Oleh
Ustadz Ashim bin Musthafa
Kota Mekkah, dengan kemuliaan
yang disandangnya, ia memiliki hukum-hukum yang telah ditetapkan syari'at,
sebagai bukti yang menunjukkan kemuliaannya. Siapapun dilarang melakukan
perbuatan maksiat. Meski larangan ini telah jelas, ternyata dalam perjalanan
sejarah kaum Muslimin, khususnya kota Mekkah dan Ka'bah, pernah terjadi
pelanggaran yang sangat memilukan dan menodai Ka'bah secara khusus, yaitu
terjadinya penjarahan Hajar Aswad.
Hajar Aswad merupakan batu
termulia. Dia berasal dari Jannah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
:
نَزَلَ الْحَجَرُ الْأَسْوَدُ مِنْ الْجَنَّةِ
وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنْ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ
"Hajar Aswad turun dari
Jannah, dalam kondisi berwarna lebih putih dari air susu. Kemudian, dosa-dosa
anak Adamlah yang membuatnya sampai berwarna hitam" [1].
Tentang keutamaannya yang
lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ِإنَّ لِهَذَا الْحَجَرِ لِساَناً وَ شَفَتَيْنِ
يَشْهَدُ لِمَنْ اسْتَلَمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَقٍّ
"Sesungguhnya batu ini
akan punya lisan dan dua bibir akan bersaksi bagi orang yang menyentuhnya di
hari Kiamat dengan cara yang benar" [2].
Dari Ibnu ‘Umar, saya
mendengar Rasulullah bersabda:
إِنَّ مَسْحَهُمَا يَحُطَّانِ الْخَطِيئَةَ
"Sesungguhnya mengusap
keduanya (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) akan menghapus dosa".[3]
Hajar Aswad, dahulu berbentuk
satu bongkahan. Namun setelah terjadinya penjarahan yang terjadi pada tahun
317H, pada masa pemerintahan al Qahir Billah Muhammad bin al Mu’tadhid dengan
cara mencongkel dari tempatnya, Hajar Aswad kini menjadi delapan bongkahan
kecil. Batu yang berwarna hitam ini berada di sisi selatan Ka’bah.
Adalah Abu Thahir, Sulaiman
bin Abu Said al Husain al Janabi, tokoh golongan Qaramithah pada masanya, telah
menggegerkan dunia Islam dengan melakukan kerusakan dan peperangan terhadap
kaum Muslimin. Kota yang suci, Mekkah dan Masjidil Haram tidak luput dari
kejahatannya. Dia dan pengikutnya melakukan pembunuhan, perampokan dan merusak
rumah-rumah. Bila terdengar namanya, orang-orang akan berusaha lari untuk
menyelamatkan diri.[4]
Kisahnya, pada musim haji
tahun 317H tersebut, rombongan haji dari Irak pimpinan Manshur ad Dailami
bertolak menuju Mekkah dan sampai dalam keadaan selamat. Namun, tiba-tiba pada
hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah), orang-orang Qaramithah (salah satu sekte
Syiah Isma’iliyah) melakukan huru-hara di tanah Haram. Mereka merampok
harta-harta jamaah haji dan menghalalkan untuk memeranginya. Banyak jamaah haji
yang menjadi korban, bahkan, meskipun berada di dekat Ka’bah.
Sementara itu, pimpinan
orang-orang Qaramithah ini, yaitu Abu Thahir –semoga mendapatkan balasan yang
sepadan dari Allah– berdiri di pintu Ka’bah dengan pengawalan, menyaksikan
pedang-pedang pengikutnya merajalela, menyudahi nyawa-nyawa manusia. Dengan
congkaknya ia berkata : "Saya adalah Allah. Saya bersama Allah. Sayalah
yang menciptakan makhluk-makhluk. Dan sayalah yang akan membinasakan
mereka".
Massa berlarian menyelamatkan
diri. Sebagian berpegangan dengan kelambu Ka’bah. Namun, mereka tetap menjadi
korban, pedang-pedang kaum Syi'ah Qaramithah ini menebasnya. Begitu juga,
orang-orang yang sedang thawaf, tidak luput dari pedang-pedang mereka, termasuk
di dalamnya sebagian ahli hadits.
Usai menuntaskan kejahatannya
yang tidak terkira terhadap para jamaah haji, Abu Thahir memerintahkan pasukan
untuk mengubur jasad-jasad korban keganasannya tersebut ke dalam sumur Zam Zam.
Sebagian lainnya, di kubur di tanah Haram dan di lokasi Masjidil Haram.
Kubah sumur Zam Zam ia
hancurkan. Dia juga memerintahkan agar pintu Ka’bah dicopot dan melepas
kiswahnya. Selanjutnya, ia merobek-robeknya di hadapan para pengikutnya. Dia
meminta kepada salah seorang pengikutnya untuk naik ke atas Ka’bah dan mencabut
talang Ka’bah. Namun tiba-tiba, orang tersebut terjatuh dan mati seketika. Abu
Thahir pun mengurungkan niatnya untuk mengambil talang Ka’bah. Kemudian, ia
memerintahkan untuk mencongkel Hajar Aswad dari tempatnya. Seorang lelaki
memukul dan mencongkelnya.
Dengan nada menantang, Abu
Thahir sesumbar : "Mana burung-burung Ababil? Mana bebatuan dari Neraka
Sijjil?"
Peristiwa penjarahan Hajar
Aswad ini, membuat Amir Mekkah dan keluarganya dengan didukung sejumlah pasukan
mengejar mereka. Amir Mekkah berusaha membujuk Abu Thahir agar mau
mengembalikan Hajar aswad ke tempat semula. Seluruh harta yang dimiliki Sang
Amir telah ia tawarkan untuk menebus Hajar Aswad itu. Namun Abu Thahir tidak
bergeming. Bahkan Sang Amir, anggota keluarga dan pasukannya menjadi korban
berikutnya. Abu Thahir pun melenggang menuju daerahnya dengan membawa Hajar
Aswad dan harta-harta rampasan dari jamaah haji. Batu dari Jannah ini, ia bawa
pulang ke daerahnya, yaitu Hajr (Ahsa), dan berada di sana selama 22 tahun.
Menurut Ibnu Katsir, golongan
Qaramithah membabi buta semacam itu, karena mereka sebenarnya kuffar zanadiqah.
Mereka berafiliasi kepada regim Fathimiyyun yang telah menancapkan hegemoninya
pada tahun-tahun itu di wilayah Afrika. Pemimpin mereka bergelar al Mahdi,
yaitu Abu Muhammad 'Ubaidillah bin Maimun al Qadah. Sebelumnya ia seorang
Yahudi, yang berprofesi sebagai tukang emas. Lantas, mengaku telah masuk Islam,
dan mengklaim berasal dari kalangan syarif (keturunan Nabi Muhammad). Banyak
orang dari suku Barbar yang mempercayainya. Hingga pada akhirnya, ia dapat
memegang kekuasan sebagai kepala negara di wilayah tersebut. Orang-orang
Qaramtihah menjalin hubungan baik dengannya. Mereka (Qaramithah) akhirnya
menjadi semakin kuat dan terkenal.
Perbuatan Abu Thahir al
Qurmuthi, orang yang memerintahkan penjarahan Hajar Aswad ini, oleh Ibnu Katsir
dikatakan : "Dia telah melakukan ilhad (kekufuran) di Masjidil Haram, yang
tidak pernah dilakukan oleh orang sebelumnya dan orang sesudahnya". [5]
Setelah masa 22 tahun Hajar
Aswad dalam penguasaan Abu Thahir, ia kemudian dikembalikan. Tetapnya pada
tahun 339H.
Pada saat mengungkapkan
kejadian tahun 339 H, Ibnu Katsir menyebutnya sebagai tahun berkah, lantaran
pada bulan Dzul Hijjah tahun tersebut, Hajar Aswad dikembalikan ke tempat
semula. Peristiwa kembalinya Hajar Aswad sangat menggembirakan segenap kaum Muslimin.
Pasalnya, berbagai usaha dan
upaya untuk mengembalikannya sudah dilakukan. Amir Bajkam at Turki pernah
menawarkan 50 ribu Dinar sebagai tebusan Hajar Aswad. Tetapi, tawaran ini tidak
meluluhkan hati Abu Thahir, pimpinan Qaramithah saat itu.
Kaum Qaramithah ini berkilah
: "Kami mengambil batu ini berdasarkan perintah, dan akan mengembalikannya
berdasarkan perintah orang yang bersangkutan".
Pada tahun 339 H, sebelum
mengembalikan ke Mekkah, orang-orang Qaramithah mengusung Hajar Aswad ke Kufah,
dan menggantungkannya pada tujuh tiang Masjid Kufah. Agar, orang-orang dapat
menyaksikannya. Lalu, saudara Abu Thahir menulis ketetapan : "Kami dahulu
mengambilnya dengan sebuah perintah. Dan sekarang kami mengembalikannya dengan
perintah juga, agar pelaksanaan manasik haji umat menjadi lancar".
Akhirnya, Hajar Aswad dikirim
ke Mekkah di atas satu tunggangan tanpa ada halangan. Dan sampai di Mekkah pada
bulan Dzul Qa’dah tahun 339H.[6]
Dikisahkan oleh sebagian
orang, bahwa pada saat penjarahan Hajar Aswad, orang-orang Qaramithah terpaksa
mengangkut Hajar Aswad di atas beberapa onta. Punuk-punuk onta sampai terluka
dan mengeluarkan nanah. Tetapi, saat dikembalikan hanya membutuhkan satu
tunggangan saja, tanpa terjadi hal-hal aneh dalam perjalanan. (Mas)
Maraji’ :
- Shahih Bukhari, al Imam al Bukhari, Darul
Arqam, Beirut, tanpa tahun.
- Shahih Muslim, Syarhun-Nawawi, Darul
Ma’rifah, Beirut, Cet. VI, Th. 1420 H.
- Ihkamil-Ahkam Syarhu ‘Umdatil-Ahkam, Ibnu
Daqiqil ‘Id, tahqiq Hasan Ahmad Dar Ibni Hazm Cet. I, Th. 1423 H.
- Al Bidayah wan-Nihayah, al Imam Imaduddin
Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir, Darul Ma’rifah, Cet. VI, Th. 1422 H.
- Wamdhul-‘Aqiq min Makkata wal-Baitil ‘Aqiq,
Muhammad ‘Ali Barnawi, Mekkah Mukaramah, Cet. I. Th. 1425 H.
- Shahih Sunan at-Tirmidzi, Muhammad
Nashiruddin al Albani, Maktabah al Ma’arif.
- Shahih Sunan an-Nasai, Muhammad Nashiruddin
al Albani Maktabah al Ma’arif.
- Shahihul-Jami' wa Ziyadatuhu, Muhammad
Nashiruddin al Albani, Maktab Islami, Cet. III, Th. 1408.
- Taisiril Karimir-Rahman, Abdur Rahman as
Sa’di, Muassasah Risalah, Cet. I, Th. 1423H.
- Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu Abdillah
Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, tahqiq Abdur Razaq al Mahdi, Darul
Kitabil-‘Arabi, Cet. II, Th. 1420 H.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006]
_________
Footnotes
[1]. Hadits shahih riwayat at Tirmidzi.
Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 877.
[2]. HR al Hakim dan Ibnu Hibban, dan
dishahihkan al Albani. Lihat Shahihul-Jami', no. 2184.
[3]. Hadits shahih riwayat an Nasaa-i.
Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919.
[4]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/187.
[5]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/191. Ibnu
Katsir mengisahkan peristiwa ini di halaman 190-192.
[6]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/265.
SYEKH ADNAN AR-UR menegaskan
bahwa yang mencongkel dan mencuri hajar aswad dari ka’bah selama 22 tahun
ka’bah tanpa hajar aswad adalah nenek moyang keluarga al-asad yaitu qaramithah
yang telah berbuat rusak di tanah suci masjidil haram.
Apakah anda tahu siapa qaramithah? Jika anda tahu pendahulu basyar assad maka
anda akan paham basyar assad yang haus darah itu. Berikut ini adalah sejarah
kejahatan kakek kakek basyar assad yang berhasil diarekam oleh Imam Ibnu Katsir
al-Syafi’I, yang patut kita baca dan renungkan kembali
>> Pengkhianatan Daulah Qaramithah
Daulah Qaramithah beridiologi Syi’ah Isma’iliyyah sebuah ideologi sesat yang
meyakini imamah (kepemimpinan) Ismail bin Ja’far as-Shadiq.
Setelah wafatnya Ja’far bin Muhammad ash-Shâdiq, kaum Syiah terpecah menjadi
dua kelompok. Satu kelompok menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya, yaitu Mûsâ
al-Kâzhim, mereka inilah yang kemudian disebut Syiah Itsnâ ‘Asyariyah (aliran
Syiah yang meyakini adanya imam yang berjumlah dua belas orang). Dan satu
kelompok lagi menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya yang lain, yaitu Ismâ’il
bin Ja’far, kelompok ini kemudian dikenal sebagai Syiah Ismâ’iliyah. Kadang
kala mereka dinisbatkan kepada madzhab bathiniyah dan kadang kala dikaitkan
juga dengan Qarâmithah. Akan tetapi, mereka lebih senang disebut Ismâ’iliyah.
Al-Milal wan Nihal (I/191-192)
Daulah Qaramithah dinisbahkan kepada Hamdân Qirmith, pemimpin mereka. Kemudian
pengikut-pengikutnya dikenal dengan sebutan Qarâmithah. Daulah ini didirikan
oleh Abu Said al-Jannabi tahun 278 H berpusat di Bahrain. Daulah ini berkuasa
selama kurang lebih 188 tahun. Menguasai daerah Ahsa’, Hajar, Qathif, Bahrain,
Oman, dan Syam.
Ketika mereka sudah memiliki kekuatan dan berhasil mendirikan daulah Bahrain,
mereka melakukan perampasan, pembunuhan dan pemerkosaan, kekejaman yang mungkin
tidak dilakukan oleh bangsa Tatar maupun kaum Nasrani sekalipun. Mereka inilah,
yang telah bersekutu bersama kaum Nasrani dan Tatar (Mongol) untuk melawan Islam
dan kaum Muslimin. Di antara tokoh mereka yang menimpakan fitnah besar terhadap
kaum Muslimin adalah Abu Thâhir Sulaimân bin Hasan al-Janâbi.
>> Rentetan peristiwa
Tahun 294 H, Qaramithah dipimpin Zakrawaih menghadang kepulangan jamaah haji
dan menyerang mereka pada bulan Muharram. Terjadilah peperangan besar kala itu.
Di saat mendapat perlawanan sengit, Syi’ah Qaramithah menarik diri dengan nada
bertanya, “Apakah ada wakil sultan di antara kalian?” Jamaah haji menjawab,
“Tidak ada seorang pun (yang kalian cari) di tengah-tengah kami.” Qaramithah
lalu berujar, “Maka kami tidak bermaksud menyerang kalian (salah sasaran).”
Peperangan pun berhenti. Sesaat kemudian, ketika jamaah haji merasa aman dan
melanjutkan perjalanannya, maka para pengikut Syi’ah kembali menyerang mereka.
Banyak jamaah haji yang terbunuh disana. Adapun mereka yang melarikan diri,
diumumkan akan diberi jaminan keamanan oleh Syi’ah. Ketika sisa jamaah haji
tadi kembali, maka pasukan Syi’ah berkhianat dan membunuh mereka.
Peran kaum wanita Syi’ah pun tidak kalah sadisnya. Paska perang, kaum wanita
Syi’ah mengelilingi tumpukan-tumpukan jenazah dengan membawa geriba air. Mereka
menawarkan air tersebut di tengah-tengah korban perang. Apabila ada yang
menyahut, maka langsung dibunuh. Jumlah jamaah haji yang terbunuh saat itu
mencapai 20.000 jiwa, ditambah dengan harta yang dirampas mencapai dua juta
dinar. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Tahun 312 H, Qaramithah dipimpin Abu Thahir, putra Abu Said, menyerang jamaah
haji asal Baghdad ketika pulang dari Mekah pada bulan Muharram. Mereka membunuh
dan merampas hewan-hewan bawaan jamaah haji tersebut. Adapun sisa jamaah haji,
ditinggalkan begitu saja sehingga mayoritasnya mati kehausan di tengah teriknya
matahari. [Târîkh Akhbâr Qarâmithah hlm. 38]
Tahun 315 H, Qaramithah berjumlah 1.500 tentara dipimpin oleh Abu Thahir maju
menuju Kufah pada bulan Syawwal. Mereka dihadapi oleh pasukan Khalifah saat itu
sebanyak 6.000 tentara. Walhasil, pasukan Syi’ah memenangkan peperangan dan
berhasil membunuh mayoritas pasukan Kufah.
Tahun 317 H, Qaramithah sebanyak 700 tentara dipimpin Abu Thahir, yang berumur
22 tahun, mendatangi Mekah saat musim haji. Selanjutnya, mereka membunuh jamaah
haji yang sedang menunaikan manasiknya. Sementara itu, Abu Thahir duduk di
depan Ka’bah dan berseru, “Aku adalah Allah, demi Allah, aku menciptakan
seluruh makhluk dan yang mematikan mereka.”
Abu Thahir segera memerintahkan pasukannya untuk mengambil pintu Ka’bah, dan
menyobek-nyobek tirai Ka’bah. Salah seorang tentaranya memanjat Ka’bah untuk
mengambil talangnya, namun tewas terjatuh. Ia juga memerintahkan salah satu
tentaranya untuk mengambil Hajar Aswad.Tentara tersebut mencongkelnya dan
dengan angkuhnya berseru, “Mana burung yang berbondong-bondong itu? Mana pula
batu dari neraka Sijjil (yang menimpa pasukan Raja Abrahah yang hendak
menghancurkan Ka’bah menjelang masa kelahiran Nabi)?” Setelah berlalu enam
hari, mereka pulang membawa Hajar Aswad.
Gubernur Mekah dengan dikawal pasukannya segera menemui pasukan Syi’ah tersebut
di tengah jalan. Berharap agar mereka mau mengembalikan Hajar Aswad dengan
imbalan harta yang banyak. Namun Abu Thahir tidak menggubrisnya. Terjadilah
peperangan setelah itu.
Pasukan Qaramithah menang dan membunuh mayoritas yang ada di sana. Lalu melanjutkan
perjalanan pulang ke Bahrain dengan membawa harta rampasan milik jamaah haji.
Setelahnya, dibuatlah maklumat menantang umat Islam bila ingin mengambil Hajar
Aswad tersebut, bisa dengan tebusan uang yang sangat banyak atau dengan perang.
Hajar Aswad pun berada di tangan mereka selama 22 tahun. Mereka lalu
mengembalikannya pada tahun 339 H, setelah ditebus dengan uang sebanyak 30.000
dinar oleh al-Muthi’ Lillah, seorang khalifah Daulah Abbasiyyah.
Tahun 317 H, mereka menyerang jamaah haji di Masjidil Harâm, dan membunuhi para
jamaah yang berada dalam masjid lalu membuang mayat mayat ke sumur Zamzam.
Mereka membunuh orang orang di jalan-jalan kota Mekah dan sekitarnya. Jumlah
korbannya mencapai tiga puluh ribu jiwa. Bahkan ia merampas kelambu Ka’bah dan
membagi-bagikannya kepada pasukannya. Ia menjarah rumah-rumah penduduk Mekah
dan mencungkil Hajar Aswad dari tempatnya untuk ia bawa ke Hajar (ibukota
daulah mereka di Bahrain). Târîkh Akhbâr Qarâmithah hlm. 54
Imam Ibnu Katsir rahimahullah merekam kekejaman yang dilakukan oleh Abu Thâhir
al-Janâbi al-Bâthini ini dengan berkata, “Ia menjarah harta penduduk Mekah dan
menghalalkan darah mereka.
Ia membunuhi manusia di rumah-rumah mereka hingga yang berada di jalan-jalan.
Bahkan menjagal banyak jamaah haji di Masjdil Haram dan di dalam Ka’bah. Lalu
pemimpin mereka, yakni Abu Thâhir –semoga Allâh Azza wa Jalla melaknatnya-
duduk di pintu Ka’bah, sementara orang-orang disembelihi di hadapannya dan
pedang-pedang berkelebatan membantai orang-orang di Masjidil Haram pada bulan
haram (suci) di hari Tarwiyah yang merupakan hari yang mulia. Sementara Abu
Thâhir ini berseru, “ Aku adalah Allâh, Allâh adalah aku. Aku menciptakan
makhluk dan akulah yang mematikan mereka.
Orang-orang pun berlarian menyelamatkan diri dari kekejaman Abu Thâhir ini. Di
antara mereka bahkan ada yang bergantung pada kelambu Ka’bah. Namun itu tidak
menyelamatkan jiwa mereka sedikit pun. Mereka tetap ditebas habis dalam keadaan
seperti itu. Mereka dibunuhi meskipun mereka sedang bertawaf…”
Beliau melanjutkan, “Setelah pasukan Qarâmithah ini melakukan aksi brutal
mereka itu –semoga Allâh melaknat mereka- dan perbuatan keji mereka terhadap
para jamaah haji, Abu Thahir ini menyuruh pasukannya agar melemparkan
mayat-mayat yang tewas ke sumur Zamzam.
Dan sebagian lain dikubur di tempat-tempat mereka di tanah haram bahkan di
dalam Masjidil Haram. Lalu kubah sumur Zamzam pun dirobohkan. Kemudian Abu
Thâhir memerintahkan agar mencopot pintu Ka’bah, melepaskan kelambunya, untuk
ia koyak-koyak dan bagikan kepada pasukannya.” Al-Bidâyah wan Nihâyah (XI/160)
Sumber:
http://www.gensyiah.com/basyar-assad-keturunan-pencongkel-hajar-aswad-dari-kabah.htm