"Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu yaitu al-Kitab dan al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasannya Allah Mahamengetahui segala sesuatu". [QS. Al-Baqarah/2:231].
●Kreator
: by Admin Lamurkha (dari berbagai sumber)
Prolog:
“Pernikahan yang tidak Syar’i ( tidak sesuai
dengan syariat Islam) akan berakibat Pernikahan Syubhat ( per-zinahan),
pernikahan yang tidak Syar’i bisa diakibatkan oleh perceraian ( al-khulu) yang
tidak syar’i juga oleh syarat/rukun nikah yang tidak sesuai syariat. Perceraian
( al-khulu) yang tidak syar’i akan berakibat pernikahan berikutnya terjerembab
dalam Pernikahan Syubhat (perzinahan), anak yang dilahirkan masuk kategori anak
Syubhat ( tidak di nasabkan kepada ayah biologisnya) dan Sibapak tiri tidak
bisa menjadi mahram anak perempuan bawaan siIbu, yang lebih fatal sibapak tiri
bisa menikahkan anak perempuan tersebut jika keyakinan bawah sadarnya
menyatakan pernikahannya bathil !!”
Indonesia, Satu-satunya Negara Yang
Menerapkan Gugat Cerai
Menerapkan Gugat Cerai
15 Maret, 2016 - 13:10
BANDUNG,(PR).-Maraknya pengajuan gugat cerai yang dilayangkan pihak
istri kepada suami merupakan fenomena unik di Indonesia. Hal itu disebabkan di
seluruh dunia Islam tidak dikenal adanya cerai gugat sehingga Indonesia
satu-satunya negara yang menerapkan cerai gugat.
Hal itu
dikatakan dosen Fakultas Syariah Unisba Mohamad Djaenudin saat meraih doktor di
Pascasarjana Unisba, Selasa 15 Maret 2016. "Di Pengadilan Agama dikenal
adanya cerai talak bila suami yang menggugat cerai dan cerai gugat kalau pihak
istri yang menggugat cerai," ujarnya.
Hukum cerai
gugat merupakan pengaruh dari hukum barat yang mengenal adanya "broken
marriage" karena barat yang Kristen tidak mengenal adanya perceraian.
"Hukum broken marriage diadopsi di Indonesia, padahal di hukum
Islam tidak mengenal adanya hukum ini," ujarnya.
Praktik
cerai gugat malah kian menyimpang sebab dalam persidangan ada tuntutan harta
gono gini dan pihak suami diminta memberikan sebagian penghasilan untuk
membiayai istri dan anaknya. "Tunjangan itu diberikan sampai anak menikah
dan terpisah dengan ibunya. Praktik ini harus diluruskan," ujarnya.
Dalam Islam
dikenal adanya khulu karena istri sudah merasa tidak nyaman atau tak senang dengan
perlakuan suaminya. "Akhirnya istri menggugat suami, namun harus
mengembalikan mahar saat menikah. Bahkan suami bisa meminta kembali
harta-hartanya yang sudah diberikan kepada istrinya," katanya.(Sarnapi)
"Ajaran Islam memang hanya mengenal adanya khulu apabila sang
suami sudah tak bertanggung jawab atau tak bisa menjalankan kewajibannya,"
kata Ketua Umum MUI Jabar, KH. Rachmat Syafei, di sela-sela pengukuhan pengurus
MUI Jabar di Bale Asri Pusdai Jabar, Kamis (17/3).
Pengajuan cerai gugat banyak
disalahgunakan
Mengkaji ulang hukum acara perceraian di pengadilan
agama ( abdullah gofar dosen fakultas hukum universitas sriwijaya )
●Ringkasan
Disertasi Kedudukan Cerai Gugat Menurut Undang-Undang No.1.Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Khi) Dihubungkan Dengan Fiqh Islam Dalam
Rangka Merekontruksi Hukum Perceraian Di Indonesia.●Oleh:
MOHAMAD DJAENUDDIN NPM : 30040014027 ●Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar Doktor Dalam
Bidang Ilmu Hukum Pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Islam Bandung.●Dengan
wibawa Rektor Universitas Islam Bandung Prof. Dr. dr.M. Taufiq S. Boesoirie,
MS.Sp.THT-KL(K) Sesuai dengan Keputusan Senat Komisi 1/Guru Besar Universitas
Dipertahankan pada tanggal 15 Maret 2016 Di Universtitas Islam Bandung VERSITAS
BANDUNG PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG BANDUNG 2016 ISLAM●Abstrak
disertasi Doktornya :●Perkawinan
dalam Islam merupakan anugrah nikmat yang luar biasa. Menjaga kelestarian rumah
tangga termasuk dharūriyat, karena baik buruknya penduduk negeri berpangkal
darinya. Sebaliknya perceraian merupakan keniscayaan yang harus ditutup (sadd
al-dzari'ah) dan dihindari, apabila ada peluang ke arah itu, hanya semata-mata
karena darurat agar hukum-hukum Allah (hududullah) tidak dilanggarnya. Setelah
35 tahun diberikannya hak cerai gugat bagi isteri, angka perceraian semakin
meningkat. Identifikasi masalah meliputi bagaimana kedudukan cerai gugat
menurut Undang- Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dihubungkan
dengan tujuan perkawinan, dan bagaimana pula kedudukan cerai gugat menurut Figh
Islam dalam rangka merekontruksi hukum perceraian di Indonesia. Tujuan
penelitian untuk mengetahui kedudukan cerai gugat menurut Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dihubungkan dengan tujuan perkawinan
dan untuk mengetahui tentang kedudukan cerai gugat menurut fiqih Islam dalam
rangka merekontruksi hukum perceraian di Indonesia. Penelitian ini menggunakan
pendekatan hukum normatif (yuridis normatif) dengan menggunakan data sekunder
berbahan hukum primer, sekunder dan tersier. Data yang diperoleh kemudian
dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
kedudukan cerai gugat dalam Undang- undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
diperbolehkan. Alasannya untuk memberikan kesetaraan gender kepada isteri serta
mengimbangi hak talaq yang ada pada suami. Akan tetapi dalam perkembangannya
cerai gugat banyak disalahgunakan oleh isteri tanpa disertai alasan- alasan
yang sesuai dengan syariat Islam sehingga tidak sejalan dengan tujuan
perkawinan, yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Lahirnya cerai gugat didasarkan atas tuntutan gender, persamaan
hak antara suami dan isteri dalam mengajukan perceraian. Dilihat dari sisi
magásid al-syari'ah cerai gugat banyak mafsadatnya daripada manfaatnya karena
merusak tujuan- tujuan perkawinan yang telah digariskan dalam ajaran Islam.
Dilihat dari sisi al- mashalih cerai gugat diduga kuat dapat mengarah kepada
al-mashálih al- mulghah (maslahat palsu) dan dilihat dari sisi al-dzari'ah
cerai gugat dapat menimbulkan prahara jalan menuju pada kemafsadatan yang harus
dicegah (sad al-dzari 'ah). Dalam pelaksanaannya cerai gugat harus dipersulit
dengan cara merekontruksi peraturan- peraturan teknis perceraian yang bertalian
dengannya, serta tetap memberikan hak penuh kepada pihak isteri untuk
mengajukan cerainya melalui khulu atau fasakh denganmendayagunakan
asas mempersulit perceraian.
●Ringkasan
Disertasi Kedudukan Cerai Gugat Menurut Undang-Undang No.1.Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Khi) Dihubungkan Dengan Fiqh Islam Dalam
Rangka Merekontruksi Hukum Perceraian Di Indonesia.●Oleh:
MOHAMAD DJAENUDDIN NPM : 30040014027 ●Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar Doktor Dalam
Bidang Ilmu Hukum Pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Islam Bandung.●Dengan
wibawa Rektor Universitas Islam Bandung Prof. Dr. dr.M. Taufiq S. Boesoirie,
MS.Sp.THT-KL(K) Sesuai dengan Keputusan Senat Komisi 1/Guru Besar Universitas
Dipertahankan pada tanggal 15 Maret 2016 Di Universtitas Islam Bandung VERSITAS
BANDUNG PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG BANDUNG 2016 ISLAM●Abstrak
disertasi Doktornya :●Perkawinan
dalam Islam merupakan anugrah nikmat yang luar biasa. Menjaga kelestarian rumah
tangga termasuk dharūriyat, karena baik buruknya penduduk negeri berpangkal
darinya. Sebaliknya perceraian merupakan keniscayaan yang harus ditutup (sadd
al-dzari'ah) dan dihindari, apabila ada peluang ke arah itu, hanya semata-mata
karena darurat agar hukum-hukum Allah (hududullah) tidak dilanggarnya. Setelah
35 tahun diberikannya hak cerai gugat bagi isteri, angka perceraian semakin
meningkat. Identifikasi masalah meliputi bagaimana kedudukan cerai gugat
menurut Undang- Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dihubungkan
dengan tujuan perkawinan, dan bagaimana pula kedudukan cerai gugat menurut Figh
Islam dalam rangka merekontruksi hukum perceraian di Indonesia. Tujuan
penelitian untuk mengetahui kedudukan cerai gugat menurut Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dihubungkan dengan tujuan perkawinan
dan untuk mengetahui tentang kedudukan cerai gugat menurut fiqih Islam dalam
rangka merekontruksi hukum perceraian di Indonesia. Penelitian ini menggunakan
pendekatan hukum normatif (yuridis normatif) dengan menggunakan data sekunder
berbahan hukum primer, sekunder dan tersier. Data yang diperoleh kemudian
dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
kedudukan cerai gugat dalam Undang- undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
diperbolehkan. Alasannya untuk memberikan kesetaraan gender kepada isteri serta
mengimbangi hak talaq yang ada pada suami. Akan tetapi dalam perkembangannya
cerai gugat banyak disalahgunakan oleh isteri tanpa disertai alasan- alasan
yang sesuai dengan syariat Islam sehingga tidak sejalan dengan tujuan
perkawinan, yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Lahirnya cerai gugat didasarkan atas tuntutan gender, persamaan
hak antara suami dan isteri dalam mengajukan perceraian. Dilihat dari sisi
magásid al-syari'ah cerai gugat banyak mafsadatnya daripada manfaatnya karena
merusak tujuan- tujuan perkawinan yang telah digariskan dalam ajaran Islam.
Dilihat dari sisi al- mashalih cerai gugat diduga kuat dapat mengarah kepada
al-mashálih al- mulghah (maslahat palsu) dan dilihat dari sisi al-dzari'ah
cerai gugat dapat menimbulkan prahara jalan menuju pada kemafsadatan yang harus
dicegah (sad al-dzari 'ah). Dalam pelaksanaannya cerai gugat harus dipersulit
dengan cara merekontruksi peraturan- peraturan teknis perceraian yang bertalian
dengannya, serta tetap memberikan hak penuh kepada pihak isteri untuk
mengajukan cerainya melalui khulu atau fasakh denganmendayagunakan
asas mempersulit perceraian.
KHULUK DAN MASALAH
PENERAPANNYA DI PENGADILAN AGAMA
(suatu analisa fikh dan KHI tahun 1991)
Oleh: Drs. Ribat Rafie S.H.
(Hakim pada Pengadilan Agama Simalungun)
VII. KHULUK DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM TAHUN 1991
Masalah khuluk diatur dalam pasal pasal 148 ayat 1
Kompilasi Hukum islam tahun 1991 yang berbunyi “ Seorang istri yang mengajukan
gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau
alasan-alasannya.”
Selanjutnya dalam pasal 124 KHI berbunyi “ Khuluk
harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116. “. Dari
kedua pasal tersebut, nampak terlihat bahwa KHI berupaya untuk mengakomodir
perceraian melalui jalan khuluk karena syariat telah menetapkan kebolehannya.
Akan tetapi pengaturan khuluk dalam KHI tidak sedetail sebagaimana halnya cerai
talak ataupun cerai gugat. KHI hanya mengakomodir khuluk dalam batasan yang
sangat sempit dalam dua pasal di atas. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 1 tentang
perkawinan, PP No. 9 tahun 1975 dan Undang-Undang No 7 tahun 1989 yang diubah
menjadi Undang –Undang No 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sama sekali
tidak ada menyinggung perceraian melalui jalan khuluk.
Dalam pasal 148 ayat 4 lebih tegas dinyatakan “ …
Terhadap penetapan ini tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.”
Ketentuan ini akan membedakan khuluk dari cerai talak dan cerai gugat.
Karena khuluk tidak sampai menunggu 14 hari dari penetapan yang telah di
jatuhkan. Penetapan itu langsung mempunyai kekuatan hukum tetap (BHT) pada hari
itu juga . Suami dan istri telah sepakat menerima perceraian melalui tebusan
yang telah disepakati , jadi tidak ada hal yang menjadi keberatan bagi kedua
belah pihak atas proses perceraian, sehingga hal tersebut menutup pintu banding
maupun kasasi.
VIII. PERMASALAHAN PENERAPAN KHULUK
Meskipun secara limitatif khuluk telah diatur dalam
KHI sebagaimana tersebut di atas, namun dalam pelaksanaan dan penerapannya
mempunyai permasalahan baik dari sisi materil maupun formil.
1. Sisi materil.
Dalam pasal 124 KHI dinyatakan bahwa khuluk harus
berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116. Ketentuan ini
akan mengalami tumpang tindih antara alasan perceraian melalui cerai talak ,
cerai gugat dengan khuluk. Bila cerai melalui jalan khuluk mesti dikaitkan
dengan pasal 116 , betapa istri mengalami ketidakadilan, serasa dizalimi dan
disakiti hak-haknya dalam perceraian. Sudah suami berbuat zina, pejudi,
peminum-minuman keras yang sukar disembuhkan , atau suami telah melakukan
penganiayaan terhadap istrinya dan seterusnya. Istri ketika ingin bercerai
masih harus membayar tebusan (Iwadh) kepada suami yang menzalimi dan menyakiti
hatinya. Di sisi lain suami yang sudah berkhianat, berbuat zalim , menganiaya
istri masih mendapatkan uang tebusan (Iwadh) dari istri. Bak kata pepetah sudah
jatuh tertimpa tangga lagi. Sungguh malang nasibmu istri. Bila demikian
maka ketentuan pasal 124 KHI di atas, sungguh sangat membelenggu sehingga istri
yang akan bercerai melalui jalan khuluk harus mencari-cari alasan sebagaimana
yang dikehendaki pasal 116 KHI. Padahal adanya lembaga khuluk pada
hakikatnya adalah untuk melunakkan hati suami agar mau mengabulkan keinginan
istri untuk bercerai dari suaminya. Sebaliknya bila istri yang akan menggugat
cerai memiliki alasan sebagaimana tersebut dalam pasal 116 KHI di atas, buat
apa ia mencari jalan perceraian melalui khuluk, ia bisa langsung menggunakan
alasan-alasan pasal 116 KHI dengan jalan cerai gugat tanpa harus dibebani
dengan uang iwadh .
Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa perceraian
melalui jalan khuluk merupakan hal yang berbeda sekaligus istimewa. Khuluk
sangat berbeda baik segi hakikat, tujuan dan teknis pelaksaanaannya. Mungkin
inilah salah satu kendala kenapa khuluk jarang diterapkan di Pengadilan Agama.
Salah satu alasan yang bisa menampung keinginan bercerai dari suami , biasanya
dengan menggunakan alasan pasal 116 KHI huruf f yakni “terjadinya
pertengkaran/perselisihan terus menerus yang sulit diharapkan rukun kembali”. Oleh
sebagian kalangan sering mengkleim bahwa alasan huruf f ini merupakan alasan
Tong sampah dalam perceraian disebabkan kelenterunnya ,sehingga dapat
mengakomodir seluruh keinginan pihak-pihak yang ingin bercerai meskipun
terkadang belum memenuhi ketentuan syar’i.
Oleh karenanya, ada baiknya kita kembali kepada
ketentuan al-quran dan hadis mengenai khuluk. Secara implisit dapat dipahami
bahwa hal pokok yang menjadi alasan khuluk bagi istri berdasarkan nash syar’i
karena kekhawatiran tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Hal ini
bisa disebabkan istri tidak mencintai suami, Suami tidak menjalankan perintah
agama, suami mengajak kepada kemaksiatan, kesyirikan, bahkan kemurtadan. Atau
suami sangat buruk akhlaknya sehingga istri bisa terpengaruh. Dari sini bisa di
pahami bahwa perceraian melalui jalan khuluk berorientasi kepada nilai-nilai
keimanan dan ketauhidan kepada Allah SWT. Bukan didasarkan atas sebab-sebab
terganggunya unsur pisik dan materi. Dan karenanya mempertahankan nilai
keimanan dan ketauhidan bagi istri, jauh lebih berharga dari dari ikatan
perkawainan itu sendiri . Meskipun idealnya ikatan perkawinan harus dilandasi
nilai keimanan dan ketauhidan kepada Allah SWT.
Dan bila dilihat alasan-alasan perceraian yang
terdapat dalam pasal 39 Penjelasan Undang No.1 tahun 1974 , pasal 19 Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975, pasal 116 KHI tahun 1991 menurut hemat penulis
hanya mengakomodir alasan-alasan yang bersifat fisik dan materi yang
berimplikasi kepada terganggunya harmonisasi hubungan suami istri dalam rumah
tangga. Sementara hal-hal yang bersifat psikis /spiritual berupa keteguhan
dalam mempertahankan nilai-nilai keimanan dan ketauhidan yang tercermin melalui
kehendak khuluk istri tidak terakomodir dari ketentuan perundang-undangan di
atas.
Kalau dalam kenyataannya istri mengajukan perceraian
melalui jalan khuluk dengan alasan suami tidak mau shalat, ikut aliran sesat,
buruk akhlak, istri tidak mencintai suami karena suami buruk rupanya, gemar
melakukan perbuatan maksiat, khurafat dan syirik ,membujuk istri agar murtad,
sehingga memunculkan kekhawtiran istri tidak dapat menjalankan perintah Allah,
apakah gugatan perceraian istri melalui khuluk , tidak di terima ?
Sulit rasanya bila hakim dalam hal ini hanya terpaku
pada ketentuan pasal 124 KHI dengan mengesampingkan ketentuan nash al-quran
maupun hadis seperti dijelaskan diatas. Padahal kehadiran KHI merupakan upaya
untuk menerapkan dan mengamalkan nash al-quran dan hadis dalam bidang
perkawinan, Kewarisan, Perwakapan. Oleh karenanya di tangan hakimlah upaya
penegakan syariat dapat berjalan dengan murni dan konsekwen dengan mengacu
kepada sumber utama yaitu al-quran dan hadis.
2. Sisi Formil
Dalam pasal 148 ayat 5 KHI dinyatakan bahwa dalam hal
tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadh Pengadilan Agama
memeriksa dan memutus sebagai perkara biasa. Ketentuan ini memberi pengertian
bahwa khuluk merupakan perkara luar biasa atau istimewa yang sangat berbeda
dengan perkara lainnya.
Keistimewaan khuluk dengan perkara perceraian biasa
dilihat dari sisi formilnya dapat digambarkan sebagai berikut:
1.Pengucapan ikrar talak suami diucapkan langsung
pada hari sidang itu juga.
2.Khuluk tidak menunggu masa 14 hari untuk
berkekuatan hukum tetap.
3.Tidak ada upaya banding dan kasasi (pasal 148 ayat
6)
4.Iddahnya hanya satu kali haid/suci.
5.tidak ada hitungan talak dan boleh dilakukan
berulang-ulang.
Dalam perkara perceraian biasa, hakim tidak bisa lari
dari ketentuan hukum acara berlaku. Hakim harus menerapkan langkah-langkah
pemeriksaan yang telah diatur secara limitatif mulai dari pembacaan
gugatan,jawaban,Replik,duplik pembuktian dari Penggugat/Pemohon,Pembuktian dari
tergugat/Termohon, kesimpulan dan pembacaan putusan. Lalu bagaimana dengan
perkara khuluk ,apakah pemeriksaannya harus memalui tahapan-tahapan sebagaimana
perkara biasa. Lalu kenapa muncul ketentuan pasal 148 ayat 4 yang memberi arah
bahwa bila telah terjadi kesepakatan tentang besarnya uang iwadh Pengadilan
dalam ini hakim langsung memberi penetapan tentang izin bagi suami untuk
mengikrarkan talaknya di sidang Pengadilan Agama?
Dengan mengacu kepada ketentuan pasal 148 ayat 4 di
atas perkara khuluk diselesaikan bukan berpedoman kepada hukum acara biasa,
tetapi penerapan hukum acaranya bersifat istimewa atau luar biasa. Lantas
bagaimana gambaran beracara secara istimewa atau luar biasa tersebut? Disinilah
masih diperlukan kajian hukum acara istimewa atau luar biasa. Karena selama ini
belum ada ketentuan baku yang mengatur akan hal tersebut.
IX. Penutup.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa perceraian
melalui jalan khuluk merupakan hal diatur dalam syari’at Islam . Bila syari’at
meletakkan hak talak di tangan suami, maka khuluk diletakkan ditangan isteri.
Syari’at Islam meletakkan hak suami dan isteri secara berimbang baik dalam
perkawinan maupun ketika terjadi perceraian.
Dalam penerapannya, lembaga khuluk termasuk yang
jarang diterapkan pelaksanaannya ketika terjadi perceraian di Pengadilan Agama.
Meskipun Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 telah membuka perceraian melalui
jalan khuluk, namun secara formil bagaimana khuluk diterapkan dipersidangan
masih membutuhkan ketantuan hukum acara yang bersifat istimewa atau luar biasa.
Karena ketentuan hukum acara berlaku saat ini belum mengakomodir akibat hukum yang
ditimbulkan lembaga khuluk, seperti pengucapan ikrar talak langsung pada hari
itu juga, tidak menunggu masa 14 hari untuk berkekuatan hukum tetap, tidak ada
banding dan kasasi, iddhah siteri hanya satu kali, dan tidak ada hitungan
talakbdan boleh dilakukan berulang-ulang.
Tentunya hal tersebut tidak dikenal dalam hukum acara
yang sudah baku dan berlaku dilingkungan Peradilan Agama.
Diposkan 25th May 2010 oleh H.R.RAFIE BLO
Kalau kita merujuk kepada fiqih Islam dan bukan
undang-undang pernikahan sekuler, juga bukan hukum nikah kompilasi (baca:
campur aduk) ala negeri kita, cerai itu tidak datang dari isteri, melainkan
dari suami. Tidak ada sejarahnya dalam syariat Islam bahwa seorang isteri
menjatuhkan cerai kepada suami, karena hak dan wewenang untuk menceraikan ada
di tangan suami, bukan di tangan isteri.
Kalau pun ada gugatan, sifatnya permintaan kepada
penguasa, untuk 'memaksa' suami menceraikan isteri. Dalam syariat Islam hal itu
disebut dengan khulu'.
Namun urusan khulu' ini sama sekali berbeda
dengan talak atau cerai. Karena ada kosekuensi yang sangat berat, yaitu mantan
suami isteri itu haram menikah kembali untuk selama-lamanya.
Bahkan khulu' lebih berat dari sekedar talak tiga.
Kami tidak tahu sistem hukum nikah di negeri kita ini,
yang selama kami belajar ilmu hukum nikah, banyak yang asing alias aneh bin
ajaib. Bayangkan saja, mana ada dalam syariat Islam kalau suami menceraikan
isterinya harus di pengadilan, pakai saksi segala.
Semua kitab fiqih tegas mengatakan bahwa bila seorang
suami menyatakan kepada isterinya, "anti thaliq", yang artinya
"kamu saya cerai", maka jatuhlah talak satu. Bahkan tanpa perlu ada
saksi, apalagi pengadilan dan segala embel-embelnya.
Yang membuat kita semua heran, dari mana datangnya
aturan bahwa talak itu baru jatuh kalau dilakukan di depan pengadilan? Mana
ayatnya dan mana haditsnya?
Dan lebih parah lagi, seandainya ada suami telah
menyataka bahwa isterinya dicerai, begitu selesai masa iddahnya, maka keduanya
sudah bukan lagi suami isteri. Kecuali bila sebelum selesai masa iddah, suami
merujuknya.
Tapi dalam pandangan sistem hukum nikah kompilasi di
negeri kita, selama cerai itu tidak dilakukan di pengadilan, atau ditetapkan
oleh pengadilan, pasangan itu tetap dianggap suami isteri yang sah. Aneh bin
ajaib memang negeri ini.
Kasus Anda
Maka ketika anda bercerita bahwa isteri anda menggugat
cerai di pengadilan, lalu menghadirkan saksi, dan saksinya adalah ibunya, jelas
kami tambah bingung. Mana ada cerai pakai saksi? Maka ada cerai pakai
pengadilan? Lagian, mana ada saksi dalam urusan nikah kok malah seorang
perempuan?
Jadi anda mungkin silahkan bertanya kepada yang bikin
undang-undang pernikahan ala sistem hukum Indonesia saja, sebab yang bikin
ketentuan seperti itu bukan syariat Islam. Kalau dalam hukum fiqih, semua itu
tidak dikenal.
Prinsip dasarnya, kalau anda sudah menceraikan isteri
anda, meski tidak ada saksi siapa pun, prinsipnya isteri anda sah dicerai.
Bahkan meski tanpa kehadiran sang isteri.
Sebab iqrar thalaq itu bukan akad yang
membutuhkan ijab qabul dan saksi. Beda dengan akad nikah atau akad
jual beli yang butuh dua pihak, di mana satu pihak mengucapkan ijab dan satu
pihak lagi mengucapkan qabul, kemudian harus ada saksi.
Iqrar thalaq itu adalah ikrar yang diucapkan
hanya oleh satu pihak saja, yaitu suami. Tidak membutuhkan qabul dari
pihak wanita, apalagi saksi.
Iqrar thalak itu sejenis dengan ikrar masuk Islam.
Ketika seorang non muslim masuk Islam, cukup dirinya mengucapkan kalimat lafadz
"Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah." Dan saat itu juga dia
sudah jadi muslim. Tidak butuh jawaban dari siapa pun, juga tidak butuh saksi.
Bukankah Bilal bin Rabah radhiyallahu 'anhu masuk Islam diam-diam
tanpa saksi? Bukankah 'Ammar bin Yasir radhiyallahu 'anhum sekeluarga
juga merahasiakan keIslaman mereka? Toh mereka tetap terhitung sebagai muslim,
meski bersyahadat tanpa ada saksi.
Kalau pun nantinya masuk Islamnya seseorang perlu
diumumkan di masjid dan dihadiri oleh banyak orang, maka sifatnya sekedar
pengumuman agar orang tidak lagi menganggap dan memperlakukannya sebagai orang
kafir. Tapi urusan kapan dia masuk Islam, sudah terhitung sejak dia
mengikrarkan dua kalimat syahadat. Bukan pada saat diumumkan di depan publik.
Ini adalah dua hal yang berbeda.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
A S, Lc
[http://www.rumahfiqih.com]
Prinsip dasar yang harus kita pegang teguh dalam
menjalankan agama Islam adalah bahwa semua hukum syariah,
termasuk dalam urusan pernikahan dan perceraian, asalnya dari Allah SWT.
Sebagaimana mana Allah mengaturnya, seperti itulah kita menjalankannya.
Dan menjadi kaidah dasar bahwa kita berkewajiban
menjaga dan memelihara keaslian hukum-hukum yang telah Allah turunkan, bukannya
malah mengubah, merusak, memelintir, atau menambahi dan
menguranginya, dengan seribu satu alasan.
Beda Masa Iddah
Versi Agama dan Pengadilan Agama (PA)
Kita bersyukur meski negara NKRI resminya tidak
mengakui syariat Islam sebagai dasar negara, namun setitik dua titik
dari hukum syariah ini, masih ada dijalankan secara resmi, yaitu apa yang
dijalankan olehPengadilan Agama lewat Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
Meski tidak semua syariah Islam ditegakkan,
tetapi beberapa bagian sudah dijalankan. Di antaranya masalah nikah, talak,
rujuk, bagi waris dan harta wakaf. Tentu sangat sedikit jumlahnya bila dibandingkandengan semua
item hukum Islam yang ada. Tetapi yang sedikit sudah lebih baik dari
pada tidak ada sama sekali. Dan kita tetap wajib mensyukurinya.
Namun yang masih disayangkan justru pada wilayah yang
sedikit itu masih ada saja kelemahan disana-sini. Misalnya pada tentang
kapankah jatuhnya talak. Di dalam kitab Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang selalu dijadikan 'kitab suci'
oleh Pengadilan Agama, seorang wanita baru resmi dianggap ditalak
manakala putusan hakim pengadilan agama Menyatakan sah.
Meskipun suaminya sudah lebih setahun yang lalu
mengucapkan lafadz talak secara sharih, tapi manakala Bapak Hakim yang
terhormat itu belum menganggapnya talak, dan belum ketuk palu, maka dianggap
bukan talak.
Nah, fenomena ini tentu sangat dilemmatis. Bagaimana
tidak?
Seolah-olah kita merasa sudah menjalankan
hukum Islam denganmerujuk kepada KHI, tetapi kalau kita teliti lebih
dalam, justru kita menemukan begitu banyak kelemahan. Di antaranya adalah
bahwa ketetapan dari KHI ini malah 180 derajat bertentangan dengan nash-nash
yang shahih dari sabda Rasulullah SAW, dan juga bertentanganijma' seluruh
ulama sepanjang zaman.
KHI Bertentangan Dengan Hadits Nabi SAW
Rasulullah SAW sebagai utusan resmi dari Allah telah
menetapkan hukum bahwa suami bila menjatuhkan talak, walaupun hanya bercanda
atau main-main, maka talak itu jatuh.
Dan untuk itu belilau SAW bersabda dalam hadits yang
shahih :
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ
وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ : النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
Tiga perkara yang apabila
dilakukan dengan serius maka hukumnya menjadi serius, namun bila
dilakukan dengan main-main maka hukumnya tetap serius, yaitu : nikah,
talak dan rujuk. (HR. Tirmizy)
Ketentuan ini diajarkan oleh beliau SAW 14 abad yang
lalu dan dipahami seperti itu sampai hari ini. Seluruh
umat Islam yang pernah belajar ilmu syariah pasti tahu, main-main
atau serius, kalau suami bilang kepada istrinya,"Kamu saya talak",
maka jatuhlah talak itu.
Lalu berlalu lah masa 14 abad hingga
umat Islam dikalahkan di berbagai belahan dunia. Masuklah para
penjajah kafir yang ingin mendongkel hukum Islam dari bumi Allah.
Allah SWT mencabut ilmuagama dengan wafatnya para ulama, dan yang
tersisa hanya para tokoh yang kurang paham syariah Islam.
Dan hari ini kita menyaksikan bagaimana ilmu syariah
itu tercerabut dari akar-akarnya yang asli, lalu sedikit demi sedikit
diotak-atik dan digantidengan hukum buatan manusia. Anehnya, yang
melakukan perbuatan naif itu bukan orang kafir, tetapi justru anak-anak
biologis dari umatIslam sendiri.
Bagaimana mungkin apa yang telah beliau SAW tetapkan
sebagaisyariat Islam, justru kita tolak mentah-mentah. Dikatakan 'menolak
mentah-mentah', karena konten KHI yang satu ini justru
sejalandengan produk hukum ala penjajah,
yaitu dengan mensyaratkan bahwa talak itu harus ada saksinya, bahkan
harus di depan PengadilanAgama segala.
Lebih lucu lagi dan bikin kita tertawa
terpingkal-pingkal adalah bahwa bila pihak istri tidak bersedia dijatuhi talak,
tetapi Pengadilan Agamaterlanjur menerima talak dari suami, istri
bisa naik banding ke levelPengadilan yang lebih tinggi. Wah,
mirip pengadilan kriminal saja pakai naik banding segala.
Kalau lah seandainya cerai itu harus
dilakukan di depan Pengadilan, seharusnya Rasulullah SAW dan para ulama
sepanjang 14 abad ini pun memerintahkannya, setidaknya mengisyaratkannya.
Padahal 14 abad lewat ini kita lalui dalam format hukum Islam yang
berdaulat, punyapengadilan yang sangat kuat. Tetapi tidak pernah ada
sejarahnyacerai itu harus di depan Pengadilan.
Kalau kita mau jujur, sebenarnya hukum ini termasuk
bid'ah dhalalah kalau mau dipaksakan sebagai produk hukum Islam. Sebab
tidak pernah ada nash atau pun contoh, baik dari zaman salafunasshalih, apalagi
dari masa Rasulullah SAW sendiri.
Kelemahan Alibi
Biasanya selalu saja ada alasan yang dibuat-buat.
Salah satunya yang paling sering dijadikan alasan adalah agar jangan sampai
kasus perceraian merebak, lantaran masyarakat kita terlalu awam dan tidak tahu
bahwa bilang cerai ke istri sudah jatuh talak.
Jadi karena masyarakat kita awam, maka hukumnya
dirubah. Coba bayangkan, betapa lucunya logika hukum seperti ini, bukannya
keawaman masyarakat itu yang diantisipasi, tetapi malah hukumnya yang
disesuaikan.
Kalau kita buat ilustrasi, ibarat kata umumnya
masyarakat tidak tahu bahaya naik motor kebut-kebutan dan berboncengan tiga
orang lebih tanpa helm, lalu bukannya masyarakat yang disadarkan dan para
pelanggarnya ditertibkan, tetapi malah larangannya yang dicabut atau
diringankan menjadi boleh. Aneh sekali, bukan?
Sejak dulu saya agak kesulitan memahami logika bengkok
seperti ini. Masak sih karena alasan masyarakat kurang paham bahaya zina dan
minuman keras, lalu larangan zina dan minuman keras itu diubah menjadi boleh?.
Aneh dan tidak masuk akal, bukan?
Coba pakai logika 'ajaib' itu buat kasus
korupsi. Dengan alasan masih banyak masyarakat yang kurang paham
bahwa korupsi, gratifikasi, money loundry itu merugikan rakyat, maka semua
diperbolehkan secara resmi. Dan semua pasal yang menjerat perilaku korupsi dihapus.
Lucu sekali, bukan?
Lama-lama, dengan alasan banyak orang yang
tidak kenal agamaIslam, keluar fatwa bahwa
selain agama Islam juga boleh dianut, yang penting hatinya
baik. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
2. KHI Bertentangan Dengan Ijma' Seluruh
Ulama
Selain bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah,
syariah Islam itu juga dijabarkan dengan sangat rinci dan
detail di dalam kitab-kitab turats warisan para ulama.
Kalau bicara syariah Islam dan
hukum-hukum fiqih, maka rujukan kita tidak akan keluar dari kitab para
ulama.
Sayangnya, logika hukum aneh bin ajaib ala KHI yang
menolak ceraikecuali harus di depan Pengadilan Agama dan
setelah ketuk palu hakim, sama sekali tidak pernah disebut-sebut oleh satu pun
ulama di masa lalu.
Mulai dari para shahabat yang jumlahnya menjadi 124
ribu lebih, hingga ke masa para tabi'in dan tabi'it-tabi'in, lalu masa para
ulama mazhab dan seterunsya sampai 1400 tahun kemudian, tak satu pun ulama yang
pernah berpendapat aneh seperti itu.
Semua kitab fiqih versi semua mazhab, tidak ada satu
pun yang menyebutkan bahwa jatuhnya talak itu manakala hakim mengetuk palu.
Tetapi jatuhnya talak itu ketika suami mengucapkannya. Bahkan tidak perlu pakai
saksi segala. Suka atau tidak suka, memang itulah kenyataannya. Begitulah literatur
fiqih yang diajarkan kepada kita sejak zaman dahulu. Siapapun yang pernah
belajar fiqih, pasti tahu hal itu.
Sekarang ini dengan adanya Kompilasi
Hukum Islam (KHI), seorang suami yang setiap hari
bilang cerai pada isterinya, tetap saja dianggap belum sah cerainya,
selama belum ada putusan hakim.
Dan anehnya, masa iddah perceraian itu dihitung justru
dari sejak tanggal putusan dari hakim yang menceraikan. Ini ajaib sekali.
“Sejak kapan seorang hakim punya hak
menentukan cerai tidaknya suatu pasangan”? Dimana bisa dirujuk
masalah ini? Kitab fiqih manakah yang menyebutkan keterangan 'aneh' ini?
Sementara kita tahu bahwa cerai itu
datangnya dari suami, kapanpun seorang suami mengucapkan lafadz sharih tentang
perceraian, maka saat itulah jatuh talak 1 kepada isterinya.
Kesimpulan :
Kalau ingin jawaban secara syar'i, maka apa yang sudah
dibahas di atas itu sudah 100% benar. Jadi tidak perlu menunggu sidang, apalagi
putusan dari hakim. Bila masa 'iddah secara agamasudah selesai, pada
dasarnya seorang wanita boleh menikah lagidengan laki-laki lain.
Hanya saja karena pertimbangan mashlahat dokumen
pernikahan, dimana
surat cerai dari Pengadilan Agama itu dibutuhkan untuk
pernikah beriktnya, maka masalah ini perlu diimbangi
juga dengan resiko kerepotan di kemudian hari. Meski
secara agama sudah sah untuk menikah lagi, tetapi bila belum punya
dokumen resmi untuk menikah, karena statusnya di surat resmi masih isteri
orang, maka akan sulit dilaksanakan pencatatan akad nikah secara formal.
Kalau pun tetap nikah juga, hukumnya halal,
karena cerai sudah terjadi dan masa iddah sudah lewat. Tapi secara
prosedur formal, bisa saja di masa mendatang akan muncul berbagai problem
dokumen yang agak merepotkan. Jadi memang dilemmatis
juga pengadilan agama kita ini. Sudah tidak lengkap, masih saja
ada kelemahan di sana-sini.
Jadi mohon maklum saja.
Koreksi Lamanya Masa Iddah
Masa iddah buat wanita yang ditalak suaminya bukan
tiga bulan, tetapi yang lebih tepat adalah tiga kali quru' atau tiga kali
masa suci dari haidh. Masa ini khusus buat masa iddah wanita yang ditalak oleh
suaminya. Sebagaimana petunjuk langsung dari Allah dan rasul-Nya.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan dini
(menunggu) selama tiga masa quru’. (Al-Baqarah: 228)
Lama masa quru` ada dua pendapat. Pertama, masa suci
dari haidh. Kedua, masa haid sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW
“Dia (isteri) ber’iddah (menunggu) selama tiga kali
masa haid.“ (HR Ibnu Majah)
Demikian pula sabda beliau yang lain:
“Dia menunggu selama hari-hari quru’nya.“ (HR Abu
Dawud dan Nasa’i)
Jadi kira-kira memang sebanding dengan masa
3 bulan, akan tetapi belum tentu tepat betul. Yang menjadi patokan adalah lama
3 kali masa suci dari haidh. Dan sebagaimana kita tahu, bahwa tiap wanita punya
keadaan yang berbeda-beda, yang berpengaruh juga pada lama masa haidhnya. Maka
bisa saja seorang wanita menjalani masa iddah atas talaknya tidak sampai masa
sebulan, atau sebaliknya malah lebih lama dari 3 bulan.
Sebagai ilustrasi, mari kita gunakan pendekatan dalam
mazhab As-Syafi'i. Dalam mazhab itu disebutkan bahwa haidh seorang wanita
paling cepat sehari semalam. Dan masa suci dari haidh paling cepat 15 hari.
Maka kalau seorang wanita kebetulan punya masa haidh yang cepat dan masa suci
dari haidh yang cepat juga, bisa saja masa iddahnya hanya sekitar 19 hari saja.
Logikanya, ketika diceraikan dia sedang berada pada
hari terakhir dari masa sucinya. Ini sudah dihitung sekali masa suci. Lalu dia
haidh sehari dan suci selama 15 hari. Ini sudah suci yang kedua, padahal jumlah
harinya baru 1 + 1 + 15 = 17 hari. Bila dia haidh lagi selama 1 hari dan suci
lagi, maka pada hari pertama dari sucinya, telah habis masa 'iddahnya. 17 + 1 +
1 hari = 19 hari.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
A S, Lc [http://www.rumahfiqih.com]
Di antara wanita yang haram dinikahi adalah wanita
yang masih punya suami, di mana dirinya belum dicerai secara syar'i oleh
suaminya.
Adapun urusan seorang suami sudah tidak seranjang,
atau tidak cinta lagi, bahkan tidak pernah memberi nafkah, sama sekali tidak
ada kaitannya dengan perceraian secara syar'i. Sebab di dalam syariat Islam,
perceraian itu hanya dilakukan dengan salah satu dari dua macam.
Pertama, dengan lafadz yang sharih. Maksudnya
suami mengatakan secara tegas dan nyata kepada isterinya kata cerai. Atau
lafadz kata yang semakna dengannya tanpa bisa ditafsirkan dengan makna yang
lain. Misalnya lafadz thalak ataufiraq.
Cukup dengan mengatakan demikian kepada isterinya,
meski tanpa kehadiran saksi, maka jatuhlah talak satu kepada isteri.
Kedua, dengan lafadz kina'i. Maksudnya suami
mengatakan cerai kepada isterinya tetapi dengan menggunakan bahasa simbolis
atau ungkapan-ungkapan yang masih bisa ditafsirkan sebagai bukan cerai.
Misalnya dia berkata kepada isterinya, "Pulanglah
kamu ke rumah orang tuamu." Perkataan ini masih bisa ditafsirkan lain
selain cerai. Sebab bisa saja suami memintanya untuk bersilaturrahim ke rumah
orang tuanya dan bukan berniat menceraikannya.
Kecuali bila di suatu tempat sudah
ada 'urf atau adat kebiasaan yang tidak bisa ditafsirkan lain kecuali
cerai. Namun tidak semua negeri punya kebiasaan seperti ini. Maka apakah sudah
cerai atau belum, semua akan terpulang kepada niat hati sang suami saat
mengatakan hal itu. Kalau niatnya memang menceraikan, maka jatuhlah talak. Tapi
kalau niatnya tidak menceraikan, maka tidak jatuh talak apa pun.
Setelah Talak Jatuh Masih Ada 'Iddah
Apabila suami telah menjatuhkan talak kepada isterinya,
baik lewat jalur sharih atau pun kina'i, belum berarti hubungan
suami isteri di antara mereka berdua lantas terputus. Masih ada
masa 'iddah yang harus dijalani oleh isteri agar dirinya halal bagi
orang lain untuk menikahinya.
Masa iddah itu lamanya bukan berdasarkan hari, minggu
atau bulan, melainkan berdasarkan hitungan lama masa haidh dan lama masa suci
dari haidh. Dalam bahasa Al-Quran disebut dengan istilah quru'.
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri tiga
kali quru'. (QS. Al-Baqarah:228)
Ada dua versi penafsiran para ulama
tentang quru' yang dimaksud. Pertama, dan ini yang lebih kuat, yaitu
masa suci dari haidh. Kedua, lama masa haidh itu sendiri.
Selama tiga kali quru' atau tiga kali suci
dari haidh, seorang isteri yang dicerai suaminya masih boleh dirujuk cukup di
'dalam kamar', tidak perlu menggelar akad nikah ulang.
Namun bila telah selesai tiga kali suci dari haidh,
apa boleh buat, kalau suami mau balik lagi, dia harus menyiapkan akad nikah
seolah menikah baru lagi.
Wallahu 'alam bishshawab, wassalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
A S,
Lc. [http://www.rumahfiqih.com]
Orang yang berusaha mengimplementasikan Zuhud dan
Wara’ tidak akan memasuki “ institusi/lembaga yang bermaksiat kepada syariat
Allah”. Penolakan tersebut bukan berarti bughot, sebab tidak ada sanksi hukum (
perdata maupun pidana ) terhadap sikap kita.
Sebagian dari mereka mengatakan, “Kami melaksanakan
dalam rangka menaati dan mengikuti ulil amri!” Ini adalah perkataan yang sangat
batil yang telah menjadikan ulil amri sebagai tuhan-tuhan selain Allah yang
telah menetapkan kepada mereka sebuah syari’at walaupun menyalahi Syari’at
Rabbul ‘alamin. Oleh karena itu tidak ada seorangpun Ulama yang mengatakan
secara mutlak ketaatan kepada ulil amri seperti perkataan yang sangat batil di
atas. Akan tetapi mereka selalu mengkaitkan dengan ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Apabila perkataan atau ketetapan ulil amri menyalahi ketetapan
Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tidak boleh didengar dan tidak boleh ditaati,
karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Rabbul
‘alamin sebagaimana telah di jelaskan dalam hadits-hadits yang shahih dalam
masalah ini. Selain perkataan dan perbuatan mereka diatas menyerupai manhaj
Khawarij secara khusus dan manhaj ahli bid’ah secara umum, yaitu berdalil
dengan dalil-dalil umum atau mutlak dengan meninggalkan dalil-dalil yang tidak bersifat
umum atau mutlak. Maka ikutilah penjelasan tafsirnya berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan
ta’atilah Rasul (-Nya), dan ulil amri diantara kamu. kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama(bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (Qs. An-Nisaa': 59)
Dalam ayat yang mulia iniAllah telah memerintahkan
orang-orang yang beriman untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya secara mutlak.
Oleh karena itu Allah mengulang fi’il (kata kerja) ” athi’u ” (أَطِيعُوا) ketika memerintahkan untuk menaati-Nya dan menaati
Rasul-Nya. Adapun ketaatan kepada ulil amri tidak secara mutlak, tetapi terkait
dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah tidak
mengulang kata kerja (fi’il) athi’u ketika memerintahkan untuk menaati ulil
amri. Karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Apabila ulil amri memerintahkan kepada kita untuk maksiat kepada
Allah dan Rasul-Nya atau perintahnya menyalahi Al-Kitab dan Sunnah, maka tidak
boleh didengar dan ditaati sebagaimana telah di jelaskan di dalam Al-Kitab dan
Sunnah dari hadits-hadits shahih. Karena kalau kita taati perintah ulil amri
yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka kita telah menjadikan ulil
amri tersebut sebagai tuhan-tuhan selain dari Allah yang ditaati perintah dan
larangannya secara mutlak sebagaimana perbuatan Ahli Kitab dari orang-orang
Yahudi dan Nashara. Tetapi
sangat penting kita ketahui, bahwa larangan tidak boleh mendengar dan mentaati
perintah ulil amri yang menyalahi Al-Kitab dan Sunnah, tidaklah mewajibkan
kepada kita untuk memberontak yang kemudian menjatuhkannya atau yang semakna
dengannya sebagaimana perbuatan ahli bid’ah dan firqoh-firqoh sesat seperti khawarij
dan mu’tazilah dan yang sepaham dengan mereka. Tetapi ada cara yang diajarkan
oleh islam dalam menasehati dan memperingati ulil amri yang zhalim atau yang
memerintahkan maksiat atau yang perintahnya menyalahi keputusan Allah dan
Rasul-Nya.
Sedangkan yang dimaksud dengan ketaatan kepada Allah
ialah dengan berpegang dan mengikuti kitab-Nya Al-Qur’an. Dan ketaatan kepada
Rasul dengan berpegang dan mengikuti Sunnahnya. Ayat yang mulia ini
(Qs.An-Nisaa': 59, admin) menjadi sebesar-besar dalil dan hujjah akan kedudukan
dan ketinggian serta kemuliaan Sunnah, bahwa menaati Rasul yakni dengan
mengikuti Sunnahnya secara mutlak, baik terdapat di dalam Al-Qur’an atau tidak,
sama saja, kewajiban kita mentaati dan mengikutinya. Jelas sekali dari ayat
yang muliakita mengetahui, bahwa orang yang meninggalkan Sunnah dengan
sendirinya dia telah meninggalkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak menaati Allah
secara mutlak. Dari sini pun kita mengetahui, bahwa orang yang menjadikan dalil
aqli (yang diputuskan oleh akal) sebagai asas, kemudian dalil naqli(yang
diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah) mengikutinya, yang pada hakekatnya mereka
telah menjadikan akal-akal mereka sebagai raja yang memerintahkan` dua wahyu
yang mulia (Al-Kitab dan Sunnah). Mereka inilah orang-orang yang tidak mentaati
Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan tingkat kesesatan mereka.
Kemudian , pada bagian kedua dari ayat yang mulia ini,
Allah Tabaaraka wa Ta’ala telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman
untuk mengembalikan segala sesuatu yang mereka perselisihkan dari urusan dunia
dan akherat kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada Kitab-Nya dan Sunnah
Nabi-Nya. Karena didalam Al-Kitab dan Sunnah itulah mereka akan mendapati
penjelasan danpenyelesaian tentang hukum yang mereka perselisihkan. Sesuatu hal
yang tidak mungkin terjadi ketika Allah memerintahkan untuk mengembalikan
segalaperselisihan kepada Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya kemudian mereka
benar-benar mengembalikan kepada keduanya. Dengan syarat, tentunya
mengembalikan kepada keduanya itu dengan cara yang benar, yaitu dengan ilmu dan
keadilan bukan dengan kebodohan dan hawa. Dan hal ini menjadi bukti bahwa kita
memang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Kemudian buah yang akan
dihasilkan dari mengembalikan segala urusan perselisihan kepada Al-Kitab dan
Sunnah ialah penyelesaiannya akan berakhir dengan kebaikan dan kebahagiaan
dunia dan akhirat kamu.
Disalin dari Kitab Al-Masaa-il Jilid 5 (Masalah
110) hal. 88-92 oleh guru kami Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir
Abdat~semoga Allah menjaganya~. (Pustaka Darus Sunnah – Jakarta, Cetakan 1,
November 2005)
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com
Dalam penerapannya, lembaga
khuluk termasuk yang jarang diterapkan pelaksanaannya ketika terjadi perceraian
di Pengadilan Agama. Meskipun Kompilasi Hukum Islam tahun
1991 telah membuka perceraian melalui jalan khuluk, namun secara formil
bagaimana khuluk diterapkan dipersidangan masih membutuhkan
ketantuan hukum acara yang bersifat istimewa atau luar biasa.
Karena ketentuan hukum acara berlaku saat ini belum mengakomodir
akibat hukum yang ditimbulkan lembaga khuluk, seperti pengucapan
ikrar talak langsung pada hari itu juga, tidak menunggu masa 14 hari untuk
berkekuatan hukum tetap, tidak ada banding dan kasasi, iddhah siteri
hanya satu kali, dan tidak ada hitungan talakbdan boleh dilakukan
berulang-ulang. Tentunya hal tersebut tidak dikenal
dalam hukum acara yang sudah baku dan berlaku dilingkungan
Peradilan Agama.
Hukum Islam. Vol.
VIII
No. 6. Desember 2007
Hukum Acara Khuluk adalah salah satu hukum acara perceraian yang diatur khusus yang berlaku di Pengadilan Agama. Tatacara dan aturan khuluk baru ada diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, acara cerai khuluk sebelumnya tidak ditemui baik di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanan Undang-undang Perkawinan maupun di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Akan tetapi aturan hukum Islam mengenai Talak Tebus
(khuluk) tidak berlaku di dalam Undang-undang Perkawinan maupun Peraturan
Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan juga tidak dipakai
di dalam Undang-undang Peradilan Agama yang juga mengatur mengenai Hukum Acara
(khusus) Peradilan Agama. Acara khuluk baru kemudian diberlakukan melalui
Kompilasi Hukum Islam. Namun berlakunya acara perceraian dengan cara khuluk
(talak tebus) tidak melahirkan jenis perkara perceraian yang baru di Pengadilan
Agama, acara khuluk menjadi bagian dari perkara cerai gugat dengan tambahan
putusan mengenai tebusan yang harus dibayar oleh isteri dan perceraian terjadi
dengan jatuhnya talak khuluk dari suami. Seorang isteri harus tetap membuktikan
alasan-alasanperceraian yang tidak boleh menyimpang dari alasan-alasan
perceraian sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 19 Aturan Pelaksanaan
Undang-undang Perkawinan dan Pasal 51 dan 116 Kompilasi Hukum Islam, yaitu
karena:
a. suami berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. suami meninggalkan isteri selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin isteri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
di luar kemampuannya;
c. suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
lebih setelah perkawinan berlangsung;
d. suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak isteri;
e. suami mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami;
f. antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga;
g. suami melanggar taklik talak;
h. suami murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan rumah tangga;
i. suami melanggar perjanjian perkawinan.
Jika dilihat dari alasan-alasan di atas, seluruh
alasan-alasan yang harus dibuktikan oleh isteri justru berasal dari suami,
sementara untuk terjadinya perceraian dengan jalan khuluk alasan-alasan yang
dijadikan dasar perceraian harus berasal dari pihak isteri. Hanya poin“f” yang
memungkinkan alasan berasal dari isteri, akan tetapi dalam suatu perselisihan
rumah tangga tentu akan menjadi persoalan lagi bagaimana patokan dan ukuran
untuk menentukan suatu perselisihan dan pertengkaran rumah tangga sebagai
berasal dari pihak isteri maupun berasal dari pihak suami. Suatu perselisihan
rumah tangga antara suami isteri sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan bersama yang dijalani keduanya sehingga tentulah keduanya sama-sama
memiliki andil bagi terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah tangga dan tidak
bisa dihukumkan salah satu pihak lebih bertanggungjawab ketimbang pihak yang
lain yang menyebabkan perselisihan dalam rumah tangga.
Berdasarkan telaah di atas dapatlah disimpulkan bahwa
disatu sisi ada keinginan yang kuat untuk menyerap sebanyak mungkin semangat
dan nilai-nilai hukum Islam ke dalam peraturan perundangan-undangan yang
berlaku di Indonesia. Akan tetapi di sisi lain ada berbagai persoalan-persoalan
penerapan hukum Islam ke dalam hukum positif yang tidak terlepas dari adanya
perbedaan dan semangat nilai-nilai yang diutamakan oleh hukum Islam dalam
mengatur kehidupan para penganutnya berhadapan dengan nilai dan cita-cita
pembentukan kesatuan hukum di Negara Indonesia dengan citarasa keadilan yang
melindungi segenap warga negara sehingga di mata hukum semua warga negara
berada dalam kedudukan yang sejajar dalam seluruh lapangan hukum termasuk hukum
keluarga dan hukum perkawinan
Khuluk di Luar
Pengadilan
Khuluk, sebagaimana halnya talak, dapat dilakukan
secara langsung antara suami istri tanpa melibatkan hakim dan pengadilan agama.
Seperti dikatakan Imam Nawawi dalam Al-Majmuk Syarh al-Muhadzab:
ويجوز الخلع من غير
حاكم لأنه قطع عقد بالتراضي جعل لدفع الضرر، فلم يفتقر إلى الحاكم كالإقالة في
البيع.
(Khuluk dapat
dilakukan tanpa hakim karena khuluk merupakan pemutusan akad dengan saling
sukarela yang bertujuan untuk menolak kemudaratan. Oleh karena itu ia tidak
membutuhkan adanya hakim sebaagaimana iqalah dalam transaksi jual beli).[12]
Walaupun khuluk dapat
dilakukan di luar pengadilan, namun secara formal itu tidak diakui negara.
Untuk mengesahkannya secara legal formal menurut undang-undang Indonesia, maka
pihak yang berperkara tetap harus mengajukannya ke Pengadilan Agama.[13] Harus
juga dinginat, bahwa proses perceraian di Pengadilan Agama dapat dilakukan
apabila memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan. Seperti, terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), suami tidak memberi nafkah, ditinggal
suami selama 2 tahun berturut-turut, dan lain-lain.[14]
Khuluk di Pengadilan Agama
Suatu gugatan
perceraian akan diakui negara dan akan memiliki kekuatan legal formal apabila
dilakukan di Pengadilan Agama dan diputuskan oleh seorang Hakim. [15]
Untuk mengajukan
gugatan cerai atau khulu’, seorang istri atau wakilnya dapat mendatangi
Pengadilan Agama (PA) di wilayah tempat tinggalnya. Bagi yang tinggal di Luar
Negeri, gugatan diajukan di PA wilayah tempat tinggal suami. Bila istri dan
suami sama-sama tinggal di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan
Agama di wilayah tempat keduanya menikah dulu, atau kepada Pengadilan Agama
Jakarta Pusat. [16]
Berbeda dengan khuluk
yang dilakukan di luar Pengadilan, maka gugat cerai yang diajukan melalui
lembaga pengadilan harus memenuhi syarat-syarat antara lain:
a. Suami berbuat
zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya;
b. suami meninggalkan
anda selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin atau alasan yang jelas
dan benar, artinya: suami dengan sadar dan sengaja meninggalkan anda;
c. suami dihukum
penjara selama (lima) 5 tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan;
d. suami bertindak
kejam dan suka menganiaya anda;
e. suami tak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau penyakit yang
dideritanya;
f. terjadi
perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk rukun
kembali;
g. suami melanggar
taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul;
h. suami beralih
agama atau murtad yang mengakibatkan ketidaakharmonisan dalam keluarga.[17]
Syarat-syarat di atas
tentu saja harus disertai dengan adanya saksi dan bukti-bukti yang menguatkan
gugatan.
Gugat Cerai Tanpa Kerelaan Suami
Gugat cerai pada dasarnya harus dilakukan atas sepengetahuan
dan kerelaan suami. Karena pihak yang memberi kata cerai dalam khuluk adalah
suami. Jadi, kalau suami tidak rela atau tidak mau meluluskan gugatan
perceraian istri, maka khuluk tidak bisa terjadi.
Namun demikian, dalam situasi tertentu Hakim di Pengadilan
Agama dapat meluluskan gugat cerai tanpa persetujuan atau bahkan tanpa
kehadiran suami apabila berdasarkan pertimbangan tertentu Hakim menganggap
bahwa perceraian itu lebih baik bagi pihak penggugat yaitu istri. Misalnya,
karena terjadinya konflik yang tidak bisa didamaikan, atau suami tidak
bertenggung jawab, terjadi KDRT yang membahayakan istri dan lain
sebagainya.[18] Dalam konteks ini, maka hakim dapat menceraikan keduanya bukan
dalam akad khuluk tapi talak biasa. Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah dinyatakan:
وبضرر زوج لزوجته – نحو: لم نزل نسمع عن الثقات وغيرهم أنه يضارها فيطلقها
عليه الحاكم
(Disebabkan perilaku suami yang membahayakan istri,
misalnya ada berita dari sejumlah sumber terpercaya bahwa suami melakukan
kekerasan pada istri, maka hakim dapat menceraikan keduanya.)[19]
Apabila suami tidak memiliki kesalahan signifikan pada
istri, hanya istri kurang menyukai suami dan kuatir tidak dapat memenuhi
hak-hak suami dan kewajibannya sebagai istri, maka istri dapat mengajukan
khuluk dan sunnah bagi suami untuk meluluskannya. Apabila suami tidak rela dan tidak mau, maka
ada dua pendapat ulama. Pendapat pertama, hakim tidak boleh memaksa suami.
Konsekuensinya, hakim tidak dapat menceraikan mereka. Ini pandangan mayoritas
ulama, termasuk madzhab Syafi’i.
Pendapat kedua, hakim boleh memaksakan kehendak istri untuk
bercerai walaupun suami tidak rela.
Pandangan ini terutama berasal dari madzhab Hanbali. Al-Mardawi dalam Al-Inshaf: menyatakan:
وإذا كانت المرأة مبغضة للرجل وتخشى أن لا تقيم حدود الله في حقه فلا بأس أن
تفتدي نفسها منه، فيباح للزوجة ذلك والحالة هذه على الصحيح من المذهب وعليه أكثر
الأصحاب وجزم الحلواني بالاستحباب، وأما الزوج فالصحيح من المذهب أنه يستحب له
الإجابة إليه وعليه الأصحاب. واختلف كلام الشيخ تقي الدين رحمه الله في وجوب الإجابة
إليه. وألزم به بعض حكام الشام المقادسة الفضلاء
(Apabila istri marah pada suami dan takut tidak dapat
menjalankan perintah Allah dalam memenuhi hak-hak suami maka istri boleh
melakukan gugat cerai. … Al-Halwani menyatakan gugat cerai dalam konteks ini sunnah.
Adapun suami maka menurut pendapat yang sahih adalah sunnah mengabulkan
permintaan istri. Syekh Taqiuddin dan sebagian hakim Suriah menyatakan bahwa
suami wajib memenuhi permintaan istri.)[20]
Ibnu Uthaimin, ulama Hanbali kontemporer, menyatakan:
لو أننا ما تمكنا من الجمع بين الزوجين بأي حال من الأحوال، فأبى أن يطلق،
وأبت هي أن تبقى عنده، فذهب بعض أهل العلم إلى وجوب الخلع حينئذ بشرط أن ترد عليه
المهر كاملاً، ذهب إلى هذا بعض علماء الحنابلة، وشيخ الإسلام
(Seandainya kita
tidak memungkinkan mendamaikan kedua
suami istri, lalu suami menolak untuk menceraikan istri, sedang istri menolak
hidup bersama suami, maka ulama berpendapat atas wajibnya khuluk dengan syarat
istri harus mengembalikan mahar secara penuh. Ini juga pendapat sebagian ulama
madzhab Hanbali, termasuk Ibnu Taimiyah)[21]
Dari pandangan di atas, maka Abdullah bin Baz, salah satu
ulama madzhab Hanbali saat ini, berpendapat bahwa hakim boleh mengabulkan
permintaan istri walau tanpa persetujuan dan kehadiran suami di pengadilan
seperti dinyatakna dalam salah satu fatwanya berikut.
وإذا امتنع الزوج عن الحضور مع المرأة المذكورة إلى المحكمة وجب على الحاكم
فسخها من عصمته ، إذا طلبت ذلك وردت عليه جهازه للحديثين السابقين وللمعنى الذي جاءت به الشريعة واستقر من قواعدها
(Apabila suami
menolak untuk hadir ke pengadilan bersama istri yang mengajukan gugat cerai,
maka wajib bagi hakim untuk menceraikannya apabila istri meminta hal itu dengan
mengembalikan maharnya dengan dasar dua hadits di atas dan karena makna dan
ketetapan yang terkandung dalam syariah dan tujuannya).[22]
Pandangan ini
berdsarkan pada hadits yang menceritakan kisah istri Tsabit bin Qais di
atas.[23]
Kesimpulan
Khuluk atau gugat
cerai dari seorang istri pada suami hukumnya boleh dan sah dilakukan kapan saja
baik dalam damai atau karena konflik rumah tangga. Karena faktor kesalahan
suami atau karena istri tidak lagi mencintai suami. Dengan syarat adanya
kerelaan suami. Dan dapat dilakukan di depan pengadilan atau di luar
pengadilan.
Gugat cerai di
Pengadilan Agama yang disebabkan oleh perilaku suami yang tidak
bertanggungjawab dapat diluluskan oleh hakim dengan sistem talak (bukan khuluk)
tanpa perlu persetujuan suami.
Adapun gugat cerai
yang murni karena istri tak lagi mencintai suami, bukan karena kesalahan suami,
maka suami disunnahkan untuk menerima permintaan istri. Dalam konteks ini, maka
ulama berbeda pendapat apakah hakim berhak menceraikan mereka secara khuluk
atau tidak.
Footnote dan
Referensi
[12] Imam Nawawi, Al-Majmuk Syarh al-Muhadzab,
XVII/13.
[13] KHI (Kompilasi Hukum Islam) , Bab XVI
Pasal 114
[14] KHI (Kompilasi Hukum Islam) , Bab XVI
Pasal 116.
[15] Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum PP No 9/1975
tentang Pelaksanaan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
[16] Pasal 73 UU No 7/89 tentang Peradilan
Agama.
[17] Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal
19 PP No 9 tahun 1975.
[18] Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, II/290.
[19] Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, XII/285.
Yusuf Qaradaw sepakat
dalam hal ini. Dia menyatakan dalam fatwanya: إذا كان الزوج مضار أو مؤذياً لها فمن حق المحكمة أن تطلقها وأن تجبره على
تطليقها، فالطلاق في يد الرجل في الإسلام، فماذا تفعل المرأة؟ أمامها عدة أشياء
عند الخلاف، أحياناً التحكيم (وإن خفتم شقاق بينهما، فابعثوا بحكم من أهله وحكماً
من أهلها)، عن الصحابة( إن شاءا أن يجمعا جمعا، وإن شاءا أن يفرقا فرقا). وعندها
القاضي يطلق للإعسار، أو للضرر أو الضرار، وأن كان هناك ضرر شرعي فمن حق المحكمة
أن تحكم بالطلاق وبما أنه يعيش هناك آمناً ويرتضي قوانينهم (والذين آمنوا ولم
يهاجروا ما لكم من ولايتهم من شيء حتى يهاجروا، وإن استنصروكم في الدين فعليكم
النصر إلا على قوم بينكم وبينهم ميثاق). (lLink: http://www.qaradawi.net/2010-02-23-09-38-15/4/687.html)
[20] Al-Mardawi, Al-Inshaf, VIII/382.
[21] Ibnu Uthaimin, Syarhul Mumtik ala Syarhil
Mustaqnik, XII/480. Teks fawa selengkapnya: لو أننا ما تمكنا من الجمع بين الزوجين بأي حال من الأحوال، فأبى أن يطلق،
وأبت هي أن تبقى عنده، فذهب بعض أهل العلم إلى وجوب الخلع حينئذ بشرط أن ترد عليه
المهر كاملاً، ذهب إلى هذا بعض علماء الحنابلة، وشيخ الإسلام ـ رحمه الله ـ يقول
عنه تلميذه ابن مفلح: إن شيخنا اختلف كلامه في هذه الصورة، هل يجب الخلع أو لا؟ مع
أن بعض علماء الحنابلة صرح بوجوب الخلع والإلزام به، واستدلوا بأن الرسول صلّى
الله عليه وسلّم قال لثابت ـ رضي الله عنه ـ: «خذ الحديقة وطلقها» ، وقالوا: الأمر
للوجوب؛ ولأنه لا سبيل إلى فك هذا النزاع والشقاق إلا بهذا الطريق، وفك النزاع
والشقاق بين المسلمين أمر واجب، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب، وهذا القول هو
الصحيح؛ لأنه لا مضرة عليه، فماله قد جاءه، وبقاؤهما هكذا، هي معلقة لا يمكن أن
تتزوج، وهو كذلك غير موفق في هذا النكاح لا ينبغي.
[22] Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Majmuk Fatawa, XXI/259 .. Teks
lengkap fatwanya sebagai berikut: مثل هذه المرأة يجب التفريق بينها وبين زوجها المشار إليه إذا دفعت إليه
جهازه؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم لثابت بن قيس لما أبغضته زوجته وطلبت فراقه
وسمحت برد حديقته إليه: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة) رواه البخاري في صحيحه،
ولأن بقاءها في عصمته والحال ما ذكر يسبب عليها أضرارا كثيرة، وقد قال النبي صلى
الله عليه وسلم: ((لا ضرر ولا ضرار)) ، ولأن الشريعة جاءت بتحصيل المصالح
وتكميلها، وتعطيل المفاسد وتقليلها، ولا ريب أن بقاء مثل هذه المرأة في عصمة زوجها
المذكور من جملة المفاسد التي يجب تعطيلها وإزالتها والقضاء عليها، وإذا امتنع
الزوج عن الحضور مع المرأة المذكورة إلى المحكمة وجب على الحاكم فسخها من عصمته
إذا طلبت ذلك وردت عليه جهازه؛ للحديثين السابقين، وللمعنى الذي جاءت به الشريعة
واستقر من قواعدها، وأسأل الله أن يوفق قضاة المسلمين؛ لما فيه صلاح العباد
والبلاد؛ ولما فيه ردع الظالم من ظلمه، ورحمة المظلوم وتمكينه من حقه، وقد قال
الله سبحانه: وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلّاً مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ
وَاسِعاً.
Dalam hal suami tidak
melakukan kesalahan tetapi istri meminta cerai, Yusuf Qardhawi bersikap
hati-hati. Ia menyatakan: ولكن هناك
اختلاف في الشرع عن المحكمة المدنية، أن المرأة إذا رغبت في طلاق الرجل يسمى الخلع
وتفدي المرأة نفسها، لأنها كارهة الزوج، وجعل القرآن هذا النوع من الافتداء لتعويض
الزوج، وهي من الأشياء التي تخالف الأحكام المدنية لذلك لابد أن يرجع إليها
المسلمون ويتبعوها. (Link: http://www.qaradawi.net/2010-02-23-09-38-15/4/687.html)
[23] Teks hadits: َنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ مَا
أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ إِلَّا أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ
حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا
( sebagai analogi)
Pertanyaan : Saya mau tanya, gimana
hukumnya pernikahan yang dilaksanakan tanpa sepengetahuan ayah kandung dari
pihak perempuan? Dan pernikahan tersebut dilaksanakan melalui seorang wali
hakim yang diangkat sesaat sebelum akad nikah. Terima kasih atas jawaban
ustadz. Jazakallah khoiron katsiron.
JAWAB :
Permasalahan ini berkaitan dengan
permasalahan nikah syubhat. Karena pernikahan dengan seorang wanita tanpa
persetujuan walinya merupakan pernikahan yang batil (tidak sah) menurut jumhur
ulama. Dan jika dikerjakan oleh seseorang karena jahil/tidak tahu akan hukumnya
maka jadilah pernikahan ini termasuk pernikahan syubhat.
Definisi Nikah Syubhat adalah sebagai
berikut :
وَضَابِطُ نِكَاحِ
الشُّبْهَةِ أَنْ يَنْكِحَ نِكَاحًا فَاسِدًا مُجْمَعًا عَلَى فَسَادِهِ لَكِنْ
يُدْرَأَ الْحَدُّ كَأَنْ يَتَزَوَّجَ بِمُعْتَدَّةٍ أَوْ خَامِسَةٍ أَوْ ذَاتِ
مَحْرَمٍ غَيْرِ عَالِمٍ وَيَتَلَذَّذُ بِهَا أَوْ يَطَأُ امْرَأَةً يَظُنُّهَا
زَوْجَتَهُ فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ أَصْلُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ وَفَرْعُهَا
"Batasan Nikah
Syubhat adalah ia menikah dengan pernikahan yang fasad/rusak/tidak sah, yang
telah disepakati/ijmak akan fasidnya, akan tetapi hukum had ditolak (tidak
ditegakkan, seperti ia menikah dengan seorang wanita yang masih dalam masa
'iddah, atau dengan istri yang kelima, atau dengan wanita yang masih merupakan
mahramnya, dalam kondisi ia tidak mengetahui hal tersebut dan ia telah
berledzat-ledzat dengannya, atau ia menjimak seorang wanita yang ia sangka
adalah istrinya. Maka diharamkan baginya asal dan furu' dari setiap wanita
tersebut" (Ats-Tsamr Ad-Daani fi Tqriib al-Ma'aani, syarh Risaalah Ibni Abi
Zaid Al-Qoyrowaani, karya Sholeh bin Abids Samii' Al-Aaabi Al-Azhari (wafat
1335 H), hal 352, cetakan Mushthofa Al-Baabiy Al-Halabi, tahun 1338 H)
Diantara pernikahan
syubhat adalah pernikahan tanpa wali. Meskipun pernikahan ini masih
diperselisihkan akan kebolehannya, akan tetapi menurut jumhur ulama pernikahan
tersebut tidaklah sah.
Hal ini dikarenakan
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
أيُّما امرأةٍ نَكَحَتْ بغير إذن مواليها؛
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ (ثلاث مرات)
"Wanita mana
saja yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya batil, pernikahannya
batil, pernikahannya batil" (HR Abu Daawud no 1817 dan Ibnu Maajah no
1524)
Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam juga bersabda:
لاَ نِكَاح إِلاَّ
بِولِيٍّ
"Tidak ada
pernikahan kecuali dengan wali" (lihat Irwaaul Goliil hadits no 1839,
1840, 1841)
Maka bagi jumhur
ulama pernikahan tanpa wali merupakan pernikahan yang batil. Jika dilakukan
oleh seseorang karena kejahilan maka jadilah pernikahan syubhat.
Abul Fadhl Sholeh
(putra Imam Ahmad) berkata : "Dan aku bertanya kepada Imam Ahmad tentang
seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya, lalu lelaki yang menikahinya
menjatuhkan talak tiga kepadanya, lalu setelah itu wali sang wanita membolehkan
pernikahan, maka apakah sang wanita halal (untuk dinikahinya kembali) sebelum
dinikahi oleh lelaki yang lain, karena pernikahan yang pertama adalah
pernikahan yang fasid (rusak)?"
Imam Ahmad berkata,
"Wanita tersebut tidak boleh kembali kepadanya, karena pernikahan pertama
jika membuahkan anak maka anak tersebut akan mengikuti sang lelaki, karena ini
adalah nikah syubhat. Maka tidak halal baginya kecuali jika telah dinikahi oleh
lelaki yang lain" (Masaail Al-Imaam Ahmad bin Hanbal, riwayat putranya
Abul Fadhl Sholeh 2/338 no 975)
Contoh-Contoh Nikah
Syubhat
Contoh-contoh nikah
syubhat diantaranya :
- Ia menikahi wanita
tanpa wali, karena menyangka bahwa hal itu diperbolehkan (yaitu nikah syubhat
menurut jumhur ulama yang mempersyaratkan izin wali)
- Pernikahan
Syighoor, yaitu ia menikahkan putrinya dengan seorang lelaki dengan syarat ia
menikahi putri lelaki tersebut. Ia menyangka bahwa pernikahan tersebut halal
baginya
- Ia menikahi seorang
wanita yang ternyata masih berstatus istri orang lain, hanya saja ia tidak tahu
dan menyangka bahwa wanita tersebut telah diceraikan
- Seorang wanita yang ditinggal lama oleh suaminya tanpa
ada kabar, lantas Hakim memberi keputusan bahwa wanita tersebut dihukumi telah
cerai dari suaminya yang pergi tanpa kabar. Lantas wanita tersebut menikah
dengan lelaki lain. Akan ternyata suami pertamanya kembali. Maka ada perbedaan
pendapat dalam hal ini, bagi ulama yang berpendapat bahwa wajib bagi sang
wanita kembali kepada suami pertamanya maka jadilah pernikahan lelaki yang
kedua merupakan pernikahan yang dibangun di atas akad syubhat
- Ia menikahi wanita
yang masih di dalam masa 'iddahnya
- Ia menikahi wanita
yang kelima (padahal poligami maksimal hanya 4 wanita)
- Ia menikahi wanita
yang masih mahramnya, seperti saudari sepersusuannya atau wanita yang pernah
dinikahi ayahnya.
Hukum-Hukum Berkaitan
Dengan Nikah Syubhat :
Pertama : Ada
pernikahan yang disepakati akan batilnya (seperti menikahi wanita di masa
iddahnya, atau menikahi wanita sebagai istri yang kelima, atau menikahi wanita
saudara sepersusuan), maka jika dilakukan oleh kedua pihak (lelaki dan wanita)
tanpa mengetahui hukumnya maka itu adalah nikah syubhat menurut kesepakatan
ulama.
Ada juga pernikahan
yang diperselisihkan, seperti pernikahan tanpa wali wanita, menurut sebagian
madzhab pernikahan tersebut sah. Akan tetapi menurut madzhab yang lain
pernikahan tersebut batil. Maka pernikahan ini menurut madzhab yang lain adalah
pernikahan syubhat.
Kedua : Jika kedua
belah pihak melakukan pernikahan syubhat tanpa mengetahui hukumnya maka keduanya
tidak berdosa karena kejahilan, akan tetapi pernikahan tersebut harus segera
dibatalkan (dipisahkan keduanya).
Ketiga : Anak-anak
hasil pernikahan syubhat tersebut (yang disebabkan kejahilan) maka hukum mereka
seperti anak-anak hasil pernikahan yang sah. (Lihat Fatawaa Al-Lajnah
Ad-Daaimah 21/70-71 no 2195 tentang hukum anak-anak hasil pernikahan antara
seorang lelaki dengan saudari sepersusuannya)
Karenanya wajib bagi
sang ayah untuk menafkahi mereka, dan anak-anak tetap dinisbahkan kepada sang ayah,
serta berlaku hukum waris antara sang ayah dan mereka.
Ketiga : Jika
ternyata kedua belah pihak mengetahui kebatilan pernikahannya dan tetap nekat
untuk menikah maka keduanya dianggap telah berzina dan melakukan dosa besar,
bahkan harus ditegakan hukum had atas keduanya karena telah melakukan
perzinaan. Dan jika ternyata pernikahan tersebut membuahkan anak maka sang anak
dinisbahkan kepada ibunya, dan tidak boleh dinisbahkan kepada ayahnya karena
merupakan anak zina.
Jika tatkala terjadi
pernikahan, sang wanita mengetahui kebatilan pernikahan tersebut sementara sang
lelaki tidak mengetahuinya maka yang dianggap telah berzina adalah sang wanita,
dan anak hasil pernikahan tersebut tetap dinisbahkan kepada sang lelaki karena
ia tidak mengetahui hukumnya. (lihat Fatwa Al-Lajnah Ad-Daaimah 20/387 no 3408)
Keempat : Jika
pernikahan tersebut memungkinkan untuk dilanjutkan dengan memenuhi persyaratan
yang kurang, seperti :
- Pernikahan tanpa
wali, maka boleh melakukan akad pernikahan baru dengan persetujuan wali sang
wanita.
Dan boleh langsung
bagi mereka berdua untuk melakukan akad pernikahan yang baru meskipun masih
dalam masa idah, karena idahnya adalah idah dia sendiri. Hal ini sebagaimana
seseorang yang menceraikan istrinya talak pertama ataupun talak kedua, maka ia
boleh langsung kembali kepada istrinya karena idahnya adalah dari air maninya
sendiri.
Akad yang baru
tentunya dengan persyaratan yang baru dan mahar yang baru.
- Pernikahan dengan
seorang yang masih di masa iddahnya, maka boleh melakukan akad kembali setelah
selesai masa iddahnya
- Jika karena
pernikahan Syigoor, maka masing-masing memperbaharui akad nikahnya, tanpa harus
cerai, dan dengan mahar yang baru serta persetujuan wali masing-masing wanita
tanpa persyaratan syigor (lihat Majmuu Fataawa Syaikh Bin Baaz 20/283-284 no
148 tentang anak-anak hasil pernikahan syigoor)
Kelima : Jika
pernikahan tersebut tidak mungkin untuk dilanjutkan, maka tidak boleh
dilanjutkan kembali, misalnya :
- Ternyata sang
wanita yang ia nikahi adalah saudara sepersusuannya
- Ternyata sang
wanita yang dinikahinya pernah dinikahi oleh ayahnya
Kota Nabi -shallallahu
'alaihi wa sallam-, 21-04-1433 H / 14 Maret 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel sejenis :
Anak
Syubhat dari Pernikahan Syubhat
https://konsultasisyariah.com/21476-anak-syubhat-dari-pernikahan-syubhat.html
https://konsultasisyariah.com/21476-anak-syubhat-dari-pernikahan-syubhat.html
Khulu’ tidak jatuh tanpa
dijatuhkan oleh suami
Khulu’ hanya jatuh jika suami menjatuhkannya dengan
mengucapkan lafadz khulu’ atau yang semakna dengannya. Tanpa dijatuhkan dengan
lafadz, maka khulu’ tidak jatuh. Ini pendapat yang rajih. Contohnya seorang
suami mengatakan: “saya mengkhulu’ kamu dengan tebusan itu”.
Ibnu Qudamah rahimahullah menegaskannya berdasarkan
alasan berikut.
Khulu’ adalah tindakan terkait dengan kepentingan
biologis, sehingga tidak sah tanpa dilafadzkan oleh suami, seperti halnya
pernikahan dan talak.
Mengambil harta yang diberikan istri adalah semata
menggenggam tebusan. Ini tidak berkedudukan mewakili jatuhnya khulu’.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu Abbas tentang
permintaan khulu Istri Tsabit bin Qais. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata kepada Tsabit bin Qais: “Nabi shallallahu ‘alihi wasallam
memerintahkan Tsabit untuk memisahkannya, maka dia pun memisahkannya.”(HR.
Bukhari)
Dalam riwayat lainnya dari Imam Bukhari dengan
lafadz: “Terimalah kebun itu dan talaklah dia”
Riwayat-riwayat diatas menunjukkan bahwa lafadz suami
menjatuhkan khulu’ adalah syarat jatuhnya khulu’. Wallahu a’lam.
Pembahasan Kesembilan: Tentang Hukum suami menanggapi
permintaan khulu’ istri
Jika seeorang istri meminta khulu’ dengan alasan yang
dibolehkan secara syar’i, tentang hal ini para ulama berbeda pendapat tentang
hukum suami menanggapi permintaan khulu’ istri. Sebagaian ulama mengatakan
hukumnya wajib berdasarkan yang nampak dari perintah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam kepada Tsabit bin Qais (hadits diatas –ed) dan ada yang
berpendapat hukumnya tidak wajib, dengan alasan perintah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam kepada Tsabit bin Qais adalah arahan semata.
Wallahu a’lam pendapat yang mengatakan wajib lebih
kuat. Alasannya, inilah yang nampak dari perintah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam kepada Tsabit bin Qais. Disamping itu, kebersamaan wanita itu
bersama suaminya akan bermudharat terhadapnya, sedangkan mencegah mudharat
serta meniadakannya dari seorang muslimah wajib. Pendapat ini dirajihkan oleh
al-Imam ash-Shan’ani dan Ibnu Utsaimin. Berdasarkan hal ini, hakim berwenang
memaksa suami agar menerima khulu istrinya jika dia (suami) enggan.
Berkata asy-Syaikh Al-Allaamah Muhammad bin Ibrahim
Alu Syaikh Rahimahullah: ”Dan pendapat yang lain: bolehnya (seorang hakim)
mengharuskan seorang suami untuk menerima khulu’ dengan kondisi tidak
memungkinkannya lagi untuk bersatu antara suami dan istri sesuai dengan
ijtihadnya seorang hakim”. (Taudhihul ahkam min Buluughil Maraam Syaikh
Abdullah Bin Abdurrahman Al-Bassam jilid: 5/474).
Beda khulu dengan
gugat cerai
Istilah
menggugat cerai ini seringkali keliru dengan istilah khulu’ dengan
perceraian biasa. Lafadz khulu’ memang sering diterjemahkan dengan istilah “menggugat
cerai”,namunsangat berbeda dengan kasus isteri minta cerai lalu
suami menceraikannya.
Bedanya sangat besar antara
keduanya. Kalau yang terjadi isteri minta cerai lalu suami
menceraikannya
,maka kasusnya adalah kasus cerai dan
bukan kasus khulu’. Sedangkan dalam kasus khulu’, suami tidak
menjatuhkan cerai, tetapi pernikahan itu dibatalkan oleh pengadilan
berdasarkan ‘gugatan’ pihak isteri. Tentunya pihak pengadilan agama tidak boleh
main gugurkan sebuah pernikahan kecuali setelah beragam upaya untuk merujukkan
atau paling parah adalah meminta pihak suami untuk menceraikan isterinya.
Dalam kasus khulu’,
istilah yang digunakan adalah fasakh. Dan untuk itu pihak isteri
diwajibkan mengembalikan nafkah-nafkah yang pernah diberikan. Ilustrasi
sederhananya, khulu’ itu ibarat seseorang memakan
makanan lalu dia memuntahkan kembali
makanan yang sudah dimakannya itu. Konsekuensi lainnya jauh lebih berat lagi, yaitu seorang
wanita yang mengkhulu’
suaminya
lalu khulu‘-nya itu diresmikan pengadilan agama, maka untuk selama-lamanya
dia tidak halal lagi bagi mantan suaminya. Lebih kejam dari sekedar talak tiga,
yang masih mungkin kembali lagi asalkan wanita itu
sempat menika dulu dengan laki-laki
lain dan kembali kepada suami pertamanya.
Dalam kasus khulu’,
pasangan itu selama masih di dunia ini bahkan sampai di akhirat tidak akan bisa
kembali lagi, selama-lamanya. Sebab sudah di’muntah’kan. Nah, tolong periksa ulang ke pihak pengadilan
agama, sebenarnya yang terjadi antara mereka berdua
itu khulu’ ataukah cerai biasa? Kalau ternyata hanya
kasus cerai biasa, maka masa iddahnya harus tiga kali quru’. Tidak
boleh hanya sekali quru’ saja. Sebaliknya, kalau kasusnya memang benar-benar khulu’ secara syar’i, bukan
salah istilah, maka dalam hal ini masih ada perbedaan pendapat tentang lama
masa iddahnya.
Dan juga menjadi bahan
perbedaan pandangan di kalangan ulama di masa lalu. Dalam hal ini ada dua kubu
pendapat yang berbeda, yaitu antara jumhur ulama
(mayoritas) dengan pendapat kalangan Al-Hanabilah (mazhab imam Ahmad
bin Hanbal).
1. Masa Iddah Khulu’: 3
Kali Haidh
Mayoritas ulama selain
Al-Hanabilah cenderung menyamakan antara khulu’ dengan talak,
sehingga masa ‘iddah wanita yang mengkhulu’ suaminya 3 kali masa quru’.
Menurut jumhur ulama, quru’
adalah masa suci dari haidh. Sedangkan sebagian ulama lain mengatakan bahwa quru’ adalah
masa haidh itu sendiri.
Dengan demikian, dalam
masalah berapa lama masa quru’ itu sendiri masih ada perbedaan waktu.
2. Masa Iddah Khulu’: 1
Kali Haidh
Sedangkan pendapat
Al-Hanabilah mengatakan bahwa khulu’ itu adalah fasakh, bukan talak.
Pendapat ini juga didukung sebelumnya oleh fatwa Khalifah Utsman bin Affan,
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ridhwanullahi ‘alaihim ajmai’in.
Dan masa ‘iddah buat wanita
yang mengkhulu’ suaminya adalah 1 kali mendapat haidh, bukan tiga kali haidh.
Hal itu juga ditegaskan di dalam riwayat dari sabda Rasulullah SAW, di
antaranya adalah hadits-hadits berikut ini.
ابن عباس:(أن امرأة ثابت بن قيس اختلعت منه فجعل
النبي صلى الله عليه وسلم عدتها حيضة ) رواه أبو داود والترمذي
Dari Ibnu Abbas ra bahwa
isteri Tsabit bin Qais mengkhulu’ suaminya, maka Rasulullah SAW menjadikan masa
‘iddahnya sekali mendapat haidh. (HR Abu Daud dan Tirimizi, serta
dishahihkan oleh Al-Albani)
Namun salah satu perawi
hadits ini yaitu Al-Imam At-Tirmizy justru mengatakan bahwa kedudukan atau
status hadits ini hasan gharib.
وعن الربيع بنت معوذ أنها اختلعت على عهد رسول
الله صلى الله عليه وسلم فأمرها النبي صلى الله عليه وسلم أو أمرت أن تعتد بحيضة. رواه
الترمذي وابن ماجة
Dari Ar-rabi’ binti Muawwaz
bahwa dirinya melakukan khulu’ di masa Rasulullah SAW. Beliau
memerintahkan untuk beriddah selama satu kali haidh. (HR Tirimizy dan Ibnu
Majah serta dishahihkan oleh Al-Albani)
Ibnu Umar berkata, "Masa
iddah buat seorang wanita yang mengkhulu’ suaminya adalah satu kali
haidh." (HR Abu Daud)
Sehingga kalau pun seorang
wanita yang mengkhulu’ suaminya itu baru sekali mendapat haidh, lantas menerima
pinangan dari orang lain, tidak bisa disalahkan. Karena meski bukan pendapat
jumhur ulama, namun ada qaul yang mengatakan demikian, sehingga sudah cukup
untuk dijadikan landasan dalam mengambil pendapat hukum.
Wallahu a’lam bishshawab,
wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc [http://www.rumahfiqih.com]
Mahar atau dalam istilah kita dikenal sebagai maskawin merupakan
suatu pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada istrinya ketika aqad
nikah. Adapun dalil-dalil yang menunjukan kewajiban tersebut, antara lain; A. Firman
Alloh SWT: “Berikanlah mahar kepada wanita yang kamu nikahi
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (an-Nisaa: 4) B. Firman
Alloh SWT: “Maka isteri-isteri yang telah kamu campuri di
antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna sebagai suatu
kewajiban” (an-Nisaa: 24) C. Sabda Rasulullah SAWkepada orang yang akan menikah: “Carilah olehmu (untuk
menjadi mahar) walaupun hanya cincin besi” (Nailul Authar 6/170)
Sedangkan hikmah disyariatkannya pemberian mahar dalam pernikahan
Adalah untuk menunjukkan kesakralan aqad pernikahan, dan menghormati kedudukan
wanita dan pihak keluarganya di samping itu mahar juga bisa menjadi pertanda
atas kesungguhan niat baik pihak laki-laki untuk membangun mahligai rumah
tangga. Mahar ini sebagaimana dikemukakan di atas hanya diwajibakan kepada
pihak laki-laki, karena hal tersebut sesuai dengan titik awal pensyariatan
dalam islam bahwa perempuan tidak dibebani dengan kewajiban memberi nafkah baik
sebagai ibu, anak maupun istri. Akan tetapi pihak laki-lakilah yang diberi
kewajiban tersebut baik itu memberi nafkah maupun mahar. Karena laki-laki lebih
mampu untuk berusaha dan bekerja mencari rizki, sedangkan hal tersebut bukan
lah suatu tanggung jawab yang mudah atau enteng.
Jika yang meminta cerai adalah pihak suami (thalak) maka isteri
tidak bekewajiban untuk mengembalikan mahar tersebut. Sedangkan jika pihak
istri yang meminta cerai (khulu’) maka ia wajib mengembalikan pemberian suami
tersebut kepadanya. Hal itu berdasarkan hadits di bawah ini Dari Ibnu ‘Abbas
RA: “Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah SAW,
ia berkata: “wahai Rasulullah, aku tidak mencelanya (Tsabit) dalam hal
akhlaknya maupun agamanya, akan tetapi aku benci kekufuran (karena tidak mampu
menunaikan kewajibannya) dalam Islam” Maka Rasulullah SAW berkata padanya:
“Apakah kamu mengembalikan pada suamimu kebunnya? Wanita itu menjawab: ia. Maka
Rasulullah SAW berkata kepada Tsabit: “terimalah kebun tersebut dan ceraikanlah
ia 1 kali talak” (HR Bukhori, Nasa’y dan Ibnu Majah. Nailul
Authar 6/246)
Reformasi
Peradilan Agama Pasca-Orde Baru
hasil penelitian Cate Sumner dan Tim
Lindsey, dua peneliti senior Australia, ahli studi Indonesia dan Asia—
membuktikan bahwa keberadaan peradilan agama—meski eksklusif Islam, tetapi—bukan ajang Islamisasi dan pelembagaan konservatisme hukum Islam. Setidaknya, ada dua alasan. Pertama, rujukan yang digunakan dalam setiap putusan Pengadilan Agama bukan teks langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits atau jurisprudensi klasik Islam dari Timur Tengah, melainkan hukum nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagimana sistem peradilan yang lain, yang biasa disebut Fikih Indonesia atau Fikih Madzhab Negara.
membuktikan bahwa keberadaan peradilan agama—meski eksklusif Islam, tetapi—bukan ajang Islamisasi dan pelembagaan konservatisme hukum Islam. Setidaknya, ada dua alasan. Pertama, rujukan yang digunakan dalam setiap putusan Pengadilan Agama bukan teks langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits atau jurisprudensi klasik Islam dari Timur Tengah, melainkan hukum nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagimana sistem peradilan yang lain, yang biasa disebut Fikih Indonesia atau Fikih Madzhab Negara.
[Hukum cerai gugat
merupakan pengaruh dari hukum barat yang mengenal adanya "broken
marriage" karena barat yang Kristen tidak mengenal adanya perceraian. "Hukum broken marriage diadopsi di
Indonesia, padahal di hukum Islam tidak mengenal adanya hukum ini,"
ujarnya. Diseluruh dunia Islam tidak dikenal adanya cerai
gugat sehingga Indonesia satu-satunya negara yang menerapkan cerai gugat.
Dosen Fakultas Syariah Unisba Mohamad
Djaenudin saat meraih doktor di Pascasarjana Unisba, Selasa 15 Maret 2016]
Pengadilan Agama juga sering melakukan
terobosan putusan yang berbeda dari fikih yang umum berlaku di dunia Islam,
misalnya ketetapannya perempuan sebagai hakim, perempuan menjadi saksi, hak
cerai bagi perempuan, limitasi dan pelarangan poligami bagi laki-laki yang tidak
memenuhi persyaratan, pembagian warisan laki-laki dan perempuan secara adil,
dan sebagainya. Pada saat pihak lain masih berdebat, Pengadilan Agama telah
mewujudkannya melalui putusan-putusan progresifnya. Putusan progresif ini bisa
menjadi jurisprudensi hukum Islam yang berlaku di masa mendatang.
http://pa-marabahan.go.id/index.php?content=mod_berita&id=133
http://pa-marabahan.go.id/index.php?content=mod_berita&id=133
Dr. Saiful
Bahri, M.A.[1]
Pendahuluan
Tak sedikit orang mengklaim dirinya sebagai pembela
kaum perempuan, atau sebagai pejuang penyetaraan gender. Sebagian lain meyakini
bahwa pembelaan terhadap kaum perempuan merupakan hal yang baru yang belum
pernah dilakukan oleh siapapun. Praduga dan perasaan seperti inilah yang
kemudian menggerakkan sekelompok orang untuk –dengan berani- mengritisi
nash-nash Al-Quran dan hadis, karena keduanya dianggap belum memberikan porsi
yang cukup dalam memberikan pembelaan terhadap kaum perempuan. Di antara
ayat-ayat yang dianggap dan diklaim misoginis itu adalah:
Artinya, ”dan anak laki-laki tidaklah seperti anak
perempuan…” (QS. Ali Imran [3]: 36)
Ayat di atas dianggap mengandung makna perlakuan
diskriminatif terhadap perempuan, padahal kata “tidaklah seperti” (ليس كـ) berarti umum. Perbedaan
yang dimaksud bisa dari struktur fisik, fungsi-fungsi yang diperankan, serta
fitrah dan tabiatnya sudah tentu tidak bisa sama persis. Maka, perbedaan antara
keduanya adalah suatu keniscayaan. Namun, perbedaan di atas tak menandakan
bahwa derajat perempuan di bawah kaum laki-laki. Ada banyak kesamaan lainnya
dalam hak dan kewajiban. Seperti yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
Artinya, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki
dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 71)
Maka, menjadi hal yang sangat prinsipil untuk
dikatakan bahwa antara perempuan dan laki-laki terdapat banyak perbedaan
sebagaimana juga tak sedikit persamaan di antara keduanya. Keduanya tak mungkin
disamakan secara mutlak sebagaimana tak juga bisa selalu dibedakan dalam segala
hal. Keseimbangan dalam hal persamaan dan perbedaan inilah yang menempatkan
perempuan di bawah naungan syariat Islam menjadi mulia dan bermartabat.
Sebelumnya, perempuan tak pernah mendapatkan hak warisnya. Islam datang untuk
mengatur hal-hal ini, termasuk memberikannya hak waris yang merupakan sebuah
aturan menyeluruh. Perempuan juga mendapatkan hak belajar dan menuntut ilmu,
hak keluar rumah dan beraktivitas, hak meriwayatkan hadits dan pergi ke medan
peperangan sebagai paramedis maupun pejuang, sebagaimana ia mendapatkan
jatahnya dari harta rampasan perang (ghanimah)([2]).
Islam bahkan tak pernah melarangnya untuk berpenghasilan dan bekerja.
Sebagian orang menjadikan kewajiban shalat jumat bagi
laki-laki -saja- tidak termasuk bagi perempuan, sebagai bentuk diskriminasi
lain. Padahal tidak diwajibkannya perempuan Shalat Jumat adalah sebuah bentuk
keringanan (rukhshah) yang diberikan kepada perempuan. Namun, bukan
berarti Islam melarang perempuan untuk mendatangi Shalat Jumat. Karena ada
sebuah kaidah “man shahha zhuhruhû shahhat jum’atuhû” (Barang siapa yang
shalat zhuhurnya sah, maka sah pula Shalat Jum’atnya)([3]).
Istilah dan Sejarah Gender
Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan
bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.([4])
Istilah gender berasal dari “Middle English”, gendre, yang
diambil dari era penaklukan Norman pada zaman Perancis Kuno. Kata
‘gender’ berasal dari bahasa Latin, genus, berarti tipe atau jenis.
Kedua istilah gendre dan genus, memiliki
arti tipe, jenis, dan kelompok. Gender adalah himpunan karakteristik yang
terlihat membedakan laki-laki dan perempuan. Kata Gender dapat diperpanjang
dari sekedar kata “seks” sampai dengan “peran sosial atau identitas gender.”
Kata, ‘gender’ memiliki lebih dari satu definisi yang valid. Dalam pidato umum,
biasa digunakan bergantian dengan ‘seks’ untuk menunjukkan kondisi fisik
sebagai laki-laki atau perempuan. Dalam ilmu-ilmu sosial, kata ‘gender’ secara
khusus mengacu pada konstruksi sosial dan perbedaan kelembagaan, seperti
perbedaan peran gender([5])([6]).
Hingga saat ini belum ada kesepakatan dari berbagai kalangan
untuk mendefinisikan gender. Maka sebagai sesuatu yang baru, batasan-batasan
gender menjadi sangat debatable. Gender bisa merupakan peran-peran
yang diakibatkan dari jenis kelamin seseorang (laki-laki atau perempuan).Dan
tak bisa dipungkiri, peran-peran ini tentu memiliki sudut pandang dan
implementasi yang berbeda dari suatu komunitas masyarakat dengan masyarakat
yang lainnya. Biasanya merujuk pada kepatutan dan etika sosial yang berlaku di
sebuah masyarakat.
Adapun di Indonesia, sejarah gender tak bisa
dilepaskan dari kisah emansipasi, pembebasan perempuan dari keterkungkungan dan
perjuangan meraih hak yang adil dan sejajar dengan laki-laki. Secara personal,
wacana emansipasi mencuat dengan diterbitkannya surat-surat pribadi RA. Kartini
dengan istri Gubernur Hindia Belanda di Indonesia, Abendanon antara tahun
1899-1904 M. Terbitan dalam Bahasa Belanda itu diberi judul ”Door Duisternis
tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) dicetak sebanyak lima kali sejak
tahun 1911 M. Dan pada tahun 1912 M Gubernur Van Deventer mendirikan “Yayasan
Kartini”([7]).
Geliat emansipasi perempuan ini kemudian dilanjutkan
secara berkelompok dan dalam Aisyiyah Muhammadiyah (1917 M), Fatayat NU (1950
M), dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) (1954 M) sebuah under bow PKI.
Gerakan emansipasi perempuan di Indonesia mengalami
perubahan orientasi dari sekedar menuntut hak pendidikan, kesehatan dan
kehidupan yang laik, menjadi sebuah arus feminis. Yaitu gerakan yang menuntut
penyetaraan dan persamaan mutlak antara kaum laki-laki dan perempuan. Gerakan ini pun berubah menjadi sangat liberal dengan
berkembangnya aliran liberal di Indonesia, terutama pasca euforia kebebasan
pasca reformasi 1998.
Sasaran Penyetaraan Gender
Wacana
Pengarusutamaan Gender (PUG) yang menjelma menjadi perjuangan membela
kesetaraan gender di berbagai sektor kehidupan, tidaklah muncul sebagai sebuah
gerakan independen. Ia juga tidak bermula dari kesadaran perempuan atau dari
para pembela hak-hakperempuan. Tapi hal tersebut lebih merupakan desain global
yang memiliki target jangka panjang. Di antaranya yang paling mendasar adalah
desakralisasi nilai-nilai yang ditanamkan dan dipegang dalam pernikahan yang
dalam agama Islam dikenal sebagai ”mîtsâqan ghalîdhan”. Maka
wacana-wacana tersebut kemudian diperjuangkan sampai memasuki ranah konstitusi
di tingkat internasional. Sebagai sebuah lembaga representasi perkumpulan
paling bergengsi di dunia, PBB pun akhirnya takluk di tangan para pejuang
kesetaraan gender.
Komitmen PBB untuk menjamin
hak-hak perempuan secara khusus ditunjukkan ketika Majelis Umum PBB menyetujui
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) yang
kemudian dikenal dengan CEDAW pada tanggal 18 Desember 1979. Konvensi tersebut
memuat tiga puluh poin materi yang terbagi menjadi enam pokok tema; mengatur
segala hal perbedaan perlakuan yang berkaitan dengan perempuan, langkah-langkah
apa saja untuk menghilangkan dan menghapuskan diskriminasi tersebut, kemudian
membicarakan hak-hak pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, perilaku seksual,
hak bekerja, perlindungan dalam rumah tangga, perkawinan. Selain menjelaskan
tatacara merealisasikan kesepakatan ini, diatur juga bentuk pengawasan bersama
baik dari pemerintah maupun NGO untuk berkomitmen menghapuskan segala bentuk
perbedaan perlakuan dan diskriminasi terhadap perempuan([8]).
Pemerintah Indonesia pun telah
menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 29 Juli 1980 pada saat mengikuti
Konferensi Perempuan se-Dunia II di Kopenhagen. Konvensi tersebut kemudian
diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau
lebih dikenal dengan Konvensi Perempuan pada tanggal 24 Juli 1984. Di samping
meratifikasi Konvensi Perempuan, Indonesia bersama 188 negara lainnya telah
menyepakati Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing (Beijing Declaration and
Platform for Action/ BPFA) yang merupakan hasil Konferensi Perempuan
se-Dunia IV yang diselenggarakan di Beijing pada tahun 1995. BPFA merupakan
landasan operasional yang disepakati bagi pelaksanaan Konvensi Perempuan yang
bertema kesetaraan, pembangunan, dan perdamaian (equality, development, and
peace). Dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang
dicanangkan PBB dalam Millenium Summit yang diselenggarakan
pada bulan September 2000, juga tak luput dari isu dan tekanan kesetaraan
gender sebagaimana sebelum-sebelumnya.
Dengan isu gender, terselubung
proteksi terhadap perilaku penyimpangan seksual, dengan dalih kebebasan
melakukan aktivitas seksual. Perilaku menyimpang tersebut kini sudah diakui
di PBB dengan tajuk besar kebebasan orientasi seksual. Dampaknya, sebuah
pernikahan tak lagi dibatasi hanya terjadi antara dua jenis manusia, tapi
memungkinkan untuk dilakukan dengan sesama jenis. Kriminalisasi terhadap
perilaku seksual seperti ini (homoseks dan lesbian) dianggap sebagai
pengekangan dan pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia ([9]).
Tema-Tema yang Ditarget Para
Pejuang Gender
1. Asal kejadian
manusia
Dalam persoalan manusia pertama
yang diciptakan Allah pertama kali, para pejuang gender beranggapan bahwa Adam
‘alaihissalam bukanlah manusia pertama tersebut. Penafsiran ayat
Al-Quran yang mengarah pada hal tersebut dianggap sangat diskriminatif. Maka,
klaim yang disosialisasikan adalah bahwa “nafsun wahidah” lah yang
pertama kali diciptakan oleh Allah, dan bukan laki-laki (Adam). Menurut Musda
Mulia pemahaman distortif dan sarat dengan bias gender ini muncul dari
penafsiran literal terhadap ayat Al-Quran. Dan sayangnya pemahaman seperti ini
justru dianut oleh kebanyakan kaum muslimin([10]). Sedangkan jumhur ulama berpendapat
bahwa yang dimaksud ”nafsun wahidah” dalam awal surat An-Nisa’ adalah
Adam alaihissalam. Sebagian kecil saja dari para ulama yang
berpendapat selain itu. Di antaranya adalah Al-Qadhi Abdul Jabbar al-Mu’tazily,
”Jika Allah mampu menciptakan Adam dari debu/tanah, maka tentu Allah sanggup
mencipta Hawa juga dari tanah. Jika demikian, lalu apa faidah penciptaan Hawa
dari tulang rusuk Adam”([11]). Sedangkan Abu Muslim al-Asfahany (254-322 H)
mengatakan, ”lafazh ‘nafs’ di dalam Al-Quran diulang sebanyak 295 kali. Dan
tidak ada yang mengisyaratkan bahwa yang dimaksud adalah Adam ‘alaihissalam.
Demikian juga kata ”nafsun wahidah” yang diulang sebanyak lima kali. Tak
ada satupun yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud adalah Adam ‘alaihissalam”([12]).
Para pejuang gender ini merasa
makin kuat ketika mendapatkan dukungan dari Muhammad Syahrur yang sangat
terpengaruh teori evolusi Darwin. Menurutnya bahwa Allah menciptakan manusia
setidaknya melalui dua tahap. Pertama, Allah ciptakan semua unsur
jantan (dzakar) dan betina (untsa) dari semua makhluk-Nya, yang
berakal maupun yang tidak. Pada tahap kedua, Allah membedakan antara jenis
manusia dan yang lainnya ketika meniupkan ruh. Kemudian Allah menegaskan kemuliaan
manusia tanpa memandang perbedaan jenis kelamin (QS. Al-Isra’: 70)([13]).
Adapun kebanyakan pakar tafsir
dan ulama menyepakati bahwa Adam lah manusia pertama yang diciptakan Allah,
seperti penuturan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan 31. Kemudian
penegasan bahwa perumpamaan Isa dan Adam itu sama-sama merupakan mukjizat dan
tanda kekuasaan Allah([14]). Pendapat ini juga didukung dalil-dalil hadis yang kuat
yang menunjukkan bahwa Adam adalah manusia pertama ciptaan Allah yang akan
mendapat pengaduan anak-anak Adam ketika hari kiamat([15]).
Adapun penciptaan Hawa, di dalam
Al-Quran secara implisit disebut sebanyak tiga kali dengan redaksi ”khalaqa
minhâ” atau “ja’ala minhâ”([16]). Sedangkan secara eksplisit hadits Nabi Muhammad SAW
menyebutkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki([17]).
Pilihan penulis terhadap pendapat
jumhur bukan hanya karena banyak yang berpendapat demikian. Tapi karena
pendapat ini argumentatif dan didukung dalil yang kuat. Dan permasalahan
penciptaan ini tidak berhubungan dengan kualitas manusia. Karena kualitas
manusia tidaklah ditentukan oleh jenis kelaminnya juga oleh urutan penciptaannya.
Nabi Muhammad SAW, yang diciptakan Allah jauh setelah Adam dan nabi-nabi
utusan-Nya bahkan menjadi utusan pamungkas dan nabi akhir zaman, justru
ditahbiskan dan dinobatkan sebagai manusia terbaik dan pimpinan para nabi dan
rasul.
2. Tema perwalian dan
mahar dalam nikah
Adanya perwalian dan mahar dalam
pernikahan, menurut para pejuang gender dianggap sebagai bentuk diskriminasi
lain yang harus diamandemen aturannya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pasal 30 disebutkan, “calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon
mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati kedua belah pihak”.
Musdah Mulia mengusulkan amandemen pasal ini dalam Counter Legal
Draft (CLD), pasal 16 dengan menawarkan, ”(1) Calon
suami dan calon istri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya sesuai
dengan kebiasaan (budaya) setempat. (2) Jumlah, bentuk dan jenis mahar
disepakati oleh kedua belah pihak sesuai dengan kemampuan pemberi”([18]). Hingga saat ini usulan CLD ini masih belum diterima,
tetapi jika suatu saat RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) disahkan tidak
mustahil butir-butir aneh tersebut termasuk usulan-usulan lainnya akan kembali
diperjuangkan.
Mahar yang merupakan salah satu
syarat nikah, maka hukum memberikan mahar adalah wajib, baik tunai ataupun
ditunda. Mahar bukanlah sebuah simbol hegemoni atau “harga” seorang perempuan.
Justru Islam menjadikannya simbol penghormatan dan pemuliaan. Maka mahar adalah
kepemilikan penuh bagi istri yang tak boleh diotak-atik oleh suami atau pihak
lainnya.
Selain masalah mahar, mereka juga
banyak menyebut unsur-unsur diskriminatif lain dalam ajaran agama Islam.
Masalah perwalian misalnya, juga hak menolak atau meminta hubungan badan (jima’)
atau menikmatinya sama seperti suaminya (laki-laki). Maka hak aborsi juga perlu
diberikan kepada perempuan, bahkan kesediaan untuk hamil atau menundanya atau
menolaknya adalah hak setiap perempuan. Sebagaimana hak untuk keluar rumah dan
beraktivitas serta mendapatkan pendidikan yang lain.
Tentunya pembahasan masalah
mahar, perwalian juga aborsi (pengguguran janin) tidaklah bisa disamakan
dengan masalah hak perempuan dalam pendidikan, ekonomi dan aktivitas publik.
Terlebih masalah hubungan badan yang merupakan hak keduanya secara sama, yang
oleh Rasulullah SAW ditegaskan ”pada kemaluan kalian terdapat shadaqah”([19]). Karena Rasul menambahkannya bahwa jika dilampiaskan
pada yang haram maka akan berdosa. Hasrat seksual sengaja Allah ciptakan pada
manusia sekaligus diberikan jalan pemenuhannya secara halal dan aman.
Sedangkan, wacana kesetaraan gender punya kepentingan untuk melegalkan
kebebasan seksual tanpa batas.
Poin lain dalam masalah sensitif
ini adalah tentang masalah nusyuz yang sering disalahartikan
dan tak jarang justru dituduhkan sebagai dasar normatif KDRT (kekerasan
dalam rumah tangga) dalam Islam. Menurut bahasa, nusyuz diambil
dari suatu dataran tinggi di bumi. Maka bisa diartikan nusyuz terjadi
bila salah satu pihak dari masing-masing suami maupun istri merasa lebih tinggi
dari yang lainnya. Nusyuz disebut secara spesifik sebanyak dua kali, yaitu
dalam QS. An-Nisa: 34-35 bila terjadi dari pihak istri (perempuan) dan di dalam
An-Nisa’: 128, jika terjadi dari pihak suami (laki-laki).
Ini adalah solusi penawaran dalam
sebuah masalah yang terjadi di tengah keluarga. Jika permasalahan berat atau
kesalahan dari pihak perempuan maka sebagai pemimpin rumah tangga laki-laki
disarankan untuk menyeselaikannya dengan santun, melalui tiga tahap: menasehati
dan berdialog, jika tak mempan maka diambil langkah berikutnya yaitu “pisah
ranjang”. Adapun langkah ketiga “memukul” terdapat banyak aturan, di antaranya:
tidak menyakiti dan tidak memukul wajah serta tidak menghinakan. Imam Malik
bahkan menyaratkan boleh memukulnya dengan sehelai tisyu. Hal tersebut bukan
dimaksudkan sebagai pelampiasan kemarahan atau hukuman tapi untuk mencairkan
suasana dan mengembalikan keakraban serta keharmonisan. Imam al-Hakim dan
al-Baihaqi meriwayatkan hadis Nabi SAW, ”Orang-orang pilihan di antara kalian
takkan pernah memukul –istrinya-”([20]). Nusyuz istri ini tidaklah dikarenakan
semua bentuk kesalahan istri, tapi kesalahan besar yang mengganggu keharmonisan
rumah tangga. Ar-Ragib Al-Asfahany menegaskan, ”bahwa nusyuz terjadi bila
istri merasa tinggi di depan suaminya sehingga berdampak ketidaktaatan, atau
jika hatinya sudah tak berhasrat padanya dan berpaling pada laki-laki lainnya”([21]). Demikian sebaliknya jika tanda-tanda nusyuz ditemukan
seorang perempuan dalam diri suaminya, serta ada masalah disharmonisasi di
tengah biduk rumah tangga, maka cara damai diutamakan untuk ditempuh. Jika
dalam dua kondisi nusyuz di atas tak terelesaikan secara
internal, maka dibolehkan minta mediasi (dari keluarga masing-masing mereka)
untuk ikut menyelesaikan masalah. Dan jika cara ini tak menemui solusi yang
baik, maka berpisah pun diperbolehkan dengan cara yang makruf. Sedang ketiadaan
tahapan-tahapan penyelesaian nusyuz (bagi perempuan)
mengandung hikmah yang sangat arif. Karena, jika perempuan disarankan memukul
tentu rumah tangga akan berubah menjadi ring pertarungan yang tak seimbang.
Dengan hal ini justru perempuan dilindungi dari kekerasan dan pelecehan
martabatnya sebagai manusia yang terhormat.
Tak jarang, sebagian orang
menukil beberapa data perceraian yang diakibatkan oleh KDRT sebagai argumen
untuk mendelegitimasi aturan agama. Mereka mengatakan bahwa perilaku KDRT ini
meningkat bisa jadi karena sandaran aturan normatif yang salah. Padahal, jika
mau jujur orang-orang yang melakukan KDRT tesebut sama sekali tidak memahami
aturan agamanya, bahkan mungkin tidak terbersit bahwa apa yang mereka lakukan
memiliki pembenaran dan dalil. Dengan demikian kesimpulan di atas menjadi
sangat prematur dan merupakan bentuk generalisasi yang tidak argumentatif.
3.
Masalah thalaq (perceraian)
Sebagai tindak lanjut masalah
sebelumnya, kali ini talak atau perceraian diklaim sebagai bentuk lain
perlakuan diskriminatif Islam terhadap perempuan atau bentuk hegemoni lain laki-laki
terhadap perempuan. Karena –menurut mereka- laki-laki dan perempuan tidak
memiliki hak talak yang setara.
Maka menurut para pejuang
penyetaraan gender, sebagai bentuk keadilan yang mutlak adalah jika hak
percerian hanya bisa dilakukan oleh pengadilan. Maka, pelucutan hak talak dari
laki-laki merupakan bunyi keadilan dan kesetaraan gender. Di samping itu mereka
juga menghendaki adanya iddah yang diberlakukan juga bagi
laki-laki. Salah satu pejuang penyetaraan gender, Nawal Sa’dawi
mengatakan, ”Sesungguhnya talak merupakan salah satu solusi untuk
menyelesaikan sebagian masalah rumah tangga. Tapi apakah sebuah keluarga hanya
berisi satu pihak saja yaitu laki-laki? Mengapa penyelesaian masalah justru
merugikan pihak lain?”([22]). Sementara yang lain –Aminah Wadud- memandang bahwa
peraturan ini hanya bersifat temporer, mengingat kondisi saat turun wahyu sangat
tidak memihak perempuan([23]). Maka di zaman saat kesetaraan dijunjung tinggi hal itu
perlu direvisi dan diubah.
Talak adalah salah satu solusi
disharmonisasi dalam rumah tangga, bahkan merupakan solusi terakhir yang
ditempuh jika solusi alternatif lainnya tidak menghasilkan solusi yang
memuaskan kedua pihak yang bertikai. Meskipun hak talak ini aslinya dipegang
laki-laki, tapi diikuti batasan dan aturan yang sangat ketat. Karena ada
kondisi tertentu yang tidak diperbolehkan menjatuhkan talak pada istri,
demikian halnya kewajiban nafkah dan tempat tinggal tidak dengan otomatis
berhenti seketika bagitu talak dijatuhkan pada sang istri. Secara normal dan
umumnya pasangan, laki-laki yang selama ini menafkahi akan menakar-nakar ulang
sebelum menjatuhkan pilihan antara mentalak atau menahannya. Tentu berbeda
kasusnya jika penyikapannya hanya memperturutkan perasaan yang emosional.
Biasanya perempuan lebih emosional dan lebih sering menuntut untuk diulangkan
ke rumah orang tuanya. Bahkan dalam kondisi ia mampu menyumbangkan pemasukan
bagi keluarga sekalipun. Maka pelucutan sepihak seperti di atas adalah bentuk
kezhaliman. Ini belum membicarakan hak asuh anak dan masalah-masalah yang
berkaitan dengan persusuan serta persoalan rujuk, jika terjadi keinginan antar
keduanya untuk memulai membangun kembali mengurai disharmonisasi.
Di samping itu, jika dalam
kondisi perempuan menjadi pihak yang dirugikan jika terpaksa bertahan dalam
keadaan disharmonisasi yang menjeratnya, ia bisa melakukan khulu’ (tuntutan
cerai kepada suaminya).
4. Hijab/Jilbab
Menutup aurat yang menjadi salah
satu tanda iffah dan usaha merealisasikan ketakwaan. Namun,
kewajiban kaum muslimah ini didesakralisasi oleh para slogan perangusutamaan
gender dengan meluaskan wilayah khilafiyah (perbedaan
pendapat) dari yang sudah maklum di kalangan umat Islam; yaitu antara wajah dan
kedua telapak tangan muslimah. Khilafiyah ini diperluas dengan
redefinisi dan pembatasan aurat perempuan (di depan publik dan laki-laki yang
bukan suami atau mahramnya) menjadi lebih luas dari itu; yaitu bukan hanya
sekedar wajah dan dua telapak tangan.
Orang-orang yang sering menyebut
diri mereka kalangan modernis, di antaranya Muhammad Syahrur, meredefinisi ”az-zinah”
yang dikecualikan dalam ayat (ولا يبدين زينتهنّ إلا ما ظهر منها) [QS. Al-Ahzab: 31] terbagi dalam dua hal: yaitu, 1. Az-zinah yang
zhahir dan 2. Az-Zinah yang tersembunyi. Lalu apakah yang
dimaksud zinah di siniyang sesuai dengan ruh dalam ayat QS.
An-Nisa’: 22 dan 23. Setelah membagi jenis-jenis perhiasan/zinah,
Syahrur juga menjelaskan apa yang dimaksud kata ”juyub” dalam Al-Qur’an
yang dianggapnya aurat kubra. Ia lalu mengatakan, ”Jika ada
pertanyaan: bolehkah seorang perempuan membuka auratnya (telanjang) di depan
mahram-mahramnya. Maka saya jawab: boleh, jika tidak mengganggu atau ada
keperluan. Jika ada rasa tak enak maka itu termasuk bagian dari adat,
kepatutatan/aib atau malu. Tapi hal ini tidak ada hubungannya dengan halal dan
haram, karena suami dan ayah termasuk di dalamnya. Jika seorang ayah melihat
anak perempuannya demikian, ia jangan mengatakan: ini haram. Tapi katakanlah
hal tersebut aib!”([24]).
Sementara Muhammad Said
al-Asywamy mencoba mengritisi argumen disyariatkannya jilbab yang menurutnya
secara global bermula dari dua hal: melindungi kaum muslimat yang merdeka dari
pelecehan seksual atau disamakan dengan budak atau pelacur pada saat mereka
hendak menunaikan hajat (buang air). Inilah –menurut Asymawy- maksud yang
sesungguhnya dan bukan untuk mewajibkan pakaian islami sebagaimana banyak
diklaim orang. Apalagi saat ini untuk membedakan identitas seseorang sangat
mudah karena ada kartu identitas, juga karena hampir semua model kamar kecil
(toilet) sekarang berada di dalam rumah atau ruang yang sangat tertutup
(privasi). Dengan demikian perlu peninjauan ulang terhadap klaim kewajiban
jilbab([25]).
Penulis takkan menjawab syubhat
ini, karena kewajiban tentang jilbab sudah demikian jelas sejelas kewajiban
shalat dan zakat. Jika ada perdebatan maka wilayahnya menjadi sangat kecil,
yaitu hanya wajah dan kedua telapak tangan. Jika sebagian muslimah atau banyak
di antara mereka enggan mengenakan pakaian iffah ini maka
tidak menjadi tolok ukur bahwa kewajiban jilbab kemudian tereduksi dan
mengalami perubahan hukum atau dikatakan hukumnya belum final.
5. Waris
Satu-satunya wacana klasik yang diperdebatkan
dalam masalah waris dalam frame kesetaraan gender adalah bahwa
dalam masalah perwarisan seorang perempuan –hanya- mendapatkan jatah setengah
bagian laki-laki. Maka ini merupakan bentuk perlakuan diskriminatif yang lain.
Padahal dalam agama Islam hukum
waris adalah sebuah sistem komprehensif dan tidak boleh dipahami dan
dilaksanakan secara parsial saja. Aturan-aturan tersebut dikemas dalam
al-Qur’an yang kemudian dipelajari perkembangan kasus-kasusnya yang oleh para
ulama kemudian dinamakan dengan sebuat disiplin ilmu ”Fara’idh”. Para
pejuang gender tersebut hendak menggeneralisasi kondisi perwarisan, atau
dimaksudkan untuk memblow up, beberapa kondisi yang sangat sedikit saja
sehingga mendukung tujuan mereka serta menempatkan Islam dalam posisi tembak
dan tak ubahnya seperti perundang-undangan yang bisa direvisi dan diamandemen.
Secara umum Islam mengatur hak
perempuan dalam waris sebagai berikut, jika diperhatikan justru yang terjadi
sebaliknya, perempuan menjadi sangat dimuliakan dan dijunjung derajat dan
martabatnya.
Hanya ada 4 kondisi saat
perempuan menerima setengah bagian laki-laki
Ada 8 kondisi saat perempuan
menerima bagian sama sempurna seperti laki-laki
Ada 10 kondisi saat perempuan
menerima bagian lebih banyak dari laki-laki
Bahkan ada beberapa kondisi saat
itu perempuan menerima bagian, sementara laki-laki tidak mendapatkannya([26]).
6. Poligami
Adapun poligami yang dihalalkan
Allah sudah tentu menjadi musuh utama para pejuang gender. Karena selain
dianggap perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, poligami dianggap tidak
manusiawi dan merendahkan martabat perempuan. Tak heran, jika di mana-mana
poligami disosialisasikan untuk diperangi, karena merupakan bentuk perbudakan
dan perlakuan tidak adil yang dialami perempuan. Juga karena perempuan tidak
diperbolehkan memiliki pasangan lebih dari satu.
“Termasuk pula dalam
pengertian ”mâ anzalallah” adalah hukum poligami. Dalam banyak pandangan
di dalam masyarakat hukum poligami bukan sekedar dibolehkan, tetapi juga sunnah
karena pernah dipraktekkan oleh Nabi SAW” ([27]).
Gerakan anti poligami ini sangat
mudah untuk digulirkan. Dengan memanfaatkan sisi emosional perempuan yang
memang sulit menerima untuk diduakan, maka tak perlu berpikir panjang
seolah-olah poligami adalah dilarang dan dimusuhi bersama. Di saat yang sama
para pejuang gender tersebut ingin melegalkan dan melindungi praktek
perselingkuhan dan perzinahan, termasuk perilaku seksual yang sangat bebas
tanpa batasan tertentu karena dipandang sebagai wilayah yang sangat privat.
Padahal poligami adalah sebuah
solusi sebagaimana perceraian yang diperbolehkan dalam Islam. Adanya syarat
keadilan yang tak bisa ditawar merupakan bentuk pengetatan dan rem keberanian
seorang laki-laki sebelum melangkah mengambil keputusan untuk menikah lagi.
Nabi Muhammad SAW sendiri tetap bertahan monogami selama kurang lebih 27 tahun.
Sulitnya kondisi perceraian tak menyebabkan seseorang harus mengatakan bahwa
talak diharamkan. Maka demikian halnya dengan poligami, yang jika –terpaksa-
dilakukan karena suatu sebab dan diikuti dengan pemenuhan keadilan yang
maksimal maka adalah bentuk prestasi. Meski pandangan yang mengatakan bahwa
poligami adalah sunnah, tetap harus dikritisi dan dikaji ulang. Karena poligami
merupakan salah satu solusi masalah sosial dan juga kebutuhan pribadi di waktu
yang sama. Maka secara proporsional –justru- akan kembali menempatkan perempuan
dalam kehormatannya. Berbeda dengan perselingkuhan dan perzinahan yang
merupakan bentuk hubungan yang sulit dipertanggungjawabkan secara manusiawi
sebelum di hadapan hukum Allah.
7. Kepemimpinan (qawwamah)
Masalah qawwamah cenderung
dibahasakan sebagai penguasaan atas perempuan. Kepemimpinan yang dimaksud
adalah pengayoman didistorsis sebagai hegemoni dan diktatorisme. Parahnya
pembahasan kepemimpinan lokal dalam skup rumah tangga kemudian diluaskan ke
mana-mana seolah menjadi genderang perang terhadap Al-Quran yang diklaim
menutup hak politik dan publik para perempuan.
Gerakan dan perjuangan para pembela
kesetaraan gender ini bahkan sangat berlebihan. Sebagai contohnya, ranah
politik dipaksakan harus mengakomodir 30% jatah khusus perempuan. Ini di
Indonesia, di saat negara-negara maju di dunia ini tak sampai menetapkan kuota
dengan angka seperti itu.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik[28] mengakomodasi
beberapa paradigma baru Indonesia. Pasal 2 ayat (2) dan ayat (5) yang
menyebutkan :
(2) Pendirian dan
pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30%
keterwakilan perempuan.
(5) Kepengurusan
Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan
menyertakan paling rendah 30% keterwakilan perempuan.
Islam tak melarang perempuan
untuk menggunakan hak politiknya juga tak melarang rincian-rincian di atas.
Namun, jika ditilik dari munculnya undang-undang tersebut maka tak bisa
dilepaskan dari semangat pengarusutamaan gender, atas nama kesetaraan gender.
8. Persaksian perempuan
Isu yang diangkat dalam masalah
persaksian juga tak jauh berbeda seperti poin-poin sebelumnya, perlakuan tak
adil (diskriminatif) terhadap perempuan dalam masalah persaksian didakwa
sebagai pembedaan/diskriminasi perempuan sekaligus sama halnya menempatkan
perempuan sebagai setengah manusia.
Banyaknya wilayah perbedaan dalam
masalah ini di kalangan para ulama mengindikasikan bahwa terjadi perkembangan
yang konstruktif. Dan semakin menegaskan pemahaman para ulama akan hal-hal yang
konstan (tsâbit) yang tak bisa berubah yang tidak menjadi wilayah
ijtihat serta mana yang termasuk wilayah yang berubah (mutaghayyirât).
Sebagai contoh sederhana, seorang murid yang sangat setia pada gurunya seperti
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, banyak berbeda pendapat dengan gurunya, Ibnu
Taimiyah dalam masalah ini([29]).
Metode yang Digunakan
Untuk disebut sebagai sebuah
metode, dalam kajian apapun yang diperlukan adalah konsistensi dan nilai ilmiah
yang bisa dipertanggungjawabkan. Secara khusus penulis tidak menemukan metode
yang digunakan para pejuang gender untuk mencari sandaran normatif dalam rangka
mendukung dan menguatkan propaganda mereka dari perspektif agama. Meskipun pada
dasarnya agama dan etika adalah dua hal yang dihindari, dikritisi dan dijauhi.
Secara global pembahasan
ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan perempuan dikaji dalam perspektif
kesetaraan gender dengan beberapa pendekatan dan metode berikut.
1. Hermeneutika
Secara umum hermeneutika adalah
penakwilan bebas dan tak ada yang final dalam penafsiran teks (relativisme).
Wahyu telah berubah menjadi teks dan masuk ke dalam ranah manusia karena sudah
diturunkan ke bumi. ”Sebuah ilmu tentang penakwilan teks-teks suci atau teks
agama manusia, seperti sebuah tafsir atau ilmu filologi, pemaknaan literal
(harfiyah), atau pendekatan marfologi dan gramatikal. Atau yang dikenal sebagai
penafsiran per lafazh”([30]). “… yaitu dengan menanyakan banyak hal dari
sumbernya atau dari pembacaan di lain sisi”([31]). Maka bagi para penganut ”tafsir hermeneutika” ada lima
unsur pokok: (1). Matinya pengarang, karena penakwilan dibebaskan sesuai
pembacaan pembaca; (2). Wahyu telah beralih menjadi teks manusia, maka bisa
dikritisi sebagaimana karangan manusia; (3). Tak ada yang zhahir, semuanya bisa
ditakwilkan; (4). Relativisme dan tidak ada yang final dalam penakwilan, karena
akan terus berkembang; (5). Maka sebagaimana para mufassirun berkarya,
semua yang datang setelahnya boleh berkata apa saja. Di antara pelopor
hermeneutika: Schleirmacher (1768-1834 M), Martin Heidegger (1889-1976 M),
Gadamer (1900-2002 M). Oleh para sarjana muslim yang belajar ke Barat,
hermeneutika dianggap sebagai penemuan atau ilmu baru yang dibutuhkan dalam
penafsiran Al-Quran.
2.
Kritik sastra dan kebahasaan Al-Quran
1. Strukturalisme (al-binyawiyah):
Dengan pendekatan strukturalisme,
Al-Quran bagaikan teks yang berdiri sendiri terlepas dari berbagai ikatan
ideologis. Atau menjadikan teks harus dikembalikan kepada kaidah kebahasaan
yang memiliki aturan gramatikal dan sebagainya. Tidak finalnya Al-Quran
ditunjukkan dengan adanya qira’ah sab’ah (tujuh) atau asyrah (sepuluh).
Maka bagi kritikus strukturalis tidaklah memiliki misi mengungkap hakikat
sesuatu yang terkandung dalam bahasa teks, tapi misinya adalah menyesuaikan
bahasa teks dengan bahasa modern saat ia hidup di tengahnya([32]).
Di antara para pelopor aliran
kritik sastra ini: Ferdinand De Sausure (1857-1913 M) dan Roland Barthes
(1980-1915 M).
2. Dekonstruksi (at-tafkîkiyah): adalah sebuah metode
pembacaan teks yang
beranggapan, setiap teks/ungkapan selalu kontekstual. Di antara tokohnya: Jacques Derrida (1930-2004 M)
menunjukkan bahwa kita cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan
dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida
sebut sebagai logosentrisme, yaitu,
kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu.
Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis
terhadap setiap teks. Derrida
sendiri banyak terpengaruh oleh Nitche (1844-1900 M)([33]) dengan filsafat nihilismenya([34]).
3. Stylistik (al-uslûbiyah):
Yaitu dengan menempatkan Quran
dalam kritik sastra dan kebahasaan. Wahyu yang semula adalah kalam Allah,
ketika disampaikan kepada Muhammad (manusia), maka yang digunakan adalah bahasa
manusia. Adanya kesenjangan antara dua bahasa tersebut (antara sumber dan
penerima) dimediasi oleh Jibril. Maka yang menjadi pusat kritik bukan asal
sumbernya (wahyu/kalam Allah), juga bukan penerimanya (Nabi Muhammad), juga
bukan mediatornya (Jibril), tapi teks yang sampai kepada Umat Islam. Al-Quran
yang diterima Nabi Muhammad dari Jibril, pasti berbeda pemaknaan dari yang
diterima sahabat langsung dari Nabi SAW, demikian seterusnya para tabi’in
hingga sampai ke zaman sekarang. Maka kritik gaya bahasa (uslub)
dijadikan poin penting dalam kritik. Meski terjadi perbedaan serius di antara
para pelopor aliran ini([35]), tapi tetap bisa dipakai para pejuang gender untuk
mengangkat kebenaran relatif dan perlunya amandemen isi al-Quran.
4. Semiotika (as-simiya`iyyah):
Dengan metode ini yang dipusatkan
adalah unsur bahasa yang sering disebut kode atau simbol([36]). Maka unsur-unsur yang
dimuat dalam al-Quran juga demikian, menjadi sangat relatif. Sebagai contoh:
definisi khamr, aurat dalam kebahasaan Arab akan berkembang dan
mungkin berubah jika dilakukan dengan pendekatan bahasa lain dan di tengah
komunitas lain.
3.
Pendekatan sejarah
Dengan pendekatan sejarah, agama
(Islam) dimasukkan sebagai unsur sejarah([37]) dan budaya yang mengalami perkembangan. Maka
kandungan ajaran-ajaran yang dibawa harus dikritisi dan direvisi untuk
menyesuaikan perkembangan sejarah. Tak heran jika kemudian muncul istilah ”muntaj
tsaqafi” (produk budaya) sebagai padanan Al-Quran([38]). Artinya sebagai produk
budaya Al-Quran juga tak bisa lepas dari kritik dan revisi. Termasuk di
dalamnya tema-tema perempuan dan gender.
Tak heran jika kemudian, para
pejuang kesetaraan gender mencoba memperjuangkan persamaan antara laki-laki dan
perempuan termasuk dalam wilayah budaya dalam RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan
Gender). Jika nantinya RUU ini disahkan, maka bisa dijadikan pintu untuk
merevisi atau mengamandemen aturan-aturan agama yang sudah pakem. Apalagi jika
ditekankan bahwa Islam adalah bagian dari sejarah dan budaya([39]), maka sudah selaiknya ditinggalkan dan diganti dengan
yang baru. Atau jika tak memungkinkan setidaknya diperbarui dan diubah
kandungannya.
4.
Pendekatan sosiologis dan antropologis
Dengan pendekatan ini, dipahami
bahwa agama adalah fenomena sosial([40]), maka perilaku keagamaan orang Arab tak bisa disamakan
dengan perilaku keagamaan orang Indonesia. Targetnya adalah lokalisasi ajaran
agama (nasionalisasi). Termasuk di antaranya kondisi perlakuan terhadap
perempuan dan kentalnya sistem laki-laki dalam Arab. Maka dengan sendirinya,
dalam konteks keindonesiaan atau tatanan sosial modern perlu diatur perlakuan
manusiawi yang lebih bermartabat kepada perempuan.
5.
Pendekatan psikologis
Dalam pendekatan ini, yang
diutamakan dalam tataran realita adalah hasil dari perilaku keagamaan. Tanpa
melihat seseorang memeluk agama tertentu apa. Dari sini akan dimunculkan sebuah
madhab baru dalam beragama, yaitu madzhab pluralisme([41]). Yang terpenting adalah keshalihan dan kebaikan individu
tanpa memandang agama yang dianutnya. Atau dengan kata lain mereka mengklaim
mengambil intisari kebaikan dari berbagai agama.
RUU Kesetaraan dan Keadilan
Gender (KKG)
Target dari pengesahan RUU KKG
adalah kriminalisasi segala bentuk pelanggaran dan perlakuan diskriminatif
terhadap perempuan([42]), tanpa memandang kondisi. Maka dengan rujukan RUU ini
kelak akan berimplikasi terevisi dan teramandemennya beberapa Undang-Undang di
negara ini, khususnya secara mendasar akan terjadi perubahan besar dalam UU
Perkawinan (Ahwal Syakhshiyyah). Target dan sasaran ini bisa diendus
dengan masuknya unsur budaya dalam berbagai poin dalam RUU tersebut. Dengan
pendekatan budaya dan sejarah, maka segala bentuk aturan agama adalah unsur
budaya yang terus mengalami perkembangan.
Meskipun belum bisa
digeneralisir, namun patut dicermati sebuah fakta yang mencengangkan sekaligus
menyedihkan. Angka perceraian di Indonesia pasca reformasi (di atas tahun 2000)
meningkat empat hingga sepuluh kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada
tahun 2009, terdapat 250 ribu perkara perceraian, atau sebanding dengan 10%
angka pernikahan di tahun yang sama. Tujuh puluh persen di antara perceraian
tersebut adalah bentuk cerai gugat, yaitu pihak istri (perempuan) yang
menggugat cerai suaminya dengan berbagai sebab([43]). Padahal para pejuang dan pembela kesetaraan gender
sering mengemukakan bahwa terjadi perbaikan dan peningkatan dalam penerapan
kesetaraan gender serta penekanan angka perlakuan diskriminatif terhadap
perempuan.
Penutup
Di antara bukti Islam menghargai
dan menghormati perempuan, di dalam Al-Qur’an secara khusus terdapat sebuah
surat bernama Surat an-Nisa’, wasiat terakhir Nabi Muhammad SAW adalah
berkaitan dengan perlakuan yang baik terhadap perempuan, serta banyak
kesempatan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang memerinci penempatan mulia
serta menjunjung martabat perempuan. Maka, kita tak menafikan perjuangan dan
kegigihan para pejuang gender, tapi yang kita perlu waspadai jika aksi tersebut
berbau politis dan ideologis, dengan membawa misi anti kemapanan, relativisme
serta mendobrak nilai dan tatanan agama serta memerangi kemapanan keluarga
dalam masyarakat.
([1])
Alumni Universitas Al-Azhar Cairo, Jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Quran, Wakil
Ketua Komisi Seni Budaya MUI Pusat, Divisi Kajian Sharia Consulting Center
(SCC) Jakarta, Dosen di Sekolah Tinggi An-Nuaimy, Jakarta, Dosen Pasca Sarjana
PTIQ Jakarta, aktif di Asia Pasific Community for Palestina di Jakarta.
([2])
Dr. Ali Muhammad Shalabi, As-Sirah An-Nabawiyyah; Ardh Waqa’i wa Tahlil
Ahdats, Darut Tauzi’, Cairo, Cet. II, 20023 M-1424 H, Jilid 2, hlm.
363-364. Suhailah Zainal Abidin, al-Mar’ah al-Muslimah wa Muwajahah
Tahaddiyat al-Aulamah, Ubaikan, Riyadh, Cet.I, 2003 M-1424 H, hlm. 190-191.
([3])
An-Nawawi, Minhaj al-Qashidin wa Umdatu al-Muftin, Darul Ma’rifah,
Beirut, 1986 M-1406 H, J.1, h. 21.
([4]) Lihat Helen Tierney
(Ed.), “Women’s Studies Encyclopedia”, Green Wood Press, New York, Vol.
I, hlm. 153.
([5]) Lihat Wikipedia
Online, dengan alamat http://en.wikipedia.org/wiki/Gender,
diakses tanggal 17 September 2010.
([6]) dikutip dari Naskah
Akademis RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender), Tim Kerja PUU-Deputi Perundang-undangan
DPR RI, 24 Agustus 2011, hlm. 11
([7])
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (1200 – 2008 M), Serambi,
Jakarta, Cet. I, 2008, hlm. 341
([8])United Nations, The
CEDAW and its Optinal Protocol-Handbook for Parlimentarians, Switzerland,
2003, hlm. 9, 13
([9])International Commision
of Jurists, Sexual Orientation, Gender Identity and International Human
Rights Law-Practitioners Guide No. 4, Geneva, 2009, hlm. 52, 53
([10]) Siti Musdah
Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Kibar Press, Yogyakarta,
Cet.II, Agustus 2007, hlm. 62, 63
([11]) sebagaimana dinukil
oleh Imam Fakhrurrazi dalam tafsirnya (Mafatih al-Ghaib, Darul Fikr,
Beirut, Cet. I, 1980
M – 1401 H, Jilid 9, hlm. 167)
([12])
Yaitu QS. An-Nisa’:1, QS. Al-An’am: 98, QS. Al-A’raf: 189, QS. Luqman: 28, QS. Az-Zumar: 6
([13])
Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah,
596-597
([14])
QS. Ali Imran: 59
([15])
HR. Bukhori dalam shahihnya, Bab Lima Khalaqtu bi Yadayya, hadis
nomer 6975, dan Muslim dalam Kitâb al-Iman, Bâb Adnâ Ahli
al-Jannah Manzilatan, hadis nomer 193.
([16])
QS. An-Nisa’: 1, QS. Al-A’raf: 189 dan QS. Az-Zumar: 6
([17])
HR. Bukhori, Kitâb Bad’i al-Wahyi, Bâb Wa Idz Qâla Rabbuka,
hadis nomer: 3084, Muslim, Kitâb Ar-Radha’, Bâb al-Washiyyah
bi an-Nisa`, hadis nomer: 1468, At-Tirmidzi, Kitâb Ath-Thalâq,
Bâb Mâ Jâ`a fi Mudârah an-Nisa`, hadis nomer: 1188, hadis ini juga
diriwayatkan oleh al-Hakim, Imam Ahmad dan ad-Darimy.
([18])
Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan
Perempuan Indonesia, dalam Sulistyowayi Irianto, Perempuan dan
Hukum, Yayasan Obor, Jakarta, Cet II, 2008, hlm. 158
([19])
HR. Muslim, Kitâb Az-Zakâh, Bâb Bayân Ismi as-Sadaqah,
hadis nomer: 1006, hadis ini diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar al-Ghifary ra.
([20])
Al-Hakim dalam al-Mustadrak dan mengatakan bahwa sanadnya shahih (2/208), juga
Imam Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, hadis nomer: 14553
([21])
Ar-Raghib, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Maktabah Nazar
Musthafa, Riyadh, Cet.I, 1997, hlm. 493.
([22])
Dr. Nawal Sa’dawi, Qadhaya al Mar’ah wa al-Fikr wa as-Siyasah,
Maktabah Madbuli, Cairo, 2002, h. 218.
([23])
Dr. Aminah Wadud, Al-Qur’an wa Al-Mar’ah: I’adah Qira’ah an-Nash
al-Qur’any min Manzhur Nisa’iy, Maktabah Madbuli, Cairo, Cet.I, 2006 hlm.
129-132.
([24])
Dr. Muhammad Syahrur: Al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Mu’ashirah,
Syarikah al-Mathbu’at li Tauzi wa an-Nasyr, Beirut, Cet.I, 1992 M – 1412 H,
hlm. 605-606.
([25])
Muhammad Said al-Asymawy, Ma’alim al-Islam, Sina li an-Nasyr,
Cairo, Cet.I, 1989, h. 124-125
([26])
Shalah Sultan, Mîrâts al-Mar’ah wa Qadhiyatu al-Musâwâh, Nahdhah
Misr, Cairo, Cet.I, 1999, hlm. 10-11
([27])
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, Penerbit LkiS,
Yogyakarta, Cet. II, 2007, h. 29-30
([28])
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2 Tentang Partai Politik
([29])
Seperti yang beliau tulis dalam karyanya, Ath-Thuruq al-Hukmiyah fi
as-Siyasah asy-Syar’iyyah, Tahqiq: Nayif Ahmad al-Hamd, Dar Alam
al-Fawa’id, Makkah, Cet.I, 1428 H.
([30])
Dr. Ahmad Idris Ath-Tha’an, Al-Qur’ân al-Karîm wa at-Ta’wîliyah
al-Almâniyyah, hlm. 2.
([31])
Dr. Nashr Hamib Abu Zaid, Isykaliyât al-Qirâ’ah wa Âliyât at-Ta’wîl,
Al-Markaz Ats-Tsaqafi al-Araby, Casablanca, 2005, hlm. 13
([32])
Manal Shalih al-Muhaimid, Tahawwulât an-Nash Baina al-Binyawiyah wa
at-Tafkîkiyah, hlm. 1.
([33])
lihat: Megan ar-Ruwaily, Dalil an-Naqid al-Adaby, al-Markaz
ats-Tsaqafy al-Araby, Casablanca-Maroko, Cet.III, 2002, hlm. 108
([34])
Nihilisme (al-Adamiyah) sebuah paham dan aliran yang didasarkan pada
pengingkaran/penafiyan terhadap nilai-nilai atau pemikiran sebagai sesuatu yang
absolut, nilai atau norma tersebut sangat relatif, maka tak perlu diatur oleh
undang-undang atau negara karena menyangkut kebebesan dan privat (Akademi
Bahasa Arab Mesir, al-Mu’jam al-Falsafy, Al-Mathabi’ al-Amiriyah,
Cairo, 1983 M- 1403 H, hlm. 118)
([35])
Seperti yang ditulis oleh Dr. Shalah Fadhl, Manâhij an-Naqd al-Mu’âshir
wa Mushtalahâtihi, Merit, Cairo, Cet. I, 2002, hlm. 111-112.
([36])
Ibid, hlm. 121-122.
([37])
Nuruzzaman Shiddiqie, Pengantar Sejarah Muslim, Nur Cahaya,
Yogyakarta, 1983, hlm. 13.
([38])
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, Elsaq Press, Yogyakarta,
Cet.I, 2005, hlm. 100.
([39])
Lihat, misalnya: BAB I (Ketentuan Umum), Pasal 1, dan BAB III (Hak dan
Kewajiban) pasal 14 dalam RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender)
([40]) Sayyed Hossein
Nasr, Knowledge and the Scared, Suhail Academy, Lahore, 1988, hlm.
66.
([41]) Madzhab yang
memandang bahwa semua agama adalah sama benar, terpengaruh dengan falsafah
relativisme yang menafsirkan eksistensi, perilaku dengan perspektif yang
berbeda-beda (Al-Mu’jam al-Falsafi, Ibid, hlm. 48).
([42])
Seperti termaktub dalam: BAB IX (Ketentuan Pidana), Pasal 70-72 dalam RUU KKG .
([43])
lihat: International Islamic Commitee for Women and Child (IICWC), Tatanan
Keluarga dalam Islam, Lembaga Kajian Ketahanan Keluarga Indonesia (LK3I),
Jakarta, 2012, hlm. vii
Kerusakan UU yang makin parah terhadap Syariat islam,
bisa dilihat dengan pengajuan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (
CLD-KHI) dari perspektif hukum di Indonesia oleh kelompok Sepilis ( anti
syariat Islam )
Syaikh
Muhammad bin Ibrahim dalam risalah beliau Tahkimul Qawanin,
“Sesungguhnya termasuk kafir akbar yang sudah nyata adalah memposisikan undang-undang positif yang terlaknat kepada posisi apa yang dibawa oleh ruhul amien (Jibril) kepada hati Muhammad supaya menjadi peringatan dengan bahasa arab yang jelas dalam menutuskan perkara di antara manusia dan mengembalikan perselisihan kepadanya, karena telah menentang firman Alloh : “…Maka jika kalian berselisih dalam suatu, kembalikanlah kepada Alloh dan Rosul-Nya jika kalian beriman kepada Alloh dan hari akhir…”
[Risalatu Tahkimil Qawanin hal. 5].
Beliau juga mengatakan dalam risalah yang sama,
“Pengadilan-pengadilan tandingan ini sekarang ini banyak sekali terdapat di negara-negara Islam, terbuka dan bebas untuk siapa saja. Masyarakat bergantian saling berhukum kepadanya. Para hakim memutuskan perkara mereka dengan hukum yang menyelisihi hukum Al Qur’an dan As Sunah, dengan berpegangan kepada undang-undang positif tersebut. Bahkan para hakim ini mewajibkan dan mengharuskan masyarakat (untuk menyelesaikan segala kasus dengan undang-undang tersebut) serta mereka mengakui keabsahan undang-undang tersebut. Adakah kekufuran yang lebih besar dari hal ini? Penentangan mana lagi terhadap Al Qur’an dan As Sunah yang lebih berat dari penentangan mereka seperti ini dan pembatal syahadat “Muhammad adalah utusan Allah” mana lagi yang lebih besar dari hal ini?”
(Tahkimul Qowanien 20-21)
“Sesungguhnya termasuk kafir akbar yang sudah nyata adalah memposisikan undang-undang positif yang terlaknat kepada posisi apa yang dibawa oleh ruhul amien (Jibril) kepada hati Muhammad supaya menjadi peringatan dengan bahasa arab yang jelas dalam menutuskan perkara di antara manusia dan mengembalikan perselisihan kepadanya, karena telah menentang firman Alloh : “…Maka jika kalian berselisih dalam suatu, kembalikanlah kepada Alloh dan Rosul-Nya jika kalian beriman kepada Alloh dan hari akhir…”
[Risalatu Tahkimil Qawanin hal. 5].
Beliau juga mengatakan dalam risalah yang sama,
“Pengadilan-pengadilan tandingan ini sekarang ini banyak sekali terdapat di negara-negara Islam, terbuka dan bebas untuk siapa saja. Masyarakat bergantian saling berhukum kepadanya. Para hakim memutuskan perkara mereka dengan hukum yang menyelisihi hukum Al Qur’an dan As Sunah, dengan berpegangan kepada undang-undang positif tersebut. Bahkan para hakim ini mewajibkan dan mengharuskan masyarakat (untuk menyelesaikan segala kasus dengan undang-undang tersebut) serta mereka mengakui keabsahan undang-undang tersebut. Adakah kekufuran yang lebih besar dari hal ini? Penentangan mana lagi terhadap Al Qur’an dan As Sunah yang lebih berat dari penentangan mereka seperti ini dan pembatal syahadat “Muhammad adalah utusan Allah” mana lagi yang lebih besar dari hal ini?”
(Tahkimul Qowanien 20-21)
Syaikh Ahmad Syakir mengomentari perkataan Ibnu Katsir tentang IL-Yasiq yang menjadi hukum bangsa Tartar sebagaimana telah dinukil di depan,
“Apakah kalian tidak melihat pensifatan yang kuat dari Al Hafidz Ibnu Katsir pada abad kedelapan hijriyah terhadap undang-undang postif yang ditetapkan oleh musuh Islam Jengish Khan?
Bukankah kalian melihatnya mensifati kondisi umat Islam pada abad empat belas hijriyah?
Kecuali satu perbedaan saja yang kami nyatakan tadi;
Hukum Ilyasiq hanya terjadi pada sebuah generasi penguasa yang menyelusup dalam umat Islam dan segera hilang pengaruhnya. Namun kondisi kaum muslimin saat ini lebih buruk dan lebih dzalim dari mereka karena kebanyakan umat Islam hari ini telah masuk dalam hukum yang menyelisihi syariah Islam ini, sebuah hukum yang paling menyerupai Ilyasiq yang ditetapkan oleh seorang laki-laki kafir yang telah jelas kekafirannya…. Sesungguhnya urusan hukum positif ini telah jelas layaknya matahari di siang bolong, yaitu kufur yang nyata tak ada yang tersembunyi di dalamnya dan tak ada yang membingungkan. Tidak ada udzur bagi siapa pun yang mengaku dirinya muslim dalam berbuat dengannya, atau tunduk kepadanya atau mengakuinya. Maka berhati-hatilah, setiap individu menjadi pengawas atas dirinya sendiri.”
(Umdatu Tafsir IV/173-174)
Beliau juga mengatakan: “UUD yang ditetapkan musuh-musuh Islam dan mereka wajibkan atas kaum muslimin.. pada hakekatnya tak lain adalah agama baru, mereka membuatnya sebagai ganti dari agama kaum muslimin yang bersih dan mulia, karena mereka telah mewajibkan kaum muslimin mentaati UUD tersebut, mereka menanamkan dalam hati kaum muslimin rasa cinta kepada UU tersebut, mensakralkannya dan fanatisme dengannya sampai akhirnya terbiasa dikatakan melalui lisan dan tulisan kalimat-kalimat ” Pensakralan UUD”, ” Kewibawaan lembaga peradilan ” dan kalimat-kalimat semisal. Lalu mereka menyebut UUD dan aturan-aturan ini dengan kata “fiqih dan faqih” “tasyri’ dan musyari’ ” dan kalimat-kalimat semisal yang dipakai ulama Islam untuk syariah Islam dan para ulama syariah.”
(Umdatu Tafsir 3/124, secara ringkas. Dinukil dari Nawaqidhul Iman Al Qauliyah wal ‘Amaliyah hal. 315, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Alu Abdul lathif, Daarul Wathan, 1414 H)
Syaikh Muhammad Al-Amien Asy Syinqithi dalam tafsirnya ketika menafsirkan firman Alloh, “Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Alloh dalam menetapkan keputusan.” [QS. Al Kahfi :26] dan setelah menyebutkan beberapa ayat yang menunjukkan bahwa menetapkan undang-undang bagi selain Allah adalah kekafiran, beliau berkata, “Dengan nash-nash samawi yang kami sebutkan ini sangat jelas bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum positif yang ditetapkan oleh setan melalui lisan wali-wali-Nya, menyelisihi apa yang Alloh syari’atkan melalui lisan Rasul-Nya. Tak ada seorangpun yang meragukan kekafiran dan kesyirikannya, kecuali orang-orang yang telah Allah hapuskan bashirahnya dan Allah padamkan cahaya wahyu atas diri mereka.”
( Adhwaul Bayan IV/92 )
Beliau Rahimahullah juga menjelaskan bahwa : “Berbuat syirik kepada Alloh dalam masalah hukum dan berbuat syirik dalam masalah beribadah itu maknanya sama, sama sekali tak ada perbedaan antara keduanya. Orang yang mengikuti UU selain UU Alloh dan tasyri’ selain tasyri’ Alloh adalah seperti orang yang menyembah berhala dan sujud kepada berhala, antara keduanya sama sekali tidak ada perbedaan dari satu sisi sekalipun,. Keduanya satu (sama saja) dan keduanya musyrik kepada Alloh.”
(Al Hakimiyah fie Tafsiri Adhwail Bayan, karya Abdurahman As Sudais hal. 52-53, dengan ringkas, lihat juga Adhwaul Bayan 7/162)
Syaikh Shalih bin Ibrahim Al Bulaihi dalam hasyiyah beliau atas Zadul Mustaqni’, yang terkenal dengan nama Al Salsabil fi Ma’rifati Dalil, mengatakan, “…Berhukum dengan hukum-hukum positif yang menyelisihi syari’at Islam adalah sebuah penyelewengan, kekafiran, kerusakan dan kedzaliman bagi para hamba. Tak akan ada keamanan dan hak-hak yang terlindungi, kecuali dengan dipraktekkanmya syariah Islam secara keseluruhannya; aqidahnya, ibadahnya, hukum-hukumnya, akhlaknya dan aturan-aturannya. Berhukum dengan selain hukum Alloh berarti berhukum dengan hukum buatan manusia untuk manusia sepertinya, berarti berhukum dengan hukum-hukum Thaghut…tak ada bedanya antara ahwal sakhsiah (masalah nikah,cerai, ruju’–pent) dengan hukum-hukum bagi individu dan bersama… barang siapa membeda-bedakan hukum antara ketiga hal ini, berarti ia seorang atheis, zindiq dan kafir kepada Allah Yang Maha Agung.”
( As Salsabil II/384 )
Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam risalah beliau “Naqdu Al Qaumiyah Al ‘Arabiyah ” (Kritik atas nasionalisme Arab) mengatakan, “Alasan keempat yang menegaskan batilnya seruan nasionalisme arab : seruan kepada nasionalisme arab dan bergabung di sekitar bendera nasionalisme arab pasti akan mengakibatkan masyarakat menolak hukum Al Qur’an. Sebabnya karena orang-orang nasionalis non muslim tidak akan pernah ridha bila Al Qur’an dijadikan undang-undang. Hal ini memaksa para pemimpin nasionalisme untuk menetapkan hukum-hukum positif yang menyelisihi hukum Al Qur’an . Hukum positif tersebut menyamakan kedudukan seluruh anggota masyarakat nasionalis di hadapan hukum. Hal ini telah sering ditegaskan oleh mereka. Ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata dan jelas-jelas murtad.” ( Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawi’ah lisyaikh Ibni Baz I/309)
Syaikh Abdullah bin Humaid mengatakan, “Siapa menetapkan undang-undang umum yang diwajibkan atas rakyat, yang bertentangan dengan hukum Alloh ; berarti telah keluar dari milah dan kafir.”
(lihat Ahamiyatul Jihad Fi Nasyri Ad Da’wah hal. 196, D. ‘Ali Nufai’ Al ‘Ulyani )
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi dalam komentar beliau atas Fathul Majid mengatakan, “Kesimpulan yang diambil dari perkataan ulama salaf bahwa thaghut adalah setiap hal yang memalingkan hamba dan menghalanginya dari beribadah kepada Allah, memurnikan dien dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya…Tidak diragukan lagi, termasuk dalam kategori thaghut adalah berhukum dengan hukum-hukum asing di luar syari’at Islam, dan hukum-hukum positif lainnya yang dtetapkan oleh manusia untuk mengatur masalah darah, kemaluan dan harta, untuk menihilkan syari’at Allah berupa penegakan hudud, pengharaman riba, zina, minuman keras dan lain sebagainya. Hukum-hukum positif ini menghalalkannya dan mempergunakan kekuatannya untuk mempraktekkannya. Hukum dan undang-undang positif ini sendiri adalah thaghut, sebagaimana orang-orang yang menetapkan dan melariskannya juga merupakan thaghut…”
(Fathul Majid hal. 337, Daarul Fikr, 1412 H ). Beliau juga menyatakan dalam Fathul Majid saat mengomentari perkataan Ibnu katsir tentang Ilyasiq, “Yang seperti ini dan bahkan lebih buruk lagi adalah orang yang menjadikan hukum Perancis sebagai hukum yang mengatur darah, kemaluan dan harta manusia, mendahulukannya atas kitabullah dan sunah Rasulullah. Tak diragukan lagi, orang ini telah kafir dan murtad jika terus berbuat seperti itu dan tidak kembali kepada hukum yang diturunkan Allah. Nama apapun yang ia sandang dan amalan lahir apapun yang ia kerjakan baik itu sholat, shiyam dan sebagainya, sama sekali tak bermanfaat ba-ginya…”.
(Fathul Majid hal. 477. )
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Barang siapa tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Alloh karena menganggap hukum Allah itu sepele, atau me-remehkannya, atau meyakini bahwa selain hukum Allah lebih baik dan bermanfaat bagi manusia, maka ia telah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari milah. Termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang menetapkan untuk rakyatnya perundang-undangan yang menyelisihi syari’at Islam, supaya menjadi sistem perundang-undangan negara. Mereka tidak menetapkan perundang-unda-ngan yang menyelisihi syari’at Islam kecuali karena mereka meyakini bahwa perundang-undangan tersebut lebih baik dan bermanfaat bagi rakyat. Sudah menjadi askioma akal dan pembawaan fitrah, manusia tak akan berpaling dari sebuah sistem kepada sistem lain kecuali karena ia meyakini kelebihan sistem yang ia anut dan kelemahan sistem yang ia tinggalkan.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Ibnu Utsaimin II/143 )
Memang terdapat beberapa perbedaan pendapat dikalangan Ulama Ahli Sunnah dalam permasalahan Pengkafiran terhadap Pembuatan dan penetapan Hukum buatan manusia yang mengabaikan Hukum Alloh Subhanahu wa ta’ala.
Sebagaimana yang antum memilih memegangi pendapat Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani sebelumnya sbb : “….. Kemudian beliau berbicara tentang tafsir Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang oleh Muhammad Quthb dan pengikutnya berusaha dijadikan sebagai sifat khusus bagi para khalifah Bani Umayyah! Syaikh al-Albani berkata:
“Sepertinya Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu mendengar persis seperti yang sering kita dengar sekarang ini bahwa ada beberapa oknum yang memahami ayat ini secara zhahir saja tanpa diperinci. Maka beliau Radhiyallahu ‘anhu berkata : ‘Bukan kekufuran yang kalian pahami itu! Maksudnya bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, namun maksudnya adalah ‘kufrun duna kufrin’ (yaitu kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama -pent-)….”
KH
Makruf Amin: Itu Strategi Kelompok Liberal Melikuidasi UU Perkawinan
Ketua
MUI Pusat KH Ma’ruf Amin menegaskan, MUI menolak Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) yang mengabulkan sebagian judicial review terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang diajukan Machica Mochtar, istri siri mantan menteri di
era Orde Baru, Moerdiono.
Adapun yang dikabulkan adalah pasal 43 ayat (1) tentang hubungan anak diluar nikah. Sehingga nantinya anak hasil perzinahan memiliki hak keperdataan yang sama dengan anak hasil pernikahan yang sah seperti dalam soal hak waris, wali, akta dan nafkah. Padahal anak Moerdiono-Machica, Muhammad Iqbal (16), bukan anak zina tetapi anak hasil perkawinan yang sah melalui kawin siri. Sehingga Putusan MK itu dinilai over dosis atau berlebihan.
“Jelas itu merupakan strategi kelompok liberal yang ingin mengubah bahkan melikuidasi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan ini sangat berbahaya bagi umat Islam. Padahal dulu UU Perkawinan sebagai hasil kompromi umat Islam yang diperjuangkan dengan berdarah-darah,” jelas KH Ma’ruf Amin dalam pertemuannya dengan sejumlah pimpinan Ormas Islam di Kantor Pusat MUI, Jakarta, (17/3).
Menurut KH Ma’ruf Amin, nantinya kelompok Liberal akan melikuidasi satu pasal demi satu pasal UU Perkawinan. Padahal pasal demi pasal UU Perkawinan tersebut mayoritas sudah sesuai dengan Syariat Islam. Ini sebagai hasil perjuangan umat Islam pada era Orde Baru.
Dikatakannya, meski setiap Putusan MK bersifat final dan mengikat, namun MUI bersama ormas-ormas Islam berupaya agar MK meninjau kembali Putusannya yang merugikan umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia. Sebab seharusnya setiap akan mengambil Putusan terutama yang berkaitan dengan Syariah Islam, MK meminta saran atau konsultasi terlebih dahulu kepada MUI. Sebab hal itu akan berdampak luas terutama terhadap kehidupan umat Islam Indonesia.
“Karena Putusan MK sudah final dan bersifat mengikat, maka sudah tidak dapat lagi diubah. Kok para hakim MK itu seperti Tuhan saja, mereka bisa menghukum tetapi tidak bisa dihukum. Saya minta MK melakukan peninjauan kembali atas Putusan yang bertentangan dengan Syariah Islam itu,” tegas anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) tersebut. (*)
Adapun yang dikabulkan adalah pasal 43 ayat (1) tentang hubungan anak diluar nikah. Sehingga nantinya anak hasil perzinahan memiliki hak keperdataan yang sama dengan anak hasil pernikahan yang sah seperti dalam soal hak waris, wali, akta dan nafkah. Padahal anak Moerdiono-Machica, Muhammad Iqbal (16), bukan anak zina tetapi anak hasil perkawinan yang sah melalui kawin siri. Sehingga Putusan MK itu dinilai over dosis atau berlebihan.
“Jelas itu merupakan strategi kelompok liberal yang ingin mengubah bahkan melikuidasi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan ini sangat berbahaya bagi umat Islam. Padahal dulu UU Perkawinan sebagai hasil kompromi umat Islam yang diperjuangkan dengan berdarah-darah,” jelas KH Ma’ruf Amin dalam pertemuannya dengan sejumlah pimpinan Ormas Islam di Kantor Pusat MUI, Jakarta, (17/3).
Menurut KH Ma’ruf Amin, nantinya kelompok Liberal akan melikuidasi satu pasal demi satu pasal UU Perkawinan. Padahal pasal demi pasal UU Perkawinan tersebut mayoritas sudah sesuai dengan Syariat Islam. Ini sebagai hasil perjuangan umat Islam pada era Orde Baru.
Dikatakannya, meski setiap Putusan MK bersifat final dan mengikat, namun MUI bersama ormas-ormas Islam berupaya agar MK meninjau kembali Putusannya yang merugikan umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia. Sebab seharusnya setiap akan mengambil Putusan terutama yang berkaitan dengan Syariah Islam, MK meminta saran atau konsultasi terlebih dahulu kepada MUI. Sebab hal itu akan berdampak luas terutama terhadap kehidupan umat Islam Indonesia.
“Karena Putusan MK sudah final dan bersifat mengikat, maka sudah tidak dapat lagi diubah. Kok para hakim MK itu seperti Tuhan saja, mereka bisa menghukum tetapi tidak bisa dihukum. Saya minta MK melakukan peninjauan kembali atas Putusan yang bertentangan dengan Syariah Islam itu,” tegas anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) tersebut. (*)
RUU Kesetaraan Gender
Bertentangan dengan Syariat Islam
Sejumlah
Ulama mengkritisi muatan materi Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan
Gender (RUU KKG). RUU yang tengah digodok DPR RI tersebut dinilai berpotensi
bertentangan dengan syariat Islam.
Hal itu diungkapkan sejumlah ulama dari berbagai kabupaten/kota dalam acara silaturahmi para ulama dengan Anggota DPR RI KH Abdul Hakim, anggota DPD RI Ahmad Jajuli dan anggota DPRD provinsi Lampung di Aula Kanwil Kementrian Agama (Kemenag) provinsi Lampung, Kamis (19/4).
Wakil Ketua Forum Komunikasi Majelis Taklim Provinsi Lampung, Tatik Rahayu N, mengatakan, sejumlah ketentuan yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam RUU KKG tersebut berpotensi melanggar syariat Islam dalam pengimplementasiannya. Salah satu materi muatan RUU KKG yang menjadi sorotan Tatik adalah materi muatan RUU KKG yang mengatur tentang hak dalam perkawinan.
“Dalam RUU ini dijelaskan bahwa dalam perkawinan setiap orang berhak memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau istri secara bebas. Jika pasal ini tetap dibiarkan, bisa membuka celah untuk melegalkan pernikahan sesama jenis. Karena disana tidak diatur secara tegas bahwa setiap orang berhak memilih suami atau istri yang berlainan jenis. Sebaliknya, kata memilih istri atau suami secara bebas dapat disalahartikan dapat memilih istri atau suami sesama jenis. Ini jelas melanggar syariat Islam. Karena itu, harus ada penambahan kata yang berlainan jenis.” Kata Tatik.
Tatik yang juga Ketua Biro pemberdayaan Perempuan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung itu juga menambahkan anggota majelis taklim yang umumnya kaum perempuan juga menghendaki agar pengaturan tentang kesetaraan gender diletakan secara proporsional dan profesional.
“Dari diskusi-diskusi yang digelar di berbagai majelis taklim, umumnya ibu-ibu menghendaki agar kesetaraan gender tetap diletakan secara proporsional dan profesional. Silahkan kaum perempuan beraktivitas sesuai dengan keahliannya asalkan tidak mengabaikan kodratnya sebagai perempuan,” kata Tatik.
Wakil Kepala kantor Kemenag kabupaten Way Kanan M Yusuf juga mengkritisi muatan materi RUU KKG ini. Menurutnya, banyak materi RUU KKG yang melanggar syariat Islam yang menjadi agama mayoritas di Indonesia. Ia juga pesimistis RUU ini nantinya bisa diimplementasikan dengan baik.
“80 persen masyarakat Indonesia memeluk Islam. Namun, materi muatan RUU ini banyak yang bertentangan syariat Islam. Saya tidak apriori, tapi sebaiknya RUU ini dikaji lebih dalam sebelum disahkan karena jika terus digulirkan dampak negatifnya akan jauh lebih besar,” kata Yusuf.
Menanggapi kritikan para ulama tersebut, Anggota Komisi VIII DPR RI menegaskan bahwa saat ini RUU KKG masih dalam proses penggodokan draft RUU. Menurut Hakim, dari RDP/RDPU yang telah dilaksanakan di Komisi VIII, disepakati bahwa naskahRUU KKG ini akan ditulis ulang oleh Deputi Perundang-undangan DPR RI berdasarkan masukan-masukan yang telah disampaikan baik oleh pemerintah maupun elemen masyarakat.
“Memang banyak masukan dan pertanyaan dari masyarakat terkait dengan RUU KKG ini, khususnya soal muatan materi RUU yang dinilai melanggar norma-norma agama. Dan kami di DPR sangat berhati-hati dalam menyusun RUU ini. Kami masih melakukan berbagai pendalaman untuk memberikan solusi alternatif agar RUU ini nanti bisa diterima semua kalangan,” kata Hakim yang juga Sekretaris Fraksi PKS DPR RI itu.
Seperti diketahui, materi muatan dalam RUU dikhawatirkan mendekonstruksi ajaran-ajaran agama dan berbenturan dengan UU lain atau norma yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Muslim Indonesia, seperti soal hukum waris dan UU Perkawinan.
Hal itu diungkapkan sejumlah ulama dari berbagai kabupaten/kota dalam acara silaturahmi para ulama dengan Anggota DPR RI KH Abdul Hakim, anggota DPD RI Ahmad Jajuli dan anggota DPRD provinsi Lampung di Aula Kanwil Kementrian Agama (Kemenag) provinsi Lampung, Kamis (19/4).
Wakil Ketua Forum Komunikasi Majelis Taklim Provinsi Lampung, Tatik Rahayu N, mengatakan, sejumlah ketentuan yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam RUU KKG tersebut berpotensi melanggar syariat Islam dalam pengimplementasiannya. Salah satu materi muatan RUU KKG yang menjadi sorotan Tatik adalah materi muatan RUU KKG yang mengatur tentang hak dalam perkawinan.
“Dalam RUU ini dijelaskan bahwa dalam perkawinan setiap orang berhak memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau istri secara bebas. Jika pasal ini tetap dibiarkan, bisa membuka celah untuk melegalkan pernikahan sesama jenis. Karena disana tidak diatur secara tegas bahwa setiap orang berhak memilih suami atau istri yang berlainan jenis. Sebaliknya, kata memilih istri atau suami secara bebas dapat disalahartikan dapat memilih istri atau suami sesama jenis. Ini jelas melanggar syariat Islam. Karena itu, harus ada penambahan kata yang berlainan jenis.” Kata Tatik.
Tatik yang juga Ketua Biro pemberdayaan Perempuan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung itu juga menambahkan anggota majelis taklim yang umumnya kaum perempuan juga menghendaki agar pengaturan tentang kesetaraan gender diletakan secara proporsional dan profesional.
“Dari diskusi-diskusi yang digelar di berbagai majelis taklim, umumnya ibu-ibu menghendaki agar kesetaraan gender tetap diletakan secara proporsional dan profesional. Silahkan kaum perempuan beraktivitas sesuai dengan keahliannya asalkan tidak mengabaikan kodratnya sebagai perempuan,” kata Tatik.
Wakil Kepala kantor Kemenag kabupaten Way Kanan M Yusuf juga mengkritisi muatan materi RUU KKG ini. Menurutnya, banyak materi RUU KKG yang melanggar syariat Islam yang menjadi agama mayoritas di Indonesia. Ia juga pesimistis RUU ini nantinya bisa diimplementasikan dengan baik.
“80 persen masyarakat Indonesia memeluk Islam. Namun, materi muatan RUU ini banyak yang bertentangan syariat Islam. Saya tidak apriori, tapi sebaiknya RUU ini dikaji lebih dalam sebelum disahkan karena jika terus digulirkan dampak negatifnya akan jauh lebih besar,” kata Yusuf.
Menanggapi kritikan para ulama tersebut, Anggota Komisi VIII DPR RI menegaskan bahwa saat ini RUU KKG masih dalam proses penggodokan draft RUU. Menurut Hakim, dari RDP/RDPU yang telah dilaksanakan di Komisi VIII, disepakati bahwa naskahRUU KKG ini akan ditulis ulang oleh Deputi Perundang-undangan DPR RI berdasarkan masukan-masukan yang telah disampaikan baik oleh pemerintah maupun elemen masyarakat.
“Memang banyak masukan dan pertanyaan dari masyarakat terkait dengan RUU KKG ini, khususnya soal muatan materi RUU yang dinilai melanggar norma-norma agama. Dan kami di DPR sangat berhati-hati dalam menyusun RUU ini. Kami masih melakukan berbagai pendalaman untuk memberikan solusi alternatif agar RUU ini nanti bisa diterima semua kalangan,” kata Hakim yang juga Sekretaris Fraksi PKS DPR RI itu.
Seperti diketahui, materi muatan dalam RUU dikhawatirkan mendekonstruksi ajaran-ajaran agama dan berbenturan dengan UU lain atau norma yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Muslim Indonesia, seperti soal hukum waris dan UU Perkawinan.
مَنْ جُعِلَ قَاضِيًا بَيْنَ النَّاسِ فَقَدْ
ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ
“Barangsiapa yang dijadikan
hakim diantara manusia, maka sungguh ia telah disembelih tanpa menggunakan
pisau”. ( Hadits ini ditakhrij oleh Imam Abu dawud dalam sunannya, Imam
Tirmidzi dalam sunannya dan Imam Ibnu Majah dalam sunannya serta Aimah lainnya.
Imam Al Albani menilai shahih haditsnya)
Dua dari Tiga Hakim Ada di Neraka
Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam memperingatkan umatnya agar berhati-hati dalam
mengemban amanat itu, sebagaimana dalam sabda beliau:
القضاة ثلاثة واحد في الجنة واثنان في النار
“Qadhi (penentu
keputusan) itu ada tiga, satu di surga dan dua di neraka"
فأما الذي في الجنة
فرجل عرف الحق فقضى به
Yang di surga adalah
Qadhi yang tahu kebenaran lalu memberikan keputusan dengannya.
ورجل عرف الحق فجار
في الحكم فهو في النار
Sedang Qadhi yang
tahu kebenaran lalu zhalim dalam keputusannya, maka ia di neraka.
ورجل قضى للناس على
جهل فهو في النار [رواه أبو داود واللفظ له (3573) والترمذي (1322) وابن ماجه
(2315) وصححه الألباني
Begitu pula, Qadhi
yang memberi keputusan tanpa ilmu, ia di neraka”
[HR. Abu Dawud 3573,
At-Tirmidzi 1322 dan Ibnu Majah 2315, di-shahih-kan oleh Al Albani]
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِى
وَالْمُرْتَشِى فِى الْحُكْمِ.
Dari Abu Hurairah
radliyallahu ’anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah hukum.” (HR. Ahmad
II/387 no.9019, At-Tirmidzi III/622 no.1387, Ibnu Hibban XI/467 no.5076. Dan
dinyatakan Shohih oleh syaikh Al-Albani
di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/261 no.2212).
وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ
Dan janganlah kamu (para
saksi) menyembunyikan kesaksian ( Al Baqarah Ayat 283 )
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ
وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ
فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ (٢٨٤)
Milik Allah-lah segala apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.Jika kamu menyatakan apa yang ada
di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat
perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Dia mengampuni siapa yang Dia
kehendaki dan menyiksa siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu ( Al Baqarah Ayat 284 ).
وَالَّذِينَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُونَ
Dan orang-orang yang
memberikan kesaksiannya (Surat Al-Ma’arij Ayat 33)
Tingkat Dosa Kesaksian Palsu
Jumat, 06 Februari 2015, 19:08 WIB
Bersaksi di pengadilan ternyata bisa menimbulkan konsekuensi
serius. Jika kesaksian seseorang salah atau terbukti palsu, ancaman hukuman
pidana siap menanti.
Seseorang yang awalnya duduk di kursi saksi, jika terbukti melakukan kesaksian palsu bisa berubah duduk menjadi tersangka. Dalam hukum positif di Indonesia, sesuai Pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang yang memberi keterangan palsu di atas umpah, baik lisan maupun tulisan diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Lalu bagaimana dengan bersaksi palsu menurut syariat Islam? Para ulama menggolongkan saksi palsu sebagai salah satu dosa besar. Dalam Syarah Riyadhus Shalihin, ucapan palsu didefinisikan sebagai sebuah kebohongan dan perbuatan yang mengada-ada.
Perbuatan ini merupakan salah satu dari dosa-dosa yang membinasakan dan paling berat ketentuan hukum haramnya. Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menerangkan saksi palsu sebagai seseorang bersaksi terhadap sesuatu yang dia tidak mengetahui atau mengetahui yang sebaliknya.
Saleh al-Fauzan dalam Fikih Sehari-hari berpendapat, seorang saksi haruslah menjelaskan apa yang telah ia saksikan dan ketahui. Kesaksian yang benar adalah sebuah kewajiban yang hukumnya fardu kifayah. Allah SWT berfirman, “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil.” (QS al Baqarah [2] : 282).
Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini menyatakan, ini merupakan perintah untuk menunaikan persaksian dan menyampaikannya kepada hakim. Sebab, hal itu sangat dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran dan hak.
Larangan bersaksi palsu termaktub dalam firman Allah SWT, “..dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (QS al-Hajj [22]:30). Para ulama bahkan menyejajarkan pelaku saksi palsu dengan pelaku kemusyrikan. Pelaku kemusyrikan sendiri adalah dosa paling besar dan tidak diampuni oleh Allah SWT. Dasarnya adalah beberapa ayat Alquran yang menyandingkan perbuatan dusta dengan musyrik.
Seperti dalam lanjutan surah al-Hajj ayat 30-31. “..maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”
Dalam surah lain Allah SWT berfirman, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS al-A'raaf [7] :33)
Beberapa sifat ibadurrahman (hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih) adalah mereka tidak suka bersaksi palsu (QS al-Furqan [25]: 72). Tafsir ayat ini disebutkan sifat lainnya, yakni kufur, bohong, fasik, sia-sia, dan perkara yang bathil. Makna lain dari ayat itu adalah nyanyian dan omong kosong. Lanjutan dari ayat 72 surah al-Furqan adalah, “dan apabila mereka bertemu dengan yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya.” Maknanya kehormatan orang-orang yang melakukan perbuatan dusta sama sekali tidak ada.
Dalam sebuah hadis, lebih jelas lagi tentang derajat keharaman saksi palsu. Rasulullah SAW menyejajarkan perbuatan saksi palsu dengan syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua. Dua dosa besar yang derajat dosanya sangat besar sekali.
Dari Abu Bakrah RA, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kau kuberi tahu tentang dosa besar yang paling besar?” Kami menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Ketika itu beliau sedang bersandar, kemudian beliau duduk lalu bersabda lagi, “Ketahuilah demikianlah pula ucapan bohong!” Beliau mengucapkannya berulang-ulang sehingga kami berkata, “Mudah-mudahan beliau diam.” (HR Bukhari Muslim).
Penyejajaran dengan syirik dan durhaka kepada orang tua menegaskan kedudukan dusta dalam persaksian dalam derajat dosa besar yang paling besar. Diulang-ulangnya perkataan Rasulullah saat menyebut perkataan bohong merupakan penegasan jika perbuatan ini adalah dosa yang tidak sepele.
Orang yang gemar melakukan perbuatan dusta juga termasuk golongan orang-orang munafik. Rasulullah SAW bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, apabila berkata berdusta, apabila berjanji ia ingkar dan jika diamanati ia berkhianat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dusta juga bukan sifat orang beriman. Bahkan, ia bisa menjauhkan orang tersebut dari iman. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya yang mengada-ngadakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (QS an-Nahl [16]: 105).
Orang yang memiliki iman di hatinya mungkin memiliki rasa takut. Namun, orang yang beriman disifati Rasulullah tidak memiliki sedikitpun perangai dusta. Rasulullah SAW pernah ditanya, “Apakah mungkin orang mukmin itu penakut?” Beliau menjawab, “Mungkin.” Orang itu bertanya lagi, “Apa mungkin dia bakhil?” Beliau menjawab, “Mungkin.” Kemudian orang itu bertanya lagi, “Apakah mungkin dia pendusta?” Beliau menjawab, “Tidak Mungkin.” (HR Malik). Allahu A'lam.
Seseorang yang awalnya duduk di kursi saksi, jika terbukti melakukan kesaksian palsu bisa berubah duduk menjadi tersangka. Dalam hukum positif di Indonesia, sesuai Pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang yang memberi keterangan palsu di atas umpah, baik lisan maupun tulisan diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Lalu bagaimana dengan bersaksi palsu menurut syariat Islam? Para ulama menggolongkan saksi palsu sebagai salah satu dosa besar. Dalam Syarah Riyadhus Shalihin, ucapan palsu didefinisikan sebagai sebuah kebohongan dan perbuatan yang mengada-ada.
Perbuatan ini merupakan salah satu dari dosa-dosa yang membinasakan dan paling berat ketentuan hukum haramnya. Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menerangkan saksi palsu sebagai seseorang bersaksi terhadap sesuatu yang dia tidak mengetahui atau mengetahui yang sebaliknya.
Saleh al-Fauzan dalam Fikih Sehari-hari berpendapat, seorang saksi haruslah menjelaskan apa yang telah ia saksikan dan ketahui. Kesaksian yang benar adalah sebuah kewajiban yang hukumnya fardu kifayah. Allah SWT berfirman, “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil.” (QS al Baqarah [2] : 282).
Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini menyatakan, ini merupakan perintah untuk menunaikan persaksian dan menyampaikannya kepada hakim. Sebab, hal itu sangat dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran dan hak.
Larangan bersaksi palsu termaktub dalam firman Allah SWT, “..dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (QS al-Hajj [22]:30). Para ulama bahkan menyejajarkan pelaku saksi palsu dengan pelaku kemusyrikan. Pelaku kemusyrikan sendiri adalah dosa paling besar dan tidak diampuni oleh Allah SWT. Dasarnya adalah beberapa ayat Alquran yang menyandingkan perbuatan dusta dengan musyrik.
Seperti dalam lanjutan surah al-Hajj ayat 30-31. “..maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”
Dalam surah lain Allah SWT berfirman, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS al-A'raaf [7] :33)
Beberapa sifat ibadurrahman (hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih) adalah mereka tidak suka bersaksi palsu (QS al-Furqan [25]: 72). Tafsir ayat ini disebutkan sifat lainnya, yakni kufur, bohong, fasik, sia-sia, dan perkara yang bathil. Makna lain dari ayat itu adalah nyanyian dan omong kosong. Lanjutan dari ayat 72 surah al-Furqan adalah, “dan apabila mereka bertemu dengan yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya.” Maknanya kehormatan orang-orang yang melakukan perbuatan dusta sama sekali tidak ada.
Dalam sebuah hadis, lebih jelas lagi tentang derajat keharaman saksi palsu. Rasulullah SAW menyejajarkan perbuatan saksi palsu dengan syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua. Dua dosa besar yang derajat dosanya sangat besar sekali.
Dari Abu Bakrah RA, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kau kuberi tahu tentang dosa besar yang paling besar?” Kami menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Ketika itu beliau sedang bersandar, kemudian beliau duduk lalu bersabda lagi, “Ketahuilah demikianlah pula ucapan bohong!” Beliau mengucapkannya berulang-ulang sehingga kami berkata, “Mudah-mudahan beliau diam.” (HR Bukhari Muslim).
Penyejajaran dengan syirik dan durhaka kepada orang tua menegaskan kedudukan dusta dalam persaksian dalam derajat dosa besar yang paling besar. Diulang-ulangnya perkataan Rasulullah saat menyebut perkataan bohong merupakan penegasan jika perbuatan ini adalah dosa yang tidak sepele.
Orang yang gemar melakukan perbuatan dusta juga termasuk golongan orang-orang munafik. Rasulullah SAW bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, apabila berkata berdusta, apabila berjanji ia ingkar dan jika diamanati ia berkhianat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dusta juga bukan sifat orang beriman. Bahkan, ia bisa menjauhkan orang tersebut dari iman. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya yang mengada-ngadakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (QS an-Nahl [16]: 105).
Orang yang memiliki iman di hatinya mungkin memiliki rasa takut. Namun, orang yang beriman disifati Rasulullah tidak memiliki sedikitpun perangai dusta. Rasulullah SAW pernah ditanya, “Apakah mungkin orang mukmin itu penakut?” Beliau menjawab, “Mungkin.” Orang itu bertanya lagi, “Apa mungkin dia bakhil?” Beliau menjawab, “Mungkin.” Kemudian orang itu bertanya lagi, “Apakah mungkin dia pendusta?” Beliau menjawab, “Tidak Mungkin.” (HR Malik). Allahu A'lam.
Oleh
Hafidz Muftisany
Kesaksian Palsu
Hadits ibnumajah
2363
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ الْعُصْفُرِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَبِيبِ بْنِ
النُّعْمَانِ الْأَسَدِيِّ عَنْ خُرَيْمِ بْنِ فَاتِكٍ الْأَسَدِيِّ قَالَ صَلَّى
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصُّبْحَ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَامَ
قَائِمًا فَقَالَ عُدِلَتْ شَهَادَةُ الزُّورِ بِالْإِشْرَاكِ بِاللَّهِ ثَلَاثَ
مَرَّاتٍ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ { وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ حُنَفَاءَ
لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ }
Persaksian palsu itu
sama dgn syirik kepada Allah. Hal itu beliau ucapkan hingga tiga kali, setelah
itu beliau membaca ayat: ' [HR. ibnumajah No.2363].
Hadits ibnumajah
No.2363 Secara Lengkap
[[[Telah menceritakan
kepada kami [Abu Bakr bin Abu Syaibah] berkata, telah menceritakan kepada kami
[Muhammad bin Ubaid] berkata, telah menceritakan kepada kami [Sufyan Al
'Ushfuri] dari [Bapaknya] dari [Habib An Nu'mani Al Asadi] dari [Khuraim bin
Fatik Al Asadi] ia berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
melaksanakan shalat subuh, setelah selesai beliau berdiri dan bersabda:
"Persaksian palsu itu sama dengan syirik kepada Allah." Hal itu
beliau ucapkan hingga tiga kali, setelah itu beliau membaca ayat: ' maka
jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan
dusta. dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia'.
QS. Al Hajj: 30-31."]]]
Hadits ibnumajah 2364
حَدَّثَنَا سُوَيْدُ
بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْفُرَاتِ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَنْ تَزُولَ قَدَمَا شَاهِدِ الزُّورِ حَتَّى يُوجِبَ اللَّهُ لَهُ النَّارَ
Sekali-kali kedua
kaki orang yg bersumpah palsu tak akan bergeser hingga Allah memasukannya ke
dalam neraka. [HR. ibnumajah No.2364].
Hadits ibnumajah
No.2364 Secara Lengkap
[[[Telah menceritakan
kepada kami [Suwaid bin Sa'id] berkata, telah menceritakan kepada kami
[Muhammad bin Al Furat] dari [Muharib bin Ditsar] dari [Ibnu Umar] ia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sekali-kali kedua
kaki orang yang bersumpah palsu tidak akan bergeser hingga Allah memasukannya
ke dalam neraka."]]]
Ketentuan lain yang tidak
sesuai syariat :
-Apakah UU Perkawinan th 74 & KHI
th 91 sesuai syariat islam dan keputusan Pengadilan agama terkait gugat cerai istri Mutlak
Sah secara Syar’i ? mana rujukan/bukti/ UUnya ? apakah termasuk khulu ?
-Jika “cerai talaq” dalam syariat Islam sangat mudah
dilakukan, setiap saat suami bisa melakukan/ mengucapkan “firoq/talaq”, tetapi
untuk “ khulu (cerai gugat ?)” perlu prosedur syariat yang benar. Hal tersebut
terjadi Juga di “ Peradilan Agama”. “kesulitan” tersebut memberi peluang
penyalahgunaan kekuasaan/ wewenang yang cenderung melanggar syariat Islam.
-Apakah “tanpa suami mengucapkan talaq” al-khulu sah
secara syariat islam ? adakah verstek dalam syariat islam ?
(Pasal 125 Herzien
Indlandsch Reglement (HIR) (S.1941-44) hakim dapat menjatuhkanputusan verstek).
-Kenapa Dalam keputusan peradilan agama tidak
disebutkan " sesuai dengan syariat islam " ?
-Jika semua tergugat (suami) dimuka bumi tidak mau datang ke PA, karena merasa tidak ada manfaatnya, melanggar syariat Allah, muru'ah, ketidak adilan dan pemutar-balikan fakta dan dia tahu dengan ryswah keputusan akhirnya akan bubar juga lebih baik tidak datang, Zuhud dan wara'nya lebih terjaga. Berarti dalam 1 ( satu) bulan keputusan final akan terbit ( verstek). Masya Allah, syariat apa yang dipakai ?
-Apakah dalam syariat " khulu" harus diawali dengan fitnah/hujatan yang merupakan permohonan penggugat ( diajukan) ke Pengadilan Agama ?
-Apakah dalam syariat ada istilah banding dalam perceraian ?
- Larangan seorang wanita menjadi Qadhi ( hakim ) : al-Ashaalah 17, hal : 70 ( syaikh Al- Albani)
-Jika semua tergugat (suami) dimuka bumi tidak mau datang ke PA, karena merasa tidak ada manfaatnya, melanggar syariat Allah, muru'ah, ketidak adilan dan pemutar-balikan fakta dan dia tahu dengan ryswah keputusan akhirnya akan bubar juga lebih baik tidak datang, Zuhud dan wara'nya lebih terjaga. Berarti dalam 1 ( satu) bulan keputusan final akan terbit ( verstek). Masya Allah, syariat apa yang dipakai ?
-Apakah dalam syariat " khulu" harus diawali dengan fitnah/hujatan yang merupakan permohonan penggugat ( diajukan) ke Pengadilan Agama ?
-Apakah dalam syariat ada istilah banding dalam perceraian ?
- Larangan seorang wanita menjadi Qadhi ( hakim ) : al-Ashaalah 17, hal : 70 ( syaikh Al- Albani)
-Apakah dalam syariat membolehkan saksi dari pihak
keluarga dan perempuan ?
-Apakah ada dalil/rujukan dari Nabi/sahabat "
sahnya perceraian setelah hakim/panitera kirim surat sebanyak 3 X dalam satu
bulan ( dihari ke 31 ) hakim putuskan perceraian ? ( lihat KHI Pasal 133 ayat 1
dan 2, pasal 116 ayat b, diperlukan waktu 2 tahun. Juga pasal 131 ayat 4 dan
pasal 138 denagn waktu yang cukup lama )
-Kalau suami diluar negeri kehilangan jejak, kenapa
hakim tidak bisa mengambil keputusan cepat dan harus tunggu 2 tahun ? Suami Hilang
( http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2014/03/suami-hilang.html
)
-Kalau “Tergugat” ternyata orang kuat ( institusi
tertentu) , beranikah si hakim mengambil keputusan begitu cepat seperti point
diatas/suami yang lemah kedudukannya ? (
ada beberapa kasus seperti ini,lihat kasus tahun 2013, diputus setelah lebih 10 tahun )
-Belum ada keputusan tetap/inckracht ? Kalau sipenggugat kawin lagi setelah keputusan terbit dan ternyata si suami menangkan banding, bagaimana ?
-Belum ada keputusan tetap/inckracht ? Kalau sipenggugat kawin lagi setelah keputusan terbit dan ternyata si suami menangkan banding, bagaimana ?
(terbitnya/penerimaan surat keputusan disiasati
sedemikian rupa untuk persempit waktu banding)
-Kalau UU perkawinan/peradilan agama bertentangan dengan syariat islam/hukum Allah ( lihat surat Qs. An-Nisaa': 59 tafsir ibnu katsir, bahasan ustadz hakim ) apakah si suami WAJIB mendatangi pengadilan agama untuk mengikuti kemauan penggugat dengan cara yang bathil ? buat apa datang, sebab hasilnya sudah diprediksi dari awal, malah berdosa kepada Allah. Seorang tergugat dipanggil ke pengadilan agama dengan cara yang bathil seperti diseret-seret dijalan dengan paksa menuju lembaga “thoghut”.
-Kalau UU perkawinan/peradilan agama bertentangan dengan syariat islam/hukum Allah ( lihat surat Qs. An-Nisaa': 59 tafsir ibnu katsir, bahasan ustadz hakim ) apakah si suami WAJIB mendatangi pengadilan agama untuk mengikuti kemauan penggugat dengan cara yang bathil ? buat apa datang, sebab hasilnya sudah diprediksi dari awal, malah berdosa kepada Allah. Seorang tergugat dipanggil ke pengadilan agama dengan cara yang bathil seperti diseret-seret dijalan dengan paksa menuju lembaga “thoghut”.
-Rukun nikah ada di hadits, Rukun cerai di Al Qur'an.
Rukun nikah yg ada di Al Qur'an cuma mahar, Annisa ayat 4. Rukun cerai ada di
Al Quran, bayar Iwadh, Al Baqarah 229. Jadi ada kesepadanan yang mutlak. Jangan
akal meredusir, mengaburkan, mengkompensasi, mensublimasi keadaan zaman,
emansipasi , kesetaraan gender dll.
-Kalau Penggugat melakukan Risywah/berkonspirasi dengan
hakim/panitera untuk mensiasati jalannya proses pengadilan yang cepat/tanpa
banding, menutup peluang tergugat memverifikasi/membantah tuduhan keji untuk
menutupi "kefasikan si penggugat", apakah keputusan tersebut tetap
sah secara syar'i ?
-Kalau sipenggugat tidak jujur dalam memberikan alasan/tuduhan dan diakomodir hakim, sebagai siasat menutupi "kerusakannya", apakah keputusan akhirnya tetap sah ?
-Kenapa tergugat tidak boleh/diberi kesempatan membantah secara tertulis terhadap tuduhan-tuduhan ( palsu) yang dijadikan persyaratan permohonan kepengadilan oleh penggugat dan keputusan akhir harus mencantumkan sikap kedua belah pihak ? Jangan langsung mendamaikan, sebab merusak kehormatan ( muru'ah) tergugat.
-Pasal 124/148 atau pasal 116 yang syar’i ? apakah pasal 116 merupakan cara cerai menurut syariat islam ?
-Dari th 74 sampai thn 91 apa rujukan UU nya kalau ada khulu (gugatan cerai ?) ? Tidak ada !
-Lantas, bagaimana terapi untuk menyelesaikan pertikaian dalam rumah tangga? Hal ini sudah dijelaskan dalam surat an-Nisâ`/4 ayat 34-35.
Pertanyaannya kemudian, apakah suami istri itu masing-masing telah menjalankan kewajibannya? Apakah sudah menempuh jalan penyelesaian, yaitu mendatangkan dua penengah ( hakam )dari pihak keluarga masing-masing untuk ikut membahas dan memberikan solusi yang tepat bagi masing-masing suami istri itu? Atau lantaran tidak ingin berbelit-belit, maka aturan-aturan Allah tadi dikesampingkan? Pada surat gugat ke Pengadilan Agama, point ini diabaikan ( dimanipulir), cara mendatangkan masing-masing hakam akan memberikan rasa takut akan terbongkarnya kefasiqkan/kebejadan salah satu pihak. Makanya ambil jalan pintas ke PA.
-Di Pengadilan semua aib (suami/istri) di umbar/di expose ( yang berupa fitnah maupun yang mungkin benar ). Karena aib/keburukan/tuduhan keji, sangat menguntungkan/ akan dijadikan dalih/acuan keputusan hakim untuk mengabulkan/memutuskan sepihak. Jadi salah satu pihak ( didukung keluarganya) berusaha merekayasa/mamanipulir kebenaran supaya bisa mempengaruhi hakim. Bukankah ini namanya wilayah/golongan munafik seperti Abdullah bin ubay. Bukankah lebih baik kita menjauhinya ? kenapa tidak dilakukan musyawarah antar keluarga supaya lebih efisien/ tidak berdampak fitnah/menyalahi sunnah ?
berarti kita diperintahkan melakukan kemaksiatan kepada Allah. Biasanya ada something wrong. Namun bukan berarti kita menyatakan keluar dari ketaatan kepada ulil amri (pemerintah). Sikap tidak taat kita kepada salah satu perintah yang bersifat maksiat itu bukan kemudian merekomendasi kita untuk keluar dari ketaatan dari ulil amri secara total atau membolehkan kita untuk menentang ulil amri secara provokatif dan demonstratif, yang demikian justru akan memperkeruh suasana dan melemahkan stabiltas keamanan.
-Kalau sipenggugat tidak jujur dalam memberikan alasan/tuduhan dan diakomodir hakim, sebagai siasat menutupi "kerusakannya", apakah keputusan akhirnya tetap sah ?
-Kenapa tergugat tidak boleh/diberi kesempatan membantah secara tertulis terhadap tuduhan-tuduhan ( palsu) yang dijadikan persyaratan permohonan kepengadilan oleh penggugat dan keputusan akhir harus mencantumkan sikap kedua belah pihak ? Jangan langsung mendamaikan, sebab merusak kehormatan ( muru'ah) tergugat.
-Pasal 124/148 atau pasal 116 yang syar’i ? apakah pasal 116 merupakan cara cerai menurut syariat islam ?
-Dari th 74 sampai thn 91 apa rujukan UU nya kalau ada khulu (gugatan cerai ?) ? Tidak ada !
-Lantas, bagaimana terapi untuk menyelesaikan pertikaian dalam rumah tangga? Hal ini sudah dijelaskan dalam surat an-Nisâ`/4 ayat 34-35.
Pertanyaannya kemudian, apakah suami istri itu masing-masing telah menjalankan kewajibannya? Apakah sudah menempuh jalan penyelesaian, yaitu mendatangkan dua penengah ( hakam )dari pihak keluarga masing-masing untuk ikut membahas dan memberikan solusi yang tepat bagi masing-masing suami istri itu? Atau lantaran tidak ingin berbelit-belit, maka aturan-aturan Allah tadi dikesampingkan? Pada surat gugat ke Pengadilan Agama, point ini diabaikan ( dimanipulir), cara mendatangkan masing-masing hakam akan memberikan rasa takut akan terbongkarnya kefasiqkan/kebejadan salah satu pihak. Makanya ambil jalan pintas ke PA.
-Di Pengadilan semua aib (suami/istri) di umbar/di expose ( yang berupa fitnah maupun yang mungkin benar ). Karena aib/keburukan/tuduhan keji, sangat menguntungkan/ akan dijadikan dalih/acuan keputusan hakim untuk mengabulkan/memutuskan sepihak. Jadi salah satu pihak ( didukung keluarganya) berusaha merekayasa/mamanipulir kebenaran supaya bisa mempengaruhi hakim. Bukankah ini namanya wilayah/golongan munafik seperti Abdullah bin ubay. Bukankah lebih baik kita menjauhinya ? kenapa tidak dilakukan musyawarah antar keluarga supaya lebih efisien/ tidak berdampak fitnah/menyalahi sunnah ?
berarti kita diperintahkan melakukan kemaksiatan kepada Allah. Biasanya ada something wrong. Namun bukan berarti kita menyatakan keluar dari ketaatan kepada ulil amri (pemerintah). Sikap tidak taat kita kepada salah satu perintah yang bersifat maksiat itu bukan kemudian merekomendasi kita untuk keluar dari ketaatan dari ulil amri secara total atau membolehkan kita untuk menentang ulil amri secara provokatif dan demonstratif, yang demikian justru akan memperkeruh suasana dan melemahkan stabiltas keamanan.
-Intitusi PA bertentangan dengan syariat/hukum Allah,
tidak ada kewajiban untuk mematuhinya ( toh tidak ada sangsi hukum untuk
pelanggarannya). Silahkan hakim mengambil keputusan sekehendak hatinya.
-Kalau mau merujuk pada syariat ( yang syar'i) lihat contoh Nabi pada kasus istri Tsabit bin Qais [ Al Muhalla 10/235, dan Fath Al Bari 9/312 versi penerbit Salafiyyah, juga buka Shahì Fikì Sunnah Jilid 3 Pustaka Azzam] Yang bahasannya a.l : Shighat/Lafazh Khulu, Iwadh, apakah izin Qadhi menjadi Syarat kebolehan Khulu, Bolehkah Hakim memutuskan Khulu Tanpa Ridha Suami ?
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini)
[koreksi dari pembaca secara tertulis sangat diharapkan]
-Kalau mau merujuk pada syariat ( yang syar'i) lihat contoh Nabi pada kasus istri Tsabit bin Qais [ Al Muhalla 10/235, dan Fath Al Bari 9/312 versi penerbit Salafiyyah, juga buka Shahì Fikì Sunnah Jilid 3 Pustaka Azzam] Yang bahasannya a.l : Shighat/Lafazh Khulu, Iwadh, apakah izin Qadhi menjadi Syarat kebolehan Khulu, Bolehkah Hakim memutuskan Khulu Tanpa Ridha Suami ?
●●●●●●●●●●●
Bolehkah
Wanita Menjadi Hakim?
Pertanyaan :
Bisakah perempuan menjadi hakim?
Pertanyaan disampaikan oleh ummu Uchy
titipan dari temannya.
Jawab :
Jumhur ulama wanita tidak boleh menjadi
qodhi (hakim), andaikata ia menjadi hakim maka setiap keputusan yang dia
jatuhkan adalah bathil. Ini adalah madzab Imam Maliki, imam Syafi'i, Imam Ahmad
Bin Hanbal, dan sebagaian madzab imam abu hanifah. (Bidayatul Mujtahid 2/531)
(Al majmu' 20/137) (Al Mughni 11/350)
Dalil pelarangan wanita menjadi hakim :
1.الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ
Artinya :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka.
-Surat An-Nisa', Ayat 34
Ayat tersebut menunjukkan bahwasanya
laki-laki adalah pemimpin bagi wanita bukan sebaliknya.
2. وللرجال عليهن
درجة
Artinya
Para suami (laki-laki) memiliki satu
tingkatan di atas istrinya
Albaqarah 228
Allah SWT memberikan pada laki-laki
derajat (tingkatan) lebih daripada wanita, dengan menjadikan wanita sebagai
hakim maka menafikan derajat laki-laki yang telah ditetapkan Allah SWT
3.وعَنْ
أَبِي بَكْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ
بِنْتَ كِسْرَى قَالَ : ( لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً )
رواه البخاري (4425) .
Dari abi bakrah ra berkata : ketika telah
sampai berita kepada Rasulullah SAW bahwasanya penduduk persia mengangkat putri
kisra (Raja persia) sebagai pemimpin, Rasulullah SAW bersabda : "tidak
akan beruntung sebuah kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin nya
(HR.Bukhari 4426)
Para Fuqoha' mengambil hukum berdasarkan
hadist tersebut bahwa wanita tidak boleh menjadi qodhi (hakim) karena
"ketidakberuntungan suatu kaum" karena menjadikan wanita sebagai
pemimpin adalah madhorot yang harus dihindari. Hadist di atas dalil umum bagi
setiap kepemimpinan wanita dalam islam pada setiap perkara.
4.Karakteristik serta tabiat wanita tidak yang
lembut dan gampang dipengaruhi perasaan menghalangi wanita untuk menjadi
pemimpin secara umum.
5.Fakta membuktikan di berabagai belahan dunia
bahwasanya wanita tidak layak sebagai pemimpin
6.Seorang hakim dituntut untuk menghadiri
event-event atau forum yang mana menharuskan ia ikhtilat dengan lawan jenis,
bahkan terkadang menyaksikan rekonstruksi setiap kejadian dan mengharuskan berkholwat
dengan lawan jenis. Syariat islam sangat menjaga harga diri dan kehormatan
wanita.
7.Seorang hakim dituntut untuk memiliki
kecerdasan tingkat tinggi, tidak gegabah
dalam mengambil keputusan, otak dan pikiran yang jernih dan cemerlang.
Sedangkan wanita dia kurang akalnya dibanding laki-laki, sedikit pengalaman dan
kemamuan dana berintrik mengungkap suatu kasus.
8.Di samping itu juga kondisi wanita berbeda
dengan pria. Ia hamil melahirkan, menyusui, haid, yang mana kondisi-kondisi
tersebut berpengaruh akan energitas dan elekbilitas seorang hakim.
Demikian ... wallahu a'lam
Ainur Rohmawatin, Lc
●●●●●●●●●●●
Hakikat Khulu’ Sabagai Fasakh
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah
Muhammad as-Sarbini)
Definisi Khulu’
Secara etimologi (tinjauan bahasa),
khulu’ berasal dari kata خَلَعَ
الثَّوْبَ (melepas pakaian), karena istri adalah
pakaian bagi suaminya secara maknawi.
Allah l berfirman:
“Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan
kalian pun adalah pakaian bagi mereka.” (al-Baqarah: 187)
Khulu’ diistilahkan pula dengan fida’,
iftida’, dan fidyah, yang artinya tebusan, karena istri yang melakukan khulu’
menebus dirinya dengan bayaran kepada suami. Allah l berfirman:
“Jika kalian khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, tidak ada dosa atas
keduanya akan bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.”
(al-Baqarah: 229)
Adapun definisi khulu’ secara terminologi
(menurut istilah) adalah perpisahan dengan istri yang ditebus dengan bayaran
dari istri atau dari selainnya.
Jadi, khulu’ berkonsekuensi dua perkara:
bayaran (tebusan) dan perpisahan.
1. Bayaran (tebusan)
Yang berkewajiban membayar tebusan
tersebut adalah istri. Namun, sah dibayarkan oleh walinya. Bahkan, sah
dibayarkan oleh orang lain, menurut pendapat yang benar. Ini adalah pendapat
Ibnu Taimiyah, as-Sa’di, dan Ibnu ‘Utsaimin.
Ibnu Taimiyah berkata—sebagaimana dalam
Majmu’ al-Fatawa dan al-Ikhtiyarat—, “Khulu’ boleh dilakukan seorang wanita
dari pihak/orang lain, menurut empat imam mazhab dan jumhur. Jadi, boleh bagi
orang lain menebus si istri dari suaminya, sebagaimana bolehnya menebus tawanan
dan menebus budak dari tuannya untuk dimerdekakan. Oleh karena itu,
dipersyaratkan bertujuan untuk membebaskannya dari tangan suaminya demi
maslahat wanita tersebut.”
Contohnya, seorang istri butuh melakukan
khulu’ karena tidak mencintai suaminya, tetapi tidak punya harta untuk menebus
dirinya. Jika ada orang lain yang membayarkan tebusannya, berarti ia telah
berbuat baik demi maslahat wanita itu. Jadi, siapa pun yang dianggap sah
mengeluarkan hartanya tanpa imbalan, sah baginya mengeluarkan hartanya untuk
pembayaran tebusan khulu’.
2. Perpisahan
Pisah khulu’ hanya terjadi jika
dijatuhkan oleh suami atau selainnya yang berwenang menjatuhkannya2 atas
permintaan istri dengan mengucapkan lafadz khulu’ atau yang semakna dengannya.
Tanpa dijatuhkan dengan lafadz khulu’ atau yang semakna dengannya, khulu’ tidak
jatuh menurut pendapat yang rajih—sebagaimana akan diterangkan nanti.
Adapun perpisahan yang diinginkan sendiri
oleh suami dan dijatuhkannya tanpa bayaran (tebusan), diistilahkan sebagai
pisah talak.
Masalah: Khulu’ tidak jatuh tanpa
dijatuhkan oleh suami
Khulu’ hanya jatuh jika suami
menjatuhkannya dengan mengucapkan lafadz khulu’ atau yang semakna dengannya.
Tanpa dijatuhkan dengan lafadz, maka khulu’ tidak jatuh. Inilah pendapat yang
rajih.
Ibnu Qudamah t menegaskannya berdasarkan
alasan berikut.
1. Khulu’ adalah tindakan terkait dengan
kepentingan biologis, sehingga tidak sah tanpa dilafadzkan oleh suami, seperti
halnya pernikahan dan talak.
2. Mengambil harta yang diberikan istri
adalah semata menggenggam tebusan. Ini tidak berkedudukan mewakili penjatuhan
khulu’.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu
‘Abbas c tentang kasus permintaan khulu’ istri Tsabit bin Qais bin Syammas yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari pada kitab Shahih-nya. Rasulullah n berkata kepada
Tsabit:
وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا
“Nabi n memerintah Tsabit memisahnya,
maka dia pun memisahnya.”
Pada riwayat al-Bukhari lainnya dengan
lafadz:
اقْبَلِ الْحَدِيْقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيْقَةً.
“Terimalah kebun itu dan talaklah dia.”3
Riwayat-riwayat ini jelas menunjukkan
bahwa lafadz suami menjatuhkan khulu’ adalah syarat jatuhnya khulu’.
Oleh karena itu, as-Sa’di berfatwa dalam
al-Fatawa as-Sa’diyyah bahwa khulu’ belum jatuh dan perpisahan belum terjadi
dengan sebatas perbincangan untuk khulu’ dan kesepakatan bahwa suaminya akan
menjatuhkan khulu’ jika istrinya membayar tebusan senilai harga yang
disepakati. Dalam hal ini, boleh baginya menarik kembali niatnya untuk
menjatuhkan khulu’.
Lafadz Khulu’
Ibnu Taimiyah—sebagaimana dalam Majmu’
al-Fatawa— menjelaskan, “Khulu’ dan talak sah dengan selain bahasa Arab,
menurut kesepakatan imam-imam umat ini.”
Khulu’ adalah fasakh (pembatalan akad)
dan ‘iddahnya satu kali haid
Yang benar, khulu’ dengan lafadz apa saja
adalah fasakh (pembatalan akad), baik dengan lafadz-lafadz yang khas untuk
khulu’ seperti; khulu’, fida’, iftida’, fasakh4, maupun dengan lafadz lainnya.5
Hal ini tidak dihitung sebagai talak sama sekali.
Dalilnya adalah sebagai berikut.
1. Firman Allah l:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik. Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang
telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami
istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya akan bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.”
(al-Baqarah: 229)
Pada ayat ini, setelah menyebutkan bahwa
talak raj’i (yang dapat dirujuk) hanya dua kali, Allah l menyebutkan hukum
iftida’ (khulu’) sebagai hukum tersendiri selain talak, karena Allah l
berfirman selanjutnya:
“Kemudian jika si suami menalaknya
(sesudah talak yang kedua), perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia
menikah dengan suami yang lain.” (al-Baqarah: 230)
Allah l menerangkan bahwa jika si suami
menalaknya lagi setelah dua talak sebelumnya (yang disebutkan di awal ayat),
ini dianggap talak tiga. Artinya, fida’ (khulu’) tersebut tidak diperhitungkan
sebagai bagian dari talak sama sekali. Sebab, seandainya dianggap sebagai
bagian dari talak, tentu hal ini terhitung sebagai talak keempat, sedangkan
seorang istri terpisah dari suaminya sama sekali—yang disebut bainunah kubra’
(perpisahan besar)—hanya dengan talak tiga.
Tampak jelas dari ayat ini bahwa khulu’
bukan talak, melainkan fasakh. Allah l menetapkannya sebagai fasakh (pembatalan
akad) secara umum, baik dengan lafadz-lafadz khulu’ yang khusus maupun dengan
lafadz lainnya.
2. Hadits ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz x
Ia berkata:
اخْتَلَعْتُ مِنْ زَوْجِي، ثُمَّ جِئْتُ
عُثْمَانَ فَسَأَلْتُ مَاذَا عَلَيَّ مِنْ الْعِدَّةِ؟ فَقَالَ: لاَ عِدَّةَ
عَلَيْكِ إِلاَّ أَنْ تَكُونِي حَدِيثَةَ عَهْدٍ بِهِ فَتَمْكُثِي حَتَّى تَحِيضِي
حَيْضَةً. قَالَ: وَأَنَا مُتَّبِعٌ فِي ذَلِكَ قَضَاءَ رَسُولِ اللَّهِ n فِي
مَرْيَمَ الْمَغَالِيَّةِ كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ
فَاخْتَلَعَتْ مِنْهُ.
“Aku khulu’ dari suamiku, lalu aku
mendatangi Utsman lantas bertanya akan kewajiban ‘iddah yang harus aku jalani.
Utsman menjawab, ‘Tidak ada kewajiban ‘iddah atasmu, kecuali jika kamu baru
saja berpisah dengannya, maka hendaklah kamu menanti hingga haid satu kali.’
Utsman berkata, ‘Dalam hal ini, saya
mengikuti hukum Rasulullah n terhadap Maryam al-Maghaliyah, yang sebelumnya
sebagai istri Tsabit bin Qais bin Syammas lalu khulu’ darinya’.” (HR. an-Nasa’i
dan Ibnu Majah, dihasankan oleh al-Albani dan al-Wadi’i)6
Hadits ini begitu jelas menunjukkan bahwa
khulu’ itu adalah fasakh walaupun dijatuhkan dengan lafadz talak, sebab ‘iddah
dengan satu kali haid adalah urusan fasakh, bukan urusan talak.
Adapun perintah Rasulullah n kepada
Tsabit bin Qais bin Syammas untuk mencerai istrinya yang meminta khulu’ dengan
lafadz:
اقْبَلِ الْحَدِيْقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيْقَةً.
“Terimalah kebun itu dan talaklah dia.” (HR.
al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas c)
tidak menunjukkan bahwa khulu’ dengan
lafadz talak adalah talak.
Ibnu Taimiyah—sebagaimana dalam Majmu’
al-Fatawa—berkata, “Adapun hadits ‘Talaklah dia’ maksudnya izin dari Nabi n
kepada Tsabit untuk menalaknya satu kali talak dengan bayaran (tebusan) dan
larangan lebih dari satu kali.”7
Artinya, tidak boleh menjatuhkan khulu’
lebih dari satu kali sekaligus dalam satu majelis seperti halnya larangan Nabi
n menalak tanpa bayaran (tebusan) lebih dari satu kali sekaligus dalam satu
majelis.
Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah t berkata,
“Nabi n memerintahkan agar tidak menjatuhkan talak dengan tebusan lebih dari
satu kali (sekaligus), tetapi hanya satu kali saja. Sebagaimana halnya menalak
hanya satu kali, tidak lebih dari itu (sekaligus). Namun, talak dengan tebusan
adalah talak yang terikat, bermakna fidyah (khulu’) dan perpisahan ba’in (utuh
tanpa dapat dirujuk), bukan talak mutlak yang terdapat dalam Al-Qur’an yang
bermakna raj’i (dapat di ruju’).”
Ini jika hadits tersebut sahih sebagaimana
telah disahihkan oleh al-Bukhari dan al-Albani.8
Yang benar, ‘iddahnya adalah satu kali
haid. Ini adalah istibra’, yaitu pembebasan rahim dari anak yang dikandung.
Dalilnya adalah hadits ar-Rubayyi’ x di atas. Hal ini karena tujuannya semata
untuk mengetahui terbebasnya rahim dari kehamilan yang tercapai dengan satu
kali haid saja. Tidak perlu diperpanjang untuk memberi kesempatan yang cukup
agar bisa ruju’ (kembali), karena tidak ada kesempatan rujuk pada khulu’.
Berbeda halnya dengan ‘iddah istri yang
ditalak sampai tiga kali haid, karena bertujuan memberi kesempatan yang cukup
lama bagi suami agar bisa rujuk jika mau.
Inilah pendapat Ibnu ‘Abbas dan
murid-muridnya, salah satu riwayat dari Ahmad, serta yang dipilih oleh Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, ash-Shan’ani, as-Sa’di, al-‘Utsaimin, dan al-Wadi’i,
guru besar kami.9
Konsekuensi hukum dari khulu’ sebagai
fasakh
Terdapat beberapa hukum sebagai
konsekuensi khulu’ (fasakh).
1. Jika seorang suami telah menjatuhkan
khulu’ atas istrinya dengan tebusan yang disepakati dan tebusannya telah
dibayarkan, terjadilah perpisahan antara keduanya dan putuslah hubungan
keduanya yang diistilahkan bainunah shughra’ (perpisahan kecil).10
Artinya, dia tidak punya hak rujuk
(kembali) dan tidak halal baginya untuk rujuk, sebab bayaran yang diberikannya
kepada suaminya adalah penebusan diri. Dengan itu, dia telah menebus dirinya
sehingga terlepas dari genggaman kuasa suaminya. Namun, dia bisa menikahinya
kembali dengan akad yang baru, baik dalam masa ‘iddah maupun setelahnya. Ini
adalah mazhab empat imam mazhab bersama jumhur ulama, yang dibenarkan oleh Ibnu
Taimiyah, asy-Syaukani, as-Sa’di, dan al-‘Utsaimin. Ibnul Qayyim dalam Zadul
Ma’ad berkata, “Amalan kaum muslimin berjalan di atas hukum ini.”11
Inilah yang benar, insya Allah.
Begitu pula halnya jika khulu’ telah
dijatuhkan oleh suami dengan tebusan yang disepakati dan tinggal penyerahan
tebusan saja, fasakh telah jatuh dan sudah tidak boleh rujuk (kembali). Ini
ditegaskan oleh as-Sa’di dalam al-Fatawa as-Sa’diyah.
2. Khulu’ tidak dihitung sebagai salah
satu dari tiga talak yang ditetapkan dalam syariat.12
Artinya, tidak mengurangi kesempatan
menalak yang diizinkan sampai tiga kali. Dengan demikian, jika suami sudah
menalaknya dua kali lalu dia mencerainya dengan khulu’, perpisahan yang terjadi
hanya bainunah shugra’ dan dia bisa menikahinya kembali secara langsung (tanpa
syarat telah digauli suami yang lain). Sebab, ini bukan talak tiga melainkan
fasakh. Dalam hal ini, kesempatan untuk menalaknya tetap tersisa satu kali,
karena dua talak sebelumnya tetap terhitung meskipun telah diselingi akad
pernikahan baru akibat khulu’ (fasakh) tersebut. Ini sebagaimana ditunjukkan
oleh ayat di atas.
Khulu’ berulang kali tidak menjadikan
istri haram atasnya untuk dinikahi kembali secara langsung. Walaupun telah
dikhulu’ sampai sepuluh kali—atau lebih dari itu tanpa batas—, tetap boleh
baginya menikahinya kembali dengan akad baru, tanpa syarat telah dinikahi dan
digauli suami lain.
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
1 Fasakh adalah pembatalan akad nikah,
bukan cerai. (-ed)
2 Yang berwenang menjatuhkannya adalah
suami atau pihak lainnya yang berhak menjatuhkan talak. Lihat uraian
pihak-pihak yang berwenang menjatuhkan talak pada “Yang Berwenang Menjatuhkan
Talak dan Lafadz-Lafadznya”.
3 Akan kami terangkan perselisihan ahli
hadits tentang kebenaran riwayat ini.
4 Yaitu dengan mengatakan, “Saya
mengkhulu’ kamu dengan tebusan itu”, “Saya melepasmu dengan tebusan itu”, atau
“Saya memfasakh (membatalkan) akad nikah kita dengan tebusan tersebut”.
5 Yaitu dengan mengatakan, “Saya
menalakmu dengan tebusan tersebut”, “Saya menceraimu dengan tebusan tersebut”,
“Saya memisahkanmu dengan bayaran tersebut”, atau semisalnya.
6 Pada sanadnya terdapat Muhammad bin
Ishaq, seorang mudallis, tetapi ia telah mempertegas bahwa dirinya mendengar
hadits ini dari syaikhnya. Lihat kitab Shahih Sunan an-Nasa’i (Kitab
“ath-Thalaq Bab ‘iddah al-Mukhtali’ah” no. 3498) dan al-Jami’ ash-Shahih (Kitab
“an-Nikah wath-Thalaq Bab ‘iddah al-Mukhtali’ah” 3/97).
7 Lihat Majmu’ al-Fatawa (32/310).
8 Al-Albani mensahihkannya dalam al-Irwa’
(no. 2036). Sementara itu, sebagian ahli hadits menganggap cacat riwayat ini
dengan irsal. Artinya, yang benar pada riwayat ini adalah jalan riwayat yang
mursal (tabi’in meriwayatkan langsung dari Nabi n) tanpa penyebutan Ibnu
‘Abbas. Yang benar pada periwayatan hadits Ibnu ‘Abbas adalah tanpa riwayat
talak. Di antara ahli hadits yang membenarkan hal ini adalah asy-Syaukani dalam
Nailul Authar (pada “Kitab al-Khul’i”) dan guru besar kami, Muqbil al-Wadi’i,
dalam Ijabah as-Sa’il (hlm. 699). Lihat pula Fathul Bari karya Ibnu Hajar (pada
Kitab “ath-Thalaq Bab al-Khul’i”).
9 Pendapat kedua yang memiliki sisi
kekuatan yang patut diperhitungkan adalah yang merinci:
– jika dengan lafadz-lafadznya yang khas,
jatuh sebagai fasakh meskipun diniatkan talak.
– jika dengan lafadz talak (yang jelas)
atau dengan lafadz kiasan disertai niat talak, jatuh sebagai talak ba’in yang
dianggap sah dalam perhitungan talak, berdasarkan riwayat, “Dan talaklah dia.”
Ibnu Taimiyah berkata, “Lafadz khulu’,
fida’, dan fasakh dengan bayaran (tebusan) adalah lafadz-lafadz yang jelas
sebagai fasakh, sehingga tidak bisa digunakan sebagai lafadz kiasan untuk
talak.”
Berdasarkan ini, tampaklah kelemahan
pendapat lainnya yang sama dengan pendapat kedua ini, tetapi mengatakan jatuh
sebagai talak jika menggunakan lafadz-lafadz khas tersebut yang diniatkan
talak.
10 Ini pula hukumnya menurut pendapat
lainnya (yang merinci) jika jatuh sebagai talak karena dijatuhkan dengan lafadz
talak (yang jelas) atau kiasan disertai niat talak.
11 Bersama dengan ini, secara tinjauan
makna, Ibnul Qayyim mendukung pendapat yang membolehkan rujuk dalam masa
‘iddah, sebagaimana pendapat Sa’id bin al-Musayyib dan az-Zuhri, yang
diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam kitab al-Mushannaf.
12 Adapun menurut pendapat yang merinci;
jika dijatuhkan dengan lafadz talak (yang jelas) atau lafadz kiasan disertai
niat talak, berarti jatuh sebagai talak tiga pada contoh tersebut dan
perpisahan yang terjadi adalah bainunah kubra’. Dia tidak bisa lagi menikahinya
kembali melainkan jika telah dinikahi dan digauli oleh suami lain. Lihat kitab
Majmu’ al-Fatawa (32/289).
Hukum Khulu’
Syariat Khulu’ dan Hikmahnya
Terdapat dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah
tentang disyariatkannya khulu’, di antaranya adalah:
1. Firman Allah l:
“Jika kalian khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, tidak ada dosa atas
keduanya akan bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.”
(al-Baqarah: 229)
2. Hadits Ibnu ‘Abbas c:
جَاءَتْ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ
شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ n فَقَالَتْ:
يَا رَسُولَ اللهِ، مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ إِلاَّ
أَنِّي أَخَافُ الْكُفْر (إِنِّي لاَ أَعْتِبُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلاَ
خُلُقٍ وَلَكِنِّي لاَ أُطِيقُه). فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: فَتَرُدِّينَ
عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ فَقَالَتْ: نَعَمْ. فَرَدَّتْ عَلَيْهِ، وَأَمَرَهُ
فَفَارَقَهَا.
Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang
kepada Nabi n dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam
hal agama dan akhlaknya, tetapi aku takut kekufuran.” (Pada riwayat lain,
“Sesungguhnya aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, tetapi
aku tidak sanggup bersamanya.”)
Nabi n bersabda kepadanya, “Apakah kamu
sanggup mengembalikan kebunnya?”
Ia menjawab, “Ya.”
Ia lalu mengembalikan kebunnya kepada
Tsabit dan Nabi n pun memerintahkan Tsabit memisahnya. Dia pun memisahnya.”
(HR. al-Bukhari dan lainnya)
Kekufuran yang dimaksud dalam hadits ini
adalah kufur (durhaka) terhadap suami, yaitu tidak mensyukuri kebaikannya
dengan menaati dan menunaikan haknya, tetapi ingkar terhadapnya dengan
melalaikan hak-haknya.
Kedua dalil di atas menunjukkan bahwa
hikmah disyariatkannya khulu’ adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran
hukum-hukum Allah l dalam kehidupan suami istri akibat kebencian seorang istri
terhadap akhlak, agama (amalan), ataupun fisik suami.
Masalah: Kekhawatiran akan terjadinya
pelanggaran hukum-hukum Allah l dalam kehidupan suami istri akibat kebencian
seorang istri terhadap akhlak, agama (amalan), atau fisik suami, sudah cukup
menjadi alasan meminta khulu’.
Tidak dipersyaratkan harus terjadinya
nusyuz (kedurhakaan istri kepada suami) atau perlakuan suami yang tidak baik
(tidak memberi hak istri) sebagai alasan yang membolehkan meminta khulu’.
Inilah pendapat jumhur dan yang dipilih oleh asy-Syaukani dalam as-Sail
al-Jarrar.
Masalah: Yang tampak dari ayat di atas,
khulu’ tidak boleh dilakukan kecuali jika ada kekhawatiran pada keduanya (suami
dan istri)
Artinya, si istri khawatir tidak dapat
menaati suaminya sebagaimana mestinya dan suaminya pun khawatir tidak dapat
berlaku baik kepada istrinya. Namun, hadits Ibnu ‘Abbas c menunjukkan bahwa
adanya kekhawatiran dari pihak istri saja cukup sebagai alasan dibolehkannya
khulu’. Jadi, tidak dipersyaratkan harus ada kekhawatiran dari kedua belah
pihak. Wallahu a’lam.
Hukum Istri Meminta Khulu’ dan Hukum
Suami Menanggapinya
Khulu’ terkait dengan dua pihak, yaitu
pihak istri selaku yang menuntut khulu’ dan pihak suami selaku yang menjatuhkan
khulu’. Untuk itu, masalah ini kami urai menjadi dua pembahasan.
1. Hukum istri meminta khulu’
Seluruh ulama sepakat akan bolehnya
khulu’, selain pendapat syadz (ganjil) dari Abu Bakr al-Muzani yang memandang
tidak boleh dengan klaim bahwa ayat tersebut telah mansukh (dihapus) hukumnya.
Pendapat ini gugur secara dalil, karena tidak boleh mengklaim suatu nash telah
mansukh (dihapus hukumnya) hanya dengan dugaan tanpa dalil. Di sini, tidak ada
dalil yang menunjukkan hal itu.
Hadits Ibnu ‘Abbas c menunjukkan bahwa
istri Tsabit bin Qais meminta khulu’ karena membenci fisik suaminya yang jelek
sehingga khawatir durhaka terhadap suaminya karena tidak sanggup hidup
bersamanya.
Ucapan istri Tsabit pada hadits tersebut,
“Aku tidak mencela Tsabit perihal agama dan akhlaknya” menunjukkan bahwa
merupakan hal biasa bagi seorang istri meminta khulu’ jika ia membenci akhlak
atau agama (amalan) suaminya yang jelek. Ini diterangkan oleh al-Imam Ibnu
‘Utsaimin dalam Fath Dzil Jalali wal Ikram.
Oleh karena itu, boleh seorang istri
meminta khulu’ dari suaminya jika ia membenci akhlak, agama (amalan), atau
fisik suaminya, serta khawatir tidak mampu menegakkan hak-hak suaminya yang
wajib ditunaikannya ketika hidup bersamanya.
Kelemahan dan kejelekan agama yang
dimaksud di sini adalah yang tidak sampai taraf kekafiran. Ibnu ‘Utsaimin
berkata dalam asy-Syarh al-Mumti’, “Kejelekan agama yang dimaksud adalah
kejelekan agama yang tidak sampai pada taraf menjadikan pelakunya kafir,
seperti suaminya melalaikan shalat jamaah, minum khamr (minuman beralkohol yang
memabukkan), merokok, mencukur jenggot, atau semisalnya.”
Abu Thalib (salah seorang ulama mazhab
Hanbali) menukil dari al-Imam Ahmad, “Jika seorang istri membenci suaminya
sedangkan suaminya mencintainya, saya tidak menyuruhnya meminta khulu’ dan
sepatutnya dia bersabar.”
Al-Qadhi membawa nash ucapan al-Imam
Ahmad ini kepada hukum mustahab (sunnah), karena al-Imam Ahmad telah
membolehkan khulu’ pada beberapa tempat. Artinya, boleh meminta khulu’, tetapi
bersabar lebih baik (utama). Bahkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memilih
kuatnya hukum makruh meminta khulu’ pada kondisi ini.
Akan tetapi, jika khawatir terkena dampak
negatif dari kejelekan agama suami, semakin kuat bolehnya meminta khulu’. Maka
dari itu, ketika al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz
ditanya tentang hukum seorang istri minta khulu’ dari suaminya yang peminum
khamr, mereka berfatwa—sebagaimana dalam Fatawa al-Lajnah—, “Jika suaminya
tidak mau berhenti minum khamr, ia boleh meminta khulu’ darinya agar terhindar
dari efek negatif terhadap dirinya dan anak-anaknya.”
Adapun jika kejelekan agama suami sampai
pada taraf kekafiran dan tidak bisa lagi dinasihati, ia wajib meminta khulu’
karena haram baginya bersuamikan orang kafir, berdasarkan Al-Qur’an, as-Sunnah,
dan ijma’.
Ini ditegaskan oleh as-Sa’di, Ibnu
‘Utsaimin, dan al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai Ibnu Baz.
Termasuk di dalamnya jika suami menganut
akidah bid’ah yang bertentangan dengan akidah Islam dan membatalkan keislaman,
seperti akidah Rafidhah1, akidah hululiyah dan ittihadiyah2, serta akidah
Jahmiyah3.
Termasuk pula jika suami tidak
melaksanakan shalat wajib lima waktu dan meninggalkannya sama sekali, menurut
salah satu pendapat ulama yang menganggapnya kafir (murtad).
Oleh karena itu, Ibnu ‘Utsaimin dan
al-Lajnah berfatwa wajibnya seorang istri meminta khulu’ dari suami yang
meninggalkan shalat fardhu lima waktu karena mereka berpendapat bahwa seorang
muslim yang meninggalkan shalat wajib lima waktu adalah kafir (murtad).
Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam asy-Syarh
al-Mumti’, “Wajib bagi istrinya berpisah darinya dengan segala kemampuan yang
dimiliki. Seluruh kaum muslimin berkewajiban membantunya dengan harta (untuk
melakukan khulu’).”
Bahkan, as-Sa’di dalam al-Fatawa
as-Sa’diyyah berfatwa bahwa istri wajib meminta khulu’ dari suami yang tidak
menjaga kesucian dan kehormatan dirinya dengan perzinaan (tidak ‘iffah) jika ia
tidak bisa lagi dinasihati. Hal ini kuat, mengingat haramnya menikah dengan
pezina, wallahu a’lam.
2. Hukum suami menanggapi permintaan
khulu’ istri
Jika istri meminta khulu’ dalam bentuk
yang dibolehkan oleh syariat’, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama
tentang hukum suami dalam menanggapinya dan mengkhulu’nya.
a. Pendapat yang mengatakan wajib.
Alasannya, inilah yang tampak dari
perintah Rasulullah n kepada Tsabit bin Qais. Di samping itu, kebersamaan
wanita itu bersama suaminya akan bermudarat terhadapnya, sedangkan mencegah
mudarat serta meniadakannya dari seorang muslimah adalah wajib.
Pendapat ini dirajihkan oleh ash-Shan’ani
dan al-‘Utsaimin. Berdasarkan hal ini, hakim berwenang memaksanya agar
mengkhulu’ istrinya jika dia enggan.
b. Pendapat yang mengatakan tidak wajib.
Alasannya, perintah Rasulullah n kepada
Tsabit adalah arahan semata, bukan perintah wajib. Berdasarkan hal ini, hakim
hanya sekadar memberi arahan dan menasihatinya. Jika dia menyambut, itulah yang
diinginkan. Jika dia enggan, dibiarkan saja.
Tampaknya pendapat pertama lebih kuat,
wallahu a’lam.
Adapun jika dikhawatirkan wanita itu akan
nekat bunuh diri, nekat mencelakai orang lain, atau bentuk kenekatan lainnya
yang bisa saja terjadi akibat sakit hati yang dideritanya bersama suami yang
dibencinya, tidak diragukan lagi bahwa wajib atas suaminya menyambut permintaan
khulu’nya dan memisahkannya. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu ‘Utsaimin.
Besar Kecilnya Tebusan
Jumhur (mayoritas) ulama serta empat imam
mazhab (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad) berpendapat boleh bagi si
suami mengambil tebusan lebih besar dari mahar yang telah dia berikan kepada
istrinya. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Utsman bin ‘Affan, Ibnu ‘Umar, dan
Ibnu ‘Abbas g.
Dalilnya adalah keumuman firman Allah l:
ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫﯬ
“Tidak ada dosa atas keduanya akan
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (al-Baqarah: 229)
Kata مَا ( ma’) pada ayat
tersebut adalah isim maushul yang berfungsi secara bahasa untuk menunjukkan
makna yang umum. Ini berarti secara umum meliputi seluruh jenis tebusan, ragam,
nilai, dan tata cara pembayarannya.
Akan tetapi, jumhur berbeda pendapat
tentang makruh atau tidaknya. Masalahnya, datang riwayat tambahan pada hadits
Ibnu ‘Abbas c dengan lafadz:
أَنَّ جَمِيلَةَ بِنْتَ سَلُولَ أَتَتْ
النَّبِيَّ n فَقَالَتْ:
وَاللَّهِ مَا أَعْتِبُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ, وَلَكِنِّي
أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلاَمِ لاَ أُطِيقُهُ بُغْضًا. فَقَالَ لَهَا
النَّبِيُّ n: أَتَرُدِّينَ
عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ n أَنْ
يَأْخُذَ مِنْهَا حَدِيقَتَهُ وَلاَ يَزْدَادَ.
“Jamilah bintu Salul telah mendatangi
Nabi n lantas berkata, ‘Demi Allah, aku tidak mencela Tsabit atas agama dan
akhlaknya, tetapi aku benci kekufuran dalam Islam karena aku tidak sanggup
menahan kebencianku kepadanya.’ Nabi n pun bersabda kepadanya, ‘Apakah kamu
sanggup mengembalikan kebunnya?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Maka Nabi n memerintahkan
Tsabit untuk mengambil kebunnya dari wanita itu dan tidak mengambil lebih dari
itu.” (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi)
Riwayat ini dihukumi sahih oleh
al-Albani.4
Terdapat pula penguat yang semakna
dengannya dari riwayat mursal ‘Atha’ dari Rasulullah n yang dikeluarkan oleh
al-Baihaqi dan mursal Abi Zubair dari Rasulullah n yang dikeluarkan
ad-Daraquthni.5
Adapun riwayat mursal Abu Zubair
lafadznya sebagai berikut.
فَقَالَ النَّبِيُّ n: أَتَرُدِّيْنَ
عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ الَّتِيْ أَعْطَاكِ؟ قَالَتْ: نَعْمْ، وَزِيَادَةً. فَقَالَ
النَّبِيُّ n:
أَمَّا الزِّيّادَةُ فَلاَ، وَلَكِنْ
حَدِيْقَتَهُ. قَالَتْ: نَعَمْ.
“Nabi n berkata, ‘Apakah kamu sanggup
mengembalikan kebunnya yang telah diberikannya kepadamu?’ Ia menjawab, ‘Ya,
bahkan kuberi tambahan.’ Nabi n berkata, ‘Adapun tambahannya tidak usah, tetapi
kembalikan kebunnya saja.’ Ia menjawab, ‘Ya’.”
Ibnul Qayyim t juga menguatkan hadits
ini.
Oleh karena itu, Ahmad berpendapat hal
itu boleh tetapi makruh, berdasarkan perpaduan makna ayat dan hadits tersebut.
Ini dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dan Ibnu ‘Utsaimin.
Sementara itu, asy-Syafi’i, Malik, dan
Abu Hanifah rahimahumullah berpendapat tidak makruh dengan alasan hadits
tersebut lemah. Seandainya hadits tersebut tsabit (tetap), larangan Nabi n itu
kemungkinannya sebagai saran dan bimbingan saja kepadanya agar tidak
menyusahkan diri dengan memberi lebih dari maharnya. Meskipun begitu, al-Imam
Malik t mengatakan bahwa hal itu bertentangan dengan keluhuran akhlak.
Sepertinya, yang terkuat adalah pendapat
yang mengatakan makruh, wallahu a’lam.6
Catatan Kaki:
1 Rafidhahnya Khumaini (Khomeini) yang
sesat dan kafir, tokoh Syiah Rafidhah Iran. Lihat pembahasan tentang Syiah
Rafidhah pada Rubrik Manhaji edisi 05.
2 Keduanya adalah aliran ekstrem kaum
Sufi. Hululiyah dipelopori oleh al-Husain al-Hallaj. Adapun ittihadiyah (paham
wihdatul wujud) oleh Ibnu Arabi yang sesat dan kafir.
3 Akidah Jahm bin Shafwan yang sesat dan
kafir.
4 Lihat kitab Shahih Ibnu Majah (no.
2086) dan al-Irwa’ (no. 2037).
5 Riwayat mursal adalah riwayat seorang
tabi’in (pengikut sahabat) dari Rasulullah n. Riwayat seperti ini tergolong
dha’if (lemah) karena putus antara tabi’in tersebut dengan Rasulullah n, tetapi
bisa jadi syahid (penguat) dalam penguatan hadits.
6 Ada juga yang berpendapat haram, dan
ini yang dirajihkan oleh asy-Syaukani, berdalil dengan hadits tersebut.
Sahkah Khulu’ Tanpa Ganti Rugi?
Oleh Redaksi 20/11/2011
di Asy Syariah Edisi 061
Sepasang suami istri telah menjalani
kehidupan rumah tangga cukup lama. Tiba-tiba, istrinya meminta berpisah dengan
alasan dirinya tidak bisa lagi mencintai suaminya. Setelah menjalani proses
pembicaraan yang serius, sang suami menerima permintaan sang istri. Keduanya
memahami bahwa hal itu adalah peristiwa khulu’. Akan tetapi, tidak ada
pembayaran ganti rugi sebagai tebusan dari sang istri hingga sekarang.
Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
1. Apakah dari kasus di atas, jatuh hukum khulu’ sebagaimana yang dipahami oleh keduanya, ataukah talak?
2. Bagaimana bila sang suami merelakan saja tanpa menuntut ganti rugi?
3. Bolehkah keduanya menjalin hubungan lagi?
4. Si lelaki sekarang dalam kebingungan yang serius, seakan-akan memikul beban yang berat karena peristiwa tersebut dan menganggap dirinya telah melakukan kesalahan yang fatal. Apa yang harus diperbuatnya?
Fulan di bumi Allah
1. Apakah dari kasus di atas, jatuh hukum khulu’ sebagaimana yang dipahami oleh keduanya, ataukah talak?
2. Bagaimana bila sang suami merelakan saja tanpa menuntut ganti rugi?
3. Bolehkah keduanya menjalin hubungan lagi?
4. Si lelaki sekarang dalam kebingungan yang serius, seakan-akan memikul beban yang berat karena peristiwa tersebut dan menganggap dirinya telah melakukan kesalahan yang fatal. Apa yang harus diperbuatnya?
Fulan di bumi Allah
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad
as-Sarbini al-Makassari
Berdasarkan kasus yang diuraikan, tampak
bagi kami kesimpulan dan jawaban sebagai berikut.
1 & 2. Kasus tersebut tidak jatuh sebagai hukum khulu’ yang berstatus fasakh (pembatalan akad), meskipun keduanya memahami bahwa kasus mereka adalah khulu’ dan sang suami menganggap dirinya telah menjatuhkan khulu’. Hal ini disebabkan tidak adanya pembicaraan ganti rugi sebagai tebusan dari pihak istri atas permintaan khulu’ yang diajukannya, padahal itu adalah salah satu rukun khulu’ yang harus ada dalam kasus khulu’ yang berstatus fasakh (pembatalan akad nikah). Ibnu Taimiyah menukilkan kesepakatan ulama bahwa kasus khulu’ tanpa pembayaran ganti rugi sebagai tebusan dari istri tidak bisa jatuh sebagai fasakh, sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa (32/191, cet. Darul Wafa’). Demikian pula dalam Zadul Ma’ad (5/675—676), Ibnul Qayyim menukilkan dari gurunya (Syaikhul Islam) adanya kesepakatan ulama dalam hal ini dan beliau membenarkannya.
Akan tetapi, apakah kasus tersebut jatuh sebagai talak? Jika yang dimaksud adalah talak ba’in1, maka tidak. Hal ini menurut pendapat yang rajih bahwa seorang istri tidak dibenarkan untuk meminta khulu’ kepada suaminya dengan menceraikannya sebagai talak ba’in tanpa tebusan ganti rugi. Suami juga tidak berwenang untuk menjatuhkan hal itu,2 karena hak raj’ah—hak suami untuk menariknya kembali sebagai istri tanpa akad baru selama dalam masa ‘iddah—yang gugur dengan talak ba’in merupakan hak Allah l yang telah tetap dalam syariat ini dan tidak bisa diganggu gugat. Oleh karena itu, keduanya tidak dibenarkan untuk bersepakat menggugurkan hak tersebut.
Ini adalah salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad dan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (5/675), Asy-Syaukani dalam As-Sailul Jarrar (2/370), dan As-Sa’di dalam Al-Fatawa As-Sa’diyyah (hlm. 389). Ibnu Taimiyah pun mendukungnya dalam Majmu’ Al-Fatawa (32/191). Beliau menyatakan, pendapat inilah yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta mayoritas riwayat yang tsabit (tetap) dari mayoritas sahabat.
Berdasarkan pendapat ini, apabila sang suami menjatuhkan khulu’ dengan menggunakan lafadz-lafadz tertentu (khusus) untuk khulu’, yaitu khulu’ (melepaskan), fasakh (membatalkan akad nikah) atau fida’/iftida’ (menerima tebusan) tanpa disertai niat menalaknya maka tidak ada sesuatu yang terjadi antara keduanya. Keduanya masih sebagai suami-istri.
Apabila sang suami menggunakan lafadz-lafadz khas tersebut atau lafadz lainnya yang merupakan bahasa kiasan untuk talak disertai dengan niat talak maka jatuh sebagai talak raj’i3. Demikian pula, jika menggunakan lafadz talak atau cerai yang jelas dan gamblang untuk talak, maka jatuh sebagai talak raj’i.4
1 & 2. Kasus tersebut tidak jatuh sebagai hukum khulu’ yang berstatus fasakh (pembatalan akad), meskipun keduanya memahami bahwa kasus mereka adalah khulu’ dan sang suami menganggap dirinya telah menjatuhkan khulu’. Hal ini disebabkan tidak adanya pembicaraan ganti rugi sebagai tebusan dari pihak istri atas permintaan khulu’ yang diajukannya, padahal itu adalah salah satu rukun khulu’ yang harus ada dalam kasus khulu’ yang berstatus fasakh (pembatalan akad nikah). Ibnu Taimiyah menukilkan kesepakatan ulama bahwa kasus khulu’ tanpa pembayaran ganti rugi sebagai tebusan dari istri tidak bisa jatuh sebagai fasakh, sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa (32/191, cet. Darul Wafa’). Demikian pula dalam Zadul Ma’ad (5/675—676), Ibnul Qayyim menukilkan dari gurunya (Syaikhul Islam) adanya kesepakatan ulama dalam hal ini dan beliau membenarkannya.
Akan tetapi, apakah kasus tersebut jatuh sebagai talak? Jika yang dimaksud adalah talak ba’in1, maka tidak. Hal ini menurut pendapat yang rajih bahwa seorang istri tidak dibenarkan untuk meminta khulu’ kepada suaminya dengan menceraikannya sebagai talak ba’in tanpa tebusan ganti rugi. Suami juga tidak berwenang untuk menjatuhkan hal itu,2 karena hak raj’ah—hak suami untuk menariknya kembali sebagai istri tanpa akad baru selama dalam masa ‘iddah—yang gugur dengan talak ba’in merupakan hak Allah l yang telah tetap dalam syariat ini dan tidak bisa diganggu gugat. Oleh karena itu, keduanya tidak dibenarkan untuk bersepakat menggugurkan hak tersebut.
Ini adalah salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad dan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (5/675), Asy-Syaukani dalam As-Sailul Jarrar (2/370), dan As-Sa’di dalam Al-Fatawa As-Sa’diyyah (hlm. 389). Ibnu Taimiyah pun mendukungnya dalam Majmu’ Al-Fatawa (32/191). Beliau menyatakan, pendapat inilah yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta mayoritas riwayat yang tsabit (tetap) dari mayoritas sahabat.
Berdasarkan pendapat ini, apabila sang suami menjatuhkan khulu’ dengan menggunakan lafadz-lafadz tertentu (khusus) untuk khulu’, yaitu khulu’ (melepaskan), fasakh (membatalkan akad nikah) atau fida’/iftida’ (menerima tebusan) tanpa disertai niat menalaknya maka tidak ada sesuatu yang terjadi antara keduanya. Keduanya masih sebagai suami-istri.
Apabila sang suami menggunakan lafadz-lafadz khas tersebut atau lafadz lainnya yang merupakan bahasa kiasan untuk talak disertai dengan niat talak maka jatuh sebagai talak raj’i3. Demikian pula, jika menggunakan lafadz talak atau cerai yang jelas dan gamblang untuk talak, maka jatuh sebagai talak raj’i.4
3. Apabila tidak terjadi sesuatu pun
dalam kasus ini berdasarkan keterangan di atas, keduanya masih sebagai
suami-istri sampai sekarang. Hendaklah keduanya memproses ulang kasus khulu’
yang diinginkan dengan cara syar’i yang terpenuhi rukun-rukunnya, jika memang
sang istri tidak bisa lagi mencintai suaminya dan khawatir terjerumus dalam
nusyuz (pelanggaran hak suami yang wajib). Hal ini dilakukan dengan cara
sebagai berikut.
– Pembayaran ganti rugi sebagai tebusan dari pihak istri dengan nilai yang disepakati bersama, sebaiknya tidak lebih dari nilai mahar yang pernah diberikan saat pernikahan.
– Pihak suami menjatuhkan khulu’ dengan salah satu lafadz khulu’ yang khusus atau lafadz lainnya.5
– Disertai kerelaan masing-masing pihak tanpa ada unsur tekanan dan pemaksaan.6
Dengan demikian, proses khulu’ pun jatuh dengan sah dan benar sebagai fasakh (pembatalan akad). Dengannya, keduanya bukan lagi suami-istri meskipun tanpa diproses di hadapan hakim (melalui Kantor Pengadilan Agama), menurut pendapat yang rajih. Akan tetapi, kami sarankan agar kasus ini diselesaikan secara administrasi pemerintahan di Kantor Pengadilan Agama agar tidak tersandung oleh hal-hal yang membingungkan dan memberatkannya di kemudian hari.
Setelah itu, hendaklah sang wanita menjalani masa ‘iddah (penantian) hingga haid satu kali dalam rangka pembebasan rahim dari bibit yang mungkin telah ada akibat hubungan suami-istri. Setelah masa ‘iddah itu selesai, sang wanita halal untuk menikah dengan laki-laki lain. Akan tetapi, sang lelaki bekas suaminya memiliki hak untuk menikahinya kembali dengan akad yang baru, baik dalam masa ‘iddah maupun setelahnya, jika keduanya ingin bersatu kembali.
Apabila yang terjadi sesuai uraian di atas, kasus tersebut adalah talak raj’i, maka kasusnya telah selesai dengan hukum talak raj’i tersebut. Jika sang lelaki ingin bersatu kembali, dia bisa menarik kembali istrinya sebagai istrinya tanpa akad yang baru, jika masih dalam masa ‘iddah (belum melewati tiga kali haid). Adapun jika masa ‘iddah-nya telah selesai, keduanya bisa bersatu kembali dengan akad nikah yang baru.
4. Yang harus dilakukan adalah bersegera memperjelas kasus yang dialaminya, kemudian menentukan langkah yang tepat berdasarkan bimbingan di atas, agar dirinya menjadi tenang dan bisa mantap melangkah ke depan tanpa beban.
Jika selama ini dia sering mengecewakan istrinya dengan kelalaian dan akhlaknya yang jelek, dia pantas merasa bersalah, lalu bertaubat kepada Allah l atas semua itu. Jika istrinya kecewa kepadanya dan tidak bisa mencintainya lagi karena sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah l atas dirinya dan di luar kemampuannya, hendaklah dia bersabar atas takdir Allah l.
Terakhir, kami ingatkan kepada siapa saja yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya untuk bertakwa kepada Allah l dalam urusan-urusan mereka, agar tidak berucap dan bertindak tanpa bimbingan ilmu yang menerangi langkah mereka. Wallahul muwaffiq.
– Pembayaran ganti rugi sebagai tebusan dari pihak istri dengan nilai yang disepakati bersama, sebaiknya tidak lebih dari nilai mahar yang pernah diberikan saat pernikahan.
– Pihak suami menjatuhkan khulu’ dengan salah satu lafadz khulu’ yang khusus atau lafadz lainnya.5
– Disertai kerelaan masing-masing pihak tanpa ada unsur tekanan dan pemaksaan.6
Dengan demikian, proses khulu’ pun jatuh dengan sah dan benar sebagai fasakh (pembatalan akad). Dengannya, keduanya bukan lagi suami-istri meskipun tanpa diproses di hadapan hakim (melalui Kantor Pengadilan Agama), menurut pendapat yang rajih. Akan tetapi, kami sarankan agar kasus ini diselesaikan secara administrasi pemerintahan di Kantor Pengadilan Agama agar tidak tersandung oleh hal-hal yang membingungkan dan memberatkannya di kemudian hari.
Setelah itu, hendaklah sang wanita menjalani masa ‘iddah (penantian) hingga haid satu kali dalam rangka pembebasan rahim dari bibit yang mungkin telah ada akibat hubungan suami-istri. Setelah masa ‘iddah itu selesai, sang wanita halal untuk menikah dengan laki-laki lain. Akan tetapi, sang lelaki bekas suaminya memiliki hak untuk menikahinya kembali dengan akad yang baru, baik dalam masa ‘iddah maupun setelahnya, jika keduanya ingin bersatu kembali.
Apabila yang terjadi sesuai uraian di atas, kasus tersebut adalah talak raj’i, maka kasusnya telah selesai dengan hukum talak raj’i tersebut. Jika sang lelaki ingin bersatu kembali, dia bisa menarik kembali istrinya sebagai istrinya tanpa akad yang baru, jika masih dalam masa ‘iddah (belum melewati tiga kali haid). Adapun jika masa ‘iddah-nya telah selesai, keduanya bisa bersatu kembali dengan akad nikah yang baru.
4. Yang harus dilakukan adalah bersegera memperjelas kasus yang dialaminya, kemudian menentukan langkah yang tepat berdasarkan bimbingan di atas, agar dirinya menjadi tenang dan bisa mantap melangkah ke depan tanpa beban.
Jika selama ini dia sering mengecewakan istrinya dengan kelalaian dan akhlaknya yang jelek, dia pantas merasa bersalah, lalu bertaubat kepada Allah l atas semua itu. Jika istrinya kecewa kepadanya dan tidak bisa mencintainya lagi karena sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah l atas dirinya dan di luar kemampuannya, hendaklah dia bersabar atas takdir Allah l.
Terakhir, kami ingatkan kepada siapa saja yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya untuk bertakwa kepada Allah l dalam urusan-urusan mereka, agar tidak berucap dan bertindak tanpa bimbingan ilmu yang menerangi langkah mereka. Wallahul muwaffiq.
1 Talak ba’in yang dimaksud di sini
adalah bainunah shugra’ (perpisahan kecil), yaitu keduanya bukan lagi
suami-istri dengan talak itu. Selama masa ‘iddah (penantian) hingga haid satu
kali, sang suami tidak lagi memilki hak untuk menariknya kembali menjadi
istrinya tanpa akad baru. Sebaliknya, sang istri tidak memilki hak lagi untuk
diberi nafkah dan tempat tinggal. Yang dibahas di sini bukan talak ba’in yang
merupakan bainunah kubra’ (perpisahan besar) yang terjadi pada talak tiga.
–pen.
2 Demikian pula jika disertai tebusan ganti rugi, karena pendapat yang benar adalah bahwa khulu’ semuanya adalah fasakh dengan lafadz apa pun sang suami menjatuhkannya.
Ada pendapat yang mengatakan khulu’ bisa jatuh sebagai fasakh (pembatalan akad) atau sebagai talak ba’in, tergantung lafadz yang digunakan serta niatnya. Akan tetapi, pendapat ini lemah dan yang rajih adalah apa yang kami sebutkan. –pen.
3 Talak raj’i yaitu talak yang selama masa ‘iddah (penantian) hingga haid tiga kali sang suami memiliki hak untuk menariknya kembali menjadi istrinya, tanpa akad yang baru. Sebaliknya, istri memiliki hak untuk diberi nafkah dan tempat tinggal –pen.
4 Yang kami maksud adalah dengan lafadz Arab, atau dengan maknanya dalam bahasa Indonesia, atau bahasa daerah, dan yang mengucapkannya mengerti makna dan maksud dari lafadz yang diucapkannya. Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (32/191) berkata, “Khulu’ dan talak sah dijatuhkan dengan selain bahasa Arab, menurut kesepakatan ulama.” –pen.
5 Lihat catatan kaki no. 4
6 Hal ini tidak menafikan wewenang hakim untuk mengharuskan pihak suami melepas istrinya pada kasus khulu’, jika sang istri benar-benar tidak bisa lagi hidup bersamanya, menurut pendapat yang rajih.
2 Demikian pula jika disertai tebusan ganti rugi, karena pendapat yang benar adalah bahwa khulu’ semuanya adalah fasakh dengan lafadz apa pun sang suami menjatuhkannya.
Ada pendapat yang mengatakan khulu’ bisa jatuh sebagai fasakh (pembatalan akad) atau sebagai talak ba’in, tergantung lafadz yang digunakan serta niatnya. Akan tetapi, pendapat ini lemah dan yang rajih adalah apa yang kami sebutkan. –pen.
3 Talak raj’i yaitu talak yang selama masa ‘iddah (penantian) hingga haid tiga kali sang suami memiliki hak untuk menariknya kembali menjadi istrinya, tanpa akad yang baru. Sebaliknya, istri memiliki hak untuk diberi nafkah dan tempat tinggal –pen.
4 Yang kami maksud adalah dengan lafadz Arab, atau dengan maknanya dalam bahasa Indonesia, atau bahasa daerah, dan yang mengucapkannya mengerti makna dan maksud dari lafadz yang diucapkannya. Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (32/191) berkata, “Khulu’ dan talak sah dijatuhkan dengan selain bahasa Arab, menurut kesepakatan ulama.” –pen.
5 Lihat catatan kaki no. 4
6 Hal ini tidak menafikan wewenang hakim untuk mengharuskan pihak suami melepas istrinya pada kasus khulu’, jika sang istri benar-benar tidak bisa lagi hidup bersamanya, menurut pendapat yang rajih.
Khulu’ yang Tercela
Oleh Redaksi 26/04/2012
di Asy Syariah Edisi 072
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah
Muhammad as-Sarbini)
Tidak boleh meminta khulu’ melainkan
karena alasan takut tidak bisa menjalankan hukum-hukum Allah l.
Dalilnya adalah firman Allah l:
“Tidak halal bagi kalian mengambil
kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.” (al-Baqarah:
229)
Ayat ini secara jelas menyatakan haramnya
khulu’ yang dilakukan bukan dengan alasan takut tidak bisa menjalankan
hukum-hukum Allah l. Selanjutnya Allah l berfirman:
“Jika kalian khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, tidak ada dosa atas
keduanya akan bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.”
(al-Baqarah: 229)
Ayat ini menyiratkan bahwa keduanya
terkena dosa jika khulu’ dilakukan bukan dengan alasan takut tidak bisa
menjalankan hukum-hukum Allah l. Berikut Allah l menutup ayat-Nya dengan
ancaman keras bagi pelakunya, Allah l berfirman:
“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
itulah orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 229)
Telah datang pula ancaman keras dalam
hadits Tsauban z:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوجَهَا الطَّلاَقَ
مِنْ غَيرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ
“Siapa saja wanita yang meminta cerai
dari suaminya tanpa ada apa-apa maka haram baginya bau surga.” (HR. Abu Dawud,
at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya, disahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa’
no. 2035)
Hadits ini menunjukkan bahwa hal itu
adalah dosa besar, sebagaimana kata Ibnu ‘Utsaimin.
Kedua dalil tersebut menunjukkan secara
jelas haramnya khulu’ yang dilakukan tanpa ada tuntutan hajat untuk itu, sebab
hal itu mengandung mudarat terhadap keduanya dan menghilangkan maslahat
pernikahan tanpa adanya tuntutan hajat. Karena hal itu merupakan amalan yang
tidak syar’i, maka tidak sah dan tebusan dikembalikan. Rasulullah n bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ
مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barang siapa mengada-adakan perkara baru
dalam urusan agama ini yang bukan darinya maka perkara itu tertolak.” (Muttafaq
‘alaih dari ‘Aisyah x)
Dalam riwayat Muslim dengan lafadz:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ.
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan
yang tidak ada tuntunannya dalam agama ini maka amalannya tertolak.”
Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad
dan pendapat Dawud azh-Zhahiri, dirajihkan Ibnul Mundzir, Ibnu Qudamah, dan
Ibnu ‘Utsaimin.
Pendapat kedua, hal itu makruh dan sah.
Ini adalah mazhab Hanbali dan jumhur ulama.
Namun, pendapat pertama lebih kuat.
Kesimpulannya, yang benar khulu’ tidak
sah dan tebusan dikembalikan.
Namun, apakah bisa jatuh sebagai talak?
Terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini.
– Menurut mazhab Hanbali, jika dijatuhkan
dengan lafadz talak yang khas atau selainnya dengan niat talak berarti jatuh
sebagai talak.
– Menurut Ibnu ‘Utsaimin, tidak terjadi
sesuatu pada seluruh rincian tersebut, baik dijatuhkan dengan lafadz khas talak
maupun selainnya yang disertai niat talak. Khulu’ tidak terjadi karena tidak
ada tebusan (tebusan tidak dianggap). Talak juga tidak terjadi karena khulu’
selamanya adalah fasakh dan tidak bisa sebagai talak.
Wallahu a’lam.
Bersambung......Insya Allah