A.Nizami
Manhaj dan jalan Islam berbeda sama sekali dengan
manhaj tasawuf,dan perbedaan itu mengenai hal yangsangat mendasar. Yaitu
perbedaan dalam hal sumber – sumber pengambilan agama dalam akidah dan
syari`ah. Dijelaskan, Islam menjadikan sumber pengambilan Aqidah terbatas pada
wahyu yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul saja, hal
yang kita miliki adalah Al Qur`an dan As Sunnah (hadits Nabi SAW) saja.
Adapun agama sufisme (Ad-dienus shufi). Istilah Abdurrahman Abdul
Khaliq yang mereka jadikan sumbernya adalah bisikan yang dida`wahkan datang
kepada para wali dan kasyaf (terbukanya takbir hingga mereka tahu yang ghoib)
yang mereka da`wahkan, dan tempat-tempat tidur(mimpi-mimpi), perjumpaan dengan
orang-orang mati yang dulu-dulu, dan (mengaku berjumpa) dengan Nabi Khidir a.s,
bahkan dengan melihat Lauh Mahfudh, dan mengambil (berita) dari jin yang mereka
namakan para badan halus (Rohaniyyin).
Adapun sumber pengambilan syari`ah bagi ahli Islam adalah Al Kitab
(Al Qur`an), As Sunnah (Al Hadits), Ijma` (kesepakatan para ulama terdahulu
mengenai awal Islam), dan Qiyas (perbandingan, yaitu pengambilan hukum dengan
membandingkan kepada hukum yang sudah ada ketegasannya dari Nash/text Al Qur`an
atau Al Hadits, dengan syarat kasusnya sama, misalnya beras bisa untuk zakat
fitrah karena diqiyaskan dengan gandum yang sudah ada nash haditsnya).
Sedangkan bagi orang-orang tasawuf , perbuatan syariat mereka didirikan diatas
mimpi-mimpi (tidur), khidhir, jin, orang-orang mati,syaikh-syaikh, semua mereka
itu dijadikan pembuat syariat. Oleh karena itu, jalan-jalan dan cara-cara
pembuatan syariat tasawuf itu bermacam-macam. Sampai-sampai mereka mengatakan
jalan-jalan menuju Allah SWT itu sebanyak bilangan nafas makhluk-makhluk. Maka
tiap-tiap syaikh memiliki tarekat dan manhaj/jalan untuk pendidikan dan dzikir
khusus.
Maka tasawuf itu adalah ribuan agama, aqidah, dan syari`at; bahkan
ratusan ribu tidak terhitung banyaknya, semuanya itu dibawah apa yang dinamakan
tasawuf.Dan inilah perbedaan asasi (pokok/dasar) antara Al Islam dan tasawuf. Islam
itu adalah agama yang Muhaddad (ditegaskan batasan ketentuan) aqidahnya,
ibadahnya, dan syari`atnya. Sedangkan tasawuf itu agama yang tidak ada
batasannya, tidak ada pengertian (yang ditentukan secara pasti) dalam aqidah
ataupun syari`at-syari`atnya.
Inilah perbedaan yang paling besar antara Al Islam dan tasawuf.
Garis-garis besar Aqidah Sufisme
1.Aqidah Sufisme
mengenai Allah
Orang-orang tasawuf percaya kepada Allah dengan aqidah-aqidah yang
macam-macam diantaranya al-hulul (inkarnasi, penitisan/penjelmaan Tuhan dalam
diri manusia) seperti pendapat Al Hallaj (menyebabkan ia memaklumkan dirinya
sebagai “kebenaran” dengan ucapan “anal haq”=Akulah Kebenaran. Al Haq adalah
salah satu nama Tuhan. Dengan perkataannya itu berarti ia mengaku,”Akulah
Tuhan”).Faham hulul, faham yang menyatakan, bahwa Tuhan telah memilih
tubuh-tubuh manusia tertentu sebagai tempat-Nya, setelah sifat-sifat kemanusian
dalam tubuh tersebut dihilangkan. Faham hulul dalam tasawuf ditimbulkan oleh
Husein Ibnu Manshur al-Hallaj (lahir di Persia th 858 M.) yang mengajarkan,
bahwa Allah memiliki dua sifat dasar (natur), yaitu sifat ke-Tuhan-an (lahuut)
dan sifat kemanusiaan (nasuuf).
Hal tersebut dilihat dari teori kejadian makhluk-Nya, sebagai
berikut :
Sebelum Tuhan menciptakan makhluk,Ia hanya melihat dirinya
sendiri. Dalamkesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan
diri-Nya. Dialog yangdalam , tidak terdapat dalam kata-kata atau pun
huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanya kemuliaan dan ketinggian-Nya dan Dia pun cinta
pada Dzat-Nya sendiri. Cinta yang tidak dapat disifatkan dan cinta inilah
yang menjadi sebab wujud dan sebab dari banyak dan Ia-pun mengeluarkan dari
yang tiada,bentuk (copy) Diri-Nya, yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya,
dan bentuk (copy) tersebut adalah Adam, dan seterusnya. Setelah Adam tercipta
dengan cara-Nya, maka Ia sangat mencintai dan memuliakannya di surga dan
sebagai khalifah di bumi-Nya.
Kemudian akibat pendapatannya yang mengandung kemusyrikan itu maka
Al-Hallaj yang lahir di Fars,Persi (Iran) 244H/26 Maret 922 M.,di Baghdad di
bawah kekhalifahan Abbasiyah, khalifah ke-18 dari 37 khalifah, Al-Muqtadir bi
`I-lah (Ja`far Abu `I-fadl, yang berkuasa pada tahun 295-320 H./ 908-932 M.)
Selain Al-Hallaj dituduh membawa paham ang menyesatkan (paham hulul), ia juga
dituduh mempunyai hubungan dengan Syi`ah Qaramithah, suatu kelompok Syi`ah
garis keras yang dipimpin oleh Hamdan bin Qarmat yang menentang pemerintahan
Dinasti Abbasiyah sejak Abad ke-10 sampai abad ke-11.
Sumber lain menyebutkan, Abu Mughits Al-Husein bin Manshur
Al-Hallaj (244-309 H.) dilahirkan diPersia, seorang cucu dari penganut
Zoroaster, dibesarkan di Irak.
Tokoh inilah yang terkenal dengan “hululiyyin” (para penganut paham panteisme)
dan “Ittihadiyyin” (para penganut paham manunggaling kawula gusti).Ia dituduh
kafir, dibunuh dan disalib karena empat perkara yang dituduhkan kepadanya :
Karena berhubungan dengan orang-orang Qaramithah (Syi`ah ekstrim).
Karena ucapannya, “Aku adalah Tuhan yang Haq “.
Karena pengikutnya meyakini akan ke-Tuhan-an diri-nya.
Karena pendapatnya tentang haji, bahwa haji ke Baitullah tidak
termasuk suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.
Tentang kepribadiannya banyak hal-hal yang tidak jelas.
Pertama,sikapnya yang sangat keras kepala, membangkang dan ekstrim. Ia
mengarang buku ” Al-Thawwasin”, yang diteliti dan diterbitkan kembali oleh
Louis Massignon (seorang orientalis ).
Ulama yang hidup pada masa itu diantaranya At-Thabari ahli
tarikh/sejarah (w923 M./tidak menemui disalibnya Al-Hallaj 923 M). Al- Asy’ari
(260-324 H) ahli ilmu kalam yang pernah berfaham Mu’tazilah selama sekitar 40
tahun, kemudian berubah ke faham yang kini disebut Asy’ariyah Asya’irah, dan
kemudian rujuk ke manhaj (jalan) salaf(sahabat, tabi’ien dan tabi’it tabi’in)
dengan menyusun kitab Al-Ibanah, kitab tauhid yang manhaj-nya salaf, namun para
pengikut kini merujuknya bukan ke salaf tapi ke yang Asy’ariyah yang berdekatan
dengan faham Maturidiyah. Beliau wafat tahun 935 M, berarti masih hidup selama
tiga tahun setelah disalibnya Al-Hallaj 923 M. Sedang Junaid Al-Baghdadi,
mufassir sufi pertama, meninggal tahun 910 M, saat itu Al-Hallaj
baru berumur dua atau tiga tahun, ketika umur 25 tahun Al-Hallaj
dibunuh dan disalib di jembatan Baghdad lantaran fahamnya yang dinilai sangat
membahayakan Islam.
Dan diantara aqidah sufi yaitu wihdatul wujud(manunggaling
kawula Gusti, bersatunya hamba dengan tuhan, lihat pada Bab Nur
Muhammad,Hakikat Muhammad, dan wihdatul wujud) di mana tidak ada pemisahan
antara khaliq dan makhluk. Inilah aqidah yang terakhir yang tersebar sejak abad
ketiga Hijriyah sampai hari ini, dan diterapkan akhir-akhir ini oleh setiap
tokoh tasawuf. Yang paling terkenal dalam aqidah ini adalah Ibnu Arabi, Ibnu
Sab’in,At-Tilmasani, Abdul Karim Al-jilli, Abdul Ghani An-Nablisi dan para
tokoh tarekat-tarekat sufisme baru pada umumnya.
Ada pula aqidah sufi yang namanya ittihad, yaitu bersatunya
seorang sufi (tasawuf) sedemikian rupa dengan Allah SWT setelah terlebih dahulu
melalui penghancuran diri (fana) dari keadaan jasmani dan kesadaran rohani
untuk kemudian berada dalam keadaan baka`(tetap/bersatu dengan Allah SWT) Paham
ittihad pertama kali dikemukakan oleh sufi Abu Yazid al-Bustami (meninggal di
Bistam,Iran,261 H/874 M.) Pada suatu waktu dalam pengembaraannya, setelahshalat
Subuh Yazid Al-Bustami berkata kepada orang-orang yang mengikutinya,”Innii ana
Allah laa ilaaha illaa ana fa`budnii (Sesungguhnya aku ini adalah Allah,tiada
Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku).”Mendengar kata-kata itu, orang-orang
yang menyertainya mengatakan bahwa al-Bustami telah gila.Menurut pandangan para
sufi, ketika mengucapkan kata-kata itu,al-Bustami sedang berada dalam keadaan
ittihad, suatu maqam (tingkatan) tertinggi dalam paham tasawuf.
Dalam keadaan ittihad, seorang sufi sering mengucapkan kata-kata
yang aneh,seakan-akan ia mengaku Tuhan, seperti yang diucapkan al-Bustami
diatas. Al-Bustami juga pernah mengucapkan kata-kata,”Subhani, subhani, ma
a`dhama sya`ni (mahasuci aku,mahasuci aku, alangkah maha agungnya aku).”
Al-Bustami juga berkata,”Laisa fi al-jubbah illa Allah (tidak ada didalam jubah
ini kecuali Allah).” Kata-kata seperti itu disebut syathahat (perkataan
aneh-aneh yang keluar dari mulut seorang sufi ketika ittihad, menyatu dengan
Tuhan). Dalam pandangan sufi,kata-kata itu bukan keluar dari seorang sufi
tetapi kata-kata Allah SWT melalui lisan seorang sufi, tetapi sedang dalam
keadaan ittihad. Bukan Dzat Allah SWT yang berbicara, tetapi aspek
Allah SWT yang ada pada diri sufi itulah yang sedang berbicara.
Betapa jauh kepercayaan sufi itu dari Islam. Allah SWT disamakan
dengan jin atau syetan yang masuk kediri manusia hingga manusianya menjadi
kesurupan (majnun), dan bicaranya ngaco (merancu tak karuan), hanya saja
dinamakan syathahat yaitu bicara ngaco namun justru dianggap telah mencapai
tingkatan tertinggi yang mereka tuduhkan yakni ittihad, menyatu dengan Tuhan.
Na`udzubillaahi min dzaalik, dari aqidah yang amat sesat itu.Hanya
saja, aqidah sesat ini ditampilkan dengan nada miring berupa pembelaan samar
dibuku yang disebut Ensiklopedia Islam di Indonesia ini, yang ditangani dan
ditulis oleh orang-orang IAIN (Institut Agama Islam) Jakarta dan lainnya, yang
memang ada seorang profesor yang dikenal sebagai pengajar tasawuf, sekaligus
pembela tasawuf.
Pak profesor itu pernah mengajar tasawuf kepada saya dan
teman-teman 40-an orang di Jakarta 1997, yang rata-rata mempunyai jama`ah dan
keluaran perguruan tinggi Islam dan Insya Allah mampu membaca kitab. Saya
katakan pada Pak Profesor tasawuf itu dalam perkuliahan, bahwa tasawuf itu
bukan dari Islam,mengotori Islam. Apa itu kasyaf (tersingkapnya hijab, hingga
seorang sufi bisa mengetahui hal ghaib) yang dibeberkan Abu Hamid Al-Ghozali
(1058-1111 M./505 H.)? Itu bukan ajaran Islam, karena teori itu Jayabaya
yang sama sekali bukan orang Islam pun kemungkinan bisa, dengan istilah yang
dikenal dengan “ramalan Joyoboyo”. Disamping itu, Al-Ghazali tidak
memperhatikan Islam secara penuh. Dia masih hidup selama 25 tahunan ketika
perang salib berlangsung (Tantara Salib menduduki Yerussalem th 1076 M,sedang
Al-Ghazali hidup 1058-1111 M.),yaitu perang besar dan berkepanjangan antara
Muslimin dengan Kristen. Namun sebagai ilmuwan, Al Ghazali tidak terdengar
adanya perhatian dia tentang perang jihad yang sangat besar itu, baik itu
tulisan ataupun pidato, padahal dia sangat rajin mengarang. Bahkan di Jawa, Sunan
Mangkunegoro IV yang diangkat-angkat sebagai orang yang termasuk tokoh sufi
(dijadikan tesis untuk doktor di IAIN Jakarta oleh profesor tersebut dengan
tema kesufian) ternyata dia (Mangkunegoro IV) itu sendiri jelas-jelas menulis
syair yang menyatakan bahwa dirinya tidak sholat.
Jadi tasawuf itu jelas bukan ajaran Islam,bahkan mengotori Islam,
tutur saya (penulis).Bagaimana reaksi Pak profesor yang bukan sekedar
mengenalkan apa itu sufi, namun memang pembawa ajaran tasawuf itu ? Dengan muka
yang cukup tegang (padahal beliau orang Solo Jateng,dan sudah agak tua, yang
tampaknya lembut tapi saat itu memerah wajahnya), beliau menunjuk-nunjuk saya
sambil berkata,”Anda belajar dimana ?! Keluaran mana ?! lalu belajar apa ?!
Dengan suara keras dan mengagetkan teman-teman yang berjumlah 40-an orang dalam
ruang kuliah itu. Setelah saya jawab, beliau hanya berseru,” Anda harus banyak
belajar lagi !” Ucapan-ucapan beliau itu, diluar perkuliahan dihafalkan oleh
seorang teman yang kalau bertemu saya lalu dia praktekkan, dengan
menunjuk-nunjuk muka saya, teman itu mempraktekkan kata-kata Pak profesor,
kemudian ditutup dengan,”Ini marahnya seorang sufi, kamu harus tahu !” ucapnya
sambil tertawa-tawa. Saya pun tertawa saja ketika dicandai begitu.
Pada kesempatan berikutnya, rupanya pertanyaan saya kepada Bapak
Profesor itu diambil hati (diperhatikan betul). Kemungkinan beliau lantas
membuka-buka referensi atau rujukan kitab-kitab, untuk membantah ucapan
muridnya ini. Lalu dalam perkuliahan selanjutnya,beliau menjawab tentang kasus
Al-Ghazali tokoh sufi kasyaf, dan Mangkunegoro IV raja kerajaan (kasunanan)
Mangkunegaran Surakarta Jateng, yang dipersoalkan tersebut. Kata Pak profesor
yang jadi salah satu editor Ensiklopedia Islam yang sedang dikritik ini, Al
Gahzali bukannya tidak memeberi perhatian terhadap kegiatan Islam.Buktinya, Al
Ghazali juga pernah berkunjung ke Andalus, guna memberikan gelar kepada salah
seorang anggota kekhalifahan di Andalus. Adapun Mangkunegoro IV, toh didalam
Kitab Nailul Authar disebutkan bahwa sholat itu bisa dijama`. Nah Mangkunegoro
IV itu sebelumnya dia “nyantri” dipesantren, lalu dipanggil untuk
menjadi pegawai diKerajaan, jadi sibuk. Memang dalam dua baris
syairnya,Mangkunegoro IV menyebutkan dirinya tidak sholat.Tak tahulah. Saya dan
teman-teman tidak bisa menjangkau jawaban Pak Profesor itu. Apa hubungannya
antara sholat boleh dijama` dengan tidak sholatnya Mangkunegoro IV, dan apa
hubungannya antara perhatian yang dituntut oleh Islam dengan bertandangnya Al
Ghozali untuk memberi gelar seorang anggota kekhalifahan di Andalus ? Yang bisa
dijangkau hanyalah gumam yang kewetu (terlanjur keluar) dari lisan Pak
profesor, bahwa beliau ketika diuji tesisnya untuk doktor (tentang Mangkunegoro
IV kaitannya dengan tasawuf ) di IAIN Jakarta tidak sampai pertanyaan yang
dicecarkan oleh muridnya ini.
Pada lain kesempatan, saya ceritakan hal tersebut kepada seorang
teman. Lalu teman saya bercerita pula tentang model jawaban “marah” dari
“syaikh” sufi yang pernah dia saksikan ketika mendapatkan kesempatan untuk
penataran dai` International di Al Azhar Mesir selama 3 bulan. Dalam suatu
perkuliahan, ada peserta (dai`) dari Bangladesh yang mengkritik tasawuf. Lantas
guru yang “syaikh” sufi tidak menjawab kritikan itu dengan jawaban yang
berkaitan dengan kritikan, namun hanyalah marah-marah disertai
kata-kata,”Dinegrimu banyak masalah. Urusi itu. Tidak usah kamu
mengkritik-kritik tasawuf. Urusan dinegrimu saja banyak sekali. Itu yang harus
kamu urusi.” Entah kenapa, kok ada kemiripan sesama guru besar tasawuf baik yang
ada di Jakarta maupun di Cairo, kalau dikritik tasawufnya lalu marah-marah, dan
jawabannya ngaco (tidak relevan). Disamping itu ada kemiripan kenyataan pula,
yang sekolah jauh-jauh ke Al Azhar Mesir atau Pasca Sarjana IAIN Jakarta
tahu-tahu dimasyarakat menyebarkan tasawuf. Tidak semuanya, tetapi bisa
dibilang jarang sekali yang kritis terhadap sufisme. Sebagai bukti, profesor di
IAIN Jakarta tersebut bukannya mengkritik Mangkunegoro IV yang tidak sholat,
tetapi malahan mencari-carikan jawaban dengan mengemukakan bolehnya sholat
jama` (digabung antara Dhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya`). Padahal
antar keduanya (tentang tidak sholat dan bolehnya sholat jama`) itu tidak ada
kaitannya.Perlu ditambahkan, saya menuturkan ini karena sering mendapatkan kesempatan
untuk menyaksikan ujian doktor di IAIN Jakarta, termasuk ujian beliau (yang
jadi Ensiklopedia Islam itu), beberapa tahun sebelum saya ajukan pertanyaan
tersebut. Ujian itu seperti biasanya,selalu dihadiri oleh Prof.Dr.Harun
Nasution, dekan Pasca Sarjana IAIN Jakarta, sebagai salah satu penguji.
Berkali-kali saya bertugas meliput ujian doktor semacam itu,
karena ditugaskan oleh kantor redaksi atas undangan IAIN Jakarta untuk
meliputnya.Apa yang kewetu dari lisan Pak profesor bahwa ketika ujian justru
tidak ada pertanyaan yang mencecar seperti itu, memang betul. Karena Harun
Nasution sebagai dekan memang sudah dikenal arah pemikirannya secara umum
adalah mengarah kepada Mu`tazilah, filsafat, dan sufisme. Untuk mengarahkan
agar kenal dengan faham Mu`tazilah, misalnya Harun Nasution menanya kepada
calon doktor yang diuji,”Apa makna yahdillaahu man yasya ?” Lalu sicalon doktor
menjawab,”Allah SWT memberipetunjuk kepada orang yang Allah SWT kehendaki.”
Kemudian disahut oleh Harun Nasution ,”Itu makna menurut ahlus Sunnah. Kalau
menurut Mu`tazilah ? Bila calon doktor tak bisa menjawab, maka dituntun oleh
Harun Nasution,”Allah memberi petunjuk kepada orang yang orang itu sendiri
menghendaki. Jadi yasya` itu dhomir-nya/kata gantinya kembali kepada “man” yaitu
orang itu sendiri”.Lantas calon doktor itu tampaknya seperti kerbau yang
dicocok hidungnya (maaf).
Meskipun sebenarnya dalam ujian yang saya saksikan itu ada penguji
yang jeli dan mempertanyakan pula tentang shalat atau tidaknya Mangkunegoro IV,
namun wibawa dekan yakni Harun Nasution yang sudah bisa dimengerti
bahwa sufisme ini jelas-jelas dia dukung, ataupun kondisi saat itu bisa diatur
oleh sang ketua Ujian, maka pertanyaanpun tak sampai menukik benar. Bahkan saya
saksikan, pembangkitan kembali peninggalan Mangkunegoro IV yang
pembahasannya dikaitkan dengan sufisme (kedua-duanya ini sebenarnya sudah
terkubur, tapi kemudian digali kembali oleh tangan-tangan yang kemungkinan
mengotori Islam) itu, mendapat sambutan yang baik dalam ujian tersebut. Dari
sini bisa difahami, misi Harun Nasution dan murid-muridnya yang kurang lebihnya
adalah sekulerisme, liberalisme berfikir, dan pluralisme (tidak boleh mengakui
bahwa Islam sajalah yang benar) dicampur sufisme memang mendorong
dimunculkannya ajaran-ajaran yang tidak jelas seperti tesis yang diujikan dan
mendapatkan sambutan yang baik tersebut.
Dan salah satu sarana yang disisipi misinya untuk disebarkan
adalah Ensiklopedia Islam, yang teman saya mengaku termasuk orang yang diberi
proyek untuk menulis itu oleh Harun Nasution, hingga cukup untuk
membiayai kuliahnya hingga mencapai doktor.Pantaslah kalau penggalian kembali
tulisan Mangkunegoro IV tersebut dihargai, karena misinya sama dengan misi
orientalis seperti Louis Massignon dan lain-lainnya yang mengggali kembali
peninggalan-peninggalan tasawuf yang telah terkubur lalu ditampilkan lagi dan
dicetak. Untuk apa ? untuk kepentingan orientalis yang kaitannya erat sekali
dengan penjajahan terhadap umat Islam sedunia dan mengotori Islam, melemahkan
serta merancukan.Dan misi itupun dilanjutkan oleh Harun Nasution dan
pemerintahan Orde Baru dengan mentri-mentri agama: Mukti Ali, Munawir Sjadzali,
Tarmidzi Taher,dan dijaman reformasi setelah jatuhnya Presiden Suharto adalah
mentri Agama Malik Fajar, yang mereka itu menggencarkan pengiriman dosen-dosen
IAIN ke negri Barat untuk belajar “Islam” warisan orientalis. Adapun Mentri
Agama Alamsjah Ratuperwiranegara tak begitu terdengar apakah ia menggencarkan
atau tidak, walau masanya setelah Mukti Ali. Sedang Quraisy Shihab yang menjadi
mentri Agama selama 70 hari saja, walau alumni Al Azhar Mesir namun tidak
tampak mencoba untuk membendung arus Harun Nasution yang pro-orientalis.Bahkan
sebelumnya, ketika Quraisy menjadi Rektor IAIN pun tidak ada gaungnya alias
tidak terdengar membendung Harunisme.
Ketika buku ini ditulis, yang duduk sebagai dekan Pasca
Sarjana IAIN Jakarta adalah Prof.Dr. Said Aqil Al-Munawar, seorang yang hafal
Al Qur`an dan berguru Hadits ke Syaikh Yasin Al-Padangi di Makkah. Ustadz Aqil
ini dari kalangan NU, beliau hafalannya kuat. Ketika saya sempat
diajari ilmu Hadits dalam perkuliahan, beliau sering sekali menyebut nama Abdul
Fattah Abu Ghuddah (tokoh Ikhwanul Muslimin Syuriah, ada yang menggolongkan
sufi juga). Apakah Pak Aqil mendukung orientalis juga dan mendukung sufi, belum
bisa saya berkomentar. Yang jelas,terhadap sufi tentu tidak seperti tulis dan
saya ini. Sedang Mentri Agama angkatan Presiden Gur Dur September 1999 adalah
Thallah Hasan, konon orang NU. Belum terdengar adanya penyetopan terhadap
pengiriman dosen-dosen IAIN ke Barat untuk belajar Islam alias sufisme yang
diprogramkan orientalis dan Yahudi. Apalagi Gus Dur justru dikenal sebagai
orang yang dari awalnya pro-Yahudi Israel dan bersuara miring terhadap gerakan
Islam murni. Jadi, paling kurang,program yang berbau orientalis dan Yahudi
kemungkinan akan dilindungi oleh Gus Dur. Disamping itu, sekalipun Harun
Nasution sudah meninggal dunia namun kader-kadernya telah banyak, dan
programnya telah berjalan.
Meskipun demikian, kebatilan yang mereka usung secara sistematis
dan dibiayai oleh duit Muslimin lewat negara, insya Allah akan hancur juga,
karena gelombang anti kolonialis, anti filsafat, anti tasawuf, anti bid`ah,
anti orientalis yang menyesatkan, dan anti aneka tipuan Yahudi; semakin
merebak. Diantara bukti nyata, gagasan reaktualisasinya Munawir Sjadzali,
mentri agama yang lama, yang ingin mengubah hukum waris Islam, dari 2:1 antara
bagian laki-laki dan perempuan menjadi 1:1;karena Munawir yang menganggap hukum
Islam tentang waris itu tidak adil, ternyata gagasan itu luntur dengan habisnya
masa jabatan kementrian beliau 1993.
Mengenai pembelaan samar terhadap tasawuf dalam buku Ensiklopedia
itu bisa kita simak kutipan darinya sebagai berikut: “Paham-paham ittihad,
hulul ataupun wahdah al wujud ini dipandang sesat dan menyesatkan oleh
ulama-ulama syari`at. Oleh sebab itu, para penulis tentang tasawuf atau sufi
pada abad ketiga dan keempat Hijriyah (masa subur dan berkembangnya paham
tasawuf), seperti Abu Bakar Al-Kalabadi (w 380 H.) dan Abu Qasim Abdul Karim Al
Qusyairi (w 465 H.), enggan menulis masalah-masalah tersebut. Uraian mengenai hal
ini dapat dijumpai dalam tulisan-tulisan kaum orientalis. Kemudian penulis
Islam pun tergerak kembali hasratnya untuk mengungkapkan khazanah lama miliknya
itu.” Bagaimana buku itu menggambarkan seakan tasawuf itu suatu yang berharga
sekali dan sayang kalau hilang, ditulis dalam baris-baris kutipan terakhir
tersebut. Istilah yang dikemukakan pun tampak dibuat sedemikian rupa, hingga
para ulama pun disebut “ulama-ulama syari`at”, seakan Islam itu tidak komplit
kalau tidak pakai tasawuf.Sedang para ulama yang ahli hadits, fiqh, tafsir dan
sebaiknya yang tentu saja faham benar tentang sesatnya tasawuf, disebutnya
ulama-ulama syari`at.
Telah disebutkan diatas, bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal
menasehati murid-muridnya agar tidak mendekati orang-orang sufi. Imam Ahmad bin
Hanbal adalah salah seorang yang termasuk imam empat yang sangat terkenal,
yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi`I, dan Imam Hanbali. Dalam
pembicaraan ilmu, hampir tak pernah mereka itu disebut ulama syari`at (untuk
maksud bahwa ada ulama tasawuf) seperti penyebutan dalam Ensiklopedia itu,
tetapi adalah imam (madzhab) yang empat, artinya mereka itu ulama, yang
tingkatannya mujtahid mutlak, orang yang mampu berijtihad (mencurahkan pikiran
untuk menentukan hukum syara` yang tidak ada dalam nash/teks ayat ataupun
hadits) tanpa bersandar dari orang lain. Sehingga,ulama-ulama belakangan yang
meneruskan ilmu para mujtahid atau imam madzhab tersebut, sebenarnya tidak
perlu disebut ulama syari`at .Cukup disebut ulama. Namun orang sufi menyebutnya
ulama syari`at karena dianggap tidak mengetahui yang batin atau yang ghaib.
Padahal Nabi SAW sendiri tidak mengetahui yang ghaib, bahkan jelas-jelas
menegaskan bahwa Nabi SAW tidak tahu apa yang diperbuat Allah SWT untuk Nabi
SAW sendiri esok (lihat dalam Bab Aqidah). Allah SWT berfirman,
Ada sebagian delegasi yang datang ke Nabi SAW, mereka menganggap
bahwa Nabi SAW termasuk orang yang mengaku bisa melihat yang ghaib, maka mereka
menyembunyikan sesuatu didalam (genggaman) tangan mereka untuk beliau. Dan
mereka berkata kepada beliau,” Kabarkanlah kepada kami, apa dia (yang ada dalam
gemgaman kami ini) ? Lalu beliau menjawab kepada mereka dalam keadaan
berteriak, “Aku bukan seorang dukun. Sesungguhnya dukun dan perdukunan serta
dukun-dukun itu didalam neraka.” ( Diriwayatkan Abu Daud: 286 ). Kembali kepada
buku tersebut, untuk menegaskan satu sikap dari satu buku, atau pun untuk
mengemukakan bahwa sufi itu juga perlu dianggap bahwa disana ada ulamanya, maka
maksud-maksud itu bisa dibaca pula.
Sebagaimana Abdurrahman Abdul Khaliq dalam bukunya yang menyoroti
sufi itu menyebut sufi sebagai ad-dien as-shufi (agama sufi),bukan sekedar
aliran sufi, karena memang sufi ataupun tasawuf dinilai sebagai diluar agama
Islam. Hanya saja bedanya, pihak yang satu (pembela sufi) ingin mendorong agar
sufi atau tasawuf dimasukkan ke Islam, sedang pihak yang lain (penolak sufi)
menjelaskan dengan bukti-bukti dan dalil bahwa sufi atau tasawuf itu diluar
Islam. Kalau sudah demikian, maka jalan keluarnya, kita ikuti
perintah Allah SWT ,
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisaa`:59)
Coba kita kembalikan kepada Al Qur`an atau Sunnah Rasul, apakah
memang aqidah sufi itu cocok. Aqidah sufi terutama ittihad, hulul,dan wihdatul
wujud itu sudah mencampuri urusan ke-ghaib-an yang tertinggi, yaitu Dzat Allah
SWT, padahal Nabi SAW telah menjelaskan ;”Demi Allah, sesungguhnya aku ini
pasti utusan Allah SWT, (tetapi) aku tidak tahu apa yang akan Allah SWT
kerjakan padaku esok.”(Diriwayatkan Al Bukhari dalam Fathul Bari;dan riwayat
Imam Ahmad dari Ummul `Ala`Al-Andhariyah dengan semacamnya).
2. Aqidah Sufi Mengenai Rasulullah SAW
Sufisme dalam hal mempercayai Rasulullah SAW juga ada
bermacam-macam aqidah. Diantaranya ada yang menganggap bahwa Rasulullah SAW
tidak sampai pada derajat dan keadaan mereka (orang-orang sufi). Dan Nabi SAW
(dianggap) jahil (bodoh) terhadap ilmu tokoh-tokoh tasawuf seperti perkataan
Busthami,” Kami telah masuk lautan, sedang para nabi berdiri ditepinya.” Abu
Bakar Jabir Al-Jazairi, pengarang kitab Ila At-Tashawwuf ya`Ibadallaah
menisbatkan perkataan tersebut kepada At-Tijani (pendiri tarekat At-Tijaniyah).
Lalu Al-Jazairi berkomentar bahwa kelanjutan ucapan At-Tijani ini bahwa
quthub-quthub (wali-wali yang ada dikutub-kutub dunia) sufi itu menurut
pendapat mereka lebih tahu dibanding nabi-nabi tentang Allah SWT dan lebih
mengerti tentang syari`at-Nya yang mengandung kecintaan dan kemarahan.”
Bukankah (kepercayaan) ini merupakan kekafiran wahai hamba-hamba Allah SWT ?”
komentar Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Khatib Masjid Nabawi Madinah. Diantara
mereka (orang-orang sufi) ada yang mempercayai bahwa Rasulullah SAW itu adalah
kubah alam, dan dia itulah dan dia itulah Allah yang bersemayam diatas arsy;
sedangkan langit-langit, bumi, arsy, kursi, dan semua alam itu dijadikan dari
nurnya (Nur Muhammad), dialah awal kejadian, yaitu yang bersemayam diatas Arsy
Allah SWT. Inilah aqidah Ibnu Arabi dan orang-orang yang datang
setelahnya/pengikutnya.
3. Aqidah Sufi Mengenai Wali-wali
Sufisme dalam hal wali-wali juga mempercayai dengan kepercayaan
yang bermacam-macam. Diantara mereka ada yang melebihkan wali-wali diatas nabi.
Pada umumnya orang sufi menjadikan wali itu menyamai/sejajar dengan Allah dalam
segala sifatnya, maka ia ( wali ) itu mencipta,memberi rezki, menghidupkan,
mematikan, dan mengatur alam.
Orang sufi membagi-bagi wali menjadi beberapa bagian, ada yang
disebut wali Al-Ghauts yang mempunyai kemauan sendiri dalam segala sesuatu
didunia ini, dan ada empat wali Kutub yang memegangi pojok-pojok yang empat
didunia ini atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Abdal yang tujuh,
masing-masing mempunyai kekuasaan disatu benua dari tujuh benua atas perintah
wali Al-Ghauts. Dan ada wali Nujaba`, yang mereka itu memiliki kekuasaan
dikota-kota setiap wilayah dikota. Dikota-kota, demikianlah seterusnya, maka
jaringan wali-wali Internasional ini menguasai makhluk, dan mereka punya dewan
tempat mereka berkumpul yaitu di Gua Hira`, setiap malam mereka melihat taqdir.
Pendek kata, dunia perwalian (sufi) itu adalah dunia
khurafat (kepercayaan yang menyeleweng dari kemurnian Islam) total.
Ini otomatis berbeda dengan kewalian dalam Islam yang ditegakkan diatas agama
dan taqwa, amal shaleh dan ibadah yang sempurna kepada Allah, dan membutuhkan
(pertolongan) Allah SWT. Sebenarnya wali itu tidak bisa mengurusi urusan
dirinya sendiri (untuk mendatangkan manfaat dan mudharat) sedikitpun,
lebih-lebih untuk menguasai orang lain. Allah SWT berfirman :
Sebagian cerita yang dikisahkan orang-orang sufi memang
terjadi,namun bercampur dengan sihir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu
Taimiyah dalam bukunya yang berjudul Al-Furqan baina Auliya`ir Rahman wa
Auliya`is Syaithan (Perbedaan antara wali-wali Tuhan dan wali-wali Syetan).
Buku ini muncul waktu orang-orang mencampur adukkan antara sihir dan karamah.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian orang musyrik, baik dari Bangsa Arab,
India, Turki,Yunani maupun bangsa lain, mempunyai kegigihan dalam bidang
ilmu,kezuhudan, dan ibadah; namun mereka tidak mengikuti dan tidak beriman
kepada para Rasul, dan tidak membenarkan berita-berita yang Rasul bawa, dan
tidak mentaati perintahnya.
Orang-orang seperti itu bukanlah orang-orang yang beriman, dan
bukan pula wali-wali Allah SWT. Mereka adalah orang-orang yang dihubungi oleh
syetan-syetan.Mereka dapat mengungkapkan beberapa perkara gaib, mereka memiliki
beberapa perilaku luar biasa yang merupakan bagian dari sihir.Mereka itu adalah
tukang sihir yang dihampiri syetan-syetan. Allah SWT berfirman,
” Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syetan-syetan
itu turun ?
Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa.
Mereka
menghadapkan pendengaran (kepada syetan) itu, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang pendusta.” (As-Syu`ara:221-223)
Mereka bersandar kepada, mukasyafat (penyingkapan perkara-perkara
yang ghaib) dan hal-hal yang luar biasa. Apabila mereka tidak mengikuti Rasul,
tentu amalan-amalan mereka mengandung dosa seperti kemusyrikan, kedzaliman,
kekejian, sikap berlebihan, atau bid`ah dalam ibadah. Mereka dihampiri dan
didatangi syetan-syetan, sehingga mereka menjadi wali-wali syetan, bukan
wali-wali Ar-Rahman (Tuhan). Allah SWT berfirman,
” Barang siapa yang berpaling dari pengajaran (Allah) Yang Maha
Pemurah (Al Qur`an),
kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan), dan syetan itulah yang menjadi
teman yang selalu menyertainya.” (Az-Zukhruf:43:36)
Pengajaran Allah SWT adalah pengajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya,
yakni Al Qur`an.Barang siapa tidak beriman kepada Al Qur`an, tidak membenarkan
beritanya, dan tidak meyakini kewajiban perintahnya, berarti dia telah
berpaling dari Al Qur`an, kemudian syetan datang menjadi teman setia baginya.
Seseorang yang selalu berdzikir kepada Allah SWT, baik malam
maupun siang, disertai dengan puncak kezuhudan dan kesungguhan beribadah
kepada-Nya, namun tidak mengikuti dzikir yang Allah SWT turunkan,yakni Al
Qur`an, maka dia termasuk wali syetan, meskipun dia mampu terbang diangkasa
atau berjalan diatas air. Syetanlah yang membawanya ke angkasa sehingga ia
mampu terbang.
4. Aqidah Sufi Mengenai Surga dan Neraka
Mayoritas orang sufi (menurut Abdurrahman Abdul Khaliq, semuanya)
berkeyakinan bahwa menuntut syurga merupakan suatu aib besar. Seprang wali
tidak boleh menuntutnya (mencari syurga) dan barang siapa menuntutnya, ia telah
berbuat aib.Menurut mereka yang patut dituntut adalah al-fana` (menghancurkan
diri dalam proses untuk menyatu dengan Allah) yang mereka klaim (da`wakan)
terhadap Allah, dan melihat keghaiban, dan mengatur alam.Inilah syurga orang
sufi yang mereka klaim.
Adapun mengenai neraka, orang sufi berkeyakinan juga bahwa lari
darinya itu tidak layak bagi orang sufi yang sempurna. Karena takut dari neraka
itu watak budak bukan orang-orang merdeka. Diantara mereka ada yang berbangga
diri bahwa seandainya ia meludah keneraka pasti memadamkan neraka, seperti
kata Abu Yazid Al-Busthami. Dan orang sufi yang berkeyakinan dengan wihdatul
wujud (menyatu dengan Tuhan), diantara mereka ada yang mempercayai bahwa
orang-orang yang memasuki neraka akan merasakan kesegaran dan kenikmatannya,
tidak kurang dari kenikmatan syurga, bahkan lebih. Inilah pendapat Ibnu Arabi
dan aqidahnya. Seperti disebutkan dalam buku Ibnu Arabi,Fushushul Hukm.
Orang jahil dimasa kita sekarang kadang menyangka bahwa aqidah
mengenai syurga (model sufi) ini adalah aqidah yang tinggi, yaitu manusia menyembah
Allah tidak mengharapkan syurga dan tidak takut neraka. Ini tidak diragukan
lagi jelas meneyelisihi aqidah kita yang terdapat dalam Al Qur`an dan As
Sunnah. Allah telah mensifati keadaan para nabi dalam ibadah mereka bahwa :
” Mereka berdoa kepada kami dengan harap (roghoban) dan takut
(rohaban). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu”. (Al-Anbiyaa`:90)
A-roghob yaitu mengharapkan syurga Allah S.W.T dan keutamaan-Nya,
sedang ar-rohab yaitu takut dari siksa-Nya, padahal para Nabi itu adalah
sesempurna-sempurnanya manusia (segi) aqidahnya,keimanannya dan keadaannya.Dan
landasan dari As Sunnah, perkataan seorang Arab Badui kepada Rasulullah,
“Wallahi, sungguh aku tidak bisa mencontoh dengan baik bacaan lirihmu (dan
danik suara tak terdengarmu) dan bacaan lirih Mu`adz. Namun hanya aku
katakan,`Ya Allah, aku mohon syurga kepada-Mu, dan berlindung kepada-Mu dari
neraka.` Lalu Rasulullah berkata,`Sekitar itu juga bacaan lirih kami`.”
(Diriwayatkan Ibnu Majah)
Keadaan yang diupayakan oleh orang-orang sufi untuk mewujudkan
yaitu beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan syurga dan tanpa
takut akan neraka, maka menyeret mereka kepada bencana.Mereka berusaha
kepada tujuan yang lain dengan ibadah yaitu yang disebut fana` (meleburkan
diri) dengan Tuhan dan ini menyeret mereka kepada al-jadzdzab(merasa
melekat dengan Tuhan), kemudian menyeret mereka pula kepada al-hulul
(inkarnasi/penjelmaan Tuhan dalam diri manusia), kemudian menyeret mereka pula
pada puncaknya kepada wihdatul wujud (menyatunya Tuhan dengan
hamba/manunggaling kawula Gusti)
5. Aqidah Sufi Mengenai Iblis dan Fir`aun
Mengenal iblis,kebanyakan orang sufi,khususnya para penganut
kepercayaan wihdatul wujud,berkeyakinan bahwa iblis adalah hamba yang paling
sempurna dan makhluk yang paling utama tauhidnya. Karena menurut anggapan
mereka,iblis tidak mau sujud kecuali kepada Allah.Dan mereka mengklaim bahwa
Allah telah mengampuni dosa-dosa iblis dan akan memasukkannya ke
syurga.Demikian pula anggapan mereka,Fir`aun adalah seutama-utamanya ornag yang
mentauhidkan (mengesakan) Allah (muwahidien).Karena Fir`aun berkata,”Saya
adalah Tuhanmu yang tertinggi”,maka ia mengetahui hakikat,karena setiap yang
wujud itu adalah Allah,kemudian dia (Fir`aun) menurut klaim mereka,telah
beriman dan masuk syurga.
Kekeliruan
ajaran tasawuf
Oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc
Sejarah Munculnya Tasawuf dan Sufi
Tasawuf (تَصَوُّف) diidentikkan dengan sikap berlebihan
dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia. Pelakunya disebut Shufi
(selanjutnya ditulis Sufi menurut ejaan yang lazim, red) (صُوْفِيٌّ), dan jamaknya adalah
Sufiyyah (صُوْفِيَّةٌ).
Istilah ini sesungguhnya tidak masyhur di jaman Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam, shahabat-shahabatnya, dan para tabi’in.
Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Adapun lafadz Sufiyyah
bukanlah lafadz yang masyhur pada tiga abad pertama Islam. Dan setelah masa
itu, penyebutannya menjadi masyhur.” (Majmu’ Fatawa, 11/5)
Bashrah, sebuah kota di Irak, merupakan
tempat kelahiran Tasawuf dan Sufi. Di mana sebagian ahli ibadahnya mulai
berlebihan dalam beribadah, zuhud, dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang
belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam), hingga
akhirnya memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuf/صُوْفٌ ).
Meski kelompok ini tidak mewajibkan
tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah mereka disebut
dengan “Sufi”, sebagai nisbat kepada Shuf (صُوْفٌ). Jadi, lafadz Sufi bukanlah nisbat
kepada Ahlush Shuffah yang ada di jaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam, karena nisbat kepadanya adalah Shuffi (صُفِّيٌ). Bukan pula nisbat kepada
shaf terdepan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena nisbat kepadanya
adalah Shaffi (صَفِّيٌ).
Demikian juga bukan nisbat kepada makhluk
pilihan Allah الصَّفْوَةُمِنْخَلْقِاللهِ
karena nisbat adalah Shafawi ز(صَفَوِيٌّ) . Dan bukan pula nisbat kepada Shufah
bin Bisyr (salah satu suku Arab) meski secara lafadz bisa dibenarkan. Namun
secara makna sangatlah lemah, karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi
tidak berkaitan sama sekali.
Para ulama Bashrah yang
mengalami masa kemunculan kelompok sufi, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana
diriwayatkan Abu Asy-Syaikh Al-Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari
Muhammad bin Sirin rahimahullah, bahwasanya telah sampai kepadanya berita
tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba.
Maka beliau berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian
yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al-Masih bin
Maryam! Maka petunjuk Nabi kita lebih kita cintai, beliau Shalallahu ‘alaihi
wasallam biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun, dan yang
selainnya.” (Diringkas dari Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
hal. 5, 6, 16)
Asy-Syaikh Muhammad Aman bin
‘Ali Al-Jami rahimahullah berkata: “Demikianlah munculnya jahiliyah Tasawuf,
dan dari kota inilah (Bashrah) ia tersebar.” (At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliah,
hal. 5)
Siapakah Peletak Ilmu Tasawuf?
Ibnu ‘Ajibah, seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwa peletak ilmu
Tasawuf adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Beliau
Shalallahu ‘alaihi wasallam, menurut Ibnu ‘Ajibah, mendapatkannya dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara
panjang lebar tentang hal ini dengan sekian banyak bumbu keanehan dan kedustaan,
yaitu: “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
dengan membawa ilmu syariat. Dan ketika ilmu itu telah mantap, maka turunlah ia
untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau Shalallahu ‘alaihi
wasallam pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khusus saja. Dan
yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
‘anhu, dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menimba darinya.” (Iqazhul Himam Fi
Syarhil Hikam, hal. 5 dinukil dari At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliyah, hal.8)
Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami rahimahullah berkata:
“Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Dengan kedustaan, ia telah menuduh
bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah
seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang
keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia
mampu. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah perintahkan Rasul-Nya Shalallahu
‘alaihi wasallam untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya :
“Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh
Rabbmu. Dan jika engkau tidak melakukannya, maka engkau tidak menyampaikan
risalah-Nya.” (Al Maidah: 67)
Beliau juga berkata: “Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan
sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi
orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin mereka (Syi’ah). Dan benar-benar ‘Ali
bin Abi Thalib Radhiayallahu ‘anhu sendiri yang membantahnya, sebagaimana
diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullah dari hadits Abu Thufail ‘Amir bin
Watsilah Radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata: “Suatu saat aku pernah berada di sisi
‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Maka datanglah seorang laki-laki seraya
berkata: ‘Apa yang pernah dirahasiakan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
kepadamu?’ Maka Ali pun marah lalu mengatakan: ‘Nabi Shalallahu ‘alaihi
wasallam belum pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang tidak disampaikan
kepada manusia! Hanya saja beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam pernah
memberitahukan kepadaku tentang empat perkara.’ Abu Thufail Radhiyallahu ‘anhu
berkata: ‘Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin?’ Beliau menjawab:
‘Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “(Artinya) Allah
melaknat seseorang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang
yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi
pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah’.”
(At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliah, hal. 7-
Hakikat Tasawuf
Dari bahasan di atas, Tasawuf jelas bukan ajaran Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam dan bukan pula ilmu warisan dari ‘Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Lalu dari manakah ajaran Tasawuf ini?
Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Ketika kita
telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan
mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku
terdahulu dan terkini mereka, maka kita dapati sangat berbeda dengan ajaran Al
Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini
di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam,
dan para shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk
pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita
melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani,
Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.” (At-Tasawuf Al-Mansya’ Wal
Mashadir, hal. 2
Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Wakil rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling tercela lagi hina
untuk menggiring hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam memerangi Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya ia
(Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani,
bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang
benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya
ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah,
Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.”
(Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19)2
Keterangan para ulama di atas menunjukkan bahwasanya ajaran
Tasawuf bukanlah dari Islam. Bahkan ajaran ini merupakan kumpulan dari
ajaran-ajaran sesat yang berusaha disusupkan ke tengah-tengah umat untuk
menjauhkan mereka dari agama Islam yang benar.
Kesesatan-Kesesatan Ajaran Tasawuf
Di antara sekian banyak kesesatan ajaran Tasawuf adalah:
1. Wihdatul Wujud, yakni
keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatu dengan segala sesuatu yang
ada di alam semesta ini. Demikian juga Al-Hulul, yakni keyakinan bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala dapat menjelma dalam bentuk tertentu dari makhluk-Nya
(inkarnasi).
Al-Hallaj, seorang dedengkot sufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah)
menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.”
(Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, 2/600)
Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata: “Seorang hamba adalah
Rabb dan Rabb adalah hamba. Duhai kiranya, siapakah yang diberi kewajiban
beramal? Jika engkau katakan hamba, maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan
Rabb, kalau begitu siapa yang diberi kewajiban?” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah
dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah, hal. 601)
Muhammad Sayyid At-Tijani meriwayatkan (secara dusta, pen) dari
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda:
“Aku melihat Rabbku dalam bentuk seorang pemuda.”
(Jawahirul Ma’ani, karya ‘Ali Harazim, 1/197, dinukil dari Firaq
Mu’ashirah, hal. 615)
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
“Berkatalah Musa: ‘Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau)
kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.’ Allah berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak
akan sanggup melihatku’…” (Al-A’raf: 143)
2. Seorang yang menyetubuhi
istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika
menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi
Allah!” (Fushushul Hikam).1 Betapa kufurnya kata-kata ini…, tidakkah
orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini?
3. Keyakinan kafir bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah makhluk dan
makhluk adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, masing-masing saling menyembah kepada
yang lainnya
Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun
memuji-Nya. Dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat
Al-Makkiyyah).2
Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang
kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam: 93)
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang
berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat
gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran
Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).3
Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh sufi yang sangat kondang,
berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan
Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat
berhala-berhala.”4
Padahal Allah Ta’ala berfirman:
5. Bolehnya menolak hadits yang jelas-jelas shahih
Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang
diriwayatkan oleh para perawi-perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh
seseorang mukasyif (Sufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya
kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam secara langsung: “Apakah engkau
mengatakannya?” Maka beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam mengingkarinya seraya
berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan
shahih.” Maka diketahuilah, dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa
diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama
mengamalkannya berdasarkan isnadnya yang shahih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah).1
6. Pembagian
ilmu menjadi syariat dan hakikat.
Di mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti
ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Oleh karena itu, menurut keyakinan Sufi, gugur baginya segala kewajiban
dan larangan dalam agama ini.
Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al
Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99:
yang mana mereka terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada
Rabbmu hingga datang kepadamu keyakinan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak
diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman, bahwasanya perkataan tersebut termasuk
sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan
Yahudi dan Nashrani karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian isi Al
Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang
kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada
martabat. Hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama
ini, pen).” (Majmu’ Fatawa, 11/401)
Beliau juga berkata: “Adapun pendalilan mereka dengan ayat
tersebut, maka justru merupakan bumerang bagi mereka. Al-Hasan Al-Bashri
rahimahullah berkata: ‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan
batas akhir beramal bagi orang-orang beriman selain kematian’, kemudian beliau
membaca Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: ‘Dan beribadahlah
kepada Rabbmu hingga datang kepadamu kematian’.”
Beliau melanjutkan: “Dan bahwasanya ‘Al-Yaqin’ di sini bermakna
kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.” (Majmu
Fatawa, 11/41)
7. Keyakinan bahwa ibadah
kepada Allah itu bukan karena takut dari adzab Allah (an-naar/ neraka) dan
bukan pula mengharap jannah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan peliharalah diri kalian dari an-naar (api neraka) yang
disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (’Ali Imran: 131)
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan
kepada jannah (surga) yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertaqwa.” (’Ali Imran: 133)
8. Dzikirnya orang-orang awam adalah “laa ilaha ilallasedangkan
dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus
adalah “ Allah”, “huwa”, dan “ aah” saja.
Padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Afdholu
dzikri fa’lam annahu laa ilaaha ilaaha
“Sebaik-baik dzikir adalah la ilaha ilallah .” (HR.
At-Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, dihasankan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 1104).1
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Dan
barangsiapa yang beranggapan bahwa laa ilaaha ilallah ه adalah
dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus
adalah “هُوَ /
Huu”, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah Al-’Ubudiyah,
hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tasawuf, hal. 13)
9. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat
menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib.
Allah Subhanahu wa Ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya
:“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui
hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An-Naml: 65)
10. Keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dari nur/
cahaya-Nya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan segala sesuatu dari cahaya
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang
manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (Al-Kahfi: 110).
“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (Shad: 71)
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Demikianlah beberapa dari sekian banyak ajaran Tasawuf, yang dari
ini saja, nampak jelas kesesatannya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjauhkan kita dari kesesatan-kesesatan tersebut …
Keterkaitan Antara Sufi dengan Kelompok “JI”
Keterkaitan antara Sufi dengan kelompok “JI” (Jama’ah Tabligh dan
Ikhwanul Muslimin) sangatlah erat karena pendiri kelompok “JI” ini adalah
seorang Sufi. Jama’ah Tabligh, didirikan oleh Muhammad Ilyas Al-Kandahlawi
seorang Sufi dari tarekat Jisytiyyah. Dan seiring bergulirnya waktu, Jama’ah
Tabligh kemudian berbai’at di atas empat tarekat Sufi: Jisytiyyah, Qadiriyyah,
Sahruwardiyyah, dan Naqsyabandiyyah. (Lihat kitab Jama’atut Tabligh Mafahim
Yajibu An Tushahhah, karya Asy-Syaikh Hasan Janahi, hal. 2, 12.)
Adapun Ikhwanul Muslimin, pendirinya adalah Hasan Al-Banna,
seorang Sufi dari tarekat Hashafiyyah, sebagaimana yang ia katakan sendiri:
“…Di Damanhur aku bergaul dengan kawan-kawan dari tarekat Hashafiyyah dan
setiap malamnya aku selalu mengikuti acara hadhrah yang diadakan di Masjid
At-Taubah…”
Ia juga berkata: “Terkadang kami berziarah ke daerah Azbah Nawam,
karena di sana terdapat makam Asy-Syaikh Sayyid Sanjar, salah seorang dari
tokoh tarekat Hashafiyyah.” (Mudzakkiratud Da’wah Wad Da’iyah, hal. 19, 23,
dinukil dari kitab Fitnatut Takfir Wal Hakimiyah, karya Muhammad bin Abdullah
Al-Husain, hal. 63-64)
Wallahu a’lam bish shawab.
Sejarah sufi..sejarah para ahlul bidah dan
penghayal berat
Sejarah Munculnya
Tasawuf (تَصَوُّف) adalah
istilah yang diidentikkan dengan sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud dan
wara’ terhadap dunia. Pelakunya disebut Shufi (صُوْفِيٌّ), dan
jamaknya adalah Shufiyyah (صُوْفِيَّةٌ).
Istilah ini sesungguhnya baru dan tidak masyhur di jaman Rasulullah , para shahabatnya, dan
para tabi’in. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
: “Adapun lafadz Sufhiyyah bukanlah lafadz yang masyhur pada tiga abad pertama
Islam. Dan setelah masa itu, penyebutannya menjadi masyhur.” (Majmu’ Fatawa,
11/5).
Bashrah, sebuah kota di Irak,
merupakan tempat kelahiran Tasawuf. Di mana sebagian ahli ibadahnya mulai
berlebihan dalam beribadah, zuhud, dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang
belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah ), hingga akhirnya memilih untuk mengenakan
pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuf/صُوْفٌ ).
Meski kelompok ini tidak mewajibkan
pengikutnya mengenakan pakaian jenis ini, namun atas dasar inilah mereka
disebut dengan “Shufi”, sebagai nisbat kepada Shuf (صُوْفٌ).
Hakikat Tasawuf
Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir
rahimahullah berkata : “Ketika kita telusuri, ajaran Shufi periode pertama dan
terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau
pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka kita
dapati sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah.
Dan kita tidak pernah melihat
asal usul ajaran Shufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad , dan para shahabatnya
yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk pilihan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa
ajaran Shufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu,
ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.” (At-Tasawuf Al-Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28).
Syaikh Abdurrahman Al-Wakil
rahimahullah berkata : “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling
tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala di
dalam memerangi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya . Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng
bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi
setiap musuh (Shufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah
ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu),
Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah,
Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut
Tasawuf, hal. 19).
Keterangan para ulama di atas
menunjukkan bahwasanya ajaran Tasawuf bukanlah dari Islam. Bahkan ajaran ini
merupakan kumpulan dari ajaran-ajaran sesat yang berusaha disusupkan ke tengah-tengah
umat untuk menjauhkan mereka dari agama Islam yang benar.
Kesesatan Ajaran Tasawuf
Di antara sekian banyak
kesesatan ajaran Tasawuf, di antaranya adalah :
1. Keyakinan Wihdatul Wujud,
yakni keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatu dengan segala sesuatu
yang ada di alam semesta ini. Demikian juga al-Hulul, yakni keyakinan bahwa
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dapat menjelma dalam bentuk tertentu dari makhluk-Nya
(inkarnasi).
Mereka berkeyakinan, siapa
saja yang menempuh jalan ilmu batin, pada akhirnya akan mencapai tingkatan
melebur bersama dzat Allah Subhanahu Wa Ta’ala . Ketika itulah ia menempati
dzat tersebut, hingga bercampur sifat ketuhanan dengan tabiat kemanusiaan.
Bentuk lahirnya manusia, tetapi hakikat batinnya adalah sifat ketuhanan.
Keyakinan menyimpang ini
dapat kita lihat dalam perkataan beberapa tokoh mereka, di antaranya :
Al-Hallaj, seorang dedengkot
shufi, berkata : “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya
dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya
Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, 2/600).
Ibnu ‘Arabi, tokoh shufi
lainnya, berkata : “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba. Duhai
kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan hamba,
maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang diberi
kewajiban?” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah, hal.
601).
Padahal Allah Subhanahu Wa
Ta’ala telah berfirman, artinya : “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11).
2. Seorang yang menyetubuhi
istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah Subhanahu Wa Ta’ala . Tokoh mereka,
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak
lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam).
Wallahul Musta’an. Betapa
buruk dan kufurnya kata-kata ini!
3. Keyakinan kafir bahwa
Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah makhluk dan makhluk adalah Allah Subhanahu Wa
Ta’ala, masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya. Ibnu ‘Arabi berkata
: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dan Dia menyembahku dan aku pun
menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).
Padahal Allah Subhanahu Wa
Ta’ala telah berfirman, artinya : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Di sini, jelas
Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Sang Pencipta (Khalik) dan Manusia dan Jin
adalah ciptaan (makhluk).
4. Keyakinan tidak ada
bedanya antara agama-agama yang ada. Ibnu ‘Arabi berkata : “Sebelumnya aku
mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa
menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala
dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat
Al-Makkiyyah).
Jalaluddin Ar-Rumi, seorang
tokoh shufi yang sangat kondang, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga
seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama…
masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”
Padahal Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman, artinya : “Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85).
5. Bolehnya menolak hadits
yang jelas-jelas shahih. Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih
yang diriwayatkan oleh para perawi-perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh
seseorang mukasyif (Shufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya
kepada Nabi
secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?” Maka beliau mengingkarinya seraya berkata: “Aku belum
pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.” Maka
diketahuilah, dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan
sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkannya
berdasarkan isnadnya yang shahih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah).
6. Pembagian ilmu menjadi
syariat dan hakikat. Di mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat
berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala . Oleh karena itu, menurut keyakinan Shufi, gugur baginya segala
kewajiban dan larangan dalam agama ini.
Mereka berkat bahwa syari’at,
bila dibandingkan dengan hakikat, laksana buih. Hakikat merupakan tingkatan
paling sempurna, puncak dan sangat tinggi dalam tangga peribadahan Islam.
Mereka berdalil dengan firman
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99 :
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Yang mana mereka terjemahkan
dengan: “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu keyakinan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman,
bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling
berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi dan
Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya.
Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka
berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat. Hakikat tidak lagi terkait
dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini).” (Majmu’ Fatawa, 11/401).
Beliau rahimahullah
melanjutkan : “Dan bahwasanya ‘Al-Yaqin’ di sini bermakna kematian dan setelahnya,
dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, 11/418).
7. Keyakinan bahwa
orang-orang Shufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal yang
tersembunyi) dan ilmu ghaib. Allah Subhanahu Wa Ta’ala dustakan mereka dalam
firman-Nya, artinya : “Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi
yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (QS. An-Naml: 65).
8. Keyakinan bahwa Allah
Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad dari
nur/ cahaya-Nya, dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala ciptakan segala sesuatu dari
cahaya Nabi Muhammad . Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
artinya : “(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (QS. Shad: 71).
Demikianlah beberapa dari
sekian banyak ajaran Tasawuf, yang dari ini saja, nampak jelas kesesatannya.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjauhkan kita dari kesesatan-kesesatan
tersebut. Wallahu a’lam.
Sumber :
1.Artikel : Mewaspadai Sufi,
oleh : Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc ;
2.Disadur dari Kitab
al-Islam fi-Dha’u Al-Kitab wa As-Sunnah, cet.II, hal. 81-97, oleh Syaikh Salim
Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij;
3.Majalah As-Sunnah, Edisi
17/Tahun IX/1416H/1996M.
http://aminbenahmed.blogspot.co.id/2012/12/sejarah-sufisejarah-para-ahlul-bidah.html
http://aminbenahmed.blogspot.co.id/2012/12/sejarah-sufisejarah-para-ahlul-bidah.html
Ajaran Tasawuf Merusak Aqidah Islam
(‘Abdul Azîz Bin ‘Abdullâh Al-Husaini)
Apa Yang Dikatakan Imam Syafii terhadap
orang yang belajar tasawuf??
https://aslibumiayu.net/4406-apa-yang-dikatakan-imam-syafii-terhadap-orang-yang-belajar-tasawuf.html
https://aslibumiayu.net/4406-apa-yang-dikatakan-imam-syafii-terhadap-orang-yang-belajar-tasawuf.html
HARAM Belajar ILMU KALAM, Kata Imam
Syafii dan Nawawi, Begini Cara Imam Syafii Menghukumnya
https://aslibumiayu.net/11725-haram-belajar-ilmu-kalam-kata-imam-syafii-dan-nawawi.html
https://aslibumiayu.net/11725-haram-belajar-ilmu-kalam-kata-imam-syafii-dan-nawawi.html
http://fatwasyafiiyah.blogspot.com/2009/10/imam-asy-syafii-dan-nawawi-haram.html#ixzz3Pet76VGJ
Imam Syafi’i Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi, Dan Hukuman Yang Beliau Terapkan Kepada Pengikut Sufi
https://aslibumiayu.net/1561-imam-syafii-sang-pembela-sunnah-dan-hadits-nabi.html
Imam Syafi’i Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi, Dan Hukuman Yang Beliau Terapkan Kepada Pengikut Sufi
https://aslibumiayu.net/1561-imam-syafii-sang-pembela-sunnah-dan-hadits-nabi.html
Tasawuf/Filsafat Diajarkan Di Kampus
Islam, Apa Kata Imam Syafii Tentang Tasawuf?
https://aslibumiayu.net/7768-tasawuffilsafat-diajarkan-di-kampus-islam-apa-kata-imam-syafii-tentang-tasawuf.html
https://aslibumiayu.net/7768-tasawuffilsafat-diajarkan-di-kampus-islam-apa-kata-imam-syafii-tentang-tasawuf.html
Al-Ghazali dan Pemikiran Tasawufnya
http://adinartur.blogspot.co.id/2017/02/al-ghazali-dan-pemikiran-tasawufnya.html
http://adinartur.blogspot.co.id/2017/02/al-ghazali-dan-pemikiran-tasawufnya.html
Tanggapan Para Ulama Ke atas kitab Ihya’ ‘Ulumuddin dan
Tasawuf Imam Al-Ghazali.