Awal
munculnya Iftiraq (perpecahan) dalam sejarah Islam bermula setelah Khalifah
Utsman bin Affan di bunuh oleh sekelompok pemberontak yang menganggap Utsman
tidak fair (adil) dalam mengambil kebijakan selama menjadi Khalifah. Ketika Ali
bin Abi Thalib di lantik sebagai Khalifah untuk menggantikan Utsman, para
pemberontak itu hadir dan mengadakan pendekatan kepada Ali dengan maksud
mendukungnya, dipelopori oleh al-Gafiqi dari pemberontak Mesir sebagai kelompok
terbesar, tapi Ali menolaknya. Namun justru yang mengherankan adalah mereka
malah memusuhi Khlifah Ali bin Abi Thalib di kemudian hari.
Perkara
ini kemudian menjadi penyebab utama perpecahan saat itu, ummat Islam terbagi
kedalam dua kelompok, ada yang pro Ali dan ada yang kontra. Perpecahan terus
berlanjut dan menjadi fitnah besar, yang menyebabkan peperangan demi peperangan
terjadi dalam kubuh umat Islam.
Tapi yang
perlu di garis bawahi bahwa munculnya seabrek tragedi/perpecahan sebelum dan
sesudah pembunuhan Utsman, di sebabkan masyarakat sudah terjangkitnya aqidah Saba’iyah (paham
yang menimbulkan perpecahan itu) yang merupakan cikal bakal aqidah Syi’ah dan Khawarij yang di
taburkan ke tengah-tengah kaum muslimin.
Sebenarnya,
masalah perpecahan (perselisihan), sudah pernah terjadi di kalangan para sahabat,
tapi itu hanya berupa i’tiqad dan pemikiran yang tidak begitu didengar dan
diperhatikan. Justru yang “menghebohkan” kaum muslimin dan membawa finah besar
itu adalah aqidah Saba’iyah.
Nashir bin
Abdul Karim Al-‘Aql, dalam kitabnya Al-Iftiraaq Mafhumuhu ashabuhu subulul
wiqayatu minhu yang di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abu Ihsan
Al-Atsari menjelaskan, aqidah ini disebarkan oleh penganutnya secara
terselubung nyaris tanpa suara.
Orang
pertama yang memunculkan juga asing, nama dan identitasnya tidak jelas. Orang
menyebutnya Ibnu Sauda’ Abdullah bin Saba’.
Ia mengacaukan barisan kaum muslimin dengan aqidah sesat itu. Sehingga aqidah
tersebut diyakini kebenarannya oleh sejumlah kaum munafikin, oknum-oknum yang
merancang makar jahat terhadap Islam, orang-orang jahil dan pemuda-pemuda
ingusan.
Begitu
pula sekelompok barisan sakit hati yang negeri, agama dan kerajaan mereka telah
ditundukkan oleh kaum muslimin, yaitu orang-orang yang baru memeluk Islam dari
kalangan bangsa Parsi dan Arab Badui. Mereka membenarkan hasutan-hasutan Ibnu
Saba’, membuat makar tersembunyi atas kaum muslimin, hingga muncullah cikal
bakal Syi’ah dan Khawarij dari mereka. Inilah keyakinan sesat yang pertama kali
muncul kalau di tinjau dari kacamata aqidah dan keyakinan.
Khawararij dan terbunuhnya Sahabat Usman
Adapun
kelompok yang pertama kali memisahkan diri dari imam kaum Muslimin adalah
kelompok Khawarij. Benih-benih Khawarij ini sebenarnya berasal dari aqidah
Saba’iyah. Banyak orang yang mengira keduanya berbeda, padahal sebenarnya cikal
bakal Khawarij berasal dari pemikiran kotor Saba’iyah. Perlu diketahui bahwa
Saba’iyah ini terpecah menjadi dua kelompok utama, Khawarij dan Syi’ah.
Kendati
antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok, namun dasar-dasar
pemikirannya sama. Baik Khawarij maupun Syi’ah muncul pada peristiwa fitnah
atas diri Amirul Mukminin Utsman bin Affan.
Fitnah
diprakarsai oleh Abdullah bin Saba’ lewat ide, keyakinan dan gerakannya. Dari
situlah muncurat aqidah sesat, yaitu aqidah Syi’ah dan Khawarij.
Perlu dipahami bahwa perbedaan antara Khawarij dan Syi’ah sebenarnya direkayasa
sedemikian rupa oleh tokoh-tokohnya supaya dapat memecah belah umat.
Ibnu Saba’ dan konco-konconya menabur beragam benih untuk menyuburkan
kelompok-kelompok pengikut hawa nafsu itu. Kemudian membuat trik seolah-olah
antara kelompok-kelompok itu terjadi permusuhan guna memecah belah umat
sebagaimana yang terjadi dewasa ini. Itulah yang diterapkan oleh musuh-musuh
Islam untuk mengadu domba kaum muslimin.
Mereka
mengkotak-kotakan kaum muslimin menjadi berpartai-partai, partai sayap kanan
dan partai sayap kiri. Begitu berhasil melaksanakan program, mereka munculkan
babak permainan baru dengan istilah sekularisme, fundamentalisme, modernisme,
primitif, ekstrimisme, radikalisme dan lain-lain. Semuanya adalah permainan
yang sama, dari sumber yang sama pula. Para pencetusnya itu-itu juga demikian
pula tujuannya, hanya saja corak ragamnya berbeda-beda. Jadi secara keseluruhan
ini mencerminkan kuatnya kebatilan, kendati satu dama lain saling bermusuhan.
Akhirnya,
bagi mereka yang masih dangkal imannya (tidak mendapat langsung bimbingan dari
Nabi) pusing tujuh kaliling menghadapi situasi saat itu. Mereka bingung,
kelompok mana yang akan diikuti, sebab masing-masing membenarkan kelompoknya
dan ekstrim, sementara ada pemerintah yang sah dan disetujui oleh kaum
Muslimin.
Dari sisi
lain, kelompok ekstrim penuntut keadilan atas pembunuhan Khalifah Utsman
(kelompok yang terjangkiti aqidah Saba’iya) terus mendesak Ali untuk ditindak
lanjuti, mereka seenaknya membuat keputusan dan “mengadukan banding” kepada
Khalifah.
Mu’awiyah
bin Abi Sufyan yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Syam termasuk yang tegas
menuntut balas atas kematian Utsman, bahkan pada saat Imam Ali mengirimkan
surat agar Mu’awiyah mau membaiatnya, dia tetap bersikeras sebelum para
pembunuh Utsman di tangkap dan dibunuh. Baju Utsman yang berlumuran darah
menjadi senjata utamanya untuk menyemangati pengikutnya agar turut membantu.
Kondisi
umat Islam pun saat itu sangat kacau-balau dan berada pada puncak tragis yang
nyaris membuat sejarah Islam “gulung tikar” dan akhirnya beralih pemerintahan
dari Khalifah ke Kerajaan.
Khalifah
keempat, Ali bin Abi Thalib harus menanggung kenyataan pahit yang diserahi
amanah sebagai pemimpin umat ketika awal munculnya huru-hara itu.
Setelah terbunuhnya Ustman, kekerasan diluar Madinah tak pernah berhenti,
sampai masa pemerintahan Ali, seperti yang terjadi di Basrah dan Kufa.
Perkembangan sebagian Umat Islam pun telah mengalami penyimpangan dari ajaran
agamanya.
Pertama,
hilangnya toleransi seperti yang diajarkan oleh Rasulullah dan oleh para
sahabat dalam melihat perbedaan diluar ajaran aqidah dan syariat. Akhirnya
lahir kaum garis keras yang merasa benar sendiri.
Kedua,
para pendatang baru dalam Islam banyak yang terdiri dari orang yang belum
menghayati ajaran Islam secara utuh dan belum pernah bertemu langsung denga
Nabi atau sahabat-sahabat dekatnya.
Ketiga,
pemahaman mereka tentang agama sangat dangkal dan sempit, sehingga mereka salah
memahami al-Qur’an, seperti yang pernah dikatakan Nabi, “mereka membaca
al-Qur’an, tetapi tidak sampai pada tulang-tulang selangka mereka”.
Akhirnya kerusuhan yang disebabkan perpecahan itu, berakhir dengan terbunuhnya
Ali yang disusul kemudian oleh kedua putranya, Hasan dan Husein dan
berpindahnya sistem daulah Islam dari Khalifah menjadi Kerajaan.
Sumber: Hidayatullah
Oleh: Arham
Penulis adalah seorang guru dan penikmat sejarah
http://wiemasen.com/sejarah-benih-perpecahan-umat/
Sumber: Hidayatullah
Oleh: Arham
Penulis adalah seorang guru dan penikmat sejarah
http://wiemasen.com/sejarah-benih-perpecahan-umat/