وَلَا
تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا
يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ
عَظِيمٍ (35)
“Dan tidaklah sama kebaikan
dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka
tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah
menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” [QS.Fushilat: 34-35]
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى*
فَقُولا لَهُ قَوْلاً لَيِّناً لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah kalian berdua
kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah
kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia
ingat atau takut’. [Thâha: 43-44]
Sikap Lemah Lembut Dalam Berdakwah
Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada
jalan Rabbmu dengan hikmah (lemah lembut) dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Allah Ta’ala berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ
وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
“Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari
sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159)
Dari ‘Aisyah istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
telah bersabda:
يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ
الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لَا
يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ
“Wahai Aisyah, sesungguhnya
Allah itu Maha Lembut, Dia mencintai sikap lemah lembut. Allah memberikan pada
sikap lemah lembut sesuatu yang tidak Dia berikan pada sikap yang keras dan
juga akan memberikan apa-apa yang tidak diberikan pada sikap lainnya.” (HR.
Al-Bukhari no. 6024 dan Muslim no. 2165)
Dari ‘Aisyah istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau
telah bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا
زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya sifat lemah
lembut itu tidak berada pada sesuatu melainkan dia akan menghiasinya (dengan
kebaikan). Sebaliknya, tidaklah sifat itu dicabut dari sesuatu, melainkan dia
akan membuatnya menjadi buruk.” (HR. Muslim no. 2594)
Abu Hurairah radhiallahu anhu
berkata:
قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ
فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا
مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
“Seorang ‘Arab badui berdiri
dan kencing di masjid. Maka para sahabat ingin mengusirnya. Maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda kepada mereka, “Biarkanlah dia dan
siramlah bekas kencingnya dengan setimba air -atau dengan setimba besar air-.
Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk
memberi kesusahan.” (HR. Al-Bukhari no. 323)
Penjelasan:
Ar-Rifq adalah sifat lemah
lembut di dalam berkata dan bertindak serta memilih untuk melakukan cara yang
paling mudah. (Fathul Bari syarh Shahih Al Bukhari)
Sudah sepantasnya bagi
seorang muslim untuk berhias dengan sifat yang sangat mulia tersebut, karena ia
merupakan bagian dari sifat-sifat yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Dengannya pula merupakan sebab seseorang dapat meraih berbagai kunci kebaikan
dan keutamaan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki sifat lemah lembut, maka
ia tidak akan bisa meraih berbagai kebaikan dan keutamaan.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan hal ini kepada ‘Aisyah-istri beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي
الأَمْرِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya Allah adalah
Dzat Yang Maha Lembut yang mencintai kelembutan dalam seluruh perkara.” (HR. Al
Bukhari dan Muslim)
Sebagaimana disebutkan pula
dalam sebuah hadits:
مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْرَ
“Orang yang dijauhkan dari
sifat lemah lembut, maka ia dijauhkan dari kebaikan.” (HR.Muslim)
Keutamaan sifat Ar-Rifq
Sebagaimana telah diterangkan
diatas bahwa sifat Ar-Rifq (lemah lembut) merupakan sifat yang dicintai oleh
Allah subhanahu wa ta’ala, dan juga dengannya akan bisa meraih segala kebaikan
dan keutamaan. Dengannya pula akan melahirkan sikap hikmah, yang juga merupakan
sikap yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam berkata dan
bertindak.
Dikisahkan dalam sebuah
hadits bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang
duduk-duduk bersama para shahabat radhiyallahu ‘anhum di dalam masjid.
Tiba-tiba muncul seorang ‘Arab badui (kampung) masuk ke dalam masjid, kemudian
kencing di dalamnya. Maka, dengan serta merta, bangkitlah para shahabat yang
ada di dalam masjid, menghampirinya seraya menghardiknya dengan ucapan yang
keras. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka untuk
menghardiknya dan memerintahkan untuk membiarkannya sampai orang tersebut
menyelesaikan hajatnya. Kemudian setelah selesai, beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam meminta untuk diambilkan setimba air untuk dituangkan pada air kencing
tersebut. (HR. Al Bukhari)
Kemudian beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam memanggil ‘Arab badui tersebut dalam keadaan tidak marah
ataupun mencela. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menasehatinya dengan
lemah lembut:
“Sesungguhnya masjid ini
tidak pantas untuk membuang benda najis (seperti kencing, pen) atau kotor.
Hanya saja masjid itu dibangun sebagai tempat untuk dzikir kepada Allah,
shalat, dan membaca Al Qur’an.” (HR. Muslim)
Melihat sikap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang demikian lembut dan halusnya dalam
menasehati, timbullah rasa cinta dan simpati ‘Arab badui tersebut kepada beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia pun berdoa: “Ya Allah, rahmatilah aku
dan Muhammad, dan janganlah Engkau merahmati seorangpun bersama kami berdua.”
Mendengar doa tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa dan
berkata kepadanya:
“Kamu telah mempersempit
sesuatu yang luas (rahmat Allah).” (HR. Al Bukhari dan yang lainnya)
(Dalam riwayat yang lain
disebutkan bahwa doa Arab badui tersebut diucapkan sebelum ia buang air kecil.
Wallahu a’lam)
Perhatikanlah wahai para
pembaca yang kami hormati!
Betapa hati manusia itu, pada
asalnya, adalah cenderung kepada sikap yang lembut dan tidak kasar. Betapa
indah dan lembutnya cara pengajaran dari tauladan kita shallallahu ‘alaihi wa
sallam terhadap seorang yang belum mengerti. Dengan sikap hikmah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, akhirnya melahirkan rasa simpati dan membuka
mata hati Arab badui tersebut dalam menerima nasehat. Berbeda halnya tatkala
perbuatannya tersebut disikapi dengan kemarahan, yang akhirnya melahirkan sikap
ketidaksukaan. Hal ini bisa dilihat dari perkataannya: “Ya Allah, rahmatilah
aku dan Muhammad, dan janganlah Engkau merahmati seorangpun bersama kami
berdua.”
Selalu memberikan kemudahan
kepada orang lain dan tidak mau mempersulit urusan merupakan ciri khas akhlak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabdanya:
فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ
تُبْعَثُوا مُعَسِّرِيْنَ
“Hanya saja kalian diperintah
untuk memudahkan dan bukan untuk mempersulit.” (HR.Al Bukhari)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga menyatakan:
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ
وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي
عَلَى مَا سِوَاهُ
“Sesungguhnya Allah adalah
Maha Lembut lagi mencintai kelembutan. Dia memberikan pada sifat kelembutan
yang tidak diberikan kepada sifat kekerasan, dan tidak pula diberikan kepada
sifat-sifat yang lainnya.” (HR. Muslim)
Hadits ini mengandung makna
keutamaan sifat lemah lembut, anjuran untuk berakhlak dengannya, serta tercelanya
sifat kasar dan keras. Sesungguhnya sifat lemah lembut merupakan sebab untuk
meraih segala kebaikan.
Makna lafazh hadits, “Dia
(Allah subhanahu wa ta’ala, pen) memberikan sesuatu pada sifat lemah lembut
yang tidak diberikan kepada sifat kekerasan“, yakni bahwa dengan sifat lemah
lembut tersebut, seseorang dapat melakukan perkara-perkara yang tidak akan bisa
dilakukan dengan sifat yang menjadi lawannya yaitu sifat keras dan kasar. Ada
yang mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan pahala pada
sifat lemah lembut, yang tidak diberikan pada sifat yang lainnya.
Dengan sifat lemah lembut
yang ada pada diri seseorang, dapat menyelamatkannya dari api neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يَحْرُمُ عَلَى
النَّارِ أَوْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النَّارُ عَلَى كُلِّ قَرِيبٍ هَيِّنٍ
سَهْلٍ
“Maukah aku kabarkan kepada
kalian tentang orang yang diharamkan dari neraka atau neraka diharamkan
atasnya? Yaitu atas setiap orang yang dekat (dengan manusia), lemah lembut,
lagi memudahkan.” (HR. Tirmidzi)
Ar-Rifq merupakan sifat yang
harus dimiliki oleh setiap muslim, terkhusus seorang da’i
Termasuk diantara
akhlak-akhlak yang harus dimiliki oleh seorang da’i yang berdakwah di jalan
Allah subhanahu wa ta’ala adalah bersikap lapang dada, menampakkan wajah yang
ceria dan bersikap lemah lembut kepada saudaranya sesama muslim.
Sifat tersebut akan mendorong
untuk lebih mudah diterimanya dakwah seseorang tatkala ia menyeru ke jalan
Allah subhanahu wa ta’ala.
Bahkan terhadap orang kafir
tertentu, terkadang perlu untuk bersikap lemah lembut dalam rangka melembutkan
hati mereka untuk tertarik masuk ke dalam Islam. Telah diketahui bahwasanya
Islam adalah sebuah agama yang ringan dan mudah bagi pemeluknya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ
أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا
بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama (Islam)
itu mudah. Setiap orang yang berusaha mempersulitnya pasti akan kalah. Maka
bersikap luruslah, mendekatlah kepada kesempurnaan, dan berilah kabar gembira,
serta ambillah sebuah kesempatan pada pagi hari, petang serta sebagian dari
malam.” (HR. Al Bukhari)
Islam juga memerintahkan
kepada pemeluknya untuk bermuamalah dengan sifat lemah lembut kepada sesama
manusia, dan bahkan terhadap binatang ternak sekalipun. Sebagaimana dalam
hadits:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ
فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah subhanahu
wa ta’ala telah mewajibkan untuk berbuat baik atas segala sesuatu. Jika kalian
membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian menyembelih, maka
sembelihlah dengan cara yang baik. Dan hendaklah salah seorang dari kalian
menajamkan pisaunya (ketika hendak menyembelih), dan menyenangkan
sembelihannya.” (HR. Muslim)
Ketika seorang mukmin telah
berhias dengan kelemahlembutan, maka akan membuahkan pada dirinya sikap kasih
sayang kepada orang lain, dan akan melahirkan pada diri orang lain sikap
kecintaan dan keridhaan, serta menumbuhkan sikap segan dari pihak lawan kepada
dirinya. Sebaliknya, dengan sikap keras, kaku dan kasar akan membuat lari dan
menjauhnya manusia, dan semakin mengobarkan api kebencian dari orang-orang yang
menanam benih kebencian kepada dirinya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyatakan:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ
زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya sifat lemah
lembut tidaklah berada pada sesuatu kecuali akan membuat indah sesuatu tersebut
dan tidaklah sifat lemah lembut dicabut dari sesuatu kecuali akan membuat
sesuatu tersebut menjadi buruk.” (HR. Muslim)
Kesimpulannya adalah
sepantasnya bagi seorang da’i untuk menghiasi dirinya dengan sifat Ar-Rifq
didalam memerintahkan kepada perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang dari
yang mungkar.
Namun, yang perlu
diperhatikan bahwa sifat Ar-Rifq tidaklah menunjukkan kelemahan atau
ketidaktegasan seseorang dalam berkata dan bertindak. Bahkan dalam sifat
Ar-Rifq sendiri, sebenarnya telah mengandung sikap tegas dalam amar ma’ruf nahi
munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran). Dan
tidaklah sikap tegas itu identik dengan sikap keras atau kasar. Dalam keadaan
tertentu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap tegas dan keras.
Diantara contohnya:
– Celaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
terhadap perbuatan memanjangkan sholat tanpa memperhatikan keadaan orang-orang
yang berma’mum. (HR. Al Bukhari)
– Sikap keras beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam terhadap orang yang makan menggunakan tangan kiri ketika diperintah
untuk makan menggunakan tangan kanan. (HR. Muslim)
– Perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Celaka kamu” terhadap orang yang berlambat-lambat melaksanakan
perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menaiki unta. (HR. Al
Bukhari)
– Kerasnya sikap beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam terhadap orang (laki-laki) yang memakai cincin emas, setelah ia tahu
bahwa perkara itu adalah perkara yang diharamkan. (HR. Muslim)
Sifat Ar-Rifq dalam
menghadapi kerasnya problem kehidupan
Dan diantara pedoman dan
kaidah syar’i yang harus dipegang teguh dalam menghadapi kerasnya problem
(fitnah) dalam kehidupan adalah hendaknya kita menghadapinya dengan sifat
Ar-Rifq (lemah lembut), At-Ta’anni (tidak tergesa-gesa), dan Al Hilm (santun).
Maka hendaknya kita bersikap
lemah lembut dan tenang/tidak tergesa-gesa dalam segala urusan dan janganlah
menjadi orang yang mudah marah. Janganlah kita menjadi orang yang tidak
mempunyai sifat ar-rifq, karena dengan sifat ar-rifq selamanya tidaklah akan
membuat seseorang itu menyesal, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
Tidaklah sifat ar-rifq tersebut berada dalam suatu perkara kecuali akan
memperindahnya.
Wallahu a’lam bishshowab.
Sumber:
1.
Risalah fi adda’wah ilallah, karya Asy Syaikh Al ‘Utsaimin.
2. Al ‘Arbaun
Haditsan fil Akhlaq ma’a syarhiha, karya Dr. Ahmad Mu’adz Haqqi.
3. Adh
Dhawabith Asy Syar’iyah limauqifil muslim fil fitan, karya Asy Syaikh Shalih
bin Abdil ‘Aziz.
4. Syarh
Riyadhush Shalihin, jilid 2, hal 355-356, karya Asy Syaikh Al ‘Utsaimin.
5.
Fathul Bari kitab Adab bab Arrifq jilid 12, karya Al Hafizh Ibnu Hajar
Al ‘Asqolani.
6.
Lembah Lembut dalam Dakwah, karya Dr. Fadhl Ilahi.
[sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=469]
Dakwah dengan Lemah Lembut
Bersikap Lemah lembut
Sesungguhnya kita wajib untuk
-sedapat mungkin- bersikap ramah dalam berdakwah mengajak orang lain kepada
Allah Azza wa Jalla. Nabi shallallahu alaih wa sallam bersabda, “Wahai Aisyah,
sesungguhnya Allah itu santun dan menyukai kesantunan. Dia memberi dengan jalan
kesantunan apa yang tidak diberikan dengan jalan kekasaran dan yang selainnya.”
(HR. Muslim 2597) Allah Subhaanahu wa Taala mengingatkan Nabi-Nya shallallahu
alaih wa sallam dengan nikmat sifat lemah lembut ini dalam firman-Nya, “Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imraan
159)
Seandainya ada orang yang
mengajak bicara dengan cara kasar, niscaya kita terdorong untuk membalasnya
dengan tindakan yang sama, dan akan terdetik dalam benak kita bahwa orang
tersebut tidak ingin menasihati, tapi ingin mengecam. Sebaliknya, jika orang
itu bicara dengan lemah lembut, kemudian ketika menjelaskan suatu perkara yang
diharamkan, ia memberi alternatif lain yang halal sehingga orang dapat dengan mudah
melakukannya, niscaya dengan demikian akan tercapai kebaikan yang banyak.
Sikap seperti ini diajarkan
oleh Allah Subhaaahu wa Taala dan Nabi-Nya shallallahu alaih wa sallam. Allah
Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada
Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”.” (QS.
al-Baqarah: 104) Pada ayat ini, ketika Allah melarang sebuah ucapan, Dia
mengarahkan untuk mengucapkan perkataan lain sebagai gantinya. Maka jika engkau
menutup satu pintu yang memang diharamkan oleh Allah untuk dimasuki, bukakanlah
pintu lain yang halal.
Ketika dibawakan kurma yang
bagus, Nabi shallallahu alaih wa sallam bertanya, “Apakah semua kurma Khaibar
seperti ini?” Sahabat menjawab, “Tidak. Kami mengambil satu sha’ kurma seperti
ini dengan dua sha’ kurma jenis lain, dan dua sha’ kurma seperti ini dengan
tiga sha’ kurma jenis lain .” Maka Nabi shallallahu alaih wa sallam bersabda,
“Jangan lakukan yang demikian, jual semua kurma dengan dirham, kemudian belilah
dengan dirham-dirham itu kurma-kurma yang bagus!” (HR. al-Bukhari 2201) Pada
hadits ini, Nabi shallallahu alaih wa sallam membimbing mereka kepada jalan
yang halal. Yaitu menjual kurma jelek dengan dirham, kemudian membeli kurma
yang baik dengan dirham tersebut. Jadi, ketika beliau menutup pintu yang
terlarang, beliau membukakan pintu yang dibolehkan.
Adapun bersikap lemah lembut,
maka siapa yang mengikuti petunjuk Nabi shallallahu alaih wa sallam, niscaya
akan mendapati bahwa beliau shallallahu alaih wa sallam adalah orang yang penuh
kelembutan kepada umatnya. Contoh yang paling nyata ialah kisah seorang Arab
pedalaman yang masuk masjid kemudian pergi ke sudut masjid dan kencing di sana.
Ketika itu, orang-orang langsung bangun dan mencelanya, karena apa yang
dilakukannya adalah kemungkaran yang sangat besar. Akan tetapi Nabi shallallahu
alaih wa sallam melarang mereka dan mereka pun diam. Setelah orang Arab
pedalaman itu selesai, Nabi shallallahu alaih wa sallam menyuruh orang untuk
menyiramkan seember air pada bekas kencingnya, sehingga najisnya hilang. Beliau
shallallahu alaih wa sallam memanggil orang Arab pedalaman itu dan berkata,
“Sesungguhnya masjid tidak boleh ada padanya sedikit dari kotoran dan najis. Masjid
hanyalah untuk shalat, dzikir, dan membaca Al-Quran.” Demikian riwayat yang ada
dalam Shahih al-Bukhari. Dan dalam Musnad Imam Ahmad, orang Arab pedalaman itu
berkata, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan jangan Kau rahmati
siapapun selain kami.” Mengapa sampai demikian? Karena Nabi Muhammad
shallallahu alaih wa sallam bersikap lemah lembut ketika memberinya pengajaran.
Inilah jalan yang seharusnya
ditempuh oleh para dai dan para pengingkar kemungkaran, agar tercapai dengan
kelembutan apa yang tidak bisa dicapai dengan kekasaran.
Lapang dada terhadap
perselisihan para Ulama
Sungguh merupakan kewajiban
atas para pemuda dan orang-orang yang berpegang kuat dengan agama ini untuk
bersikap lapang dada terhadap perselisihan yang terjadi di kalangan ulama dan
selain mereka. Dan untuk menyikapi kondisi perselisihan tersebut dengan memberi
udzur kepada ulama yang menempuh jalan yang keliru dalam keyakinan mereka. Ini
adalah poin yang sangat penting. Sebab sebagian orang ada yang mencari-cari
kesalahan orang lain untuk menjatuhkan kedudukan dan reputasi mereka di
tengah-tengah masyarakat. Ini merupakan kesalahan yang sangat besar. Mengghibah
orang biasa saja sudah merupakan dosa besar, apalagi mengghibah seorang alim.
Tentu lebih besar lagi dosanya. Mengghibah seorang yang alim, kemudaratannya
tidak berhenti pada orang alim itu saja, akan tetapi juga pada ilmu syariat
yang dibawanya. Sementara itu, apabila masyarakat merasa tidak butuh kepada
orang alim tersebut, atau kedudukannya jatuh di mata mereka, maka akan jatuh
pula dakwah yang ia serukan. Tidak hanya itu, apabila ia menyerukan kebenaran
dan membimbing orang banyak menuju syariat Allah, perbuatan mengghibahnya akan
memunculkan penghalang antara orang banyak dengan ilmu syariat. Bahaya dari
perbuatan ini sangat besar sekali.
Sesungguhnya para pemuda
wajib memandang perselisihan yang terjadi di kalangan ulama atas dasar niat
yang baik, ijtihad dan memberi udzur terhadap kekeliruan mereka. Ada baiknya
apabila mereka berbicara kepada ulama-ulama itu berkenaan dengan pendapat
mereka yang dianggap keliru. Agar kemudian para ulama itu menjelaskan, sehigga
tampak apakah yang keliru adalah para ulama itu, ataukah justru yang menganggap
ulama itu keliru. Karena terkadang seseorang menganggap pendapat ulama itu
keliru, namun ketika terjadi diskusi, nampaklah baginya kebenaran pendapat
tersebut. Nabi shallallahu alaih wa sallam bersabda, “Setiap manusia/anak Adam
sering berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang sering melakukan kesalahan
adalah yang banyak bertaubat.” (HR. Ahmad 3/198)
Berapa banyak orang yang
kembali kepada kebenaran setelah adanya diskusi, dan tidak sedikit pula orang
yang ternyata pendapatnya benar setelah diadakan diskusi, padahal sebelumnya
kita menyangka bahwa dia keliru. “Maka seorang mukmin terhadap mukmin yang lain
seperti satu bangunan yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya.” (HR.
al-Bukhari 6026) Nabi shallallahu alaih wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa
ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga, hendaknya ia mati dalam
keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya ia memperlakukan
orang lain dengan cara yang ia senangi dari orang lain dalam memperlakukan
dirinya.” (HR. Muslim 1844)
Adapun merasa gembira dengan
ketergelinciran dan kekeliruan seorang ulama, kemudian menyebarkan kekeliruan
tersebut sehingga terjadi perpecahan, maka ini bukanlah jalan para salaf.
Demikian pula kesalahan yang terjadi dari para penguasa, tidak boleh kita
jadikan sarana untuk mencela mereka pada setiap perkara, seraya menutup mata
dari kebaikan mereka. Karena Allah berfirman dalam Al-Quran, “Hai orang-orang
yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. al-Maaidah : 8)
Maknanya, janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum mendorong kalian untuk
berlaku tidak adil. Karena keadilan adalah wajib. Maka tidak boleh seseorang
menjadikan ketergelinciran penguasa atau ulama, atau selain mereka, sebagai
alat untuk menjatuhkan kedudukan mereka, lalu melupakan kebaikan yang mereka
lakukan. Sebab sikap yang demikian ini tidaklah adil.
Bayangkanlah apabila hal itu
terjadi pada diri Anda. Seandainya ada orang yang mengetahui hal ihwal diri
Anda, kemudian menyebarkan kejelekan Anda, dan menyembunyikan kebaikan Anda,
niscaya Anda akan menganggapnya sebagai seorang yang berkhianat. Jika demikian,
maka pandanglah orang lain dengan cara yang sama.
(ash-Shahwah al-Islamiyyah, Dhawabith wa
Taujihaat, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin)
Silahkan Download File Pdf: Download
Lemah lembutlah dalam berbicara
Segala puji bagi Allah, Rabb
yang berhak disembah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga,
para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir
zaman. Semakin maju zaman, semakin manusia menjauh
dari akhlaq yang mulia.
Perangai jahiliyah dan kekasaran masih meliputi sebagian kaum muslimin. Padahal
Islam mencontohkan agar umatnya berakhlaq mulia, di antaranya adalah dengan
bertutur kata yang baik. Akhlaq ini semakin membuat orang tertarik pada Islam
dan dapat dengan mudah menerima ajakan. Semoga Allah menganugerahkan kepada
kita perangai yang mulia ini.
Perintah Allah untuk Berlaku
Lemah Lembut Allah Ta'ala berfirman,
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan berendah dirilah kamu
terhadap orang-orang yang beriman. ” (QS. Al Hijr: 88)
Syaikh Muhammad Al Amin Asy
Syinqithi mengatakan, “'Berendah dirilah' yang dimaksud dalam ayat ini hanya
untuk mengungkapkan agar seseorang berlaku lemah lembut dan tawadhu' (rendah
diri).”1 Jadi sebenarnya ayat ini berlaku umum untuk setiap perkataan dan
perbuatan, yaitu kita diperintahkan untuk berlaku lemah lembut. Ayat ini sama
maknanya dengan firman Allah Ta'ala,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ
كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
“ Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
(QS. Ali Imron: 159). Yang dimaksud dengan bersikap keras di sini adalah
bertutur kata kasar.2 Dengan sikap seperti ini malah membuat orang lain lari
dari kita.
Al Hasan Al Bashri
mengatakan, “Berlaku lemah lembut inilah akhlaq Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam yang di mana beliau diutus dengan membawa akhlaq yang mulia ini.”3
Keutamaan Bertutur Kata yang
Baik
Pertama: Sebab Mendapatkan
Ampunan dan Sebab Masuk Surga
Dari Abu Syuraih, ia berkata
pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمِلٍ
يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ
“Wahai Rasulullah, tunjukkanlah
padaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.” Beliau bersabda,
إِنَّ مِنْ مُوجِبَاتِ الْمَغْفِرَةِ بَذْلُ
السَّلامِ، وَحُسْنُ الْكَلامِ
“Di antara sebab mendapatkan
ampunan Allah adalah menyebarkan salam dan bertutur kata yang baik.”4
Kedua: Mendapatkan Kamar yang
Istimewa di Surga Kelak
Dari 'Ali, Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Di surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya
dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar.” Kemudian
seorang Arab Badui bertanya, “Kamar-kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa,
wahai Rasulullah?” Beliau pun bersabda,
لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ
وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ
“Kamar tersebut diperuntukkan
untuk siapa saja yang tutur katanya baik, gemar memberikan makan (pada orang
yang butuh), rajin berpuasa dan rajin shalat malam karena Allah ketika manusia
sedang terlelap tidur.”5
Ketiga: Bisa menggantikan
Sedekah
Dari Abu Hurairah, Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Tutur kata yang baik adalah
sedekah.”6
Dari 'Adi bin Hatim,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Selamatkanlah diri kalian
dari siksa neraka, walaupun dengan separuh kurma. Jika kalian tidak
mendapatkannya, maka cukup dengan bertutur kata yang baik.”7
Ibnul Qayyim mengatakan,
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tutur kata yang baik sebagai
pengganti dari sedekah bagi yang tidak mampu untuk bersedekah.”8
Ibnu Baththol mengatakan,
“Tutur kata yang baik adalah sesuatu yang dianjurkan dan termasuk amalan
kebaikan yang utama. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam hadits
ini) menjadikannya sebagaimana sedekah dengan harta. Antara tutur kata yang
baik dan sedekah dengan harta memiliki keserupaan. Sedekah dengan harta dapat
menyenangkan orang yang diberi sedekah. Sedangkan tutur kata yang baik juga
akan menyenangkan mukmin lainnya dan menyenangkan hatinya. Dari sisi ini,
keduanya memiliki kesamaan (yaitu sama-sama menyenangkan orang lain).”9
Keempat: Menyelematkan
Seseorang dari Siksa Neraka
Dalilnya adalah hadits Adi
bin Hatim di atas. Ibnu Baththol mengatakan, “Jika tutur kata yang baik dapat
menyelamatkan dari siksa neraka, berarti sebaliknya, tutur kata yang kotor
(jelek) dapat diancam dengan siksa neraka.”10
Kelima: Dapat Menghilangkan Permusuhan
Ibnu Baththol mengatakan,
“Ketahuilah bahwa tutur kata yang baik dapat menghilangkan permusuhan dan
dendam kesumat. Lihatlah firman Allah Ta'ala,
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي
بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Tolaklah (kejelekan itu)
dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia
ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS.
Fushilat: 34-35). Menolak kejelekan di sini bisa dengan perkataan dan tingkah
laku yang baik.”11
Sahabat yg mulia, Ibnu 'Abbas
-radhiyallahu 'anhuma- mengatakan, "Allah memerintahkan pada orang beriman
untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada
yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba
melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan
menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman
dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini."
Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan, "Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang
memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan
adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa."12
Berlaku Lemah Lembut Bukan
Berarti Menjilat
Perlu dibedakan antara
berlaku lemah lembut dengan tujuan membuat orang tertarik dan berlaku lembah
lembut dengan maksud menjilat. Yang pertama ini dikenal dengan mudaroh yaitu
berlaku lemah lembut agar membuat orang lain tertarik dan tidak menjauh dari
kita. Yang kedua dikenal dengan mudahanah yaitu berlaku lemah lembut dalam
rangka menjilat dengan mengorbankan agama. Sikap yang kedua ini adalah sikap
tercela sebagaimana yang Allah firmankan,
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
“Maka mereka menginginkan
supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (QS. Al
Qalam: 9)
Ibnu Jarir Ath Thobari
menafsirkan ayat di atas, “Wahai Muhammad, orang-orang musyrik tersebut ingin
kalian berlaku lembut pada mereka (dengan mengorbankan agama kalian) dengan memenuhi
seruan untuk beribadah kepada sesembahan mereka. Jika kalian demikian, maka
mereka akan berlaku lembut pada kalian dalam ibadah yang kalian lakukan pada
sesembahan kalian.”13
Oleh karenanya, orang yang
bersikap mudaroh akan berlemah lembut dalam pergaulan tanpa meninggalkan
sedikitpun prinsip agamanya. Sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan
berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian dari
prinsip agamanya.
Hendaknya kita bisa
memperhatikan perbedaan antara mudaroh dan mudahanah. Lemah lembut yang
dituntunkan adalah dalam rangka membuat orang tertarik dengan akhlaq kita yang
baik. Sikap pertama inilah yang akan membuat orang menerima dakwah, namun tetap
dengan mempertahankan prinsip-prinsip beragama. Sedangkan lemah lembut yang
tercela adalah jika sampai mengorbankan sebagian prinsip beragama dan
mendiamkan kemungkaran tanpa adanya pengingkaran minimalnya dengan hati.
Semoga Allah senantiasa
menganugerahkan kepada kita tutur kata yang baik dan akhlaq yang mulia. Segala
puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Metode Dakwah yang Tepat di Zaman Ini
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ
زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan itu,
tidaklah terdapat pada sesuatu kecuali akan membaguskannya, dan tidaklah
dihilangkan dari sesuatu kecuali akan menjelekkannya.” [HR. Muslim dari Ummul
Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha]
Asy-Syaikh Al-‘Allaamah Ibnu
Baz rahimahullah berkata,
وينصح الإخوان ولكن بالرفق، بالكلام الطيب، لا
بالتعدي على الناس، ولا بضربهم ولا بشتمهم ولعنهم، ولكن بالكلام الطيب والأسلوب
الحسن، قال الله جل وعلا: {ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ} وقال تعالى:
{فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ
الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ} وقال الله لموسى وهارون لما بعثهما إلى
فرعون: {فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى} وقال
النبي صلى الله عليه وسلم: «إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا ينزع من شيء
إلا شانه»، ولا سيما في هذا العصر، هذا العصر عصر الرفق والصبر والحكمة، وليس عصر
الشدة. الناس أكثرهم في جهل، في غفلة إيثار للدنيا، فلا بد من الصبر، ولا بد من
الرفق حتى تصل الدعوة، وحتى يبلغ الناس وحتى يعلموا. ونسأل الله للجميع الهداية.
“Hendaklah menasihati Ikhwan
akan tetapi dengan kelembutan, dengan ucapan yang baik, tidak dengan cara yang
melampaui batas terhadap manusia, tidak dengan memukul, mencerca dan melaknat
mereka, namun dengan ucapan yang baik dan metode yang bagus.
Allah jalla wa ‘ala
berfirman,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada
jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik.” (An-Nahl: 125)
Allah ta’ala juga berfirman,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
kasar lagi berhati keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
(Ali Imron: 159)
Allah ta’ala juga berfirman
kepada Musa dan Harun ketika Dia mengutus keduanya untuk mendakwahi Fir’aun,
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ
يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Maka berbicaralah kamu
berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat
atau takut.” (Thaaha: 44)
Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ
زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan itu,
tidaklah terdapat pada sesuatu kecuali akan membaguskannya, dan tidaklah
dihilangkan dari sesuatu kecuali akan menjelekkannya.” (HR. Muslim dari Ummul
Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha)
Terutama di zaman ini. Zaman
ini adalah zaman kelembutan, sabar dan hikmah, bukan zaman kekerasan.
Kebanyakan manusia dalam kebodohan terhadap agama dan lalai serta lebih
mementingkan dunia, maka berdakwah harus dengan kesabaran dan kelembutan agar
sampai kepada manusia dan mereka dapat memahami ilmu agama. Dan kita memohon
hidayah kepada Allah untuk semuanya.” [Majmu’ Al-Fatawa, 8/376]
Beberapa_Pelajaran:
1) Perintah menghiasi diri
dengan akhlak kelembutan dalam segala urusan, seperti dalam bergaul dengan
orang lain maupun dalam memperlakukan hewan, kendaraan dan yang lainnya,
terutama dalam berdakwah dan mengajarkan agama.
2) Larangan bersifat kasar
lagi keras.
3) Kelembutan adalah sebab
meraih segala kebaikan dan sifat keras lagi kasar adalah sebab munculnya berbagai
macam kejelekan.
4) Harus dipahami juga,
terkadang sikap kasar lagi keras diperlukan dan dianjurkan dalam keadaan
tertentu, seperti ketika memerangi orang-orang kafir atau ketika maslahat untuk
bersikap keras lebih besar daripada berlemah lembut, akan tetapi asal dalam
berdakwah adalah kelembutan, terlebih di zaman ini, zaman merebaknya kebodohan
dan kesesatan serta dominasi orang-orang yang sesat dan sedikitnya Ahlus Sunnah
wal Jama’ah.
5) Keindahan dan keluhuran
akhlak Islam.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله
وصحبه وسلم
Strategi Sukses Dakwah Salafi Syaikh Muhammad
bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
Dakwah merupakan cerminan
para Nabi dan Rasul serta orang yang mengikuti mereka dengan baik, sehingga
dakwah merupakan amalan yang besar dan tinggi dalam agama. Dengan dasar inilah
seorang dai harus memiliki ilmu bagaimana tata cara dakwah yang benar sesuai
dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga ia berdakwah
sebagaimana para rasul berdakwah yaitu di atas ilmu dan kebenaran.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah adalah seorang ulama besar
pada abad kita ini, beliau berdakwah untuk Islam dan muslimin. Tidak diragukan
lagi keberhasilan beliau dalam berdakwah kepada kebaikan dan sunnah. Sehingga
banyak manusia mengenal agama dengan perantara beliau. hal tersebut dikarenakan
ketika beliau berdakwah senantiasa memerhatikan tata cara yang benar dalam
berdakwah. Dalam kitab beliau yang diterjemahkan dengan judul Strategi
Sukses Dakwah Salafi Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ini, beliau mencoba
membimbing kita semua tentang bagaimana tata cara berdakwah yang benar sesuai
dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sukses Dakwah Salafi Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ini memberikan ilmu
bagi kita semua terkhusus berkaitan dengan dakwah sesuai Al-Kitab dan
As-Sunnah, karena kita semua memiliki kewajiban untuk menyebarkan kebenaran dan
ilmu, dikarenakan semua itu merupakan dakwah kepada Allah
Bagaimana Cara Berinteraksi dengan
‘Awwaamul-Hizbiyyiin ?
Pertanyaan :
“Dalam kondisi tersebarnya
hizb-hizb di negeri kami dan begitu juga pada umumnya negeri-negeri kaum
muslimin – kecuali yang dirahmati oleh Allah, dan betapa sedikit jumlah mereka
ini - , bagaimana kaedah/aturan berinteraksi dengan orang-orang awam dari kalangan
hizbiyyiin - semoga Allah menolong Anda dalam ketaatan kepada-Nya - ?”.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imaam
hafidhahullah menjawab :
“Jumhur kaum muslimin mesti
dipergauli dengan kelembutan, kesabaran, dan nasihat. Kita hendaknya senantiasa
menasihati mereka dari waktu ke waktu. Mereka tidak boleh di-hajr (diboikot),
karena mereka adalah medan dakwah bagi kita, medan dakwah kepada Allah. Apabila
orang-orang ini di-hajr, lantas siapa orang yang akan kita dakwahi ?.
Oleh karena itu, kita mesti
berbuat baik kepada mereka, sabar terhadap mereka, dan berlemah lembut dengan
mereka. Kita berikan mereka nasihat. Dan alhamdulillah, kami telah melihat
banyak kebaikan ketika kami aktif (berdakwah) dan berhadapan dengan jumhur kaum
muslimin. Kami dapati dampak positif, sambutan, dan penerimaan yang baik dari
mereka. Betapa banyak perbuatan-perbuatan syirik, penyelisihan terhadap
syari’at, bid’ah-bid’ah, dan berbagai maksiat ditinggalkan ketika dakwah
Ahlus-Sunnah masuk ke dalam masyarakat. Kebaikan tersebut didapati oleh masyarakat
yang terpengaruhi oleh tashawwuf (shufi), tasyayyu’ (Syi’ah), dan tahazzub
(hizbiy).
Tidak diragukan lagi bahwa
dampak dakwah tersebut akan berbeda-beda sesuai kondisi dan waktunya. Di
beberapa tempat, da’i-da’i dari kalangan ahlul-bid’ah banyak jumlahnya dan
diterima oleh masyarakat, dakwah Ahlus-Sunnah tidak diterima dan memberikan
dampak (kepada masyarakat), kecuali hanya sedikit saja. Mereka ini butuh waktu,
cara-cara yang hikmah/bijaksana, dan kesabaran yang lebih banyak. Kita memohon
kepada Allah agar menjadikan kita sebagai pembuka pintu-pintu kebaikan dan
penutup pintu-pintu kejelekan”
Di Antara Rahasia Keberhasilan Dakwah
Para pembaca yang budiman,
perlu untuk kita ketahui bersama bahwa pada dasarnya jiwa manusia itu menyukai
hal-hal yang buruk, yaitu hal-hal yang menyelisihi perintah Allah. Allah Ta’ala
berfirman …
By Ibnu Ali Sutopo
Lemah Lembut Dalam Berdakwah
Berlemah Lembut Dalam Berdakwah Dakwah Dengan Lembut Menyampaikan Dakwah Dengan
Dengan Lembut Lemah Lembut Dawah
Para pembaca yang budiman,
perlu untuk kita ketahui bersama bahwa pada dasarnya jiwa manusia itu menyukai
hal-hal yang buruk, yaitu hal-hal yang menyelisihi perintah Allah. Allah Ta’ala
berfirman yang artinya, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
keburukan.” (QS. Yusuf: 53). Jika demikian keadaannya, tentunya kebenaran
adalah sesuatu yang teramat berat bagi jiwa manusia.
Segala puji bagi Allah yang
telah mengutus Nabi-Nya dengan membawa agama yang penuh dengan kemudahan. Dan
ini merupakan bentuk kasih saying Allah kepada hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala
berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107). Keberhasilan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam menyampaikan kebenaran kepada
manusia pastilah mempunyai rahasia yang agung dan patut kita pelajari.
Dakwah Butuh Kelembutan
Kebenaran yang pada asalnya
susah untuk diterima oleh jiwa, ketika disampaikan dengan cara yang buruk, cara
yang kasar, tentunya justru akan membuat orang semakin lari dari kebenaran.
Oleh karena itulah, dakwah pada dasarnya harus disampaikan dengan cara lemah
lembut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
tidaklah kelemahlembutan itu ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya. Dan
tidaklah kelemah-lembutan itu tercabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya
menjadi jelek.” (HR. Muslim)
Allah Ta’ala berfirman yang
artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan mauidzoh
hasanah (pelajaran yang baik) dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Faidah Berlemah Lembut di
Dalam Dakwah
Para pembaca yang budiman,
lemah lembut di dalam berdakwah mempunyai banyak sekali faidah. Salah satu di
antaranya adalah dapat menyadarkan orang-orang yang telah terjerumus dalam
perbuatan dosa dan maksiat. Allah berfirman yang artinya, “Dan tidaklah sama
kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik,
maka tiba-tiba orang yang antaramu dan dia ada permusuhan, seolah-olah telah
menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Al-Fushshilat: 34)
Contoh Sikap Lemah Lembut
Rasulullah di Dalam Berdakwah
Para pembaca yang budiman,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok teladan bagi kita dalam
hal akhlaq dan perilaku. Alangkah indahnya kisah beliau ketika menasihati
seseorang yang hendak berbuat kemaksiatan. Kisah ini dituturkan oleh sahabat
beliau, Abu Umamah. Beliau bercerita, “Sesungguhnya ada seorang pemuda datang
kepada Rasulullah lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah aku untuk berbuat
zina’. Lalu ada sekelompok orang yang mendatangi dan menegurnya, ‘Diam…
Diam…!!’ Lalu beliau bersabda (kepada para sahabat beliau), ‘Dekatkan ia
kepadaku.’ Lalu ia pun mendekati beliau. Setelah ia duduk, beliau bertanya,
‘Apakah kamu senang apabila ada orang menzinai ibumu?’ Ia menjawab, ‘Tidak,
Demi Allah. Semoga Allah menjadikan aku tebusan bagimu’. Beliau bersabda,
‘Manusia pun tidak senang apabila ada orang menzinai ibunya’. Beliau bertanya
lagi, ‘Apakah kamu senang apabila ada orang menzinai putrimu?’ Ia menjawab,
‘Tidak, Demi Allah. Semoga Allah menjadikan aku tebusan bagimu’. Beliau
bersabda, ‘Manusia pun tidak senang apabila ada orang menzinai putrinya’.
Beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu senang apabila ada orang menzinai
saudarimu?’ Ia menjawab, ‘Tidak, Demi Allah. Semoga Allah menjadikan aku
tebusan bagimu’. Beliau bersabda, ‘Manusia pun tidak senang apabila ada orang
menzinai saudarinya…’ Lalu beliau meletakkan tangannya kepada pemuda tadi
sambil berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya dan jagalah
kemaluannya’. Setelah peristiwa itu, pemuda tadi tidak berfikir untuk berbuat
zina lagi’. (HR. Ahmad, Shohih)
Catatan Penting
Para pembaca yang budiman,
yang patut kita perhatikan adalah hendaklah bagi orang yang berdakwah
meluruskan niat untuk ikhlas karena Allah Ta’ala semata. Yaitu dengan mengharap
pahala dari Allah dan bermaksud untuk menghilangkan kebodohan dari orang lain,
serta agar mereka taat kepada Allah Ta’ala. Tidaklah dakwah kita itu bertujuan
agar orang lain masuk ke organisasi kita dan tidak ke organisasi yang lain,
masuk ke partai tertentu dan tidak ke partai yan lain ataupun tujuan duniawi
lainnya. Apabila kita sudah berusaha di dalam berdakwah, ikhlas kepada Allah
semata namun orang yang kita dakwahi belum atau tidak menerima dakwah kita,
janganlah terburu-buru untuk memvonis bahwa orang yang kita dakwahi tersebut
telah menolak kebenaran. Namun hendaknya kita selalu instrospeksi diri. Mungkin
cara kita salah atau mungkin kita tidak sanggup untuk menjelaskannya dengan
gamblang atau mungkin faktor-faktor yang lain. Akhirnya, semoga Allah memberikan
taufik kepada kita semua dan kita juga berdoa kepada Allah agar berkenan untuk
memperbaiki keadaan kaum muslimin serta membukakan hati-hati mereka untuk
memerima kebenaran. Amin.
***
Penulis: Ibnu Ali Sutopo
Yuwono
Hikmah
dalam berdakwah
Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari
DAKWAH ISLAM PADA ASALANYA
HARUS DISAMPAIKAN DENGAN LEMAH LEMBUT.
Ini merupakan asas dalam berdakwah. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada
jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. [An-Nahl/16:125]
Ibnu Katsîr berkata dalam
tafsirnya: “Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya,
Muhammad n agar menyeru manusia kepada agama Allah Azza wa Jalla dengan cara
hikmah.”
Firman Allah Azza wa Jalla ,
“Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” yakni, apabila perlu dilakukan
dialog dan tukar pikiran, hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, lemah
lembut dan dengan tutur kata yang baik. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla
dalam ayat yang lain:
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
“Dan janganlah kamu berdebat
dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan
orang-orang zhalim di antara mereka.” [al-Ankabût/29:46]
Ini merupakan landasan
penting yang wajib dipegang oleh setiap juru dakwah pada zaman sekarang ini
dalam mengajak manusia kepada agama Allah Azza wa Jalla . Sebab, lemah lembut
dalam berdakwah disertai pengajaran yang baik, jauh dari sikap congkak dan
tidak mengklaim secara serampangan orang yang berseberangan dengan vonis fasik
atau kafir.
Al-Khalâl telah meriwayatkan
dengan sanad yang shahîh dari Imam Ahmad ketika beliau ditanya tentang masalah
dakwah ini. Beliau menjawab: “Sahabat-sahabat Abdullâh berkata : “berdakwahlah
dengan berlemah lembut, semoga Allah Azza wa Jalla merahmati kamu, berlemah
lembutlah!” [1]
ANTARA DAKWAH DAN JURU DAKWAH
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: “Inilah jalan
(agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah
dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang
yang musyrik”. [Yûsuf/12:108]
Dakwah adalah tugas yang
berat dan pekerjaan yang serius yang hanya bisa dipikul oleh orang-orang yang
mulia. Juru dakwah yang mengajak kepada agama Allah Azza wa Jalla pasti
menghadapi gangguan dalam dakwah sebagaimana yang dihadapi oleh siapa saja yang
mengemban tugas dakwah ini, dari dahulu sampai sekarang. Itu sudah menjadi
sunnatullâh pada orang-orang terdahulu dan sekarang. Para nabi juga telah
menghadapi gangguan serupa berupa penentangan, penolakan, keengganan dan
kesombongan dari berbagai pihak dan tingkatan manusia.
Maka dalam mengemban tugas
dakwah yang berat dan penuh resiko ini seorang juru dakwah harus menghiasi
dirinya dengan sikap santun dan sabar, bijaksana dan arif.
HIKMAH SEORANG JURU DAKWAH
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Allah memberikan hikmah
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh
telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran
kecuali orang-orang yang berakal. [al-Baqarah/2:269]
Hikmah adalah sebuah ungkapan
tentang bagaimana menyelesaikan setiap masalah dengan ilmu yang benar. Hikmah
identik dengan fiqh dan pemahaman. Hikmah digunakan juga untuk berbagai makna,
seperti as-Sunnah, akal, kebijaksanaan dan lain-lainnya. Hikmah juga bisa
berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu pada momentum
yang tepat. Hikmah juga berarti menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah
baru. Menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah lain atau masalah yang
lebih besar lagi merupakan bukti ketiadaan hikmah.
Di antara perkara yang
memperkeruh dakwah kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dakwah yang
dilakukan dengan keras, kasar dan arogan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan
tidaklah berada pada sesuatu melainkan akan membuatnya lebih bagus, dan tidak
akan tercabut sesuatu darinya kecuali akan membuatnya jelek.” [HR. Muslim]
Dan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ يُحْرَمِ الْخَيْرَ
“Barangsiapa yang diharamkan
baginya, maka ia diharamkan dari kebaikan”.[HR. Muslim]
Hendaklah seorang da’i (juru
dakwah) meniru akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dakwahnya, di
antara akhlak yang paling agung itu adalah kelembutan.
Syaikh Bin Bâz berkata,
“Kewajiban kita adalah berdakwah kepada agama Allah Azza wa Jalla . Memberi
nasihat dan pengarahan kepada perkara yang baik tanpa kekerasan. Sebab
kekerasan hanya akan membuka pintu keburukan terhadap kaum Muslimin dan akan
mempersulit dakwah.” [2]
Syaikh al-Albâni berkata,
“Tidak ragu lagi, ini merupakan perkara pertama yang dituntut dari seorang
da’i, yaitu bersikap lemah lembut dan santun. Ia tidak boleh bersikap kasar
terhadap orang-orang yang berseberangan. Apalagi bila orang itu masih berada
dalam satu ushûl dakwah dengannya, yaitu dakwah kepada al-Qur’an dan Sunnah.”
[3]
Sikap lemah lembut dan hikmah
ini tidaklah meniadakan ketegasan dalam memegang prinsip dan menyatakan sikap
yang syar’i, misalnya ketika melihat kehormatan Islam dilecehkan. Ada
momen-momen tertentu yang mana kita harus memperlihatkan ketegasan dalam
bersikap. Maka dari itu kita harus membedakan antara mudârât dan mudâhanah.
APA ITU MUDARAT DAN MUDHAHAH?
Banyak orang yang tidak bisa membedakan antara mudârât dan mudâhanah. Mudârât
adalah salah satu sikap bijaksana dalam mu’amalah yang menyampaikan kepada
tujuan, dengan tetap menjaga kehormatan dan martabat. Adapun mudâhanah adalah
perilaku tercela yang dibungkus dengan kebohongan dan memungkiri janji.
Ibnu Baththâl berkata:
“Mudârât adalah akhlak mukmin, yaitu merendahkan diri kepada orang lain,
melunakkan perkataan dan meninggalkan sifat kasar. Mudârât adalah sebab paling
kuat terciptanya persatuan. Sebagian orang mengira bahwa mudârât sama dengan
mudâhanah. Itu sangat keliru! Karena mudârât adalah sifat yang dianjurkan
sementara mudâhanah adalah sifat yang diharamkan. Bedanya, mudâhahah diambil
dari kata ad-dahân, yaitu menampakkan sesuatu secara lahiriyah tapi
menyembunyikan batinnya. Para ulama mengidentikkannya dengan pergaulan dengan
orang fasiq, menunjukkan persetujuan terhadap kefasikannya tanpa mengingkarinya
sedikitpun.
Al-Bukhâri telah membuat bab
dalam shahîhnya, beliau berkata: “Bab: Mudârât dalam bermu’amalah dengan orang
lain. Kemudian beliau membawakan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa
seorang lelaki meminta izin bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu
beliau berkata: “Berilah izin kepadanya, seburuk-buruk putera kabilah atau
saudara kabilah.” Ketika ia masuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara
dengan lunak kepadanya. ‘Aisyah bertanya-tanya: “Wahai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, engkau tadi mengatakan begini dan begitu, kemudian engkau
berbicara lemah lembut kepadanya?”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata: “Hai ‘Aisyah, seburuk-buruk manusia di sisi Allah Azza wa Jalla
adalah yang ditinggalkan atau dijauhi orang lain karena menghindari
kekejiannya.” [Muttafaqun ‘alaihi].
Mudârât adalah berlaku lembut
terhadap orang jahil dalam memberikan pengajaran dan terhadap orang fasik
ketika melarang perbuatan fasiknya, tidak bersikap kasar terhadapnya. Yang mana
ia tidak menunjukkan kemarahannya. Mengingkarinya dengan perkataan dan
memperlakukannya dengan lembut. [4]
DI ANTARA CONTOH HIKMAH DALAM
DAKWAH
Berikut ini beberapa contoh hikmah dalam dakwah yang apabila diabaikan bisa
memicu timbulnya konflik di tengah masyarakat.
1. Memperhatikan Kondisi
Orang Yang Didakwahi.
Seorang da’i harus memperhatikan kondisi orang yang didakwahinya. Jangan main
pukul rata saja. Ia harus memperhatikan cara yang paling bermanfaat dalam
mendakwahi mereka. Cara yang bermanfaat untuk masyarakat umum belum tentu cocok
untuk mendakwahi raja atau penguasa atau orang yang terpandang, seperti tokoh
masyarakat misalnya. Allah Azza wa Jalla telah berkata kepada Musa dan Harun
ketika mengutus mereka kepada Fir’aun:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
Maka berbicalah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau
takut”. [Thaha/20:44]
Cara dakwah yang bermanfaat
bagi kaum pedagang keliling, belum tentu bermanfaat jika digunakan untuk
mendakwahi kaum intelektual dan terpelajar. Salah satu bentuk hikmah adalah
memperhatikan cara yang paling bermanfaat yang dapat memperbaiki bermacam-macam
jenis manusia yang berasal dari berbagai tingkatan dan golongan.
2. Memperhatikan Waktu Dan
Kondisi Dalam Berdakwah.
Tidak arif bila mendatangi seorang yang sedang tidur, lalu membangunkannya
untuk didakwahi. Dan tidak bijaksana bila mendatangi seseorang yang sedang
emosi untuk berceramah di hadapannya. Andaikata dalam kondisi normal tentulah
orang itu akan mau mendengar kata-kata kita. Pilihlah waktu dan kondisi yang
tepat untuk berdakwah. Ketika suasana atau kondisi sedang tegang atau keruh
hindarilah perdebatan maupun dialog hingga ketegangan mereda. Sebab bila
dipaksakan bisa menimbulkan hasil yang kontra produktif (tidak menguntungkan).
Dan kalau seandainya kebenaran itu baru bisa diterima melalui lisan orang lain
mengapa harus memaksakannya melalui lisan kita?
3. Meletakkan Skala Prioritas
Yang Tepat.
Seorang da’i harus bisa menempatkan skala prioritas yang benar dalam dakwah.
Hendaklah ia mendahulukan perkara yang paling penting, tidak sepantasnya ia
mendahulukan perkara-perkara yang kecil lalu ia meninggalkan perkara yang lebih
besar dan lebih berbahaya. Salah dalam meletakkan skala prioritas bisa
mengakibatkan penyimpangan dalam dakwah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menjelaskan kepada kita contoh dari skala prioritas tersebut. Ketika
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muadz Radhiyallahu anhu ke negeri
Yaman, beliau berkata kepadanya:
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ فَإِذَا فَعَلُوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِذَا أَطَاعُوا بِهَا فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ
“ Engkau bakal mendatangi
suatu kaum dari kalangan ahli kitab, maka jadikanlah awal dakwahmu kepada
mereka adalah peribadatan kepada Allah semata. Jika mereka telah mengenali
Allah, sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat
lima waktu sehari semalam. Jika mereka melakukannya maka sampaikan kepada
mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang
kaya mereka dan diberikan kepada fakir miskin diantara mereka. Jika mereka
mentaatinya maka ambillah harta-harta itu dari mereka, dan hindarilah
harta-harta kesayangan mereka.” [5]
4. Tidak Memandang Rendah
Orang Yang Didakwahi.
Sikap meremehkan ini dapat membuat orang yang didakwahi tidak mau mendengar
dakwah kita. Janganlah sekali-kali mengesankan dirimu lebih baik daripadanya.
Atau memandang dirimu lebih istimewa darinya. Atau membuatnya marah pada kesan
pertama. Mu’tamir bin Sulaiman meriwayatkan bahwa ia mendengar ayahnya berkata,
“Jangan harap orang yang telah engkau buat marah mau mendengarkan kata-katamu.”
[6] Namun beri kesan bahwa engkau adalah saudara baginya. Hindarilah
cepat-cepat menjatuhkan vonis secara membabi buta dan serampangan karena cara
itu sama sekali tidak hikmah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan
bagaimana sikap seorang muslim kepada orang yang lebih tua dan yang lebih muda
darinya. Yaitu menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Sikap
menghargai orang lain terutama dalam konteks dakwah dapat mempermudah
diterimanya dakwah kita.
5. Meninggalkan Perkara
Mustahab (Sunat) Untuk Kekhawatiran Akan Menimbulkan Kemudharatan Yang Lebih
Besar.
Al-Bukhâri telah membuat sebuah bab yang berjudul: “Meninggalkan perkara
mustahab karena khawatir orang-orang salah memahami sehingga jatuh kepada
kerusakan yang lebih parah lagi”. Kemudian beliau membawakan hadits ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ بِكُفْرٍ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ.
“Wahai ‘Aisyah, jika bukan
karena menimbang kaummu yang baru – Ibnu Az-Zubair berkata, “Yakni baru
meninggalkan kekufuran,”- niscaya aku sudah merombak Ka’bah, aku akan buat dua
pintu, pintu masuk dan pintu keluar.”
Ibnu Hajar menyebutkan
beberapa faedah dari hadits tersebut, di antaranya: Dibolehkan meninggalkan
sebuah maslahat demi mengindari mudharat dan tidak mengingkari kemungkaran jika
khawatir akan menimbulkan kemungkaran yang lebih parah.
6. Berbicara Kepada Manusia
Sesuai Dengan Daya Nalar Mereka Dalam Memahaminya.
Ini sangat penting diperhatikan untuk menghindari kesalahpahaman yang
berpotensi memicu konflik. Demikian pula dalam menyampaikan ilmu agama kepada
manusia, harus diperhatikan tingkat pemahaman mereka dalam mencerna apa yang
akan disampaikan, jangan sampai kata-kata kita menimbulkan fitnah bagi
masyarakat awam. Al-Bukhâri telah membuat bab dalam shahîhnya, bab
mengkhususkan sebuah ilmu kepada suatu kaum yang tidak disampaikan kepada kaum
yang lain karena khawatir mereka tidak dapat memahaminya. Kemudian beliau
membawakan perkataan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu , “Berbicaralah
kepada orang banyak dengan apa yang dapat mereka fahami, sukakah kalian bila
mereka nanti mendustai Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ?” Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri mengatakan, “Hadits ini
menunjukkan, sesuatu perkara yang masih samar tidak layak disebarkan ke tengah
masyarakat awam. Perkataan Ali ini mirip seperti perkataan Ibnu Mas’ûd,
“Tidaklah kamu menyampaikan sesuatu yang tidak dapat dicerna oleh akal suatu
kaum, melainkan akan menimbulkan fitnah bagi sebahagian mereka.” Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Muslim. Diantara pembicaraan yang menurut imam Ahmad
makruh disampaikan kepada suatu kaum tetapi boleh disampaikan kepada kaum yang
lain adalah pembicaraan tentang hadits yang makna tekstualnya membolehkan
pemberontakan terhadap penguasa. Menurut Imam Mâlik, hadits-hadits yang
bercerita tentang sifat Allah Azza wa Jalla . Menurut Abu Yusuf, hadits-hadits
gharîb. Sebelumnya Abu Hurairah juga berpendapat demikian, seperti yang
disebutkan sebelumnya tentang dua kantung hadits, satu kantung tidak
disampaikan oleh beliau karena khawatir akan membahayakan keselamatan beliau.
Demikian juga dari Hudzaifah dan dari al-Hasan bahwa mereka berdua mengingkari
tindakan Anas yang menceritakan kisah ‘Uraniyîn kepada semua jama’ah haji,
karena hal akan dijadikan dalih untuk berlebihan dalam menumpahkan darah
seseorang. Secara tekstual hadits tersebut terlihat seperti menguatkan
kebid’ahan, padahal maksud hadits tersebut tidak sebagaimana yang difahami
secara tekstual. Oleh sebab itu, jangan menyampaikan hal-hal seperti ini kepada
orang-orang awam yang hanya bisa memahaminya secara tekstual saja. Wallâhu
a’lam.”
Pedoman ini sangat penting
diperhatikan oleh setiap juru dakwah, khususnya di Indonesia, agar bisa menekan
potensi timbulnya fitnah di tengah masyarakat yang mayoritas belum memahami
agama dengan benar.
7. Menyebarkan Sunnah Tanpa
Menimbulkan Konflik.
Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi telah membuat sebuah bab dalam kitabnya, al-Adab
asy-Syar’iyyah, “Pasal, menyebarkan sunnah dengan perkataan dan perbuatan,
tanpa menimbulkan pertengkaran dan tanpa kekerasan”. Dalam pasal ini beliau
membawakan beberapa riwayat dari para ulama di antaranya, “Seorang lelaki pernah
bertanya kepada Imam Ahmad, ia berkata, “Aku berada dalam sebuah forum yang
disinggung perkara sunnah di dalamnya, tak ada yang tahu mengenai sunnah itu
selain diriku, bolehkah aku membicarakannya?” Beliau menjawab, “Sampaikanlah
sunnah dan jangan bertengkar karenanya.”
Demikian pula Imam Mâlik,
beliau menganjurkan agar menyampaikan sunnah, namun bila tidak diterima lebih
baik diam. [7]
Kesimpulan:
1. Pada asalnya dakwah harus disampaikan dengan hikmah dan lemah lembut.
2. Lemah lembut ini tidaklah
menafikan sikap tegas dalam memegang prinsip, maka dari itu harus dibedakan
antara mudaaraah dan mudaahanah.
3. Gangguan dan penentangan
dari orang-orang jahil bisa saja muncul karena itu sudah menjadi sunnatullah.
4. Seorang da’i harus sabar
dan berlapang dada menerima cobaan yang diterimanya dalam mengemban tugas
dakwah.
5. Hikmah adalah meletakkan
sesuatu sesuai pada tempatnya, menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah
baru dan berbicara sesuai situasi dan kondisi.
6. Konflik dan kontroversi
bisa ditekan dan dihindari bila setiap juru dakwah memperhatikan hikmah dalam
berdakwah.
7. Sabar dan santun adalah
bekal yang paling berharga dalam mengemban tugas dakwah. Kesabaran akan
melahirkan ketenangan dalam bertindak dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskan
sesuatu. Ketenangan itu berasal dari Allah Azza wa Jalla dan ketergesa-gesaan
berasal dari setan. Dakwah yang dibangun atas sikap sembrono dan tergesa-gesa
tidak akan membuahkan hasil yang positif. Bahkan sebaliknya, menimbulkan
bencana demi bencana.
8. Hindari melontarkan
komentar-komentar yang provokatif yang bisa memicu pertengkaran dan kerusuhan.
Dan apabila muncul kesalahpahaman masyarakat tentang suatu isu yang menyangkut
dakwah hendaklah segera dilakukan klarifikasi supaya fitnah tidak terlanjur menyebar
dan membesar sehingga sulit terkendali.
Referensi:
1-Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim tulisan Ibnu Katsir.
2- Shahih al-Bukhaari.
3- Fathul Baari tulisan Ibnu Hajar al-Asqalaani.
4- Al-Adab asy-Syar’iyyah tulisan Ibnu Muflih.
5- Haditsun Nafsi wa Jaulaatul Khaathir tulisan Abdul Ilaah bin Sulaiman
Ath-Thayyar.
6- At-Ta’liqaat As-Saniyah Syarh Ushulu Ad-Da’wah As-Salafiyah tulisan ‘Amru
Abdul Mun’im.
7-al-Adab al-Islamiyyah tulisan Abdul Aziz Sayyid Nadaa.
8- Majalah al-Buhuut al-Islaamiyyah Edisi 40.
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/Rabiul Tsani 1430/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat kitab At-Ta’lîqâtus Saniyah Syarh Ushûlud Da’watis Salafiyah tulisan
‘Amru Abdul Mun’im.
[2]. Majalah al-Buhûtsul Islâmiyyah Edisi 40.
[3]. Dinukil dari kaset Silsilatul Hudâ wan Nûr nomor 620.
[4]. Lihat buku Hadîtsun Nafsi wa Jaulâtul Khâthir tulisan Abdul Ilâh bin
Sulaiman Ath-Thayyâr.
[5]. Hadits riwayat al-Bukhâri (1458) dan Muslim (19) dari Ibnu Abbâs.
[6]. Al-Adab asy-Syar’iyyah tulisan Ibnu Muflih (I/368).
[7]. Al-Adabusy Syar’iyyah tulisan Ibnu Muflih (I/368).
Ukhuwah
islamiyah
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ حَمْزَةَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : ((لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى
يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ [مِنَ الْخَيْرِ])) رَوَاهُ
الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.
Dari Abu Hamzah, Anas bin
Mâlik Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai
untuk saudaranya segala apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri berupa
kebaikan”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh,
diriwayatkan oleh:
1. Al-Bukhâri (no. 13).
2. Muslim (no. 45).
3. Ahmad (III/176, 206, 251,
272, 289).
4. Abu ‘Awanah (I/33).
5. At-Tirmidzi (no. 2515).
6. Ibnu Majah (no. 66).
7. An-Nasa`i (VIII/115).
8. Darimi (II/307).
9. Abu Ya’la (no. 2880, 3171,
3069, 3245).
10. Ibnu Hibban (no. 234,
235).
Hadits di atas dikeluarkan
oleh al-Bukhâri dan Muslim dalam kitab Shahîh keduanya, dari hadits Qatadah,
dari Anas; sedangkan lafazh milik Muslim berbunyi:
حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ ، أَوْ قَالَ :
لِجَارِهِ.
“Hingga ia mencintai untuk
saudaranya; atau beliau bersabda: Untuk tetangganya ”
Dan Ahmad, Ibnu Hibban, dan
Abu Ya’la mengeluarkan pula hadits yang semakna dengan lafazh:
لاَ يَبْلُغُ عَبْدٌ حَقِيْقَةَ اْلإِيْمَانِ
حَتَّى يُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ.
“Seorang hamba tidak dapat
mencapai hakikat iman, hingga ia mencintai kebaikan untuk manusia seperti yang
ia cintai untuk dirinya.”
SYARAH HADITS
Syaikh al-Albâni
rahimahulllah berkata, “Ketahuilah bahwa tambahan ini مِنَ
الْخَيْرِ (berupa kebaikan), adalah
tambahan yang sangat penting yang dapat menentukan makna yang dimaksud dalam
hadits ini, karena kata “kebaikan” adalah satu kata yang mencakup berbagai amal
ketaatan dan perbuatan mubah, baik dalam masalah dunia maupun akhirat -selain
yang dilarang karena kata “kebaikan” tidak mencakupnya- sebagaimana sudah
jelas. Salah satu kesempurnaan akhlak seorang muslim, ialah ia mencintai
kebaikan untuk saudaranya sesama muslim, seperti yang ia cintai untuk dirinya
sendiri. Demikian pula ia membenci kejelekan untuk saudaranya, seperti
kebenciannya untuk dirinya sendiri. Meskipun hal ini tidak disebutkan dalam
hadits, namun ini termasuk dalam kandungannya karena mencintai sesuatu
mengharuskan membenci sesuatu yang menjadi lawannya.”[1]
Al-Hafizh Ibnu Rajab
al-Hanbali rahimahullah mengatakan [2]: “Riwayat Imam Ahmad rahimahullah di
atas menjelaskan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim, dan bahwa
yang dimaksud dengan tidak beriman ialah tidak mencapai hakikat dan puncak iman
karena iman seringkali dianggap tidak ada karena ketiadaan rukun-rukun dan
kewajiban-kewajibannya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لاَ يِزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ
مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ
يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمَنٌ.
“Pezina tidak berzina ketika
ia berzina sedang ia dalam keadaan mukmin; pencuri tidak mencuri ketika ia
mencuri sedang ia dalam keadaan mukmin; dan orang tidak minum minuman keras
ketika ia meminumnya sedang ia dalam keadaan beriman” [3]
Juga seperti sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يُؤْمِنُ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ
بَوَائِقَهُ.
“Tidak beriman orang yang
tetangganya tidak merasa aman dari gangguan-gangguannya” [4]
Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata,“Para ulama mengatakan bahwa maknanya ialah tidak beriman dengan iman
yang sempurna, karena pokok iman itu ada pada orang yang tidak memiliki sifat
ini”.[5]
Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-‘Asqalani t berkata, “Yang dimaksud ialah dinafikannya kesempurnaan iman.
Penafian nama sesuatu dengan makna menafikan kesempurnaannya telah masyhur
dalam dialek bangsa Arab, seperti perkataan mereka, ‘Si fulan itu bukan
manusia’.” [6] Maksudnya, dinafikan salah satu sifatnya.
Al-Hafizh ‘Amr bin Shalah
rahimahullah mengatakan, “Maknanya, tidak sempurna iman seseorang hingga ia
mencintai untuk saudara semuslim seperti ia mencintai untuk dirinya
sendiri”.[7]
Para ulama berbeda pendapat
tentang pelaku dosa besar; apakah dia dinamakan mukmin yang kurang imannya atau
tidak dikatakan mukmin? Sesungguhnya yang benar dikatakan: dia muslim dan bukan
mukmin menurut salah satu dari dua pendapat, dan kedua pendapat tersebut
diriwayatkan dari Imam Ahmad, atau ia mukmin dengan imannya dan fasik dengan
dosa besarnya.
Adapun orang yang mengerjakan
dosa-dosa kecil, iman tidak hilang dari dirinya secara total, namun ia orang
mukmin yang kurang beriman dan imannya berkurang sesuai dengan kadar dosa kecil
yang ia kerjakan.
Sedangkan pendapat yang
mengatakan bahwa pelaku dosa besar dinamakan seorang mukmin yang kurang imannya
diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, dan merupakan
pendapat Ibnul-Mubarak, Ishaq, Ibnu ‘Ubaid, dan selain mereka.
Maksud hadits di atas ialah
di antara sifat iman yang wajib, adalah seseorang mencintai untuk saudaranya
yang mukmin apa yang ia cintai untuk dirinya dan membenci untuknya apa yang ia
benci untuk dirinya sendiri. Jika sifat tersebut hilang darinya, maka imannya
berkurang.[8]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ
وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانُ.
“Barangsiapa mencintai karena
Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan (tidak memberi)
karena Allah, maka sungguh, telah sempurna imannya”.[9]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ
وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ، وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِيْ يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى
إِلَيْهِ.
“Barang siapa ingin dijauhkan
dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaklah ia mati dalam keadaan
beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan hendaklah ia menunaikan dan berbuat
(kebaikan) kepada orang lain apa yang ia senang bila orang lain (berbuat baik)
kepadanya”.[10]
Dalam Shahîh Muslim juga
disebutkan dari hadits Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:
يَا أَبَا ذَرٍّ! إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيْفًا،
وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِيْ، لاَ تَتَأَمَّرَنَّ عَلَى
اثْنَيْنِ، وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيْمٍ.
“Wahai, Abu Dzarr! Sungguh,
aku melihat engkau sebagai orang yang lemah dan aku mencintai untuk dirimu apa
yang aku cintai untuk diriku. Janganlah engkau memimpin dua orang, dan jangan
pula memegang harta anak yatim”.[11]
Dari an-Nu’man bin Basyir
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ
وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ
تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.
“Perumpamaan kaum mukminin
dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh.
Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain
ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam”.[12]
Ini menunjukkan, bahwa orang
mukmin terganggu dengan apa saja yang mengganggu saudaranya yang mukmin dan
sedih oleh apa saja yang membuat saudaranya sedih.
Dan hadits Anas Radhiyallahu
‘anhu yang sedang kita bicarakan ini menunjukkan, bahwa orang mukmin dibuat
gembira oleh sesuatu yang membuat gembira saudaranya yang mukmin dan
menginginkan kebaikan untuk saudaranya yang mukmin seperti yang ia inginkan
untuk dirinya sendiri. Ini semua terjadi karena seorang mukmin hatinya harus
bersih dari dengki, penipuan, dan hasad. Hasad membuat pelakunya tidak mau
diungguli siapa pun dalam kebaikan atau diimbangi di dalamnya, karena orang
yang hasad senang lebih unggul atas seluruh kelebihannya dan ia sendiri yang
memilikinya tanpa siapa pun dari manusia.
Sedangkan iman menghendaki
kebalikannya yaitu agar ia diikuti seluruh kaum mukminin dalam kebaikan yang
diberikan Allah kepadanya tanpa mengurangi sedikit pun kebaikannya.[13]
Dalam Al-Qur`ân Allah Ta’ala
memuji orang-orang yang tidak ingin sombong dan tidak membuat kerusakan di
bumi. Allah Ta’ala berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ
لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ
لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu Kami
jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak membuat
kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang
bertakwa”.[al-Qashshash/28:83].
Mengenai ayat ini, ‘Ikrimah
dan selainnya dari para ahli tafsir mengatakan: “Maksud dari kata al-‘uluwwu
fil ardhi, ialah sombong, mencari kehormatan, dan kedudukan pada pemiliknya.
Sedangkan maksud al-fasâd, ialah mengerjakan berbagai kemaksiatan”.[14]
Ada dalil yang menunjukkan
bahwa orang yang tidak ingin disaingi orang lain dalam ketampanan itu tidak
berdosa.
Imam Ahmad dan al-Hakim dalam
Shahîh-nya dari hadits Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Aku datang kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu Malik bin Mirarah ar-Rahawi berada
di tempat beliau. Aku dapati Malik bin Murarah ar-Rahawi berkata, ‘Wahai
Rasulullah! Aku telah diberi ketampanan seperti yang telah engkau lihat; oleh
karena itu, aku tidak ingin salah seorang manusia mengungguliku dengan tali
sandal dan selebihnya, apakah itu termasuk kezhaliman?’ Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak. Itu tidak termasuk kezhaliman, namun
kezhaliman ialah orang yang sombong.’ Atau beliau bersabda, ‘Namun kezhaliman
ialah orang yang menolak kebenaran dan menghina manusia”.[15]
Imam Abu Dawud rahimahullah
meriwayatkan hadits semakna dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di haditsnya disebutkan kata al-kibru (sombong)
sebagai ganti dari kata al-baghyu (kezhaliman). Pada hadits di atas Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan ketidaksukaan Malik bin Murarah
untuk disaingi siapa pun dalam ketampanan sebagai bentuk kezhaliman atau
kesombongan. Beliau juga menafsirkan kesombongan dan kezhaliman dengan arti
merendahkan kebenaran, yang tidak lain adalah sombong terhadapnya dan menolak
menerima kebenaran karena sombong jika kebenaran tersebut bertentangan dengan
hawa nafsunya.
Dari sinilah salah seorang
ulama Salaf mengatakan: “Tawadhu`, ialah engkau menerima kebenaran dari siapa
pun yang membawanya kendati yang membawanya adalah anak kecil. Barang siapa
menerima kebenaran dari siapa pun yang membawanya: anak kecil, atau orang
dewasa, orang yang dicintainya, atau orang yang dibencinya, maka ia orang yang
tawadhu`. Dan barang siapa menolak menerima kebenaran karena sombong
terhadapnya, maka ia orang yang sombong”.
Sedangkan menghina manusia
dan merendahkan mereka bisa terjadi dengan cara seseorang melihat pribadinya
sebagai orang yang sempurna dan melihat orang lain sebagai orang yang tidak
sempurna.
Kesimpulannya, seorang mukmin
harus mencintai untuk kaum mukminin apa yang ia cintai untuk dirinya dan tidak
menyukai untuk mereka apa yang tidak ia sukai untuk dirinya. Jika ia melihat
kekurangan dalam hal agama pada saudaranya, ia berusaha untuk memperbaikinya.
Salah seorang yang shâlih
dari ulama Salaf berkata: “Orang-orang yang mencintai Allah melihat dengan
cahaya Allah, merasa kasihan dengan orang yang bermaksiat kepada Allah,
membenci perbuatan-perbuatan mereka, merasa kasihan kepada mereka dengan cara
menasihati mereka untuk melepaskan mereka dari perbuatannya, dan menyayangkan
badan mereka sendiri jika sampai terkena neraka”.[17]
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ
آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ،
وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقْرَؤُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ
النَّهَارِ.
“Tidak boleh hasad kecuali
kepada dua orang: orang yang diberi harta oleh Allah kemudian ia
menginfakkannya di pertengahan malam dan pertengahan siang dan orang yang
diberikan Al-Qur`ân oleh Allah kemudian ia membacanya di pertengahan malam dan
pertengahan siang” [18]
Dan beliau bersabda mengenai
orang yang melihat orang lain menginfakkan hartanya dalam ketaatan kepada
Allah, kemudian ia berkata:
لَوْ أَنَّ لِيْ مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ
فُلاَنٍ . فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ .
“Seandainya aku memiliki
harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan. Ia dengan
niatnya itu, maka pahala keduanya sama”.[19]
Adapun dalam hal kelebihan
dunia, maka tidak boleh mengharapkan kelebihan seperti itu karena Allah Ta’ala
berfirman, yang artinya: Maka keluarlah dia (Qarun) kepada kaumnya dengan
kemegahannya. Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata:
“Mudah-mudahan kita memiliki harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan
kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”.
Tetapi orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata: “Celakalah kamu! Ketahuilah,
pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang
sabar”. [al-Qashshash/28:79-80].
Tentang firman Allah Ta’ala.
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ
بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
“(Dan janganlah kalian iri
hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas
sebagian yang lain….) -an-Nisâ`/4 ayat 32- yang dimaksud ayat di atas adalah
hasad, yaitu seseorang menginginkan keluarga atau harta seperti yang diberikan
kepada saudaranya, dan berharap semua itu berpindah tangan kepadanya. Ayat di
atas juga ditafsirkan dengan keinginan yang dilarang syari’at dan melawan
takdir, misalnya seorang wanita ingin menjadi laki-laki, atau kaum wanita
menginginkan kelebihan-kelebihan agama seperti yang diberikan kepada kaum
laki-laki misalnya jihad, atau kaum wanita menginginkan kelebihan-kelebihan
duniawi seperti yang dimiliki kaum laki-laki seperti warisan, akal, kesaksian,
dan lain sebagainya. Ada juga yang menyatakan bahwa ayat di atas merangkum itu
semua.
Kendati demikian, seorang
mukmin harus bersedih karena tidak memiliki kelebihan-kelebihan agama. Oleh
karena itu, dalam agama, seorang muslim diperintahkan melihat kepada orang yang
berada di atasnya dan berlomba-lomba di dalamnya dengan mengerahkan segenap
tenaga dan kemampuannya, seperti difirmankan Allah Ta’ala:
وَفِي ذَٰلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
“…Dan untuk yang demikian itu
hendaknya orang berlomba-lomba”. [al-Muthaffifîn/83:26].
Seorang muslim tidak boleh
benci diikuti orang lain dalam masalah agama. Justru, ia menyukai seluruh
manusia terlibat dalam persaingan dalam kelebihan-kelebihan agama dan
menganjurkannya. Dan ingat, semua ini harus dilakukan semata-mata karena Allah
Ta’ala.
Beliau mengisyaratkan bahwa
pemberian nasihat kepada manusia ialah hendaklah seorang mukmin suka kalau
manusia berada di atas kedudukannya. Ini kedudukan dan derajat tertinggi dalam
nasihat, namun tidak diwajibkan. Namun yang diperintahkan dalam syari’at ialah
hendaklah seorang mukmin suka kalau manusia seperti dirinya dalam berbuat
kebajikan. Kendati demikian, jika ada orang yang mengungguli dirinya dalam
kelebihan agama, ia berusaha keras mengejarnya, sedih atas kelalaian dirinya,
dan gundah atas ketertinggalannya dari menyusul orang-orang yang lebih dahulu
dalam kebaikan.
Seorang mukmin harus terus
melihat dirinya lalai dari kedudukan tinggi karena sikap seperti itu membuahkan
dua hal yang berharga: (1) berusaha keras dalam mencari keutamaan-keutamaan dan
meningkatkannya, dan (2) ia melihat dirinya sebagai orang yang kurang sempurna.
[20]
Jika seseorang mengetahui
bahwa Allah memberikan kelebihan khusus kepada dirinya dan kelebihan itu tidak
diberikan Allah kepada orang lain kemudian ia menceritakannya kepada orang lain
untuk kemaslahatan agama, ia menceritakannya dalam konteks menceritakan nikmat,
dan melihat dirinya lalai dalam bersyukur, maka hal ini diperbolehkan.
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
‘anhuma berkata, “Aku membaca salah satu ayat Al-Qur`ân kemudian aku ingin
seluruh manusia mengetahuinya seperti yang aku ketahui.”[21]
FAWA`ID HADITS
1. Diperbolehkan menafikan
sesuatu karena tidak adanya kesempurnaan padanya, seperti sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ.
“Tidak ada shalat ketika
makanan telah disajikan”.[22]
Maksudnya, shalatnya tidak
sempurna, karena hati orang yang shalat tersebut akan menjadi sibuk oleh
makanan yang telah tersaji itu, dan contoh-contoh seperti ini sangat banyak.
2. Seseorang wajib mencintai
untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri. Sebab, dinafikannya
iman dari orang yang tidak mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk
dirinya sendiri menunjukkan wajibnya perbuatan tersebut, karena keimanan tidak
boleh dinafikan kecuali karena hilangnya sesuatu yang wajib padanya atau adanya
sesuatu yang menafikan keimanan tersebut.
3. Termasuk keimanan pula
membenci untuk saudaranya apa yang dibenci untuk dirinya sendiri.
4. Di dalam hadits ini
terdapat celaan terhadap sikap egois, membenci orang lain, hasad dan balas
dendam, karena orang yang di dalam hatinya terdapat semua sifat ini berarti
tidak mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri,
bahkan ia berharap nikmat yang Allah berikan pada saudaranya yang beriman itu
hilang darinya. Nas-alullâhas-salâmah wal-‘âfiyah.
5. Setipa mukmin dan mukminah
wajib menjauhi sifat hasad (dengki, iri) dan sifat buruk lainnya karena dapat
mengurangi imannya.
6. Hadits ini menunjukkan
bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang; bertambah dengan melakukan
ketaatan dan berkurang dengan sebab melakukan maksiat.
7. Mengamalkan kandungan
hadits ini menjadikan menyebarnya rasa cinta diantara pribadi-pribadi dalam satu
masyarakat Islami dan akan saling tolong-menolong dan bahu-membahu sehingga
bagaikan satu tubuh.
8. Mencintai kebaikan untuk
seorang muslim merupakan salah satu cabang keimanan.
9. Berlomba-lomba dalam
kebajikan merupakan kesempurnaan iman.
10. Anjuran untuk
mempersatukan hati manusia dan memperkuat hubungan antara kaum mukminin.
11. Islam bertujuan
menciptakan masyarakat yang harmonis dan penuh kasih sayang.
12. Umat Islam hendaknya
menjadi laksana satu bangunan dan satu tubuh. Ini diambil dari bentuk keimanan
yang sempurna yaitu mencintai untuk saudaranya apa yang dicintai untuk dirinya
sendiri. Wallâhu a’lam.
Maraji’:
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Mu’jamul Kabîr.
3. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah,
karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
4. Jâmi’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab
al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bâjis.
5. Kutubus-Sab’ah.
6. Musnad Abi ‘Awanah.
7. Musnad Abu Ya’la.
8. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în
an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
9. Shahîh Ibni Hibban dengan
at-Ta’liqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
10. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
11. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh
Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
12. Syarhus-Sunnah lil-Baghawi.
13. Tafsîr Ibni Jarir ath-Thabari.
14. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun
XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Footnote
[1]. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah
(I/1/155-156).
[2]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/302).
[3]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2475), Muslim
(no. Muslim no. 57), Ahmad (II/376), dan Ibnu Hibban (no.
186-At-Ta’lîqâtul-Hisân), dari Sahabat Abu Hurairah.
[4]. Shahîh. HR. Al-Bukhâri (no. 6016), Muslim
(no. 46), dan Ahmad (II/288) dari Sahabat Abu Hurairah.
[5]. Syarah Shahîh Muslim (II/16).
[6]. Fat-hul Bâri (I/57).
[7]. Syarah Shahîh Muslim (II/17).
[8]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikâm (I/303).
[9]. Hasan. HR Abu Dawud (no. 4681) dan
al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 3469) dari Abu Umamah al-Bahili
Radhiyallahu ‘anhu . Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah
al-Ahâdîts ash- Shahîhah (no. 380), dan hadits ini memiliki beberapa syawahid.
[10]. Shahîh. HR Muslim (no. 1844), Ahmad
(II/161), Abu Dawud (no. 4248), an-Nasâ`i (VII/153), dan Ibnu Majah (no. 3956)
dari Sahahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash c .
[11]. Shahîh. HR Muslim (no. 1826), Abu Dawud
(no. 2868), an-Nasâ`i (VI/255), dan Ibnu Hibban (no. 5538-at-Ta’lîqâtul-Hisân).
[12]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6011), Muslim
(no. 2586) dan Ahmad (IV/270), dari Sahabat an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu
‘anhu , lafazh ini milik Muslim.
[13]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/306).
[14]. Lihat Tafsîr ath-Thabari (X/114-115).
[15]. Shahîh. HR Ahmad (I/385) dan al-Hakim
(IV/182).
[16]. Sunan Abi Dawud (no. 4092) dengan sanad
yang shahîh.
[17]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/308).
[18]. Shahîh. HR Ahmad (I/385, 432), al-Bukhâri
(no. 73), Muslim (no. 816), Ibnu Majah (no. 4208), dan Ibnu Hibban (no.
90-at-Ta’lîqâtul-Hisân) dari Sahabat Ibnu Mas’ud.
[19]. Shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad
(IV/230-231), at-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu Majah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/
189), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (XIV/289), dan ath-Thabrani dalam
Mu’jamul- Kabir (XXII/ 345-346, no. 868-870), dari Sahabat Abu Kabsyah
al-Anmari Radhiyallahu ‘anhu.
[20]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam
(I/308-309).
[21]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/310).
[22]. Shahîh. HR Muslim (no. 560).