Juga hadits "apa-apa yang ada
didalamnya sunnahku dan sunnah para shahabatku"
Riwayat berpegang dengan Al-Qur'an dan Sunnah
adalah sah wahai Secondprince !!!
Artikel ini adalah pembanding atas
tulisan Secondprince.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang
Diriwayatkan Dengan Sanad Yang Bersambung.
Telah dinyatakan sebelumnya bahwa dari
sumber-sumber yang ada ternyata ada 4 jalan sanad hadis “Kitab Allah dan
SunahKu”. 4 jalan sanad itu adalah
1. Jalur Ibnu Abbas ra
2. Jalur Abu Hurairah ra
3. Jalur Amr bin Awf ra
4. Jalur Abu Said Al Khudri ra
Jalan Sanad Ibnu Abbas
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan
jalan sanad dari Ibnu Abbas dapat ditemukan dalam Kitab Al Mustadrak Al Hakim
jilid I hal 93 dan Sunan Baihaqi juz 10 hal 4 yang pada dasarnya juga mengutip
dari Al Mustadrak. Dalam kitab-kitab ini sanad hadis itu dari jalan Ibnu Abi
Uwais dari Ayahnya dari Tsaur bin Zaid Al Daily dari Ikrimah dari Ibnu Abbas
bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah
meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian
tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah RasulNya”.
Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena
terdapat kelemahan pada dua orang perawinya yaitu Ibnu Abi Uwais dan Ayahnya.
1. Ibnu Abi Uwais
Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al
Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 mengenai biografi Ibnu Abi Uwais
terdapat perkataan orang yang mencelanya, diantaranya
●Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in
“Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa
Ibnu Abi Uwais dan ayahnya suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis
atau mukhallith dan suka berbohong.
●Menurut Abu Hatim Ibnu Abi Uwais itu mahalluhu
ash shidq atau tempat kejujuran tetapi dia terbukti lengah.
●An Nasa’i menilai Ibnu Abi Uwais dhaif dan
tidak tsiqah. Menurut Abu Al Qasim Al Alkaiy
● “An Nasa’i sangat jelek menilainya (Ibnu Abi
Uwais) sampai ke derajat matruk(ditinggalkan hadisnya)”.
●Ahmad bin Ady berkata “Ibnu Abi Uwais itu
meriwayatkan dari pamannya Malik beberapa hadis gharib yang tidak diikuti oleh
seorangpun.”
Dalam Muqaddimah Al Fath Al Bary halaman
391 terbitan Dar Al Ma’rifah, Al Hafiz Ibnu Hajar mengenai Ibnu Abi Uwais
berkata ”Atas dasar itu hadis dia (Ibnu Abi Uwais) tidak dapat dijadikan hujjah
selain yang terdapat dalam As Shahih karena celaan yang dilakukan Imam Nasa’i
dan lain-lain”.
Dalam Fath Al Mulk Al Aly halaman 15, Al
Hafiz Sayyid Ahmad bin Shiddiq mengatakan “berkata Salamah bin Syabib Aku
pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan “mungkin aku membuat hadis
untuk penduduk madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu di
antara mereka”.
Jadi Ibnu Abi Uwais adalah perawi yang
tertuduh dhaif, tidak tsiqat, pembohong, matruk dan dituduh suka membuat hadis.
Ada sebagian orang yang membela Ibnu Abi Uwais dengan mengatakan bahwa dia
adalah salah satu Rijal atau perawi Shahih Bukhari oleh karena itu hadisnya
bisa dijadikan hujjah.
Pernyataan ini jelas tertolak karena
Bukhari memang berhujjah dengan hadis Ismail bin Abi Uwais tetapi telah
dipastikan bahwa Ibnu Abi Uwais adalah perawi Bukhari yang diperselisihkan oleh
para ulama hadis.
Seperti penjelasan di atas terdapat jarh
atau celaan yang jelas oleh ulama hadis seperti Yahya bin Mu’in, An Nasa’i dan
lain-lain. Dalam prinsip Ilmu Jarh wat Ta’dil celaan yang jelas didahulukan
dari pujian(ta’dil).
Oleh karenanya hadis Ibnu Abi Uwais tidak
bisa dijadikan hujjah.
Mengenai hadis Bukhari dari Ibnu Abi
Uwais, hadis-hadis tersebut memiliki mutaba’ah atau pendukung dari
riwayat-riwayat lain sehingga hadis tersebut tetap dinyatakan shahih. Lihat
penjelasan Al Hafiz Ibnu Hajar dalam Al Fath Al Bary Syarh Shahih Bukhari,
Beliau mengatakan bahwa hadis Ibnu Abi Uwais selain dalam As Shahih(Bukhari dan
Muslim) tidak bisa dijadikan hujjah. Dan hadis yang dibicarakan ini tidak
terdapat dalam kedua kitab Shahih tersebut, hadis ini terdapat dalam Mustadrak
dan Sunan Baihaqi.
TANGGAPAN :
Mengenai Ibnu Abi Uwais yang
namanya adalah Ismail, Ibnu Hajar berkata :
وهذا هو الذى بان للنسائى منه حتى تجنب
حديثه و اطلق القول فيه بأنه ليس بثقة ، و لعل هذا كان من إسماعيل فى شبيبته ثم
انصلح .
“Inilah riwayat yang
menyebabkan An-Nasaai menjauhi haditsnya, dan memutlakan pernyataan tersebut
padanya bahwasannya dia bukanlah perawi yang tsiqah. Dan barangkali hal ini
adalah keadaan Ismail di masa remajanya lalu dia berubah memperbaiki
dirinya.”(Tahdzib At-Tahdzib,1/311)
Terlebih terdapat ta’dil dari
Abu Hatim, sehingga keadaan Ismail adalah lemah bukan dari segi ‘adalahnya.
Ditambahkan lagi bahwa Ismail
termasuk perawi Imam Bukhari, semakin menguatkan akan kelemahan Ismail dari
segi ke-dhabit-an-nya.
2. Abu Uwais
●Dalam kitab Al Jarh Wa At Ta’dil karya Ibnu Abi
Hatim jilid V hal 92, Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya Abu Hatim Ar Razy
yang berkata mengenai Abu Uwais “Ditulis hadisnya tetapi tidak dapat dijadikan
hujjah dan dia tidak kuat”. Ibnu Abi Hatim menukil dari Yahya bin Mu’in yang
berkata “Abu Uwais tidak tsiqah”.
●Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz
Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin
Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in
bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya(Abu Uwais) suka mencuri hadis, suka
mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong.
Dalam Al Mustadrak jilid I hal 93, Al
Hakim tidak menshahihkan hadis ini. Beliau mendiamkannya dan mencari syahid
atau penguat bagi hadis tersebut, Beliau berkata ”Saya telah menemukan syahid
atau saksi penguat bagi hadis tersebut dari hadis Abu Hurairah ra”. Mengenai
hadis Abu Hurairah ra ini akan dibahas nanti, yang penting dari pernyataan itu
secara tidak langsung Al Hakim mengakui kedhaifan hadis Ibnu Abbas tersebut
oleh karena itu beliau mencari syahid penguat untuk hadis tersebut .Setelah
melihat kedudukan kedua perawi hadis Ibnu Abbas tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa hadis ”Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas adalah
dhaif.
TANGGAPAN :
Jarh dari Yahya (suka mencuri
hadits, mukhtalith, dan pembohong) jika dikroscek dengan jarh beliau yang lain
(tidak tsiqah) ditambah dengan ta’dil Ibnu Abi Hatim serta pencarian syahid
riwayat ini oleh Imam Hakim menunjukkan bahwa riwayat Abu Uwais ini hanya
bermasalah dalam ke-dhabit-an-nya.
Jalan Sanad Abu Hurairah ra
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan
jalan sanad Abu Hurairah ra terdapat dalam Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal
93, Sunan Al Kubra Baihaqi juz 10, Sunan Daruquthni IV hal 245, Jami’ As Saghir
As Suyuthi(no 3923), Al Khatib dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94, At
Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr, dan Al Ihkam VI hal 243 Ibnu Hazm.
Jalan sanad hadis Abu Hurairah ra adalah
sebagi berikut, diriwayatkan melalui Al Dhaby yang berkata telah menghadiskan
kepada kami Shalih bin Musa At Thalhy dari Abdul Aziz bin Rafi’dari Abu Shalih
dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda “Bahwa Rasulullah bersabda
“Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang jika
kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu
Kitabullah dan SunahKu.Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiKu di Al
Haudh”.
Hadis di atas adalah hadis yang dhaif
karena dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak bisa dijadikan hujjah yaitu
Shalih bin Musa At Thalhy.
Dalam Kitab Tahdzib Al Kamal ( XIII hal
96)
Berkata Yahya bin Muin bahwa riwayat
hadis Shalih bin Musa bukan apa-apa.
●Abu Hatim Ar Razy berkata hadis Shalih bin Musa
dhaif.
●Imam Nasa’i berkata hadis Shalih bin Musa tidak
perlu ditulis dan dia itu matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya).
Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqalany dalam
kitabnya Tahdzib At Tahdzib IV hal 355 menyebutkan
●Ibnu Hibban berkata bahwa Shalih bin Musa
meriwayatkan dari tsiqat apa yang tidak menyerupai hadis itsbat(yang kuat)
sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut ma’mulah
(diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai untuk
berhujjah.
●Abu Nu’aim berkata Shalih bin Musa itu matruk
Al Hadis sering meriwayatkan hadis mungkar.
Dalam At Taqrib (Tarjamah :2891) Al
Hafidz Ibnu Hajar Al Asqallany menyatakan bahwa Shalih bin Musa adalah perawi
yang matruk(harus ditinggalkan).
Al Dzahaby dalam Al Kasyif (2412)
menyebutkan bahwa Shalih bin Musa itu wahin (lemah).
Dalam Al Qaulul Fashl jilid 2 hal 306
Sayyid Alwi bin Thahir ketika mengomentari Shalih bin Musa, beliau menyatakan
bahwa
●Imam Bukhari berkata”Shalih bin Musa adalah
perawi yang membawa hadis-hadis mungkar”.
Kalau melihat jarh atau celaan para ulama
terhadap Shalih bin Musa tersebut maka dapat dinyatakan bahwa hadis “Kitab
Allah dan SunahKu” dengan sanad dari Abu Hurairah ra di atas adalah hadis yang
dhaif.
Adalah hal yang aneh ternyata As Suyuthi
dalam Jami’ As Saghir menyatakan hadis tersebut hasan, Al Hafiz Al Manawi
menshahihkannya dalam Faidhul Qhadir Syarah Al Jami’Ash Shaghir dan Al Albani
juga telah memasukkan hadis ini dalam Shahih Jami’ As Saghir. Begitu pula yang
dinyatakan oleh Al Khatib dan Ibnu Hazm.
Menurut kami penshahihan hadis tersebut
tidak benar karena dalam sanad hadis tersebut terdapat cacat yang jelas pada
perawinya, Bagaimana mungkin hadis tersebut shahih jika dalam sanadnya terdapat
perawi yang matruk, mungkar al hadis dan tidak bisa dijadikan hujjah. Nyata
sekali bahwa ulama-ulama yang menshahihkan hadis ini telah bertindak
longgar(tasahul) dalam masalah ini.
TANGGAPAN :
Telah berkata Abu Ahmad bin
‘Adi di dalam mendudukkan keadaan Shalih bin Musa :
عامة ما يرويه لا يتابعه عليه أحد . و
هو عندى ممن لا يتعمد الكذب ، و لكن يشبه عليه و يخطىء.
“Pada umumnya apa yang ia
riwayatkan tidak ada satu pun orang yang mengikutinya. Menurut saya dia
bukanlah orang yang dengan sengaja berdusta, akan tetapi terdapat kesamaran
atasnya dan kekeliruan.” (Tahdzibul-Kamal, Al-Mizzi)
Begitu juga Al-Juzajani
mengatakan :
ضَعِيْفُ الحَدِيْثِ عَلَى حُسْنِهِ.
“Dia adalah dhaiful hadits di
atas perangai baiknya.”(Siru A’laamun Nubala, 8/181)
Dari keterangan diatas,
disimpulkan mereka yang tidak mengetahui keadaan Shalih bin Musa menjarhnya
akibat kesamaran den kekeliruannya, akan tetapi kesamaran dan kekeliruannya
tersebut diiringi dengan baiknya perangai beliau (tidak sengaja berdusta).
Hal ini dapat disimpulkan
Shalih bin Musa seorang yang lemah dari segi ke-dhabit-an-nya.
Dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa kedua riwayat tersebut dapat naik menjadi hasan lighairihi
sah dan diterima.
Berpegang
Teguh Pada Ahlul Bait Nabi SAW Atau Sahabat Nabi SAW
Berpegang Teguh Pada Ahlul Bait Nabi SAW
Dan Berpegang Teguh Pada Sahabat Nabi SAW
Mahzab Syiah adalah Mahzab Ahlul Bait
Seperti yang dijelaskan sebelumnya Syiah
mengambil Sunah Rasulullah SAW dari Ahlul Bait. Dalam pandangan Syiah Ahlul
Bait adalah pedoman bagi umat Islam setelah Al Quran. Hal ini ternyata sesuai
dengan apa yang dinyatakan Rasulullah SAW sendiri
Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai
manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian
berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati
Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan
oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah
no 1761).
Perlu dijelaskan bahwa ada banyak sekali
hadis keutamaan Ahlul Bait yang menunjukkan bahwa Mereka memiliki kemuliaan
yang besar sehingga setiap umat islam diwajibkan untuk mencintai Mereka. Tetapi
dalam pembahasan ini hanya difokuskan terhadap hadis yang menjelaskan dengan
kalimat yang lugas dan jelas bahwa Ahlul Bait adalah pedoman bagi umat Islam.
Dalam mahzab Syiah kedudukan Ahlul Bait Nabi SAW sebagai pedoman menyebabkan
timbulnya pandangan kema’suman Ahlul Bait. Hal ini merupakan konsekuensi logis
dari kedudukan Ahlul Bait sebagai Pedoman Umat islam. Sang pedoman jelas sekali
harus selalu benar.
TANGGAPAN SAYA :
Kerancuan SP, mengatakan syi'ah
bermadzab ahlul bait berdasarkan riwayat diatas, padahal mereka tidak mau
menggunakan riwayat dari orang-orang yang bermadzab shahabat.
Tidak benar bahwa syiah
bermadzab ahlul bait.
Kita lihat syi'ah, mereka
mempunyai hadits sendiri yang bersih dari periwayatan dari ulama madzab
shahabat, dalam periwayatan mereka tidak ada periwayatan para imam dari
tokoh-tokoh madzab shahabat, kecuali tokoh-tokoh tersebut adalah tokoh-tokoh
yang di klaim sebagai pengikut mereka. Adakah riwayat mereka Ali ra dari Abu
Bakar, Umar, dll, tokoh-tokoh yang madzab shahabat yang mereka benci ?
Adakah Ali ra seperti itu ?
Adakah Hasan seperti itu ? Adakah Husen seperti itu ? adakah ... adakah ....?
Bertaburan riwayat-riwayat
madzab shahabat, bahwa Ali, Hasan, Husen, Ali bin Husen, dll meriwayatkan dari
tokoh-tokoh madzab shahabat yang dibenci oleh syi'ah.
Mahzab Sunni adalah Mahzab Sahabat
Mahzab Sunni mengambil hadis Rasulullah
SAW dari para Sahabat. Hal ini berdasarkan banyaknya keutamaan yang dimiliki
oleh mereka para Sahabat. Dalam mahzab Sunni Sahabat Nabi memiliki
keutamaan-keutamaan yang besar. Ada banyak hadis yang menjelaskan tentang ini.
Sahabat Nabi jelas sekali belajar hadis dari Rasulullah SAW oleh karena itu
mengambil hadis dari Sahabat Nabi SAW adalah suatu hal yang rasional dengan
sudut pandang ini. Sayangnya tidak ada hadis yang lugas dan jelas yang
menyatakan bahwa Sahabat Nabi adalah pedoman bagi umat Islam agar tidak
tersesat. Semua hadis yang dijadikan dasar dalam hal ini adalah hadis-hadis
keutamaan mereka yang menjelaskan betapa mulianya mereka. Oleh karena itu Sunni
tidak pernah menyatakan bahwa Sahabat Nabi itu ma’sum. Hal ini memiliki
konsekuensi logis bahwa Sahabat Nabi tidak selalu benar.
Ada sebagian hadis yang sering dijadikan
dasar bahwa Sahabat Nabi adalah pedoman bagi umat Islam.
Rasulullah SAW bersabda “Umat ini akan
terpecah belah menjadi 73 golongan . Mereka semua ada di neraka kecuali satu
golongan”. Para sahabat bertanya “Siapakah golongan itu?”. Beliau menjawab “Apa
yang Aku dan para sahabatku ada diatasnya pada hari ini”.(Hadis Riwayat
Thabrani dalam Mu’jam As Saghir jilid I hal 256)
Kemudian juga hadis ini
Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya
bani Israil telah berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku akan berpecah
belah menjadi 73 golongan . Mereka semua di neraka kecuali satu golongan “.
Para Sahabat bertanya “Dan siapakah golongan (yang selamat) itu wahai
Rasulullah SAW?”. Beliau menjawab “Apa yang Aku dan para sahabatku ada
diatasnya”. (Hadis Riwayat Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi Kitab Al Iman ‘An
Rasulillah Bab Ma Ja’a Fi Iftiraqi Hadzihi Al Ummah no 2565)
Kedua hadis tersebut adalah hadis yang dhaif
. Hadis pertama riwayat Thabrani dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Sufyan
dimana Al Uqaili berkata Hadisnya tidak bisa diikuti. Oleh karena itu Al Uqaili
memasukkan hadis ini dalam kitabnya Adh Dhu’afa Al Kabir no 938. Hadis kedua
riwayat Tirmidzi dalam sanadnya terdapat Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dan
sebagaimana dijelaskan dalam At Taqrib bahwa dia adalah dhaif. Oleh karena itu
Al Mubarakfuri menyatakan dhaifnya hadis tersebut dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh
Sunan Tirmidzi hadis no 2565.
TANGGAPAN :
Perhatikan perkataan Al Uqailiy
(yang diiringi Imam Dzahabi dalam Diwan dhuafa' wal matrukin no 2187) :
Abdullah bi Sufyan dhaif, tidak ada mutaba'ah dalam haditsnya.
Dari jarh diatas dapat difahami
bahwa Abdullah bin Sufyan bukan seorang yang majhul.
Dari jarh diatas dapat difahami
bahwa Abdullah bin Sufyan tidak bermasalah dalam ke-'adalah-annya, kecuali
kalau ada qarinah jarh yang lain.
Keterangannya, jarh "tidak
ada mutaba'ahnya" bila disematkan pada perawi yang bermasalah
ke-'adalah-annya, maka akan sia-sia. Perawi yang cacat ke-'adalah-annya baik
ada mutaba'ah maupun tidak, tetap saja sebagai perawi yang ditolak
periwayatannya.
Dan ternyata riwayat Al Ifriqi
(lemah dalam segi ke-dhabit-annya) dapat menjadi mutaba'ah bagi riwayat
Abdullah bin Sufyan. (pembahasan
selengkapnya di sini)
Kesimpulan
Apa yang dapat disimpulkan dari ini
adalah Rasulullah SAW sendiri telah menjelaskan bahwa pegangan dan pedoman bagi
umat Islam agar tidak sesat adalah Hendaknya berpegang teguh pada Al Quran dan
Ahlul Bait Nabi. Tidak ada suatu penjelasan lugas dan jelas yang shahih bahwa
Rasulullah SAW menganjurkan untuk berpegang pada sahabat agar umat Islam tidak
sesat.
Salam Damai
TANGGAPAN :
Riwayat tsaqalain adalah
shahih, tapi bukan seperti yang difahami SP.
Riwayat tsaqalain adalah
wasiyat berpegang teguh dengan kitabullah dan berbuat baik kepada ahlul bait
(pembahasannya di sini)
KESIMPULAN AKHIR : Bahwa madzab
ahlul bait adalah mengamalkan riwayat "maa ana alaihi wa ashhabi"
Secondprince (mr. J algar) melemahkan hadits "apa-apa yang ada
didalamnya sunnahku dan sunnah para shahabatku"
SP menulis :
Kedudukan Hadis “Apa Yang Aku Dan Para
SahabatKu Ada Di Atasnya”
Hadis Iftiraqul Ummah adalah hadis
masyhur di kalangan umat Islam. Hadis tersebut mengatakan bahwa Umat Islam akan
terpecah belah menjadi 73 golongan. Sebagian orang yang berasal dari mahzab
salafy mengklaim bahwa Salafy adalah golongan yang selamat dari ke-73 golongan
tersebut. Di antara mereka ada yang menyatakan bahwa golongan yang selamat
adalah golongan yang mengikuti jejak Para Sahabat Nabi atau memahami Al Quran
dan Sunnah dengan pemahaman para Sahabat. Sayangnya hadis yang mereka jadikan
dasar dalam masalah ini adalah hadis yang sangat dhaif.
.
Hadis Iftiraqul Ummah yang akan dibahas
diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi 5/26 no 2641.
حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو داود الحفري عن
سفيان الثوري عن عبد الرحمن بن زياد الأفريقي عن عبد الله بن يزيد عن عبد الله بن
عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ليأتين على أمتي ما أتى على بني
إسرائيل حذو النعل بالنعل حتى إن كان منهم من أتى أمه علانية لكان في أمتي من يصنع
ذلك وإن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة
كلهم في النار إلا ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابي
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin
Ghaylan yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Dawud Al Hafari dari
Sufyan Ats Tsawri dari Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dari Abdullah bin Yazid
dari Abdullah bin Amr yang berkata “Rasulullah SAW bersabda “Sungguh akan
datang pada UmatKu sesuatu yang datang pada bani Israil seperti sandal yang
berjajar dengan sandal yang lain hingga ada diantara mereka yang menyetubuhi
istrinya terang-terangan dan pada umatku akan ada yang demikian. Sesungguhnya
bani Israil akan terpecah belah menjadi 72 golongan sedangkan umatku akan
terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka kecuali satu
golongan. Para sahabat bertanya “siapakah golongan itu wahai Rasulullah SAW?”.
Beliau SAW menjawab “Apa yang Aku dan Para SahabatKu ada di atasnya”.
Syaikh Al Albani telah memasukkan hadis
ini dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 2641 seraya berkata bahwa hadis ini hasan.
Pernyataan Beliau sudah jelas keliru dan mengandung kerancuan. Hadis ini
sendiri sanadnya dhaif dan jika Syaikh menghasankan hadis Tirmidzi ini
berdasarkan penguat dari hadis-hadis Iftiraq Al Ummah yang lain maka Beliau
sudah salah alamat. Hadis Iftiraq Al Ummah lain yang bersanad shahih memang
mengandung kata-kata “akan terpecah belah menjadi 73 golongan” tetapi tidak
satupun dari hadis-hadis penguat tersebut yang menyebutkan bahwa golongan yang
selamat itu adalah “Apa yang Aku dan Para SahabatKu ada di atasnya”. Tambahan
ini sangat jelas dhaif baik dari segi sanad maupun matannya. Oleh karena itu
jelas sekali hadis Iftiraq Al Ummah yang lain tidak bisa dijadikan penguat bagi
riwayat Tirmidzi di atas.
Penyebab dhaifnya hadis Tirmidzi di atas
adalah Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dimana ia adalah seorang perawi yang
dhaif. Ibnu Hajar dalam Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 358 telah menyebutkan
biografi Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dimana ia telah dilemahkan oleh banyak
ulama diantaranya Ibnu Ma’in, An Nasa’i, Yahya bin Sa’id, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu
Kharrasy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim. Di antaranya Ibnu Hajar
mengutip
وقال بن أبي خيثمة عن بن معين ضعيف
Ibnu Abi Khaitsamah berkata dari Ibnu
Ma’in “dhaif”.
وقال النسائي ضعيف وقال بن خزيمة لا يحتج به وقال
بن خراش متروك
An Nasa’i berkata “dhaif”. Ibnu Khuzaimah
berkata “tidak bisa dijadikan hujjah” dan Ibnu Kharrasy berkata “matruk”.
An Nasa’i telah memasukkan Abdurrahman
bin Ziyad ke dalam Kitabnya Ad Dhu’afa no 361 dan berkata
عبد الرحمن بن زياد بن أنعم الإفريقي ضعيف
Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al Ifriqi
dhaif
Daruquthni juga memasukkan Abdurrahman
bin Ziyad dalam kitabnya Ad Dhu’afa no 338 dan berkata
عبدالرحمن بن زياد بن أنعم الأفريقي، ليس بالقوي
Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al Ifriqi
tidak kuat.
Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi memang
dikenal dhaif sehingga banyak kitab Ad Dhu’afa menyebutkan namanya. Selain
Nasa’i dan Daruquthni, Ibnu Hibban juga menyebutkannya sebagai perawi dhaif
dalam Al Majruhin no 586 seraya berkata bahwa Abdurrahman bin Ziyad sering
meriwayatkan hadis-hadis palsu dari para perawi tsiqat. Al Uqaili juga memasukkan
nama Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dalam kitabnya Ad Dhu’afa 2/332 no 927 dan
Adz Dzahabi juga memasukkan nama Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dalam Mughni
Ad Dhu’afa no 3566 dan mengatakan bahwa ia seorang yang dikenal dhaif dan
dinyatakan dhaif oleh Ibnu Ma’in, Nasa’i, Daruquthni dan Ahmad.
Selain dalam Sunan Tirmidzi ternyata
hadis dengan matan “Apa yang Aku dan Para SahabatKu ada di atasnya” juga
diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jam As Shaghir 2/29 no 724 dan Mu’jam Al
Ausath 5/137 no 4886
حدثنا عيسى بن محمد السمسار الواسطي حدثنا وهب بن
بقية حدثنا عبد الله بن سفيان المدني عن يحيى بن سعيد الأنصاري عن أنس بن مالك قال
قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلهم
في النار إلا واحدة قالوا وما هي تلك الفرقة قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي
Telah menceritakan kepada kami Isa bin
Muhammad Al Wasithi yang berkata telah menceritakan kepada kami Wahab bin
Baqiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sufyan Al
Madani dari Yahya bin Sa’id Al Anshari dari Anas bin Malik yang berkata
Rasulullah SAW bersabda “Umat ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan.
Mereka semua ada di neraka kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya
“siapakah golongan itu”. Beliau SAW menjawab “Apa yang Aku dan para SahabatKu ada
di atasnya pada hari ini”.
At Thabrani berkata dalam Mu’jam As
Shaghir 2/29 no 724 setelah menyebutkan hadis ini
لم يروه عن يحيى إلا عبد الله بن سفيان
Tidak diriwayatkan dari Yahya kecuali
oleh Abdullah bin Sufyan
Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena
Abdullah bin Sufyan. Al Uqaili menyebutkan Abdullah bin Sufyan dalam kitabnya
Ad Dhu’afa 2/262 no 815 dan berkata
عبد الله بن سفيان الخزاعي واسطي عن يحيى بن سعيد
لا يتابع على حديثه
Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i Al Wasithi meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id,
tidak diikuti hadisnya.
Setelah itu Al Uqaili membawakan hadis
riwayat Thabrani ini sebagai penegasan akan kedhaifan riwayat tersebut dan
tidak layak untuk diikuti. Adz Dzahabi menyebutkan Abdullah bin Sufyan dalam
kitabnya Mughni Ad Dhu’afa no 3197 dan Adz Dzahabi juga memasukkan Abdullah bin
Sufyan sebagai perawi dhaif dalam kitab Diwan Ad Dhu’afa Wal Matrukin no 2187.
Oleh karena itu sudah jelas riwayat Thabrani inipun tidak layak untuk dijadikan
hujjah.
Selesai perkataan
secondprince ......
TANGGAPAN KAMI :
Ada yang kurang dalam jarh dan ta'dil
terhadap Abdurrahman bin Ziyad, yaitu :
Imam Tirmidzi berkata : "Aku melihat
Muhammad memuji Al Ifriqi dengan kebaikan dan menguatkan perkaranya.
Oleh karena itu Al-Haafidh Ibnu
Hajar menyimpulkan perkataan para ahli hadits terhadap ‘Abdurrahman bin Ziyaad
Al-Ifriqiy rahimahullah dengan :“Lemah dalam jurusan hapalannya”
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 578 no. 3887].
Adapun jarh yang terkesan bahwa
Abdurahman sebagai seorang pendusta sehingga tercacat 'adalahnya adalah jarh
yang berlebih-lebihan, dikarenakan hal ini disandarkan kepada Ibnu Hibban.
Pertanyaan sederhananya : Apakah ada
riwayat orang tsiqah yang dipalsukan oleh Al Ifriqi ? Apakah ada ulama selain
Ibnu Hibban yang menjarh 'adalah Al Ifriqi secara jelas ? Jawabannya : tidak
ada !
Jadi, Abdurrahman bin Ziyad adalah
seorang yang lemah dalam hafalannya.
Mengenai Abdullah bin Sufyan, jarh
"tidak ada mutaba'ah", "kesendirian" merupakan jarh yang
digunakan yang berkaitan dengan kelemahan hafalannya, bukan berkaitan dengan
sifat 'adalah.
Dan juga dari uraian diatas dapat kita
ketahui bahwa Al Ifriqi dan Abdullah bin Sufyan bukan seorang yang majhul.
Sehingga dapat kita fahami bahwa
kelemahan dalam hafalan mereka dan ke-tidak majhulan mereka, mengindikasikan
bahwa mereka berdua tidak bermasalah dalam hal ke-'adalah-an.
Seorang yang yang bermasalah tentang 'adalah,
maka tidak berguna baginya jarh "infirad" atau "tidak ada
mutaba'ah", jarh tersebut hanya diperuntukkan bagi perawi yang tidak
bermasalah dalam ke-'adalah-an.
Kesimpulannya, bahwa dua riwayat diatas
diriwayatkan oleh dua orang yang tidak majhul, dan tsiqat, hanya lemah dari
segi hafalannya, sehingga keduanya dapat saling menguatkan, menjadi riwayat
yang hasan lighairihi, SAH DAN DITERIMA KEBERADAANNYA.
Telah datang bantahan dari
secondprince ....
SP menulis :
Orang ini (yang dimaksud
adalah saya) seolah-olah ingin mengesankan bahwa kami tidak mengetahui ada
beberapa ulama yang menta’dil Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy. Orang ini juga
ingin mengesankan bahwa kami hanya bertaklid buta pada jarh Ibnu Hibbaan.
Hal ini jelas tidak benar,
kami mengetahui bahwa ada beberapa ulama yang menta’dilkan Abdurrahman bin
Ziyaad Al Ifriqiy. Oleh karena itulah kami dalam tulisan sebelumnya menetapkan
Ia sebagai perawi dhaif yang tidak bisa dijadikan hujjah tetapi dapat dijadikan
i’tibar oleh perawi semisalnya atau yang lebih kuat darinya. Adanya sebagian
ulama yang menta’dilkan hanya mengangkat derajatnya menjadi perawi dhaif yang
bisa dijadikan i’tibar.
TANGGAPAN SAYA :
Awal bantahan second ini adalah awal yang
baik, karena saya sependapat dengannya bahwa Al Ifriqi adalah PERAWI DHAIF YANG
TIDAK BISA DIJADIKAN HUJJAH TETAPI DAPAT DIJADIKAN I'TIBAR.
Akan tetapi sayang, tulisan selanjutnya
merupakan inkonsistensi dia terhadap pernyataannya sendiri diatas, darimana
ilmu dia bahwa perawi yang dapat dijadikan i'tibar bermasalah terhadap
'adalah-nya.
SP menulis :
Dan tidaklah benar kalau
kami melemahkan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy hanya berdasarkan jarh Ibnu
Hibban. Diantara sebagian ulama yang menyatakan jarh terhadap Abdurrahman bin
Ziyaad terdapat mereka yang memang menyatakan cacat pada ‘adalah-nya.
Ahmad bin Hanbal
mendhaifkannya dan terkadang mengatakan tentangnya “tidak ada apa-apanya”
terkadang mengatakan “mungkar al hadiits” bahkan melarang untuk menulis hadis
darinya [Mausu’ah Aqwaal Ahmad no 1529]. Larangan menulis hadis atau
meriwayatkan darinya menunjukkan Ahmad bin Hanbal menyatakan cacat pada
‘adalah-nya
Ibnu Khiraasy mengatakan
“matruk” dan Nasa’iy mengatakan “dhaif” [Tahdzib At Tahdzib 4/44 no 4508]. Jarh
dengan lafaz “dhaif” dan lafaz “matruk” adalah jarh dari segi ‘adalah
Jadi sungguh tidak benar
dakwaan yang secara mutlak menyatakan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy lemah
dalam hal hafalannya sedangkan ‘adalah-nya tidak bermasalah.
TANGGAPAN SAYA :
Lihat dia, jarh "mungkarul
hadits", "larangan menulis hadits darinya", "matruk",
"dhaif", tidak mutlak bermasalah dalam segi 'adalahnya. Memang dapat
berarti bermasalah dalam 'adalahnya, akan tetapi dapat pula berkenaan dengan
masalah dari segi ke-dhabitan-nya, tergantung qarinahnya.
Dan dia sendiri telah menulis qarinah
pembantahnya, yaitu : perkataan Shalih bin Muhammad berkata tentangnya
Mungkarul Hadits, tetapi ia seorang yang SHALEH.
Sejak kapan orang yang SHALEH
diperermasalahkan tentang ke-'adalah-annya ?
SP menulis :
Jadi sungguh tidak benar
dakwaan yang secara mutlak menyatakan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy lemah
dalam hal hafalannya sedangkan ‘adalah-nya tidak bermasalah.
Jika dilihat lebih teliti
ucapan para ulama mutaqaddimin tentangnya tidak ada keterangan sharih atau
lafaz yang sharih [jelas] bahwa Abdurrahman bin Ziyaad adalah orang yang lemah
hafalannya. Hal ini adalah ijtihad sebagian ulama muta’akhirin seperti Ibnu
Hajar yang melihat sebagian qaul ulama yang menta’dil Abdurrahman bin Ziyaad
tetapi melemahkan hadisnya.
TANGGAPAN SAYA :
Alhamdulillah ternyata saya masih berdiri
diatas kaedah ilmu, sehingga seorang ulama hadits-pun telah sesuai dengan
pendapat saya.
SP menulis :
Padahal sebenarnya ternukil
jarh mufassar dari sebagian ulama yang menunjukkan bahwa kelemahan dalam hadis
Abdurrahman bin Ziyaad adalah karena ia banyak meriwayatkan hadis mungkar.
Diantaranya ada Shalih bin Muhammad yang berkata tentangnya “mungkar al hadiits
tetapi ia seorang yang shalih”. Sufyaan Ats Tsawriy yang mengatakan Abdurrahman
bin Ziyaad merafa’kan hadis-hadis kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
dimana tidak seorangpun dari ahli ilmu yang merafa’kan hadis tersebut. Abu
Hasan bin Qaththan yang mengatakan bahwa yang benar ia dhaif karena banyak
meriwayatkan hal-hal mungkar [Tahdzib At Tahdzib 4/44-45 no 4508].
TANGGAPAN SAYA :
Alhamdulillah, ternyata tidak hanya Imam
Ibnu Hajar saja yang berpendapat seperti saya, ternyata Shalih bin Muhammad,
Sufyan Ats Tsauri, dan Abu Hasan bin Qaththan, berpendapat bahwa kelemahan Al
Ifriqi hanyalah karena meriwayatkan riwayat yang mungkar, dan ini maklum
merupakan jarh dari segi ke-dhabitan.
Hal ini pernah kita bahas dalam
periwayatan Bakr bin Bakaar, bahwa berbeda antara jarh fulan perawi mungkar
dengan fulan mungkarul hadits.
SP menulis :
Jadi ketika Ibnu Hibban
mengatakan “ia meriwayatkan hadis maudhu’ dari para perawi tsiqat dan
mendatangkan dari para perawi tsabit apa yang bukan dari hadis mereka” [Al
Majruuhin Ibnu Hibbaan 2/15 no 581] hal itu bukanlah perkara yang mengherankan
karena sebagian ulama telah menetapkan bahwa Abdurrahman bin Ziyaad banyak
meriwayatkan hadis mungkar dan diantaranya hadis-hadis yang ia sandarkan kepada
Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] padahal tidak ada satupun ahli ilmu yang
menyandarkannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
TANGGAPAN SAYA :
Hal ini dapat terjadi akibat buruknya
hafalan Al Ifriqi.
SP menulis :
Satu hal lagi yang menambah
kedhaifan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy adalah ia seorang mudallis. Ibnu
Hajar memasukkan namanya dalam mudallis thabaqat kelima
عبد الرحمن بن زياد بن أنعم ذكر بن
حبان في الضعفاء أنه كان مدلسا وكذا وصفه به الدارقطني
‘Abdurrahman bin Ziyaad bin
An’um, Ibnu Hibban menyebutkan dalam Adh Dhu’afa bahwa ia seorang mudallis dan
demikian juga disifatkan oleh Daruquthniy [Thabaqat Al Mudallisin Ibnu Hajar no
143]
Dan sudah maklum diketahui
[sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar sendiri dalam kitabnya tersebut] bahwa
mudallis thabaqat kelima adalah orang-orang yang memang dhaif karena hal lain
selain tadlis maka hadis-hadis mereka ditolak walaupun mereka menyebutkan lafal
sharih penyimakan hadisnya.
Ketika menyatakan
Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy seorang mudallis, Ibnu Hibban menyebutkan
dengan lafaz “ia melakukan tadlis dari Muhammad bin Sa’iid bin Abi Qais Al
Mashlub” [Al Majruuhin Ibnu Hibbaan 2/15 no 581]. Sedangkan Muhammad bin Sa’iid
bin Abi Qais dikenal sebagai seorang yang zindiq dan pemalsu hadis. Ahmad bin
Hanbal mengatakan ia pemalsu hadis. An Nasa’iy menggolongkannya kedalam
pendusta dan dikenal pemalsu hadis. Ibnu Numair menyatakan ia pendusta pemalsu hadis.
Daruquthniy berkata “matruk al hadiits”. Ibnu Hibban dan Abu Ahmad Al Hakim
menyatakan ia pemalsu hadis [Tahdziib At Tahdziib 5/600-601 no 6982].
Hadis Abdurrahman bin
Ziyaad Al Ifriqiy di atas diriwayatkan olehnya dengan lafaz ‘an anah maka hal
ini tidaklah selamat dari cacat tadlis. Bahkan dengan cacat ini juga riwayat
itu tidak bisa dijadikan i’tibar karena bisa jadi lafaz ‘an anah itu adalah
tadlisnya dari perawi dhaif, pendusta atau pemalsu hadis.
TANGGAPAN SAYA :
Sejak kapan riwayat mudalis tidak bisa
dijadikan i'tibar ?
SP menulis :
Ucapan ini sangat jelas
mengada-ada. Jarh “tidak ada mutaba’ah atasnya” atau jarh “tidak ada mutaba’ah dalam
hadisnya” tidak mesti hanya berlaku
bagi orang yang tidak bermasalah ‘adalah-nya. Seorang yang majhul atau dhaif
pun bisa saja dikatakan dengan jarh “tidak ada mutaba’ah atasnya” atau “tidak
ada mutaba’ah atas hadisnya”
Sebaik-baik bukti disini
adalah sebagaimana tertera dalam kitab Adh Dhu’afa Al Uqailiy : Asad bin ‘Atha’
seorang yang majhul, meriwayatkan dari Ikrimah hadis yang tidak memiliki
mutaba’ah atasnya [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 6]
Hasan bin ‘Aliy Al
Hamdaaniy majhuul juga tidak memiliki mutaba’ah atas hadisnya dan tidak dikenal
kecuali dengannya [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 282]
Apakah lafaz “tidak ada
mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang
bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau Al
Uqailiy sendiri menyatakan “majhul”.
TANGGAPAN SAYA :
Kacau betul bantahan orang ini, jelas
harus dibedakan antara jarh "majhul, tidak ada mutaba'ahnya" dengan
jarh "tidak ada mutaba'ahnya".
Jarh "majhul tidak ada
mutaba'ahnya", lafal "majhul" menunjukkan identitas perawi, dan
lafal "tidak ada mutaba'ahnya" menunjukkan status haditsnya.
Sedangkan jarh "tidak ada
mutaba'ahnya", menunjukkan diketahuinya identitas perawi tersebut sebagai
perawi yang lemah hafalannya sehingga haditsnya membutuhkan mutaba'ah.
SP menulis :
Bisyr bin Ibrahim Al
Anshaariy meriwayatkan dari Al Auza’iy dengan hadis-hadis maudhu’, tidak
memiliki mutaba’ah atas hadis-hadisnya tersebut [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 174]
Apakah lafaz “tidak ada
mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang
bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau Al
Uqailiy sendiri menyatakan ia meriwayatkan hadis-hadis maudhu’ [palsu]
TANGGAPAN SAYA :
Sungguh mengherankan apabila bila jarh
murni "tidak ada mutaba'ahnya" disandarkan kepada perawi yang
bermasalah tentang 'adalahnya. Apa gunanya ? Ada mutaba'ah atau tidak tetap
saja perawi tersebut tidak dapat diangkat dan mengangkat riwayat yang lain.
Meriwayatkan hadits-hadits palsu berbeda
dengan membuat hadits palsu.
Yang pertama bisa karena dia pendusta
atau bisa juga karena dia seorang yang buruk hafalannya sehingga menyampaikan
sanadnya keliru.
Sedangkan yang kedua tidak syak lagi
kalau perawi tersebut adalah pendusta.
Dalam kasus diatas bisa jadi Al Uqailiy
tidak menjarh 'adalah Bisyr, hanya menjarh hadits-hadits Bisyr adalah lemah
bila tidak ada mutaba'ahnya, dan bisa jadi menjadi kuat bila ada mutaba'ahnya.
Dan setelah beliau teliti ternyata hadits-hadits tersebut tidak ada
mutaba'ahnya.
Akan tetapi bila jarh-nya tidak murni
(ada qarinah jarh lain) "tidak ada mutaba'ahnya", maka qarinah
tersebutlah yang dipakai.
SP menulis :
Apakah lafaz “tidak ada
mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang
bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau Al
Uqailiy sendiri menukil Yahya bin Ma’in yang menyatakan Muththarih bin Yaziid
dhaif tidak tsiqat [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 1868]
TANGGAPAN SAYA :
Sekali lagi sungguh mengherankan apabila
bila jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya" disandarkan kepada perawi
yang bermasalah tentang 'adalahnya. Apa gunanya ? Ada mutaba'ah atau tidak
tetap saja perawi tersebut tidak dapat diangkat dan mengangkat riwayat yang
lain. Tetapi bila ada jarh qarinah lain, maka jarh qarinah itulah yang
dianggap.
Dan lagi sejak kapan "dhaif tidak
tsiqat" merupakan mutlak jarh atas 'adalah ?
SP menulis :
Apakah lafaz “tidak ada
mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang
bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau disisi
Al Bukhariy lafaz “mungkar al hadiits” berarti tidak halal meriwayatkan dari
perawi tersebut
TANGGAPAN SAYA :
Sekali lagi jarh "mungkarul hadits
tidak ada mutaba'ahnya" berbeda dengan jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya"
Untuk yang kesekian kalinya saya
tegaskan, bahwa jarh murni "laa yuttaba'u biha" bermakna selain
'adalah kecuali kalau ada jarh yang lain.
Telah berlalu perkataan Imam Dzahabi
bahwa Abdullah bin Sufyan adalah dhaif, bila dirangkai dengan jarh 'tidak ada
mutaba'ahnya" menjadi jarh "dhaif tidak ada mutaba'ahnya",
sehingga diketahui bahwa perawi ini hanya bermasalah dari segi hafalannya saja.
SP menulis :
Sungguh perkataan Abu Fulan
(yang dimaksud adalah saya) ini tidak ada nilainya. Siapapun yang membaca kitab
Adh Dhu’afa Al Uqailiy pada biografi Abdullah bin Sufyaan maka tidak akan
mungkin menjadikan riwayatnya sebagai penguat. Mengapa? Karena Al Uqailiy
sendiri telah menegaskan bahwa riwayat Abdullah bin Sufyaan itu tidak ada
asalnya.
عبد الله بن سفيان الخزاعي واسطي
عن يحيى بن سعيد لا يتابع على حديثه حدثناسلم بن سهل الواسطي قال حدثني جدي وهب بن
بقية الواسطي قال حدثنا عبد الله بسفيان عن يحيى بن سعيد الانصاري عن أنس بن مالك
قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم تفترق هذه الامة على ثلاث وسبعين فرقة كلها
في النار الا فرقة واحدة قيل يا رسول الله ما هذه الفرقة قال من كان على ما أنا
عليه اليوم وأصحابي ليس له من حديث يحيى بن سعيد أصل وإنما يعرف هذا الحديث من
حديث الافريقى
‘Abdullah bin Sufyaan Al
Khuzaa’iy Al Waasithiy meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id, tidak memiliki
mutaba’ah atas hadisnya. Telah menceritakan kepada kami Aslam bin Sahl Al
Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepadaku kakekku Wahb bin
Baqiyah Al Waasithiy yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Sufyan dari Yahya bin Sa’id Al Anshari
dari Anas bin Malik yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
bersabda “Umat ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Mereka semua ada di
neraka kecuali satu golongan”. Dikatakan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] “siapakah golongan itu”. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam]
berkata “Apa yang Aku dan para Sahabat-Ku ada di atasnya pada hari ini”. Hadis
ini tidak ada asalnya dari Yahya bin Sa’iid, dan sesungguhnya hanya dikenal
hadis ini dari hadis Al Ifriqiy [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 817].
Dengan kata lain Al Uqailiy
selaku periwayat hadis ini dan yang menuliskan biografi Abdullah bin Sufyaan
menolak hadis Abdullah bin Sufyaan tersebut sebagai penguat bagi hadis Al
Ifriqiy. Bahkan Al Uqailiy menegaskan kalau hadis Abdullah bin Sufyaan tersebut
tidak ada asalnya dari Yahya bin Sa’iid.
TANGGAPAN SAYA :
Pada intinya jarh murni "tidak ada
mutaba'ahnya" merupakan jarh dari segi ke-dhabit-an, bisa karena buruk
hafalannya, bisa karena majhul, bisa karena dhaif, bisa karena ikhtilath, bisa
karena terputus, dll.
Sedangkan inti jarh Imam Al Uqailiy
adalah "hadits ini tidak ada asalnya dari Yahya bin Said" akibat
kesendirian Abdullah bin Sufyan.
Hal ini tidak berarti bahwa Al Uqailiy
berpendapat bahwa riwayat Abdullah bin Sufyan tidak dapat dijadikan penguat
riwayat Al Ifriqi, beliau hanya berpendapat tidak tsabit riwayat Abdullah bin
Sufyan dari Yahya bin Said akibat kesendirian Abdullah bin Sufyan dan yang
tsabit adalah riwayat Al Ifriqi akan tetapi lemah.
Hal ini perlu dicermati, bahkan riwayat
Abdullah bin Sufyan mempunyai mutaba'ah (syahid), yaitu riwayat Al Ifriqi.
SP menulis :
Kesimpulan : Hadis Al Ifriqiy
dan hadis Abdullah bin Sufyaan di atas tidak bisa saling menguatkan maka
kedudukannya adalah dhaif. Sungguh keliru orang yang mengatakan hadis tersebut
saling menguatkan dan menjadi hasan lighairihi.
TANGGAPAN SAYA :
Telah berlalu kesepakatan kita, bahwa Al
Ifriqi dapat dijadikan i'tibar.
Telah berlalu pembahasan jarh murni
"tidak ada mutaba'ahnya" merupakan mutlak merupakan jarh dari segi
ke-dhabit-an atau ke-ittisal-an sanad bukan jarh tentang 'adalah seorang
perawi.
Sehingga kalau SP hendak melemahkan
Abdullah bin Sufyan, hendaklah ia mendatang jarh tentang 'adalah beliau, jangan
berasumsi dengan analogi-analogi yang tidak pas.
Oleh karena itu Abdullah bin Sufyan
adalah perawi yang lemah dari sisi ke-dhabit-an, menjadi sah bila ada
mutaba'ahnya (syahidnya), dan Alhamdulillah riwayat Al Ifriqi dapat dijadikan
syahid atas riwayat Abdullah bin Sufyan.
Jadi kesimpulannya :
Al Ifriqi adalah perawi lemah yang bisa
dijadikan i'tibar, demikian pula Abdullah bin Sufyan adalah perawi lemah yang
bisa dijadikan i'tibar, sehingga saling menguatkan, menaikkan statusnya menjadi
HASAN LIGHAIRIHI.