafazhkan niat
itu adalah bid’ah.
Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya akal, seperti
orang yang ingin makan lalu ia berkata, “ Saya berniat meletakkan tanganku ini
ke dalam bejana, lalu saya mengambil makanan, kemudian saya telan dengan niat
supaya saya kenyang ” .
Demikianlah, melafazhkan niat ini dianggap bid’ah oleh
banyak ulama yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Abu Rabi’
Sulaiman bin ‘Umar Asy-Syafi’iy, Alauddin Al-Aththar dan lain-lain.
Maka siapa yang berpuasa hendaknya berniat di dalam
hati dan tidak melafazhkannya.
Lihat Majmu’ Al-Fatawa 18/263-264 dan 22/238, Syarhul
‘Umdah 2/290-291 karya Ibnu Taimiyyah, Zadul Ma’ad 1/201 karya Ibnul Qayyim dan
Qawa’id Wa Fawaid Minal ‘Arbain An-Nawawiyah hal 31-32.
7. Tidak Berniat Sejak Malam Hari
Juga termasuk sangkaan yang salah dari sebagian kaum
muslimin bahwa berniat untuk berpuasa Ramadhan hanyalah pada saat makan sahur
saja, padahal yang benar dalam tuntunan syariat bahwa waktu berniat itu bermula
dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Ini berdasarkan perkataan
Ibnu ‘Umar dan Hafshah radhiyallahu ‘anhumyang mempunyai hukum marfu’ (seperti
ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) dengan sanad yang shahih,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ
صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang tidak berniat puasa sejak malamnya, maka
tidak ada puasa baginya.” Lihat jalan-jalan hadits ini dalam Irwa`ul Ghalil no.
914 karya Syaikh Al-Albany.
Kata Al-Lail (malam) dalam bahasa Arab berarti waktu
yang dimulai dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar.
8. Menganggap Bahwa Puasa Orang yang Junub (Atau yang
Semakna Dengannya) Tidak Sah Bila Bangun Setelah Terbitnya Fajar dan Belum
Mandi
Yang dimaksud dengan orang yang junub di sini adalah
orang yang junub secara umum, mencakup junub karena mimpi atau karena melakukan
hubungan suami-istri, dan yang semakna dengannya adalah perempuan yang haidh
atau nifas. Apabila mereka bangun setelah terbitnya fajar maka tetap boleh
untuk berpuasa dan puasanya sah. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah dan
Ummu Salamah riwayat Bukhary-Muslim,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لاَ مِنْ حُلْمٍ ثُمَّ لاَ يُفْطِرُ
وَلاَ يَقْضِيْ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam memasuki waktu shubuh dalam keadaan junub karena jima’ bukan karena
mimpi kemudian beliau tidak buka dan tidak pula meng-qadha` (mengganti)
puasanya.”
9. Mengakhirkan Buka Puasa
Hal ini juga tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, bahkan yang disunnahkan adalah
mempercepat buka puasa ketika telah yakin waktunya telah masuk, karena manusia
akan tetap berada dalam kebaikan selama ia mempercepat buka puasa, sebagaimana
dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam hadits
Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا
الْفِطْرَ
“Manusia akan selalu berada dalam kebaikan selama
mereka mempercepat berbuka.”
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam menjadikan mempercepat buka puasa sebagai sebab nampaknya agama ini,
sebagaimana dalam hadits Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu, beliau menegaskan,
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ
الْفِطْرَ لَأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Agama ini akan terus-menerus nampak sepanjang manusia
masih mempercepat buka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.”
Hadits hasan, dikeluarkan oleh Abu Daud no. 2353, An-Nasa`i dalam Al-Kubra`
2/253 no. 2313, Ahmad 2/450, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 3503
dan 3509, Hakim 1/596, Al-Baihaqy 4/237 dan Ibnu ‘Abdil Bar dalam At-Tamhîd
20/23.
10. Anggapan Bahwa Muntah Membatalkan Puasa
Anggapan bahwa semua muntah merupakan hal yang
membatalkan puasa adalah salah karena muntah itu ada dua macam:
Muntah dengan sengaja. Ini hukumnya membatalkan puasa.
Imam Al-Khaththaby, Ibnul Mundzir dan lain-lainnya menukil kesepakatan di
kalangan ulama tentang hal tersebut, walaupun Ibnu Rusyd menukil bahwa Imam
Thawus menyelisihi mereka.
Muntah yang tidak disengaja. Ini hukumnya tidaklah
membatalkan puasa, dan ini merupakan pendapat jumhur ulama. Hal di atas
berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai
hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihiwasallam) , beliau
berkata,
مَنِ اسْتَقَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ
وَمَنَ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan
berpuasa maka wajib atasnya membayar qadha’ dan siapa yang dikuasai oleh
muntahnya (muntah dengan tidak disengaja) maka tidak ada qadha’ atasnya.”
Dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa` no. 673, Imam Syafi’iy dalam
Al-Umm 7/252, ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 7551 dan Ath-Thahawy dalam
Syarh Ma’ani Al-Atsar 2/98 dengan sanad shahih di atas syarat Bukhary-Muslim.
Lihat Al Mughny 3/17-119, Al Majmu’ 6/319-320, Bidayatul
Mujtahid 1/385 karya Ibnu Rusyd, Ma’alim As-Sunan 3/261 karya Al Khaththaby,
‘Aunul Ma’bud 7/6, Nailul Authar4/204, Fathul Bary 4/174, Syarhul ‘Umdah Min
Kitabush Shiyam 1/395-404 dan Al-Fath Ar-Rabbany 10/44-45.
11. Anggapan Bahwa Makan dan Minum Dalam Keadaan Lupa
Membatalkan Puasa
Anggapan ini tidaklah benar, berdasarkan hadits Abu
Hurairah yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim,
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ
فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Barangsiapa yang lupa bahwa ia dalam keadaan
berpuasa, lalu ia makan dan minum, maka hendaknya ia tetap menyempurnakan
puasanya (tidak berbuka), karena Allah-lah yang telah memberinya makan dan
minum.”
Dari hadits ini menunjukkan bahwa siapa yang berpuasa
lalu makan dan minum dalam keadaan lupa maka tidaklah membatalkan puasanya. Ini
merupakan pendapat jumhur ulama.
Lihat Al Majmu’ 6/324 karya Ibnu Qudamah, Syarh Muslim
8/35 karya Imam Nawawy,Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/457-462 karya Ibnu
Taimiyah, Al-I’lam 5/203-204 karya Ibnul Mulaqqin, Fathul Bary 4/156-157 karya
Ibnu Hajar, Zadul Ma’ad 2/59 karya Ibnul Qayyim dan Nailul Authar 4/206-207
karya Asy-Syaukany.
12. Anggapan Bahwa Bersuntik Membatalkan Puasa
Bersuntik bukanlah hal yang membatalkan puasa,
sehingga hal itu bukanlah sesuatu yang terlarang selama suntikan itu tidak
mengandung sifat makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan
kekuatan, atau infus. Dibolehkannya hal ini karena tidak ada dalil yang
menunjukkan bahwa bersuntik dapat membatalkan puasa.
Lihat Fatawa Ramadhan 2/485-486.
13. Merasa Ragu Mencicipi Makanan
Boleh mencicipi makanan dengan menjaga jangan sampai
masuk ke dalam tenggorokan kemudian mengeluarkannya. Hal ini berdasarkan
perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’
(sampai kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam ), yang lafazhnya,
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ مَا
لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidaklah mengapa orang yang berpuasa merasakan cuka
atau sesuatu (yang ingin ia beli) sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokan
dan ia (dalam keadaan) berpuasa.”Dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam
Al-Mushannaf 2/304 no. 9277-9278, Al Baghawy dalam Al-Ja’diyyat no. 8042 dan
disebutkan oleh Imam Bukhary dalam Shahîh -nya 4/132 ( Fathul Bary ) secara
mu’allaq dengan shighah jazm dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul
Ghalil 4/85-86.
Berkata Imam Ahmad, “Aku lebih menyukai untuk tidak
mencicipi makanan, tetapi bila orang itu harus melakukannya namun tidak sampai
menelannya, maka tidak ada masalah baginya.” Lihat Al-Mughny 4/359.
Berkata Ibnu Aqaîl Al-Hambaly, “Hal tersebut dibenci
bila tak ada keperluan, namun bila diperlukan, tidaklah mengapa. Akan tetapi,
bila ia mencicipinya lalu masuk ke dalam tenggorokan, hal itu dapat membatalkan
puasanya, dan bila tidak masuk, tidaklah membatalkan puasa.” Lihat Al-Mughny
4/359.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam
Al-Ikhtiyarat hal. 108, “Adapun kalau ia merasakan makanan dan mengunyahnya
atau memasukkan ke dalam mulutnya madu dan menggerakkannya maka itu tidak
apa-apa kalau ada keperluan seperti orang yang kumur-kumur dan menghirup air.”
Lihat Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/479-481
bersama ta’liq-nya.
14. Tidak Berkumur-Kumur dan Menghirup Air ke Dalam
Hidung Ketika Berwudhu
Berkumur-kumur dan menghirup air (ke hidung) ketika
berwudhu adalah perkara yang disyariatkan pada setiap keadaan, baik saat berpuasa
maupun tidak. Karena itulah kesalahan yang besar apabila hal tersebut
ditinggalkan. Tapi perlu diketahui bahwa pembolehan berkumur-kumur dan
menghirup air ini dengan syarat tidak dilakukan bersungguh-sungguh atau
berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam tenggorokan, sebagaimana
dalam hadits Laqîth bin Saburah bahwasanya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
allihi wa sallam bersabda,
وَبَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ
صَائِمًا
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air
(kedalam hidungnya) kecuali jika engkau dalam keadaan berpuasa.” Hadits shahih.
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/18 dan 32, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa no.
80, Ath-Thayalisy no. 1341, Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm 1/27, Abu Daud no. 142,
Tirmidzy no. 788, Ibnu Majah no. 407, An-Nasa`i no. 87 dan Al-Kubra no. 98,
Ibnu Khuzaimah no. 150 dan 168, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.
1054, 1087 dan 4510, Al-Hakim 1/248 dan 4/123, Al-Baihaqy 1/76, 4/261 dan
6/303, Ath-Thabarany 19/216 no. 483 dan dalam Al-Ausath no. 7446, Ibnu Abdil
Bar dalam At-Tamhîd 18/223, Ar-Ramahurmuzy dalam Al-Muhaddits Al-Fashil hal.
579, dan Bahsyal dalam Tarikh Wasith hal. 209-210.
Adapun mulut sama hukumnya dengan hidung dan telinga
di dalam berwudhu yakni tidak membatalkan puasa bila disentuh dengan air,
bahkan tidak terlarang berkumur-kumur saat matahari sangat terik selama air
tersebut tidak masuk ketenggorokan dengan disengaja. Dan hukum menghirup air ke
hidung sama dengan berkumur-kumur.
Lihat Fathul Bary 4/160, Nailul Authar 4/310, Al-Fath
Ar-Rabbany 10/38-39, Syarhul Mumti’ 6/406 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan
Fatawa Ramadhan 2/536-538.
15. Anggapan Bahwa Mandi dan Berenang atau Menyelam
Dalam Air Membatalkan Puasa
Anggapan tersebut salah sebab tidak ada dalil yang
mengatakan bahwa berenang atau menyelam itu membatalkan puasa sepanjang dia
menjaga agar air tidak masuk ke dalam tenggorokannya.
Berkata Imam Ahmad dalam kitab Al-Mugny Jilid 4 hal
357, “Adapun berenang atau menyelam dalam air dibolehkan selama mampu menjaga
sehingga air tidak tertelan.”
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Tidak
apa-apa orang yang berpuasa menceburkan dirinya ke dalam air untuk berenang
karena hal tersebut bukanlah dari perkara-perkara yang merupakan pembatal
puasa. Asalnya (menyelam dan berenang) adalah halal sampai tegak (baca: ada)
dalil yang menunjukkan makruhnya atau haramnya dan tidak ada dalil yang
menunjukkan haramnya dan tidak pula ada yang menunjukkan makruhnya. Dan
sebagian para ‘ulama menganggap hal tersebut makruh hanyalah karena ditakutkan
akan masuknya sesuatu ketenggorokannya dan ia tidak menyadari.”
Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah,
dan lain-lainnya.
Lihat Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/387 dan
471, Al-Muhalla 6/225-226 karya Ibnu Hazm dan Fatawa Ramadhan 2/524-525.
16. Anggapan Bahwa Menelan Ludah Membatalkan Puasa
Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan
lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian
menelannya.
Berkata Ibnu Hazm, “Adapun ludah, sedikit maupun
banyak tidak ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama) bahwa sengaja menelan
ludah tersebut tidaklah membatalkan puasa. Wa Billahi Taufiq.”
Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 6/317, “Menelan
ludah tidaklah membatalkan puasa menurut kesepakatan (para ulama).”
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul
‘Umdah 1/473, “Dan Apa-apa yang terkumpul di mulut dari ludah dan semisalnya
apabila ia menelannya tidaklah membatalkan puasa dan tidak dianggap makruh.
Sama saja apakah ia menelannya dengan keinginannya atau ludah tersebut mengalir
ketenggorokannya di luar keinginannya ….”
Adapun dahak tidak membatalkan puasa karena ludah dan
dahak keluar dari dalam mulut, hal itu apabila ludah belum bercampur dengan
rasa makanan dan minuman.
Lihat Syarhul Mumti’ 6/428-429 dan Syarhul ‘Umdah
1/476-477.
17. Menganggap Bahwa Mencium Bau-Bauan yang
Menyenangkan Membatalkan Puasa
Mencium bau-bauan yang enak atau harum adalah suatu
hal yang dibolehkan, apakah bau makanan atau parfum dan lain-lain. Karena tidak
ada dalil yang melarang.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Al-Ikhtiyarat hal.
107, “Dan mencium bau-bauan yang wangi tidak apa-apa
bagi orang yang puasa.”
18. Menghabiskan Waktu dengan Perbuatan dan Perkataan
Sia-Sia
Sebagaimana hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu
‘anhu dikeluarkan oleh Imam Bukhary dan lainnya,
مَنْ لَمْ يَدْعُ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ
فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan
beramal dengannya maka AllahSubhanahu wa Ta’ala tidak ada hajat (pada
amalannya) ia meninggalkan makan dan minumannya.”
Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa alihi wa sallam menegaskan,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ
إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ
“Bukanlah puasa itu (menahan) dari makan dan minumannya
(semata), puasa itu adalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”
Hadits ini menunjukkan larangan untuk berkata sia-sia,
dusta, serta beramal dengan pekerjaan yang sia-sia. Dan juga dalam hadits Abu
Hurairah riwayat Bukhary dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam menyatakan,
إِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ سَابَّهُ فَلْيَقُلْ
إِنَّيْ صَائِمٌ
“Apabila ada orang yang mencelanya, hendaklah ia
berkata, ‘ Sesungguhnya saya ini berpuasa .’ .”
19. Menyibukkan Diri dengan Pekerjaan Rumah Tangga di
Akhir Bulan Ramadhan
Menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga,
sehingga melalaikannya dari ibadah pada akhir bulan Ramadhan, khususnya sepuluh
hari terakhir, adalah hal yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah
dan Rasul-Nya, yang seharusnya, pada sepuluh hari terakhir, kita lebih menjaga
diri dengan memperbanyak ibadah.
20. Membayar Fidyah Sebelum Meninggalkan Puasa
Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasa, seperti
wanita yang sedang hamil enam bulan yang tidak akan berpuasa di bulan Ramadhan,
lalu membayar fidyah 30 hari sekaligus saat sebelum Ramadhan atau di awal
Ramadhan, tentunya adalah perkara yang salah, karena kewajiban membayar fidyah
dibebankan kepada seseorang apabila ia telah meninggalkan puasa, sedangkan ia
belum meninggalkan puasa di awal Ramadhan, sehingga belum wajib baginya
membayar fidyah.
21. Menganggap Bahwa Darah yang Keluar dari Dalam
Mulut Dapat Membatalkan Puasa
Darah yang keluar dari dalam mulut, selama tidak
sampai ketenggorokan (tidak tertelan), maka tidak membatalkan puasa,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hazm dalamAl-Muhalla 2/214, “Tidak ada
khilaf (perbedaan pendapat) dalam permasalahan ini, yakni darah yang keluar
dari dalam mulut, selama tidak sampai ketenggorokan, maka tidak membatalkan
puasa.”
Hal ini disebutkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/477.
Seandainya ada khilaf ‘perbedaan pendapat’ dalam
masalah ini, maka pendapat yang kuat yakni tidak membatalkan puasa. Adapun
kalau darah itu keluar dari dalam mulut kemudian ditelan dengan sengaja, maka
hal ini dapat membatalkan puasa, ini sebagaimana keumuman nash-nash yang ada.
Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan para ulama di zaman sekarang.
Lihat Syarhul ‘Umdah 9/477, Fatawa Ramadhan 2/460,
Syarhul Mumti’ 6/429.
Wallahu Ta’ala A’lam Wa Fauqa Kulli Dzî ‘Ilmin ‘Alîm.”
Dinukil oleh Abul-Harits dari An-Nashihah Online