Bahasan Keempat (Rangkuman), Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah Menurut Ulama Tiga Abad Pertama Hijriyah Dan Ulama Al-Syafi‘Iyyah : Bahwasanya Al-Qur’an Adalah Firman Allah, Lafal-Lafalnya Dari Allah, Merupakan Kalamullah, Bukan Makhluk.
Di antara manusia ada menjadi pembuka
jalan kebaikan dan ada pula yang menjadi gerbang keburukan. Adalah Ahmad bin
Farj bin Jarir bin Malik, atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Abi Duad. Ia
merupakan sosok yang telah membuka gerbang keburukan untuk para penguasa zaman
Imam Ahmad bin Hambal. Ia mendapatkan sebuah kedudukan tinggi di sisi tiga
khalifah Abbasiyah; Al-Ma‘mun, Al-Mu‘tashim, dan Al-Watsiq.
Disebutkan bahwa Ahmad bin Abi Duad
merupakan salah satu dedengkot kelompok Mu‘tazilah. Saat itu, mereka sangat
antusias untuk mempengaruhi para khalifah yang berkuasa. Ia menyebutkan bahwa
Al-Qur‘an adalah bagian dari makhluk Allah bukan Kalamullah. Seruan ini
pun diimani oleh khalifah. Bahkan, ia memaksa rakyatnya untuk menerima pendapat
tersebut.
Ketika itu Ibnu Abi Duad melihat bahwa musuh
besarnya adalah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Agar tersinggkir dari
kepercayaan masyarakat, ia menuduh Imam Ahmad orang sesat lagi menyesatkan.” Ia
menghasut para khalifah agar menyiksa beliau. Jadi, setiap siksaan yang
dialami Imam Ahmad, tidak lepas dari peran orang hina tersebut. Hingga terlafaz
lah sebuah doa dari lisan Imam Ahmad:
“Ya Allah sesungguhnya dia telah
menzalimiku, dan tidak ada penolong bagiku kecuali Engkau. Ya Allah tahanlah
dia pada kulitnya sendiri dan siksalah dia.”
Ibnu Abi Duad bisa merasakan kenikmatan
hidup pada masa pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah, khususnya pada masa
pemerintahan Al-Mu‘tashim dan Al-Watsiq. Benar, Allah Ta’ala memberi tangguh
waktu bagi orang yang zalim. Hingga jika Dia mengadzabnya, ia tidak bisa meloloskan
diri.
Akhirnya, Ibnu Abi Duad mengalami
lumpuh. Tubuhnya terbagi menjadi dua bagian. Satu bagian yang jika digergaji
atau digunting, ia tidak merasakannya. Sebab, tubuh tersebut telah mati dan
lumpuh. Dan satu bagian lagi jika ada seekor lalat yang hinggap, hal itu akan
sangat menyakitkannya. Sehingga ia selalu berada dalam adzab tersebut.
Di samping itu, Allah juga telah
memberikan kuasa kepada khalifah Al-Mutawakil untuk menundukkan Ibnu Abi Duad.
Seluruh hartanya disita hingga ia menjadi fakir dan membuatnya mengemis kepada
menusia. Para pendukung yang ada di sekitarnya, yang dahulu selalu membantu
kezalimannya, pun bercerai-berai.
Di sisi lain, sang khalifah juga
membebaskan Imam Ahmad, memuliakan dan menghormati beliau. Sehingga, Allah
memberikan balasan kepadanya dengan sebaik-baik balasan sebagai ganti
kebaikannya terhadap Islam dan kaum muslimin.
Tersisalah diri Ibnu Abi Duad merasakan
perbuatannya dalam keadaan terlulai di atas ranjang kematian dan
mengalami penderitaan, kesedihan, kesempitan, serta kegembiraan musuh-musuhnya
atas musibah yang menimpanya.
Abdul Aziz bin Yahya Al-Kinany, salah
satu murid Imam Asy-Syafi‘i, pernah menemuinya dan berkata, “Wahai musuh Allah,
demi Allah, kedatanganku bukanlah untuk menjengukmu, melainkan untuk memuji Zat
Yang Maha Tunggal lagi Mahakuasa yang telah memenjarankanmu di dalam kulitmu
sendiri, yang merupakan hukuman yang lebih menyakitkan bagi dirimu daripada
semua penjara.” Beliau kemudian menadahkan kedua tangannya seraya
berdoa, “Ya Allah, tambahilah sakitnya dan janganlah Engkau
kurangi.” (Siyaru A‘lâmin Nubalâ‘ XI)
Maka, sakitnya pun semakin bertambah
hingga akhirnya dia mati pada bulan Muharram tahun 240 Hijriyah.
Dalam kitab Al-Bidayah Wan
Nihayah, Ibnu Katsir menyebutkan, seseorang berkata, “Pada suatu malam aku
bermimpi Ibnu Abi Duad mati. Seakan-akan terdengar suara nyala api dengan suara
yang begitu keras, kemudian keluar darinya kobaran api. Aku pun
bertanya, ’Apa ini?’ Ada yang menjawab, “Ini adalah balasan
bagi Ibnu Abi Duad.”
Fitnah Ibnu Abi Duad merupakan akar dari
fitnah-fitnah sesudahnya.” Semoga Allah melindungi kita dari fitnah-fitnah
tersebut.
Penulis :
Fakhruddin
Sumber : Buku “Hati-hati Doa Orang Terzalimi” karya Saad bin Said
Al Hajuri, Penerbit Aqwam Solo.
Kisah Imam Ahmad Menghadapi Isu Bahwa
‘Al-Qur’an Makhluq’
Posted on 06/11/2016 by Arinal Haq in Tarikh
Nama beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal. Beliau sering pula dijuluki dengan kunyah beliau yaitu ‘Abu
Abdillah’ Karena putra beliau bernama Abdillah.
Beliau adalah salah satu dari Imam yang
empat yang merupakan panutan kaum muslimin dari kalangan ahlussunnah wal
jamaah khususnya dalam bidang fiqih.
Beliau lahir pada tahun 164 Hijriah di
Kota Baghdad.
Biografi Imam Ahmad begitu terkenal,
hampir tidak ada kitab yang menuliskan biografi para ulama kecuali
menyebutkan biografi beliau. Bahkan tak jarang diatara para ulama yang menulis
buku khusus tentang biografi beliau, seperti buku yang berjudul ‘Manaqib
Al-Imam Ahmad’ yang ditulis oleh Imam Ibnul Jauzi yang wafat pada tahun 597.
Ujian Berat yang menimpa Imam Ahmad
Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa’ad bin
Abi Waqqash radhiyallahu’anhubahwasanya ia bertanya kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “wahai Rasulullah, siapakah
manusia yang paling berat cobaannya?” Rasulullah menjawab, “para nabi, kemudian
orang-orang shaleh, kemudian orang-orang yang seperti mereka kemudian orang
yang seperti mereka. Seseorang akan diberi cobaan sesuai dengan kadar agamanya,
jika ia kuat memegang agamanya maka ia akan ditambahkan cobaannya, dan jika ia
lemah memegang agamanya maka iapun akan dirignankan cobaannya. Dan
seseorang akan senantiasaa diberi cobaan sampai ia berjalan diatas muka bumi
tanpa menanggung dosa.” Hadits ini
juga diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan beliau menilanya sebagai hadits hasan
shahih.
Diriwayatkan juga bahwa Imam Ahmad bin
Hanbal pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam
mimpi seraya berkata, “wahai Ahmad, engkau akan diberi cobaan maka bersabarlah,
niscaya Allah akan menaikkan bendera untukmu di hari kiamat.”
Cobaan berat ini berawal dari masa
kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun bin Harun Ar-Rasyid. Di zaman Al-Ma’mun
orang-orang mu’tazilah yang menggunakan akal sebagai ukuran dan dalil
dalam segala hal berhasil menyebarkan ajarannya dalam cakupan yang cukup luas,
bahkan mereka berhasil mempengaruhi dan mengambil hati Khalifah
Al-Ma’mun, sehingga ia menjadi condong dan terpengaruh oleh pemikiran mereka
yang seringkali berdalil dengan akal dan logika serta menundukkan Al-Qur’an dan
hadits dihadapan akal mereka.
Al-Ma’mun semakin dekat dengan
tokoh-tokoh mu’tazilah, ia mendekatkan mereka kesisinya dan mengangkat
kedudukan mereka. Diantara tokoh terbesar mu’tazilah saat itu adalah Bisyr bin
Ghiyats Al-Marrisiy. Ia menyebarkan paham bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluq,
dan ia menguatkan argumennya tersebut dengan beberapa dalil dari Al-Qur’an yang
ia tafsirkan sesuai kemauannya.
Al-Ma’mun semakin termakan oleh
pemikiran-pemikiran orang mu’tazilah, sampai pada akhirnya ia menganut
akidah mu’tazilah dan meyakini bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluq.
Pada awalnya ia masih ragu untuk mewajibkan rakyatnya meyakini bahwasanya
Al_Qur’an adalah makhluq, namun Ibnu Abi Du’ad salah seorang gembong mu’tazilah meyakinkannya.
Akhirnya iapun mengambil pendapat tersebut dan mengirim surat kepada gubernur
Baghdad saat itu yang bernama Ishaq bin Ibrahim agar ia mengumpulkan para ulama
Baghdad dan mewajibkan mereka untuk menyuarakan bahwasanya Al-Qur’an adalah
makhluq, dan siapa saja yang menolak akan dihukum penjara, atau disiksa, atau
dibunuh.
Mulai saat itu api fitnah berkobar di
saentero Iraq, banyak orang yang disiksa dan dibunuh karena tidak mau mengikuti
perkataan mereka bahwa Al-Qur’an adalah Makhluq. Cobaan ini semakin berat,
banyak orang yang terpaksa mengikuti perkataan mereka, yang tersisa menolak
bahwa Al-Qu’ran makhluq hanyalah empat, Imam Ahmad, Muhammad bin Nuh, dan dua
orang lagi namun keduanya tidak kuat menahan beratnya siksaan, akhirnya mereka
menyerah dan mengikuti apa yang mereka inginkan.
Imam Ahmad tetap menolak untuk mengatakan
bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluq, beliau bersikeras mengatakan perkataan
yang haq bahwasaya Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluq.
Beliau mempertahankan akidah kaum muslimin agar tidak ternodai oleh
pemikiran-pemikiran orang-orang mu’tazilah walaupun beliau harus menerima
berbagai konsekuensi.
Di zaman Al-Ma’mun, orang-orang
mu’tazilah memiliki posisi yang kuat karena saat itu mereka didukung oleh sang
Khalifah. Pemaksaan terhadap para ulama dan kaum muslimin untuk mengatakan
bahwa Al-Qur’an adalah makhluq semakin menjadi-jadi. Banyak dari mereka yang
disiksa, dipenjara, bahkan dibunuh karena menolak untuk mengatakan bahwa
Al-Qur’an adalah makhluq. Kebanyakan mereka menyerah dan mengikuti apa yang
diinginkan oleh sang khalifah yang telah terpengaruh oleh kaum Mu’tazilah.
Tingallah Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh
yang terang-terangan menolak pernyataan bahwa Al-Qur’an makhluq, mereka berdua
menyadari bahwa mereka adalah panutan kaum muslimin saat itu, jika mereka
mengalah dihadapan kemauan Al-Ma’mun sebagaimana yang lainnya maka akan diikuti
oleh kaum muslimin. Oleh karena itu mereka memilih untuk tetap bersikukuh
menolak kesesatan mu’tazilah tersebut
agar akidah kaum muslimin tetap terjaga walaupun konsekuensinya adalah penjara
dan siksa.
Akhirnya mereka dipanggil ke singgasana
Al-Ma’mun dalam keadaan terikat. Selama perjalanan Imam Ahmad senantiasaa
berdoa untuk tidak dipertemukan dengan Al-Ma’mun. Allah mengabulkan doanya dan
Al-Ma’mun wafat sebelum keduanya sampai kepada Al-Ma’mun. Ditengah perjalanan
Muhammad bin Nuh meninggal, sedang Imam Ahmad setelah itu dipenjara. Sebelum
meninggal Al-Ma’mun berwasiat kepada penggantinya yaitu Al-Mu’tashim agar tetap
mendekatkan Ibnu Abi Du’ad kesisinya. Al-Mu’tashim melaksanakan wasiat tersebut dan
Ibnu Abi Duad tetap memiliki kedudukan yang tinggi disisi khalifah.
Di zaman Al-Mu’tashim Imam Ahmad disiksa
dan dipenjara dan hamper dibunuh, namun ketika ia hendak membunuhnya Imam Ahmad
mengingatkannya kepada hadits; لا يحل دم امرئ
مسلم إلا بإحدى ثلاث… الحديث (tidak halal menumpahkan
darah seorang muslim kecuali
dengan salah satu dari tiga perkara…) akhirnya Al-Mu’tashim tidak membunuhnya
namun tetap memenjara dan menyiksanya, sampai Imam Ahmad tak sadarkan diri
karena pedihnya cambukan yang ia terima. Akhirnya Imam Ahmad dikeluarkan dari
cengkraman penjara dan dibawa kerumahnya untuk berobat. Setelah Imam Ahmad
sembuh ia kembali mengajar di masjid.
Setelah beberapa lama, Al-Mu’tashim
meniggal dan digantikan oleh Al-Watsiq yang juga berkeyakinan dengan keyakinan
mu’tazilah. Ia juga sama dengan dua khalifah sebelumnya, memaksakan rakyatnya
terutama para ulama untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluq atas
dorongan dari tokoh-tokoh mu’tazilah yang berada disisinya. Namun,
pada masa kepemerintahan Al-Mu’tashim, Imam Ahmad menghindar dan beliau tidak
terkena ancamannya.
Di akhir kehidupannya, Al-Watsiq
memanggil seorang Syekh Al-Adzrumiy dalam keadaan terikat karena ia sependapat
dengan Imam Ahmad dan menentang bahwa Al-Qur’an makhluq dan bahwasanya ia
adalah kalamullah bukan yang yang lain. Al-Watsiq memanggil Ibnu Abi
Duad dan memerintahkannya untuk bberdialog dan mendepat Syekh Al-Adzrumi
tersebut sedang ia menyimak. Akhirnya Syekh Al-Adzrumiy tersebut berhasil
mengalahkan dan mendiamkan Ibnu Duad dan menjadikannya bungkam tak bisa
menjawab setelah berdialog dengannya dengan beberapa lama.
Setelah dialog yang terjadi antara Ibnu
Abi Duad dan Syekh Al-Adzrumi, Al-Watsiq menyendiri dan menimbang-nimbang
argumen masing-masing dari keduanya, akhirnya ia condong kepada pendapat
Al-Adzrumi yang berhasil mengalahkan Ibnu Abi Duad, sehingga di akhir hayatnya
ia bertaubat dari
perkataan bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluq. Dan setelah memerintah selama
kurang lebih lima tahun, Al-Watsiq meninggal dunia.
Al-Watsiq diganti oleh Khalifah
Al-Mutawakkil, seorang khalifah yang sholeh dan berakidah ahlussunnah wal
jama’ah. Ia menuliskan surat kepada wilayah-wilayah untuk melarang siapapun
untuk mengatakan bahwasanya Al-Qur’an makhluq. Akhirnya menanglah ahlussunnah dan
selesailah cobaan yang menimpa kaum muslimin.
Setelah itu Imam Ahmad meneruskan
dakwahnya dan menyebarkan ilmunya kepada murid-murid beliau yang dipelajari
oleh kaum muslimin hingga saat ini. Beliau juga meninggalkan kitab ‘Al-Musnad’
yang menghimpun kurang lebih 20.000 hadits yang bab-babnya disusun berdasarkan
urutan nama sahabat.
Imam Ahmad meninggal pada hari jum’at 14
Rabi’ul Awal, tahun 241 H.
Semoga Allah merahmati beliau dan
menjadikan ilmu yang beliau wariskan kepada kaum muslimin sebagai timbangan
amal baik bagi beliau.
Dipetik dan diterjemahkan dari web: https://islamqa.info/ar/153333
Perdebatan Imam Ahmad Dengan Ibnu Abi
Duwwad
Berkata Al Muhtadi Billah Muhammad bin Al
Watsiq (anak dari sang khalifah Al Watsiq):
“Dahulu ayahku (khalifah Al Watsiq) bila hendak membunuh seseorang, ia mengajak
kami menyaksikannya. Suatu saat dihadapkan kepadanya seorang tua yang disemir
rambutnya dalam keadaan terikat”. (Orang tua ini adalah Abu Abdillah Ahmad bin
Hambal atau Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah).
Ayahku itu berkata: “Ijinkan Abu Abdillah
(yaitu Ibnu Abi Duwwad, seorang ulama dan tokoh Mu’tazilah yang menyakini bahwa
Al Qur’an adalah makhluk, kuniyahnya/julukannya sama dengan imam Ahmad) beserta
para sahabatnya untuk masuk”.
Maka masuklah orang tua itu (Imam Ahmad).
Orang tua itu berucap: “Assalamu’alaika
Yaa Amiral Mukminin”. (semoga keselamatan atas dirimu).
Beliau (Al Watsiq) menjawab: “Laa
Sallamallahu ‘Alaika.” (semoga Allah tidak memberikan keselamatan atas kamu).
Lelaki itu kontan menanggapi: “Sungguh
jelek cara kamu memberikn salam. Padahal Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan
itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An Nisaa’ :
86).
Dan Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam juga memerintahkan kita membalas
salam!”
Ayahku pun membalas salamnya:”Wa Alaikas
salam!” balasnya, kemudian berkata kepada Ibnu Abi Duwwad: ”Tanyalah
kepadanya!”
Syaikh itu berkata: ”Wahai Amirul
Mukminin, saya dalam keadaan terikat seperti ini, saya mengerjakan shalat dalam
sel penjara dengan bertayamum, saya tidak diberi air. Lepaskanlah dahulu ikatan
saya ini dan berilah saya air agar saya dapat bersuci dan mengerjakan shalat
setelah itu tanyalah apa yang ingin ditanyakan padaku.”
Lalu ayahku memerintahkan para pengawal
agar melepas ikatannya dan memberinya air. Syaikh itupun berwudhu lalu
mengerjakan shalat. Kemudian ayahku berkata kepada Ibnu Abi Duwad: “Tanyalah
kepadanya!”
Ibnu Abi Duwwad berkomentar: “ Lelaki itu
(Imam Ahmad) pandai bersilat lidah.”
Maka ayahku berkata: “Ajaklah ia bicara.”
Ibnu Abi Duwwad bertanya: “ Apa
pendapatmu tentang Al Qur’an?”
Lelaki tua itu menjawab: “Dia tidak
bersikap adil terhadapku. Aku yang seharusnya bertanya.”
Ayahku (Al Watsiq) berkata: “Tanyalah ke Ibnu Abi Duwwad.”
Lelaki itu bertanya: “Apa pendapatmu
tentang Al Qur’an?”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: “ Al Qur’an itu
makhluk (bukan kalam Illahi)!”
Syaikh (lelaki tua) itu bertanya lagi:
“Apakah ucapan itu adalah sesuatu yang sudah diketahui oleh Rasulullah
Shalallahu Alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Al Khulafa’ Ar Rasyidun yang
lain atau belum?”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: ”Belum.”
Lelaki itu berkata: “Maha Suci Allah,
sesuatu (masalah agama) yang tidak diketahui Nabi, namun kamu mengetahuinya?!”
Ibnu Abi Duwwad menjadi malu. Lalu ia
berkata: “Beri aku kesempatan lagi!”
Lelaki tua itu berkata lagi:
“Pertanyaannya tetap sama.”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Ya, mereka telah
mengetahuinya.”
Lelaki tua itu bertanya lagi: “Mereka
mengetahuinya, namun tidak mendakwahkannya kepada manusia?”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Iya”.
Lelaki tua itu bertanya lagi: “Apakah
yang cukup mereka lakukan tidak cukup bagimu?”
Syaikh itu berkata lagi : “Suatu perkara
yang tidak didakwahkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam ,tidak pula
Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu anhum, lalu Anda mendakwahkannya
kepada umat manusia?? Tidak bisa tidak Anda harus berkata: ”Mereka (Para shahabat)
mengetahuinya atau mereka tidak mengetahuinya”. Jika Anda katakan :”Mereka
mengetahuinya! Namun mereka tidak menyuarakannya, maka cukuplah bagi kita semua
apa yang telah cukup bagi mereka, yaitu tidak menyuarakannya!! Jika Anda
katakan: ”Mereka tidak mengetahuinya! Tetapi sayalah yang mengetahuinya! Maka
sungguh celaka Anda ini!! Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dan para
khulafaur Rasyidin radhiallahu anhum tidak mengetahuinya sementara Anda dan
rekan-rekan Anda mengetahuinya!!”
Al Muhtadi berkata: ”Saya lihat ayahku
langsung berdiri dan masuk ke dalam taman, ia tertawa sambil menutup wajahnya
dengan bajunya dan berkata: ”Benar juga, tidak bisa tidak, kita harus
mengatakan: ”Mereka mengetahuinya atau mereka tidak mengetahuinya”. Jika kita
katakan: ”Mereka mengetahuinya! Namun mereka tidak menyuarakannya, maka
cukuplah bagi kita semua apa yang telah cukup bagi mereka, yaitu tidak
menyuarakannya! Jika kita katakan: “Mereka TIDAK mengetahuinya! Andalah yang
mengetahuinya, maka sungguh celaka kita ini!! Rasulullah Shalallahu alaihi wa
sallam dan para Khulafaur Rasyidin radhiallahu anhum tidak mengetahuinya
sementara Anda dan rekan Anda mengetahuinya?!”
Kemudian ayahku berkata: ”Hai Ahmad!”
“Laabaika! Jawabnya.
“Bukan kamu yang saya maksud,tapi Ahmad
bin Abi Duwad! sahut ayahku.
Maka Ibnu Abi Duwad pun segera
mendatanginya, ayahku berkata: ”Berilah Syaikh ini nafkah dan keluarkanlah dari
negeri kita!”
[Dalam riwayat as Siyaar: ”Beliau lalu
menyuruh orang membuka ikatan lelaki tua itu dan memberikan kepadanya 400
dinar,lalu mengijinkannya pulang. Semenjak itu Ibnu Abi Duwad dipandang sebelah
mata (jatuh pamor) oleh Khalifah Al Watsiq, dan setelah itu ayahku tidak pernah
menguji orang dengan keyakinan sesat tersebut.]
Dalam riwayat lain: Al Muhtadi berkata: sayapun
insyaf dari keyakinan sesat tersebut dan saya kira semenjak saat itu ayah
sayapun insyaf darinya”
(Imam Adz Dzahabi meriwayatkan kisah ini
dari Al Muhtadi Billah Muhammad bin Al Watsiq, anak sang khalifah Al Watsiq di
kitabnya Siyaru A’laamin Nubalaa’ juz XI :312)
EPISODE SEBELUMNYA:
Berkata Sulaiman bin ‘Abdillah As Sijziy
: “Saya pernah mendatangi pintu gerbang kediaman Al Mu’tashim –Billah-, dan
waktu itu banyak orang yang berdesakan didepan gerbang kediamannya, bagaikan
hari Besar/Ied. Maka sayapun bergegas memasuki kediaman-nya, dan terlihat
olehku hamparan permadani dan singgasana yang diletakkan diatasnya. Lantas
sayapun berdiri di salah satu sisi singgasana itu. Sewaktu saya telah berdiri,
datanglah Al Mu’tashim lalu duduk diatas singgasananya. Dan ia melepaskan
sebuah sandalnya dan meletakkan salah satu kakinya diatas kaki lainnya, lalu ia
berkata : “Datangkan Ahmad bin Hanbal!”. Maka didatangkanlah beliau. Sewaktu
beliau telah dihadapkan didepan Al Mu’tashim, beliau mengucapkan salam kepadanya.
Berkatalah Al Mu’tashim kepada beliau :
“Wahai Ahmad berbicaralah dan jangan takut”.
Imam Ahmad bin Hanbal berujar : “Demi
Allah! Wahai Amirul Mu’minin, saya telah menghadap kepada engkau, dan tiada
sedikitpun walau sebesar biji didalam hati ku rasa takut”.
Berkata Al Mu’tashim : “Bagaimanakah
pendapatmu tentang Al Qur’an?”
Imam Ahmad menjawab : “Kalamullah, sifat
yang terdahulu pada dzat Allah dan bukanlah makhluk. Firman Allah –’azza
wajalla-
( ?? ???? ?????? ???? ??????????????
???????????? ?????????? ?????? ???????? ??????? ????? )
“Dan jika salah seorang dari kalangan
musyrikin berada disampingmu, maka beradalah disampingnya hingga ia
mendengarkan Kalamullah”
Berkata Al Mu’tashim kepada beliau :
“Adakah hujjah yang engkau ketahui selainnya?”
Berkata Imam Ahmad : “Masih, wahai Amirul
Mu’minin, firman Allah;
( ??????????? ???????? ????????? )
“Ar Rahman dialah Dzat yang mengajarkan
Al Qur’an )”
Dan Allah tidak berfirman : (Ar Rahman
yang menciptakan Al Qur’an)
Dan firman Allah –’azza wajalla- ;
( ??? ??????????? ?????????? )
“Yasiin. Demi Al Qur’an yang Hakiim”
Dan Allah tidaklah berfirman : (yasiin.
Demi Al Qur’an yang dia itu makhluq)
Berkata Al Mu’tashim : “Kalian
penjarakanlah ia !”.
Maka beliau dipenjarakan, dan akhirnya
orang-orang pada berpencar. Keesokan harinya saya-pun menuju kekediaman Al
Mu’tashim. Orang-orang telah dipersilahkan memasuki kediamannnya, dan saya pun
masuk bersama dengan mereka. Dan Al Mu’tashim pun datang dan segera duduk di
singgasananya.
Ia berkata : “Datangkan kemari Ahmad bin
Hanbal!”
Maka dihadapkanlah Imam Ahmad bin Hanbal,
sewaktu beliau telah berada dihadapan Al Mu’tashim, berkata Al Mu’tashim kepada
beliau : “Bagaimana keadaanmu semalam wahai Ahmad di tempat peristirahatan
engkau?”
Beliau menjawab : “Dalam keadaan baik Alhamdulillah,
hanya saja wahai Amirul Mu’minin saya mendapati hal yang mengherankan ditempat
peristirahatanku”.
Berkata Al Mu’tashim kepada beliau : “Apa
yang engkau dapati?”.
Berkata Imam Ahmad : “Saya malam itu
terbangun, lalu bergegas berwudhu’ untuk melaksanakan sholat, dan saya pun
melaksanakan sholat dua raka’at. Pada raka’at pertama saya membaca ; ( ????????
????? ) dan ( ???? ???????? ??????? ???????? ) dan pada raka’at kedua saya
membaca ; ( ???????? ???? ) dan (???? ???????? ??????? ???????? ) lalu saya
duduk dan bertasyahud hingga saya salam. Setelah itu saya melanjutkannya untuk
sholat, lalu saya bertakbir dan membaca; ( ???????? ???? ) dan ketika saya
berkehendak membaca ( ???? ???? ????? ????? ) tidaklah saya sanggup
melakukannya, lantas saya mencoba membaca ayat selainnya dari bacaan Al Qur’an
dan sayapun tidak sanggup. Maka saya hamparkan pandanganku setiap sudut
penjara, dan ternyata saya dapati di salah satu sudutnya Al Qur’an tergeletak
telah meninggal, maka saya memandikannya dan saya kafani setelah itu saya
shalati dan menguburkannya”.
Berkata Al Mu’tashim kepada beliau :
“Celakalah engkau wahai Ahmad! Al Qur’an meninggal?”.
Berkata Imam Ahmad kepadanya : “Demikian
juga halnya denganmu, engkau mengatakan: “Bahwa Al Qur’an makhluk dan setiap
makhluk tentulah akan meninggal”.
Berkatalah Al Mu’tashim : “Ahmad telah
memojokkan kami, Ahmad telah memojokkan kami!”.
Berkata Ibnu Abi Duwad dan Bisyr Al
Mirrisiy : “Bunuhlah ia, agar kita terbebas darinya”.
Berkata Al Mu’tashim : “Sungguhlah saya
bersumpah kepada Allah tidak akan saya membunuhnya dengan pedang dan tidak juga
menyuruh seorangpun membunuhnya dengan pedang”.
Berkata Ibnu Abi Duwad kepada Amirul
Mu’minin : “Deralah dia dengan cambuk!”.
Berkata Al Mu’tashim : “Baiklah”, Lalu Ia
berkata : “Datangkanlah para tukang dera!”.
Maka didatangkanlah mereka. Lantas
berkata Al Mu’tashim kepada salah seorang dari mereka : “Berapa kali cambukan
engkau dapat membunuhnya?”. Ia menyahut : “Sepuluh kali wahai Amirul Mu’minin”.
Berkatalah Al Mu’tashim : “Ambillah ia
bagimu”.
Berkata Sulaiman As Sijzi : “Maka
ditanggalkanlah pakaian Imam Ahmad bin Hanbal, dan tinggallah beliau hanya
mengenakan sarung dari kain katun, dan kedua tangan beliau diikat dengan dua
tali yang masih baru. Lalu Algojo itu mengambil cambuk pada kedua tangannya
sembari berkata : “Apakah saya boleh memulai mencambuknya, Amirul Mu’minin?”.
Berkata Al Mu’tashim : “Cambuklah ia!”.
Lalu Algojo itu mencambuk Imam Ahmad…
(Ath Thabaqat 1/ 163 – 167 dan juga 1/
335 – 336).
Sumber: http://gizanherbal.wordpress.com/2011/11/18/perdebatan-imam-ahmad-dengan-ibnu-abi-duwwad/
Artikel: www.kisahislam.net
Facebook Fans Page: Kisah Teladan &
Sejarah Islam
Do’a Al Imam Ahmad Terhadap Ibnu Abi Duad
Al Mu’tazili
Posted by abu sa'ad al faruq ⋅ januari
31, 2015
ﺇﻥ ﺍﻟﻤﺘﺪﺑﺮ ﻓﻲ ﻣﺼﺎﺭﻉ ﺍﻟﻈﺎﻟﻤﻴﻦ ﻭﺍﻟﻤﺒﺘﺪﻋﻴﻦ ﻟﻴﻌﻠﻢ ﻋﻠﻢ
ﺍﻟﻴﻘﻴﻦ ﺃﻱ ﻣﻨﻘﻠﺐ ﻳﻨﻘﻠﺒﻮﻥ ﻭﻓﻲ ﺃﻱ ﻭﺍﺩ ﻳﻬﻠﻜﻮﻥ ﻭﺃﻱ ﺧﺰﻱ ﻳﺠﻠﻠﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻗﺒﻞ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﻭﻫﺬﺍ
ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﻟﻀﺎﻝ ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﻉ ﺍﻟﺬﻱ ﻇﻞ ﻳﻔﺘﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺳﻨﻮﺍﺕ ﻃﻮﻳﻠﺔ ﻭﻳﺴﺘﻐﻞ ﻣﻨﺼﺒﻪ ﻓﻲ ﺇﺿﻼﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺻﺪﻫﻢ
ﻋﻦ ﺩﻳﻨﻬﻢ
ﻳﻈﻞ ﻓﻲ ﻋﻠﻮﻩ ﻭﺗﻜﺒﺮﻩ ﻭﺗﺠﺒﺮﻩ ﺣﺘﻰ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﺨﻠﻴﻔﺔ ﺍﻟﻤﺘﻮﻛﻞ
ﺍﻟﺬﻱ ﻛﺎﻥ ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﻭﻳﺤﺐ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺃﻫﻠﻬﺎ ﻓﻌﺰﻝ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺅﺍﺩ ﻭﺃﻣﺮ ﺑﻤﺼﺎﺩﺭﺓ ﺃﻣﻮﺍﻟﻪ
ﻭﺃﻣﻮﺍﻝ ﻭﻟﺪﻩ ﻣﺤﻤﺪ
ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﻇﻬﺮﺕ ﺧﻴﺎﻧﺔ ﻣﺤﻤﺪ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ ﻭﺳﻴﺮﺗﻪ ﺍﻟﻘﺒﻴﺤﺔ
ﻣﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ , ﻭﻳﺼﺎﺏ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺅﺍﺩ ﺑﻤﺮﺽ ﺍﻟﻔﺎﻟﺞ ‘ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺸﻠﻞ ‘ ﻣﺪﺓ ﺃﺭﺑﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻭﺑﻘﻲ
ﻃﺮﻳﺤﺎً ﻓﻲ ﻓﺮﺍﺷﻪ ﻻ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﺃﻥ ﻳﺤﺮﻙ ﺷﻴﺌﺎً ﻣﻦ ﺟﺴﺪﻩ ﻭﺣﺮﻡ ﻛﻞ ﻟﺬﺍﺕ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ
ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﻋﻦ ﻣﺮﺿﻪ
‘ﺇﻥ ﻟﻲ
ﺷﻘﺎً ﻟﻮ ﻗﺮﺽ ﺑﺎﻟﻤﻘﺎﺭﻳﺾ ﻣﺎ ﺷﻌﺮﺕ ﺑﻪ ﻭﺁﺧﺮ ﻟﻮ ﻭﻗﻌﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺫﺑﺎﺑﺔ ﻓﻜﺄﻧﻪ ﺍﻟﺠﺤﻴﻢ’ ﻭﻗﺪ ﺩﺧﻞ
ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻓﻘﺎﻝ : “ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﺟﺌﺘﻚ ﻋﺎﺋﺪﺍً ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺟﺌﺘﻚ ﻷﻋﺰﻳﻚ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻚ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﻠﻪ
ﺍﻟﺬﻱ ﺳﺠﻨﻚ ﻓﻲ ﺟﺴﺪﻙ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻮ ﺃﺷﺪ ﻋﻠﻴﻚ ﻋﻘﻮﺑﺔ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺳﺠﻦ ”
ﻓﺰﺍﺩﻩ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺣﺰﻧﺎً ﻭﻏﻤﺎً, ﻭﺍﻟﺠﺪﻳﺮ ﺑﺎﻟﺬﻛﺮ ﺃﻥ
ﻣﺮﺿﻪ ﺟﺎﺀ ﺍﺳﺘﻔﺘﺎﺡً ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻋﻨﺪﻣﺎ ﺩﻋﻰ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﻳﻮﻡ ﺃﻥ ﻗﺘﻞ ﺇﻣﺎﻡ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺃﺣﻤﺪ
ﺑﻦ ﻧﺼﺮ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻠﺨﻠﻴﻔﺔ ﺍﻟﻮﺍﺛﻖ : ‘ﺣﺒﺴﻨﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺟﻠﺪﻱ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻗﺘﻠﻪ ﺧﻄﺄ’ ﻓﺠﺎﺀﺕ ﺍﻹﺟﺎﺑﺔ
ﺍﻟﺮﺑﺎﻧﻴﺔ ﺍﻟﻜﺮﺍﻣﺔ ﺍﻟﺴﻤﺎﻭﻳﺔ ﻋﻠﻰ ﺻﺪﻕ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺿﻼﻝ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ،
ﻭﻫﻠﻚ ﺍﻟﻀﺎﻝ ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﻉ ﻓﻲ 23 ﺣﺮﻡ ﺳﻨﺔ 240 ﻫـ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ
ﻋﺎﻧﻰ ﺍﻷﻣﺮﻳﻦ ﺍﻟﻤﺮﺽ ﻭﺍﻟﻄﺮﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻨﺼﺐ ﻭﻟﻘﺪ ﺭﺅﻳﺖ ﻟﻪ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻨﺎﻣﺎﺕ ﺍﻟﺴﻴﺌﺔ ﺍﻟﺘﻲ
ﺗﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺳﻮﺀ ﺧﺎﺗﻤﺘﻪ
ﻭﻟﻘﺪ ﺃﺣﻞ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺃﺫﺍﻩ ﻓﻲ
ﺍﻟﻤﺤﻨﺔ ﺇﻻ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺅﺍﺩ ﻓﻼ ﺟﺰﺍﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﺧﻴﺮﺍً .
ﻭﻗﺪ ﺛﺒﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻭﻳﺎﺕ ﺃﻧﻪ ﻋﻨﺪﻣﺎ ﺣﻜﻢ ﺃﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺅﺁﺩ
ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﻣﺜﻼ ﺃﻣﺎﻡ ﺍﻟﺨﻠﻴﻔﻪ ﺩﻋﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺭﻓﻊ ﻳﺪﻳﻪ ﻭﻗﺎﻝ:
(ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﺇﻧﻪ ﻇﻠﻤﻨﻲ ﻭﻣﺎﻟﻲ ﻣﻦ ﻧﺎﺻﺮٍ ﺇﻻ ﺃﻧﺖ،ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺃﺣﺒﺴﻪُ ﻓﻲ ﺟﻠﺪﻩ ﻭﻋﺬِﺑﻪ ) .
ﻓﻤﺎ ﻣﺎﺕَ ﻫﺬﺍ ﺣﺘﻰ ﺃﺻﺎﺑﻪ ﺍﻟﻔﺎﻟﺞ ﻓﻴﺒﺲ ﻧﺼﻒ ﺟﺴﻤﻪ
ﻭﺑﻘﻲ ﻧﺼﻒ ﺟﺴﻤﻪ ﺣﻲ.ﺩﺧﻠﻮﺍ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻫﻮ ﻳﺨﻮﺭُ ﻛﻤﺎ ﻳﺨﻮﺭ ﺍﻟﺜﻮﺭ ﻭﻳﻘﻮﻝ:
ﺃﺻﺎﺑﺘﻨﻲ ﺩﻋﻮﺓُ ﺍﻹﻣﺎﻡِ ﺃﺣﻤﺪ، ﻣﺎﻟﻲ ﻭﻟﻺﻣﺎﻡِ ﺃﺣﻤﺪ،
ﻣﺎﻟﻲ ﻭﻟﻺﻣﺎﻡِ ﺃﺣﻤﺪ . ﺛﻢ ﻳﻘﻮﻝ ﻭﺍﻟﻠﻪِ ﻟﻮ ﻭﻗﻊَ ﺫﺑﺎﺏُ ﻋﻠﻰ ﻧﺼﻒِ ﺟﺴﻤﻲ ﻟﻜﺄﻥَ ﺟﺒﺎﻝ
ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺿﻌﺖ ﻋﻠﻴﻪ، ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﺍﻵﺧﺮ ﻓﻠﻮ ﻗﺮﺽَ ﺑﺎﻟﻤﻘﺎﺭﻳﺾ ﻣﺎ ﺃﺣﺴﺴﺖُ ﺑﻪ.
_____________________
Sesungguhnya yang langsung terlintas pada
bergugurannya orang-orang yang zhalim dan mubtadi’ (ahli bid’ah), agar
diketahui dengan ilmu yaqin tentang kemana mereka kembali, dalam lembah apa
mereka binasa, dan dalam kehinaan apa yang menimpa mereka di dunia, sebelum di
akhirat. Ini ada (kisah) seorang sesat mubtadi’ yang merusak agama orang-orang
bertahun tahun yang sangat lama dan menggunakan kedudukannya untuk menyesatkan
orang-orang dan menghalangi mereka dari agama mereka.
Dia terus dalam kecongkakannya,
kesombongannya dan kesewenangannya sampai masa khalifah Al Mutawakkil yang
membenci bid’ah dan mencintai sunnah dan ahli sunnah. Sehingga beliau mencopot
Ahmad bin Abi Duad (seorang tokoh Mu’tazilah) dan memerintahkan untuk menyita
harta Ahmad bin Abi Duad dan anaknya Muhammad (bin Ahmad bin Abi Duad),
Setelah jelas terlihat pengkhianatan
Muhammad (bin Ahmad bin Abi Duad) dalam masalah hukum dan kehidupannya yang
jelek terhadap kaum muslimin. Kemudian Ahmad bin Abi Duad terkena sakit lumpuh
selama empat tahun dan tergeletak di tempat tidurnya, tidak mampu untuk
menggerakkan sesuatupun dari jasadnya dan terhalang untuk menikmati semua
keledzatan dunia.
Dia berkata tentang sakitnya:
“Sesungguhnya aku mempunyai satu belah
badan yang kalau dipotong dengan gunting, aku tidak merasakannya dan satu belah
yang lain kalau dihinggapi lalat, seakan-akan berasal dari neraka jahannam.”
Satu orang pernah masuk menemuinya, dan berkata: “Demi Allah, tidaklah aku
datang untuk menjengukmu, tapi aku datang untuk membuatmu berkabung atas
dirimu, dan aku memuji Allah yang telah memenjarakanmu dalam tubuhmu sendiri
yang lebih menyiksamu daripada penjara apapun.”
Sehingga ucapan itu menambahnya kesedihan
dan gundah gulana, yang sangat pantas untuk diceritakan bahwa awal penyebab
sakitnya adalah dari dirinya, ketika dia mendoakan kejelekan untuk dirinya pada
hari terbunuhnya seorang imam ahli sunnah Ahmad bin Nasher, dia berkata kepada
Khalifah Al Watsiq: “Semoga Allah menahanku dalam kulitku sendiri bila dia
dibunuh karena sebuah perkara yang salah.” Sehingga pengijabahan doa datang
yang menunjukkan karamah langit atas kebenaran sunnah dan kesesatan bi’dah.
Ahmad bin Abi Duad –si sesat dan
mubtadi’-meninggal pada 23 Muharram 240 H setelah dia terkena sakit dan dicopot
dari
kedudukannya. Dan telah diriwayatkan
banyak mimpi jelek yang menunjukkan dia suul khatimah.
Imam Ahmad telah memaafkan setiap orang
yang menyakitinya ketika terjadi fitnah (dipaksanya orang untuk meyakini bahwa
Al Qur’an adalah makhluk oleh Mu’tazilah dan dibunuhnya atau disiksanya
orang-orang yang tidak menurutinya) kecuali Ahmad bin Abi Duad.
Telah datang riwayat yang tsabit ketika
terjadi penghakiman Ahmad bin Abi Duad terhadap Imam Ahmad bin Hanbal di depan
khalifah, Imam Ahmad mengangkat kedua tangannya dan mendoakan kejelekan untuk
Ahmad bin Abi Duad:
“Ya Allah sesungguhnya dia menzhalimiku,
dan tidak ada penolong bagiku kecuali Engkau. Ya Allah tahanlah dia pada
kulitnya sendiri dan siksalah dia.”
Sehingga Ahmad bin Abi Duad tidaklah mati
sampai dia ditimpa sakit lumpuh, dan mengering setengah tubuhnya dan setengah
yang lainnya tetap hidup. Banyak orang masuk menemuinya, ketika dia melenguh
seperti sapi dan berkata:
“Aku ditimpa doanya Imam Ahmad. Apa
urusanku dengan Imam Ahmad. Apa urusanku dengan Imam Ahmad.” Kemudian dia
berkata: “Demi Allah kalau ada lalat hinggap di setengah badanku, seakan-akan
satu gunung dunia ditaruh di atasnya. Sedangkan setengah badan yang lain, kalau
dipotong, aku tidak merasakannya.”
———————
WhatsApp
‘Allamaniy Diniy
علمني ديني
Ahmad Al Makassari