Friday, October 14, 2016

Syiahisasi dan Stigma Wahabi.Politisasi Isu Wahabi Sebagai Pemecah Belah Umat !

Syiahisasi dan Stigma Wahabi

Kamis, 13 Oktober 2016 - 12:31 WIB
Oleh: Ilham Kadir
Hakikatnya, teori syiahisasi dengan menggunakan istilah ‘Wahhabi’ adalah untuk menyatukan aliran gelombang penolakan terhadap mereka yang anti Syiah
BEBERAPA waktu lalu, tepatnya pada tanggal 8 Oktober 2016 telah diadakan pertemuan dan diskusi antara anggota civitas akademika yang berpaham, beraliran, dan penyebar ajaran Syiah.
Acara tersebut dihadiri tokoh Syiah, Dr. Haidar Bagir sebagai narasumber, berlangsung di Auditorium Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Jl. Lebak Bulus-II, No. 2, Cilandak, Jakarta Selatan. Ada juga pertemuan lain di tempat  berbeda bersama Ayatullah Qumi, Wakil Rahbar dalam urusan Luar Negeri, dan juga Ayatullah Majid Hakimullahi, Kandidat Direktur ICC Jakarta.
Dalam dua pertemuan di atas, yang menarik adalah pertemuan yang berlangsung di STFI Sadra, diisi oleh Haidar Bagir dan kawan-kawan. Menarik karena berhasil menemukan sebuah teori ‘Syiahisasi Indonesia’ atau metode dan rumus-rumus jitu dalam melakukan penyebaran ajaran sesat Syiah di tanah air.
Mereka telah melakukan kajian, penelitian, dan pengamatan terhadap ummat Islam Indonesia, dan kesimpulannya adalah segenap kaum muslimin yang berada di bumi Indonesia, secara umum terbagi menjadi tiga bagian yaitu: 1) Wahhabi; 2) Jahhali; dan 3) Oportunis. Untuk mengetahui lebih dalam, mari kita cerna ketiga golongan di atas.
Pertama. Bagi penganut Syiah, yang dimaksud dengan golongan Wahhabi adalah seluruh ummat Islam Indonesia yang tidak sejalan dan searah tujuan dengan ajaran mereka. Dalam konteks ini, Wahhabi tidak lagi diidentikkan dengan golongan Wahhabiyah, atau Wahhabiyun yang merujuk kepada paham atau ajaran dakwah yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Tamimi al-Najdi.
Artinya, Wahhabi dalam pandangan Syiah jauh lebih luas ketimbang Wahhabi yang selama ini dikenal luas oleh masyarakat musilm Nusantara yang mayoritas merujuk kepada tata cara beribadah ummat Islam di Saudi Arabia, dan biasanya didakwahkan oleh alumni-alumni Timur Tengah, aliran ini umumnya merujuk kepada mazhab fikih Imam Ahmad Bin Hanbal yang dikenal dengan Mazhab Hanbali.
Hakikatnya, teori syiahisasi dengan menggunakan istilah ‘Wahhabi’ adalah untuk menyatukan aliran gelombang penolakan terhadap mereka yang anti Syiah. Sebab, menurut mereka hanya golongan Wahhabi yang benar-benar memahami ajaran agamanya dengan baik dan benar sehingga sangat sulit dan bahkan mustahil untuk disyiahkan. Ajaran dimaksud adalah akidah yang benar dan diridhai Allah, Ahlussunnah wal Jamaah.
Teori Wahhabi juga sangat efisien menurut Syiah, sebab adanya pemetaan dan klasifikasi pengikut Ahlussunnah di Indonesia akan memudahkan kerja-kerja sistematis mereka untuk mengobarkan propaganda sekaligus sebagai efisiensi dakwah. Dengan propaganda Wahhabi sehingga semua pengikut mazhab Syafi’iyah sebagai anutan mayoritas masyarakat muslim Indonesia menjadi anti Wahhabi dan berbalik mendukung Syiah.
Efisien sebab bagi mereka, golonga Wahhabi tidak ada gunanya diajak masuk Syiah, dengan alasan apa pun, golongan ini akan terus menolak Syiah, dan, atau bahkan mengobarkan perlawanan terhadap Syiah, dan tidak segan-segan menggadaikan nyawa demi untuk membela kebenaran yang mereka yakini. Karena itu, mendakwahi para Wahhabi hanya akan menyia-nyiakan waktu, menghabiskan tenaga, buang-buang materi dan sangat tidak bermanfaat bahkan sama saja ‘bunuh diri’.
Teori Wahhabi merupakan pukulan telak bagi mereka yang selama ini yang masih berada dalam ‘pagar’ Ahlussunnah wal Jamaah namun begitu getol menyerang Wahhabi sambil bersikap lunak terhadap Syiah, atau bahkan mendukung pergerakan mereka. Umumnya, perkataan dan pernyataan golongan ini kerap menghasilkan simpati. Seperti, ‘Wahhabi itu perusak persatuan dan kesatuan, mrongrong NKRI’, atau perkataan, ‘orang yang mempermasalahkan Syiah dan Sunni adalah mereka yang terlahir belakangan’, juga pernyataan, ‘Syiah dan Sunni itu satu tujuan, hanya beda kendaraan’, atau seperti ini, ‘Saya bukan Sunni bukan pula Syiah, tapi Islam’, dan semisalnya.
Kedua. Teori ‘Jahhali’, jika ditilik dari sudut bahasa, tampak bahwa istilah itu berasal dari bahasa Arab, yaitu, ‘jahil’ yang berarti lawan dari ‘ilmu’, alias tidak mengetahui. Jahil adalah sebuah derajat yang paling terendah dalam hirarki keilmuan. Antara jahil dan berilmu terdapat kondisi yang disebut, al-syak, al-wahm, dan al-zhan. Intinya, kata ‘jahil’ adalah tidak mengetahui atau ‘adamul bisy-syai’. Namun, teori Jahhali bagi Syiah lebih umum dibanding jahil menurut pengertian bahasa dan istilah pada umumnya. Sebab, Jahhali di sini adalah golongan ulama, intelektual, kaum terpelajar, cerdik-pandai, politikus, tokoh masyarakat hingga aktivis kampus yang tidak mengetahui secara mendalam terhadap ajaran Islam, khususnya akidah Ahlussunnah wal Jamaah sehingga dengan mudah mereka disyiahkan.
Selain itu, para Jahhali adalah golongan kelas menengah ke atas dalam hirarki keilmuan dan memiliki pengaruh yang besar di tengah masyarakat, dengan ‘menyeret’ mereka masuk dalam ‘pagar’ Syiah akan mempermudah penetrasi dan penyebaran aliran sesat itu di tengah masyarakat muslim Ahlussunnah wal Jamaah.
Karena itu, para civitas akademika yang hadir dalam pertemuan di atas adalah berasal dari para Jahhali. Dan amat disayangkan karena mereka berasal dari para dosen yang mengajar di kampus-kampus ternama, termasuk  para Jahhali yang mewakili kampus-kampus ternama Makassar.
Hakikatnya, teori Jahhali ini melecehkan para ulama dan golongan berilmu namun gagal paham terhadap ajaran agamanya, sehingga dengan mudah diperalat oleh penganut Syiah. Umumnya, agen Syiah ini menyamar sebagai agen pemersatu ummat, di sana-sini menekankan pentingnya persatuan, mereduksi perbedaan sehingga yang tampak hanyalah persamaan. Muncullah istilah-istilah ‘pokoknya Islam, tidak pandang Syiah atau Sunni’. Ketika para Jahhali tidak lagi mempersoalkan sekat antara Syiah dengan Ahlussunnah, maka dengan sendirinya mereka telah mendukung penyebaran Syiah.
Yang terjadi, masuklah para Ayatullah ke masjid-masjid milik Ahlussunnah, tak terkecuali Masjid Istiqlal di Jakarta, dan Masjid Raya di Makassar.
Berkat kerja-kerja sistematis agen Syiah yang menjahili para Jahhali dari golongan politisi dan ulama su’ sehingga Ayatullah berjubah, bersurban, berturban itu leluasa menyebarkan kesesatan di tengah masyarakat Ahlussunnah. Bahan jualannya itu-itu saja, dari Maroko hingga Merauke yaitu, ‘taqrib baen al-madzahib’ menyatukan dan mempererat antarmazhab, mereka ini ngotot untuk dimasukkan sebagai salah satu mazhab fikih, padahal yang berbeda bukan hanya sekadar fikih tapi akidah yang disebut ushul. Jika akidah berbeda, maka itu bukan mazhab akan tetapi sempalan alias menyempal dari rel yang benar.
Jika dianalogikan dengan kereta api, maka rel yang benar adalah hanya milik Ahlussunnah wal Jamaah sedangkan milik Syiah berada pada rel yang salah sehingga tujuan akhir dalam beragama yaitu untuk meraih ridha dan surga Allah tidak akan pernah tercapai, bahkan mereka hanya akan mendapatkan murka dan neraka.
Ketiga. Oportunis, golongan ini dipecah menjadi dua bagian. Oportunis intelek dan opurtunis fuqara-masakin. Yang pertama adalah golongan yang tidak mau peduli tentang agamanya, apakah Syiah atau Ahlussunnah, di mana pun jika menguntungkan akan ia dukung dan ikuti. Jika harus menjadi Syiah namun di sana akan mendapatkan materi dan kesejahteraan duniawi, maka ia pun akan menjadi Syiah, tapi jika harus menjadi Wahhabi lalu mendapat materi yang setimpal, dengan senang hati pun ia akan menjadi Wahhabi. Inilah yang kerap disentil oleh KH. Bachtiar Natsir sebagai intelek dan ulama yang imannya hanya setipis uang kertas.
Oportunis kedua, adalah mereka yang berasal dari golongan fuqara dan masakin atawa fakir miskin yang juga imannya lebih tipis dari uang kertas. Pokoknya siapa pun yang dapat menyediakan makan dan fasilitas pada hari itu, maka ia  akan dukung dan bela hingga tetesan darah penghabisan. Teori Oportunis bagi Syiah laksana mengukir di atas air, tidak akan mendatangkan manfaat bagi penyebaran paham Syiah.
Teori Maling
Albert Einstein (1879-1955) pernah menyatakan bahwa seluruh manusia dilahirkan dengan jenius, hanya saja jika ukurannya ikan harus bisa memanjat, maka tidak akan pernah ada yang jenius. Maka, para pencuri pun orang jenius dan bekerja dengan teori-teori yang mereka ciptakan. Memang, ada saja yang gagal, tapi itu terjadi di luar kebiasaan umum dan prediksi. Pendapat yang mengatakan, ‘orang bodoh yang malas akan jadi pencuri dan orang pintar yang malas akan menjadi perampok’, tidak sepenuhnya benar, sebab para pencuri adalah manusia yang berbuat setelah melakukan kalkulasi untung-rugi dengan matang. Pencuri dimaksud adalah sama dengan sebutan ‘maling’.
Dalam dunia ‘permalingan’ juga memiliki teori yang diadopsi oleh kaum Syiah yang memang mereka ini adalah para ‘maling akidah’. Teori maling tersebut adalah:
Pertama. ‘Kaya dan aman’ atau golongan kaya yang hidupnya penuh dengan pengamanan. Mereka ini tidak segan-segan menggelontorkan 10 persen penghasilannya untuk menyewa pengaman mulai dari anjing galak, CCTV, alarm, Satpan, hingga Polisi dan Kopassus. Mengincar harta mereka sama saja dengan bunuh diri, dan akan mengakibatkan mati konyol.
Kedua. ‘Kaya tanpa Pengaman’ atau golongan kelas menengah ke atas, alias kaya namun tidak memiliki pengaman seperti teori pertama. Biasanya golongan ini menyatu dengan masyarakat sekitar dan berpikiran konvensional seperti, daripada harus membayar ongkos sekuriti yang mahal lebih baik duit itu disedekahkan atau dipakai bayar zakat dan infak. Atau mereka kaya tapi bakhil sehingga tidak terpikir untuk membeli dan menyewa pangaman, golongan ini sangat mudah dan berpotensi disatroni maling.
Ketiga. ‘Fakir-miskin’ atau golongan yang tidak ada manfaatnya bagi pencuri sebab tidak ada yang bisa dicuri. Rumah terbuka 24 jam sekalipun tidak mengundang para pencuri untuk masuk ke dalam, karena itu hanya mendatangkan kesia-siaan, bahkan membahayakan dirinya.
Karena itu, Syiah hanya akan berusaha mati-matian menyebarkan paham sesatnya kepada para Jahhali sebagaimana para maling yang mengincar golongan kaya yang teledor tanpa pengaman. Dan, isu-isu Wahhabi yang selama ini dipakai Syiah untuk menyerang para Ahlusunnah hakikatnya adalah sebuah drama ‘sengkuni’ yang menggunakan tangan Ahlussunnah untuk ‘menempeleng’ Ahlussunnah lainnya, lalu penganut Syiah tertawa sambil bersorak.
Terkuaknya ‘teori maling’ dalam syiahisasi Indonesia seharusnya menjadikan para pengikut Ahlussunnah baik secara personal atau kolektif, dan dari organisasi mana pun untuk solid, bersatu, membendung dan melawan penyebaran  Syiah di bumi Ahlussunnah. Sebab, jika aliran sesat ini terus melaju hanya akan melahirkan konflik horizontal yang menguras tenaga dan merugikan keutuhan bangsa Indonesia. Wallahu A’lam!
Peneliti MIUMI Pusat; Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor

Pengamat Sejarah: Politisasi Isu Wahabi Sebagai Pemecah Belah Umat

Sabtu, 19 September 2015 - 22:37 WIB
Nama Wahabi sengaja dipilih –para pembencinya- agar dikesankan negatif seperti gerakan Wahabiyah abad keempat di Maroko, yang dinahkodai seorang Khawarij bernama: Wahab bin Rustum
Dr Tiar Anwar Bachtiar
Bertempat di aula AQL Islamic Center, Tebet Jakarta Selatan, pada hari Sabtu 19 September 2015, Forum Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) menyelenggarakan diskusi menarik tentang isu Wahabi.
Kajian perdana yang disebut Ngobrol Bareng Sejarah Indonesia (NGOBRAS) diikuti 89 peserta dengan mengangkat tema; “Gerakan Pembaruan Islam Awal Abad 20”.
Tema ini diangkat bersamaan dengan memanasnya kembali isu wahabisme di Indonesia. Tentu saja, sebagai umat Islam diperlukan kajian serius agar tidak terjerumus pada berita-berita yang simpang-siur dan provokatif.
Acara dimulai pukul 10.00 WIB dan dibuka oleh Beggy Rizkiyansyah, Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), selaku moderator.
Dalam memaparkan sinopsis ringkas tentang tema kajian, Beggy mengharap agar kajian sejarah seperti ini bisa konsisten dilaksanakan setiap bulan.
Setelah dirasa cukup, acara diserahkan langsung kepada presentator Tiar Anwar Bachtiar, doktor sejarah lulusan Universitas Indonesia ini.
Dalam pembukaan, Tiar menandaskan pentingnya sejarah sebagai referensi bagi tindakan umat.

Selanjutnya, Ketua Persatuan Pemuda PERSIS ini menjelaskan panjang lebar mengenai sejarah muncunya Wahabi serta pengaruhnya pada Pembaruan Islam Indonesia pada awal 20-an hingga masa sekarang.

Ada catatan penting yang beliau sampaikan, di antaranya; penyebutan istilah Wahabi sebenarnya kuranglah tepat. Pasalnya, kalau mau konsisten, seharusnya kalau dinisbahkan kepada Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, maka semestinya bernama: Muhammadiyah.
“Maka dari itu, kita harus berhati-hati dalam menggunakan istilah,” ujar Tiar.
Lebih jauh ia benang merah, penyebutan istilah Wahabi sangat sarat muatan politis. Sebab nama Wahabi sengaja dipilih –oleh pembencinya- supaya dikesankan negatif seperti gerakan Wahabiyah pada abad keempat di Maroko, yang dinahkodai seorang Khawarij bernama: Wahab bin Rustum.

“Masalah konflik antara Wahabi dan Asy`ari sudah terjadi beberapa abad yang lalu, kalau sekarang memanas kembali berarti ada yang menunggangi,” ujarnya.

Paling tidak –menurut analisis Tiar- ada dua hal mendasar yang menyebabkan isu ini memanas kembali.
Pertama, isu ini dipolitisasi sedemikian rupa oleh pihak berkepentingan untuk memecah-belah umat.

Tiar menyebut adagium menarik yang sempat dikemukakan terkait masalah konflik internal umat Islam ini.

“Konflik yang terjadi sebenarnya bukan karena perbedaan pendapat, tapi perbedaan pendapatan,” demikian ia mengistilahkan.
Artinya, konflik perbedaan sebenarnya sudah lama usai. Namun karena ada kepentingan politis, isu ini diangkat kembali.
Kedua, buntunya komunikasi umat. Akibatnya terjadi kesenjangan yang luar biasa di antara umat Islam. Apalagi, jika masalah khilafiyah furu`iyah (perbedaan pada masalah agama yang cabang bukan pokok) dibesar-besarkan, maka akan menjadi semakin runyam.
Solusi paling riil untuk menghadapinya jelasnya ialah tidak memperbesar konflik di wilayah furu`iyah, sembari dibangun kembali semangat bertoleransi, kemudian perlu dijalin komunikasi yang baik antar umat.
Selama umat Islam tidak “terpadu”(tergantung pada duit), tak bermuatan kepentingan politik, serta mampu menjalankan komunikasi dengan baik, maka Insyaallah isu lama seperti Wahabisme tidak akan berakibat pada konflik yang lebih besar.
“Lebih baik energi umat Islam disatukan pada hal-hal yang disepakati, serta tolerir terhadap yang tidak disepakati agar tidak terbuang percuma.”
Menjelang Pukul 12.00 siang, diskusi pun dipungkasi dengan beberapa harapan besar dari pembicara.

Pertama, ia meminta agar umat bisa menjaga persatuan dan tidak terpengaruh dengan istilah-istilah provokatif. Kedua, pentingnya menjalin komunikasi yang baik antarumat Islam.*/Kiriman Mahmud Budi Setiawan
hidayatullah.com