Saturday, May 28, 2016

Tinjauan Kritis Tentang Ceramah Tarawih (Dilakukan Di Tengah-Tengah Pelaksanaan Shalat Tarawih Secara Rutin)


Pertanyaan:

Apa hukum memberikan nasehat disela shalat tarawih, atau kadang dilakukan di tengah-tengah pelaksanaan shalat tarawih secara rutin?

Jawaban Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin:

Tidak terlarang. Jika setelah salam lalu imam berdiri untuk shalat berikutnya, kemudian ia melihat shaf agak kurang lurus, atau ma’mum terpisah-pisah hingga terdapat rongga, maka hendaknya imam memberi nasihat: “Luruskan dan rapatkan!”. Hal ini tidak terlarang. Sedangkan nasihat yang berbentuk ceramah, sebaiknya tidak dilakukan. Jika ada sesuatu yang perlu disampaikan atau suatu keperluan, sebaiknya setelah tarawih selesai. Jika melaksanakan ceramah tarawih tersebut dimaksudkan sebagai ibadah, maka ini bid’ah. Dan salah satu pertanda, ceramah tersebut dimaksudkan sebagai ibadah adalah dengan melaksanakannya secara rutin setiap malam.
Namun aku ingin bertanya: Saudaraku, mengapa engkau mengadakan ceramah disela tarawih? Bukankah sebagian orang memiliki kesibukan sehingga ia ingin segera menyelesaikan shalat tarawih karena mengaharapkan pahala yang dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
“Orang yang shalat tarawih bersama imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk”
Apabila anda senang mendengarkan atau memberikan ceramah, atau juga misalnya setengah dari jamaah pun suka mendengarkan ceramah, atau bahkan tiga per empat jamaah menyukainya, maka janganlah membuat jamaah yang seperempat lagi merasa ‘terpenjara di masjid’, karena mengedepankan kesenangan dari tiga perempat jamaah lainnya. Bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda, yang kurang lebih lafazhnya:
إذا أمّ أحدكم الناس فليخفف فإن من ورائه ضعيف والمريض وذي الحاجة
“Jika seseorang menjadi imam, hendaknya ia ringankan shalatnya. Karena di barisan ma’mum terdapat orang lemah, orang sakit dan orang yang memiliki keperluan”
Maksudnya, janganlah samakan keadaan orang lain dengan keadaanmu atau keadaan orang yang lainnya yang senang mendengarkan ceramah. Hendaknya terapkan standar yang membuat semuanya merasa lega. Maka imamilah tarawih sampai selesai, jika anda selesai dan ma’mum pun sudah selesai, silakan sampaikan apa yang hendak anda sampaikan.
Kita memohon kepada Allah agar Ia menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat serta amal shalih.Ajaklah mereka dengan bahasa yang menyenangkan untuk menghadiri majelis ilmu
من سلك طريقاً يلتمس فيه علماً سهل الله له به طريقاً إلى الجنة
“Orang yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu,maka Allah akan permudah jalannya menuju surga”
والحمد لله رب العالمين، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Kaset Liqaa Bab Al-Maftuh No.118

Jawaban Syaikh Abdur Rahman bin Nashir Al Barraak:

Alhamdulillah. Mengajarkan perkara agama kepada manusia, disyariatkan di setiap waktu. Karena hal tersebut adalah da’wah ilallah dan merupakan usaha penyebaran ajaran agama. Namun sebaiknya anda melihat masing-masing kondisi manusia, atau memilih waktu yang tepat sehingga umumnya mereka siap menerima materi. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabat. Dan Rasulullah Shallalalhu’alaihi Wasallam biasa memperhatikan kesiapan orang yang diberi ceramah karena khawatir mereka jengkel. Ini para sahabat, dan guru mereka adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Demikian juga, terdapat riwayat tentang Ibnu Mas’ud bahwa beliau juga memperhatikan kesiapan orang yang diberi ceramah. Demikian teladan dari RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam. Dan tidak ada contoh dari para sahabat dan tabi’in dalam mengkhususkan ceramah tertentu di bulan Ramadhan. Mereka bersepakat untuk memperbanyak membaca Al Qur’an dan menunda kesibukan lain seperti belajar agama atau banyak mengobrol sampai bulan Ramadhan selesai.
Berkaitan dengan hal tersebut, yaitu masalah ceramah tarawih yang dilakukan disela-sela atau setelahnya secara rutin, ini menyebabkan sebagian makmum merasa jengkel. Maka sebaiknya tidak terlalu banyak melakukannya. Yang baik, hendaknya menyampaikannya sebelum shalat fadhu atau setelah selesai tarawih, namun jangan dilakukan secara rutin, juga jangan terlalu lama.
Namun menurutku, tidak perlu diadakan ceramah tarawih sedikitpun, agar meringankan orang yang berharap agar shalat tarawih segera selesai karena memiliki keperluan. Selain itu juga, adanya ceramah tarawih ini juga dapat menghambat orang untuk melakukan aktivitas membaca Al Qur’an, yang mereka prioritaskan untuk mendapatkan keutamaan bulan Ramadhan. Karena mereka sudah memprogramkan untuk meng-khatam-kan Al Qur’an dalam waktu tertentu.
Dan perlu diketahui, ada imam-imam masjid yang berlomba-lomba memperbanyak acara pengajian dengan berbagai macam tema, ada juga yang menguranginya. Kita memohon kebaikan kepada Allah atas niat dan usaha mereka.
وأن ينفعنا بما علمنا، وأن يلهمنا هدي نبينه الكريم صلى الله عليه وسلم
Bagi yang membaca dengan seksama, penjelasan beliau berdua ini bukanlah membid’ahkan ceramah tarawih. Mereka menganjurkan sebaiknya tidak perlu diadakan dengan alasan:

1.Shalat tarawih itu rakaatnya banyak dan dilakukan berjamaah, bagi sebagian orang ini sudah berat. Apalagi ditambah dengan adanya ceramah. Dan ini kita lihat sendiri pada realita, kebanyakan orang terkantuk-kantuk ketika mendengarkan ceramah tarawih. Selain itu untk meringankan makmum yang memiliki keperluan. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallammenganjurkan para imam untuk meringankan makmumnya.
2.Adanya ceramah ditengah tarawih membuat jengkel sebagian orang dan ia keluar dari jamaah sebelum shalat selesai semua, misalnya keluar setelah 8 rakaat dan mengerjaan witirnya di rumah. Padahal jika tidak ada ceramah mungkin ia akan ikut sampai selesai dan mendapatkan keutamaan pahala shalat semalam suntuk.
3.Tidak ada teladan dari para sahabat dan ulama terdahulu
4.Agar umat muslim bisa menyibukkan diri membaca Al Qur’an

Saya juga berprasangka, bisa jadi berkurangnya jamaah shalat tarawih dari hari-ke-hari dikarenakan adanya ceramah ini. Andaikan shalat tarawih dilakukan tanpa ceramah tentu lebih cepat dan ringan sehingga orang-orang semangat melakukannya.
Kemudian beliau berdua membolehkan ceramah tarawih dengan syarat:

1.Tidak dimaksudkan sebagai ibadah. Dengan kata lain, tidak boleh berkeyakinan bahwa ada ceramah itu lebih afdhal, dan jika tidak ada merasa ada yang kurang.
2.Ceramahnya tidak lama
3.Sebaiknya dilakukan setelah shalat selesai        
   semua
4.Tidak dilakukan secara rutin setiap hari

Ceramah tarawih bisa terjerumus ke dalam bid’ah jika diniatkan dalam rangka ibadah tersendiri. Walau niat adalah masalah hati, namun ada indikasi yang dapat dikenali misalnya berkeyakinan bahwa ada ceramah itu lebih afdhal, dan jika tidak ada merasa ada yang kurang, tanda yang lain adalah melaksanakannya secara rutin setiap hari.
Imbauan ini sejatinya bagi para pengurus masjid atau orang yang berkewenangan terhadap kegiatan masjid. Jadi, jika anda pengurus masjid, sebaiknya dipertimbangkan lagi dalam menyelenggarakan ceramah tarawih. Atau jika anda jamaah masjid, anda bisa memberikan masukan kepada pengurus masjid tentang hal ini.
Wallahu’alam.

Syeikh Al-Albani rahimahullah pernah ditanya:

Apakah imam masjid dalam shalat Tarawih boleh menyampaikan tausiah diantara rakaat shalat?

Beliau menjawab: boleh dan tidak boleh, apabila peringatan, perintah dan larangan disebabkan adanya perkara penting yang tiba-tiba maka ini perkara wajib, adapun apabila itu dijadikan sebagai aturan kebiasaan...maka ini menyelisihi sunah.(Silsilah Huda wan Nur: 656).

Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata:  
”Qiyam Ramadhan disyariatkan semata untuk meningkatkan taqarrub kita kepada Allah Ta’ala dengan shalat Tarawih, oleh karena itu maka kami tidak berpendapat untuk mencampuradukkan antara shalat tarawih dengan hal yang berkaitan dengan ilmu dan taklim dan semacamnya, seharusnya hanya diisi dengan shalat Tarawih yang merupakan ibadah murni, adapun ilmu maka ada waktunya, tidak dibatasi dengan waktu, hanya perlu diperhatikan maslahat orang yang belajar, ini aslinya dan saya inginkan dari sini bahwa siapa yang membuat kebiasaan mengajarkan manusia diantara setiap raka’at seperti dalam shalat Tarawih dan itu dijadikan kebiasaan, maka itu termasuk perkara baru yang menyelisihi sunah”. Disarikan dari kaset Silsilah Huda wan Nur nomer: 693 menit ke28 oleh Syeikh Al-Albani rahimahullah.

Syeikh Jibrin rahimahullah pernah ditanya:

Apa hikmahnya Qiyam Ramadhan disebut dengan Tarawih? Dan apa pendapat anda bahwa yang lebih utama memanfaatkan waktu istirahat dalam shalat Tarawih dengan menyampaikan kalimat atau tausiah ?
Beliau menjawab: disebutkan dalam kitab Al-Manahilul Al-Hassan (dari Al-A’raj) berkata: kami tidak mendapati manusia melainkan mereka mengutuk orang-orang kafir di Ramadhan, dia berkata: dahulu imam membaca surat Al-Baqarah dalam empat rakaat, dan apabila dia bangkit kerakaat dua belas manusia melihatnya telah meringankan, (dari Abdullah bin Abu Bakar) berkata: aku mendengar ayahku berkata: ”dahulu kami dalam ramadhan keluar dari Qiyamul Lail lalu bergegas menyiapkan makanan, karena kuatir ketinggalan sahur”... dimana manusia dizaman sekarang meringankan shalat, yaitu mengerjakannya dalam satu jam atau kurang, maka tidak perlu lagi untuk duduk istirahat, karena mereka tidak merasakan capek atau berat, akan tetapi yang lebih utama jika sebagian imam memisahkan antara rakaat Tarawih dengan duduk istirahat, atau berhenti sebentar untuk istirahat, maka yang lebih utama duduk ini diisi dengan nasihat atau peringatan, atau membaca kitab yang bermanfaat, atau tafsir ayat yang dibaca oleh imam, atau tausiah, atau mengingatkan salah satu hukum syar’ie, sehingga mereka tidak keluar atau bosan. Wallahu A’lam.

Syeikh Al-Munajjid hafidhahullah pernah ditanya dalah situs Al-Islam Sual wal Jawab:

Soal no: 38025 mengenai penyampaian ceramah setelah empat rakaat dari shalat Tarawih yaitu apa hukum syar’ie ceramah yang disampaikan setelah empat rakaat dalam shalat Tarawih?

Beliau menjawab:  Alhamdulillah, pelajaran yang disampaikan sebagian imam atau ustadz diantara rakaat shalat Tarawih tidak mengapa Insya Allah, yang lebih baik tidak dirutinkan, kuatir manusia meyakini bahwa itu sebagian dari shalat Tarawih, dan kuatir mereka menyakini kewajibannya sehingga barangkali mereka mengingkari orang yang meninggalkannya. Imam atau ustadz boleh saja menyampaikan tausiah kepada manusia sesuai yang mudah dari hukum syar’ie  terutama masalah yang mereka perlukan dalam bulan ini dengan catatan untuk meninggalkannya sekali-kali sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Kesimpulan:

Sebagaimana kita lihat sebagian ulama membolehkan tausiah seperti ini dan sebagian melarangnya meski tidak secara mutlak, maka sebagai jalan tengahnya sebaiknya tausiah tersebut tidak dilakukan secara rutin supaya orang tidak menyangka sebagai bagian dari Qiyam Ramadhan atau supaya tidak membosankan karena sebagian ustadz jika sudah menyampaikan kalimat atau tausiahnya tidak menyampaikan poin yang penting tetapi ngalor ngidul sehingga memakan banyak waktu, dengan demikian orang yang hanya ingin shalat bersama imam hingga selesai supaya mendapat fadhilah shalat sepanjang malam jadi dirugikan.

Yang lebih utama lagi menjadikannya setelah shalat Isya’ sebelum tarawih sehingga bagi yang hanya ingin ikut shalat bisa keluar dan pulang terlebih dulu, atau menjadikannya setelah shalat Tarawih sempurna walaupun kebanyakan orang sudah keluar, tidak mengapa karena memang hal ini tidak wajib, bagi yang memang ingin mendapatkan ilmu dia tentu akan tetap duduk mendengarkan.

Namun untuk melarangnya secara keseluruhani dengan alasan termasuk perkara bid’ah maka barangkali ini kurang bijaksana karena perbedaan pendapat ulama diatas, apalagi momen seperti Ramadhan ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan tausiah karena kebanyakan manusia bersungguh dalam beribadah di masjid.

Mudah-mudahan amalan kita di bulan Ramadhan ini sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Wallahu A’lam bishowab.

Bagaimana hukum ceramah seiring pelaksanaan shalat Tarawih? Apakah hal tersebut dianjurkan ataukah justru termasuk perbuatan yang diada-adakan (bid`ah)?
Jawab:
Ditinjau secara prinsip asal, hukum ceramah dimaksud adalah boleh, bahkan dianjurkan, karena termasuk bab tolong menolong dalam ketaqwaan, saling menasehati dalam kebaikan, dan menuntut ilmu. Pada umumnya, pelaksanaan ceramah seiring shalat Tarawih dimaksudkan untuk memanfaatkan momen berkumpulnya manusia.
Hanya saja, apabila ceramah tersebut diyakini kesunnahannya sebagai bagian dari ritual shalat Tarawih, seperti halnya ceramah dalam shalat Jum’at, atau diyakini bahwa ceramah pada waktu tersebut diyakini memiliki kekhususan dan keutamaan, maka anggapan dan keyakinan semacam ini adalah termasuk bid’ah. Sebab, tidak didapati dalil yang menyebutkan anjuran pelaksanaan ceramah seiring shalat Tarawih, baik secara eksplisit (zhāhir) maupun implisit (mustanbath).
Karena itu, dalam rangka mengindari terjadinya anggapan dan bid’ah dimaksud, sehingga kalaupun diadakan ceramah, maka sebaiknya tidak dilakukan pada setiap shalat Tarawih, sehingga tidak diyakini bahwa ceramah tersebut merupakan bagian dari ritual shalat Tarawih, atau bahwa ceramah pada waktu tersebut diyakini memiliki kekhususan dan keutamaan.WaLlāhu a’lam bish shawāb.
Di samping itu, kalaupun ceramah tersebut diadakan, maka sebaiknya setelah pelaksanaan shalat Tarawih, sehingga barangsiapa yang ingin mendengar ceramah tersebut hendaklah ia mendengarkannya, namun barangsiapa yang tidak ingin mendengarnya maka ia dapat berpaling.
Jika ada yang bertanya lebih lanjut: jika ceramah tersebut memang tidak pernah dilakukan oleh Nabi—shalaLlāhu ‘alaihi wa sallam—dan para Sahabat maka bukankah hal tersebut tidak boleh dilakukan secara mutlak?
Jawabnya: jika ucapan di atas diimplementasikan secara mutlak, maka sebagai konsekuensinya adalah pelarangan terhadap hampir seluruh ceramah, pengajian dan kegiatan pembelajaran agama di muka bumi. Bukankah tidak ada dalilnya menuntut ilmu agama melalui universitas, daurah(pesantren kilat) dan semisalnya? Bukankah juga tidak ada dalilnya melakukan pengajian rutin mingguan pada hari Ahad, Sabtu, malam Rabu, dan waktu-waktu yang semisalnya? Apakah hal-hal tersebut juga akan dianggap sebagai bid’ah yang terlarang karena Nabi—shalaLlāhu ‘alaihi wa sallam—dan Sahabat tidak melakukannya? Jawabnya tentu saja tidak. Jika demikian, hal yang sama juga berlaku dalam pembahasan kali ini. Hanyalah menjadi bid’ah apabila dikhususkan dan diutamakan pelaksanaan ceramah pada suatu waktu tertentu, padahal tidak ada dalil yang menyebutkan kekhususan dan keutamaan tersebut, atau ceramah tersebut dijadikan bagian dari ritual shalat Tarawih. Wallāhu a’lam bish shawāb.
Bagaimana halnya dengan larangan ceramah secara mutlak dalam rangka implementasi prinsip saddu’d dzarī’ah? Yakni, agar tidak terjatuh ke dalam bid’ah meyakini bahwa ceramah merupakan bagian dari ritual shalat Tarawih, atau meyakini bahwa pemberian ceramah seiring waktu pelaksanaan shalat Tarawih memiliki keutamaan dan kekhususan dari sisi dzatnya. Jawabnya, pertanyaan tersebut memiliki wijhatu’n nazhar yang kuat untuk dibenarkan dan diimplementasikan. Artinya, apabila pelaksanaan ceramah tersebut dapat menyebabkan masyarakat terjatuh ke dalam bid’ah di kemudian hari, maka sebaiknya hal itu tidak dilaksanakan dan dicegah. Hanya saja, sependek pengamatan dan pengetahuan kami, hampir tidak ada kaum muslimin yang meyakini bahwa ceramah merupakan bagian dari ritual shalat Tarawih, berbeda dengan keyakinan mereka terhadap khuthbah Jum’at.
Sebagai tambahan faidah dan pembanding, di bawah ini akan kami posting fatwa al-’Allāmah Ibn ‘Utsaimīn—rahimahuLlāh—terkait permasalahan dimaksud, yang merupakan salah satu acuan dan sandaran kami dalam pembahasan ini.
Sumber fatwa tersebut adalah kaset Liqā` al-Bāb al-Maftūh, No.118, yang dapat diunduh di sini:
Transkrip fatwa dimaksud dapat diperoleh di sini:
Berikut adalah teks fatwa tersebut:
السؤال: ما حكم الموعظة بين صلاة التراويح أو في وسطها ويكون هذا دائماً؟
الشيخ: لا مانع، إذا قام إلى التسليمة الثانية ورأى أن الصف قد اعوج، أو أن المصلين قد تمايزوا وتفرقوا وصار فيهم فرجة، فليقل: استووا أو تراصوا، ولا حرج. أما الموعظة فلا، لأن هذا ليس من هدي السلف، لكن يعظهم إذا دعت الحاجة أو شاء بعد التراويح، وإذا قصد بهذا التعبد فهو بدعة، وعلامة قصد التعبد أن يداوم عليها كل ليلة، ثم نقول: لماذا يا أخي تعظ الناس؟ قد يكون لبعض الناس شغل يحب أن ينتهي من التراويح وينصرف ليدرك قول الرسول عليه الصلاة والسلام: (من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة) وإذا كنت أنت تحب الموعظة ويحبها أيضاً نصف الناس بل يحبها ثلاثة أرباع الناس فلا تسجن الربع الأخير من أجل محبة ثلاثة أرباع، أليس الرسول صلى الله عليه وسلم قال: (إذا أمّ أحدكم الناس فليخفف فإن من ورائه ضعيف والمريض وذي الحاجة) أو كما عليه الصلاة والسلام، يعني: لا تقس الناس بنفسك أو بنفس الآخرين الذين يحبون الكلام والموعظة، قس الناس بما يريحهم، صلِّ بهم التراويح وإذا انتهيت من ذلك وانصرفت من صلاتك وانصرف الناس فقل ما شئت من القول. نسأل الله أن يرزقنا وإياكم العلم النافع والعمل الصالح، وأبشروا بالخير بالحضور إلى هذا المكان لأن: (من سلك طريقاً يلتمس فيه علماً سهل الله له به طريقاً إلى الجنة). والحمد لله رب العالمين، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.
Terjemah:
Pertanyaan: Bagaimana hukum ceramah atau nasehat yang disampaikan di antara atau di tengah-tengah shalat Tarawih secara kontinu?
Al-’Allāmah Ibn ‘Utsaimīn—rahimahuLlāh—menjawab: Tidaklah mengapa sekiranya (imam) berdiri untuk dua raka’at selanjutnya lantas melihat ketidaklurusan atau celah dan kerenggangan pada shaf para makmum, kemudian ia berkata: “Luruskan dan rapatkan (shaf)!” Yang semacam ini tidak mengapa.
Adapun ceramah atau nasehat (seiring atau di antara shalat Tarawih), maka jangan. Sebab yang demikian bukanlah petunjuk Salaf. Akan tetapi, nasehat dapat disampaikan sekiranya memang ada kebutuhan untuk itu, atau selepas shalat Tarawih jika diinginkan. Namun, apabila diniatkan sebagai ta’abbud(ritual ibadah) maka terjatuh pada bid’ah. Dan, tanda hal tersebut dilakukan dengan niat ta’abbud adalah dengan melakukannya secara kontinu setiap malam.
Selanjutnya, kami katakan: Wahai Saudaraku, mengapa Anda memberi ceramah kepada manusia? Bukankah bisa jadi sebagian orang memiliki kesibukan dan ingin segera menyelesaikan shalat Tarawih, dan berpaling (bersama imam sampai akhir selesai sholat) untuk mendapatkan ucapan Nabi—shalaLlāhu ‘alaihi wa sallam: “Man qāma ma’al imām hatta yansharifa kutiba lahu qiyāmu lailah“ (Barangsiapa yang melakukan shalat [Tarawih] bersama imam sampai imam selesai dan berpaling maka dicatat baginya shalat semalam penuh).
Kalaupun Anda senang (memberi) ceramah dan setengah—bahkan 3/4—dari jama’ah pun senang dengan ceramah tersebut, maka janganlah ‘memenjarakan’ seperempat sisanya karena kecintaan 3/4 jama’ah tadi. Bukankah Rasulullah—shalaLlāhu ‘alaihi wa sallam—berkata, yang kurang lebihnya: “Idzā amma ahadukumun nās falyukhāffif fa inna min warā-ihi dhā`īf wal marīdh wa dzil hājah” (Jika seseorang dari kalian mengimami manusia, maka ringankanlah, sebab di belakangnya terdapat orang yang lemah, sakit atau memiliki keperluan).
Maksudnya, janganlah menyamakan kondisi manusia dengan kondisi dirimu atau mereka yang menyukai ceramah tersebut. Namun samakanlah manusia dengan hal-hal yang melegakan mereka. Shalatlah Tarawih bersama mereka. Selepas shalat, setelah Anda dan orang-orang berpaling dari shalat, maka silahkan Anda menyampaikan apa yang Anda sukai dari ceramah. Kita memohon kepada Allah agar menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat serta amal shalih. Berikan kabar gembira kepada mereka untuk menghadiri majelis tersebut. Sebab: “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan permudah jalannya menuju surga.” Al-Hamdu liLlāhi Rabbil ‘ālamīn. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan seluruh sahabat beliau.
Demikian fatwa beliau, rahimahuLlāh rahmatan wāsi’ah.
NB: Bahan tulisan ini adalah dari www.salafyitb.wordpress.com dan dengan bantuan al-Akh al-Fādhil Abū ‘Umair—hafizhahuLlāh.


Assalamu `alaikum Wr. Wb. 

Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d 

Jujur saja bahwa ceramah tarawih yang seperti sekarang banyak dilakukan sebagaimana yang anda sebutkan tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun para shahabat. 

Yang kita dapati dari hadits-hadits yang menyebutkan tentang shalat tarawih Rasulullah SAW maupun para shahabat memang tidak menyebutkan adanya ceramah atau khutbah baik sebelum, diantara atau sesudahnya. Paling-paling disebutkan tentang bagaimana kualitas shalatnya, atau ayat apa saja yang dibaca. Kita tidak mendapatkan dalil yang sharih bahwa shalat tarawih yang mereka lakukan itu diselingi dengan ceramah. 

Namun yang menjadi pertanyaan adalah : apakah bila kita menyisipkan ceramah agama di sebuah jamaah shalat tarawih, hukumnya menjadi bid'ah ? Kalau bid'ah, bagaimana kedudukan bid'ahnya ? Bid'ah hasanahkah atau bid'ah dhalalah ? 

Bahkan lebih luas dari masalah ini, di masa kita ini selalu kita dapati dalam shalat jumat adanya pembawa acara yang naik podium untuk memberikan semacam pengumuman baik tentang keuangan masjid atau membacakan siapa yang menjadi khatib dan imam. Padahal di masa Rasulullah SAW, kita tidak pernah mendapati keterangan adanya pembawa acara yang membaca pengumuman sebelum khatib naik mimbar. 

Bagaimanakah hukumnya ? Dan bid'ahkah ? Untuk menjawab masalah ini, marilah kita teliti dan cermati bersama bagaimana para ulama menanggapi masalah ini. 

Kalangan ulama yang ketat dalam mengikuti zahir nash umunya tidak menambahkan ceramah dalam shalat tarawih. Sebagiannya malah mengatakan bahwa hal itu bid'ah. Karena tidak punya dasar dari nash yang shahih. 

Namun kalangan yang lebih moderat melihat bahwa adanya ceramah di dalam tarawih itu tidak bisa dimasukkan dalam kategori bid'ah, meski memang tidak ada contoh langsung. Karena sebenarnya ceramah itu bukan bagian dari seremoni shalat tarawih, namun merupakan sebuah kesempatan untuk menyebarkan ilmu agama. Mumpung orang-orang sedang berkumpul di masjdi untuk shalat tarawih, maka diadakanlah acara ceramah yang sejak awal diyakini oleh semua pihak bahwa ceramah itu bukan bagian dari ritual ibadah tarawih. Sehingga keberadaannya tidak menjadi mutlak harus ada. 

Lagi pula melihat bagaimana praktek yang berjalan di kalangan umat Islam, tidak ada keseragaman tentang pelaksanaannya. Apakah akan diletakkan sebelum atau sesudah shalat tarawih atau di tengahnya. Ini menunjukkan bahwa adanya cermah ini bukanlah bagian dari shalat tarawih. Dan untuk itu, banyak pula masjid tertentu yang memanfaatkan momentum shalat jamaah untuk mengadakan pengajaran ilmu agama, seperti ba'da shalat zhuhur atau ba'da ashar dan ba'da shubuh. Di masjid al-Haram Mekkah dan Madinah biasanya dilakukan 'pengajian' setelah waktu shalat tertentu. Tidak ada yang mengatakan bahwa hal itu bid'ah atau menambahi urusan agama. Karena semua tahu bahwa ceramah agama itu bukan bagian dari ritual shalat tarawih.

Kebiasaan yang kerap dilakukan pengurus/DKM Masjid :

Tidak perlu adanya pembawa acara yang naik kepodium memberikan semacam pengumuman baik tentang keuangan masjid ( tetek bengek terkait kegiatan pengurus masjid, RUPS ) atau siapa yang akan menjadi penceramah/Imam/Khatib baik pada waktu shalat taraweh maupun shalat jum’at. Yang utama ( sunnah muaqadnya ) waktu malam ramadhan adalah  shalat taraweh, juga yang wajib pada waktu shalat jum’at adalah khatib di mimbar. Siapa yang bertanggung jawab kepada Allah jika ada sebagian jamaah pulang setelah shalat Isya  ( karena ada ceramah ), tidak mengikuti slat taraweh berjamaah ? bukankah pengurus Masjid sebaiknya tidak mengunci/memaksa jamaah untuk mendengarkan ceramah/pembawa acara/seremoni seperti tersebut diatas ? lebih utama segera setelah selesai shalat taraweh, masing-masing jamaah membaca/mentadaburri Al-Qur’an. Jangan berdalih memerintahkan pihak yang tidak berkenan mendengarkan ceramah taraweh supaya mencari masjid lain. Terkait ceramah taraweh ( saran ) mungkin bisa dilakukan sebelum shalat Isya atau setelah selesai shalat taraweh dan ditentukan waktu/lamanya dan tidak rutin setiap hari selama bulan ramadhan. Dengan demikian memberi kesempatan para jamaah yang berniat “ hanya “ shalat taraweh saja dan mereka sudah punya jadwal kapan harus berangkat ke Masjid. Terkait pembawa acara mengumumkan tetek bengek keuangan masjid/aktivitas masjid ( RUPS ), sebaiknya di buat pengumuman tertulis dan ditempel di papan pengumuman /area informasi masjid secara detail disertai alamat ( nomor hand phone atau e-mail ) yang dituju jika ada jamaah yang complain atau protes atau keberatan terhadap masalah tersebut. Toh, selama ini tidak pernah ada jamaah yang protes/komentari  langsung didalam masjid sewaktu pembawa acara di Mimbar. Jadi perbuatan sia-sia.Hal tersebut juga berlaku pada waktu I’tikaf sepuluh malam terakhir bulan ramadhan, Imam tuntaskan sampai shalat witir selesai, jika mau ceramah dilakukan setelah selesai shalat malam ( shalatul lail ). Jangan dibiarkan makmum tidak di Imami shalat witirnya ( karena Imam rawatid telah witir malam sebelumnya waktu shalat taraweh ). Jangam sampai jamaah kehilangan induk semangnya.
Wallahu’alam


21 Kesalahan 
di Bulan Ramadhan

Tanya:
 “Sebagai orang yang ingin beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendapatkan pahala serta ridha-Nya, maka tentunya sebagaimana yang kami ketahui haruslah ibadah tersebut benar, sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah, dan bebas dari adanya kesalahan pada ibadah tersebut. Sehubungan dengan makinatnya bulan Ramadhan dan untuk menjaga agar ibadah (khususnya puasa) pada bulan tersebut lepas dari kesalahan, maka kami memohon penjelasan tentang bentuk-bentuk kesalahan yang ada dan dilakukan orang di bulan Ramadhan ini. Terima kasih.”

Jawab:

Ustadz Shabaruddin (Redaktur Majalah An-Nashihah dan Pengasuh Ma’had As-Sunnah, Makassar) hafidzahullah menjawab,

“Orang sering menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai dengan tuntunan syariat Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak disadarinya bahwa apa yang dilakukannya atau diyakininya ternyata merupakan kesalahan yang dapat mengurangi nilai puasanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena itu, kami akan mencoba menjelaskan beberapa kesalahan yang terjadi di kalangan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan agar dapat menjadi nasihat dan bekal menyambut bulan Ramadhan. Berikut beberapa kesalahan tersebut.

1. Menentukan Masuknya Bulan Ramadhan dengan Menggunakan Ilmu Falaq atau Ilmu Hisab

Hal ini merupakan suatu kesalahan besar dan sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan,

“Maka barang siapa dari kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya ia berpuasa.” [Al-Baqarah: 185 ]

Dan juga dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhumriwayat Bukhary -Muslim,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمُ الِهلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا

“Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah.”

Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menjumlah dan cara-cara yang lainnya. Kemudian perintah untuk berpuasa dikaitkan dengan syarat melihat hilal. Hal ini menunjukkan wajibnya penentuan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal tersebut.

Berkata Al-Bajy ketika membantah orang yang membolehkan menggunakan ilmu Falaq dan ilmu Hisab, “Sesungguhnya kesepakatan para salaf sudah merupakan hujjah (bantahan) atas mereka.” Lihat Subulus Salam 2/242.

Berkata pula Ibnu Bazîzah menyikapi pendapat orang yang membolehkan menggunakan ilmu falaq dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan, “Ini adalah madzhab yang bathil. Syariat telah melarang menggunakan ilmu Falaq karena sesungguhnya ilmu Falaq penuh dengan dugaan dan sangkaan yang tidak jelas.” Lihat Subulus Salam2/242.

Berkata Imam Ash-Shan’any dalam Subulus Salam 2/243, “Jawaban terhadap mereka ini jelas, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim hadits dari Ibnu ‘Umarradhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallambersabda,

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ الْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ يَعْنِيْ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ وَالْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِيْ تَمَامَ ثَلاَثِيْنَ

“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi (yaitu) tak dapat menulis dan tak dapat menghitung. Bulan itu begini, begini dan begini, beliau menekukkan ibu jarinya pada yang ketiga yakni dua puluh sembilan (hari), dan bulan itu, begini, begini dan begini yakni sempurna tiga puluh (hari).”.”

2. Kebiasaan Berpuasa Sehari atau Dua Hari Sebelum Ramadhan dengan Maksud Ihtiyath (kehati-hatian)

Hal ini menyelisihi hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقَدَمُّوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa sunnah maka hendaknyalah ia berpuasa.”

Berkata Imam Ash-Shan’any dalam Subulus Salam 2/239, “Ini menunjukkan haramnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka untuk ikhtiyath(berjaga-jaga).”

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160), “… karena menentukan puasa haruslah dengan hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan dugaan- ….”

Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364 ( Tuhfatul Ahwadzy), “ Para ulama menganggap makruh (haram-ed.) seseorang mempercepat puasa sebelum masuknya bulan Ramadhan ….”

Berkata Imam An-Nawawy, “Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah haram apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah.” Lihat Syarh Shahîh Muslim 7/158.

Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka ihtiyath. Adapun kalau ia mempunyai kebiasaan berpuasa, seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud, lalu bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan, maka itu tidak apa-apa. Wallahu A’lam.

3. Meninggalkan Makan Sahur

Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan serta menyelisihi sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan kesepakatan para ulama tentang disunnahkannya makan sahur.
Kesepakatan para ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy, Ibnul Mulaqqin dan lain-lainnya. Lihat Syarh Muslim 7/206, Al I’lam 5/188 dan Fathul Bary 4/139.

Dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali, di antaranya hadits Anas bin Malik riwayat Bukhary-Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah.”

Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalam perkara-perkara dunia maupun perkara-perkara akhirat, dan berkah tersebut bermacam-macam, di antaranya:
Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah.

Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab, sebagaimana dalam Shahîh Muslim , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحُوْرِ

“Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah makan sahur.”

Menambah kekuatan dan semangat, khusunya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih berpuasa. Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdoa dan meminta rahmat, sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat doa yang makbul. Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.
Lihat Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140.

4. Mempercepat Makan Sahur

Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwa selang waktu antara selesainya beliau makan sahur dengan permulaan shalat subuh adalah (selama bacaan) 50 ayat yang sedang (tidak panjang dan tidak pendek). Hal ini dapat dipahami dalam hadits Zaid bin Tsabit riwayat Bukhary-Muslim,

تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةٍ

“Kami bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat. Saya (Anas bin Malik) berkata, ‘ Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan) ?’ Ia (Zaid bin Tsabit) menjawab, ‘ Lima puluh ayat. ’ .”

Berkata Imam An-Nawawy dalam Syarh Shahîh Muslim (7/169), “Hadits ini menunjukkan sunnahnya mengakhirkan sahur.”
Lihat Ihkamul Ahkam 3/334 karya Ibnu Daqiqil ‘Ied, Al-I’lam 5/192-193 karya Ibnul Mulaqqin dan Fathul Bary 4/128 karya Ibnu Hajar.

5. Menjadikan Imsak Sebagai Batasan Sahur

Sering kita mendengar tanda-tanda imsak, seperti suara sirine, ayam berkokok, beduk, yang terdengar sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah (perkara baru) sesat yang sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam yang mulia.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. [ Al-Baqarah: 187 ]

Dan juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ

“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.”

Maksud hadits ini bahwa adzan itu dalam syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ada dua kali: adzan pertama dan adzan kedua. Pada adzan pertama, seseorang masih boleh makan sahur dan batasan terakhir untuk sahur adalah adzan kedua yaitu adzan yang dikumandangkan untuk shalat subuh.
Jadi jelaslah bahwa batas akhir makan sahur sebenarnya adalah pada adzan kedua yaitu adzan untuk shalat subuh, dan dari hal ini pula dapat dipetik/diambil hukum terlarangnya melanjutkan makanan yang sisa ketika sudah masuk adzan subuh, karena kata hatta (sampai) dalam ayat Al-Qur`an bermakna ghayah, yakni akhir batasan waktu.

6. Melafadzkan Niat Puasa

Perkara melafazhkan niat merupakan bid’ah (hal baru) yang sesat dalam agama dan tidak disyariatkan karena beberapa hal:
Tidak ada sama sekali contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan para shahabatnya.

Bertentangan dengan makna niat secara bahasa yaitu bermakna maksud dan keinginan. Dan maksud dan keinginan ini letaknya di dalam hati. Menyelisihi kesepakatan seluruh ulama bahwa niat letaknya di dalam hati. Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya tuntunan agama karena melafazhkan niat itu adalah bid’ah.
Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya akal, seperti orang yang ingin makan lalu ia berkata, “ Saya berniat meletakkan tanganku ini ke dalam bejana, lalu saya mengambil makanan, kemudian saya telan dengan niat supaya saya kenyang ” .

Demikianlah, melafazhkan niat ini dianggap bid’ah oleh banyak ulama yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Abu Rabi’ Sulaiman bin ‘Umar Asy-Syafi’iy, Alauddin Al-Aththar dan lain-lain.
Maka siapa yang berpuasa hendaknya berniat di dalam hati dan tidak melafazhkannya.
Lihat Majmu’ Al-Fatawa 18/263-264 dan 22/238, Syarhul ‘Umdah 2/290-291 karya Ibnu Taimiyyah, Zadul Ma’ad 1/201 karya Ibnul Qayyim dan Qawa’id Wa Fawaid Minal ‘Arbain An-Nawawiyah hal 31-32.

7. Tidak Berniat Sejak Malam Hari

Juga termasuk sangkaan yang salah dari sebagian kaum muslimin bahwa berniat untuk berpuasa Ramadhan hanyalah pada saat makan sahur saja, padahal yang benar dalam tuntunan syariat bahwa waktu berniat itu bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Ini berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshah radhiyallahu ‘anhumyang mempunyai hukum marfu’ (seperti ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) dengan sanad yang shahih,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Siapa yang tidak berniat puasa sejak malamnya, maka tidak ada puasa baginya.” Lihat jalan-jalan hadits ini dalam Irwa`ul Ghalil no. 914 karya Syaikh Al-Albany.

Kata Al-Lail (malam) dalam bahasa Arab berarti waktu yang dimulai dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar.

8. Menganggap Bahwa Puasa Orang yang Junub (Atau yang Semakna Dengannya) Tidak Sah Bila Bangun Setelah Terbitnya Fajar dan Belum Mandi

Yang dimaksud dengan orang yang junub di sini adalah orang yang junub secara umum, mencakup junub karena mimpi atau karena melakukan hubungan suami-istri, dan yang semakna dengannya adalah perempuan yang haidh atau nifas. Apabila mereka bangun setelah terbitnya fajar maka tetap boleh untuk berpuasa dan puasanya sah. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah riwayat Bukhary-Muslim,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لاَ مِنْ حُلْمٍ ثُمَّ لاَ يُفْطِرُ وَلاَ يَقْضِيْ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memasuki waktu shubuh dalam keadaan junub karena jima’ bukan karena mimpi kemudian beliau tidak buka dan tidak pula meng-qadha` (mengganti) puasanya.”

9. Mengakhirkan Buka Puasa

Hal ini juga tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, bahkan yang disunnahkan adalah mempercepat buka puasa ketika telah yakin waktunya telah masuk, karena manusia akan tetap berada dalam kebaikan selama ia mempercepat buka puasa, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ

“Manusia akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka.”

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjadikan mempercepat buka puasa sebagai sebab nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu, beliau menegaskan,

لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لَأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ

“Agama ini akan terus-menerus nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.” Hadits hasan, dikeluarkan oleh Abu Daud no. 2353, An-Nasa`i dalam Al-Kubra` 2/253 no. 2313, Ahmad 2/450, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 3503 dan 3509, Hakim 1/596, Al-Baihaqy 4/237 dan Ibnu ‘Abdil Bar dalam At-Tamhîd 20/23.

10. Anggapan Bahwa Muntah Membatalkan Puasa

Anggapan bahwa semua muntah merupakan hal yang membatalkan puasa adalah salah karena muntah itu ada dua macam:
Muntah dengan sengaja. Ini hukumnya membatalkan puasa. Imam Al-Khaththaby, Ibnul Mundzir dan lain-lainnya menukil kesepakatan di kalangan ulama tentang hal tersebut, walaupun Ibnu Rusyd menukil bahwa Imam Thawus menyelisihi mereka.

Muntah yang tidak disengaja. Ini hukumnya tidaklah membatalkan puasa, dan ini merupakan pendapat jumhur ulama. Hal di atas berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihiwasallam) , beliau berkata,

مَنِ اسْتَقَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَمَنَ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ

“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya membayar qadha’ dan siapa yang dikuasai oleh muntahnya (muntah dengan tidak disengaja) maka tidak ada qadha’ atasnya.” Dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa` no. 673, Imam Syafi’iy dalam Al-Umm 7/252, ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 7551 dan Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 2/98 dengan sanad shahih di atas syarat Bukhary-Muslim.

Lihat Al Mughny 3/17-119, Al Majmu’ 6/319-320, Bidayatul Mujtahid 1/385 karya Ibnu Rusyd, Ma’alim As-Sunan 3/261 karya Al Khaththaby, ‘Aunul Ma’bud 7/6, Nailul Authar4/204, Fathul Bary 4/174, Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/395-404 dan Al-Fath Ar-Rabbany 10/44-45.

11. Anggapan Bahwa Makan dan Minum Dalam Keadaan Lupa Membatalkan Puasa

Anggapan ini tidaklah benar, berdasarkan hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim,

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

“Barangsiapa yang lupa bahwa ia dalam keadaan berpuasa, lalu ia makan dan minum, maka hendaknya ia tetap menyempurnakan puasanya (tidak berbuka), karena Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum.”

Dari hadits ini menunjukkan bahwa siapa yang berpuasa lalu makan dan minum dalam keadaan lupa maka tidaklah membatalkan puasanya. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.

Lihat Al Majmu’ 6/324 karya Ibnu Qudamah, Syarh Muslim 8/35 karya Imam Nawawy,Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/457-462 karya Ibnu Taimiyah, Al-I’lam 5/203-204 karya Ibnul Mulaqqin, Fathul Bary 4/156-157 karya Ibnu Hajar, Zadul Ma’ad 2/59 karya Ibnul Qayyim dan Nailul Authar 4/206-207 karya Asy-Syaukany.

12. Anggapan Bahwa Bersuntik Membatalkan Puasa

Bersuntik bukanlah hal yang membatalkan puasa, sehingga hal itu bukanlah sesuatu yang terlarang selama suntikan itu tidak mengandung sifat makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, atau infus. Dibolehkannya hal ini karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa bersuntik dapat membatalkan puasa.

Lihat Fatawa Ramadhan 2/485-486.

13. Merasa Ragu Mencicipi Makanan

Boleh mencicipi makanan dengan menjaga jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan kemudian mengeluarkannya. Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam ), yang lafazhnya,

لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Tidaklah mengapa orang yang berpuasa merasakan cuka atau sesuatu (yang ingin ia beli) sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokan dan ia (dalam keadaan) berpuasa.”Dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/304 no. 9277-9278, Al Baghawy dalam Al-Ja’diyyat no. 8042 dan disebutkan oleh Imam Bukhary dalam Shahîh -nya 4/132 ( Fathul Bary ) secara mu’allaq dengan shighah jazm dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Ghalil 4/85-86.

Berkata Imam Ahmad, “Aku lebih menyukai untuk tidak mencicipi makanan, tetapi bila orang itu harus melakukannya namun tidak sampai menelannya, maka tidak ada masalah baginya.” Lihat Al-Mughny 4/359.

Berkata Ibnu Aqaîl Al-Hambaly, “Hal tersebut dibenci bila tak ada keperluan, namun bila diperlukan, tidaklah mengapa. Akan tetapi, bila ia mencicipinya lalu masuk ke dalam tenggorokan, hal itu dapat membatalkan puasanya, dan bila tidak masuk, tidaklah membatalkan puasa.” Lihat Al-Mughny 4/359.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ikhtiyarat hal. 108, “Adapun kalau ia merasakan makanan dan mengunyahnya atau memasukkan ke dalam mulutnya madu dan menggerakkannya maka itu tidak apa-apa kalau ada keperluan seperti orang yang kumur-kumur dan menghirup air.”
Lihat Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/479-481 bersama ta’liq-nya.

14. Tidak Berkumur-Kumur dan Menghirup Air ke Dalam Hidung Ketika Berwudhu

Berkumur-kumur dan menghirup air (ke hidung) ketika berwudhu adalah perkara yang disyariatkan pada setiap keadaan, baik saat berpuasa maupun tidak. Karena itulah kesalahan yang besar apabila hal tersebut ditinggalkan. Tapi perlu diketahui bahwa pembolehan berkumur-kumur dan menghirup air ini dengan syarat tidak dilakukan bersungguh-sungguh atau berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam tenggorokan, sebagaimana dalam hadits Laqîth bin Saburah bahwasanya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa allihi wa sallam bersabda,

وَبَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air (kedalam hidungnya) kecuali jika engkau dalam keadaan berpuasa.” Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/18 dan 32, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa no. 80, Ath-Thayalisy no. 1341, Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm 1/27, Abu Daud no. 142, Tirmidzy no. 788, Ibnu Majah no. 407, An-Nasa`i no. 87 dan Al-Kubra no. 98, Ibnu Khuzaimah no. 150 dan 168, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 1054, 1087 dan 4510, Al-Hakim 1/248 dan 4/123, Al-Baihaqy 1/76, 4/261 dan 6/303, Ath-Thabarany 19/216 no. 483 dan dalam Al-Ausath no. 7446, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhîd 18/223, Ar-Ramahurmuzy dalam Al-Muhaddits Al-Fashil hal. 579, dan Bahsyal dalam Tarikh Wasith hal. 209-210.

Adapun mulut sama hukumnya dengan hidung dan telinga di dalam berwudhu yakni tidak membatalkan puasa bila disentuh dengan air, bahkan tidak terlarang berkumur-kumur saat matahari sangat terik selama air tersebut tidak masuk ketenggorokan dengan disengaja. Dan hukum menghirup air ke hidung sama dengan berkumur-kumur.

Lihat Fathul Bary 4/160, Nailul Authar 4/310, Al-Fath Ar-Rabbany 10/38-39, Syarhul Mumti’ 6/406 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Fatawa Ramadhan 2/536-538.

15. Anggapan Bahwa Mandi dan Berenang atau Menyelam Dalam Air Membatalkan Puasa

Anggapan tersebut salah sebab tidak ada dalil yang mengatakan bahwa berenang atau menyelam itu membatalkan puasa sepanjang dia menjaga agar air tidak masuk ke dalam tenggorokannya.
Berkata Imam Ahmad dalam kitab Al-Mugny Jilid 4 hal 357, “Adapun berenang atau menyelam dalam air dibolehkan selama mampu menjaga sehingga air tidak tertelan.”

Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Tidak apa-apa orang yang berpuasa menceburkan dirinya ke dalam air untuk berenang karena hal tersebut bukanlah dari perkara-perkara yang merupakan pembatal puasa. Asalnya (menyelam dan berenang) adalah halal sampai tegak (baca: ada) dalil yang menunjukkan makruhnya atau haramnya dan tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya dan tidak pula ada yang menunjukkan makruhnya. Dan sebagian para ‘ulama menganggap hal tersebut makruh hanyalah karena ditakutkan akan masuknya sesuatu ketenggorokannya dan ia tidak menyadari.”

Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, dan lain-lainnya.

Lihat Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/387 dan 471, Al-Muhalla 6/225-226 karya Ibnu Hazm dan Fatawa Ramadhan 2/524-525.

16. Anggapan Bahwa Menelan Ludah Membatalkan Puasa

Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian menelannya.

Berkata Ibnu Hazm, “Adapun ludah, sedikit maupun banyak tidak ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama) bahwa sengaja menelan ludah tersebut tidaklah membatalkan puasa. Wa Billahi Taufiq.”

Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 6/317, “Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa menurut kesepakatan (para ulama).”

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/473, “Dan Apa-apa yang terkumpul di mulut dari ludah dan semisalnya apabila ia menelannya tidaklah membatalkan puasa dan tidak dianggap makruh. Sama saja apakah ia menelannya dengan keinginannya atau ludah tersebut mengalir ketenggorokannya di luar keinginannya ….”

Adapun dahak tidak membatalkan puasa karena ludah dan dahak keluar dari dalam mulut, hal itu apabila ludah belum bercampur dengan rasa makanan dan minuman.

Lihat Syarhul Mumti’ 6/428-429 dan Syarhul ‘Umdah 1/476-477.

17. Menganggap Bahwa Mencium Bau-Bauan yang Menyenangkan Membatalkan Puasa

Mencium bau-bauan yang enak atau harum adalah suatu hal yang dibolehkan, apakah bau makanan atau parfum dan lain-lain. Karena tidak ada dalil yang melarang.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Ikhtiyarat hal.
107, “Dan mencium bau-bauan yang wangi tidak apa-apa bagi orang yang puasa.”

18. Menghabiskan Waktu dengan Perbuatan dan Perkataan Sia-Sia

Sebagaimana hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu dikeluarkan oleh Imam Bukhary dan lainnya,

مَنْ لَمْ يَدْعُ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka AllahSubhanahu wa Ta’ala tidak ada hajat (pada amalannya) ia meninggalkan makan dan minumannya.”
Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ

“Bukanlah puasa itu (menahan) dari makan dan minumannya (semata), puasa itu adalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”

Hadits ini menunjukkan larangan untuk berkata sia-sia, dusta, serta beramal dengan pekerjaan yang sia-sia. Dan juga dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,

إِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ سَابَّهُ فَلْيَقُلْ إِنَّيْ صَائِمٌ

“Apabila ada orang yang mencelanya, hendaklah ia berkata, ‘ Sesungguhnya saya ini berpuasa .’ .”

19. Menyibukkan Diri dengan Pekerjaan Rumah Tangga di Akhir Bulan Ramadhan

Menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga, sehingga melalaikannya dari ibadah pada akhir bulan Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir, adalah hal yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang seharusnya, pada sepuluh hari terakhir, kita lebih menjaga diri dengan memperbanyak ibadah.

20. Membayar Fidyah Sebelum Meninggalkan Puasa

Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasa, seperti wanita yang sedang hamil enam bulan yang tidak akan berpuasa di bulan Ramadhan, lalu membayar fidyah 30 hari sekaligus saat sebelum Ramadhan atau di awal Ramadhan, tentunya adalah perkara yang salah, karena kewajiban membayar fidyah dibebankan kepada seseorang apabila ia telah meninggalkan puasa, sedangkan ia belum meninggalkan puasa di awal Ramadhan, sehingga belum wajib baginya membayar fidyah.

21. Menganggap Bahwa Darah yang Keluar dari Dalam Mulut Dapat Membatalkan Puasa

Darah yang keluar dari dalam mulut, selama tidak sampai ketenggorokan (tidak tertelan), maka tidak membatalkan puasa, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hazm dalamAl-Muhalla 2/214, “Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) dalam permasalahan ini, yakni darah yang keluar dari dalam mulut, selama tidak sampai ketenggorokan, maka tidak membatalkan puasa.”

Hal ini disebutkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/477.

Seandainya ada khilaf ‘perbedaan pendapat’ dalam masalah ini, maka pendapat yang kuat yakni tidak membatalkan puasa. Adapun kalau darah itu keluar dari dalam mulut kemudian ditelan dengan sengaja, maka hal ini dapat membatalkan puasa, ini sebagaimana keumuman nash-nash yang ada. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan para ulama di zaman sekarang.

Lihat Syarhul ‘Umdah 9/477, Fatawa Ramadhan 2/460, Syarhul Mumti’ 6/429.

Wallahu Ta’ala A’lam Wa Fauqa Kulli Dzî ‘Ilmin ‘Alîm.”
Dinukil oleh Abul-Harits dari An-Nashihah Online