Tuesday, 5 January 2016
Sejak abad ke-5 hijriah
pelaksanaan shalat fardhu berjama’ah di Masjidil Haram terpecah ke dalam
beberapa jama'ah berbeda sesuai 4 mazhab fiqih Ahlusunnah yang dianut
masing-masing pengunjung masjid. Termasuk diantara yang membuat jama'ah shalat
tersendiri adalah kelompok Syi’ah. Sehingga pada satu waktu shalat yang sama,
berdiri 4 atau 5 jama'ah shalat yang berbeda. Kondisi ini terus berlanjut hingga
7 abad lamanya.
Namun keadaan tidak selalu
demikian, pernah terjadi suatu ketika, shalat kelompok mazhab Hambali bergabung
dengan kelompok madzhab Syafi‘i. Pernah juga kelompok Syi’ah dilarang
mendirikan jama’ahnya sendiri.
Beberapa catatan menyebutkan
bahwa keempat mazhab mempunyai mihrabnya masing-masing, dan mihrab yang paling
mewah dan paling mencolok milik mazhab Hanafi karena mazhab tersebut banyak
dianut para penguasa di daerah kaya. Sudah menjadi tradisi ketika itu para
penguasa memberi sejumlah dana untuk berlomba-lomba memperindah “stan”
mazhabnya.
Selain mihrab yang berbeda, pintu
masuk Masjidil Haram juga diatur sedemikian rupa agar jama’ah bisa dengan mudah
menemukan tempat shalat sesuai mazhab yang dianutnya. Pintu utama Babus Salam
langsung mengarah ke “stan” shalat madzhab Syafi’iyah. Begitu pula mazhab lain
yang memiliki pintu masuk tersendiri.
Kondisi ini berakhir tahun 1926 M
atau akhir abad ke 13 hijriah ketika pasukan Ibnu Sa‘ud pengikut dakwah
Muhammad bin Abdul Wahab, berhasil merebut Makkah dari kekuasaan Syarif Husein
(penguasa Makkah) dan keluarga Hasyimiyah. Setelah jatuh ke tangan Ibnu Sa'ud
yang berfiqih Hambali, shalat fardhu berjamaah di Masjidil Haram disatukan dalam
satu imam.
Pembagian “stan-stan” berdasarkan
mazhab ditiadakan hingga hari ini. Termasuk mihrab-mihrab mazhabnya juga
dimusnahkan oleh penguasa baru Masjidil Haram.
Bagi yang menjunjung
pengelompokan jama'ah berdasar mazhab, “stan-stan” shalat tiap mazhab pada masa
lalu bukanlah bentuk perpecahan, melainkan bentuk toleransi antar mazhab
sehingga dapat melaksanakan ibadah shalat persis sesuai keyakinan
masing-masing, dan tidak perlu saling mempermasalahkan satu sama lain. Alasan
lain karena dipercaya tidak boleh memaksakan tata cara suatu madzhab ke madzhab
lain. Misalnya waktu shalat Ashar menurut Hanafiyah yang berbeda beberapa saat
dari madzhab lain.
Shalat berjama'ah di Masjidil
Haram sekarang
Namun setelah Raja Sa'ud
menguasai Makkah, beliau berhasil mengembalikan proses shalat fardhu berjama’ah
di Masjidil Haram menjadi kembali seperti di zaman nabi Muhammad Shallahu
'Alaihi Wasallam dan para sahabat Radhiyallahu Anhum. Hanya satu “stan” shalat
saja yang diperbolehkan, yaitu “stan” milik umat Islam. Setiap problem
perbedaan fiqih selama ini berhasil disesuaikan. (redaksi)